Anda di halaman 1dari 21

GERAKAN LITERASI PADA PENYALINAN DAN PENYEWAAN NASKAH

MELAYU PADA ABAD XIX

Siti Deviyanti and Priscila Fitriasih Limbong


Faculty of Humanities, University of Indonesia
siti.deviyanti@ui.ac.id/priscila.fitriasih@ui.ac.id/priscila_limbong@yahoo.com

ABSTRAK
Kemampuan literasi merupakan salah satu kunci utama menuju perbaikan taraf
kesejahteraan dan kehidupan. Akan tetapi, berdasarkan data statisitk dari UNESCO
(2017) Indonesia menempati posisi ke-60 dari 61 negara dengan tingkat literasi
terendah. Hal ini menjadi fakta yang ironis mengingat gerakan literasi di Nusantara
telah dimulai sejak berabad-abad silam ketika bacaan di masyarakat masih berupa
naskah-naskah yang ditulis dengan tangan dalam berbagai bahasa dan aksara.
Refleksi terhadap kemampuan literasi bangsa pada masa lalu sebagai langkah untuk
menyusun rencana kegiatan meningkatkan literasi masa depan bangsa perlu
dilakukan. Berkaitan dengan itu, artikel ini akan membahas gerakan literasi di
Batavia pada abad ke-19 melalui tradisi penyalinan naskah Melayu yang dilakukan
oleh masyarakat Batavia. Naskah yang akan dijadikan acuan untuk mengungkapkan
hal tersebut adalah naskah-naskah Melayu koleksi A.B. Cohen Stuart yang tersimpan
di Perpustakaan Nasional Republik Indonesia. Penelitian ini menggunakan
pendekatan kodikologi dalam membahas aspek literasi yang terdapat dalam kolofon
naskah-naskah tersebut. Hasil penelitian memperlihatkan bahwa gerakan literasi pada
masyarakat Batavia pada abad ke-19 terlihat pada kegiatan penyalinan dan
penyewaan naskah. Literasi bagi masyarakat di Batavia pada abad ke-19 berperan
sebagai peluang untuk dapat meningkatkan taraf hidup dengan memperoleh
penghasilan dari kegiatan penyewaan naskah. Literasi juga dimaknai oleh mereka
sebagai sarana untuk mengekspresikan diri dan identitas penyalin dan pemilik naskah.

Kata kunci: literasi, naskah melayu klasik, kodikologi, kolofon naskah

Pendahuluan
Gerakan literasi pada saat ini tidak hanya diartikan sebagai gerakan untuk
meningkatkan kemampuan membaca dan menulis. Akan tetapi, gerakan literasi
adalah suatu gerakan sosial, historis, dan kultural dalam menciptakan dan

1
menginterpretasikan makna melalui teks (Kern, 2000: 16). Kajian yang memandang
literasi sebagai gerakan sosial termasuk dalam bidang kajian baru yang disebut New
Literacy Studies. Salah satu konsep yang digunakan adalah literacy practices atau
gerakan literasi (Dewayani & Retnaningdyah, 2017: 10). Gerakan literasi tidak hanya
mencakup peristiwa yang menghadirkan tulisan atau teks sebagai bagian dari
interaksi para pelakunya, tetapi juga nilai-nilai dan perilaku dari orang-orang yang
terlibat dalam gerakan literasi tersebut. Ada beberapa konsep yang dapat diterapkan
untuk memahami literasi sebagai gerakan sosial (Barton, Hamilton, & Ivanic, 2000: 7
—8). Dengan mengkaji literasi sebagai gerakan sosial dapat terlihat bagaimana
aktivitas literasi berperan dalam sebuah situasi sosial (Dewayani & Retnaningdyah,
2017: 12).
Di Indonesia, secara historis, gerakan literasi terlihat pada kegiatan penyalinan
naskah-naskah klasik di Nusantara. Naskah klasik adalah naskah hasil tulisan tangan
dalam berbagai bahasa dan aksara daerah. Setelah Islam masuk ke Nusantara naskah-
naskah klasik juga ditulis dengan aksara jawi (aksara Arab bahasa Melayu). Naskah-
naskah ini kemudian disebut sebagai naskah Melayu dan memengaruhi gerakan
literasi dalam berbagai bidang kehidupan masyarakat.
Artikel ini akan membahas gerakan literasi melalui Tradisi penyalinan naskah
Melayu di Batavia. Gerakan literasi ini ditandai dengan dua jenis gerakan literasi
yang menonjol, yaitu penyalinan naskah yang dilakukan untuk tujuan kolonial dan
penyalinan naskah yang dilakukan untuk tujuan komersial. Naskah yang akan
dijadikan acuan untuk mengungkapkan gerakan literasi tersebut adalah naskah-
naskah Melayu koleksi A.B. Cohen Stuart yang tersimpan pada Perpustakaan
Nasional Republik Indonesia.
Untuk mengungkap gerakan literasi di Batavia pada abad ke-19, kolofon-
kolofon naskah Melayu koleksi A.B. Cohen Stuart digunakan sebagai objek
penelitian. Kolofon adalah catatan tambahan di luar teks naskah yang berisi informasi
mengenai penyalinan naskah, seperti nama penyalin dan pemilik naskah, tempat
penyalinan, waktu penyalinan, dan informasi lainnya. Kolofon biasanya terdapat pada
2
akhir naskah meskipun kolofon juga dapat terletak pada awal naskah. Kolofon dalam
naskah-naskah Melayu koleksi Cohen Stuart ditemukan dalam 22 naskah yang
dikoleksi oleh sarjana Belanda yang tersimpan di Perpustakaan Nasional RI
(Behrend, 1998). Kolofon-kolofon yang terdapat dalam 22 naskah Melayu koleksi
Cohen Stuart ini kemudian ditransliterasi dari teks aslinya yang beraksara Jawi ke
dalam aksara Latin. Kolofon-kolofon tersebut kemudian digunakan untuk
menggambarkan gerakan literasi di Batavia pada abad ke-19. Kolofon-kolofon
tersebut digunakan sebagai objek analisis karena kolofon mengandung data, antara
lain tentang motif-motif penyalinan naskah Melayu di Batavia.
Di dalam kolofon-kolofon naskah Melayu koleksi Cohen Stuart secara umum
terlihat bahwa masyarakat Batavia pada abad ke-19 telah dapat memaknai literasi
sebagai bagian dari gerakan sosial mereka. Gerakan literasi masyarakat Batavia pada
abad ke-19 memiliki tujuan sosial dan budaya tertentu yang tergambar lewat kegiatan
komersialisasi naskah. Sejumlah naskah Melayu disalin oleh penduduk asli Nusantara
(orang-orang pribumi) yang memiliki kemampuan membaca dan menulis Jawi
dengan tujuan untuk disewakan. Gerakan literasi komersial ini mengandung dua
motif, yaitu motif ekonomi dan motif mengekspresikan diri. Motif ekonomi terlihat
pada kegiatan penyalinan naskah yang bertujuan untuk disewakan. Motif ini
memberi peluang bagi masyarakat untuk meningkatan taraf hidup dengan cara
mendapatkan penghasilan dari usaha penyewaan naskah. Motif ekspresi diri
merupakan motif budaya yang sebelumnya tidak terlihat pada penulisan naskah-
naskah Melayu di Nusantara. Tradisi penulisan dan penyalinan naskah Melayu pada
umumnya tidak menuliskan identitas penulis atau penyalin naskah. Akan tetapi, pada
naskah-naskah koleksi Cohen Stuart ini terlihat adanya kesadaran penulis atau
penyalin untuk mengekspresikan diri dan identitasnya melalui kolofon naskah.

