Anda di halaman 1dari 2

Obor-Obor Cahaya

Oleh: Emha Ainun Nadjib

Junit dan lainnya, juga Pakde Paklik, membiarkan Seger selapang-lapangnya memaparkan
kegelisahannya.

“Pakde Paklik dan teman-teman semua”, kata Seger, “kalau Mbah Markesot kabarnya pernah
menyatakan bahwa makhluk manusia memiliki kecenderungan untuk konsisten terhadap
kehancuran, bahkan istiqomah untuk senantiasa berlaku menghancurkan — saya berpikir bahwa
tampaknya kita adalah golongan yang paling hancur di antara semua yang hancur”.

Seger berhenti beberapa saat. Tak ada reaksi dari lainnya di ruangan itu. Kemudian ia meneruskan.

“Kehancuran kita mungkin ganda. Bahkan mungkin berlipat-lipat. Pertama karena Pakde Paklik
mengajak kami untuk menyelami kehancuran manusia sampai ke relung-relungnya yang terdalam.
Sampai sangat detail, sampai ke sel-sel terdalam dari kehancuran itu yang kebanyakan orang tak
pernah memasukinya. Kedua karena tampaknya hanya kita yang terlalu mendalam merasakan
kehancuran itu. Setahu saya semua orang di luar sana tenang-tenang saja. Mungkin bingung, tapi
tidak merasakan kehancuran sebagaimana yang kita rasakan. Saya jadi sering menyimpulkan bahwa
kita ini berlebihan, lebai, terlalu melankolik. Dan jenis penyikapan kita itu membuat kita menjadi
bagian yang paling inti dari kehancuran….”

“Tidak….”

Tiba-tiba terdengar suara dengan nada khusus. Ternyata suara Tarmihim. Ia berdiri di depan pintu
ruang dalam. Ia tersenyum.

“Mari anak-anak semua, Junit, Jitul, Toling, Seger”, katanya, “ayo masuk ke ruang dalam. Mbah
kalian Markesot merasa sangat rindu dan menantikan kalian untuk bertatap muka….”

Tarmihim kemudian juga mengajak Brakodin dan Sundusin.

Dengan agak kaget dan belum paham, mereka berdiri. Pelan-pelan bergerak ke ruang dalam, yang
Tarmihim tampaknya barusan membuka pintunya dari dalam, tanpa semua yang lain menyadarinya.

Ruangan itu agak gelap. Mereka hanya melihat sosok-sosok dalam keremangan. Tarmihim
membimbing anak-anak muda itu mendekat ke tempat tidur di pojok. Mbah mereka Markesot
sedang terbaring. Di pinggirnya duduk seorang yang sangat tua, seperti sedang menjaga seorang
yang sedang sakit.

“Sampaikan salam kalian kepada Mbah Markesot”, kata Tarmihim.

Junit Jitul Toling dan Seger mendekat. Dengan perasaan penuh teka-teki satu per satu mereka
mengulurkan tangan. Mencium tangan Markesot. Mereka coba melirik wajah Mbah Markesot, tetapi
sangat remang-remang dan tidak jelas. Kejutan yang amat memukul perasaan bahwa tiba-tiba
mereka bertemu dengan orang tua yang merupakan penghuni jiwa mereka selama ini.

Satu per satu juga berikutnya mereka membungkuk menyalami orang tua yang duduk di sisi
Markesot.

Dan ternyata kemudian mereka menjumpai ada orang-orang lain di berbagai sisi ruangan itu. Juga
remang-remang saja sosok-sosok itu. Ada beberapa yang berdiri di satu sisi tembok. Ada yang duduk
dan jongkok di pojok. Ada yang seperti tampak hanya wajahnya di permukaan dinding. Ada yang
seperti bayang-bayang belaka. Ada yang besarnya sebagaimana manusia biasanya. Ada yang sangat
besar kepalanya tanpa kelihatan badannya. Ada yang seperti kerumunan makhluk-makhluk kecil.
Bahkan ada yang duduk setengah melingkar, dengan sebagian dari mereka seperti sedang
merebahkan badan.

Junit tergetar perasaannya. Jitul bergidik bulu tengkuknya. Toling panas dingin suhu badannya. Dan
Seger berulang-ulang menarik nafas panjang.

Mereka tidak seperti berada di dalam sebuah ruangan. Rasanya sedang melayang-layang di angkasa
yang remang-remang. Ini adalah jagat raya dengan makhluk-makhluk yang betapa beragam-
ragamnya. Besar dan kecil menggelombang. Tinggi dan rendah berayun-ayun, jauh dan dekat
mencembung mencekung seperti jantung yang memompa napas kehidupan. Ada jubah-jubah
raksasa. Ada lintasan cahaya-cahaya. Ada miliaran mungkin triliunan tangan yang bergandengan
mengelilingi langit. Ada misteri kegelapan yang luar biasa di belakang lingkaran makhluk-makhluk
yang berjajar bersambung bagaikan rantai maha raksasa.

Ada ribuan obor-obor sangat besar di berbagai penjuru, yang bergerak-gerak di ujungnya bukan
nyala api, melainkan pancaran cahaya. Di tengah pancaran obor-obor cahaya itu terdapat semacam
telaga yang sangat luas, yang permukaan airnya tak terkirakan indahnya. Telaga yang datar, tetapi
kedalaman airnya tak terukur oleh matematika, fisika, dan biologi, sebagaimana yang anak-anak
muda itu pernah mengenalnya di kelas-kelas dunia.

Anda mungkin juga menyukai