Anda di halaman 1dari 8

PRINSIP ATRAUMATIC CARE PADA ANAK

I. DESKRIPSI SINGKAT
Hospitalisasi merupakan suatu proses karena suatu alasan darurat atau berencana mengharuskan
anak untuk tinggal di rumah sakit menjalani terapi dan perawatan sampai pemulangan kembali ke
rumah. Selama proses tersebut bukan saja anak tetapi orang tua juga mengalami kebiasaan yang
asing, lingkungan yang asing, orang tua yang kurang mendapat dukungan emosi akan
menunjukkan rasa cemas. Rasa cemas pada orang tua akan membuat stress anak meningkat.
Tujuan dilakukan asuhan keperawatan dengan prinsip atraumatic care adalah untuk mengurangi
dampak psikologis dari tindakan keperawatan yang diberikan. Dengan demikian asuhan
keperawatan tidak hanya terfokus pada anak tetapi juga pada orang tuanya.

II. MATERI
PRINSIP ATRAUMATIC CARE PADA ANAK

1. Pengertian Atraumatic Care pada Anak


Atraumatic care adalah pemberian perawatan secara therapeutik di semua setting, oleh
personnel, dan melalui penggunaan intervensi yang menghilangkan atau meminimalkan
distress psikologis and fisik yang dialami oleh  pasien dan keluarga mereka dalam sistem
pelayanan kesehatan (Wong, 2011). Atraumatic care adalah asuhan keperawatan yang tidak
menimbulkan trauma pada anak dan keluarganya dan merupakan asuhan yang theurapetik
karena bertujuan sebagai terapi pada anak. Atraumatic care merupakan bentuk perawatan
theurapetik yang diberikan oleh tenaga kesehatan dalam tatanan kesehatan anak, melalui
penggunakan tindakan yang dapat mengurangi stres fisik maupun stres psikologis yang dialami
anak maupun orang tuanya. Atraumatic care bukan suatu bentuk intervensi yang nyata
terlihat, tetapi memberikan perhatian pada apa, siapa, dimana, mengapa dan bagaimana
prosedur dilakukan pada anak dengan tujuan mencegah dan mengurangi stres fisik maupun
psikologis.
2. Tujuan Atraumatic Care
Dalam (Sutarna & Juniarti, 2002) disebutkan tujuan utama dari perawatan atraumatic
care adalah tidak menyakiti. Sehingga terdapat tiga prinsip kerangka kerja untuk mencapai
tujuan tersebut, yaitu, mencegah atau meminimalkan perpisahan anak dari orangtua,
meningkatkan kontrol diri, mencegah atau meminimalkan cedera tubuh.
3. Sumber-Sumber Stressor pada Anak dan Keluarga
a. Stressor fisik 
1) Nyeri dan ketidaknyamanan (injeksi, penusukan vena, intubasi, suctioning,
penggantian dressing, pemeriksaan rectal, prosedur invasif lain, penyakit, tindakan)
2) Immobilitas (penggunaan restraint, fatigue, menjalani bedrest)
3) Kurang tidur
4) Ketidakmampuan makan dan minum 
5) Perubahan dalam kebiasaan eliminasi
b. Stresor Psikologis
1) Terpisah dari keluarga
2) Kurang privacy
3) Ketidakmampuan berkomunikasi (jika diintubasi)
4) Inadequate pengetahuan dan pemahaman tentang situasi
5) Beratnya penyakit 
6) Perubahan dalam penampilan dan perilaku pasien
c. Stressor dari lingkungan
1) Lingkungan sekitar yang tidak familiar (crowding)
2) Suara-suara yang tidak familiar (bising dari alat-alat, seperti monitor, telepon,
suctioning, printout komputer; suara manusia, seperti berbicara, tertawa, menjerit,
batuk, mengeluh, muntah-muntah, berjalan)
3) Orang-orang yang tidak familiar (tenaga kesehatan, pasien, pengunjung)
4) Bau-bau yang tidak familiar dan tidak enak (alkohol, adhesive remover, bau tubuh,
makanan)
5) Cahaya dan bising yang terus menerus
6) Aktivitas terkait dengan pasien lain
7) Perasaan tergesa-gesa atau kurang concern di antara staff; komentar-komentar yang
tidak ramah
4. Prinsip-Prinsip Atraumatic Care
Atraumatic care sebagai bentuk perawatan therapetik dapat diberikan pada anak dan
keluarga dengan mengurangi dampak psikologis dari tindakan keperawatan yang diberikan,
seperti memperhatikan dari dampak tindakan yang diberikan dengan melihat prosedur
tindakan atau aspek lain yang kemungkinan berdampak adanya trauma.