Gerakan Literasi di Batavia pada Abad ke-19

3
Gerakan literasi di Batavia pada abad ke-19 salah satunya ditandai dengan
adanya tradisi penyalinan naskah Melayu. Naskah-naskah ini mengandung beraneka
macam informasi. Ada naskah yang berisi cerita pelipur lara, cerita kepercayaan,
cerita yang berkaitan dengan sejarah dan keagamaan, ajaran-ajaran Islam,
pengetahuan mengenai obat-obatan, astrologi, dan lain-lain. Naskah-naskah ini
diproduksi dengan cara disalin dari naskah-naskah yang telah ada sebelumnya.
Tujuan penyalinan naskah tersebut sangat beragam, antara lain penyalinan naskah
untuk tujuan kolonial dan penyalinan naskah untuk tujuan komersial. Di bawah ini
akan dijelaskan tujuan penyalinan naskah sebagai bentuk gerakan literasi.

Gerakan Literasi Kolonial


Gerakan literasi kolonial ditandai dengan kehadiran kantor pemerintah
Belanda untuk urusan pribumi bernama Algemeene Scretarie yang didirikan pada
1819 di Batavia (Rukmi, 1997: 18). Kantor ini memprakarsai penyalinan naskah
Melayu yang dilakukan oleh sejumlah orang pribumi yang tinggal di Batavia yang
bekerja secara profesional sebagai juru tulis. Tujuan penyalinan naskah Melayu di
Algemeene Secretarie adalah untuk menghasilkan naskah yang akan digunakan
sebagai bahan pelajaran bagi para pegawai pemerintah Belanda (Rukmi, 1993: 27—
29). Naskah salinan Algemeene Secretarie ini juga dikirim ke Akademi Delft di
Belanda, yaitu tempat pendidikan calon pegawai pemerintah Belanda yang akan
bertugas di Hindia Belanda.
Penyalinan naskah Melayu di Algemeene Secretarie adalah sebuah gerakan
literasi kolonial karena berkaitan erat dengan kepentingan pemerintah Belanda yang
berkedudukan di Batavia. Untuk dapat menguasai wilayah Indonesia, pemerintah
kolonial Belanda harus dapat memahami hal-ihwal penduduk pribumi yang salah
satunya tercermin dalam produk literasi. Penyalinan naskah di Algemeene Secretarie
adalah upaya untuk memperoleh pengetahuan yang berkaitan dengan budaya, agama
Islam, dan bahasa Melayu di Indonesia yang menjadi identitas pribumi.

4
Gerakan literasi yang dibentuk oleh institusi kolonial ini mengimplikasikan
adanya literasi yang dianggap lebih dominan dan berpengaruh dibandingkan literasi
yang lain (Barton, Hamilton, & Ivanic, 2000: 8). Sebagai contoh, Sejarah Melayu
disalin beberapa kali oleh juru tulis Algemeene Secretarie karena karya tersebut
merupakan sumber yang kaya untuk menggali pengetahuan tentang kebudayaan salah
satu masyarakat Indonesia, yaitu Melayu (Rukmi, 1993: 28—29).
Dalam gerakan literasi ini, Algemeene Secretarie mempekerjakan sejumlah
orang yang berasal dari masyarakat Batavia untuk melakukan penyalinan naskah.
Mereka bekerja sebagai juru tulis profesional yang diupah puluhan gulden oleh pihak
pemerintah Belanda. Sejumlah nama juru tulis itu diketahui berdasarkan kolofon
maupun catatan pada awal naskah. Mereka biasa menuliskan nama mereka sesudah
menyebutkan judul naskah kemudian diakhiri dengan penyebutan tempat penyalinan.
Tempat penyalinan yang disebutkan dapat tertulis “di dalam Kantor Sekretari”; ada
pula yang disalin di Kampung Kerukut (Rukmi, 1993: 29—54).
Para juru tulis yang bekerja di Algemeene Secretarie adalah orang-orang
Batavia yang berpendidikan dan berkeahlian sebagai penyalin (Rukmi, 1993: 54—
61). Beberapa di antara mereka ada yang berprofesi selain sebagai juru tulis.
Muhammad Cing Saidullah misalnya, penyalin naskah Hikayat Puteri Johar
Manikam (LOr 315), Hikayat Bispu Wiraja (LOr 1401), dan Syair Bidasari (LOr
1942) adalah seorang letnan yang mengepalai penduduk di Batavia. Pada 1820—
1827, ia bertugas sebagai komandan di Jawa Barat. Begitu pula, Muhammad
Sulaiman penyalin naskah Hikayat Kalilah dan Daminah (LOr 1757) dan Hikayat
Indranata (LOr 3170) yang digambarkan sebagai orang yang pandai dan cekatan
diketahui adalah guru Roorda van Eysinga, seorang Belanda yang terkenal karena
perlawanannya atas perlakuan terhadap buruh Pribumi oleh pemerintah Belanda.

