Anda di halaman 1dari 6

PENGARUH KOMPOSISI WARNA PADA RUANG KERJA TERHADAP STRES KERJA

Desainer interior terkemuka Indonesia Naning Adiwoso, menuturkan bahwa dukungan


psikologis adalah salah satu hal yang sangat penting untuk mengimbangi efisiensi kerja dengan
perubahan yang begitu cepat dan dinamis dalam melaksanakan tugas-tugas untuk mereduksi
dampak negatif seperti kelelahan, penyakit, dan stres. Peranan warna ruang kerja juga menjadi
sangat menentukan.

Dewasa ini aliran posmodern sudah sangat ramai diterapkan di bidang industri, yang
mana aliran posmodern banyak diaplikasikan pada penataan ruangan interior seperti pada
bangunan pribadi, bangunan publik, pertokoan, perkantoran dan sebagainya. Tentu hal ini
menjadi perhatian karena desain posmodern selalu mencoba menghadirkan keberagaman
warna (polychromy). Bahkan secara ekstrim posmodern memberikan peluang pada desainernya
untuk mencampuradukkan apa saja yang berbeda. Sehingga menjadi perhatian terhadap
dampak psikologis yang timbul pada rancangan posmodern khususnya komposisi warna yang
diterapkan pada ruang kerja apalagi menyangkut mengenai produktivitas dan kinerja juga pada
stres kerja

Lingkungan kerja fisik secara eksplisit sangat berhubungan dengan Psikologi


Kerekayasaan sehingga kondisi fisik dilingkungan kerja harus di rancang sedemikian rupa untuk
meningkatkan produktivitas kerja. kondisi-kondisi fisik di lingkungan kerja yang dapat
mempengaruhi kepuasan dan kenyamanan kerja adalah: (1) Rancangan ruang kerja (workspace
design). (2) Rancangan pekerjaan (termasuk: peralatan kerja dan prosedur kerja). (3) Sistem
penerangan (lighting). (4) Sistem ventilasi. (5) Tingkat “visual privacy” serta “acoustical privacy”.

Sebuah riset membuktikan bahwa adanya reaksi tubuh manusia terhadap warna baik
secara psikologis maupun fisiologis. Riset tersebut membuktikan bahwa warna mempengaruhi
suasana hati (mood) dan perasaan seseorang dalam hubungannya denga space. Studi
mengindikasikan bahwa suhu tubuh betul-betul naik-turun pada respon terhadap warna yang
berbeda-beda. Sebagai contoh, merah, orange, dan kuning dapat meningkatkan suhu seseorang
sekitar 5 sampai 7 derajat; warna dingin memiliki reaksi yang berlawanan. Warna juga dapat
menyebabkan perasaan bosan dan ketenangan, atau stimulasi dan kelincahan. Warna
menyebabkan sistem syaraf menjadi terangsang, dan tubuh bereaksi dengan cara yang negatif
pada stimulus. Warna bahkan dapat mempengaruhi reaksi tubuh terhadap persepsi suara, rasa,
bau badan, dan waktu. Maka berdasarkan pertimbangan respon-respon terhadap warna, kita
perlu memperhatikan pengaplikasian warna pada ruang kerja. Pengaturan komposisi warna
merupakan pertimbangan utama dalam mengaplikasikan warna ke dalam ruang kerja.
Komposisi warna ruang kerja merupakan penerapan warna dengan komposisi tertentu pada
ruang kerja. Aplikasi warna tersebut meliputi semua unsur ruang (lantai, dinding, dan langit-
langit).
Pertimbangan respon-respon tubuh terhadap warna, memberikan prediksi dasar yang
selanjutnya terientegrasi dengan opini bahwa komposisi warna pada ruang kerja berpengaruh
terhadap stres kerja. Oleh karena itu diperlukan kecermatan dan kehati-hatian dalam
menggunakan atau memilih warna interior pada ruang kerja. Unsur-unsur ruang kerja yaitu
dinding, lantai, dan jendela merupakan major area of color karena memberikan efek visual
dominan bagi pengguna ruangan itu. Sehingga dibutuhkan pertimbangan dalam pemilihan
komposisi warna ruang kerja yang mencakup semua unsur ruang yaitu lantai,dinding, dan
langit-langit.

