Anda di halaman 1dari 18

BAB II

MANUSIA DAN KEHIDUPAN

A. KEHIDUPAN DUNIA-AKHIRAT PERSPEKTIF ISLAM


1. Kehidupan Dunia ; Pandangan Dunia Islam (World View)
Sebagian orang mungkin meragukan bahwa pertanyaan-pertanyaan asasi
manusia tentang diri, hidup dan dunia yang melingkupinya penting diungkapkan,
atau berasumsi bahwa pertanyaan-pertanyaan tersebut sama sekali tidak
berhubungan dengan problematika praktis hidup keseharian. Cobalah kita
bayangkan seseorang meragukan adanya Sang Pencipta, atau bahwa alam semesta
ini –termasuk manusia- terjadi secara kebetulan (by chance). “Kebetulan” berarti
semua peristiwa alam tidak mempunyai sebab yang dapat dimengerti dan tidak ada
rencana tertentu yang melatari. Maka konsekwensi logisnya, semua peristiwa
penciptaan ini terjadi sama sekali tidak mempunyai tujuan apapun, bahkan alam ini
adalah alam yang buta dan tak berhukum (a blind anda lawless world). Jika begitu,
semua rumusan manusia itu, baik hukum keilmuan, hukum etik maupun hukum
politis ataupun hukum ekonomis, adalah merupakan pelanggaran atas hakikat
manusia dan hakikat alam semesta yang tanpa hukum. Karenanya, untuk hidup
dengan baik, manusia haruslah bisa melepaskan asumsi dan hipotesa tentang alam
semesta yang atheistis tersebut. Jika tidak, manusia tidak akan pernah bisa
melepaskan diri dari kegelisahan eksistensialnya, demikian hukum-hukum yang
mereka tetapkan buat kehidupan mereka sendiri, akan berbentuk hukum rimba,
hukum yang a moral. Semakin jelaslah bahwa alam semesta ini beserta kehidupan
di dalamnya diciptakan dan tentu dengan rencana-rencana dan tujuan tertentu.
Kemudian, bagaimanakah kita umat Islam seyogianya memandang dunia
ini? Pengertian kita terhadap arti dunia sangat menentukan pandangan serta sikap
kita terhadap dunia ini. Ada yang mengatakan, bahwa dunia ini adalah ‘ibarat suatu
jembatan yang mesti kita lalui dalam perjalanan hidup kita menuju akhirat, karena
mereka menganggap hakikat hidup ini tiada lain melainkan suatu fase di dalam
perjalanan menuju Tuhan. Kita berasal dari-Nya dan kita sedang menuju kembali
kepada-Nya. Lantas bagaimana sikap yang paling tepat bagi kita dalam berinteraksi
dengan dunia yang sedang kita lalui ini?
Orang yang jalan pikiran dan falsafah hidupnya hanyalah mementingkan
“kekinian dan kesinian”, dikatakan “orang yang mementingkan duniawi”, atau
dalam bahasa Barat biasanya dikatakan “secularist”, dan faham yang demikian
dinamakan “sekularisme”, karena “dunia” dalam bahasa Latin ialah “seculum”.

32
“Sekularisme “ diartikan di dalam masyarakat Barat sebagai faham yang
menghendaki agar moralitas atau nilai budi pekerti tidak boleh dilandasi nilai-nilai
agama. Hal ini berasal dari kebencian para cendekiawan barat yang sudah bosan
dengan perkembangan agama Kristen (Katolik) di sana di masa lalu yang telah
menimbulkan permusuhan antara golongan gereja dan politisi yang keduanya telah
sama-sama curang, sehingga banyak meminta korban darah dan nyawa. Akhirnya
mereka menuntut agar dipisahkan antara masalah agama dan politik, maka lahirlah
slogan perjuangan: “Pemisahan gereja dari negara”, dan sebagai konsekuensi logis
dari paham ini ialah “Pemisahan masalah politik dari agama.”
Sebagian lain memandang alam semesta dan segala ujud ini merupakan
sesuatu yang maya, semu, tidak riil dan diragukan kebenarannya. Cara pandang ini
dipelopori oleh Plato, yang menyatakan bahwa wujud hakiki itu adalah wujud alam
ide, sedang segala sesuatu di sekeliling kita hanyalah semata-mata bayang-bayang
alam ide (shadows of ideas). Yang lain umpamanya Uskup Bakley (1684-1753) dan
David Hume (1711-1776). Keduanya menyatakan bahwa wujud ini semata-mata
adalah pancaran keluar (externalization) dari pada kesadaran (consciousness)
manusia, dan yang hakiki hanyalah kesadaran manusia tersebut. Sesuatu baru di
sebut wujud bila manusia langsung melakukan persepsi, dengan penglihatan,
pendengaran atau perasaan. Jika manusia tidak mengadakan persepsi, praktis
segala-galanya menjadi tidak ada. Islam jelas-jelas menolak pandangan idealistis ini.
Islam lebih menentang lagi terhadap pandangan dunia materialistis.
Pandangan dunia ini beranggapan bahwa alam semesta berdasar dan berakar
semata pada benda dan materi. Bahwa apa yang disebut kesadaran adalah suatu
kejadian dalam proses evolusi yang terjadi pada sistem urat syaraf yang
berkembang tinggi dalam dunia binatang yang maju (manusia). Maka jika idealisme
mengatakan bahwa jiwa adalah riil dan materi hanyalah bayangan keluar,
materialisme beranggapan materi adalah riil dan jiwa adalah suatu kejadian atau
penyertaan saja. Materi adalah penyebab pertama dan akhir dari semua wujud,
sebab materi itu belum pernah sama sekali tidak ada, jadi tidak mungkin diciptakan
dari ketiadaan dan akan terus ada atau abadi. Karenanya, paham materialisme
mengingkari adanya Pencipta atau atheis.
Islam menegaskan, bahwa dunia ini ada dengan sebenarnya (haq).
Bahkan Al-Qur’an mengkafirkan faham yang menganggap dunia ini hanya sekedar
impian sebagaimana difahamkan oleh falsafah idealisme. Allah telah menegaskan
dengan kalimat yang muhkamaat (sangat jelas) bagaimana sebenarnya seorang
muslim mesti memandang dunia ini serta bagaimana harus bersikap terhadapnya.
َّ ‫ين َك َف ُروا م َن‬ َ ‫ض َو َما َب أي َن ُه َما َباط ًَل َذل َك َظ ُّن َّالذ‬
َ ‫ين َك َف ُروا َف َو أي ٌل ل َّلذ‬ َ ‫َ َ َ َ أ َ َّ َ َ َ أ‬
َ ‫اْل أر‬
‫النار‬ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ‫وما خلقنا السماء و‬

