Anda di halaman 1dari 56

LAPORAN

ASUHAN KEPERAWATAN PADA KASUS FRAKTUR CLAVICULA


DEKSTRA PRE DAN POST OPERASI ORIF
DI BANGSAL FLAMBOYAN III RSUD SALATIGA

Laporan ini disusun untuk memenuhi


Mata Kuliah Praktik Klinik Dasar

Dosen Pengampu :

Disusun oleh:
ASTELIA SHAZARANI CAHYA 1911604004
DEA ANANDA PUTRI 1911604015
TRIANISA DENTA L.M 1911604016
ZAKIA PUTRI KALQIS 1911604052

UNIVERSITAS ‘AISYIYAH YOGYAKARTA


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
PROGRAM STUDI KEPERAWATAN ANESTESIOLOGI
PROGRAM SARJANA TERAPAN
2021
LEMBAR PENGESAHAN

LAPORAN ASUHAN KEPERAWATAN PADA KASUS FRAKTUR CLAVICULA


DEKSTRA PRE OPERASI ORIF
DI BANGSAL FLAMBOYAN III RSUD SALATIGA

Laporan ini disusun untuk memenuhi Mata Kuliah Praktik Klinik Dasar

Oleh :
NAMA : ASTELIA SHAZARANI CAHYA : 1911604004
DEA ANANDA PUTRI : 1911604015
TRIANISA DENTA L.M : 1911604016
ZAKIA PUTRI KALQIS : 1911604052
Telah diperiksa dan disetujui tanggal

Mengertahui,
Pembimbing Lapangan Pembimbing Akademik

( ) (
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Tulang merupakan salah satu anggota tubuh yang sangat penting bagi
manusia, sehingga kerusakan pada tulang sangat berpengaruh pada keadaan
tubuh manusia. . Fungsi tulang sendiri adalah sebagai kerangka, penopang tubuh
manusia dan tempat melekatnya otot, sehingga tubuh dapat bergerak maksimal.
Tidak hanya itu, beberapa bagian tulang juga memiliki fungsi untuk melindungi
organ lain didalam tubuh. Seperti tulang tengkorak yang berfungsi melindungi
otak dari berbagai macam benturan dari luar, susunan tulang rusuk yang
berfungsi untuk melindungi paru-paru dan sebagainya. Itulah yang menjadikan
fungsi tulang menjadi sangat vital apabila terjadi kerusakan pada tulang itu
sendiri.
Salah satu jenis kecacatan atau kerusakan pada tulang yang kerap dijumpai
adalah fraktur. Fraktur adalah keadaan dimana tulang mengalami retak atau
patah. Fraktur adalah hilangnya kontinuitas tulang, tulang rawan sendi, tulang
rawan epifisis, baik yang bersifat total maupun yang parsial. Fraktur klavikula
adalah cedera yang sering terjadi terutama pada usia muda dan individu yang
aktif. Insidensinya sekitar 2.6% dari semua fraktur. Fraktur klavikula merupakan
salah satu cedera tulang yang paling sering, yang jarang memerlukan reduksi
terbuka.
Kejadian fraktur klavikula umum terjadi di masyarakat, bahkan angka
kejadiannya mencapai 30-60 pada setiap 100.000 populasi.Badan kesehatan
dunia (WHO) mencatat tahun 2007 terdapat lebih dari delapan juta orang
meninggal dikarenakan insiden kecelakaan dan sekitar 2 juta orang mengalami
kecacatan fisik.
Dari 45.987 peristiwa terjatuh yang mengalami fraktur sebanyak 1.775
orang (3,8%), dari 20.829 kasus kecelakaan lalu lintas, yang mengalami fraktur
sebanyak 1.770 orang (8,5%), dari 14.127 trauma benda tajam/ tumpul, yang
mengalami fraktur sebanyak 236 orang (1,7%).
Kejadian fraktur lebih banyak terjadi pada pria dibandingkan wanita.
Tulang klavikula sangat mudah patah bila terjadi highenergy injury atau multiple
traumatic, sehingga sering terjadi bersama cedera lainya seperti fraktur costa,
scapula, hematothorax. Penelitian di Swedia pada tahun 2013-2014 menyatakan
penyebab tersering fraktur klavikula akibat terjatuh dan kecelakaan transportasi.
B. Rumusan Masalah
• Bagaimana asuhan keperawatan anestesi pada pasien pre operatif fraktur
klavikula?
• Apa saja hasil pengkajian pada pasien pre operatif fraktur klavikula
• Apa saja diagnosa keperawatan yang dirumuskan pada pasien pre
operatif fraktur klavikula?
• Apa saja intervensi yang direncanakan pada asuhan keperawatan pasien
pre operatif fraktur klavikula?
• Apa saja implementasi yang dilakukan pada asuhan keperawatan pasien
pre operatif fraktur klavikula?
• Apa saja hasil evaluasi pada asuhan pasien pre operatif fraktur klavikula?
C. Tujuan Penulisan
• Mengidentifikasi data hasil pengkajian pada pasien pre operatif fraktur
klavikula
• Mengidentifikasi diagnosa keperawatan yang dirumuskan pada pasien
pre operatif fraktur klavikula
• Mengidentifikasi intervensi yang direncanakan pada asuhan keperawatan
pasien pre operatif fraktur klavikula
• Mengidentifikasi implementasi yang dilakukan pada asuhan keperawatan
pasien pre operatif fraktur klavikula.
• Mengidentifikasi hasil evaluasi pada asuhan pasien pre operatif fraktur
klavikula.
D. Waktu dan Tempat