Gerakan Literasi Komersial


Selain gerakan literasi kolonial, jenis gerakan literasi yang juga berkembang
di Batavia pada abad ke-19 adalah gerakan literasi komersial. Gerakan literasi ini
5
ditandai oleh tradisi penyalinan naskah Melayu untuk disewakan. Banyak naskah
disalin untuk disewakan (Chambert-Loir, 2014: 276). Di Batavia, naskah-naskah
sewaan yang paling menonjol berasal dari pertengahan abad ke-19 hingga awal abad
ke-20 yang berasal dari sebuah taman bacaan masyarakat di Pecenongan. Taman
bacaan ini dikelola oleh keluarga Fadli dengan salah seorang anggota keluarganya
yang paling terkenal karena sangat produktif menyalin naskah, yaitu Muhammad
Bakir (Chambert-Loir & Kramadibrata, 2014: 3—48). Penemuan atas naskah-naskah
sewaan yang berasal dari Pecenongan ini adalah sebuah fenomena dalam tradisi
penyalinan naskah Melayu di Batavia pada abad ke-19. Puluhan naskah yang disalin
oleh sebuah keluarga untuk disewakan di taman bacaan yang dikelola oleh keluarga
itu sendiri menandai hadirnya sebuah tempat di Batavia pada abad ke-19 yang
menjadi pusat penyalinan naskah komersial, yaitu Pecenongan. Tempat ini juga
sekaligus menandai adanya pusat literasi di Batavia pada abad ke-19.
Meskipun naskah-naskah Pecenongan dan taman bacaan yang terdapat di
wilayah tersebut adalah sebuah fenomena karena menunjukkan bahwa di Batavia
pada masa tersebut telah terjadi gerakan komersialisasi naskah, namun terdapat pula
pada naskah-naskah Melayu koleksi pribadi (Cohen Stuart). Dengan demikian, hal ini
memperlihatkan bahwa gerakan literasi komersial berkembang sangat luas di Batavia
pada abad ke-19. Bukti argumentasi ini adalah dari pembacaan kolofon-kolofon
naskah. Informasi yang terdapat pada kolofon memperlihatkan bahwa naskah-naskah
Melayu koleksi Cohen Stuart juga merupakan naskah-naskah sewaan yang berasal
dari Batavia yang disalin oleh masyarakat yang tinggal di kampung-kampung
Batavia. Naskah-naskah komersial ini bahkan muncul lebih dahulu daripada naskah-
naskah sewaan di Pecenongan. Hal ini diketahui berdasarkan penanggalan yang
terdapat dalam kolofon-kolofon naskah Melayu koleksi Cohen Stuart. Sebagian besar
naskah Melayu koleksi Cohen Stuart merupakan naskah sewaan yang disalin dalam
rentang 1849—1869 di kampung-kampung di Batavia. Kolofon-kolofon tersebut
selain berisi informasi mengenai nama pemilik dan penyalin naskah, tempat

6
penyalinan, dan waktu penyalinan, juga mengandung informasi mengenai adanya
kegiatan penyewaan naskah.
Naskah-naskah yang disalin untuk disewakan dalam koleksi naskah Melayu
Cohen Stuart merupakan naskah berjenis hikayat yang tergolong sebagai cerita
pelipur lara, cerita petualangan, dan cerita Islam. Hikayat dalam sastra Melayu klasik
merupakan cerita yang kaya unsur rekaan dan isinya berkisar dalam kehidupan istana.
Pemilihan jenis cerita ini tampaknya berkaitan dengan tujuan penyalinan naskah
untuk komersialisasi, yaitu menghasilkan bacaan yang bersifat hiburan.
Dalam gerakan literasi komersial ini, naskah-naskah dapat beredar dari satu
tangan ke tangan yang lain, dari satu kampung ke kampung yang lain. Seorang
pemilik menuliskan dalam kolofon naskahnya bahwa ia mendapatkan contoh naskah
untuk salinannya tersebut dari seseorang di kampung lain. Berikut ini adalah kutipan
yang memperlihatkan hal tersebut.

Wasahibul hikayat Habibaturahmah di Kampung Norbek Gangsa Terunci


blok ela 22 bagian muka dalam./ Saya kasi ber(i) tahu [dari] ini hikayat dapat
conto dari Kampung Petak Sembilan Tana Sari kepada Kapiten Bustoni (CS
137: i).

Tamat kalam kitab bernama Syeh Muhammad Saman yang/ meng’itikad


karangan Arif Sarif Alwi, ini saidul/ alamat Abi Bakar Bafakih, ini Arif dapat
ditu/runin bilangan Sukaraja, tetapi/ di dalam conto dibilang jangan minta’
sewa, melainkan ma’lumlah adanya (CS 124: i).

Gerakan peredaran naskah ini merupakan hal yang wajar dalam tradisi
penyalinan naskah yang ada di masyarakat, bahkan dalam kolofon dapat terkandung
lebih dari satu pernyataan kepemilikan yang ditulis oleh orang yang berbeda dilihat
dari bentuk tulisannya. Salah satu contohnya terdapat dalam naskah Hikayat Sahrul
Indra (CS 146A). Naskah tersebut dalam kolofonnya terkandung dua catatan
kepemilikan yang berbeda. Catatan yang pertama ditulis oleh orang yang sama
dengan yang menulis teks naskah dilihat dari bentuk tulisannya dan tinta yang
digunakan. Sementara itu, catatan yang kedua ditulis oleh orang yang berbeda dengan

7
orang yang menulis catatan yang pertama. Catatan kedua ini pun ditulis dengan alat
tulis yang berbeda, yaitu pensil. Berikut ini adalah kutipan kedua catatan tersebut,
Catatan pertama:
Alamat ini Hikayat Sahrul Indra yang empunya hamba, Pundil, yang ada
pada/ masa ini di dalam daera Kampung Bali Lama Perapatan (CS 146A: 252)

Catatan kedua:
Sebenar-benarnya yang punya ini hikayat, saya, Amir Hamzah Abdullah Bajo,
ajidan distrik kedua di Kampung Muka. Betawi, pada 1 Januari 1868 (CS
146A: 252).

Berdasarkan hal tersebut, dapat disimpulkan bahwa naskah ini telah berpindah
kepemilikan. Penyalin naskah ini adalah Pundil di Kampung Bali Lama Perapatan
sekaligus pemilik pertama naskah tersebut. Setelah itu, naskah berpindah tangan
menjadi milik Amir Hamzah Abdullah Bajo, seorang ajidan distrik kedua di
Kampung Muka berdasarkan catatan kedua pada kolofon tersebut. Bagaimana naskah
ini bisa berpindah kepemilikan, tidak diketahui. Kemungkinan Amir Hamzah telah
membeli naskah tersebut dari Pundil, salah satunya dengan maksud untuk contoh bagi
salinan naskahnya yang lain sebab ditemukan bahwa setahun kemudian Amir
Hamzah menyalin dan memiliki naskah berjudul sama, yaitu Hikayat Sahrul Indra
dengan kode naskah CS 146B bertahun 1869. Pada catatannya tersebut, Amir
Hamzah juga mengakhirinya dengan pembubuhan tanda tangan yang besar.
Pembubuhan tanda tangan ini dianggap sebagai cara penegasan kepemilikan naskah
yang telah berpindah tangan tersebut agar dapat dipahami oleh pembaca atau
penyewa naskahnya.
Adanya jual-beli naskah dalam gerakan literasi komersial juga ditemukan
dalam sebuah naskah Melayu koleksi Cohen Stuart lainnya. Naskah tersebut ditulis
oleh seseorang yang bernama Badarudin yang tinggal di Kampung Norbek Gang
Terunci. Badarudin menyalin naskah tersebut dengan maksud untuk dijual kepada
orang lain bernama Nambung. Berikut ini kutipan kolofon naskahnya,