33
“Tidak Kami jadikan langit dan bumi beserta segala sesuatu yang terletak
diantara keduanya berpura-pura (bathil), yang demikian itu hanyalah sangkaan
orang-orang kafir, maka celakalah orang-orang kafir itu kelak di dalam neraka.”
(QS. Shaad : 27)
Manusia diciptakan Allah justru untuk memakmurkan dunia ini demi
kepentingan manusia sendiri.
ٌ ‫وه ُث َّم ُت ُوبوا إ َل أي ِه إ َّن َربي َقر‬
ٌ ‫يب َُمج‬ ‫اس َت أع َم َر ُك أم ف َيها َف أ‬
ُ ‫اس َت أغف ُر‬ َ ‫ُ َ َأ َ َ ُ أ َ أ‬
‫اْل أرض َو أ‬
... ‫يب‬ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ‫ ُو أنشأكم ِمن‬...
…”Dia telah menjadikan kamu dari pada bumi agar kamu memakmurkannya”….
(QS. Hud : 61)
Ayat ini tegas menyatakan, bahwa tujuan penciptaan manusia di muka
bumi ini ialah agar manusia memakmurkan kehidupan ini. Kemakmuran ini tiada
lain demi kepentingan manusia sendiri. Sedang ayat berikut ini menegaskan lagi,
bahwa Allah menciptakan segala sesuatu di alam ini untuk melayani kepentingan
manusia, karena kata “sakhara” itu berarti “melayani atau memudahkan atau untuk
diperalat/diperhambakan”. Manusia diharamkan Allah merendahkan diri terhadap
alam raya ini, sebab dengan merendahkan diri itu manusia telah melecehkan
rencana dan ketentuan Allah yang telah memuliakan dan melebihkan manusia
terhadap semua makhluq-Nya yang lain.
َّ َ َ َ َ‫أ‬ َّ ‫َو َس َّخ َر َل ُك أم َما في‬
َ َ ‫يعا ِم أن ُه ِإ َّن ِفي ذ ِل َك ْل َيات ِلق أوم َي َت َفك ُر‬
َ ‫ون‬ ً ‫اْل أرض َجم‬
ِ ِ ‫ات َو َما ِفي‬
ِ ‫الس َم َو‬ ِ
“Dan Dia telah menyediakan untuk melayani kamu segala sesuatu yang ada di
langit dan yang ada di bumi seluruhnya dari-Nya, sesungguhnya dalam hal ini
terdapat beberapa tanda bagi kaum yang mau berfikir.” (QS. Al-Jatsiyah : 13)
Dari kedua ayat tersebut di atas jelaslah, bahwa setiap muslim wajib
memandang dunia ini dengan sikap yang sangat positif. Maka penilaian Allah atas
setiap manusia pun berdasarkan kepada bagaimana dan sikap dan perilaku manusia
yang bersangkutan terhadap dunia ini. Jika manusia pandai bersyukur dengan
beramal shalih, maka ia akan mendapatkan hasil yang baik, sebaliknya jika manusia
berlaku kufur (tidak bersyukur) dengan beramal tidak sesuai dengan sunnah Allah,
maka ia akan merasakan akibat kekufuran dan kesalahannya itu. Terhadap
bagaimana pilihan manusia dalam berinteraksi dengan dunia inilah, setiap manusia
akan dinilai oleh Allah akhirnya nanti jika mereka telah kembali kepada-Nya.
َ ُ ُ َ ُ َ َ َ َ
َ‫ص ِال ًحا ف ِل َن أف ِس ِه َو َم أن أ َس َاء َف َعل أي َها ث َّم ِإلى َرِبك أم ت أر َج ُعون‬
َ ‫َم أن َعم َل‬
ِ
“Barang siapa melakukan karya yang shalih, maka hasilnya untuk mereka sendiri,
dan barang siapa yang berlaku salah akan dirasakan mereka sendiri akibatnya,
akhirnya mereka akan kembali kepada Tuhan mereka” (QS. Al-Jatsiyah : 15).

34
2. Kehidupan Akhirat
Dunia merupakan suatu jembatan yang mesti kita lalui dalam perjalanan
hidup kita menuju akhirat, karena hakikat hidup ini tiada lain melainkan suatu fase
di dalam perjalanan menuju Tuhan. Kita berasal dari-Nya dan kita sedang menuju
kembali kepada-Nya. Demikian sebagian orang memandang kehidupan dunia. Bagi
Islam, memang kehidupan tidak berakhir di dunia, tapi masih ada kehidupan lain
yang bahkan digambarkan sebagai kehidupan abadi, ialah kehidupan akhirat.
Akhirat adalah kemestian yang akan dialami manusia. Hal ini bisa
dibuktikan secara akal sekaligus naql (tekstual). Bukankah makhluk termulia adalah
makhluk yang berjiwa? Bukankah yang termulia dari mereka adalah yang memiliki
kehendak dan kebebasan memilih? Kemudian, bukankah yang termulia dari
kelompok ini adalah yang mampu melihat jauh ke depan, serta mempertimbangkan
dampak kehendak dan pilihan-pilihannya. Sudahkah semua manusia melihat dan
merasakan akibat perbuatan-perbuatannya yang didasarkan pada kehendak dan
pilihannya itu? Sudahkah yang berbuat jahat menerima nista kejahatannya? Jelas
tidak, atau belum, bahkan alangkah banyaknya manusia-manusia baik dihukum-
dinistakan didunia, dan alangkah banyak pula orang-orang jahat yang senantiasa
merasakan kenikmatan. Allah maha adil dan bijaksana, tidak akan menganiaya
ataupun merugikan seseorang, tidak akan meletakkan sesuatu bukan pada
tempatnya. Allah tidak akan menyamakan kedudukan orang yang berbakti dan taat
dengan orang kafir dan durhaka, antar orang mukmin dan orang musyrik.
َ َ َّ َ ‫َ َ َ َ أ َ َّ َ َ َ أ َ أ َ َ َ َ أ َ ُ َ َ ً َ َ َ ُّ َّ َ َ َ ُ َ َ أ ٌ َّ َ َ َ ُ و‬
‫ أ أم ن أج َع ُل‬،‫الن ِار‬ ‫اطَل ذ ِلك ظن ال ِذين كفروا فويل ِلل ِذين كفر َا ِمن‬ ِ ‫وما خلقنا السماء واْلرض وما بينهما ب‬
‫أ‬ َ ُ ‫أ‬ َ َ َ ‫أ‬ ‫الصال َح َ أ ُ أ‬ ُ َ َ ُ َ َّ
َِ ‫ج َع ُل اَل َّت ِق َين كال ُف َّج‬
َ ‫ار‬ َ‫ض أ أم ن أ‬ ‫أ‬ َ
ِ ‫ات كاَلف ِس ِدين ِفي اْلر‬ِ ِ َّ ‫ال ِذين َء َامنوا وع ِملوا‬
Dan Kami tidak menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada antara keduanya
tanpa hikmah. Yang demikian itu adalah anggapan orang-orang kafir, maka
celakalah orang-orang kafir itu karena mereka akan masuk neraka. Patutkah Kami
menganggap orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang saleh sama
dengan orang-orang yang berbuat kerusakan di muka bumi? Patutkah (pula) Kami
menganggap orang-orang yang bertakwa sama dengan orang-orang yang berbuat
ma`siat? (QS. Shaad : 27-28)
Maka untuk tegaknya keadilan, harus ada kehidupan baru di mana semua pihak akan
memperoleh secara adil dan sempurna hasil-hasil perbuatan yang didasarkan atas
pilihannya masing-masing. Itulah kehidudapan akhirat, puncak penetrapan keadilan
Allah SWT.
َ َ ُ ‫ٌ ََ ُ أ‬ َ َ َّ َّ
َ ‫اعة َءا ِت َية أك ُاد أخ ِف َيها ِل ُت أج َزى ك ُّل ن أفس ِب َما ت أس َعى‬ ‫ِإن الس‬