Ada dua jenis komposisi warna yaitu, komposisi warna harmonis dan komposisi warna
disharmonis. Komposisi warna harmonis adalah komposisi warna yang selaras dan membentuk
paduan warna sempurna berdasarkan skema lingkaran warna oleh Sir David Brewster.
Sedangkan komposisi warna disharmonis cenderung tidak selaras dan tidak sempurna dan tidak
memiliki satu kesatuan. Contoh warna harmonis adalah biru sebagai warna monokrom yang
memberikan sensasi dalam meningkatkan keseriusan berfikir. Bahkan dalam studi Fisher
mengungkapkan bahwa warna kebiruan merupakan satu-satunya warna tanpa “after image”,
yang mana dapat meningkatkan efisiensi secara keseluruhan. Sehingga dapat dihubungkan
bahwa memiliki pengaruh terhadap tingkat stres kerja.

Stres kerja pada dasarnya adalah reaksi fisiologis dan psikologis terhadap stresor. Stres
kerja yang berkepanjangan dapat menimbulkan gangguan kesehatan fisik dan psikologis seperti
timbulnya penyakit fisik, psikotik, dan burnout. Beberapa indikasi stres yag dirasakan adalah
kecemasan, unrelax, keputusasaan, kesedihan, ketidakpuasan, dan ketengangan atau strain.
Karenanya perancangan ruang kerja perlu mempertimbangkan aspek psikologis pengguna
ruang kerja dan warna sebagai salah satu aspek dalam perancangan ruang kerja semestinya
dipertimbangkan penerapannya karena riset telah membuktikan bahwa tubuh bereaksi pada
warna baik secara psikologis maupun fisiologis.

Berdasarkan penelitian terkait, peneliti mengajukan hipotesis bahwa adanya perbedaan


tingkat stres kerja ditinjau dari penerapan komposisi warna pada ruang kerja, penerapan
komposisi warna Harmonis mengurangi stres kerja, penerapan komposisi warna Disharmonis
meningkatkan stres kerja. Variabel penelitian terdiri dari stres kerja sebagai variable terikat
serta komposisi warna Harmonis dan komposisi warna Disharmonis sebagai variable bebas.
Stres kerja diukur dengan skala stres kerja yang dikemukakan oleh Evan dan Johnson dan
disusun dalam bentuk skala perbedaan semantik. Kemudian dilakukan eksperimen dalam
ruangan 9 x 9 meter yang dikontrol kondisinya. Hipotesis yang diajukan dinyatakan diterima
dan hasil analisis eksperimen menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan signifikan antara
kelompok kontrol yang menggunakan dominan putih dan kelompok harmonis yang
menggunakan komposisi monokrom biru (t = 1.026, p > 0.50 ). dan adanya perbedaan signifikan
antara kelompok kontrol dan kelompok disharmonis (t = 1.818, p < 0.050). jika dijabarkan
secara sederhana adalah

Disharmonis > Kontrol

Disharmonis > Harmonis

Harmonis = Kontrol

Dari hasil analisis dapat disimpulkan bahwa ada perebedaan tingkat stres ditinjau dari
komposisi warna ruang kerja. Komposisi warna harmonis pada ruang kerja tidak mengurangi
juga tidak meningkatkan stres kerja jika dibandingkan dengan komposisi warna disharmonis.
Dan secara mengejutkan penggunaan dominan putih sebagai kontrol memiliki pengaruh negatif
terhadap stres kerja dalam artian mampu mengurangi stres kerja.

Berdasarkan uraian diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa perlu memperhatikan


komposisi warna dalam perancangan ruang kerja dengan tujuan mereduksi stres kerja,
menghindari penggunaan warna Disharmonis karena cederung mendukung penigkatan stres
kerja, tetap dibutuhkan kehati-hatian dalam pengaplikasian komposisi warna harmonis
sekalipun tidak berpengaruh terhadap tingkat stres, dan penggunaan warna dominan putih
sangat direkomendasikan karena mendukung kinerja dan reduksi tingkat stres kerja.
ANALISIS STRES KERJA DAN UPAYA INTERVENSI PSIKOLOGI KEREKAYASAAN DALAM
MENGATASI STRES KERJA NELAYAN TRADISIONAL TANJUNG PENI CITANGKIL DAN LELEYAN
GROGOL PESISIR PANTAI CILEGON

Berdasarkan data informasi dan kesehatan RI 2015, ada sekitar 60% penduduk
Indonesia yang bertempat tinggal di daerah pesisir dan pedesaan, dan dari 8 ribu desa pesisir
pada 300 kabupaten/kota pesisir, dan 234 juta jiwa penduduk Indonesia terdapat 67 juta
bekerja pada bidang informal, dan 30% diantaranya adalah nelayan.

