Anda di halaman 1dari 24

LAPORAN PENDAHULUAN PADA PASIEN PADA PASIEN ISOLASI

SOSIAL
(MENARIK DIRI)

NOVI DISTIA ASIH


18027

POLITEKNIK YAKPERMAS BANYUMAS


TAHUN AJARAN 2021/2022
LAPORAN PENDAHULUAN PADA PASIEN ISOLASI SOSIAL
(MENARIK DIRI)

A. DEFINISI
Isolasi sosial merupakan suatu gangguan interpersonal yang terjadi
akibat adanya kepribadian yang tidak fleksibel menimbulkan perilaku
maladaptif dan mengganggu fungsi seseorang dalam hubungan sosial (A. H.
S. Direja, 2011). Isolasi sosial merupakan upaya Klien untuk menghindari
interaksi dengan orang lain, menghindari hubungan dengan orang lain
maupun komunikasi dengan orang lain (Grabb, 2010).

Menurut (Prabowo, 2014), menarik diri adalah suatu sikap di mana


individu menghindari diri dari interaksi dengan orang lain. Individu merasa
bahwa ia kehilangan hubungan akrab dan tidak mempunyai kesempatan untuk
membagi perasaan, pikiran, prestasi, atau kegagalan. Ia mempunyai kesulitan
untuk berhubungan secara spontan dengan orang lain, yang dimanifestasikan
dengan sikap memisahkan diri, tidak ada perhatian, dan tidak sanggup
membagi pengamatan dengan orang lain.

Jadi, dapat disimpulkan bahwa isolasi sosial merupakan keaadaan


seseorang yang mengalami penurunan bahkan sama sekali tidak mampu
berinteraksi dengan orang lain karena mungkin merasa ditolak, kesepian dan
tidak mampu menjalin hubungan yang baik antar sesama.
B. ETIOLOGI
Terjadinya Gangguan ini dipengaruhi oleh faktor predisposisi di
antaranya perkembangan dan sosial budaya. Kegagalan dapat mengakibatkan
individu tidak percaya pada diri, tidak percaya pada orang lain, ragu, takut
salah, pesimis, putus asa terhadap orang lain, tidak mampu merumuskan
keinginan, dan merasa tertekan. Kedaan ini menimbulkan perilaku tidak ingin
berkomunikasi dengan orang lain, lebih suka berdiam diri, menghindar dari
orang lain, dan kegiatan sehari-hari (Ade Hermawan Surya Direja, S.kep.,
2011).
C. FAKTOR-FAKTOR
1. Faktor Prediposisi
Menurut Direja (2011) faktor predisposisi yang mempengaruhi masalah
isolasi sosial yaitu:
a. Faktor tumbuh kembang Pada setiap tahapan tumbuh kembang
individu ada tugas perkembangan yang harus dipenuhi agar tidak
terjadi gangguan dalam hubungan sosial. Apabila tugas-tugas dalam
setiap perkembangan tidak terpenuhi maka akan menghambat fase
perkembangan sosial selanjutnya.