Azis, A (2008) mengatakan untuk mencapai perawatan tersebut beberapa prinsip yang
dapat dilakukan perawat antara lain, menurunkan atau mencegah dampak perpisahan dari
keluarga, meningkatkan kemampuan orangtua dalam mengontrol perawatan anak, mencegah
atau mengurangi cedera (injury) dan nyeri (dampak psikologis), tidak melakukan kekerasan
pada anak, dan modifikasi lingkungan fisik. Dalam Wong (2011) tujuan mencapai perawatan
atraumatic care adalah pertama, jangan menyakiti. Sehingga terdapat tiga prinsip kerangka
kerja untuk mencapai tujuan tersebut, yaitu, mencegah atau meminimalkan perpisahan anak
dari orangtua, meningkatkan kontrol diri, mencegah atau meminimalkan cedera tubuh.
a. Menurunkan atau mencegah dampak perpisahan dari keluarga
Dampak perpisahan dari keluarga adalah anak akan mengalami gangguan psikologis
seperti kecemasan, ketakutan, dan kurangnya kasih sayang. Gangguan ini akan
menghambat proses penyembuhan anak dan dapat mengganggu pertumbuhan dan
perkembangan anak.
b. Meningkatkan kemampuan orang tua dalam mengontrol perawatan anak
Melalui peningkatan kontrol orang tua pada diri anak diharapkan anak mampu mandiri
dalam kehidupannya, anak akan selalu berhati-hati dalam melakukan aktivitas sehari-hari,
selalu bersikap waspada dalam segala hal, serta pendidikan terhadap kemampuan dan
keterampilan orang tua dalam mengawasi perawatan anaknya. Seiring waktu berlalu,
orientasi pelayanan keperawatan anak berubah menjadi rooming in, yaitu orangtua boleh
tinggal bersama anaknya di rumah sakit selama 24 jam dan penting untuk perawat atau
tenaga kesehatan mempersiapkan anak dan orangtuanya sebelum dirawat di rumah sakit.
Dengan demikian, pendidikan kesehatan untuk orangtua menjadi sangat penting untuk
dilakukan perawat. Kerja sama antara orangtua dan tim kesehatan dirasakan besar
manfaatnya dan orangtua tidak hanya sekedar pengunjung bagi anaknya. Begitu juga
keberadaan orangtua terutama kelompok orangtua yang anaknya mempunyai jenis
penyakit yang sama ternyata dapat membuat orang tua lebih percaya diri dalam merawat
anaknya dan merasa ada dukungan psikologis sehingga diharapkan dapat bekerja sama
sebagai mitra tim kesehatan.
c. Mencegah dan mengurangi cedera (injury) nyeri (dampak psikologis)
Mengurangi nyeri merupakan tindakan yang harus dilakukan dalam keperawatan anak.
Proses pengurangan rasa nyeri sering tidak bisa dihilangkan secara cepat akan tetapi
dapat dikurangi melalui berbagai teknik misalnya distraksi, relaksasi, imaginary. Apabila
tindakan pencegahan tidak dilakukan maka cedera dan nyeri akan berlangsung lama pada
anak sehingga dapat mengganggu pertumbuhan dan perkembangan anak.
The American Pain Society (2000) menyebutkan nyeri sebagai tanda vital kelima, yang
berarti harus mendapat perhatian dari pada perawat kesehatan profesional.
Rasionalisasinya karena nyeri akan berhubungan dengan peningkatan tanda-tanda vital
sehingga prinsip dari tindakan perawatan nyeri adalah memeriksa tanda-tanda vital
pasien setiap saat, misalnya nadi, tekanan darah, suhu, dan pernafasan (Wong, 2011).
Karena nyeri berhubungan dengan sensori dan emosional, maka digunakanlah strategi
penilaian kualitatif dan kuantitatif. Istilah yang digunakan untuk menanyakan nyeri pada
anak dengan menggunakan pertanyaan, seperti menanyakan anak, gunakan skala nyeri,
evaluasi perubahan psikologi dan tingkah laku, libatkan orangtua, cari penyebab nyeri,
dan ambil tindakan dan evaluasi hasil nyeri.