Setiap profesi atau pekerjaan pada dasarnya memiliki tantangan, kendala dan tuntutan
di lingkungan kerjanya masing-masing yang berpotensi merugikan pekerja itu. Sehingga
menimbulkan reaksi baik psikologis, fisiologis maupun perilaku individu sebagai konsekuensi
diri terhadap kejadian atau fenomena di lingkungan kerja. Reaksi ini disebut sebagai stres kerja
yang mana juga terjadi pada nelayan. Perubahan iklim, rusaknya mata pencaharian akibat
berubahnya kondisi ekologis, menuntut nelayan untuk segera beradaptasi menghadapi krisis
tersebut dan proses ini berpotensi menimbulkan stres selama bekerja.

Dari fenomena yang terjadi di lapangan, peneliti menangkap beberapa pokok masalah
nelayan yang menimbulkan kondisi stres yaitu: (1) kondisi alam yang tidak menentu, (2) tingkat
pendidikan nelayan yang rendah, (3) pola kehidupan nelayan yang konsumtif, (4) kurang
maksimalnya pemasaran hasil tangkapan, (5) program pemerintah yang belum memihak
nelayan. Kondisi – kondisi inilah yang pada akhirnya memicu munculnya stres kerja nelayan
yang pada akhirnya berpengaruh pada produktivitas kerja nelayan.

Pada penelitian ini peneliti mengangkat pengertian bahwa stres adalah gap antara
individual’s coping skills dan demand dari lingkungan di mana individu berada (Redfern, Rees,
dan Rowlands, 2008). Untuk mendukung penelitian peneliti menggunakan Heart Rate
Variability (HRV) untuk mendiagnosis stres dimana analisis HRV mencakup analisis spektral
atau frekuensi domain yang menggambarkan 2 (dua) komponen utama dari sistem saraf
otonom yang diartikan sebagai irama fisiologis berbeda. Hasil pengukuran power spektrum
frekuensi domain HRV digunakan untuk mengklasifikasikan kondisi stres mental, sebagai
pengukuran efisien untuk klasifikasi stres (Billman, Huikiri, Sacha, dan Trimmel, 2015). Dengan
masalah yang diangkat peneliti, maka penelitian ini menggunakan pendekatan intervensi
psikologi kerekayasaan dalam mengatasi stres kerja. Teknik-teknik yang dapat digunakan dalam
psikologi kerekayasaan, yaitu : (1) kerekayasaan organisasi, (2) kerekayasaan inidvidu
(kepribadian), (3) teknik penenangan pikiran, (4) teknik penenangan melalui aktivitas fisik.
Pendekatan intervensi ini mengajarkan individu pekerja tentang sifat dan sumber stress,
efeknya, terhadap kesehatan dan keteramplan pribadi dengan cara (a) mengubah faktor-faktor
di lingkungan agar tidak merupakan pembangkit pembangkit stress, (b) mengubah faktor-faktor
dalam individu sehingga ambang stress dan toleransi terhadap stress meningkat sehingga dapat
mempertahankan kesehatan.

Teknik penelitian yang digunkan peneliti adalah teknik purposive sampling dengan
kriteria (1) pos UKK yang tidak mendapat perhatian (2) pekerjaan utama sebagai nelayan.
Jumlah sampel adalah 84 nelayan (responden). Adapun analisis data yang digunakan adalah (1)
analisis data deskriptif ( kuantitatif), (2) analissi data wawancara (kualitatif), (3) analisis data
HRV (Heart Rate Variability).

Pada hasil analisis deskriptif dari dua kelompok nelayan tradisional yaitu Tanjung Peni
dan Leleyan Grogol diperoleh nilai mean stres nelayan di kedua lokasi cukup tinggi yaitu 53,385
dari nilai maksimum 75. Dan dari keduanya jika dibandingkan berdasarkan uji sampel t
ditemukan bahwa stres kerja nelayan Leleyan Grogol lebih tinggi dari pada kelompok Tanjung
Peni Citangkil.