• Waktu: Selasa,16 Maret 2021


• Tempat: RSUD Salatiga,Bangsal Flamboyan III kamar 301 F
BAB II
LANDASAN TEORI

A. Konsep Teori Fraktur Clavicula Dextra


1. Pengertian
Fraktur atau patah tulang adalah gangguan atau terputusnya kontinuitas
dari struktur tulang (Black & Hawks, 2005). Fraktur tertutup adalah bila
tidak ada hubungan patah tulang dengan dunia luar. Fraktur terbuka adalah
fragmen tulang meluas melewati otot dan kulit, dimana potensial untuk
terjadi infeksi (De Jong, 2010) .Fraktur clavicula adalah terputusnya
hubungan tulang clavicula yang disebabkan oleh trauma langsung dan tidak
langsung pada posisi lengan terputus atau tertarik keluar (outstretched hand)
karena trauma berlanjut dari pergelangan tangan sampai clavicula (Muttaqin,
2012). Jadi close fraktur clavicula adalah gangguan atau terputusnya
hubungan tulang clavicula yang disebabkan oleh trauma langsung dan tidak
langsung pada posisi lengan terputus atau tertarik keluar (outstretched hand)
yang tidak ada hubungan patah tulang dengan dunia luar.
Fraktur atau patah tulang adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang
yang umumnya disebabkan oleh ruda paksa. Salah satu penyebab fraktur
adalah adanya tekanan atau hantaman yang sangat keras dan diterima secara
langsung oleh tulang
2. Klasifikasi
Klasifikasi Secara umum fraktur clavicula menurut Armis
diklasifikasikan menjadi tiga tipe yaitu
a. Fraktur pada sepertiga tengah clavicula (insiden kejadian 75% - 80%).
Pada daerah ini tulang lemah dan tipis serta umumnya terjadi pada
pasien muda.
b. Fraktur atau patah tulang clavicula terjadi pada distal ( insiden
kejadian 15%).
c. Fraktur clavicula pada sepertiga proksimal (5% pada kejadian ini
berhubungan dengan cidera neurovaskuler).
Fraktur dapat dijelaskan dengan banyak cara. Bahkan ada lebih dari
150 tipe fraktur yang telah dinamai bergantung pada berbagai metode
klasifikasi (Black, 2014). Menurut Wahid (2013) penampilan fraktur dapat
sangat bervariasi tetapi untuk alasan yang praktis, dibagi menjadi beberapa
kelompok yaitu:
a. Berdasarkan sifar fraktur :
• Fraktur tertutup (Closed), bila tidak terdapat hubungan antara
fragmen tulang dengan dunia luar, disebut juga fraktur bersih
karena kulit masih utuh tanpa komplikasi.
• Fraktur terbuka (Open/Compound), bila terdapat hubungan antara
fragmen tulang dengan dunia luar karena adanya perlukaan kulit.
b. Berdasarkan komplit atau ketidak komplitan fraktur:
• Fraktur komplit, bila garis patah melalui seluruh penampang
tulang atau melalui kedua korteks tulang seperti terlihat pada foto
Rotgen.
• Fraktur inkomplit, bila garis patah tidak melalui seluruh
penampang tulang seperti :
➢ Hair line fracture (patah retak rambut). Hal ini disebabkan
oleh stress yang tidak biasa atau berulang-ulang dan juga
karena berat badan terus menerus pada pergelangan kaki.
➢ Buckle atau torus fracture, bila terjadi lipatan dari satu
korteks dengan kompresi tulang spongiosa dibawahnya.
➢ Reen stick fracture, mengenai satu korteks dengan angulasi
korteks lainnya yang terjadi pada tulang panjang.
c. Berdasarkan bentuk garis patah dan hubungannya dengan
mekanisme trauma:
• Fraktur tranversal: fraktur yang arahnya melintang pada tulang
dan merupakan akibat trauma angulasi atau langsung.
• Fraktur oblik: Fraktur yang arah garis patahannya membentuk
sudut terhadap sumbu tulang dan merupakan akibat trauma
angulasi juga.
• Fraktur spiral: Fraktur yang arah garis patahnya berbentuk spiral
yang disebabkan trauma rotasi.
• Fraktur kompresi: Fraktur yang terjadi karena trauma aksial
fieksi yang mendorong tulang arah permukaan lain.
• Fraktur avulsi: Fraktur yang diakibatkan karena trauma tarikan
atau traksi otot pada insersinya pada tulang
d. Berdasarkan jumlah garis patah:
• Fraktur komunitif: Fraktur dimana garis patah lebuh dari satu dan
saling berhubungan.
• Fraktur segmental: Fraktur dimana garis patah lebih dari satu tapi
tidak berhubungan
• Fraktur multiple: Fraktur dimana garis patah lebih dari satu tapi
tidak padda tulang yang sama.
e. Berdasarkan pergeseran fragmen tulang :
• Fraktur undisplaced (tidak bergeser): Garis patah lengkap tetapi
kedua fragmen tidak bergeser dan masih utuh.
• Fraktur displaced (bergeser): terjadi pergeseran fragmen tulang
yang juga disebut lokasi fragmen, terbagi atas:
➢ Dislokasi ad longitudinam cum contraction (pergeseran
searah sumbu dan overlapping).
➢ Dislokasi ad axim (pergeseran yang membentuk sudut).
➢ Dislokasi ad latus (pergeseran dimana kedua fragmen saling
menjauh).
➢ Fraktur kelelahan: fraktur akibat tekanan yang berulang-
ulang.
➢ Fraktur patologis: Fraktur yang diakibatkan karena proses
patologis tulang.
3. Etiologi
Umumnya fraktur disebabkan oeh trauma atau aktivitas fisik dimana
terdapat tekanan yang berlebihan pada tulang. Fraktur lebih sering terjadi
pada laki-laki daripada perempuan dengan umur dibawah 45 tahun dan
sering berhubungan dengan olahraga, pekerjaan atau luka yang disebabkan
oleh kecelakaan kendaraan bermotor.
a. Trauma langsung
Trauma langsung menyebabkan tekanan langsung pada
tulang, hal tersebut akan menyebabkan fraktur pada daerah tekanan.
Fraktur yang terjadi biasanya bersifat comminuted dan jaringan
lunak ikut mengalami kerusakan
b. Trauma tak langsung
Apabila trauma di hantarkan ke daerah yang lebih jauh dari
daerah fraktur, trauma tersebut disebut trauma tidak langsung,
misalnya jatuh dengan tangan ekstensi dapat menyebabkan fraktur
pada clavicula. Pada keadaan ini jaringan lunak tetap utuh.
c. Fraktur yang terjadi ketika tekanan atau tahanan yang menimpa tulang
lebih besar dari pada daya tahan tulang.
d. Arah, kecepatan dan kekuatan dari tenaga yang melawan tulang.
e. Usia penderita.
f. Kelenturan tulang dan jenis tulang.
g. Kelelahan pada tulang akibat aktivitas yang berlebihan.
h. Keadaan patologis misalkan kelemahan pada tulang akibat adanya
tumor, kanker, osteoporosis
4. Anatomi Fisiologi
Tulang ini sepasang berbentuk seperti huruf S dan pada pada bagian
medial berhubungan dengan sternum dan pada bagian sebelah 5 lateral
berhubungan dengan scapula. Tulang ini mempunyai 2 ujung, ujung medial
disebut extremitas sternalis yang bersendi dengan incissura clavicularis
menubrium sterni, ujung lateral disebut extremitas acromialis yang bersendi
dengan facies articularis acromialis. Pada dataran atas disebut facies
superior, sedangkan bagian dataran bawah disebut facies inferior. Tulang ini
membulat dan di tepi medialnya punya dataran sendi yang disebut facies
articularis sternalis, sedang pada ujung lateral mempunyai dataran sendi
berbentuk bujur telur yang disebut facies articularis acromialis.
5. Fisiologi
Tulang clavicula berfungsi sebagai pengganjal agar lengan dalam posisi
yang cukup jauh dari badan dapat bergerak bebas, serta meneruskan
goncangan dari ekstremitas atas ke kerangka axial (tulang punggung).
Karena letaknya dibawah kulit, maka clavicula sangat mudah patah bila
terjadi trauma, dan sering kali patahannya terisolasi . Sayangnya patah tulang
selangka sering berhubungan dengan highenergy injury atau multiple
traumatic, sehingga sangat penting untuk memeriksa penderita secara
keseluruhan agar cedera lainya seperti fraktur tulang iga, fraktur scapular,
kontusio pulmoner, pneumothorax, hematothorax dapat diidentifikasi dan
ditangani dengan segera. Kondisi yang perlu diwaspadai apabila terdapat
memar sekitar tulang selangka, berkurangnya atau hilangnya denyut nadi di
lengan yang cedera, tulang iga pertama patah, dan bagian bawah tangan tidak
bisa digerakkan atau lumpuh.
6. Patofisiologi
Patofisiologi fraktur clavicula menurut Helmi (2012) adalah tulang
pertama yang mengalami proses pergerasan selama perkembangan embrio
pada minggu ke lima dan enam. Tulang clavicula, tulang humerus bagian
proksimal dan tulang scapula bersama-sama membentuk bahu. Tulang
clavicula ini membantu mengangkat bahu ke atas, keluar, dan kebelakang
thorax. Pada bagian proximal tulang clavicula bergabung dengan sternum
disebut sebagai sambungan sternoclavicular (SC). Pada bagian distal
clavicula (AC), patah tulang pada umumnya mudah untuk dikenali
dikarenakan tulang clavicula adalah tulang yang terletak dibawah kulit
(subcutaneus) dan tempatnya relatif didepan. Karena posisinya yang terletak
dibawah kulit maka tulang ini sangat rawan sekali untuk patah. Patah tulang
clavicula terjadi akibat tekanan yang kuat atau hantaman yang keras ke bahu.
Energi tinggi yang menekan bahu ataupun pukulan langsung pada tulang
akan menyebabkan fraktur.
7. Pathway

Cidera

Kecelakaan,trauma,terjatuhh

fraktur

Merusak jaringan lunak

Pre operasi
Fraktur terbuka Fraktur tertutup

Operasi

Nyeri Post operasi Adanya luka

Gangguan rasa nyaman Gangguan Resiko infeksi


Aktivitas

Terapi Farmakologi Terapi Non Farmakologi Hambatan


Mobilitas Fisik

Kolaborasi • Kompres dingin (ice cube)