8
Kepada 29 Juni tahun 1866. Saya Badarudin mengaku jual suatu hikayat
bernama Nakhoda Muda, jual kepada Bapa’ Nambung dengan uang kontan
adanya. [dan] Bertanda tangan di bawah ini, saya, Badarudin./
Bahwa inilah hikayat bernama Nakhoda Muda, yang empunya sekarang ini
bernama Nambung, anak dari Khusein Bagus Bahmana Kambal (di)
Kampung Pekojan, jua suda beli dari Baba Badarudin, anak dari Kapten Kme’
Kampung Norbek Gang Terunci di bilangan wijkmeester dam, kepada 29 Juni
tahun 1866 adanya (CS 128: 158).

Berdasarkan pembacaan kolofon-kolofon naskah Melayu koleksi Cohen


Stuart, nama Badarudin dan Nambung ditemukan pula pada naskah lainnya sebagai
pemilik naskah tersebut. Nama Badarudin lebih sering dijumpai tertulis dengan
Baharudin yang beralamat di Kampung Norbek. Nama Baharudin ditemukan dalam
dua naskah lainnya, yaitu Hikayat Berma Syahdan (CS 118) dan Hikayat Anbiya (CS
122). Baharudin tampaknya adalah seorang pemilik usaha penyewaan naskah
sebagaimana keterangan yang terdapat dalam syair sesudah kolofon naskah Hikayat
Indranata (naskah ini tersimpan di Leiden University Library dengan kode LOr
3170) yang disalin oleh salah seorang juru tulis Algemeene Secretarie bernama
Muhamad Sulaiman. Baharudin diketahui adalah pemesan naskah tersebut (Rukmi,
1997: 59). Selain itu, Baharudin juga menulis bersama-sama dengan para penulis
lainnya dalam membuat salinan naskah Hikayat Anbiya (CS 122) dengan
menyebutkan dalam kolofon naskahnya, “Ini hikayat ada empat orang yang empunya,
bekas tulisannya makanya jadi berlain-lainan” (CS 122: 137). Begitu pula, Nambung
diketahui memiliki naskah lainnya berjudul Hikayat Indranata dan Raja Jumjuma
(CS 131). Kedua penulis ini sama-sama bertempat tinggal di Kampung Norbek Gang
Terunci.
Adanya hubungan dan interaksi antar-penulis di Kampung Norbek Gang
Terunci mengindikasikan adanya suatu suatu gerakan literasi yang lebih dari sekadar
kegiatan penyalinan naskah, tetapi suatu kegiatan literasi yang melibatkan para
pribumi literat untuk saling berinteraksi dan bekerja sama. Selain itu, nama Kampung
Norbek Gang Terunci juga menambah nama tempat yang menandai kehadiran pusat
literasi di Kota Batavia pada abad ke-19 selain sebuah taman bacaan masyarakat yang
9
ditemukan di Kampung Pecenongan. Dalam koleksi naskah Cohen Stuart, setidaknya
ditemukan empat nama pemilik naskah yang bertempat tinggal di Kampung Norbek
Gang Terunci, yaitu Baharudin, Nambung, Abdul Bajlil, dan Habibaturahmah.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa dalam gerakan literasi
komersial, peredaran naskah dari tangan ke tangan adalah sesuatu yang wajar terjadi.
Sebuah naskah dapat berpindah dari satu pemilik ke pemilik yang lain yang
bertempat tinggal di kampung yang berbeda dalam rangka dijadikan contoh salinan
atau hal lain. Peredaran naskah dan perpindahan kepemilikan naskah ini dapat terjadi
melalui kegiatan jual-beli naskah antarmasyarakat di Batavia. Gerakan literasi
komersial ini menandai hadirnya pemaknaan terhadap tradisi penyalinan naskah
Melayu oleh orang-orang pribumi di Batavia. Literasi sebagai gerakan sosial
memiliki tujuan tertentu dan terkait erat dengan tujuan sosial dan gerakan budaya
secara umum (Barton, Hamilton, & Ivanic, 2000: 8). Dengan melihat tradisi
penyalinan naskah ini sebagai sebuah gerakan sosial, mengindikasikan adanya
motivasi tertentu yang melatari orang-orang pribumi di Batavia melakukan kegiatan
penyalinan naskah untuk tujuan komersial tersebut. Berikut ini adalah beberapa
gambaran motivasi yang melatari orang-orang pribumi di Batavia pada abad ke-19
melakukan kegiatan penyalinan naskah untuk tujuan komersial.

Motif Literasi: Ekonomi


Salah satu tujuan sosial yang hendak dicapai dalam gerakan literasi komersial
adalah peningkatan taraf hidup dengan memperoleh penghasilan dari usaha
penyewaan naskah. Orang-orang pribumi di Batavia pada abad ke-19 yang secara
sadar memiliki kemampuan membaca dan menulis Jawi nyaris serentak ikut serta
dalam suatu tren dari tradisi penyalinan naskah Melayu, yaitu menyalin naskah untuk
disewakan. Apakah usaha tersebut menjanjikan dari segi ekonomi? Tidak terlalu
mudah untuk mengetahui berapa keuntungan dari usaha penyewaan naskah ini bila
nilai mata uang pada masa itu dikonversikan ke dalam nilai rupiah di Indonesia pada
masa sekarang.
10
Sebuah naskah dalam sehari semalam disewakan dengan harga antara 10—15
sen. Beberapa para pemilik naskah, bahkan, juga menyebutkan denda yang harus
dibayar jika naskah tersebut hilang atau rusak dengan harga sekitar 15 perak. Hal ini
terlihat dalam beberapa kutipan kolofon berikut.

Kalau ada empunya kasian saya mi(n)ta akan dari sewanya satu malam
sepuluh sen. Ad a pun mana kala hilang, lima belas repes gantinya (CS 126:
1).