Ucapan yang keluar secara verbal dari anak adalah indikator dari nyeri (Acute Pain
Management Guideline Panel, 1992). Anak tidak mengenal arti kata nyeri dan sering
mengungkapkan dengan kata-kata yang biasa diucapkan, seperti “owie”, ”booboo”,
“aduh”, “ouh”. Ketika menanyakan rasa nyeri pada anak, perawat harus ingat bahwa anak
mempercayai bahwa ketika mereka mendapat suntikan adalah suatu hukuman sehingga
mereka membutuhkan orangtua untuk menemaninya. Menggunakan skala nyeri adalah
suatu manajemen pengukuran kuantitatif dari pasien. Evaluasi perubahan psikologi dan
tingkah laku adalah indikator dan reaksi nonverval dari anak. Tingkah laku yang
ditunjukkan seperti menarik telinga, berbaring miring pada satu sisi dengan kaki ke arah
perut yang sakit dan menolak menggerakkan badan. Respon psikologi termasuk
hipertensi, takikardi, kurangnya saturasi oksigen dan dilatasi pupil. Skala yang sering
digunakan adalah ekspresi wajah, menangis, denyut jantung, pernapasan, saturasi
oksigen, dan pergerakan tubuh. Respon perubahan-perubahan nyeri pada anak diikuti
sesuai umur dan perkembangan, sebagai berikut:
1) Infant : reaksi itu berupa gerakan reflek pada daerah yang teransang, menangis kuat,
ekspresi wajah marah, dan gerakan yang tidak berhubungan dengan rasa ransangan
nyeri.
2) Toddler dan pra sekolah: selalu menangis kuat, berteriak, ungkapan verbal seperti,
“ow”, “ouch”, “aduh”, mengayunkan tangan dan lengannya, menolak dengan
mendorong, tak kooperatif, permintaan penundaan tindakan, memohon pada
orangtua, perawat, atau orang yang dikenal.
3) Usia sekolah: biasanya anak akan mengungkapkan tingkah laku bertahan, dan
mengucapkan kata “tunggu sebentar” atau “saya belum siap”, juga menunjukkan
kekakuan otot seperti gigi ditutup rapat, mata ditutup dan kening berkerut.
4) Masa remaja: sikap adanya protes dan gerakan berkurang, dan sering mengungkapan
kata “sakit”, “kamu menyakitiku” dan meningkatnya kontrol otot dan tubuh.
Tindakan yang dapat dilakukan untuk mencegah dan mengurangi nyeri adalah :
1) Melibatkan orangtua adalah penting karena mereka sumber utama informasi
bagaimana keadaan nyeri anak mereka dan memegang kunci perawatan anak
mereka. Orangtua sangat sensitif terhadap perubahan yang terjadi pada anak mereka
dan seringkali ingin ikut terlibat bila anak mereka sakit. Anak-anak akan merasa
nyaman dengan kehadiran orangtua apabila mereka merasa sakit (Broome, 2000).
2) Mencari penyebab nyeri pada anak adalah dengan menggunakan pathologi, karena
pathologi dapat memberikan kunci penyebab intensitas dan tipe nyeri.
3) Ambil tindakan dan evaluasi hasil adalah menyembuhkan nyeri, hal yang utama
menghilangkan nyeri adalah tindakan pharmakologi atau dengan nonpharmakologi
d. Tidak melakukan kekerasan pada anak
Kekerasan pada anak akan menimbulkan gangguan psikologis yang sangat berarti dalam
kehidupan anak. Apabila ini terjadi pada saat anak dalam proses tumbuh kembang maka
kemungkinan pencapaian kematangan akan terlambat, dengan demikian tindakan
kekerasan pada anak sangat tidak dianjurkan karena akan memperberat kondisi anak.
e. Modifikasi lingkungan fisik
Melalui modifikasi lingkungan fisik yang bernuansa anak dapat meningkatkan keceriaan,
perasaan aman, dsan nyaman bagi lingkungan anak sehingga anak selalu berkembang dan
merasa nyaman di lingkungannya. Faktor predisposisi terjadinya trauma pada anak yang
mengalami hospitalisasi diantaranya dampak lingkungan fisik rumah sakit dan perilaku
petugas itu sendiri sering kali menimbulkan trauma pada anak. Lingkungan rumah sakit
yang asing bagi anak maupun orang tuanya dapat menjadi stressor.
