Aprish Devi
Aprish Devi
ABSTRAK
Kemampuan literasi merupakan salah satu kunci utama menuju perbaikan taraf
kesejahteraan dan kehidupan. Akan tetapi, berdasarkan data statisitk dari UNESCO
(2017) Indonesia menempati posisi ke-60 dari 61 negara dengan tingkat literasi
terendah. Hal ini menjadi fakta yang ironis mengingat gerakan literasi di Nusantara
telah dimulai sejak berabad-abad silam ketika bacaan di masyarakat masih berupa
naskah-naskah yang ditulis dengan tangan dalam berbagai bahasa dan aksara.
Refleksi terhadap kemampuan literasi bangsa pada masa lalu sebagai langkah untuk
menyusun rencana kegiatan meningkatkan literasi masa depan bangsa perlu
dilakukan. Berkaitan dengan itu, artikel ini akan membahas gerakan literasi di
Batavia pada abad ke-19 melalui tradisi penyalinan naskah Melayu yang dilakukan
oleh masyarakat Batavia. Naskah yang akan dijadikan acuan untuk mengungkapkan
hal tersebut adalah naskah-naskah Melayu koleksi A.B. Cohen Stuart yang tersimpan
di Perpustakaan Nasional Republik Indonesia. Penelitian ini menggunakan
pendekatan kodikologi dalam membahas aspek literasi yang terdapat dalam kolofon
naskah-naskah tersebut. Hasil penelitian memperlihatkan bahwa gerakan literasi pada
masyarakat Batavia pada abad ke-19 terlihat pada kegiatan penyalinan dan
penyewaan naskah. Literasi bagi masyarakat di Batavia pada abad ke-19 berperan
sebagai peluang untuk dapat meningkatkan taraf hidup dengan memperoleh
penghasilan dari kegiatan penyewaan naskah. Literasi juga dimaknai oleh mereka
sebagai sarana untuk mengekspresikan diri dan identitas penyalin dan pemilik naskah.
Pendahuluan
Gerakan literasi pada saat ini tidak hanya diartikan sebagai gerakan untuk
meningkatkan kemampuan membaca dan menulis. Akan tetapi, gerakan literasi
adalah suatu gerakan sosial, historis, dan kultural dalam menciptakan dan
1
menginterpretasikan makna melalui teks (Kern, 2000: 16). Kajian yang memandang
literasi sebagai gerakan sosial termasuk dalam bidang kajian baru yang disebut New
Literacy Studies. Salah satu konsep yang digunakan adalah literacy practices atau
gerakan literasi (Dewayani & Retnaningdyah, 2017: 10). Gerakan literasi tidak hanya
mencakup peristiwa yang menghadirkan tulisan atau teks sebagai bagian dari
interaksi para pelakunya, tetapi juga nilai-nilai dan perilaku dari orang-orang yang
terlibat dalam gerakan literasi tersebut. Ada beberapa konsep yang dapat diterapkan
untuk memahami literasi sebagai gerakan sosial (Barton, Hamilton, & Ivanic, 2000: 7
—8). Dengan mengkaji literasi sebagai gerakan sosial dapat terlihat bagaimana
aktivitas literasi berperan dalam sebuah situasi sosial (Dewayani & Retnaningdyah,
2017: 12).
Di Indonesia, secara historis, gerakan literasi terlihat pada kegiatan penyalinan
naskah-naskah klasik di Nusantara. Naskah klasik adalah naskah hasil tulisan tangan
dalam berbagai bahasa dan aksara daerah. Setelah Islam masuk ke Nusantara naskah-
naskah klasik juga ditulis dengan aksara jawi (aksara Arab bahasa Melayu). Naskah-
naskah ini kemudian disebut sebagai naskah Melayu dan memengaruhi gerakan
literasi dalam berbagai bidang kehidupan masyarakat.