35
Sesungguhnya hari kiamat itu akan datang Aku merahasiakan (waktunya) agar
supaya tiap-tiap diri itu dibalas dengan apa yang ia usahakan. (QS. Thaha : 15)
Al-Qur’an dalam menggambarkan kepastian hari akhir sungguh sangat
logis, setidaknya ini bisa kita temui pada firman-Nya.
‫أ‬ ‫َ َأ‬ َ ً ُ ُ ُ ‫َ َ ََ ُ َ َ أ‬ َ ُ َ َ ُ َ
‫ أ أو خل ًقا ِم َّما َيك ُب َُر ِفي‬،‫ ق أل كونوا ِح َج َارة أ أو َح ِد ًيدا‬،‫َوقالوا أ ِئذا ك َّنا ِعظ ًاما َو ُرف ًاتا أ ِئ َّنا َل أب ُعوثون خل ًقا َج ِد ًيدا‬
ُ َ ُ
‫وس ُه أم َو َي َُقولون َم َتى ُُ َو ق أل‬ ُ ‫يد َنا ُقل َّالذي َف َط َر ُك أم َأ َّو َل َم َّرة َف َس ُي أنغ‬
َ ‫ضو َن إ َل أي َك ُر ُء‬ ُ ‫ص ُدور ُك أم َف َس َي ُق ُولو َن َم أن ُيع‬
ُ
ِ ِ ِ ِ ِ ِ
َ َ ُ َ
َ ‫َع َس ى أ أن َيكون ق ِر ًيبا‬
Dan mereka berkata: "Apakah bila kami telah menjadi tulang belulang dan benda-
benda yang hancur, apa benar-benarkah kami akan dibangkitkan kembali sebagai
makhluk yang baru?" Katakanlah: "Jadilah kamu sekalian batu atau besi, atau suatu
makhluk dari makhluk yang tidak mungkin (hidup) menurut pikiranmu". Maka
mereka akan bertanya: "Siapa yang akan menghidupkan kami kembali?"
Katakanlah: "Yang telah menciptakan kamu pada kali yang pertama". Lalu mereka
akan menggeleng-gelengkan kepala mereka kepadamu dan berkata, "Kapan itu
(akan terjadi)?" Katakanlah: "Mudah-mudahan waktu berbangkit itu dekat" (QS. Al-
Israa : 49-51)
Pada ayat ini, Al-Qur’an mengajak para pengingkar kemestian hari akhir
berdialog melibatkan diri dalam menemukan keyakinan adanya hari akhir.
Menanggapi pertanyaan mereka, Al-Qur’an tidak menjawab “ya” atau “tidak”.
Tetapi diajukan kepadanya problem baru yang belum pernah ia pikirkan, yaitu
pernyataan yang diperintahkan kepada Nabi SAW untuk disampaikan seperti
disebutkan di atas. Seakan-akan penggalan ayat di atas berkata : “Bagaimana
seandainya setelah kematian nanti kalian bukan menjadi tulang belulang yang
pernah mengalami hidup, tetapi batu-batu atau besi-besi atau makhluk apa saja
yang sama sekali belum pernah mengalami hidup dan seperti kata kalian lebih
mustahil untuk dihidupkan?” pada saat itu Al-Qur’an mengajak akal mereka
mengajukan pertanyaan yang mereka ajukan semula, “Siapakah yang
menghidupkan itu semua kembali?” Jawabannya adalah, “Dia yang pertama kali
mewujudkannya sebelum tadinya ia tiada.” Bukankah mewujudkan sesuatu yang
pernah mengalami hidup lebih mudah dari pada mewujudkan sesuatu yang belum
pernah berwujud sama sekali.
Jika kita baca seluruh ayat Al-Qur’an, akan banyak sekali kita temui
penegasan dan pembuktian logis tentang kepastian hari akhir senada ayat di atas,
terutama mengenai pembalasan amal di dunia, baik maupun buruknya. Hal ini
menunjukkan kesungguhan pernyataan Al-Qur’an bahwa hari akhir itu nyata,
senyata dunia yang kita hidup di dalamnya, bahwa kebangkitan itu nyata,
pembalasan itu nyata, surga dan nereka itu nyata. Cara pandang Islam terhadap

36
dunia dan kehidupan sebagai sesuatu yang riil, tidak maya ataupun semu, menuntut
adanya alam lain yang tidak bisa tidak juga –minimal- harus senyata dunia untuk
bisa mengadakan pembalasan amal manusia. Maka akhirat pastilah terjadi dan
manusia pasti mengalaminya.
Para pembela akal dari kalangan filosof pun tidak mengingkari kepastian
hari akhir ini. Di antara para filosof terdahulu mempercayai kehidupan lain adalah
Plato. Dalam filsafatnya, ia menyatakan bahwa jiwa adalah substansi murni,
sederhana dan tidak terbagi-bagi atau terpisah-pisah. Jiwa itulah yang menjadi
tumpuan hidup manusia. Sesuatu yang hidup tidak mungkin kembali kepada
keadaan “tiada hidup”, sebagaimana yang “tiada hidup” tidak mungkin
menghidupkan yang mati. Tetapi jiwa dalam tahap peningkatan dan pensuciannya
bercampur dengan benda (materi), dan ia akan melepaskan diri dari materi –setelah
melalui tahap demi tahap untuk kembali kepada unsurnya semula, yaitu kebebasan
dan kejernihan.
Selain Plato, di anatara filosof zaman modern yang paling terkenal adalah
Emanuel Kant, ia berpendapat bahwa kekekalan jiwa berkaitan dengan “hukum
etik” yang diyakini kebenarannya oleh fitrah manusia. Yakni hukum yang
menunjukkan adanya kehendak Tuhan di atas kehendak manusia. Manusia
difitrahkan untuk dapat memahami kewajiban, dan untuk dapat memahami bahwa
kewajiban itu adalah perbuatan baik untuk dijadikan teladan, serta dapat dijadikan
kaidah umum yang dituntut realisasinya. Kewajiban itu akan dipertanyakan kelak
pada kehidupan yang lain, sebab balasan yang adil masih belum diterima dalam
kehidupan sekarang ini.
Lantas hikmah apa yang akan diperoleh dari pembuktian kepastian hari
akhir ini? pertama, bahwa orang yang memahaminya kemudian meyakini akan ada
pertanggunganjawaban atas segala perbuatan di dunia, berikut balasan baik yang
dijanjikan bagi tiap amal kebajikan dan balasan buruk terhadap semua amalan
maksiat, mendorong orang tersebut untuk memperbanyak amal kebaikan dan
menjauhkan perbuatan buruk. Kedua, berkaitan dengan psikologi manusia yang
cenderung materialis, sombong dengan kehidupan dunia dan senang
mengumpulkan harta, atau berpandangan bahwa kebahagiaan hanya didapat
melalui materi, akan memperioritaskan usahanya pada amal-amal utama yang
berpengaruh pada kebahagiaannya diakhirat kelak.
‫َ َ َ َ َ َّ َ َ َ َ أ أ‬ َّ َ ُ َ َ َ َّ َ ََ‫ُ أ‬ ُ َ َّ ُ ُ َ ‫َ أ‬
،‫ كَل ل أَو ت أعل ُمون ِعل َم ال َي ِق ِين‬،‫ ث َّم كَل َس أوف ت أعل ُمون‬،‫ كَل َس أوف ت أعل ُمون‬،‫ َح َّتى ُز أرت ُم اَلق ِاب َر‬،‫التكاث ُر‬ ‫ألهاكم‬
َ
َّ ‫ ُث َّم َل ُت أسأ ُل َّن َي أو َمئذ َعن‬،‫ ُث َّم َل َت َر ُو َّن َها َع أي َن أَال َيقين‬،‫يم‬
َ ‫َل َت َر ُو َّن أال َجح‬
َ ‫يم‬
َ ِ ‫الن ِع‬ ِ ِ ِ ِ ِ
Bermegah-megahan telah melalaikan kamu, sampai kamu masuk ke dalam kubur.
Janganlah begitu, kelak kamu akan mengetahui (akibat perbuatanmu itu), dan

37
janganlah begitu, kelak kamu akan mengetahui. Janganlah begitu, jika kamu
mengetahui dengan pengetahuan yang yakin, niscaya kamu benar-benar akan
melihat neraka Jahiim, dan sesungguhnya kamu benar-benar akan melihatnya
dengan `ainul yaqin, kemudian kamu pasti akan ditanyai pada hari itu tentang
kenikmatan (yang kamu megah-megahkan di dunia itu). (QS. At-Takatsur : 1-8)
Ketiga, bahwa kehidupan dunia haruslah seimbang dengan kehidupan
akhirat, amal yang dilakukan untuk dunia berkaitan dengan tugas-tugas
kekhalifahan haruslah berbanding lurus dengan amal yang berkaitan dengan tugas
sebagai hamba.
3. Keseimbangan Hidup Dunia-Akhirat
Dalam penggambaran banyak ayat ataupun hadis tentang kehidupan
dunia dan akhirat, mengesankan seakan keduanya berdiri terpisah. Setidaknya ini
bisa kita lihat pada ayat 77 surat Al-Qashash, yang menyeru manusia menggapai
keseimbangan dunia akhirat, demikian pada hadis Nabi SAW yang mengajak
beramal untuk dunia seakan hidup selamanya, untuk akhirat seakan mati besok.
Pada ayat atau hadis tersebut, secara tersirat antara amal yang harus dilakukan
untuk dunia dan amal untuk akhirat dibedakan secara dikotomis. Lantas bagaimana
dengan pernyataan bahwa syariat Islam mengikat keduanya, mewujudkan
kesempurnaan bagi keduanya?
Pembedaan ini tidak berarti masing-masing berdiri sendiri atau tak ada
kaitannya sedikitpun. Hal ini bersesuaian dengan tujuan kehadiran manusia di bumi,
yang mengemban tugas-tugas kekhalifahan sekaligus tugas-tugas hamba. Kedua
tugas ini secara logis menuntut dua amal yang berbeda pula. Yang pertama
bersangkut paut dengan manajerial dunia dan yang kedua berkaitan dengan
praktek-praktek ibadah. Pada konteks ini, tidak semua manusia bisa melaksanakan
kedua tugas itu secara baik, bahkan di antara manusia malah terjerumus mengasiki
tugas keduniawiaanya dan melupakan tugasnya sebagai hamba atau malah
sebaliknya. Jadi penggambaran dikotomis tersebut bersesuaian dengan kondisi riil
manusia. Syariat Islam pada tingkat lebih tinggi tetap menyatukan keterpisahan ini,
khusunya konsep ibadah yang tidak saja berupa ibadah mahdhah, tapi mencakup
mu’amalah atau disebut ibadah umum.
Bila kita amati kecenderungan hidup manusia, terdapat dua arah yang
saling berlawanan. Di satu pihak ada sekelompok orang yang hanya mengejar
kenikmatan dunia dengan tolok ukur pangan, sandang, papan dan kenikmatan
seksual. Seluruh usahanya diarahkan untuk mendapatkan keempat kenikmatan
tersebut. Kita amati, betapa getolnya orang untuk berusaha memperoleh harta
sebesar-besarnya hanya untuk mengejar kenikmatan duniawi tanpa tujuan suci dan