5. Prinsip-Prinsip Komunikasi Therapeutik pada Anak
Komunikasi therapeutik adalah komunikasi yang dilakukan secara sadar, bertujuan dan
kegiatannya dipusatkan untuk kesembuhan pasien. Komunikasi terapeutik pada anak adalah
komunikasi yang dilakukan antara perawat dan anak, yang direncanakan secara sadar dan
merupakan proses belajar bersama, bertujuan memperbaiki pengalaman emosional anak dan
kegiatannya dipusatkan untuk kesembuhan anak. Komunikasi pada anak merupakan bagian
penting dalam membangun kepercayaan diri kita dengan anak. Melalui komunikasi akan
terjalin rasa percaya, rasa kasih sayang dan selanjutnya anak akan memiliki sutau penghargaan
pada dirinya.
Komunikasi dengan anak berdasarkan usia tumbuh kembang, antara lain :
a. Usia Bayi (0-1 tahun)
Komunikasi pada bayi yang umumnya dapat dilakukan adalah dengan melalui gerakan-
gerakan bayi, gerakan tersebut sebagai alat komunikasi yang efektif, di samping itu
komunikasi pada bayi dapat dilakukan secara non verbal. Perkembangan komunikasi pada
bayi dapat dimulai dengan kemampuan bayi untuk melihat sesuatu yang menarik, ketika
bayi digerakkan maka bayi akan berespons untuk mengeluarkan suara-suara bayi.
Perkembangan komunikasi pada bayi tersebut dapat dimulai pada usia minggu ke delapan
dimana bayi sudah mampu untuk melihat objek atau cahaya, kemudian pada minggu
kedua belas sudah mulai melakukan tersenyum. Pada usia ke enam belas bayi sudah
mulai menolehkan kepala pada suara yang asing bagi dirinya. Pada pertengahan tahun
pertama bayi sudah mulai mengucapkan kata-kata awal seperti ba-ba, da-da, dan lain-
lain. Pada bulan ke sepuluh bayi sudah bereaksi terhadap panggilan terhadap namanya,
mampu melihat beberapa gambar yang terdapat dalam buku. Pada akhir tahun pertama
bayi sudah mampu mengucapkan kata-kata yang spesifik antara dua atau tiga kata. Selain
melakukan komunikasi seperti di atas terdapat cara komunikasi yang efektif pada bayi
yakni dengan cara menggunakan komunikasi non verbal dengan tehnik sentuhan seperti
mengusap, menggendong, memangku, dan lain-lain
b. Usia Todler dan Pra Sekolah (1-2,5 tahun, 2,5-5 tahun)
Perkembangan komunikasi pada usia ini dapat ditunjukkan dengan perkembangan bahasa
anak dengan kemampuan anak sudah mampu memahami kurang lebih sepuluh kata,
pada tahun ke dua sudah mampu 200-300 kata dan masih terdengan kata-kata ulangan.
Pada anak usia ini khususnya usia 3 tahun anak sudah mampu menguasai sembilan ratus
kata dan banyak kata-kata yang digunakan seperti mengapa, apa, kapan dan sebagainya.
Komunikasi pada usia tersebut sifatnya sangat egosentris, rasa ingin tahunya sangat
tinggi, inisiatifnya tinggi, kemampuan bahasanya mulai meningkat, mudah merasa
kecewa dan rasa bersalah karena tuntutan tinggi, setiap komunikasi harus berpusat pada
dirinya, takut terhadap ketidaktahuan dan perlu diingat bahwa pada usia ini anak masih
belum fasih dalam berbicara (Behrman, 1996).
Pada usia ini cara berkomunikasi yang dapat dilakukan adalah dengan memberi tahu apa
yang terjadi pada dirinya, memberi kesempatan pada mereka untuk menyentuh alat
pemeriksaan yang akan digunakan, menggunakan nada suara, bicara lambat, jika tidak
dijawab harus diulang lebih jelas dengan pengarahan yang sederhana, hindarkan sikap
mendesak untuk dijawab seperti kata-kata “jawab dong”, mengalihkan aktivitas saat
komunikasi, memberikan mainan saat komunikasi dengan maksud anak mudah diajak
komunikasi dimana kita dalam berkomunikasi dengan anak sebaiknya mengatur jarak,
adanya kesadaran diri dimana kita harus menghindari konfrontasi langsung, duduk yang
terlalu dekat dan berhadapan. Secara non verbal kita selalu memberi dorongan
penerimaan dan persetujuan jika diperlukan, jangan sentuh anak tanpa disetujui dari
anak, bersalaman dengan anak merupakan cara untuk menghilangkan perasaan cemas,
menggambar, menulis atau bercerita dalam menggali perasaan dan fikiran anak si saat
melakukan komunikasi.
c. Usia Sekolah (5-11 tahun)
Perkembangan komunikasi pada anak usia ini dapat dimulai dengan kemampuan anak
mencetak, menggambar, membuat huruf atau tulisan yang besar dan apa yang
dilaksanakan oleh anak mencerminkan pikiran anak dan kemampuan anak membaca
disini sudah muncul, pada usia ke delapan anak sudah mampu membaca dan sudah mulai
berfikir tentang kehidupan.