Artikel ini akan membahas gerakan literasi melalui Tradisi penyalinan naskah
Melayu di Batavia. Gerakan literasi ini ditandai dengan dua jenis gerakan literasi
yang menonjol, yaitu penyalinan naskah yang dilakukan untuk tujuan kolonial dan
penyalinan naskah yang dilakukan untuk tujuan komersial. Naskah yang akan
dijadikan acuan untuk mengungkapkan gerakan literasi tersebut adalah naskah-
naskah Melayu koleksi A.B. Cohen Stuart yang tersimpan pada Perpustakaan
Nasional Republik Indonesia.
Untuk mengungkap gerakan literasi di Batavia pada abad ke-19, kolofon-
kolofon naskah Melayu koleksi A.B. Cohen Stuart digunakan sebagai objek
penelitian. Kolofon adalah catatan tambahan di luar teks naskah yang berisi informasi
mengenai penyalinan naskah, seperti nama penyalin dan pemilik naskah, tempat
penyalinan, waktu penyalinan, dan informasi lainnya. Kolofon biasanya terdapat pada
2
akhir naskah meskipun kolofon juga dapat terletak pada awal naskah. Kolofon dalam
naskah-naskah Melayu koleksi Cohen Stuart ditemukan dalam 22 naskah yang
dikoleksi oleh sarjana Belanda yang tersimpan di Perpustakaan Nasional RI
(Behrend, 1998). Kolofon-kolofon yang terdapat dalam 22 naskah Melayu koleksi
Cohen Stuart ini kemudian ditransliterasi dari teks aslinya yang beraksara Jawi ke
dalam aksara Latin. Kolofon-kolofon tersebut kemudian digunakan untuk
menggambarkan gerakan literasi di Batavia pada abad ke-19. Kolofon-kolofon
tersebut digunakan sebagai objek analisis karena kolofon mengandung data, antara
lain tentang motif-motif penyalinan naskah Melayu di Batavia.
Di dalam kolofon-kolofon naskah Melayu koleksi Cohen Stuart secara umum
terlihat bahwa masyarakat Batavia pada abad ke-19 telah dapat memaknai literasi
sebagai bagian dari gerakan sosial mereka. Gerakan literasi masyarakat Batavia pada
abad ke-19 memiliki tujuan sosial dan budaya tertentu yang tergambar lewat kegiatan
komersialisasi naskah. Sejumlah naskah Melayu disalin oleh penduduk asli Nusantara
(orang-orang pribumi) yang memiliki kemampuan membaca dan menulis Jawi
dengan tujuan untuk disewakan. Gerakan literasi komersial ini mengandung dua
motif, yaitu motif ekonomi dan motif mengekspresikan diri. Motif ekonomi terlihat
pada kegiatan penyalinan naskah yang bertujuan untuk disewakan. Motif ini
memberi peluang bagi masyarakat untuk meningkatan taraf hidup dengan cara
mendapatkan penghasilan dari usaha penyewaan naskah. Motif ekspresi diri
merupakan motif budaya yang sebelumnya tidak terlihat pada penulisan naskah-
naskah Melayu di Nusantara. Tradisi penulisan dan penyalinan naskah Melayu pada
umumnya tidak menuliskan identitas penulis atau penyalin naskah. Akan tetapi, pada
naskah-naskah koleksi Cohen Stuart ini terlihat adanya kesadaran penulis atau
penyalin untuk mengekspresikan diri dan identitasnya melalui kolofon naskah.
3
Gerakan literasi di Batavia pada abad ke-19 salah satunya ditandai dengan
adanya tradisi penyalinan naskah Melayu. Naskah-naskah ini mengandung beraneka
macam informasi. Ada naskah yang berisi cerita pelipur lara, cerita kepercayaan,
cerita yang berkaitan dengan sejarah dan keagamaan, ajaran-ajaran Islam,
pengetahuan mengenai obat-obatan, astrologi, dan lain-lain. Naskah-naskah ini
diproduksi dengan cara disalin dari naskah-naskah yang telah ada sebelumnya.