Tahap perkembangan Tugas


Masa bayi Menetapkan rasa percaya.
Masa bermain Mengambangkan otonomi dan awal perilaku
mandiri.
Masa prasekolah Belajar menunjukan inisiatif , rasa tanggung
jawab, dan hati nurani.
Masa sekolah Belajar berkompetisi, bekerja sama, dan
berkompromi.
Masa pra remaja Menjalin hubungan intim dengan teman sesama
jenis kelamin.
Masa remaja Menjadi intim dengan teman lawan jenis atau
bergantung.
Masa dewasa muda Menjadi saling bergantung antara orang tua dan
teman, mencari pasangan, menikah dan
mempunyai anak.
Masa tengah baya Belajar menerima hasil kehidupan yang sudah
dilalui.
Masa dewasa tua Berduka karena kehilangan dan
mengembangkan perasaan keterikatan dengan
budaya.
b. Faktor Komunikasi Dalam Keluarga Gangguan komunikasi dalam
keluarga merupakan faktor pendukung untuk terjadinya gangguan
hubungan sosial, seperti adanya komunikasi yang tidak jelas (double
bind) yaitu suatu keadaan dimana individu menerima pesan yang
saling bertentangan dalam waktu bersamaan, dan ekspresi emosi yang
tinggi di setiap berkomunikasi
c. Faktor Sosial Budaya Isolasi sosial atau mengasingkan diri dari
lingkungan sosial merupakan suatu faktor pendukung terjadinya
gangguan dalam hubungan sosial. Hal ini disebabkan oleh
normanorma yang salah dianut oleh keluarga, dimana setiap anggota
keluarga yang tidak produktif seperti lanjut usia, berpenyakitan kronis,
dan penyandang cacat diasingkan dari lingkungan sosial.
d. Faktor Biologis Faktor biologis juga merupakan salah satu faktor
pendukung yang menyebabkan terjadinya gangguan dalam hubungan
sosial. Organ tubuh yang jelas mempengaruhi adalah otak.
Klien yang mengalami gangguan jiwa memiliki ciri-ciri biologis yang
khas terutama susunan dan struktur syaraf pusat, biasanya klien
dengan skizofrenia mengalami pembesaran ventrikel ke-3 sebeah
kirinya. Ciri lainnya yaitu memiliki lobus frontalis yang lebih kecil
dari rata-rata orang normal (Yosep, 2009). Menurut Singgih dalam
Yosep (2009), gangguan mental dan emosi juga bisa disebabkan oleh
perkembangan jaringan otak yang tidak cocok (Aphasia). Kadang-
kadang seseorang dilahirkan dengan perkembangan cortex cerebry
yang kurang sekali, atau disebut sebagai otak yang rudimenter. Contoh
gangguan tersebut terlihat pada Microcephaly yang ditandai oleh
kecilnya tempurung otak. Adanya trauma pada waktu kelahiran,
tumor, infeksi otak seperti Enchepahlitis Letargica, gangguan kelenjer
endokrin seperti tiroid, keracunan CO (Carbon Monocide) serta
perubahan-perubahan karena degenerasi yang mempergaruhi sistem
persyarafan pusat (Yosep, 2009).
2. Faktor presipitasi
Menurut Herman Ade (2011) terjadinya gangguan hubungan sosial juga
dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal seseorang. Faktor stressor
presipitasi dapat dikelompokan sebagai berikut:
a. Stressor Sosial Budaya Stress dapat ditimbulkan oleh beberapa faktor
antara faktor lain dan faktor keluarga seperti menurunnya stabilitas
unit keluarga dan berpisah dari orang yang berarti dalam
kehidupannya, misalnya karena dirawat dirumah sakit.
b. Stressor Psikologi Tingkat kecemasan berat yang berkepanjangan
terjadi bersamaan dengan keterbatasan kemampuan untuk
mengatasinya. Tuntutan untuk berpisah dengan orang dekat atau
kegagalan orang lain untuk memenuhi kebutuhan ketergantungan
dapat menimbulkan kecemasan tingkat tinggi.
D. PATHOFISIOLOGI
Perasaan tidak berharga menyebabkan klien semakin sulit dalam
mengembangkan hubungan dengan orang lain. Akibatnya klien menjadi
regresi atau mundur, mengalami penurunan dalam aktifitas dan kurangnya
perhatian terhadap penampilan dan kebersihan diri. Klien semakin tenggelam
dalam perjalanan dan tingkah laku masa lalu serta tingkah laku primitive
antara lain pembicaraan yang austistic dan tingkah laku yang tidak sesuai
dengan kenyataan, sehingga berakibat lanjut menjadi halusinasi (Grabb, 2010)
Proses Terjadinya Masalah Isolasi Sosial (Menarik Diri)

Pola Asuh Keluarga Misal: Pada anak yang kelahirannya tidak


dikehendaki akibat kegagalan KB, hamil
diluar nikah, jenis kelamin tidak diinginkan,
bentuk fisik kurang menawan menyebabkan
keluarga mengeluarkan komentar-komentar
negatif, merendahkan, serta menyalahi anak.
Koping Individu Tidak Efektif Misal: Saat individu menghadapi kegagalan
mengalahkan orang lain, ketidakberdayaan,
tidak mampu menghadapi kenyataan dan
menarik diri dari lingkungan.
Gangguan Tugas Perkembangan Misal: Kegagalan menjalin hubungan intim
dengan sesama jenis atau lawan jenis, tidak
mampu mandiri.
Stress Internal Dan Eksternal Misal: Stress terjadi akibat ansietas yang
berkepanjangan dan terjadi bersamaan
dengan keterbatasan individu untuk
mengatasi. Ansietas tejadi akibat berpisah
dengan orang terdekat, kehilangan pekerjaan
atau orang yang dicintai.