38
cara yang halal. Korupsi dan manipulasi sebagai bentuk pencaharian modern
merupakan fenomena umum terjadi di mana-mana.
Di sisi lain, ada sekelomok orang yang berusaha menjauhi dunia. Seluruh
hidupnya diarahkan untuk mengejar kenikmatan akhirat. Mereka menahan lapar,
hidup membujang, mengenakan pakaian compang-camping dan tinggal di gubuk-
gubuk reot. Mereka tinggalkan keramaian, kemudian pergi menyepi ke gua-gua
sempit. Mereka tinggalkan aktivitas kemasyarakatan, kemudian bertapa
menyembah Tuhan dengan meninggalkan manusia.
Syariat Islam dalam Al-Qur’an ditegakkan untuk mengikat dunia dan
akhirat, mewujudkan kesempurnaan bagi keduanya, menjadikan dunia sebagai
ladang akhirat, membahagiakan manusia dalam dua kehidupan sekaligus. Syariat
tidak anti dunia, demikian juga tidak anti kependetaan (asketisme). Islam
memberikan bimbingan agar ummatnya mengejar kenikmatan dunia juga akahirat.
Ayat Al-Qur’an berikut memberikan bimbingan yang jelas kepada dua arah tersebut.

‫َ َ أ‬ َ َّ َ َ َ ‫َ َ َ َ َّ ُ َّ َ أ َ َ َ َ َ أ َ َ َ َ َ ُّ أ‬
‫الدن َيا َوأ أح ِس أن ك َما أ أح َس َن الل َُه ِإل أي َك َوَل ت أب ِغ ال َف َس َاد‬ ‫َو أاب َت ِغ ِفيما ءاتاك الله الدار اْل ِخرة وَل تنس ن ِصيبك ِمن‬
ُ‫أ‬ َ َّ َ‫أ‬
َ َ ‫ض ِإ َّن الل َه َل ُي ِح ُّب اَل أف ِس ِد‬
َ ‫ين‬ ِ ‫ر‬‫اْل أ‬ ‫ِفي‬
Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan)
negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (keni`matan)
duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat
baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi.
Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan. (QS. Al-
Qashshash : 77)
Ayat ini menjelaskan bahwa ajaran islam mengajurkan manusia mengejar
kenikmatan dunia sekaligus kenikmatan akhirat. Keterpautan dunia-akhirat
terungkap dari firman-Nya “... berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana
Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di
(muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat
kerusakan di bumi”Artinya, bahwa kenikmatan dunia akhirat itu harus diperoleh
dengan cara-cara yang suci. Selanjutnya, lebih jelas lagi bisa dilihat dari hadis Nabi
SAW.
َ َ ََ ُ ‫اك ََك َأ َّن َك َت ِع أي‬
‫ش َا َب ًدا َو أ‬ َ ‫إ أع َم أل ل ُد أن َي‬
َ ‫اع َم أل ِْل ِخ َرِت َك كأ َّن َك ت ُم أو ُت غ ًدا‬ ِ ِ
Bekerjalah untuk urusan duniamu seakan-akan kamu akan hidup selamanya dan
bekerjalah untuk urusan akhiratmu seakan-akan kamu akan mati besok.

39
Orang mukmin adalah mereka yang menyembah Tuhannya, bermunajat
kepada penciptanya di manapun, baik dilokasi kerja, perdagangan, pabrik, ladang, di
tengah-tengah kehidupan masyarakat, senantiasa mendekat kepada Allah dalam
pergaulannya, akhlaknya terhindar dari rakus dan tamak dan tetap menjaga
kesalehan amal. Amal shaleh tidak terbatas pada ibadat, seperti shalat, puasa, dzikir
merenungkan alam semesta, tetapi mencakup semua kebaikan di dunia dan semua
yang baik bagi diri, keluarga dan masyarakat. Namun demikian, Al-Qur’an tetap
mengingatkan agar tidak menempatkan dunia sebagai orientasi utama.
Beramal untuk dunia dan akhirat dalam terma syariat Islam, juga ada
timbal balik secara bersamaan. Balasan perbuatan terjadi di dunia juga di akhirat.
Balasan itu adalah : pahala dan siksa, kebahagiaan dan kesengsaraan, ketenangan
dan kekisruhan. Demikianlah, bahwa syariat Islam menghendaki kompromi antara
kehidupan dunia dan akhirat, antara amal untuk dunia dan amal untuk akhirat, itu
semua demi kebahagiaan manusai, di dunia maupun di akhirat kelak.

B. RAGAM ORIENTASI HIDUP MANUSIA


Manusia menyikapi perjalanan hidupnya menempuh orientasi yang
berbeda-beda. Oleh karena itu diperlukan penyikapan yang tegas, agar
kehidupannya membawa manfaat bagi dirinya dan orang lain, sehingga
memperoleh kebahagian dunia dan akherat. Ada dua hal yang harus diperhatikan
oleh setiap orang dalam menyikapi orientasi hidup, yaitu:
1. Orientasi hidup yang salah
Sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur’an QS. Al-Baqarah ayat 200
menyebutkan bahwa ada diantara manusia yang orientasi hidupnya di dunia
hanya mengejar kenikmatan duniawi, sehingga ia lupa bahkan tidak
memikirkan nasib hidupnya di akherat.
َ َ
‫اْلخ َر ِة ِم أن خَلق‬ ‫ي‬‫ف‬ ُ ‫الد أن َيا َو َما َل‬
‫ه‬ َّ ‫َفم َن‬
ُّ ‫الناس َمن َي ُقو ُل َرَّب َنا آت َنا في‬
ِ ِ ِ ِ ِ ِ
“Maka di antara manusia ada orang yang bendoa: "Ya Tuhan Kami, berilah
Kami (kebaikan) di dunia", dan Tiadalah baginya bahagian (yang
menyenangkan) di akhirat.” (QS. Al-Baqarah/2: 200)

Potongan ayat ini menjelaskan bahwa ada sebagian di antara manusia


yang berdo’a kepada Allah: "Ya Tuhan Kami, berilah Kami (kebaikan) di dunia".
Maksudnya seseorang memohon kepada Allah untuk dikabulkan apa yang
diharapkan dan dicita-citakan, atau apa saja yang menyenangkan hidupnya,
halal atau haram, yang penting baik untuk masa depannya atau masa sekarang
yang sedang dialami. Atau dengan kata lain seseoranng yang hanya meminta
kebaikan dunia saja dan tidak meminta kebaikan akherat. 17

17
Quraisy Shihab, Tafsir Al Misbah, Vol. 1 (2002) hal 439

40
Di bawah ini karakteristik orang yang berorientasi hanya kehidupan
dunia:
a. Obsesinya hanya mengejar kenikmatan dunia, baik berupa wanita, anak,
harta benda (Seperti: emas, perak, kendaraan, binatang ternak, sawah,
ladang da lain-lai), karena kenikmatan dunia itu merupakan daya tarik bagi
mereka.
b. Bertambahnya ambisi untuk memperbanyak kesenangan hidup duniawi
manakala melihat orang lain memiliki kekayaan di atas dirinya.
c. Merasa senang dengan apa yang diperoleh dari kesenangan duniawi.
d. Merasa berat dan ogah-ogahan jika diajak berjuang di jalan Allah.
e. Memandang kehidupan dunia sebagai satu-satunya kehidupan dan dunia
adalah segala-galanya.
2. Orientasi hidup yang salah
Allah tidak menghendaki kehidupan dunia yang dilakukan oleh manusia
sangat memberatkan, bahkan sebaliknya yang dikehendaki Allah adalah
kehidupan yang mudah. Untuk itu, Allah memberi petunjuk kepada manusia
pada jalan yang harus dilaluinya, sebagaimana firman Allah Swt:

          


“tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); Sesungguhnya telah
jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. (Al-Baqarah/2: 256)

Jaminan Allah yang diberikan kepada orang-orang yang mengikuti jalan


yang benar adalah:
a. Dipermudah ketika menghadapi kesulitan, dicukupkan kebutuhan hidupnya
dan diberi rezki yang tak terduga, sesuai dengan firmann Allah.
َ َ ُ ‫ُ أ‬ ً ‫َّ أ‬ َّ
‫ َو َي أرزق ُه ِم أن َح أيث َل َي أحت ِس ُب‬-٢- ‫َو َمن َي َّت ِق الل َه َي أج َعل َل ُه َمخ َرجا‬
“...Barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan Mengadakan
baginya jalan keluar.dan memberinya rezki dari arah yang tiada disangka-
sangkanya...” (At-Thalaq/65: 2-3)
b. Urusannya dijadikan mudah oleh Allah.
ً َ َّ َّ
٤- ‫َو َمن َي َّت ِق الل َه َي أج َعل ل ُه ِم أن أ أم ِر ِه ُي أسرا‬
“...dan barang -siapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Allah
menjadikan baginya kemudahan dalam urusannya.” (At-Thalaq/65: 4)
c. Dihapus kesalahannya dan dilipatgandakan pahalanya.
ً َ َ َ َ َّ
٥- ‫َو َمن َي َّت ِق الل َه ُيك ِف أر َع أن ُه َس ِيئا ِت ِه َو ُي أع ِظ أم ل ُه أ أجرا‬
“Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan menghapus
kesalahan-kesalahannya dan akan melipat gandakan pahala baginya.” (At-
Thalaq/65: 5)
d. Disediakan syurga yang luas seluas langit dan bumi

41
‫أ‬ ُ ُ ‫َّ ُ أ َ َ َّ َ أ ُ َ َّ َ َ ُ َ َ أ‬ ‫أ َ أ‬
١٣٣- ‫ض أ ِع َّد أت ِلل ُم َّت ِق َين‬ ‫َو َسا ِر ُعوا ِإلى َمغ ِف َرة ِمن رِبكم وجنة عرضها السماوات واْلر‬
“dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga
yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang
yang bertakwa”. (Ali-Imran/03: 133)
e. Allah senantiasa bersama dengan orang-orang yang bertaqwa
َ َ ‫ين َّات َق أوا َّو َّالذ‬
َ -١٢٨- ‫ين ُُم ُّم أح ِس ُنون‬ َ ‫إ َّن الل َه َم َع َّالذ‬
ِ ِ ِ
Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang bertakwa dan orang-orang
yang berbuat kebaikan. (An-Nahl/16: 128)
f. Akan mendapat berkah dari langit dan dari bumi
‫َ َّ أ‬ َ َ َ َ َّ َ َ َ َ ‫َ َ أ َ َّ َ أ َ أ ُ َ َ ُ أ َ َّ َ أ َ َ َ أ َ َ َ أ‬
‫ض َول ِـكن كذ َُبوا‬
ِ ‫ر‬‫اْل أ‬‫و‬ ‫اء‬
ِ ‫م‬ ‫الس‬ ‫ن‬ ِ ‫ولو أن أُل القرى آمنوا واتقوا لفتحنا علي ِهم بر‬
‫م‬ ‫ات‬‫ك‬
َ ‫َ ُ أ أ‬ َ‫ََ َ أ‬
َ -٩٦- ‫فأخذن ُاُم ِب َما َكانوا َيك ِس ُبون‬
Jikalau Sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah
Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi (QS.
Al-A’raf/7: 96)
g. Hidupnya tidak akan merasa takut dan sedih.
َ َ ٌ َ َ َ َ َ ُ َ َ ََ ً ُ ُ ‫أ‬ َ ً ‫ُ أ‬ ‫ُأ‬
‫اي فَل خ أوف َعل أي ِه أم َوَل‬ ‫قل َنا أاُ ِبطوا ِم أن َها َج َِميعا ف ِإ َّما َيأ ِت َي َّنكم ِم ِني ُدى فمن ت ِبع ُد‬
َ ُ
-٣٨- ‫ُُ أم َي أح َزنون‬
“Kami berfirman: "Turunlah kamu semuanya dari surga itu! kemudian jika
datang petunjuk-Ku kepadamu, Maka barang siapa yang mengikuti
petunjuk-Ku, niscaya tidak ada kekhawatiran atas mereka, dan tidak (pula)
mereka bersedih hati". (QS. Al-Baqarah/2: 38)
h. Hidupnya tidak akan celaka dan tersesat
َ َ ٌ َ َ َ َ َ ُ َ َ ََ ً ُ ُ ‫أ‬ َ ً ‫ُ أ‬ ‫ُأ‬
َ ‫قل َنا أاُ ِبطوا ِم أن َها َج ِميعا ف ِإ َّما َيأ ِت َي َّنكم ِم ِني ُدى فمن ت ِبع ُداي فَل‬
‫خ أوف َعل أي ِه أم َوَل‬
َ ُ
َ -٣٨- ‫ُُ أم َي أح َزنون‬
“Allah berfirman: "Turunlah kamu berdua dari surga bersama-sama,
sebagian kamu menjadi musuh bagi sebagian yang lain. Maka jika datang
kepadamu petunjuk daripada-Ku, lalu Barangsiapa yang mengikut
petunjuk-Ku, ia tidak akan sesat dan tidak akan celaka.” (QS. Thaha/20:
123)
i. Allah akan menjadikan hidupnya di dunia dengan kebaikan dan
memberinya pahala yang besar di akhirat.18
َ َ ً َ ً ََ ‫أ‬ َ ُ َ ََ ً َ َ َ ‫َ أ‬
‫ص ِالحا ِمن ذكر أ أو أنثى َو ُُ َو ُمؤ ِم ٌن فل ُن أح ِي َي َّن ُه َح َياة ط ِي َبة َول َن أج ِزَي َّن ُه أم أ أج َر ُُم‬ ‫من ع ِمل‬
َ‫َ أ َ َ َ ُ أ َ أ َ ُ ن‬
َ -٩٧- ‫ِبأحس ِن ما كانوا يعملو‬
“Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun
perempuan dalam Keadaan beriman, Maka Sesungguhnya akan Kami
berikan kepadanya kehidupan yang baik dan Sesungguhnya akan Kami beri