Tujuan penyalinan naskah tersebut sangat beragam, antara lain penyalinan naskah
untuk tujuan kolonial dan penyalinan naskah untuk tujuan komersial. Di bawah ini
akan dijelaskan tujuan penyalinan naskah sebagai bentuk gerakan literasi.
4
Gerakan literasi yang dibentuk oleh institusi kolonial ini mengimplikasikan
adanya literasi yang dianggap lebih dominan dan berpengaruh dibandingkan literasi
yang lain (Barton, Hamilton, & Ivanic, 2000: 8). Sebagai contoh, Sejarah Melayu
disalin beberapa kali oleh juru tulis Algemeene Secretarie karena karya tersebut
merupakan sumber yang kaya untuk menggali pengetahuan tentang kebudayaan salah
satu masyarakat Indonesia, yaitu Melayu (Rukmi, 1993: 28—29).
Dalam gerakan literasi ini, Algemeene Secretarie mempekerjakan sejumlah
orang yang berasal dari masyarakat Batavia untuk melakukan penyalinan naskah.
Mereka bekerja sebagai juru tulis profesional yang diupah puluhan gulden oleh pihak
pemerintah Belanda. Sejumlah nama juru tulis itu diketahui berdasarkan kolofon
maupun catatan pada awal naskah. Mereka biasa menuliskan nama mereka sesudah
menyebutkan judul naskah kemudian diakhiri dengan penyebutan tempat penyalinan.
Tempat penyalinan yang disebutkan dapat tertulis “di dalam Kantor Sekretari”; ada
pula yang disalin di Kampung Kerukut (Rukmi, 1993: 29—54).
Para juru tulis yang bekerja di Algemeene Secretarie adalah orang-orang
Batavia yang berpendidikan dan berkeahlian sebagai penyalin (Rukmi, 1993: 54—
61). Beberapa di antara mereka ada yang berprofesi selain sebagai juru tulis.
Muhammad Cing Saidullah misalnya, penyalin naskah Hikayat Puteri Johar
Manikam (LOr 315), Hikayat Bispu Wiraja (LOr 1401), dan Syair Bidasari (LOr
1942) adalah seorang letnan yang mengepalai penduduk di Batavia. Pada 1820—
1827, ia bertugas sebagai komandan di Jawa Barat. Begitu pula, Muhammad
Sulaiman penyalin naskah Hikayat Kalilah dan Daminah (LOr 1757) dan Hikayat
Indranata (LOr 3170) yang digambarkan sebagai orang yang pandai dan cekatan
diketahui adalah guru Roorda van Eysinga, seorang Belanda yang terkenal karena
perlawanannya atas perlakuan terhadap buruh Pribumi oleh pemerintah Belanda.
6
penyalinan, dan waktu penyalinan, juga mengandung informasi mengenai adanya
kegiatan penyewaan naskah.
Naskah-naskah yang disalin untuk disewakan dalam koleksi naskah Melayu
Cohen Stuart merupakan naskah berjenis hikayat yang tergolong sebagai cerita
pelipur lara, cerita petualangan, dan cerita Islam. Hikayat dalam sastra Melayu klasik
merupakan cerita yang kaya unsur rekaan dan isinya berkisar dalam kehidupan istana.
Pemilihan jenis cerita ini tampaknya berkaitan dengan tujuan penyalinan naskah
untuk komersialisasi, yaitu menghasilkan bacaan yang bersifat hiburan.
Dalam gerakan literasi komersial ini, naskah-naskah dapat beredar dari satu
tangan ke tangan yang lain, dari satu kampung ke kampung yang lain. Seorang
pemilik menuliskan dalam kolofon naskahnya bahwa ia mendapatkan contoh naskah
untuk salinannya tersebut dari seseorang di kampung lain. Berikut ini adalah kutipan
yang memperlihatkan hal tersebut.