pemberian
ketolorac 30 mg • Teknik relaksasi nafas dalam

• Pemberian aromaterapi
8. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis menurut Helmi (2012) adalah keluhan nyeri pada
bahu depan, adanya riwayat trauma pada bahu atau jatuh dengan posisi
tangan yang tidak optimal (outstretched hand).
a. Look yaitu pada fase awal cidera klien terlihat mengendong lengan
pada dada untuk mencegah pergerakan. Suatu benjolan besar atau
deformitas pada bahu depan terlihat dibawah kulit dan kadang-
kadang fragmen yang tajam mengancam kulit
b. Feel didapatkan adanya nyeri tekan pada bahu depan
c. Move karena ketidakmampuan mengangkat bahu ke atas, keluar dan
kebelakang thoraks.
9. Komplikasi
Komplikasi pada fraktur clavicula menurut De Jong dapat berupa:
a. Komplikasi awal
1) Kerusakan Arteri
Pecahnya arteri karena trauma bisa ditandai dengan tidak
adanya nadi, CRT menurun, cyanosis bagian distal, hematoma yang
lebar, dan dingin pada ekstrimitas yang disebabkan oleh tindakan
emergensi splinting, perubahan posisi pada yang sakit, tindakan
reduksi, dan pembedahan.
2) Kompartement Syndrom
Kompartement Syndrom merupakan komplikasi serius yang
terjadi karena terjebaknya otot, tulang, saraf, dan pembuluh darah
dalam jaringan parut. Ini disebabkan oleh oedema atau perdarahan
yang menekan otot, saraf, dan pembuluh darah. Selain itu karena
tekanan dari luar seperti gips dan embebatan yang terlalu kuat.
3) Fat Embolism Syndrom
Fat Embolism Syndrom (FES) adalah komplikasi serius yang
sering terjadi pada kasus fraktur tulang panjang. FES terjadi karena
sel-sel lemak yang dihasilkan bone marrow kuning masuk ke aliran
darah dan menyebabkan tingkat oksigen dalam darah rendah yang
ditandai dengan gangguan pernafasan, tachykardi, hypertensi,
tachypnea, demam.
4) Infeksi
System pertahanan tubuh rusak bila ada trauma pada
jaringan. Pada trauma orthopedic infeksi dimulai pada kulit
(superficial) dan masuk ke dalam. Ini biasanya terjadi pada kasus
fraktur terbuka, tapi bisa juga karena penggunaan bahan lain dalam
pembedahan seperti pin dan plat.
5) Avaskuler Nekrosis
Avaskuler Nekrosis (AVN) terjadi karena aliran darah ke
tulang rusak atau terganggu yang bisa menyebabkan nekrosis tulang
dan diawali dengan adanya Volkman’s Ischemia.
6) Shock
Shock terjadi karena kehilangan banyak darah dan
meningkatnya permeabilitas kapiler yang bisa menyebabkan
menurunnya oksigenasi. Ini biasanya terjadi pada fraktur
b. Komplikasi lanjut
1) Mal-union
Mal-union adalah suatu proses penyambungan tulang yang
terjadi tidak pada posisinya Mal-union akan selalu meninggalkan suatu
benjolan; pada anak, benjolan itu selalu hilang pada waktunya, dan
pada orang dewasa biasanya hilang. Seseorang yang sangat ingin
memperoleh hasil kosmetik yang baik dengan cepat dapat menjalani
terapi yang lebih drastis: fraktur biasanya direduksi dibawah anestesi
dan dipertahankan reduksinya dengan gips yang mengelilingi dada
(cuirass)
2) Non-union
Non-union adalah suatu proses dimana penyambungan tulang
terganggu. Non-union sering terjadi kecuali kalau ahli bedah cukup tak
bijaksana dalam melakukan operasi pada fraktur. Ini dapat diterapi
dengan fiksasi internal dan pencangkokan tulang yang aman
3) Delayed Union
Delayed Union merupakan kegagalan fraktur berkonsolidasi
sesuai dengan waktu yang dibutuhkan tulang untuk menyambung. Ini
disebabkan karena penurunan suplai darah ke tulang.
10. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang menurut De Jong yaitu :
1) X-Ray
Sebagai penunjang, pemeriksaan yang penting adalah
“pencitraan” menggunakan sinar rontgen ( X-ray ). Untuk
mendapatkan gambaran 3 dimensi keadaan dan kedudukan tulang
yang sulit, maka diperlukan 2 proyeksi yaitu AP atau PA dan lateral.
Dalam keadaan tertentu diperlukan proyeksi tambahan (khusus) ada
indikasi untuk memperlihatkan pathologi yang dicari karena adanya
superposisi. Perlu disadari bahwa permintaan x-ray harus atas dasar
indikasi kegunaan pemeriksaan penunjang dan hasilnya dibaca sesuai
dengan permintaan. Hal yang harus dibaca pada X-ray: Bayangan
jaringan lunak. Tipis tebalnya korteks sebagai akibat reaksi
periosteum atau biomekanik atau juga rotasi. Trobukulasi ada
tidaknya rare fraction. Sela sendi serta bentuknya arsitektur sendi.
2) Tomografi
Menggambarkan tidak satu struktur saja tapi struktur yang
lain tertutup yang sulit divisualisasi. Pada kasus ini ditemukan
kerusakan struktur yang kompleks dimana tidak pada satu struktur
saja tapi pada struktur lain juga mengalaminya.
3) Myelografi
Menggambarkan cabang-cabang saraf spinal dan pembuluh
darah di ruang tulang vertebrae yang mengalami kerusakan akibat
trauma.
4) Arthrografi
Menggambarkan jaringan-jaringan ikat yang rusak karena
ruda paksa.
5) Computed Tomografi-Scanning
Menggambarkan potongan secara transversal dari tulang dimana
didapatkan suatu struktur tulang yang rusak.
Pemeriksaan Laboratorium
a. Kalsium Serum dan Fosfor Serum meningkat pada tahap penyembuhan
tulang.
b. Alkalin Fosfat meningkat pada kerusakan tulang dan menunjukkan
kegiatan osteoblastik dalam membentuk tulang.
c. Enzim otot seperti Kreatinin Kinase, Laktat Dehidrogenase (LDH)
d. Aspartat Amino Transferase (AST), Aldolase yang meningkat pada
tahap penyembuhan tulang.
Pemeriksaan lain-lain
a. Pemeriksaan mikroorganisme kultur dan test sensitivitas: didapatkan
mikroorganisme penyebab infeksi.
b. Biopsi tulang dan otot: pada intinya pemeriksaan ini sama dengan
pemeriksaan diatas tapi lebih dindikasikan bila terjadi infeksi.
c. Elektromyografi: terdapat kerusakan konduksi saraf yang diakibatkan
fraktur.
d. Arthroscopy: didapatkan jaringan ikat yang rusak atau sobek karena
trauma yang berlebihan.
e. Indium Imaging: pada pemeriksaan ini didapatkan adanya infeksi pada
tulang.
f. MRI: menggambarkan semua kerusakan akibat fraktur.

11. Penatalaksanaan Medis


Prinsip penatalaksaanannya pada fraktur ada dua jenis yaitu
konservatif dan operatif. Kriteria untuk menentukan pengobatan dapat
dilakukan secara konservatif atau operatif selamanya tidak absolut.
Pengobatan konservatif dapat dilakukan dengan:
a. Pemasangan Gips.
b. Pemasangan traksi (skin traksi dan skeletal traksi).
Beban maksimal untuk skin traksi adalah 5 Kg.
Cara operatif di lakukan apabila:
a. Bila reposisi mengalami kegagalan.
b. Pada orang tua dan lemah (imobilisasi akibat yang lebih buruk).
c. Fraktur multipel pada ekstrimitas bawah.
d. Fraktur patologik.
e. Penderita yang memerluka imobilisasi cepat.
Pengobatan operatif:
a. Reposisi.
b. Fiksasi.
Atau yang lazim di sebut juga dengan tindakan ORIF (“Open Reduction
Internal Fixation”)
Pada prinsipnya penangganan fraktur meliputi reduksi, imobilisasi dan
pengembalian fungsi dan kekuatan normal dengan rehabilitasi.
a. Reduksi fraktur berarti mengembalikan fragmen tulangpada
kesejajarannya dan rotasi anatomis. Metode dalam reduksi adalah
reduksi tertutup, traksi dan reduksi terbuka, yang masing-masing di
pilih bergantung sifat fraktur. Reduksi tertutup dilakukan untuk
mengembalikan fragmen tulang ke posisinya (ujung-ujung saling
behubungan) dengan manipulasi dan traksi manual.Traksi, dapat
digunakan untuk mendapatkan efek reduksi dan imobilisasi. Beratnya
traksi disesuaikan dengan spasme otot yang terjadi.
b. Reduksi terbuka, dengan pendekatan pembedahan, fragmen tulang
direduksi. Alat fiksasi internal dalam bentuk pin, kawat, sekrup, plat,
paku atau batangan logam dapat digunakan untuk mempertahankan
fragmen tulang dalam posisinya sampai penyembuhan tulang yang
solid terjadi.
c. Imobilisai fraktur, setelah fraktur di reduksi fragmen tulang harus di
imobilisasi atau di pertahankan dalam posisi dan kesejajaran yang
benar sampai terjadi penyatuan. Immobilisasi dapat dilakukan dengan
fiksasi eksternal atau inernal. Fiksasi eksternal meliputi pembalutan,
gips, bidai, traksi kontinui, pin dan teknik gips atau fiksator eksternal.
Fiksasi internal dapat dilakukan implan logam yang berperan sebagai
bidai interna untuk mengimobilisasi fraktur. Pada fraktur femur
imobilisasi di butuhkan sesuai lokasi fraktur yaitu intrakapsuler 24
minggu, intra trokhanterik 10-12 minggu, batang 18 minggu dan supra
kondiler 12-15 minggu.
d. Mempertahankan dan mengembalikan fungsi, segala upaya diarahkan
pada penyembuhan tulang dan jaringan lunak, yaitu ;
• Mempertahankan reduksi dan imobilisasi
• Meninggikan untuk meminimalkan pembengkakan
• Memantau status neurologi.
• Mengontrol kecemasan dan nyeri
• Latihan isometrik dan setting otot
• Berpartisipasi dalam aktivitas hidup sehari-hari
• Kembali keaktivitas secara bertahap
B. Asuhan Keperawatan (Secara Teori)
1. Pengkajian