Dan lagi saya kasi ber(i) tahu/, jikalau kena minyak/, dia punya harga 15
perak/ tiada kurang satu 1 peer lagi (CS 157: 286).

Hamba berpesan kepada tuan-tuan atau baba-baba yang suka membaca ini
hikayat di dalam satu malam satu hari, dia punya sewa 15 sen; dan lagi jikalau
rusak atau hilang, harganya 15 rupiah perak. Baharudin Muhammad Imran
Yusuf (CS 118: 278).
Tarif sewa naskah ini tampaknya tidak berubah dalam 30-an tahun ke depan sebab
pada naskah yang disalin salah satu anggota keluarga Fadli bernama Muhammad
Bakir yang produktif menulis sejak 1884—1893 dan menyewakan naskahnya di
Pecenongan (Chambert-Loir & Kramadibrata, 2014: 3—23), ongkos sewa naskah
yang ditawarkannya juga sama dalam sehari semalam, yaitu 10 sen. Konsistensi harga
ini menandai hal lain dalam gerakan literasi komersial di Batavia pada abad ke-19
yang dapat dikaitkan dengan kondisi ekonomi dan nilai mata uang pada masa itu,
seperti tidak adanya inflasi terhadap nilai mata uang yang sedang berlaku; atau
sesungguhnya ketiadaan perubahan tarif sewa naskah selama puluhan tahun ini
adalah strategi demi menjaga pelanggan dalam usaha penyewaan naskah.
Sebagai gambaran, pada tahun 1854, nilai 1 perak = 100 sen. Jika demikian,
harga naskah 15 perak = 1.500 sen. Naskah disewakan per malam dengan harga 10—
15 sen, artinya ganti rugi atas kerusakan dan kehilangan naskah bisa 100—150 kali
lipat dari harga sewa naskah per malam. Sementara itu, perak sama dengan gulden.
Sebagai perbandingan, menurut daftar gaji pegawai Algemeene Secretarie di Batavia
dan Buitenzorg (sekarang Bogor) pada 1 Oktober 1837, seorang juru tulis bernama

11
Muhamad Sulaiman digaji sebesar 60 gulden (Rukmi, 1997: 54, 58). Jumlah itu sama
dengan 6.000 sen. Bila tidak terjadi inflasi, harga naskah pada tahun 1860-an yang
sebesar 1.500 sen dibandingkan dengan gaji juru tulis pada tahun 1830-an yang
sebesar 6.000 sen, harga naskah ini tergolong wajar. Akan tetapi, bila terjadi inflasi
selama kurun waktu 30 tahun itu, harga naskah tersebut dinilai cukup rendah. Di sisi
lain, para pemilik naskah setidaknya harus menyewakan naskahnya selama 600 hari
600 malam atau 2 tahun lebih untuk dapat menyamai gaji juru tulis tersebut, padahal
dalam kurun waktu 2 tahun, seorang penyalin naskah yang produktif dapat
menghasilkan beberapa naskah. Gambaran ini menunjukkan bahwa harga sewa
naskah sesungguhnya tidak terlalu besar bila dibandingkan dengan upaya keras yang
diperlukan oleh seseorang untuk melakukan penyalinan naskah. Berdasarkan
gambaran ini, usaha penyewaan naskah kemungkinan besar tidak terlalu menjanjikan
dari segi ekonomi.
Meskipun demikian, gerakan literasi komersial ini terus berlangsung dan
menjamur ke seluruh penjuru kampung di Batavia, bahkan hingga ke wilayah utara
dekat laut, seperti Kampung Ancol (ditemukan dalam kolofon naskah Hikayat Sahrul
Indra dengan kode CS 145 yang disalin oleh Kasim Serina) yang sebagian besar
penduduknya bekerja sebagai kuli angkut di pelabuhan. Hal ini memperlihatkan
bahwa literasi pada abad ke-19 telah merebak ke masyarakat di seantero Batavia.
Berdasarkan pembacaan kolofon-kolofon naskah Melayu koleksi Cohen Stuart,
ditemukan sebanyak 10 nama kampung di Batavia sebagai tempat penyalinan naskah
Melayu. Ke-10 nama kampung tersebut adalah Kampung Kramat Pulo; Kampung
Kemayoran, Gunung Sahari; Kampung Norbek dan Gang Terunci; Kampung
Kwitang; Kampung Bali Lama Perapatan; Kampung Muka; Kampung Ancol;
Kampung Pulo; Kampung Prapatan; dan Kampung Gang Batu. Dari ke-10 nama
kampung di Batavia tersebut, sebanyak 13 nama pemilik naskah beralamat di tempat-
tempat tersebut. Ke-13 nama pemilik naskah yang muncul dalam kolofon-kolofon
naskah Melayu koleksi Cohen Stuart adalah sebagai berikut: Encik Mahasim, Encik
Saimun, Abdul Bajlil, Baharudin, Encik Ramain, Nambung, Sarijo’ dan Jalil, Encik
12
Arsad, Habibaturahmah, Muhammad Cing Saidullah, Kasim Serina, Pundil, dan Amir
Hamzah Abdullah Bajo.
Sejumlah penulis dan pemilik naskah yang tersebar di berbagai penjuru
kampung di Batavia menunjukkan bahwa gerakan literasi komersial berlangsung
hampir di seluruh wilayah di Batavia pada pertengahan abad ke-19, khususnya tahun
1860-an. Hal ini juga sekaligus menandai bahwa pada periode 1860-an di Batavia
terjadi suatu tren penyalinan naskah untuk disewakan. Orang-orang pribumi telah
banyak yang melek-literasi. Mereka bahkan telah mampu memaknai literasi sebagai
sesuatu yang dapat bermanfaat bagi kehidupan sosial dan ekonomi mereka. Motif
ekonomi telah mendorong tumbuhnya budaya literat dalam masyarakat di Batavia
pada abad ke-19.
Mengenai bagaimana praktik penyewaan naskah ini berlangsung, tidak
banyak tergambar melalui kolofon. Para pemilik naskah hanya memberi petunjuk
tentang siapa saja orang-orang yang dapat menyewa naskahnya, yaitu “tuan-tuan”,
“nyonya-nyonya”, “baba-baba”, “encik-encik”, “buya-buya”, dan “sanak saudara”
yang berarti orang-orang Eropa dan Indo, orang-orang peranakan Tionghoa, dan
orang-orang pribumi. Kepemilikan atas satu atau dua naskah saja oleh seseorang
tampaknya belum bisa dikatakan bahwa orang tersebut membuka sebuah tempat
penyewaan naskah yang pada masa sekarang dapat digambarkan seperti sebuah
taman bacaan masyarakat. Chambert-Loir (2014: 27), mengatakan, “satu dua naskah
tidak dapat disebut ‘perpustakaan’, dan orang yang menyewakan satu dua naskah
tidak boleh dikatakan mengelola sebuah taman bacaan (‘lending library’)”. Mereka
mencari uang dengan menyewakan naskah yang mereka salin sendiri memang benar,
tetapi apakah orang-orang ini menawarkan naskahnya di rumahnya dengan membuka
usaha penyewaan naskah ataukah ada satu tempat di pusat kota Batavia yang
berfungsi seperti taman bacaan masyarakat yang dapat menampung naskah-naskah
sewaan, hal itu masih memerlukan penyelidikan. Akan tetapi, bila menelusuri sejarah
naskah Melayu Cohen Stuart, yang notabene merupakan naskah-naskah sewaan yang
berasal dari berbagai kampung di Batavia pada periode waktu yang sama, hal ini
13
mengindikasikan bahwa adanya satu tempat usaha penyewaan naskah yang terpusat
lebih berterima. Situasi ini diperkuat oleh pendapat Iskandar yang dinyatakan dalam
Putten bahwa “in Batavia these rental enterprises were spread in quite a number of
quarters in and around the old city centre” (2017: 182). Mengambil contoh koleksi
Cohen Stuart, bila naskah-naskah sewaan itu ditawarkan di rumah pemiliknya
masing-masing, tentu membutuhkan upaya lebih untuk dapat mengumpulkan naskah-
naskah tersebut hingga akhirnya terkumpul sebagai koleksi Cohen Stuart. Meskipun
demikian, tidak menutup kemungkinan lain bahwa para pemilik naskah itu menjual
naskah mereka langsung kepada Cohen Stuart atau ada makelar naskah yang
bertindak sebagai pengumpul naskah lalu menjualnya kepada Cohen Stuart.