Komunikasi yang dapat dilakukan pada usia sekolah ini adalah tetap masih
memperhatikan tingkat kemampuan bahasa anak yaitu menggunakan kata-kata
sederhana yang spesifik, menjelaskan sesuatu yang membuat ketidakjelasan pada anak
atau sesuatu yang tidak diketahui, pada usia ini keingintahuan pada aspek fungsional dan
prosedural dari objek tertentu sangat tinggi. Maka jelaskan arti, fungsi dan prosedurnya,
maksud dan tujuan dari sesuatu yang ditanyakn secara jelas dan jangan menyakiti atau
mengancam sebab ini akan membuat anak tidak mampu berkomunikasi secara efektif.
d. Usia Remaja (11-18 tahun)
Perkembangan komunikasi pada usia remaja ini ditunjukkan dengan kemampuan
berdiskusi atau berdebat dan sudah mulai berpikir secara konseptual, sudah mulai
menunjukkan perasaan malu, pada anak usia sering kali merenung kehidupan tentang
masa depan yang direfleksikan dalam komunikasi. Pada usia ini pola pikir sudah mulai
menunjukkan ke arah yang lebih positif, terjadi konseptualisasi mengingat masa ini adalah
masa peralihan anak menjadi dewasa.
Komunikasi yang dapat dilakukan pada usia ini adalah berdiskusi atau curah pendapat
pada teman sebaya, hindari beberapa pertanyaan yang dapat menimbulkan rasa malu
dan jaga kerahasiaan dalam komunikasi mengingat awal terwujudnya kepercayaan anak
dan merupakan masa transisi dalam bersikap dewasa.
Prinsip-prinsip komunikasi terapeutik menurut Carl Rogers, seperti :
1) Perawat harus mengenal dirinya sendiri yang berarti menghayati,memahami dirinya sendiri
serta nilai yang dianut.
2) Komunikasi harus ditandai dengan sikap saling menerima percaya,dan menghargai.
3) Perawat harus memahami dan menghayati nilai yang dianut oleh klien
4) Perawat harus menyadari pentingnya kebutuhan klien baik fisik maupun mental.
5) Perawat harus menciptakan suasana yang memungkinkan klien bebas berkembang tanpa
rasa takut.
6) Perawat harus menciptakan suasana yang memungkinkan klien memiliki motivasi untuk
mengubah dirinya baik sikap maupun tingkah lakunya sehingga tumbuh makin matang dan
dapat memecahkan masalah - masalah yang dihadapi.
7) Perawat harus mampu menguasai perasaan sendiri secara bertahap untuk mengetahui dan
mengatasi perasaan gembira, sedih, marah, keberhasilan ,maupun frustasi.
8) Mampu menentukan batas waktu yang sesuai dan dapat mempertahankan konsistensinya.
9) Memahami betul arti empati sebagai tindakan yang terapeutik dan sebaliknya simpati
bukan tindakan yang terapeutik.
10) Kejujuran dan komunikasi terbuka merupakan dasar hubungan komunikasi terapeutik.
11) Mampu berperan sebagai role model.
12) Disarankan untuk mengekspresikan perasaan bila di anggap mengganggu.
13) Altruisme, mendapatkan kepuasan dengan menolong orang lain secara manusiawi.
14) Berpegang pada etika.
15) Bertanggung jawab dalam dua dimensi yaitu tanggung jawab terhadap diri sendiri atas
tindakan yang dilakukan dan tanggungjawab terhadap orang lain.
III. DAFTAR PUSTAKA
Aimul, Aziz Hidayat. 2008. Pengantar Ilmu Keperawatan Anak Jilid Ke 2. Jakarta: Salemba Medika
Muttaqin, A. (2008). Buku Ajar Keperawatan Klien dengan gangguan Sistem Persyarafan. Jakarta:
Salemba Madika.
Supartini, Y. (2002). Buku Ajar Konsep Dasar Keperawatan Anak. Jakarta: EGC.
Sutarna, A., & Juniarti, N. (2002). Buku Ajar Keperawatan Pediatrik (6th ed.). Jakarta: EGC.

Anda mungkin juga menyukai