Pengkajian merupakan tahap awal dan landasan dalam proses


keperawatan, untuk itu diperlukan kecermatan dan ketelitian tentang masalah-
masalah klien sehingga dapat memberikan arah terhadap tindakan
keperawatan. (wahid, 2013).
a. Pengumpulan data
1) Identitas Pasien
meliputi nama, jenis kelamin, usia, alamat, agama, bahasa yang
digunakan, status perkawinan, pendidikan, pekerjaan, asuransi,
golongan darah, nomor register, tanggal dan jam masuk rumah sakit
(MRS), dan diagnostik medis
2) Keluhan utama
pada umumnya keluhan utama pada fraktur femur adalah rasa nyeri.
Nyeri tersebut bisa akut bisa kronik tergantung lamanya serangan.
3) Riwayat kesehatan sekarang
Kaji kronologi terjadinya trauma, yang menyebabkan patah tulang
paha, pertolongan apa yang telah didapatkan, dan dan apakah sudah
berobat ke dukun patah. Dengan mengetahui mekanisme terjadinya
kecelakaan, perawat dapat mengetahui luka yang lain.
4) Riwayat kesehatan dahulu
Penyakit-penyakit tertentu seperti kanker tulang dan penyakit
kelainan formasi tulang atau biasanya disebut paget dan ini
mengganggu proses daur ulang tulang yang normal di dalam tubuh
sehingga menyebabkan fraktur patologis sehingga tulang sulit
menyambung. Selain itu, klien diabetes dengan luka di kaki sangat
beresiko mengalami osteomielitis akut dan kronis dan penyakit diabetes
menghambat proses penyembuhan tulang.
5) Riwayat kesehatan keluarga
Penyakit keluarga yang berhubungan dengan penyakit yang tulang
merupakan salah satu faktor predisposisi terjadinya fraktur, seperti
diabetes, osteoporosis yang terjadi pada beberapa keturunan dan kanker
tulang yang cenderung diturunkan secara genetik.
6) Pola fungsi kesehatan
Menurut (Wahid, 2013) sebagai berikut :
a) Pola persepsi dan tata laksana hidup sehat
Biasanya partisipan akan mengalami perubahan atau gangguan
pada personal hygine, misalnya kebiasaan mandi terganggu karena
geraknya terbatas, rasa tidak nyaman, ganti pakaian, BAB dan BAK
memerlukan bantuan oranglain, merasa takut akan mengalami
kecacatan dan merasa cemas dalam menjalani penatalaksanaan
kesehatan untuk membantu penyembuhan tulang karena kurangnya
pengetahuan.
b) Pada pasien fraktur harus mengkonsumsi nutrisi melebihi kebutuhan
sehari-harinya seperti kalsium, zat besi, protein, vitamin C dan
lainya untuk membantu proses penyembuhan tulang dan biasanya
pada partisipan yang mengalami fraktur bisa mengalami penurunan
nafsu makan bisa juga tidak ada perubahan.
c) Pola eliminasi
Untuk kasus fraktur femur biasanya tidak ada gangguan pada
eliminasi, tetapi walaupun begitu perlu juga kaji frekuensi,
konsitensi, warna serta bau fases pada pola eliminasi alvi. Sedangkan
pada pola eliminasi uri dikaji frekuensi kepekatanya, warna, bau, dan
jumlah. Pada kedua pola ini juga dikaji ada kesulitan atau tidak.
d) Pola istrahat dan tidur
Semua pasien fraktur timbul rasa nyeri, keterbatasan gerak,
sehingga hal ini dapat mengganggu pola dan kebutuhan tidur pasien.
Selain itu juga pengkajian dilaksanakan pada lamanya tidur, suasana
lingkungan, kebiasaan tidur, dan kesulitan tidur serta penggunaan
obat tidur.
e) Pola aktivitas
Biasanya pada pasien fraktur femur timbulnya nyeri,
keterbatasan gerak, maka semua bentuk kegiatan klien menjadi
berkurang dan kebutuhan klien perlu bnayak dibantu oleh orang lain.
Hal lain yang perlu dikaji adalah bentuk aktivitas klien terutama
pekerjaan klien. Karena ada bentuk pekerjaan beresiko untuk
terjadinya fraktur dibanding pekerrjaan yang lain.
f) Pola hubungan dan peran
Pasien akan kehilangan peran dalam keluarga dan dalam
masyarakat. Karna klien harus menjalani rawat inap.
g) Pola presepsi dan konsep diri
Dampak yang timbul pada klien fraktur yaitu timbul
ketidakuatan akan kecacatan akan frakturnya, rasa cemas, rasa
ketidak mampuan untuk melkukan aktivitas secara optimal, dan
pandangan terhadap dirinya yang salah.
h) Pola sensori dan kognitif
Pada klien fraktur daya rabanya berkurang terutama pada bagian
distal fraktur, sedangkan pada indera yang lain tidak timbul
gangguan. Begitu juga pada kognitifnya tidak mengalami gangguan.
Selain itu juga, timbul rasa nyeri akibat fraktur.
i) Pola reproduksi seksual
Dampak pada pasien fraktur femur yaitu, pasien tidak bisa
melakukan hubungan seksual karena harus menjalani rawat inap dan
keterbatasan gerak serta rasa nyeri yang dialami klien. Selain itu
juga, perlu perlu dikaji status perkawinannya termasuk jumlah anak,
lama perkawinannya.
j) Pola penanggulangan stres
Pada pasien fraktur timbul rasa cemas tentang keadaan dirinya,
yaitu ketidakutan timbul kecacatan pada diri dan fungsi tubuhnya.
Mekanisame koping yang ditempuh klien bisa tidak efektif.

k) Pola tata nilai dan kepercayaan

Untuk pasien fraktur femur tidak dapat melaksanakan kebutuhan


beribadah dengan baik terutama frekuensi dan konsentrasi. Hal ini
bisa disebabkan karena nyeri dan keterbatasan gerak klien.
b. Pemeriksaan fisik
Menurut (wahid, 2013) pemeriksaan fisik dibagi menjadi dua, yaitu
pemeriksaan umum (status generalisata) untuk mendapatkan gambaran
umum dan pemeriksaan setempat (lokalis). Hal ini perlu untuk dapat
melaksanakan total care karena ada kecenderungan dimana spesialisasi
hanya memperlihatkan daerah yang lebih sempit tetapi lebih mendalam.
1) Gambaran umum
Perlu menyebutkan:
a) Keadaan umum: baik atau buruknya yang dicatat merupakan
tanda-tanda, seperti:
(1) Kesadaran penderita: apatis, sopor, koma, gelisah, komposmentis
tergantung pada keadaan klien.
(2) Kesakitan, keadaan penyakit : akut, kronik, ringan, sedang, berat
dan pada kasus fraktur biasanya akut.
(3) Tanda-tanda vital tidak normal

b) Secara sistemik
(1) Sistem integumen
Terdapat erytema, suhu sekitar daerah trauma meningkat,
bengkak, oedema, nyeri tekan.
(2) Kepala
Biasanya diikuti atau tergantung pada gangguan kepala.
(3) Leher
Biasanya tidak ada pembesaran kelenjar tiroid atau getah bening
(4) Muka
Biasanya wajah tampak pucat, dan meringis
(5) Mata
Biasanya konjungtiva anemis atau sklera tidak ikterik
(6) Telinga
Biasanya simetris kiri dan kanan dan tidak ada masalah pada
pendengaran.
(7) Hidung
Biasanya simetris kiri dan kanan dan tidak ada pernafasan cuping
hidung
(8) Mulut
Biasanya mukosa bibir kering, pucat, sianosis
(9) Thoraks
-Inspeksi, Biasanya pernafasan meningkat, reguler atau tidaknya
tergantung pada riwayat penyakit pasien yang berhubungan
dengan paru.
-Palpasi, Biasanya pergerakan sama atau simetris, fermitus
terraba sama.
-Perkusi, Biasanya suara ketok sonor, tak ada redup atau suara
tambahan lainya.
-Auskultasi, Biasanya suara nafas normal, tak ada wheezing, atau
suara tambahan lainnya seperti stridor dan ronchi.
(10) Jantung
-Inspeksi, Biasanya tidak tampak iktus kordis
-Palpasi, Biasanya iktus kordis tidak teraba
-Auskultasi, Suara S1 dan S2 tunggal, tak ada mur-mur.
(11) Abdomen
-Inspeksi, Biasanya bentuk datar, simetris tidak ada hernia.
-Palpasi, Biasanya tugor baik, hepar tidak teraba
-Perkusi, Biasanya suara thympani
-Auskultasi, Biasanya bising usus normal ± 20 kali/menit
(12) Ekstremitas atas
Biasanya akral teraba dingin, CRT < 2 detik, turgou kulit baik,
pergerakan baik
(13) Ekstremitas bawah
Biasanya akral teraba dingin, CRT > 2 detik, turgor kulit jelek,
pergerakan tidak simteris, terdapat lesi dan edema.
c. Pemeriksaan diagnostik
1) pemeriksaan radiologi
Sebagai penunjang, pemeriksaan yang penting adalah
“pencitraan” menggunakan sinar rontgen (x-ray). Untuk
mendapatkan gambaran 3 dimensi keadaan dan kedudukan tulang
yang sulit, maka diperlukan 2 proyeksi yaitu AP atau PA dan
lateral. Dalam keadaan tertentu diperlukan proyeksi tambahan
(khusus) ada indikasi untuk memperlihatkan patologi yang dicari
karena adanya super posisi. Hal yang harus dibaca pada X-ray:
a) bayangan jarinagan lunak
b) tips tebalnya korteks sebagai akibat reaksi periosteum atau
biomekanik atau juga rotasi.
c) Trobukulasi ada tidaknya rare fraction.
d) Sela sendi serta bentuknya arsitektur sendi.
Selain foto polos X-ray (plane X-ray) mungkin perlu teknik
khususnya seperti:

a) Tomografi: menggambarkan tidak satu struktur saja tapi


struktur yang lain tertutup yang sulit difisualisasi. Pada kasusu
ini ditemukan kerusakan struktur yang kompleks dimana tidak
pada satu struktur saja tapi pada struktur lain juga
mengalaminya.
b) Myelografi: menggambarkan cabang-cabang saraf spinal dan
pembuluh darah diruang tulang vetebrae yang mengalami
kerusakan akibat trauma.
c) Arthrografi: menggambarkan jaringan-jaringan ikat yang rusak
karena ruda paksa.
d) Computed Tomografi-schanning: menggambarkan potongan
secara transfersal dari tulang dimana didapatkan suatu struktur
tulang yang rusak (Wahid, 2013).