E. MANIFESTASI KLINIS
Menurut (A. S. Direja, 2011) tanda dan gejala klien isolasi sosial bisa dilihat dari dua
cara yaitu secara objektif dan subjektif. Berikut ini tanda dan gejala klien dengan
isolasi sosial:

a. Gejala subjektif
1. Klienmenceritakan perasaan kesepian atau ditolak oleh orang lain.
2. Klienmerasa tidak aman berada dengan orang lain.
3. Respons verbal kurang dan sangat singkat.
4. Klienmengatakan hubungan yang tidak berarti dengan orang lain.
5. Klienmerasa bosan dan lambat menghabiskan waktu.
6. Klientidak mampu berkonsentrasi dan membuat keputusan.
7. Klienmerasa tidak berguna.
b. Gejala objektif
1. Klienbanyak diam dan tidak mau bicara.
2. Tidak mengikuti kegiatan.
3. Klienberdiam diri di kamar.
4. Klienmenyendiri dan tidak mau berinteraksi dengan orang yang terdekat.
5. Klientampak sedih, ekspresi datar dan dangkal.
6. Kontak mata kurang.
7. Kurang spontan.
8. Apatis
9. Ekspresi wajah kurang berseri.
10. Mengisolasi diri.
11. Tidak atau kurang sadar terhadap lingkungan sekitar.
12. Aktivitas menurun.

Perilaku ini biasanya disebabkan karena seseorang menilai dirinya rendah,


segera timbul perasaan malu untuk berinteraksi dengan orang lain. Bila tidak
dilakukan intervensi lebih lanjut, maka akan menyebabkan perubahan persepsi
sensori: halusinasi dan resiko mencederai diri, orang lain, bahkan lingkungan
(Herman Ade, 2011).

F. RENTANG RESPONS
Menurut Stuart Sundeen dalam Sutejo tentang respon klien ditinjau
dari interaksinya dengan lingkungan sosial merupakan suatu kontinum yang
terbentang antara respon adaptif dengan maladaptive sebagai berikut:

Adaptif Mal Adaptif

Menyendiri, Kesepian, Manipulasi,


Otonomi, menarik diri, impulsif,
kebersamaan, ketergantung narsisme
saling an
ketergantung
an

a. Respon Adaptif Menurut Sutejo (2017) respon adaptif adalah respon yang
masih dapat diterima oleh norma-norma sosial dan kebudayan secara
umum yang berlaku. Dengan kata lain individu tersebut masih dalam batas
normal ketika menyelesaikan masalah. Berikut adalah sikap yang
termasuk respon adaptif:
1. Menyendiri, respon yang dibutuhkan seseorang untuk merenungkan
apa yang telah terjadi di lingkungan sosialnya.
2. Otonomi, kemampuan individu untuk menentukan dan menyampaikan
ide, pikiran, dan perasaan dalam hubungan sosial.
3. Kebersamaan, kemampuan individu dalam hubungan interpersonal
yang saling membutuhkan satu sama lain.
4. Saling ketergantungan (Interdependen), suatu hubungan saling
ketergantungan antara individu dengan orang lain.
b. Respon Maladaptif Menurut Sutejo (2017) respon maladaptif adalah
respon yang menyimpang dari norma sosial dan kehidupan di suatu
tempat. Berikut ini adalah perilaku yang termasuk respon maladaptif:
1. Manipulasi, kondisi dimana individu cenderung berorientasi pada diri
sendiri.
2. Impulsif merupakan respon sosial yang ditandai dengan individu
sebagai subjek yang tidak dapat diduga, tidak dapat dipercaya dan
tidak mampu melakukan penilaian secara objektif.
3. Narsisisme, kondisi dimana individu merasa harga diri rapuh, dan
mudah marah.
G. POHON MASALAH