Motif Literasi: Ekspresi Diri dan Identitas


Baharudin, Encik Muhasim, Amir Hamzah Abdullah Bajo, Kasim Serina, dan
sejumlah nama pemilik naskah lainnya yang ditemukan dalam kolofon-kolofon
naskah Melayu koleksi Cohen Stuart adalah orang-orang pribumi yang bermukim di
Batavia yang berasal dari berbagai lapisan masyarakat. Di antara mereka ada yang
memiliki kedudukan dalam birokrasi di masyarakat Batavia; ada pula yang berasal
dari masyarakat biasa. Dua orang pemilik naskah diketahui merupakan seorang ajidan
atau ajudan, yakni kepala kampung atau onderdistrict di Batavia berdasarkan
penyebutan yang dilakukan olehnya. Berikut ini adalah kutipannya.

Ini hikayat yang empunya Ajidan Muhammad Imran Yusuf tinggal di


Kampung Norbek di Betawi (CS 118: 278).

Ini hikayat sebenar-benarnya yang empunya, saya, Amir Hamzah Abdullah


Bajo, ajidan distrik yang kedua di Kampung Muka Jembatan (CS 146B: 390).

Seorang penyalin naskah bahkan menyebutkan nama ayahnya sehingga diketahui dari
pernyataannya itu bahwa ia berasal dari masyarakat kelas sosial atau etnis tertentu.

14
…Baba Badarudin anak dari Kapten Kme’ Kampung Norbek Gang Terunci di
bilangan wijkmeester dam kepada 29 Juni tahun 1866 adanya (CS 128: 158).

Kapten atau kapiten adalah sebutan bagi kepala kelompok etnis masyarakat di
Batavia, khususnya Tionghoa. Kapiten Tionghoa diangkat langsung oleh pemerintah
Belanda dan bertugas mengurusi berbagai masalah yang terjadi di kalangan orang
Tionghoa (Siswantari, 2000: 9). Kutipan di atas mendasari kesimpulan bahwa
Badarudin atau Baharudin, salah seorang pemilik naskah dari Kampung Norbek yang
cukup terkenal itu yang juga sudah disebutkan dalam pembahasan sebelumnya,
adalah seorang (peranakan) Tionghoa. Ayahnya adalah orang Tionghoa yang
berkedudukan sebagai kapten. Perkiraan ini diperkuat oleh Badarudin sendiri yang
menyebut dirinya dengan “Baba Badarudin” sebagai sapaan untuk laki-laki Tionghoa.
Badarudin atau Baharudin ini diketahui pula adalah seorang ajidan. Ajidan
Muhammad Imran Yusuf yang dimaksud pada kutipan sebelumnya tidak lain adalah
Baharudin atau Badarudin dari Kampung Norbek yang memiliki nama lengkap
Baharudin Muhammad Imran Yusuf, nama lengkap ini ditulisnya kemudian pada
akhir kolofon naskah tersebut. Kemungkinan ia adalah seorang muslim peranakan
karena namanya yang keislaman.
Beberapa petunjuk seperti ini sering kali berguna bagi pembaca modern untuk
mengetahui identitas para pemilik atau penyalin naskah. Kebiasaan mereka
menuliskan detail terkait diri mereka dapat dimanfaatkan, salah satunya oleh
Chambert-Loir untuk mengetahui biografi Muhammad Bakir (Chambert-Loir &
Kramadibrata, 2014: 12—15). Dari hal ini dapat diketahui pula status sosial para
pemilik naskah sebagaimana kutipan kolofon berikut yang ditulis oleh
Habibaturahmah yang bertempat tinggal di Kampung Norbek Gang Terunci.

…sebabnya yang memunyai hikayat ini orang miskin, hanif, dan tiada bapa
dan tiada ama. Demikian inilah harapannya/ jua adanya./ Habis ditulis kepada
bulan Mei tahun 1867 (CS 137: i).