2) Pemeriksaan laboratorium
a) Kalsium serum dan Fosfor Serum meningkat pada tahapan
penyembuhan tulang.
b) Alkalin fosfat meningkat pada kerusakan tulang dan
menunjukkan kegiatan osteoblastik dalam membentuk tulang.
c) Enzim otot seperti kreatinin kinase, laktat dehidrogenase
(LDH-5), aspartat Amino transferase (AST), Aldolase yang
meningkat pada tahap penyembuhan tulang (Wahid, 2013).
3) Pemeriksaan lain-lain
a) Pemeriksaan mikroorganisme kultur testsensitivitas:
Didapatkan mikroorganisme penyebab infeksi.
b) Biopsi tulang dan otot: pada intinya pemeriksaan ini sama
dengan pemeriksaan diatas tapi lebih di indikasikan bila terjdi
infeksi.

c) Elektromyografi: terdapat kerusakan konduksi saraf yang


dikibatkan faktor.
d) Arthroscopy: didapatkan jaringan ikat yang rusak atau sobek
karena trauma yang berlebihan.
e) Indium imaging: pada pemeriksaan ini didapatkan adanya
infeksi pada tulang.
f) MRI: menggambarkan semua kerusakan akibat fraktur (wahid,
2013).
2. Analisa Data
Diagnose yang ada :
a) Nyeri akut
Nyeri akut terjadi setelah terjadinya cidera akut, penakit, atau
intervensi bedah memiliki awitan yang cepat denga intensitas yang
bervariatif (ringan sampai berat) dan berlangsung untuk waktu
singkat. Nyeri akut merupakan signal bagi tubuh akan cidera atau
penyakit yang akan datang namun nyeri akut akan menghilang
dengan atau tanpa pengobatan setelah area pulih kembali.
Nyeri akut disebabkan oleh aktivitas nosireeptor dan biasanya
berlangsung dalam waktu yang singkat atau kurang dari 6 bulan,
dan datang tiba tiba. Nyeri akut dianggap memiliki durasi terbatas
dan bisa diprediksi, seperti nyeri pasca operasi, yang biasanya
akan menghilang ketika luka klien sembuh. Klien sebagian besar
menggunakan kata kata “tajam”, “tertusuk”, dan “tertembak”
untuk mendeskripsikan nyerinya (Black & Hawks, 2014).
Penyebab dari nyeri akut adalah agen cidera fisiologis
(misalnya : inflamasi ), agen pencedera kimiawi (misalnya : bahan
kimia iritan), dan agen pencedera fisik (misalnya : abses, prosedur
operasi trauma). Kondisi klinis terkait nyeri akut adalah kondisi
pembedahan, cedera traumatis, infeksi, sindrom coroner akut dan
glaucoma. (PPNI, 2016)

b) Hambatan Mobilitas Fisik


Gangguan mobilitas fisik adalah keterbatasan dalam gerakan
fisik dari satu atau lebih ekstremitas secara mandiri (Tim Pokja
SDKI DPP PPNI, 2017). Menurut North American Nursing
Diagnosis Association (NANDA) gangguan mobilitas fisik atau
immobilisasi merupakan suatu kedaaan dimana individu yang
mengalami atau berisiko mengalami keterbatasan gerakan fisik
(Kozier, Erb, Berman & Snyder, 2011). Ada lagi yang
menyebutkan bahwa gangguan mobilitas fisik merupakan suatu
kondisi yang relatif dimana individu tidak hanya mengalami
penurunan aktivitas dari kebiasaan normalnya kehilangan tetapi
juga kemampuan geraknya secara total (Ernawati, 2012).
Tidak hanya itu, imobilitas atau gangguan mobilitas adalah
keterbatasan fisik tubuh baik satu maupun lebih ekstremitas secara
mandiri dan terarah (Nurarif A.H & Kusuma H, 2015)
Menurut Tim Pokja SDKI DPP PPNI (2017), faktor penyebab
terjadinya gangguan mobilitas fisik, antara lain kerusaka integritas
struktur tulang, perubahan metabolisme, ketidakbugaran fisik,
penurunan kendali otot, penurunan massa otot, penurunan
kekuatan otot, keterlambatan perkembangan, kekakuan sendi,
kontraktur, malnutrisi, gangguan muskuloskeletal, gangguan
neuromuskular, indeks masa tubuh di atas persentil ke-75 usia,
efek agen farmakologi, program pembatasan gerak, nyeri, kurang
terpapar informasi tentang aktivitas fisik, kecemasan, gangguan
kognitif, keengganan melakukan pergerakan, dan gangguan
sensoripersepsi.

3. Diagnosa, Tujuan, Intervensi, Implementasi, dan Evaluasi


a) Diagnosa :
• Nyeri akut berhubungan dengan trauma jaringan dan spasme otot refleks
akibat: fraktur
• Nyeri akut berhubungan dengan trauma jaringan dan spasme otot refleks
akibat operasi
• Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan alat eksternal (arm sling)

b) Tujuan dan Kriteria hasil :


a) Setelah dilakukan tindakan selama 2 x 24 jam diharapkan nyeri dapat
teratasi dengan kriteria hasil :
• Skala nyeri berkurang
• Klien mnegatakan nyeri mulai berkurang
• Ekspresi wajah klien rileks
• Tidak adanya laporan nyeri

b) Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan integritas


struktur tulang :
Setelah dilakukan tindakan selama 2 x 24 jam diharapkan hambatan
imobilitas fisik dapat teratasi dengan kriteria hasil :
• Tidak adanya tanda tanda eritema pada daerah operasi
• Ada peningkatan kekuatan dan fungsi bagian tubuh yang sakit
• Dapat memahami dan menerapkan upaya untuk meningkatkan
mobilitas setelah pemberian edukasi

c) Rencana tindakan :
Nyeri akut :
1. Observasi keluhan nyeri, catat intensitasnya, lokasinya, dan
lamanya
2. Catat kemungkinan patofisiologis yang khas, misalnya adanya
infeksi,trauma servicalc.
3. Berikan tindakan kenyamanan, missal pedoman imajinasi,
viskalisasi, latihan nafas dalam, berikan aktivitas hiburan,
kompres
Hambatan mobilitas fisik :
1. Observasi kembali kemampuan dan keadaan secara fungsional
pada kerusakan yang terjadi
2. Berikan alat bantu untuk latihan gerak
3. Bantu pasien dalam program latihan alat imobilisai. Ingatkan
aktivitas dan partisipasidalam merawat diri sendiri sesuai
kemampuan
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN

A. Pengkajian
Hari/tanggal : Selasa,16 Maret 2021 Jam : 19.00
Tempat : RSUD Salatiga,Bangsal Flamboyan III kamar 301 F
Metode : Copping
Sumber data : Pasien kamar 301 F
Oleh : Astelia Sazahrani Cahya, Dea Ananda Putri, Trianisa Denta
Lintang Maharani dan Zakia Putri Kalqis,