Reiko gangguan persepsi sensori:


Effeck
Halusinasi

Menarik Diri Care porblem

Gangguan konsep diri :HDR Causa

H. MEKANISME KOPING
Mekanisme koping digunakan klien sebagai usaha mengatasi
kecemasan yang merupakan suatu kesepian nyata yang mengancam dirinya.
Mekanisme koping yang sering digunakan adalah proyeksi, splitting
(memisah) dan isolasi. Proyeksi merupakan keinginan yang tidak mampu
ditoleransi dan klien mencurahkan emosi kepada orang lain karena kesalahan
sendiri. Splitting merupakan kegagalan individu dalam menginterpretasikan
dirinya dalam menilai baik buruk. Sementara itu, isolasi adalah perilaku
mengasingkan diri dari orang lain maupun lingkungan (Sutejo, 2017).
I. PENATALAKSANAAN
Penatalaksaan yang dapat diberikan kepada kliendengan isolasi sosial antara
lain pendekatan farmakologi, psikososial, terapi aktivitas, terapi okupasi,
rehabilitasi, dan program intervensi keluarga (Yusuf, 2019).

1. Terapi Farmakologi
1) Chlorpromazine (CPZ) Indikasi: Untuk Syndrome Psikosis yaitu
berdaya berat dalam kemampuan menilai realitas, kesadaran diri
terganggu, daya nilai norma sosial dan titik diri terganggu. Berdaya
berat dalam fungsi-fungsi mental: waham, halusinasi, gangguan
perasaan dan perilaku yang aneh atau tidak terkendali, berdaya berat
dalam fungsi kehidupan seharihari, tidak mampu bekerja, hubungan
sosial dan melakukan kegiatan rutin.
Efek samping: sedasi, gangguan otonomik (hipotensi, antikolinergik/
parasimpatik, mulut kering, kesulitan dalam miksi dan defikasi, hidung
tersumbat, mata kabur, tekanan intra okuler meninggi, gangguan irama
jantung), gangguan endokrin, metabolik, biasanya untuk pemakaian
jangka panjang.
2) Haloperidol (HLP) Indikasi: Berdaya berat dalam kemampuan menilai
realita dalam fungsi netral serta dalam kehidupan sehari-hari. Efek
samping: Sedasi dan inhibisi prikomotor, gangguan otonomik.
3) Trihexy Phenidyl (THP) Indikasi: Segala jenis penyakit Parkinson,
termasuk paksa ersepalitis dan idiopatik, sindrom Parkinson, akibat
obat misalnya reserpine dan fenotiazine. Efek samping: Sedasi dan
inhibisi psikomotor gangguan otonomik.
2. Terapi Psikososial Membutuhkan waktu yang cukup lama dan merupakan
bagian penting dalam proses terapeutik, upaya dalam psikoterapi ini
meliputi: memberikan rasa aman dan tenang, menciptakan lingkungan
yang terapeutik, bersifat empati, menerima pasien apa adanya,
memotivasi pasien untuk dapat mengungkapkan perasaannya secara
verbal, bersikap ramah, sopan, dan jujur kepada pasien (Videbeck, 2012).
3. Terapi Individu Terapi individual adalah metode yang menimbulkan
perubahan pada individu dengan cara mengkaji perasaan, sikap, cara
pikir, dan perilaku-perilakunya. Terapi ini meliputi hubungan satu-satu
antara ahli terapi dan klien (Videbeck, 2012). Terapi individu juga
merupakan salah satu bentuk terapi yang dilakukan secara individu oleh
perawat kepada klien secara tatap muka perawat-klien dengan cara yang
terstruktur dan durasi waktu tertentu sesuai dengan tujuan yang ingin
dicapai (Zakiyah, 2018). Salah satu bentuk terapi individu yang bisa
diberikan oleh perawat kepada klien dengan isolasi sosial adalah
pemberian strategi pelasanaan (SP). Dalam pemberian strategi
pelaksanaan klien dengan isolasi sosial hal yang paling penting perawat
lakukan adalah berkomunikasi dengan teknik terapeutik. Komunikasi
terapeutik adalah suatu interaksi interpersonal antara perawat dank klien,