15
Di antara para pemilik naskah komersial dalam koleksi naskah Melayu Cohen Stuart,
ada pula yang tampaknya berasal dari masyarakat biasa yang “baru belajar menulis”,
seperti Encik Muhasim (CS 74 dan CS 157) dan Encik Saimun (CS 106). Berbagai
informasi mengenai identitas para pemilik naskah dapat tergambar melalui
pernyataan mereka tentang diri mereka sendiri yang dituliskan dalam kolofon.
Dalam aktivitas penyalinan naskah untuk tujuan komersial ini, para pemilik
naskah tersebut menemukan bahwa mereka dapat memanfaatkan ruang berupa
halaman kertas yang mereka sisakan usai menyalin teks naskah untuk menuliskan
keterangan, baik tentang diri mereka sendiri sebagai penyalin dan pemilik naskah
maupun tentang naskah tersebut. Di antara itu, mereka dapat memberi detail ekspresi
diri yang bisa dijadikan petunjuk untuk mengetahui status sosial atau keluarga para
pemilik naskah. Mereka juga dapat mengekspresikan perasaan mereka terhadap
pentingnya naskah tersebut bagi mereka melalui pesan dan peringatan kepada
pembaca saat menawarkan atau menginformasikan naskah sewaan tersebut.
Pembubuhan tanda tangan usai menuliskan catatan juga kerap dilakukan oleh
beberapa pemilik naskah. Selain untuk menegaskan kepemilikan, pembubuhan tanda
tangan ini juga dapat menandai identitas dan ekspresi diri seseorang.
Pada periode ini ditemukan bahwa orang-orang yang melek-literasi di Batavia
telah dapat memaknai literasi sebagai sarana untuk ekspresi diri dan identitas. Sarana
ekspresi diri dan identitas ini menjadi salah satu motivasi lainnya dalam kegiatan
penyalinan naskah untuk tujuan komersial. Mereka yang mungkin tadinya tidak
menulis meskipun bisa membaca dan menulis Jawi akhirnya turut serta dalam
kegiatan penyalinan naskah terdorong oleh setidaknya dua alasan, yaitu ekonomi
seperti yang sudah dijelaskan dan alasan personal bahwa menyalin dan memiliki
naskah dapat meningkatkan esksistensi diri mereka. Hal ini pula yang dapat
menjelaskan mengapa gerakan literasi komersial terus hidup sepanjang abad ke-19
jika memang usaha penyewaan naskah sesungguhnya tidak terlalu menguntungkan
dan perkembangan dunia literasi modern berbahasa Melayu dengan aksara Latin telah
mulai merebak sejak pertengahan abad ke-19 (Salmon, 2010: 14—15). Gerakan
16
literasi komersial yang diwujudkan dalam kegiatan penyalinan naskah Melayu untuk
disewakan ternyata dapat memberi kepuasan bagi para pelakunya. Literasi telah
menjadi bagian hidup para literat abad ke-19 ini.

Naskah sebagai Artefak Literasi


Dari pemaknaan masyarakat di Batavia pada abad ke-19 terhadap literasi
menghasilkan produk berupa naskah sebagai artefak literasi (Pahl, 2014). Hal ini
memperlihatkan bahwa nskah Melayu telah menjadi komoditas. Oleh karena itu,
naskah dinilai penting dan sangat berharga bagi para pemiliknya. Pentingnya naskah
bagi kehidupan orang-orang ini ditunjukkan dengan berbagai ekspresi pernyataan,
mulai dari kepemilikan hingga pesan dan peringatan yang panjang bagi para pembaca
untuk memelihara naskah tersebut. Naskah tidak hanya bernilai ekonomi, tetapi juga
bermakna budaya sebagai bagian dari identitas masyarakat di Batavia pada abad ke-
19.
Seperti telah menjadi kebiasaan atau bahkan kewajiban para pemilik naskah
komersial, pembaca modern pada masa sekarang menemukan bahwa kolofon naskah-
naskah komersial ini tersusun atas informasi yang berpola. Secara stereotip, informasi
yang dikemukakan terdiri dari nama pemilik dan alamatnya, pesan dan peringatan
kepada pembaca untuk memelihara dengan baik naskah tersebut, harga sewa dan
denda jika naskah rusak atau hilang, serta waktu selesainya penyalinan naskah.
Berikut ini adalah gambaran pola stereotip yang ditemukan dalam kolofon naskah-
naskah komersial yang berasal dari koleksi Cohen Stuart.

Ini hikayat sebenar-benarnya yang empunya saya Amir pernyataan


Hamzah Abdullah Bajo ajidan distrik yang kedua di kepemilikan
Kampung Muka Jembatan … mudah-mudahan barang
disampaikan Allah Subhanahu Wata’ali apala jua
kiranya kepada sanak saudara tua dan yang muda yang
suka membaca ini hikayat maka adala saya hendak
berpesan kepada sekalian sanak saudara jikalau suka
jangan terlalu dekat-dekat pelita dan lagi jangan terlalu pesan dan peringatan
makan sirih dan lagi jangan terlalu bercanda-canda di kepada pembaca
hadapan ini hikayat supaya jangan sampai ketumpaan
minyak dan lagi siapa suka baca ini hikayat saya minta 17
sewanya satu hari satu malam sepuluh sen jua adanya. harga sewa naskah
Betawi dan 1 Januari 1869. (CS 146B [Hikayat Sahrul
Indra]: 390)
tahun
Bahwa ini surat Hikayat Dewa Mandu yang empunya pernyataan
Enci’ Arsad yang tersanter di dalam daera Kampung kepemilikan
Perapatan adanya syahdan maka oleh saya memberi
akan tahu sekalian sanak saudara yang suka membaca
hikayat saya harap jangan kerja [kotor] dan jikalau pesan dan peringatan
suda habis tuan baca saya harap dipulangkan kepada kepada pembaca
yang empunya dan saya minta dengan suka-sukanya
dengan hati yang puti bersi yang tiada nodanya seperti
sekalian puti dan yang tiada nodanya dan sewa satu harga sewa naskah
malam 10 sen. Tahun 1869. ARSAD. (CS 136 [Hikayat dan tahun
Dewa Mandu]: 107)
Meskipun tidak seluruh naskah komersial dalam koleksi Cohen Stuart berpola
demikian, namun setidaknya ditemukan beberapa unsur yang sama dalam setiap
kolofon naskah. Kesamaan pola ini menandai adanya suatu kebiasaan dalam tradisi
penyalinan naskah untuk tujuan komersial yang dilakukan masyarakat di Batavia
pada abad ke-19. Kebiasaan ini membentuk stereotip di masyarakat Batavia dalam
membuat kolofon naskah komersial mereka. Stereotip ini mengindikasikan adanya
suatu konvensi atau kesepakatan di antara para penyalin naskah dalam membuat
catatan pada naskah sewaan. Mereka tidak menginginkan naskah mereka hilang
sehingga mereka menuliskan nama diri dan nama kampung tempat tinggal mereka.
Mereka tidak menginginkan naskah mereka kotor atau rusak sehingga menulis pesan
dan peringatan yang jelas dan spesifik kepada para pembaca untuk memelihara
dengan baik naskah mereka. Mereka juga tidak lupa mencantumkan harga sewa
naskah mereka dan terkadang denda yang harus dibayar jika naskah tersebut rusak
atau hilang. Seluruh pernyataan tersebut sebagaimana yang dijumpai dalam kolofon-
kolofon naskah Melayu koleksi Cohen Stuart ini menunjukkan bahwa gerakan literasi
komersial yang menghasilkan naskah-naskah yang bernilai jual membuat naskah
menjadi suatu benda yang sangat penting dan berharga bagi para pemiliknya.
18
Kesimpulan
Literasi sebagai praktik sosial telah menjadi budaya dalam masyarakat di
Batavia pada abad ke-19. Hal ini terlihat melalui kegiatan penyalinan naskah Melayu
untuk tujuan komersial. Melalui penyalinan naskah untuk tujuan literasi komersial
ini, terlihat bahwa masyarakat pribumi di Batavia pada abad ke-19 yang telah mampu
membaca dan menulis. Selain itu, mereka juga dapat memanfaatkan kemampuan
tersebut untuk menyalin naskah dengan tujuan disewakan. Hal ini memperlihatkan
masyarakat di Batavia pada masa itu telah memiliki kemampuan finansial, yaitu
kesadaran untuk memanfaatkan kemampuan menyalin naskah yang mereka miliki
untuk meningkatkan taraf hidup mereka.
Selain hal di atas, gerakan literasi komersial ini juga dapat dijadikan sarana
ekspresi diri dan identitas bagi para pemilik naskah yang sebelumnya bukan menjadi
tradisi penulisan dan penyalinan naskah Melayu. Masyarakat di Batavia pada masa
itu menjadi sadar akan pentingnya menuliskan identitas mereka pada naskah yang
mereka salin dengan dua tujuan. Pertama sebagai bentuk ekspresi diri. Kedua sebagai
bentuk ekspresi budaya, dalam hal ini budaya Betawi sebagai tempat tinggal para
penyalin naskah.
Pemaknaan terhadap literasi bagi penyalin naskah Melayu di Batavia pada
abad ke-19 memperlihatkan bahwa literasi telah mengakar sejak abad silam. Isu
literasi yang tengah digemakan pada abad ke-21 ini sesungguhnya sudah dilakukan
oleh masyarakat sejak zaman dahulu. Akan tetapi, saat ini kemampuan literasi
masyarakat Indonesia ada pada posisi terendah dibandingkan kemampuan literasi
negara-negara lain. Oleh karena itu, diperlukan upaya untuk meningkatkan posisi
literasi tersebut dengan cara melihat dan memahami gerakan literasi yang dilakukan
masyarakat di Batavia pada abad ke-19. Upaya ini tentunya dapat membantu berbagai
pihak dalam menentukan arah bagi gerakan literasi di Indonesia pada masa kini dan
masa yang akan datang.