1. Identitas
a. Pasien
Nama : Tn.R
Umur : 38 Tahun
Jenis kelamin : Laki-laki
Agama : Islam
Pendidikan : SLTA
Pekerjaan : Swasta
Suku bangsa : Jawa
Alamat : Ngawon RT 15 RW 15,Sidomukti
No. RM : 20-21-455144
Diagnosa medis : Fraktur Klavikula Dekstra Pre Operasi
Tgl masuk RS : 16 Maret 2021
b. Keluarga/ Penanggungjawab
Nama : Ny.S
Umur : 35 tahun
Pekerjaan : IRT
Alamat : Ngawon RT 15 RW 15,Sidomukti
Hub.dg.pasien : Istri pasien
2. Anamnesa
a. Keluhan utama:
Pasien mengatakan nyeri di bagian bahu kanan setelah jatuh
terpeleset dirumah 2 jam SMRS ,skala nyeri pasien 7,terasa tajam dan
terus menerus
b. Riwayat Penyakit Sekarang :
Tn R berusia 38 tahun datang ke RSUD Salatiga Bangsal Flamboyan
pada hari Selasa,16 Maret 2021,jam 19.00 PM.Pasien didiagnosa fraktur
klavikula dekstra akibat terpeleset di rumah 2 jam SMRS ,pasien
mengeluhkan nyeri dibagian bahu sebelah kanan
c. Riwayat Penyakit Dahulu :
Pasien pernah mengalami kejadian yang sama sebelumnya 3 bulan
yang lalu ataupun tidak mempunyai riwayat penyakit dahulu.Pasien
memiliki riwayat jatuh sebelumnya
d. Riwayat Penyakit Keluarga :
Pasien mengatakan tidak ada anggota keluarga yang mempunyai
penyakit menular ataupun penyakit lainnya :-
3. Pola Kebiasaan Pasien
a. Pola Nutrisi
• Sebelum sakit : Pola Nutrisi pasien normal(pasien tidak
mengalami kekurangan berat badan tanpa disengaja ,asupan
makan pasien normal)
• Selama sakit : Pola Nutrisi pasien normal(pasien tidak
mengalami kekurangan berat badan tanpa disengaja ,asupan
makan pasien normal)
b. Pola Eliminasi
• Sebelum sakit : BAB normal (1 x dalam 1 hari) dan BAK
pasien normal (4-5x dalam 1 hari).
• Selama sakit : BAB normal (1 x dalam 1 hari) dan BAK
pasien normal (4-5x dalam 1 hari).
c. Pola aktivitas istirahat dan tidur
• Sebelum sakit : Tidur 8 jam sehari
• Selama sakit : Tidur 4-5 jam sehari,setiap malam terbangun
karena bagian bahu terasa sakit
d. Pola kebersihan diri
• Sebelum sakit :Pasien mandi 2 kali sehari
• Selama sakit : Pasien hanya dibersihkan dengan lap basah atau
tissue basah
e. Pola reproduksi seksual
• Sebelum sakit : Pola reproduksi seksual normal
• Selama sakit : Pola reproduksi seksual normal
4. Aspek Mental, Intelektual, Sosial, dan Spiritual
a. Konsep diri
• Identitas diri : Klien mengenali siapa dirinya
• Harga diri : Klien menghargai dirinya dan mempunyai harapan
terhadap dirinya untuk sembuh
• Gambaran diri: klien mengatakan stress selama di rumah sakit
karena tidak dapat beraktivitas
• Peran diri : klien sebagai kepala rumah tangga ingin segara
pulang dan segera beraktivitas agar dapat mencari nafkah
kembali
• Self ideal : klien berharap operasinya berjalan lanvar dan segera
sembuh agar bisa pulang kerumah
b. Intelektual
Pasien paham dan mengerti tentang penyakit yang diderita,perawatan
yang dijalani serta pengobatan setelah diberikan edukasi
c. Hubungan interpersonal
Sebelum sakit : klien tinggal berempat dengan anak dan istri
Selama sakit : klien didampingin istri di rumah sakit
d. Mekanisme koping : pasien melakukan video call dengan anak
anaknya agar tidak stress di rumah sakit
e. Aspek mental/emosional
Afek : terkadang klien merasa sedih karena
memikirkan anaknya dirumah
Mood : klien merasa stress di rumah sakit
Kontak mata : klien dapat berbicara tanpa memutus kontak mata
f. Aspek intelegnsi
Persepsi : klien percaya bahwa ia akan sembuh dan bisa
pulang ke rumah
Memori : klien dapat mengingat dan mengetahui tentang
penyakitnya
Kognisi : klien bisa menjawab pertanyaan dengan jelas
Pengambilan keputusan : klien mengambil keputusan sendiri dan
berdiskusi dengan istrinya
g. Aspek sosial : klien terbuka dengan istri tetapi tidak dengan
orang sekitar
5. Pemeriksaan Fisik
a. Kesadaran umum dan tanda-tanda vital
Kesadaran : Compos Mentis GCS : E4V5M6
Tekanan darah : 135/76 mmHg
Frekuensi nadi : 95 x/menit Frekuensi nafas : 20 x/menit
Berat Badan : 70 Kg Tinggi Badan : 178 cm
IMT : 22,09 Kg/m2
b. Status Generalis
• Kepala :Simetris ,tidak terdapat nyeri tekan dan tidak ada
benjolan
• Mata : Sklera tidak ikterik, konjungtiva tidak anemis, dapat
membuka mata secara spontan
• Hidung : Tidak ada sekret
• Mulut : Tidak ada gigi palsu,tidak ada sariawan,mukosa bibir
kering
• Telinga : Simetris,tidak ada serumen,fungsi pendengaran baik
• Leher : Tidak ada pembesaran kelenjar tiroid,tidak ada
pembengkakan vena jugularis
• Thorak :
Pulmo
Inspeksi : Simetris,tidak ada retraksi dada,tidak ada penggunaan
otot pernafasan tambahan,tidak ada jejas
Palpasi : Ekspansi dada maksimal,tidak ada nyeri tekan,tidak
ada ketinggalan gerak antara taktil fremitus kanan dan kiri
Perkusi : Resonan
Auskultasi : Vesikuler
Jantung
Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak
Palpasi : tidak ada pergeseran ictus cordis,tidak ada pelebaran
batas jantung
Perkusi : Batas kanan dan kiri jantung normal
Auskultasi : Suara jantung S1,S2 ,regular tidak ada suara tambah
• Abdomen
Inspeksi : Tidak ada benjolan/bengkak,tidak ada jejas
Auskultasi : Bising usus normal,peristaltic normal
Palpasi : Tidak ada nyeri tekan pada bagian abdomen
Perkusi : Normal
• Punggung : Terdapat jejas dan lebam
• Genetelia : Jenis kelamin laki laki,BAK normal
• Anus/rectum : BAB normal
• Ekstermitas : Terpasang infus RL20 tpm pada ekstermitas atas
dibagian kiri , terdapat fraktur di klavikula sebelah kanan,terdapat
kelemahan otot pada bagian klavikula sebelah kanan.Deformitas
klavikula dekstra.Terdapat jejas di bahu sebelah kanan
6. Pemeriksaan penunjang
a. Hasil swab antigen : Negatif
b. Hasil Laboratorium: 16 Maret 2021

Pemeriksaan Hasil Nilai normal

Hemoglobin 12,4 gr/dL 12.0 - 15.5g/dl


Leukosit 76,10 .103/uL 3,6 – 11,0 .103 /uL
Hematokrit 38 % 36 - 48%
Eritrosit 4,9. 106/ uL 3,80 – 5,90 106 /uL
Trombosit 424.000 Sel/mm3 150.000 –440.000
Sel/mm3
MCV 78,2 fL 80-100 fL
MCH 25,3 fL 27,5-33,5 fL
MCHC 32,3 fL 33,4-35,5 fL
RDW 13,5 fL 11,5%-14,5% atau
39-47 fL
Albumin 3,21 gr/dL 3,4-5,4 gr/dL
SGOT 14 U/L 5-40 U/L
SGPT 20 U/L 7-56 U/L
Ureum 16,1 Mg/dL 6-21 Mg/dL
Creatinin 0,78 Mg/dL 0,5-1,1Mg/dL
Glukosa Sewaktu 92 Mg/dL <200 Mg/dL
HbsAg Negatif Negatif
HIV Negatif Negatif
c. Data penunjang rontgen :
• Fraktur klavikula dextra pars tertia medial dala internal fiksasi
plate and screw, aposisi, dan augnment baik.
• Tidak tampak dislokasi glenohumeral joint maupun
akroniokalvikular joint dextra.
B. Analisa Data
Tanggal No Data Problem Etiologi

16 Maret 1 Pre Operasi Nyeri akut Berhubungan dengan


2021 DO: trauma jaringan dan
• Pasien tampak menahan spasme otot refleks
sakit akibat: fraktur
• Pasien tidak tampak takut
ataupun cemas
• TTV pasien:
TD : 135/76mmHg
RR: 20x/menit
Nadi:95x/menit
Sp02: 98 %
Suhu : 36,4 Celcius
Keadaan umum compos
mentis
• Diberikan analgesik
ketorolac 30mg tiap 8 jam
• Terdapat deformitas
klavikula dekstra
• Terdapat jejas di bahu
sebelah kanan
DS:
• Pasien dan keluarga
mengatakan pasien jatuh
terpeleset dirumah kurang
lebih 2 jam sebelum masuk
RS
• Pasien mengatakan nyeri
dibagian bahu sebelah kanan
dengan skala nyeri 7
• Kualitas nyeri pasien tajam
dan terasa terus menerus
17 Maret 2 Post Operasi Nyeri akut Berhubungan dengan
2021 DO: trauma jaringan dan
• TTV Pasien spasme otot refleks
TD: 135/72 akibat operasi
RR: 20x/menit
N: 89x/menit
SpO2: 88%
Suhu 36,9 celcius
DS:
• Pasien mengatakan nyeri
pada bagian bahu sebelah
kanan dengan skala nyeri 4
• Pasien merasakan kaku di
sebelah bahu sebelah kanan
17 Maret 3. Post Operasi Hambatan Berhubungan dengan
2021 DO: mobilitas alat eksternal (arm
• TTV Pasien fisik sling)
TD: 135/72
RR: 20x/menit
N: 89x/menit
SpO2: 88%
Suhu 36,9 celcius
DS:
• Pasien mengatakan susah
menggerakkan ekstermitas
atas

C. Diagnosa Keperawatan
4. Pre Operasi :
▪ Nyeri akut Berhubungan dengan trauma jaringan dan spasme otot
refleks akibat: fraktur
2. Post Operasi :
▪ Nyeri akut Berhubungan dengan trauma jaringan dan spasme otot
refleks akibat operasi
▪ Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan alat eksternal (gips)