yang selama interaksi berlangsung, perawat berfokus pada kebutuhan
khusus klien untuk meningkatkan pertukaran informasi yang efektif
antara perawat dan Klien (Videbeck, 2012). Semakin baik komunikasi
perawat, maka semakin bekualitas pula asuhan keperawatan yang
diberikan kepadaklien karena komunikasi yang baik dapat membina
hubungan saling percaya antara perawat dengan klien, perawat yang
memiliki keterampilan dalam berkomunikasi secara terapeutik tidak saja
mudah menjalin hubungan saling percaya dengan klien, tapi juga dapat
menumbuhkan sikap empati dan caring, mencegah terjadi masalah
lainnya, memberikan kepuasan profesional dalam pelayanan keperawatan
serta memudahan dalam mencapai tujuan intevensi keperawatan (Sarfika,
2018).
4. Terapi Aktivitas Kelompok Menurut Keliat (2015) terapi aktivitas
kelompok sosialisasi merupakan suatu rangkaian kegiatan kelompok
dimana klien dengan masalah isolasi sosial akan dibantu untuk
melakukan sosialisasi dengan individu yang ada di sekitarnya. Sosialissai
dapat pula dilakukan secara bertahap dari interpersonal, kelompok, dan
massa). Aktivitas yang dilakukan berupa latihan sosialisasi dalam
kelompok, dan akan dilakukan dalam 7 sesi dengan tujuan:
Sesi 1 : Klien mampu memperkenalkan diri.
Sesi 2 : Klienmampu berkenalan dengan anggota kelompok.
Sesi 3 :Klienmampu bercakap-cakap dengan anggota kelompok.
Sesi 4 : Klienmampu menyampaikan dan membicarakan topik
percakapan.
Sesi 5 : Klienmampu menyampaikan dan membicarakan masalah pribadi
pada orang lain.
Sesi 6 : Klienmampu bekerja sama dalam permainan sosialisasi
kelompok.
Sesi 7 : Klienmampu menyampaikan pendapat tentang mamfaat kegiatan
TAKS yang telah dilakukan.
5. Terapi Okupasi Terapi okupasi yaitu Suatu ilmu dan seni untuk
mengarahkan partisipasi seseorang dalam melaksanakan aktifitas atau
tugas yang sengaja dipilih dengan maksud untuk memperbaiki,
memperkuat, meningkatkan harga diri seseorang, dan penyesuaian diri
dengan lingkungan. Contoh terapi okupasi yang dapat dilakukan di rumah
sakit adalah terapi berkebun, kelas bernyanyi, dan terapi membuat
kerajinan tangan yang bertujuan untuk meningkatkan kemampuan klien
dalam keterampilan dan bersosialisasi (Elisia, 2014).
6. Terapi Psikoreligius Terapi keagamaan pada kasus-kasus gangguan jiwa
ternyata juga banyak manfaat. Misalnya angkat rawat inap pada klien
skizofrenia yang mengikuti kegiatan keagamaaan lebih rendah bila
dibandingan dengan mereka yang tidak mengikutinya (Dadang, 1999
dalam Yosep 2009). Menurut Zakiah Darajat, perasaan berdosa
merupakan faktor penyebab gangguan jiwa yang berkaitan dengan
penyakit-penyakit psikosomatik. Hal ini diakibatkan karena seseorang
merasa melakukan dosa tidak bisa terlepas dari perasaan tersebut (Yosep,
2009). Penerapan psikoreligius terapi di rumah sakit jiwa menurut Yosep
(2009) meliputi:
a) Perawat jiwa harus dibekali pengetahuan yang cukup tentang
agamanya/ kolaborasi dengan agamawan atau rohaniawan.
b) Psikoreligius tidak diarahkan untuk mengubah agama Kliennya
tetapi menggali sumber koping.
c) Memadukan milieu therapy yang religius; kaligrafi, ayat-ayat,
fasilitas ibadah, bukubuku, music/lagu keagamaan.
d) Dalam terapi aktifitas diajarkan kembali cara-cara ibadah terutama
untuk pasien rehabilitasi.
e) Terapi kelompok dengan tema membahas akhlak, etika, hakikat
hidup didunia, dan sebagainya.