Gerakan peredaran naskah ini merupakan hal yang wajar dalam tradisi
penyalinan naskah yang ada di masyarakat, bahkan dalam kolofon dapat terkandung
lebih dari satu pernyataan kepemilikan yang ditulis oleh orang yang berbeda dilihat
dari bentuk tulisannya. Salah satu contohnya terdapat dalam naskah Hikayat Sahrul
Indra (CS 146A). Naskah tersebut dalam kolofonnya terkandung dua catatan
kepemilikan yang berbeda. Catatan yang pertama ditulis oleh orang yang sama
dengan yang menulis teks naskah dilihat dari bentuk tulisannya dan tinta yang
digunakan. Sementara itu, catatan yang kedua ditulis oleh orang yang berbeda dengan
7
orang yang menulis catatan yang pertama. Catatan kedua ini pun ditulis dengan alat
tulis yang berbeda, yaitu pensil. Berikut ini adalah kutipan kedua catatan tersebut,
Catatan pertama:
Alamat ini Hikayat Sahrul Indra yang empunya hamba, Pundil, yang ada
pada/ masa ini di dalam daera Kampung Bali Lama Perapatan (CS 146A: 252)
Catatan kedua:
Sebenar-benarnya yang punya ini hikayat, saya, Amir Hamzah Abdullah Bajo,
ajidan distrik kedua di Kampung Muka. Betawi, pada 1 Januari 1868 (CS
146A: 252).
Berdasarkan hal tersebut, dapat disimpulkan bahwa naskah ini telah berpindah
kepemilikan. Penyalin naskah ini adalah Pundil di Kampung Bali Lama Perapatan
sekaligus pemilik pertama naskah tersebut. Setelah itu, naskah berpindah tangan
menjadi milik Amir Hamzah Abdullah Bajo, seorang ajidan distrik kedua di
Kampung Muka berdasarkan catatan kedua pada kolofon tersebut. Bagaimana naskah
ini bisa berpindah kepemilikan, tidak diketahui. Kemungkinan Amir Hamzah telah
membeli naskah tersebut dari Pundil, salah satunya dengan maksud untuk contoh bagi
salinan naskahnya yang lain sebab ditemukan bahwa setahun kemudian Amir
Hamzah menyalin dan memiliki naskah berjudul sama, yaitu Hikayat Sahrul Indra
dengan kode naskah CS 146B bertahun 1869. Pada catatannya tersebut, Amir
Hamzah juga mengakhirinya dengan pembubuhan tanda tangan yang besar.
Pembubuhan tanda tangan ini dianggap sebagai cara penegasan kepemilikan naskah
yang telah berpindah tangan tersebut agar dapat dipahami oleh pembaca atau
penyewa naskahnya.
Adanya jual-beli naskah dalam gerakan literasi komersial juga ditemukan
dalam sebuah naskah Melayu koleksi Cohen Stuart lainnya. Naskah tersebut ditulis
oleh seseorang yang bernama Badarudin yang tinggal di Kampung Norbek Gang
Terunci. Badarudin menyalin naskah tersebut dengan maksud untuk dijual kepada
orang lain bernama Nambung. Berikut ini kutipan kolofon naskahnya,
8
Kepada 29 Juni tahun 1866. Saya Badarudin mengaku jual suatu hikayat
bernama Nakhoda Muda, jual kepada Bapa’ Nambung dengan uang kontan
adanya. [dan] Bertanda tangan di bawah ini, saya, Badarudin./
Bahwa inilah hikayat bernama Nakhoda Muda, yang empunya sekarang ini
bernama Nambung, anak dari Khusein Bagus Bahmana Kambal (di)
Kampung Pekojan, jua suda beli dari Baba Badarudin, anak dari Kapten Kme’
Kampung Norbek Gang Terunci di bilangan wijkmeester dam, kepada 29 Juni
tahun 1866 adanya (CS 128: 158).
Kalau ada empunya kasian saya mi(n)ta akan dari sewanya satu malam
sepuluh sen. Ad a pun mana kala hilang, lima belas repes gantinya (CS 126:
1).