D. Intervensi Keperawatan

No Diagnosa Tujuan Intervensi Rasional


1 Nyeri akut NOC: Pain NIC: Pain 1. Metode non
Control Management farmakologis
Setelah dilakukan 1. Kaji Tingkat Nyeri merupakan
tindakan Pasien dengan metode yang
keperawatan pengkajian paling sering
selama 1 X 24 jam OPQRSTUV digunakan
diharapkan 2. Berikan pereda untuk
Masalah nyeri akut nyeri berupa mengurangi
pada pasien teratasi aplikasi nyeri. Terapi
atau berkurang dingin(kompres kompres panas
dengan kriteria dingin,ice bag) dan dingin
hasil : 3. Ajarkan teknik merupakan
1. Meningkatkan nonfarmakologi: salah satu
partisipasi seperti Tarik nafas metode non
pasien dalam dalam farmakologis
kegiatan 4. Kolaborasikan untuk
pemulihan dengan dokter mengatasi
nyeri untuk pemberian nyeri.
2. Skala nyeri obat pereda nyeri Kompres
pasien turun yang optimal dingin lebih
dari 7 menjadi dengan analgesik efektif dalam
4 menurunkan
3. Menyatakan derajat nyeri
rasa nyaman dibandingkan
setelah nyeri dengan
berkurang kompres
• TTV pasien panas((Felina,
normal yaitu Masrul, &
TD: 90/60 Iryani, 2015)
mmHg hingga 2. Analgetik
120/80 memblokade
mmHg,Nadi: 60 lintasan nyeri,
-100 kali per sehingga nyeri
menit, akan
Pernafasan 12- berkurang
20 x/menit,Sp02 (Sudrajat
96%- 2016)
100%,Suhu 3. Intervensi
tubuh pasien nonfarmakolog
dalam batas i menyediakan
normal yaitu pendekatan
36,5𝑜 𝑐𝑒𝑙𝑐𝑖𝑢𝑠- pengobatan
37,3𝑜 𝐶elcius(S utama untuk
meltzer,Bare,Hi nyeri. Karena
nkle &Cheever dapat memberi
,2008) klien rasa
kontrol yang
meningkat,
berpromosi
keterlibatan
aktif,
mengurangi
stres dan
kecemasan,
meningkatkan
suasana hati,
dan
meningkatkan
ambang rasa
sakit ( Amirah,
2015)
4. Untuk
menurunkan
nyeri secara
farmakologi
meliputi
analgesik
dengan
penggunaan
opioid. Obat
opioid ini
berfungsi
untuk
penghilang
rasa sakit yang
bekerja dengan
reseptor opioid
di dalam sel
tubuh, obat ini
dibuat dari
tanaman
opium seperti
morfin.
Dengan efek
samping
seperti
memperlambat
pernapasan
dan detak
jantung
(Rahayuwati et
al., 2018).

2. Nyeri NOC: Pain NIC: Pain


Akut Control Management 1. Terapi
Setelah 1. Kaji Tingkat kompres panas
dilakukan Nyeri Pasien dan dingin
tindakan 2. Berikan pereda merupakan salah
keperawatan nyeri berupa satu metode non
selama 1 X 24 aplikasi dingin farmakologis
jam diharapkan (kompres dingin, untuk mengatasi
Masalah nyeri ice bag) nyeri. Kompres
akut pada pasien 3. Ajarkan teknik dingin lebih
teratasi atau nonfarmakologi: efektif dalam
berkurang seperti menurunkan
dengan kriteria pemberian derajat nyeri
hasil : aromaterapi. dibandingkan
1. Meningkatkan 4. Kolaborasikan dengan kompres
partisipasi dengan dokter panas((Felina,
pasien dalam untuk pemberian Masrul, & Iryani,
kegiatan obat pereda 2015)
pemulihan nyeri yang 2. Sharma (2009)
nyeri optimal dengan mengatakan
2. Skala nyeri analgesik bahwa bau
pasien turun berpengaruh
dari 4 secara langsung
menjadi 2 terhadap otak
3. Menyatakan seperti obat
rasa nyaman analgesik.
setelah nyeri Misalnya,
berkurang mencium
4. TTV pasien lavender maka
normal yaitu akan
TD: 90/60 meningkatkan
mmHg hingga gelombang-
120/80 gelombang alfa
mmHg,Nadi: 6 didalam otak dan
0-100 kali per membantu untuk
menit,Pernafas merasa
an 12-20 rileks.
x/menit,Sp02 3.Untuk
96%- menurunkan nyeri
100%,Suhu secara
tubuh pasien farmakologi
dalam batas meliputi analgesik
normal yaitu dengan
36,5𝑜 𝑐𝑒𝑙𝑐𝑖𝑢𝑠- penggunaan
37,3𝑜 𝐶elcius( opioid. Obat
Smeltzer,Bare, opioid ini
Hinkle berfungsi untuk
&Cheever penghilang rasa
,2008) sakit yang bekerja
dengan reseptor
opioid di dalam
sel tubuh, obat ini
dibuat dari
tanaman opium
seperti morfin.
Dengan efek
samping seperti
memperlambat
pernapasan dan
detak jantung
(Rahayuwati et
al., 2018).

3 Hambatan NOC: Tingkat NIC: Pengaturan


Mobilitas Mobilitas Posisi 1. Mengganti-
fisik Setelah 1. Observasi adanya ganti posisi di
dilakukan tanda tanda eritema tempat tidur,
tindakan dan pucat pada kulit berjalan dan
keperawatan pasien melakukan
selama 1 X 24 2. Posisikan tubuh gerakan-
jam diharapkan pasien sejajar dan gerakan yang
Masalah resiko tidak menggunakan dianjurkan
jatuh pada bantal ketika posisi dokter atau
pasien teratasi fowler untuk perawat akan
dengan kriteria mencegah memperbaiki
hasil : komplikasi sirkulasi
1. Pasien 3. Ajarkan latihan sehingga
mengalami rentang gerak pada terhindar dari
peningkatan ekstremitas yang resiko
kekuatan dan sehat kepada pasien pembekuan
daya tahan dan keluarga darah karena
ekstremitas yaitu 4. Kolaborasikan pembekuan
dari tingkat 1 dengan fisioterapis darah ini dapat
menjadi tingkat 0 terkait latihan memperlambat
2. Pasien mobilisasi penyembuhan
memahami dan luka.
dapat Mobilisasi
menerapkan dapat
upaya untuk mencegah
meningkatkan terjadinya
mobilitas setelah trombosis dan
pemberian tromboemboli,
edukasi. dengan
3. Tidak adanya mobilisasi
tanda tanda sirkulasi darah
eritema pada normal/lancar
kulit daerah sehingga
operasi resiko
(demam,gatal,ke terjadinya
merahan) trombosis dan
tromboemboli
dapat
dihindarkan
(Delima et al.,
2019).
2. Pasien pasca
bedah dengan
anestesi umum
akan dirawat
di recovery
room dengan
posisi pasien
ditidurkan
tanpa bantal di
kepala. Posisi
ini dilakukan
untuk
mempertahank
an jalan napas
terbuka dan
memungkinka
n drainase
mukus atau
muntah
(Delima et al.,
2019).
3. Mobilisasi
segera setahap
demi setahap
berguna untuk
membantu
penyembuhan
luka opersi
(Netty, 2013)
4. Menggerakkan
semua sendi
baik secara
pasif maupun
aktif akan
membantu
mencegah
timbulnya
atropi otot,
mencegah
dekubitus,
meningkatkan
tonus otot
saluran
pencernaan,
merangsang
peristaltik
usus,
meningkatkan
laju metabolik,
memperlancar
sirkulasi
kardiovaskuler
dan paru-paru
(A
Commentary
on Berman,
Jonides,
2009).
Sehingga akan
mencegah
timbulnya
komplikasi
paska
pembedahan
dan
mempercepat
proses
pemulihan
(Prof.
Sugiono,
2016)
E. Implementasi dan Evaluasi Keperawatan

Tanggal/ Diagnosa Implementasi Evaluasi


Waktu
08:00-08:15 Nyeri akut 1. Mengkaji tingkat nyeri 08 : 00-08 : 15 WIB
16- Maret - pasien dengan
2021 pengkajian S : O: pasien mengatakan
OPQRSTUV nyeri terjadi ketika dia
terjatuh dari motor
P: Pasien mengatakan
nyeri bertambah ketika
menggerakan lengan
kanan dan nyeri menetap
Q: Pasien mengatakan
nyeri
R: Pasien mengatakan
nyeri tembus ke belakang
S: Dari kategori skala
nyeri 1-10 pasien
mengatakan skala nyeri 7
T: Pasien mengatakan
nyeri sudah berlangsung
sejak dia terjatuh dan
nyeri timbul terus
menerus
U: Pasien mengatakan ia
mengerti nyerinya ada
karena terjatuh
V: Pasien berharap ia
berharap nyeri dapat
segera berkurang setelah
diberikan obat dan
tindakan operasi telah
dilakukan.