Untuk klien dengan isolasi sosial terapi psikoreligius dapat


bermanfaat dari aspek autosugesti yang dimana dalam setiap
kegiatan religius seperti sholat, dzkir, dan berdoa berisi ucapan-
ucapan baik yang dapat memberi sugesti positif kepada diri klien
sehingga muncul rasa tenang dan yakin terhadap diri sendiri
(Thoules, 1992 dalam Yosep, 2010). Menurut Djamaludin Ancok
(1989) dan Ustman Najati (1985) dalam Yosep (2009) aspek
kebersamaan dalam shalat berjamaah juga mempunyai nilai
terapeutik, dapat menghindarkan seseorang dari rasa terisolir,
terpencil dan tidak diterima.

7. Rehabilitasi Program rehabilitasi biasanya diberikan di bagian lain rumah


sakit yang dikhususkan untuk rehabilitasi. Terdapat banyak kegiatan,
antaranya terapi okupasional yang meliputi kegiatan membuat kerajinan
tangan, melukis, menyanyi, dan lain-lain. Pada umumnya program
rehabilitasi ini berlangsung 3-6 bulan (Yusuf, 2019).
8. Program Intervensi Keluarga Intervensi keluarga memiliki banyak variasi,
namun pada umumnya intervensi yang dilakukan difokuskan pada aspek
praktis dari kehidupan sehari-hari, memberikan pendidikan kesehatan pada
keluarga tentang isolasi sosial, mengajarkan bagaimana cara berhubungan
yang baik kepada anggota keluarga yang memiliki masalah kejiwaan
(Yusuf, 2019).