19
Daftar Pustaka
Barton, D., Hamilton, M., & Ivanic, R. (2000). Situated literacies: Reading and
writing in context. London ; New York: Routledge.

Behrend, T.E. (Ed.). (1998). Katalog induk naskah-naskah Nusantara jilid 4:


Perpustakaan Nasional Republik Indonesia. Jakarta: Yaysan Obor Indonesia;
Ecole Francaise d'Extreme Orient.

Chambert-Loir, H. & Kramadibrata, D. (Ed.). (2014). Katalog naskah Pecenongan


koleksi Perpustakaan Nasional sastra Betawi akhir abad ke-19 (2 ed.).
Jakarta: Perpustakaan Nasional Republik Indonesia.

Chambert-Loir, H. (2014). Iskandar Zulkarnain, Dewa Mendu, Muhammad Bakir


dan kawan-kawan: Lima belas karangan tentang sastra Indonesia lama.
Jakarta: KPG ; Ecole francaise d'Extreme-Orient.

Dewayani, S. & Retnaningdyah, P. (2017). Suara dari marjin: Literasi sebagai


gerakan sosial. Jakarta: Remaja Rosdakarya.

Iskandar, T. (1981). Some manuscripts formerly belonging to Jakarta lending


libraries. In N. Phillips & K. Anwar (Ed.). Papers on Indonesian languages
and literatures (pp. 145—152). London: Indonesia Etymological Project
SOAS.

Kern, R. (2000). Literacy and Language Teaching. Oxford: Oxford University Press.

Pahl, K. (2014). Materializing literacies in communities: The uses of literacy


revisited. New York: Bloomsbury.

Putten, J. v. (2017). On the edge of a tradition: Some prolegomena to paratext in


Malay rental manuscripts. Indonesia and The Malay World, 45 (132), 179-
199.

Rukmi, M. I. (1997). Penyalinan naskah Melayu di Jakarta pada abad XIX: Naskah
Algemeene Secretarie kajian dari segi kodikologi. [Depok]: Fakultas Sastra,
Universitas Indonesia.

Salmon, C. (2010). Sastra Indonesia awal: Kontribusi orang Tionghoa. Jakarta:


KPG; Ecole francaise d'Extreme-Orient.

20
Siswantari. (2000). Bekmeester di Betawi (1800-1900) sebuah studi tentang posisi &
peran wijkmeester di Batavia pada masa kolonial Belanda. Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan, Universitas Indonesia, Lembaga Penelitian.

Bionote

Siti Deviyanti merupakan pustakawan di Perpustakaan Nasional Republik Indonesia.


Ia lahir di Kuningan, 3 Oktober 1985. Setelah lulus SMA di Bogor, ia melanjutkan
pendidikan pada Program Studi Indonesia Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya
Universitas Indonesia pada 2003—2007. Ia mendapatkan beasiswa dari Kementrian
Pendidikan dan Kebudayaan untuk melanjutkan studi master pada bidang Filologi di
Universitas Indonesia pada tahun 2016. Saat ini ia sedang menyelesaikan tesis
berjudul tentangKoleksi Naskah Melayu A.B. Cohen Stuart Di Perpustakaan Nasional
Ri: Kajian Kolofon Naskah.

Priscila Fitriasih Limbong merupakan pengajar bidang filologi pada Program Studi
Indonesia Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia sejak tahun
1996. Penelitian-penelitian yang dilakukannya secara konsisten membahas naskah-
naskah klasik nusantara dengan fokus kajian filologi dan kajian interdisipliner terkait
naskah-naskah klasik Melayu. Publikasi yang telah dihasilkan antara lain, Konsep
Sufisme pada Naskah Fath Al Rahman, Katalog Naskah Kalimantan, Kebudayaan
Materi: Hubungannya dengan Penyalinan Naskah Klasik di Nusantara, dan The
Relations between Structure and Power in Nineteenth Century of Undang-Undang
Ternate.

21

Anda mungkin juga menyukai