Dan lagi saya kasi ber(i) tahu/, jikalau kena minyak/, dia punya harga 15
perak/ tiada kurang satu 1 peer lagi (CS 157: 286).
Hamba berpesan kepada tuan-tuan atau baba-baba yang suka membaca ini
hikayat di dalam satu malam satu hari, dia punya sewa 15 sen; dan lagi jikalau
rusak atau hilang, harganya 15 rupiah perak. Baharudin Muhammad Imran
Yusuf (CS 118: 278).
Tarif sewa naskah ini tampaknya tidak berubah dalam 30-an tahun ke depan sebab
pada naskah yang disalin salah satu anggota keluarga Fadli bernama Muhammad
Bakir yang produktif menulis sejak 1884—1893 dan menyewakan naskahnya di
Pecenongan (Chambert-Loir & Kramadibrata, 2014: 3—23), ongkos sewa naskah
yang ditawarkannya juga sama dalam sehari semalam, yaitu 10 sen. Konsistensi harga
ini menandai hal lain dalam gerakan literasi komersial di Batavia pada abad ke-19
yang dapat dikaitkan dengan kondisi ekonomi dan nilai mata uang pada masa itu,
seperti tidak adanya inflasi terhadap nilai mata uang yang sedang berlaku; atau
sesungguhnya ketiadaan perubahan tarif sewa naskah selama puluhan tahun ini
adalah strategi demi menjaga pelanggan dalam usaha penyewaan naskah.
Sebagai gambaran, pada tahun 1854, nilai 1 perak = 100 sen. Jika demikian,
harga naskah 15 perak = 1.500 sen. Naskah disewakan per malam dengan harga 10—
15 sen, artinya ganti rugi atas kerusakan dan kehilangan naskah bisa 100—150 kali
lipat dari harga sewa naskah per malam. Sementara itu, perak sama dengan gulden.
Sebagai perbandingan, menurut daftar gaji pegawai Algemeene Secretarie di Batavia
dan Buitenzorg (sekarang Bogor) pada 1 Oktober 1837, seorang juru tulis bernama
11
Muhamad Sulaiman digaji sebesar 60 gulden (Rukmi, 1997: 54, 58). Jumlah itu sama
dengan 6.000 sen. Bila tidak terjadi inflasi, harga naskah pada tahun 1860-an yang
sebesar 1.500 sen dibandingkan dengan gaji juru tulis pada tahun 1830-an yang
sebesar 6.000 sen, harga naskah ini tergolong wajar. Akan tetapi, bila terjadi inflasi
selama kurun waktu 30 tahun itu, harga naskah tersebut dinilai cukup rendah. Di sisi
lain, para pemilik naskah setidaknya harus menyewakan naskahnya selama 600 hari
600 malam atau 2 tahun lebih untuk dapat menyamai gaji juru tulis tersebut, padahal
dalam kurun waktu 2 tahun, seorang penyalin naskah yang produktif dapat
menghasilkan beberapa naskah. Gambaran ini menunjukkan bahwa harga sewa
naskah sesungguhnya tidak terlalu besar bila dibandingkan dengan upaya keras yang
diperlukan oleh seseorang untuk melakukan penyalinan naskah. Berdasarkan
gambaran ini, usaha penyewaan naskah kemungkinan besar tidak terlalu menjanjikan
dari segi ekonomi.
Meskipun demikian, gerakan literasi komersial ini terus berlangsung dan
menjamur ke seluruh penjuru kampung di Batavia, bahkan hingga ke wilayah utara
dekat laut, seperti Kampung Ancol (ditemukan dalam kolofon naskah Hikayat Sahrul
Indra dengan kode CS 145 yang disalin oleh Kasim Serina) yang sebagian besar
penduduknya bekerja sebagai kuli angkut di pelabuhan. Hal ini memperlihatkan
bahwa literasi pada abad ke-19 telah merebak ke masyarakat di seantero Batavia.