J. MASALAH KEPERAWATAN YANG MUNGKIN MUNCUL


1. Isolasi diri
2. Harga diri rendah
3. Perubahan presepsi sensori: halusinasi
K. ASUHAN KEPERAWATAN
1. PENGKAJIAN
Pengkajian adalah proses untuk tahap awal dan dasar utama dari proes
keperawatan terdiri drai pengumpulan data dan perumusan kebutuhan atau
masalah klien. Data yang dikumpulkan melalui data biologis, psikologis,
sosial dan spiritual. Pengelompokkan data pengkajian kesehatan jiwa,
dapat berupa faktor presipitasi, penilaian terhadap stressor, sumber
koping, dan kemampuan yang dimiliki (Afnuhazi, 2015) :
a. Identitas klien Meliputi nama, umur, jenis kelmain, tanggal
pengkajian, tanggal dirawat, nomor rekam medis.
b. Alasan masuk Alasan klien datang ke RSJ, biasanya klien sering
berbicara sendiri, mendengar atau melihat sesuatu, suka berjalan
tanpa tujuan, membanting peralatan dirumah, menarik diri.
c. Faktor predisposisi
1) Biasanya klien pernah mengalami gangguan jiwa dan kurang
berhasil dalam pengobatan
2) Pernah mengalami aniaya fisik, penolakan dan kekerasan
dalam keluarga
3) Klien dengan gangguan orientasi besifat herediter
4) Pernah mengalami trauma masa lalu yang sangat menganggu
d. Faktor Presipitasi
Stresor presipitasi pada klien dengan halusinasi ditemukan adanya
riwayat penyakit infeksi, penyakt kronis atau kelaina stuktur otak,
kekerasan dalam keluarga, atau adanya kegagalan kegagalan dalam
hidup, kemiskinan, adanya aturan atau tuntutan dalam keluarga
atau masyarakat yang sering tidak sesuai dengan klien serta konflik
antar masyarakat.
e. Fisik Tidak mengalami keluhan fisik.
f. Psikososial
1) Genogram
Pada genogram biasanya terlihat ada anggota keluarga yang
mengalami kelainan jiwa, pola komunikasi klien terganggu
begitupun dengan pengambilan keputusan dan pola asuh.
2) Konsep diri
Gambaran diri klien biasanya mengeluh dengan keadaan
tubuhnya, ada bagian tubuh yang disukai dan tidak disukai,
identifikasi diri : klien biasanya mampu menilai identitasnya,
peran diri klien menyadari peran sebelum sakit, saat dirawat
peran klien terganggu, ideal diri tidak menilai diri, harga diri
klien memilki harga diri yang rendah sehubungan dengan
sakitnya.
3) Hubungan sosial : klien kurang dihargai di lingkungan dan
keluarga.
4) Spiritual Nilai dan keyakinan biasanya klien dengan sakit jiwa
dipandang tidak sesuai dengan agama dan budaya, kegiatan
ibadah klien biasanya menjalankan ibadah di rumah
sebelumnya, saat sakit ibadah terganggu atau sangat
berlebihan.
g. Mental
1) Penampilan Biasanya penampilan diri yang tidak rapi, tidak
serasi atau cocok dan berubah dari biasanya
2) Pembicaraan Tidak terorganisir dan bentuk yang maladaptif
seperti kehilangan, tidak logis, berbelit-belit
3) Aktifitas motorik Meningkat atau menurun, impulsif, kataton
dan beberapa gerakan yang abnormal.
4) Alam perasaan Berupa suasana emosi yang memanjang akibat
dari faktor presipitasi misalnya sedih dan putus asa disertai
apatis.
5) Afek : afek sering tumpul, datar, tidak sesuai dan ambivalen.
6) Interaksi selama wawancara Selama berinteraksi dapat
dideteksi sikap klien yang tampak komat-kamit, tertawa
sendiri, tidak terkait dengan pembicaraan.
7) Persepsi Halusinasi apa yang terjadi dengan klien. Data yang
terkait tentang halusinasi lainnya yaitu berbicara sendiri dan
tertawa sendiri, menarik diri dan menghindar dari orang lain,
tidak dapat membedakan nyata atau tidak nyata, tidak dapat
memusatkan perhatian, curiga, bermusuhan, merusak, takut,
ekspresi muka tegang, dan mudah tersinggung.
8) Proses pikir Biasanya klien tidak mampu mengorganisir dan
menyusun pembicaraan logis dan koheren, tidak berhubungan,
berbelit. Ketidakmampuan klien ini sering membuat
lingkungan takut dan merasa aneh terhadap klien.
9) Isi pikir Keyakinan klien tidak konsisten dengan tingkat
intelektual dan latar belakang budaya klien. Ketidakmampuan
memproses stimulus internal dan eksternal melalui proses
informasi dapat menimbulkan waham.
10) Tingkat kesadaran Biasanya klien akan mengalami disorientasi
terhadap orang, tempat dan waktu.
11) Memori Terjadi gangguan daya ingat jangka panjang maupun
jangka pendek, mudah lupa, klien kurang mampu menjalankan
peraturan yang telah disepakati, tidak mudah tertarik. Klien
berulang kali menanyakan waktu, menanyakan apakah
tugasnya sudah dikerjakan dengan baik, permisi untuk satu hal.
12) Tingkat konsentrasi dan berhitung Kemampuan mengorganisir
dan konsentrasi terhadap realitas eksternal, sukar
menyelesaikan tugas, sukar berkonsentrasi pada kegiatan atau
pekerjaan dan mudah mengalihkan perhatian, mengalami
masalah dalam memberikan perhatian.
13) Kemampuan penilaian Klien mengalami ketidakmampuan
dalam mengambil keputusan, menilai, dan mengevaluasi diri
sendiri dan juga tidak mampu melaksanakan keputusan yang
telah disepakati. Sering tidak merasa yang dipikirkan dan
diucapkan adalah salah.
14) Daya tilik diri Klien mengalami ketidakmampuan dalam
mengambil keputusan. Menilai dan mengevaluasi diri sendiri,
penilaian terhadap lingkungan dan stimulus, membuat rencana
termasuk memutuskan, melaksanakan keputusan yang telah
disepakati. Klien yang sama seklai tidak dapat mengambil
keputusan merasa kehidupan sangat sulit, situasi ini sering
mempengaruhi motivasi dan insiatif klien
h. Kebutuhan persiapan klien pulang
1) Makan Keadaan berat, klien sibuk dengan halusinasi dan
cenderung tidak memperhatikan diri termasuk tidak peduli
makanan karena tidak memiliki minat dan kepedulian.
2) BAB atau BAK Observasi kemampuan klien untuk BAK atau
BAK serta kemampuan klien untuk membersihkan diri.
3) Mandi : biasanya klien mandi berulang-ulang atau tidak mandi
sama sekali.
4) Berpakaian : biasanya tidak rapi, tidak sesuai dan tidak diganti.
5) Observasi tentang lama dan waktu tidur siang dan malam :
biasanya istirahat klien terganggu bila halusinasinya datang.
6) Pemeliharaan kesehatan Pemeliharaan kesehatan klien
selanjutnya, peran keluarga dan sistem pendukung sangat
menentukan.
7) Aktifitas dalam rumah Klien tidak mampu melakukan aktivitas
di dalam rumah seperti menyapu.
2. DIAGNOSA
Berdasarkan pengkajian diatas di peroleh diagnosa keperawatan sebagai
berikut (Tim Pokja SDKI DPP PPNI, 2017)
a. Isolasi diri
b. Harga diri rendah
c. Perubahan presepsi sensori: halusinasi
3. INTERVENSI KEPERAWATAN
L. RENCANA TINDAKAN KEPERAWATAN
Diagnosa Tujuan dan kriteria hasil Rencana tindakan Paraf