18
UMM, Al-Islam dan Kemuhammadiyahan, UMMPRESS (Malang: 2012). Hal .24-33

42
Balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah
mereka kerjakan.” (QS. An-Nahl/16: 97)
C. MISI, FUNGSI DAN TANGGUNG JAWAB MANUSIA
Manusia dalam kaitan tugas dan peranan hidupnya di dunia disebutkan Al-
Qur’an dengan istilah tugas kekahalifahan. Khalifah berarti wakil atau pengganti
yang memegang kekuasaan. Manusia menjadi khalifah di bumi yang memegang
mandat Tuhan untuk mewujudkan kemakmuran. Kekuasaan yang diberikan kepada
manusia bersifat kreatif yang memungkinkan manusia mengolah serta
mendayagunakan segala yang ada untuk kepentingannya. Sebagai wakil Tuhan,
maka Tuhan mengajarkan kepada manusia kebenaran-kebenaran dalam segala
ciptaan-Nya, dan melalui pemahaman serta penguasaan terhadap hukum-hukum
kebenaran yang terkandung dalam ciptaan-Nya, maka manusia dapat menyusun
konsep-konsep serta melakukan rekayasa-rekayasa membentuk wujud baru dalam
alam kebudayaan.
Kekuasaan manusia sebagai wakil Tuhan dibatasi aturan-aturan dan
ketentuan-ketantuan yang telah digariskan dari yang diwakilinya, yaitu hukum-
hukum Tuhan, baik yang tertulis dalam kitab suci maupun tersirat dalam kandungan
alam semesta. Seorang wakil yang melanggar batas ketentuan yang diwakilinya
adalah wakil yang mengingkari kedudukan dan peranannya serta menghianati
kepercayaan yang diwakilinya. Oleh karena itu akan dimintai pertanggungjawaban
terhadap penggunaan kewenanngannya itu di hadapan yang diwakilinya. Firman
Allah SWT:
َ َّ ُ َ َ ‫أ َأ َ َ أ َ َ َ َ َ َ أ ُ أ ُ ُ َ َ َ ُ أ‬ َ ََ ‫َ ََ ُ أ‬ َّ
‫ين ك أف ُر ُُ أم ِع أن َد َ ِرب ِه أم ِإَل َم أق ًتا َوَل‬
‫ض فمن كفر فعلي ِه كفر َه وَل ي ِزيد الكا ِف ِر‬
ِ ‫ر‬ ‫اْل‬ ‫ي‬‫ف‬ ِ ‫ف‬ ‫ُُ َو ال ِذي جعلكم خَل ِئ‬
َ َّ ُ َ َ‫َ ُ أ‬
َ ‫ين ك أف ُر ُُ أم ِإَل خ َس ًارا‬
‫ي ِزيد الكا ِف ِر‬
Dia-lah yang menjadikan kamu khalifah-khalifah di muka bumi. Barangsiapa yang
kafir, maka (akibat) kekafirannya menimpa dirinya sendiri. Dan kekafiran orang-
orang yang kafir itu tidak lain hanyalah akan menambah kemurkaan pada sisi
Tuhannya dan kekafiran orang-orang yang kafir itu tidak lain hanyalah akan
menambah kerugian mereka belaka. (QS. Fathir : 39)
‫ات َس َو ًاء َم أح َي ُاُ أم َو َم َم ُات ُه أم َس َاء‬ َ ‫السي َئات َأ أن َن أج َع َل ُه أم َك َّالذ‬
َ َّ ‫ين َء َام ُنوا َو َعم ُلوا‬ َ ‫َ َ َّ َ أ‬
َُ ‫اجت َر‬
ِ ‫الص ِالح‬ ِ ِ ِ ِ َّ ‫حوا‬ ‫ح ِسب ال ِذين‬
َ‫َ َ َ َ أ َ ُ أ َ ُ أ َ ُ ن‬ ‫أ‬ َ ُّ ُ ‫َ َ أ ُ ُ َن َ َ َ َ َّ ُ َّ َ َ َ أ َ أ َ أ َ َ ُ أ َ ى‬
َ َ ‫ظلمو‬ َ ‫ات واْلرض ِبالح ِق وِلتجز كل نفس ِبما كسبت وُم َل ي‬ ِ ‫ وخلق الله السمو‬، ‫ما يحكمو‬
Apakah orang-orang yang membuat kejahatan itu menyangka bahwa Kami akan
menjadikan mereka seperti orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang
saleh, yaitu sama antara kehidupan dan kematian mereka? Amat buruklah apa
yang mereka sangka itu. Dan Allah menciptakan langit dan bumi dengan tujuan
yang benar dan agar dibalasi tiap-tiap diri terhadap apa yang dikerjakannya, dan
mereka tidak akan dirugikan. (QS. Al-Jatsiyah : 21-22)
Disamping peran dan fungsi manusia sebagai khlaifah Allah, ia juga adalah
hamba Allah. Seorang hamba berarti orang yang taat dan patuh kepada perintah
tuannya Allah SWT. Esensi dari ’Abd adalah ketaatan, ketundukan dan kepatuhan.
Ketaantan, ketundukan dan kepatuhan manusia itu hanya layak diberikan kepada

43
Allah yang dicerminkan dalam ketaatan, kepatuhan dan ketundukan kepada
kebenaran dan keadilan.
Dalam hubungan manusia dengan Tuhan, manusia menempati posisi
sebagai ciptaan, dan Tuhan sebagai pencipta. Posisi ini memiliki konsekwensi
adanya keharusan manusia untuk taat dan patuh kepada penciptanya. Keengganan
manusia menghambakan diri kepada Allah akan mengakibatkan ia menghamba
kepada dirinya ; menghamba kepada hawa nafsunya. Kesediaan manusia untuik
menghamba hanya kepada Allah dengan sepenuh hati akan mencegah
penghambaan manusia terhadap manusia, baik dirinya maupun sesamanya.
Mencapai tingkat ‘abd merupakan upaya perjuangan yang terus menerus,
karena manusia sendiri memiliki sifat-sifat yang di samping secara fitrah telah
dibekali dengan potensi cenderung ke arah kebaikan (perasaan agama), tetapi di
pihak lain, karena dorongan nafsu, potensi kejahatan (fujur) yang dimilikinya dapat
berkembang dan menghambat perjalanan kehanifannya. Hambatan itu timbul
karena adanya ketidakseimbangan dalam penggunaan potensi yang dimilikinya yang
berkembang merugikan dirinya. Karena sifat-sifat itulah derajat manusia meluncur
jatuh ketingkat yang paling rendah, bahkan lebih rendah dari binatang seperti
firman-Nya :
َ َ ُ َ َ َ َ ‫ََ أ ََأَ أ أ‬
َ َ ‫ ث َّم َر َد أدن ُاه أ أس َف َل َسا َِف ِل‬،‫ان ِفي أ أح َس ِن ت أق ِويم‬
َ ‫ين‬ ‫اْلنس‬
ِ ‫لقد خلقنا‬
Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya.
Kemudian Kami kembalikan dia ke tempat yang serendah-rendahnya (neraka), (QS.
At-Tiin : 4-5)
Kedudukan manusia di muka bumi sebagai khalifah dan juga sebagai
hamba Allah, bukanlah dua hal yang bertentangan tetapi merupakan suatu
kesatuan yang padu dan tak terpisahkan. Kekhalifahan adalah realisasi dari
pengabdiannya kepada Allah yang menciptakannya. Dengan uraian ini, menjadi
jelaslah bahwa manusia sebagai makhluk yang memiliki fitrah kemudian berproses
dengan menggunakan kapasitas dan kemampuan akalnya, dapat menunjukkan
derajat kemanusiannya yang sejati sebagai khalifah Allah di muka bumi.
Manusia dapat memikirkan dan mencermati hukum-hukum alam ciptaan
Allah yang akan melahirkan ilmu pengetahuan untuk dipergunakan dalam rangka
mengelola dan memakmurkan alam secara kreatif, didasari dengan nilai-nilai
ilahiyah. Sebagai basyar, ia adalah hamba yang tunduk dan taat kepada kekuasaan
dan kekuatan Allah. Dengan demikian, manusia sebagai khalifah dan hamba Allah
merupakan kesatuan yang menyempurnakan nilai kemanusiaannya sebagai
makhluk Allah yang memiliki kebebasan berkreasi dan sekaligus menghadapkannya
kepada tuntunan kodrat yang menempatkan posisinya kepada keterbatasan.
Konsep basyar dan insan yang telah dijelaskan panjang lebar ini,
merupakan konsep Islam tentang manusia sebagai individu. Sedangkan dalam
hubungan sosial, Al-Qur’an memberi istilah an-nas, bentuk jamak dari katan insan.
Perwujudan kualitas keinsanan manusia ini tidak terlepas dari konteks sosial, atau

44
dengan kata lain kekhalifahan manusia pada dasarnya diterapkan pada konteks
individu dan sosial yang berporos pada Allah. Seperti dalam firman-Nya :
َ َّ َ َ َ َّ َ ‫ُ َ أ َ َ أ ُ َّ ُ َ أ َ َ ُ ُ َّ َ أ‬
‫ض ِرَب أت َعل أي ِه ُم‬
ُ ‫الله َو‬
ِ
َّ ‫الله َو َح أبل م َن‬
َ َ ‫الن‬
ِ ‫اس وب ُاءوا ِبغضب ِمن‬ ِ ِ ‫حبل ِمن‬ َ ‫الذلة أين ما ث ِقفوا ِإَل ِب‬
ِ ‫ض ِربت علي ِهم‬
َ‫َّ َ َ أ ُ ُ َن أ َ أ َ َ َ أ َ َ َ َ َ َ أ َ َ ُ َ أ َ ُ ن‬ َ َ ُ ‫أ‬ َ ُ َ َّ َ َ َ ُ َ َ َ ‫أ‬
ِ ‫اَل أسكنة ذ ِلك ِبأن ُهم كانوا يكف ُرون ِبآي‬
َ َ ‫ات الل ِه ويقتلو اْلن ِبياء ِبغي ِر حق ذ ِلك ِب َما عصوا وكانوا يعتدو‬ ‫أ‬