Berdasarkan wawancara yang dilakukan diperoleh hal terkait dengan : (1) lingkungan
kerja, dimana mencakup suhu udara yang ekstrim di siang hari dan malam hari yang yang
berpotensi memunculkan stress yang dapat menurunkan produktivitas kerja, goncangan
gelombang besar yang menimbulkan kecemasan, limbah industri menjadi kurang kondusif
untuk menangkap ikan, dan kebisingan yang ditimbulkan oleh mesin kapal. (2) cara kerja,
kurang memperhatikan APD untuk menunjang keselamatan kerja, yang jika tidak segera
disadari maka akan menilbulkan berbagi penyakit akibat kerja. (3) Manajemen Kesehatan &
Keselamatan Kerja (K3), informasi pelatihan yang tidak merata dan fasilitas yang menunjang K3
belum tersedia.

Berdasarkan analisa data HRV pada tiga indeks yaitu stress resistance ( coping stress),
stress index (psikis) dan fatigue index (kelelahan) pada level buruk dan sangat buruk diperoleh
hasil dimana nelayan di Leleyan Grogol menunjukkan Coping Stress yang kurang baik skala
buruk dan sangat buruk 40% ; indeks stres psikis di level buruk dan sangat buruk 38% ; dan
fatigue 61%. Sedangkan nelayan Tanjung Peni Citangkil menunjukkan stress resistance (coping
stress) 15% pada level buruk dan sangat buruk ; stress index (psikis) adalah 16 % ; dan fatigue
index sebesar 25 %.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat stres nelayan tradisional kelompok Leleyan
Grogol lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok Tanjung Peni Citangkil. Hal ini didukung
dengan hasil tes HRV. Hal ini dapat dipahami karena satu faktor dimana nelayan Leleyan Grogol
tidak berdomisili di sekitar pesisir dan aktivitas utama mereka bukan hanya nelayan. Sedangkan
nelayan Tanjung Peni Citangkil kebanyakan memang berdomisili di pesisir dan nelayan adalah
aktivitas utama. Kondisi kesehatan juga menjadi pertimbangan dimana nelayan masih
menggunakan alat tradisional yang lebih membutuhkan tenaga dan stamina yang kuat dan
pada hasil analisis menunjukkan stress yang tinggi yang tentunya berpengrauh pada kesehatan
dan berdampak pada produktivtas nelayan. Selain itu program K3 yang ditujukan untuk
kesejahteraan nelayan nyatanya belum berjalan secara maksimal dilihat dari manajemen,
komunikasi dan pelatihan K3 yang belum terealisasi dengan baik.

Dari hasil penelitian stress kerja pada nelayan pantai Cilegon Banten, peneliti
mengadakan upaya progresif yaitu intervensi psikologi kerekayasan untuk mengatasi stres
kerja. Upaya ini dikenal sebgai pendekatan manajemen stres (tata kelola stres), dan tidak hanya
mengatasi stress tapi juga belajar mencegah dan menanggulangi stres kerja nelayan secara
adaptif dan efektif.

Dengan intervensi Psikologi Kerekayasaan beberapa teknik yang akan diterapkan bagi
para nelayan, yaitu :

a. Strategi Penanganan Individual, strategi dapat dilakukan dengan melakukan perubahan


reaksi perilaku atau perubahan reaksi kognitif ; melakukan relaksasi dan meditasi ;
melakukan diet dan Fitness

b. Strategi penanganan Organisasional, strategi ini dapat dilakukan dengan menciptakan


iklim organisasi yang mendukung ; memperkaya desain tugas-tugas dengan
memperkaya kerja, baik meningkatkan faktor isi pekerjaan atau meningkatkan
karakteristik tugas atau pekerjaan ; mengurangi konflik dan upaya mengklarifikasi
berbagai peran organisasional

c. Strategi Dukungan Sosial, dibutuhkan dukungan terutama dari orang terdekat seperti
keluarga, rekan kerja, pemimpin atau orang lain, komunikasi yang baik untuk
memperoleh dukungan social.

Berdarsarkan hasil penelitian dan pembahasan analisis diperoleh keismpulan yaitu :

1. Dari dua kelompok nelayan yang menjadi subjek penelitian kelompok Leleyan Grogol
mendapat rating stress yang cukup tinggi berdasarkan sample t-test dan hasil analisis
HRV.

2. Pada hasil data wawanncara menunjukkan penyebab stres kerja nelayan tradisional di
pesisir Pantai Cilegon Banten adalah : a) lingkungan kerja yang tidak mendukung ; b)
cara kerja yang tidak ergonomis, dan c) manajemen K3 yang buruk

3. Intervensi Psikologi Kerekayasaan diperlukan untuk membantu mengatasi stress kerja


nelayan untuk peningkatan produktivitas kerja nelayan.

Anda mungkin juga menyukai