Berdasarkan pembacaan kolofon-kolofon naskah Melayu koleksi Cohen Stuart,
ditemukan sebanyak 10 nama kampung di Batavia sebagai tempat penyalinan naskah
Melayu. Ke-10 nama kampung tersebut adalah Kampung Kramat Pulo; Kampung
Kemayoran, Gunung Sahari; Kampung Norbek dan Gang Terunci; Kampung
Kwitang; Kampung Bali Lama Perapatan; Kampung Muka; Kampung Ancol;
Kampung Pulo; Kampung Prapatan; dan Kampung Gang Batu. Dari ke-10 nama
kampung di Batavia tersebut, sebanyak 13 nama pemilik naskah beralamat di tempat-
tempat tersebut. Ke-13 nama pemilik naskah yang muncul dalam kolofon-kolofon
naskah Melayu koleksi Cohen Stuart adalah sebagai berikut: Encik Mahasim, Encik
Saimun, Abdul Bajlil, Baharudin, Encik Ramain, Nambung, Sarijo’ dan Jalil, Encik
12
Arsad, Habibaturahmah, Muhammad Cing Saidullah, Kasim Serina, Pundil, dan Amir
Hamzah Abdullah Bajo.
Sejumlah penulis dan pemilik naskah yang tersebar di berbagai penjuru
kampung di Batavia menunjukkan bahwa gerakan literasi komersial berlangsung
hampir di seluruh wilayah di Batavia pada pertengahan abad ke-19, khususnya tahun
1860-an. Hal ini juga sekaligus menandai bahwa pada periode 1860-an di Batavia
terjadi suatu tren penyalinan naskah untuk disewakan. Orang-orang pribumi telah
banyak yang melek-literasi. Mereka bahkan telah mampu memaknai literasi sebagai
sesuatu yang dapat bermanfaat bagi kehidupan sosial dan ekonomi mereka. Motif
ekonomi telah mendorong tumbuhnya budaya literat dalam masyarakat di Batavia
pada abad ke-19.
Mengenai bagaimana praktik penyewaan naskah ini berlangsung, tidak
banyak tergambar melalui kolofon. Para pemilik naskah hanya memberi petunjuk
tentang siapa saja orang-orang yang dapat menyewa naskahnya, yaitu “tuan-tuan”,
“nyonya-nyonya”, “baba-baba”, “encik-encik”, “buya-buya”, dan “sanak saudara”
yang berarti orang-orang Eropa dan Indo, orang-orang peranakan Tionghoa, dan
orang-orang pribumi. Kepemilikan atas satu atau dua naskah saja oleh seseorang
tampaknya belum bisa dikatakan bahwa orang tersebut membuka sebuah tempat
penyewaan naskah yang pada masa sekarang dapat digambarkan seperti sebuah
taman bacaan masyarakat. Chambert-Loir (2014: 27), mengatakan, “satu dua naskah
tidak dapat disebut ‘perpustakaan’, dan orang yang menyewakan satu dua naskah
tidak boleh dikatakan mengelola sebuah taman bacaan (‘lending library’)”. Mereka
mencari uang dengan menyewakan naskah yang mereka salin sendiri memang benar,
tetapi apakah orang-orang ini menawarkan naskahnya di rumahnya dengan membuka
usaha penyewaan naskah ataukah ada satu tempat di pusat kota Batavia yang
berfungsi seperti taman bacaan masyarakat yang dapat menampung naskah-naskah
sewaan, hal itu masih memerlukan penyelidikan. Akan tetapi, bila menelusuri sejarah
naskah Melayu Cohen Stuart, yang notabene merupakan naskah-naskah sewaan yang
berasal dari berbagai kampung di Batavia pada periode waktu yang sama, hal ini
13
mengindikasikan bahwa adanya satu tempat usaha penyewaan naskah yang terpusat
lebih berterima. Situasi ini diperkuat oleh pendapat Iskandar yang dinyatakan dalam
Putten bahwa “in Batavia these rental enterprises were spread in quite a number of
quarters in and around the old city centre” (2017: 182). Mengambil contoh koleksi
Cohen Stuart, bila naskah-naskah sewaan itu ditawarkan di rumah pemiliknya
masing-masing, tentu membutuhkan upaya lebih untuk dapat mengumpulkan naskah-
naskah tersebut hingga akhirnya terkumpul sebagai koleksi Cohen Stuart. Meskipun
demikian, tidak menutup kemungkinan lain bahwa para pemilik naskah itu menjual
naskah mereka langsung kepada Cohen Stuart atau ada makelar naskah yang
bertindak sebagai pengumpul naskah lalu menjualnya kepada Cohen Stuart.