O:
- Pasien terlihat
menahan nyeri
- TTV : TD =
135/76 mmhg, N =
95x/menit, RR =
20x/menit, SpO2 =
98%, Akral =
hangat
- Skala nyeri = 7
- Terdapat jejas di
bahu kanan

A : nyeri akut teratasi


sebagian

P : lanjutkan intervensi

2. Memberikan Pereda 08 : 15 – 08 : 25 WIB


nyeri berupa
pengompresan dengan S : pasien mengatakan
menggunakan botol bahwa nyerinya
yang berisi air dingin berkurang dan sudah
mengerti teknik relaksasi
yang di ajarkan
3. Mengajarkan teknik
non farmakologi
O:
dengan melakukan
- Skala nyeri
teknik relaksasi
pasien : 4
- Pasien terlihat
mengangguk
karena sudah
mengerti Teknik
relaksasi yang di
ajarkan

A : Masalah nyeri akut


teratasi sebagian

P : Intervensi dilanjutkan
17 maret Nyeri akut 1. Mengkaji Tingkat 17 : 00 – 17 : 15 WIB
2021 Nyeri Pasien S : pasien mengatakan
dengan skala nyeri bahwa nyerinya sudah
2. Memberikan berkurang drastic
pereda nyeri
berupa aplikasi O :
dingin (kompres - Pasien terlihat
dingin, ice bag) rileks
- TTV : TD =
120/70 mmhg, N =
96x/menit, RR =
20x/menit, SpO2 =
95%, Akral =
hangat
- Skala nyeri : 2

A : masalah nyeri akut


teratasi sebagian

P : Lanjutkan Intervensi

3. Mengajarkan 17 : 30 – 17 : 50 WIB
teknik
nonfarmakologi: S : pasien mengatakan
seperti pemberian bahwa ia lebih relaks
aromaterapi. setelah di berikan aroma
4. Berkolaborasi terapi
dengan dokter
untuk pemberian O :
obat pereda nyeri - TTV : TD =
yang optimal 120/80 Mmhg, N
dengan analgesik = 80x/menit, RR
= 20x/menit,
SpO2 = 98%,
Suhu = 36,5oC
- Skala nyeri dari 4
menjadi 2
A : Masalah nyeri akut
sudah tertasi
P : intervensi dihentikan

17 maret Hambatan 1. Mengobservasi 18 : 30 – 18 : 45 WIB


2021 mobilitas fisik adanya eritema
dan pucat pada S : pasien mengatakan
kulit klien bahwa sulit bergerak
2. Memposisikan
tubuh pasien O:
sejajar dan tidak - Pasien terlihat
menggunakan kesulitan bergerak
bantal ketika dikarenakan
posisi fowler menggunakan arm
untuk mencegah sling
komplikasi
A : masalah hambatan
mobilitas fisik belum
teratasi

P : intervensi dilanjutkan

18 : 45 – 19 : 00 WIB
3. Mengajarkan
latihan rentang S : pasien mengatakn
gerak pada bahwa ia sudah paham
ekstremitas yang dengan latihan gerak yang
sehat kepada di ajarkan
pasien dan
keluarga O:
4. Berkolaborasi - Pasien terlihat bias
dengan fisioterapis mengikuti edukasi
terkait latihan yang diberikan

A : masalah hambatan
imobilitas fisik sudah
teratasi

P : hentikan intervensi
BAB IV
PEMBAHASAN

Setelah melaksanakan asuhan keperawatan pada pasien Tn.R yang terdiagnosa


Fraktur Clavicula Dextra selama 3 x 24 jam dari tanggal 16 Maret 2021 sampai dengan 18
Maret 2021, penulis memperoleh pengalaman nyata dalam melaksanakan asuhan
keperawatan pada Tn. R dengan diagnosa Fraktur Clavikula Dextra dengan menerapkan
proses keperawatan yang meliputi pengkajian, diagnosa keperawatan, perencanaan
keperawatan, pelaksanaan keperawatan dan evaluasi keperawatan serta
mendokumentasikannya. Adapun pembahasannya sebagai berikut :
1. Pengkajian
Metode yang digunakan dalam pengkajian adalah wawancara, observasi,
pemeriksaaan fisik dan studi dokumentasi. Pada saat pengkajian penulis
memperoleh beberapa data antara lain. Pasien mengatakan nyeri di bagian bahu
kanan setelah jatuh terpeleset dirumah 2 jam SMRS ,skala nyeri pasien 7,terasa
tajam dan terus menerus. Pasien pernah mengalami kejadian yang sama sebelumnya
3 bulan yang lalu ataupun tidak mempunyai riwayat penyakit dahulu.Pasien
memiliki riwayat jatuh sebelumnya. Pasien mengatakan tidak ada anggota keluarga
yang mempunyai penyakit menular ataupun penyakit lainnya
2. Diagnose Keperawatan
Pada pasien Tn. R dengan diagnosa Fraktur Clavikula Dextra didapatkan 3 diagnosa
yang muncul berdasarkan kondisi pasien diantaranya adalah :
• Nyeri akut berhubungan dengan trauma jaringan dan spasme otot refleks akibat:
fraktur
• Nyeri akut berhubungan dengan trauma jaringan dan spasme otot refleks akibat
operasi
• Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan alat eksternal (arm sling)
3. Perencanaan Keperawatan
Perencanaan sesuai teori dengan memperhatikan situasi dan kondisi pasien serta sarana
dan prasarana di rumah sakit. Prioritas masalah berdasarkan teori Hierarki Maslow,
sedangkan penentuan tujuan meliputi sasaran, kriteria waktu dan hasil dan rencana
tindakan keperawatan kasus ini berpedoman pada NANDA,LYNDA, NOC dan
NIC. Dengan menyesuaikan pada kondisi pasien. Dalam penyusunan perencanaan
keperawatan melibatkan pasien, keluarga dan tim kesehatan lain yang mencakup 4
elemen yaitu observasi, tindakan keperawatan mandiri, pendidikan kesehatan dan
tindakan kolaborasi.
5. Pelaksanaan Keperawatan
Dapat dilaksanakan dengan adanya kerjasama yang baik dengan pasien, keluarga
pasien, perawat ruangan dan tim kesehatan lainnya. Ketiga diagnose tersebut sudah
teratasi sepenuhnya dikarenakan Tn.R sangat kooperatif saat dilakukan pengkajian
dan patuh terhadap anjuran yang diberikan oleh dokter maupun petugas medis
lainnya. Serta Tn.R juga berkenan untuk memakai arm sling untuk menjaga agar
tangannya yang mengalami fraktur bisa aman dan segera pulih.
6. Evaluasi Keperawatan
Evaluasi dari hasil asuhan keperawatan yang dilaksankan selam 3 x 24 jam, dari ke
3 diagnosa keperawatan, meliputi :
• Nyeri akut berhubungan dengan trauma jaringan dan spasme otot refleks akibat:
fraktur
• Nyeri akut berhubungan dengan trauma jaringan dan spasme otot refleks akibat
operasi
• Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan alat eksternal (arm sling)
Ketiga diagnose tersebut sudah teratasi
7. Pendokumentasian
Pendokumentasian telah dilaksanakan sesuai dengan kronologis waktu dan kriteria
dalam format asuhan keperawatan yang terdiri dari perencanaan, pelaksanaan dan
pada tahap evaluasi penulis menggunakan metode SOAP: S : Subyektif, O : Obyek
data, A : Analisa, P : Planning. Pendokumentasian dengan metode SOAP dilakukan
setelah melakukan tindakan keperawatan dengan mencantumkan tanggal, jam, nama
dan tanda tangan.
BAB V
KESIMPULAN
Dari hasil pengkajian hingga analisa data muncul 3 diagnosa. Nyeri akut berhubungan dengan
trauma jaringan dan spasme otot refleks akibat: fraktur, Nyeri akut berhubungan dengan
trauma jaringan dan spasme otot refleks akibat operasi dan Hambatan mobilitas fisik
berhubungan dengan alat eksternal (arm sling)
Berdasarkan ketiga diagnose tersebut penulis sudah melakukan intervensi dan
mengimplementasikannya secara langsung kepada pasien. Ketiga diagnose tersebut sudah
teratasi sepenuhnya.
DAFTAR PUSTAKA
Delima, M., Kartika, K., & Deswita, D. (2019). Pengaruh Pengaturan Posisi Terhadap
Lama Pemulihan Keadaan Pasien Post Operasi Dengan Anestesi Umum Di Recovery
Room Rsam Bukittinggi. JURNAL KESEHATAN PERINTIS (Perintis’s Health
Journal), 6(1), 35–41. https://doi.org/10.33653/jkp.v6i1.206
Felina, M., Masrul, M., & Iryani, D. (2015). Pengaruh Kompres Panas dan Dingin terhadap
Penurunan Nyeri Kala I Fase Aktif Persalinan Fisiologis Ibu Primipara. Jurnal
Kesehatan Andalas, 4(1), 58–64. https://doi.org/10.25077/jka.v4i1.190

Helmi, Zairin Noor. 2011. Buku Ajar Gangguan Muskuloskeletal. Jakarta


: Salemba Medika.
Muttaqin, Arif, 2012. Buku Saku Gangguan Muskuloskletal Aplikasi Pada Praktek Klinik
Keperawatan, Penerbit Buku Kedokteran, EGC : Jakarta
Netty, I. (2013). HUBUNGAN MOBILISASI DINI DENGAN PENYEMBUHAN LUKA
POST OPERASI SEKSIO SESAREA DI RUANG RAWAT GABUNG
KEBIDANAN RSUD H. ABDUL MANAP KOTA JAMBI TAHUN 2012. 15.
Prof. Sugiono. (2016). Metodologi Penelitian Kombinasi. Jakarta: Alfabeta.
Sudrajat, M., Harahap, M.S. and Sutiyono, D., 2018. Operasi Fraktur dengan anestesi
umum. JAI (Jurnal Anestesiologi Indonesia), 10(1), pp.8-15.
Wahid,Abdul.2013.Asuhan Keperawatan dengan Gangguan Sistem
Muskuloskeletal.Jakarta:Trans Info Media.

Anda mungkin juga menyukai