Mereka diliputi kehinaan di mana saja mereka berada, kecuali jika mereka
berpegang kepada tali (agama) Allah dan tali (perjanjian) dengan manusia, dan
mereka kembali mendapat kemurkaan dari Allah dan mereka diliputi kerendahan.
Yang demikian itu karena mereka kafir kepada ayat-ayat Allah dan membunuh para
nabi tanpa alasan yang benar. Yang demikian itu disebabkan mereka durhaka dan
melampaui batas. (QS. Ali Imran : 112)
Dapat dipahami dari ayat ini, bahwa kualitas kemanusiaan amat
bergantung pada kualitas dan intensifitas komunikasi dengan Allah SWT, melalui
ibadah sekaligus kualitas interaksi sosial melalaui mu’amalah yang dilakukan. Bila
dua parameter kualifikasi (tugas hamba dan khalifah) ini telah dicapai, maka akan
terwujud manusia-manusia sebagaimana dicita-citakan, yakni insan kamil (manusia
sempurna). Tentang pembahasan ini lebih sitematis bisa dilihat pada skema berikut.

D. HIDUP SUKSES DALAM PANDANGAN AL-QUR’AN


Allah swt telah memilih manusia sebagai mahkluk yang mulia, yaitu
memperoleh kemuliaan dengan mengikuti jalan yang benar. Allah juga
menunjukkan kepada manusia jalan-jalan yang akan menjadikan manusia hina dan
juga sengsara. Oleh karena itu, meraih kehidupan sukses merupakan impian dan
pilihan bagi setiap manusia, baik itu sukses didunia maupun di akherat. Al-Qur’an
sebagai wahyu Allah berfungsi sebagai pedoman untuk meraih kesuksesan yang
hakiki, tentunya adalah sukses dunia dan juga akherat. Berikut ini adalah
penjelasan hidup sukses dalam pandangan Al-Qur’an:
1. Menyeimbangkan Dunia dan Akherat
Denganmemaksimalkan potensi-potensi yang dimiliki, manusia
seharusnya berusahakeras untuk memperoleh kesuksesan tentunya adalah
sesuai dengan bingkai petunjuk Allah. Dalam arti, manusia dituntut untuk
melakukan pengembangan diri secara seimbang, antara aspek spiritual untuk
memperoleh hubungan yang harmonis antara dirinya dengan Sang Khaliq, juga
pengembangan fungsi ilmu dan akal dalam rangka melaksanakan tugas
manusia sebagai khalifah.Tugas khalifah akan harmonis manakala manusia
memperhatikan dan mengamalkan sikap terhadap sesama manusia juga sikap
tehadap lingkungan sesuai petunjuka Allah. Kedua hal inilah yang akan
mengantarkan manusia pada kehidupan sukses yang seimbang antara dunia
dan akherat. Ada diantara masyarakat Badui yang datang ke tempat wukuf, lalu
ia berdo’a hanya mengharapkan dunia saja “ Ya Allah jadikanlah tahun ini
adalah tahun yang banyak turun hujan, tahun kesuburan, dan tahun kelahiran

45
anak yang baik”.19Dan mereka sama sekali meyebutkan/meminta urusan
akherat, maka Allah swt berfirman:
َ ‫الد أن َيا َح َس َن ًة َوفي اْلخ َرة َح َس َن ًة َوق َنا َع َذ‬
َّ ‫اب‬
٢٠١- ‫الن ِار‬ ُّ ‫وم أن ُهم َّمن َي ُقو ُل َرَّب َنا آت َنا في‬-
ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِِ
“dan di antara mereka ada orang yang bendoa: "Ya Tuhan Kami, berilah Kami
kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat dan peliharalah Kami dari siksa
neraka". (Al-Baqarah/2: 201)

Do’a ini meliputi berbagai kebaikan


a. Kebaikan di dunia dan menjauhkan segala kejahatan. Kebaikan dunia
mencakup segala permintaan yang bersifat duniawai, berupa kesehatan,
rumah yang luas, istri yang cantik, rizki yang melimpah, ilmu yang
bermanfaat, amal shalih, kendaraan yang nyaman, pujian dan lain
sebagainya yang mencakup dalam ungkapan mufassir, dan di antara
semuanya itu tidak ada pertentangan, karena semuanya itu termasuk ke
dalam kategori kebaikan di dunia.
b. Sedangakan kebaikan di akhirat, maka yang tertinggi adalah masuk surga
dan segala cakupannya berupa rasa aman dari ketakutan yang sangat
dahsyat, kemudahan hisab, dan berbagai kebaikan urusan akherat.
c. Sedangkan keselamatan dari api Neraka, berarti juga kemudahan dari
berbagai faktor penyebabnya di dunia, yaitu berupa perlindungan dari
berbagai larangan dan dosa, terhindar dari berbagai syubhat dan hal-hal
yang haram. 20
Dalam memahami kata hasanah (kebaikan) dunia dan akhirat pada ayat
di atas, terdapata beberapa pendapat, yaitu:
a. Kebaikan dinia akhirat tidak hanya berbentuk sesuau yang baik dan bukan
pula sifatnya, kesenangan dunia semata.
b. Kebaikan di dunia tidak hanya iman yang kokoh, sehat wal afiat, rizi yang
memuaskan, pasangan ideal dan memperoleh keturunan yang sholih dan
sholihah.
c. Kebaikan dunia akherat tidak pula hanya bersifat keterbebasan dari, rasa
takut di hari kiamat,mau memperoleh rido-Nyapun yaumul hisab (hari
perhitungn) yang mudah, masuk syurhga dan memperoleh Ridha-Nya. Akan
tetapi lebih dari itu, yaitu memperoleh anugerah Allah yang tidak terbatas.
21

Al-Qasim Abu ‘Abdurraman mengatakan mengatakan:” Barangsiapa


dianugerahi hati yang suka bersyukur, lisan yang senantiasa bedzikir, dan diri

19
Abdullah bin Muhammad bin Muhammad Alu Syaikh,Terjemahan Tafsir Ibnu Katsir Jilid I,.(Jakarta:
Tim Pustaka Imam Syafi’, 2012), hal. 396
20
Abdullah bin Muhammad bin Muhammad Alu Syaikh,Terjemahan Tafsir Ibnu Katsir Jilid I,.(Jakarta:
Tim Pustaka Imam Syafi’, 2012), hal. 397
21
Quraisy Shihab, Tafsir Al-Mishbah, vol. 1. (2006). Hal 440