Seorang penyalin naskah bahkan menyebutkan nama ayahnya sehingga diketahui dari
pernyataannya itu bahwa ia berasal dari masyarakat kelas sosial atau etnis tertentu.
14
…Baba Badarudin anak dari Kapten Kme’ Kampung Norbek Gang Terunci di
bilangan wijkmeester dam kepada 29 Juni tahun 1866 adanya (CS 128: 158).
Kapten atau kapiten adalah sebutan bagi kepala kelompok etnis masyarakat di
Batavia, khususnya Tionghoa. Kapiten Tionghoa diangkat langsung oleh pemerintah
Belanda dan bertugas mengurusi berbagai masalah yang terjadi di kalangan orang
Tionghoa (Siswantari, 2000: 9). Kutipan di atas mendasari kesimpulan bahwa
Badarudin atau Baharudin, salah seorang pemilik naskah dari Kampung Norbek yang
cukup terkenal itu yang juga sudah disebutkan dalam pembahasan sebelumnya,
adalah seorang (peranakan) Tionghoa. Ayahnya adalah orang Tionghoa yang
berkedudukan sebagai kapten. Perkiraan ini diperkuat oleh Badarudin sendiri yang
menyebut dirinya dengan “Baba Badarudin” sebagai sapaan untuk laki-laki Tionghoa.
Badarudin atau Baharudin ini diketahui pula adalah seorang ajidan. Ajidan
Muhammad Imran Yusuf yang dimaksud pada kutipan sebelumnya tidak lain adalah
Baharudin atau Badarudin dari Kampung Norbek yang memiliki nama lengkap
Baharudin Muhammad Imran Yusuf, nama lengkap ini ditulisnya kemudian pada
akhir kolofon naskah tersebut. Kemungkinan ia adalah seorang muslim peranakan
karena namanya yang keislaman.
Beberapa petunjuk seperti ini sering kali berguna bagi pembaca modern untuk
mengetahui identitas para pemilik atau penyalin naskah. Kebiasaan mereka
menuliskan detail terkait diri mereka dapat dimanfaatkan, salah satunya oleh
Chambert-Loir untuk mengetahui biografi Muhammad Bakir (Chambert-Loir &
Kramadibrata, 2014: 12—15). Dari hal ini dapat diketahui pula status sosial para
pemilik naskah sebagaimana kutipan kolofon berikut yang ditulis oleh
Habibaturahmah yang bertempat tinggal di Kampung Norbek Gang Terunci.
…sebabnya yang memunyai hikayat ini orang miskin, hanif, dan tiada bapa
dan tiada ama. Demikian inilah harapannya/ jua adanya./ Habis ditulis kepada
bulan Mei tahun 1867 (CS 137: i).
15
Di antara para pemilik naskah komersial dalam koleksi naskah Melayu Cohen Stuart,
ada pula yang tampaknya berasal dari masyarakat biasa yang “baru belajar menulis”,
seperti Encik Muhasim (CS 74 dan CS 157) dan Encik Saimun (CS 106). Berbagai
informasi mengenai identitas para pemilik naskah dapat tergambar melalui
pernyataan mereka tentang diri mereka sendiri yang dituliskan dalam kolofon.