46
yang sabar, berarti ia telah diberi kebaikan di dunia dan kebaikan di akherat
serta dilindungi dari azab Neraka. Oleh karena itu Rasulullah mengajurkan doa’
tersebut di atas. Senantiasa menyisipkan do’a tersebut dalam do’a-do’a yang
lainnya.
Rasulullah pernah menjenguk seorang Muslim yang sakit sangat lemah
seperti anak burung, lalu beliau bertanya kepadanya: “Apakah engkau berdo’a
kepada Allah atau memohon sesuatu kepada-Nya?” Ia menjawab :”Ya, aku
mengucapkan;”Ya Allah jika Engkau menetapka siksaan kepadaku di akherat,
timpakan saja kepadaku lebih awal di dunia.” Maka Rasulullah bersabda
:”subhanallah, kamu tidak akan kuat atau tidak akan sanggup menerimanya.
Mengapa engkau tidak mengucapkan:
َ ‫الد أن َيا َح َس َن ًة َوفي اْلخ َرة َح َس َن ًة َوق َنا َع َذ‬
َّ ‫اب‬
٢٠١- ‫الن ِار‬ ُّ ‫َرَّب َنا آت َنا في‬
ِ ِ ِ ِ ِ ِ
Maka ia pun memanjatkan do’a tersebut kepada Allah, dan Allah pun
menyembuhkannya. (Al-Baqarah/2: 201)
Hidup di dunia memang sudah sunatullah, Allah pasti akan menguji
hamba-hamba-Nya dengan adanya perintah dan larangan, senang dan susah,
sempit dan luas, sengsara dan bahagia. Ujian paling berat adalah ujian yang
dihadapi oleh para nabi dan Rasul.Nabi Ibrahim diuji menghadapi Raja
Namrud.Nabi Ibrahim dan Siti Sarah diuji dengan lamanya tidak memiliki anak,
oleh karena ketulusan dari istrinya, Ibrahim disuruh menikah dengan budaknya
yaitu Siti Hajar.Nabi Ibrahim kemudian dikaruniai anak Ismail, setelah mulai
besar, Allah menguji lagi untuk menyembelih anaknya.Semua rangkaian ujian
yang dihadapi, menjadikan Ibrahim sukses dalam kehidupan dunia dan akherat.
Ujian yang Allah berikan adalah untuk menguji dan sebagai tanda cinta kepada
hamba-hamba-Nya, siapa diantara mereka yang lulus dan siapa diantar mereka
yang tidak.
Meski manusia telah berupaya secara maksimal dalam
menyeimbangkan keduanya (kehidupan dunia dan akhirat), namun tidak dapat
dipungkiri lagi bahwa keterbatasan manusia dalam memahami hakikat dirinya
dengan segala keterbatasannya sangat sulit untuk menggapai keduanya.Oleh
karena itu, yang dapat dilakukan oleh seseorang adalah lebih bersyukur kepada
Allah dengan segala sesuatau yang telah diberikan kepada-Nya. Hal ini
nampaknya akan berlaku bagi orang-orang yang memahami dan tahu diri, mau
dan mampu menggunakan akal fikirannya secara sehat. Sebaliknya, bagi orang-
orang yang enggan untuk memahaminya, maka ia kan merasakan biasa-biasa
saja atau lebih condong untuk mengingkarinya, yang selanjutnya akan
berdampak pada pengalaman ajaran agama yang diikutinya.
Oleh karena itu, maka beberapa cara yang dapat dilakukan oleh
seseorang untuk meraih keseimbangan duniawi dan ukhrawi, yaitu:
a. Memahami makna hidup, bahwa setiap manusia hidup dimuka bumi tidak
lepas dengan memilih jalan hidupnya, ada jalan menuju kebenaran dan
jalan menuju kesesatan.
b. Memahami al-Qura’an sebagai petunjuk yang memberikan rambu-rambu
kepada manusia, kemana dan dimana jalan yang dapat dilaluinya untuk

47
meraih keseimbangan duniawi dan ukhrawi. Begitu juga dengan meraih
jalan yang dilarang dalam al-Qur’an, sebagaimana firman Allah dalam QS.
Al-An’am/6: 153.
َ ‫أ‬ ُ َ َّ َ َ َ َ ُ ُّ ‫ُ أ َ ً َ َّ ُ ُ َ َ َ َّ ُ أ‬ َ َ َ َّ َ َ
‫ق‬
‫اطي مست ِقيما فات ِبعوه وَل تت ِبعوا السبل فتفر ِبكم عن‬ ِ ‫وأن ُـذا ِصر‬
َ‫َ َ َّ ُ أ َ َّ ُ ن‬ ُ َّ َ ‫َ ُ أ‬
َ -١٥٣- ‫َس ِب ِيل ِه ذ ِلكم وصاكم ِب ِه لعلكم تتقو‬
“dan bahwa (yang Kami perintahkan ini) adalah jalanKu yang lurus, Maka
ikutilah Dia, dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena
jalan-jalan itu mencerai beraikan kamu dari jalanNya. yang demikian itu
diperintahkan Allah agar kamu bertakwa”.
c. Mengasah kepekaan hati masing-masing, sebagai penasehat yang diberikan
Allah agar memilki signal yang kuat ketika akan membuka salah satu pintu
kesesatan. Selanjutnya hati akan mengingatkan diri kita masing-masing
untuk tidak membuka dan melakukan sesuatu hal yang menjuruskan diri
kita masing-masing pada kesesatan. Agar signal kepekaan hati tetap
bercahaya, maka dibutuhkan ketaatan kepada Allah pada masing-masing
individu. Sebaliknya, signal kepekaan hati itu akan redup atau tidak bersinar
dalam pribadi seseorang, manakala kemaksiatan dan dosa sering
dilakukannya.
d. Menghindari atau menepis perbuatan yang mengarah pada kemaksiatan
atau dosa, bahwa orang yang sering atau bahkan banyak melakukan
kemaksiatan dan dosa akan berdampak pada mata hatinya tidak becahaya,
sehingga tidak memberikan signal bahaya terhadap dosa dan kemaksiatan
yang dilakukannya. Sebagai contoh, orang yang taat kepada Allah akan
merasa gelisah bila melakukan perbuatan dosa dan kemaksiatan dan segera
bertaubat kepada Allah. Sebaliknya, orang yang banyak melanggar aturan
Allah, dengan enak dan santai bahkan meraa senang dan bahagia jika
melakukan perbuatan dosa atau kemasksiatan. 22
2. Memilki keseimbangan antara Iman, Ilmu Pengetahuan dan kepekaan
Emosional
Dampak negatifnya dari memishkan antar iman, ilmu, dan kepekaan
emosional terhadap pribadi seseorang, Maka akan melahirkan pribadi-
pribadi:
a. Seeorang yang mengandalkan ilmu pengetahuan yang luas, tetapi
lemah iman dan kepekaan emosional, maka akan terjadi ketimpangan
dan membuat hidupnya dalam keadaan frustasi. Orang seperti ini akan
mengalami pribadi yan pecah dan sangat menyedihka, kemungkinan
kehidupannya sebagai manusia yang egois (ananiah), bengis dan kejam
terhadap orang lain, sehingga sangat membahayaka bagi keselamatan

22
UMM, Al-Islam dan Kemuhammadiyahan, UMMPRESS (Malang: 2012). Hal . 36-38

48
lingkungan. Pribadinya yang pecah seperti ini sering kali temukan
ditengah masyarakat yang sebaian besar orang-orang berilmu, tapi haus
akan iman. Orang seperti ini biasanya sukar dipercaya ucapannya, lebih-
lebih terkait dengan komitmen dan pendiriannya. Ia mungkin bijak kalau
bicara, menguasai paparan ilmunya, dan terampil dalam
mengaplikasikan ilmunya, tapi kehidpannya tanpa landasan yang kuat.
Dan kalau toh kebetulan ia jujur, maka kejujurannya hanya dilandaskan
rasa takut kepada atasannya, sehingga kejujurannya hanya dilandaskan
rasa takut kepada atasannya, sehingga kejujuran itu sangat rapuh oleh
cobaan dan ujian kesetiaan. Begitu juga kalau ia teampil pada skill yang
dibidangi, maka ia dengan mudah diperalat oleh orang-orang yang
memiliki kekuasaan. Figur-figur semacam ini dengan mudah sekali
diperalat dan dipermainkan oleh orang-orang yang kurang bahkan tidak
bertanggungjawab.
b. Seseorang yang memiliki iman dengan keyakinan yang kukuh,
sedangkan ilmunya tidak berkembang dan kepekaan emosional sangat
rendah. Orang seperti ini akan mengalami hidup seperti orang yang
tidak mampu berbuat sesuatu , karena itu ia menjadi jumud, ekslusif,
bahkan kurang toleran terhadap pemikiran orang lain, sehingga besar
kemungkinan berwatak atau merasa benar sendiri pendapatnya,
sedangkan pendapat orang lain disalahkan.
c. Seseorang yang kepekaan sosialnya kuat, namun tidak didasari dengan
iman dan ilmu. Kemunginan besar orang ini dalam kehidupannya
serampangan, mengingat energi dalam menggerakan dirinya luar biasa
besarnya, namun tidak memperhatikan da perhitungan segi positif da
negatifnya. 23

23
UMM, Al-Islam dan Kemuhammadiyahan, UMMPRESS (Malang: 2012). Hal . 41-42

49

Anda mungkin juga menyukai