Dalam aktivitas penyalinan naskah untuk tujuan komersial ini, para pemilik
naskah tersebut menemukan bahwa mereka dapat memanfaatkan ruang berupa
halaman kertas yang mereka sisakan usai menyalin teks naskah untuk menuliskan
keterangan, baik tentang diri mereka sendiri sebagai penyalin dan pemilik naskah
maupun tentang naskah tersebut. Di antara itu, mereka dapat memberi detail ekspresi
diri yang bisa dijadikan petunjuk untuk mengetahui status sosial atau keluarga para
pemilik naskah. Mereka juga dapat mengekspresikan perasaan mereka terhadap
pentingnya naskah tersebut bagi mereka melalui pesan dan peringatan kepada
pembaca saat menawarkan atau menginformasikan naskah sewaan tersebut.
Pembubuhan tanda tangan usai menuliskan catatan juga kerap dilakukan oleh
beberapa pemilik naskah. Selain untuk menegaskan kepemilikan, pembubuhan tanda
tangan ini juga dapat menandai identitas dan ekspresi diri seseorang.
Pada periode ini ditemukan bahwa orang-orang yang melek-literasi di Batavia
telah dapat memaknai literasi sebagai sarana untuk ekspresi diri dan identitas. Sarana
ekspresi diri dan identitas ini menjadi salah satu motivasi lainnya dalam kegiatan
penyalinan naskah untuk tujuan komersial. Mereka yang mungkin tadinya tidak
menulis meskipun bisa membaca dan menulis Jawi akhirnya turut serta dalam
kegiatan penyalinan naskah terdorong oleh setidaknya dua alasan, yaitu ekonomi
seperti yang sudah dijelaskan dan alasan personal bahwa menyalin dan memiliki
naskah dapat meningkatkan esksistensi diri mereka. Hal ini pula yang dapat
menjelaskan mengapa gerakan literasi komersial terus hidup sepanjang abad ke-19
jika memang usaha penyewaan naskah sesungguhnya tidak terlalu menguntungkan
dan perkembangan dunia literasi modern berbahasa Melayu dengan aksara Latin telah
mulai merebak sejak pertengahan abad ke-19 (Salmon, 2010: 14—15). Gerakan
16
literasi komersial yang diwujudkan dalam kegiatan penyalinan naskah Melayu untuk
disewakan ternyata dapat memberi kepuasan bagi para pelakunya. Literasi telah
menjadi bagian hidup para literat abad ke-19 ini.
19
Daftar Pustaka
Barton, D., Hamilton, M., & Ivanic, R. (2000). Situated literacies: Reading and
writing in context. London ; New York: Routledge.
Kern, R. (2000). Literacy and Language Teaching. Oxford: Oxford University Press.
Rukmi, M. I. (1997). Penyalinan naskah Melayu di Jakarta pada abad XIX: Naskah
Algemeene Secretarie kajian dari segi kodikologi. [Depok]: Fakultas Sastra,
Universitas Indonesia.
20
Siswantari. (2000). Bekmeester di Betawi (1800-1900) sebuah studi tentang posisi &
peran wijkmeester di Batavia pada masa kolonial Belanda. Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan, Universitas Indonesia, Lembaga Penelitian.
Bionote
Priscila Fitriasih Limbong merupakan pengajar bidang filologi pada Program Studi
Indonesia Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia sejak tahun
1996. Penelitian-penelitian yang dilakukannya secara konsisten membahas naskah-
naskah klasik nusantara dengan fokus kajian filologi dan kajian interdisipliner terkait
naskah-naskah klasik Melayu. Publikasi yang telah dihasilkan antara lain, Konsep
Sufisme pada Naskah Fath Al Rahman, Katalog Naskah Kalimantan, Kebudayaan
Materi: Hubungannya dengan Penyalinan Naskah Klasik di Nusantara, dan The
Relations between Structure and Power in Nineteenth Century of Undang-Undang
Ternate.
21