Isolasi Setelah dilakukan tidakan Promosi sosialisasi


sosial: keperawatan selam 3 x 24 jam (Tim Pokja SIKI DPP
menarik di harapkan keterlibatan sosial PPNI, 2018)
diri meningkat (Tim Pokja SLKI Observasi
DPP PPNI, 2019):  Identifikasi
awal Akhir kemampuan
Minat 1 3
melakukan
interaksi
interaksi dengan
Verbalisa 1 3
orang
tujuan yang
 Identifikasi
jelas
Verbalisasi `1 3 hambatan
isolasi melakukaninterak
Verbalisasi 1 3 si dengan orang
ketidakamanan lain
di tempat Terapeutik
umum
 Motivasi
Perilaku 1 3
meningkatkan
menarik diri
Afek murung/ 1 3 keterlibatan
sedih dalam suatu
Kontak mata 1 3 hubungan
 Motivasi
berpartisipasi
dalam aktivitas
baru dari kegiatan
kelompok
 Motivasi
berinteraksi di
luar lingkungan
 Diskusikan
kekuatan dan
keterbatasan
 Diskusikan
perencanaan masa
depan
 Berikan umpan
balik positif
perawatan diri
Edukasi
 Anjurkan
berinteraksi
dengan orang lain
 Anjurkan ikut
serta kegiatan
sosial
 Anjurkan berbagi
pengalaman
dengan orang lain
 Anjurkan
meningkatkan
kejujuran diri dan
menghormati hak
orang lain
 Latih bermain
peran untuk
meningkatkan
keterampilan
komunikasi
 Latih
mengekspresikan
marah dengan
tepat.
Harga diri Setelah dilakukan tidakan Manajemen perilaku
rendah keperawatan selam 3 x 24 jam Observasi
di harapkan harga diri  Identifikasi
meningkat dengan kriteria hasil harapan untuk
sebagai berikut (Tim Pokja mengendalikan
SLKI DPP PPNI, 2019): perilaku.
Terapeutik
awal Akhir
 Diskusikan
Penilaian diri 1 3
tanggung jawab
positif
terhadap perilaku.
Berjalan 1 3  Jadwalkan
menampilkan kegiatan
wajah terstruktur
Postur tubuh 1 3  Ciptakan
menampilkan pertahankan
wajah lingkungan dan
Kontak mata 1 3 kegiatan

Percaya diri 1 3 perawatan

berbicara konsisten
 Tingkatkan
Perasaan malu 1 3
kemampuan fisik
Perasaan 1 3
sesuai
bersalah
kemampuan
Gairah 1 3
 \batasi jumlah
aktivitas pengunjung

Kemampuan 1 2  Bicaea dengan

membuat nada rendah dan


keputusan tenang
 Lakukan kegiatan
pengalihan
terhadap agritasi
 Cegah perilaku
pasif dan agresif
 Lakukan
pengekangan fisik
sesuai idikasi
 Hidari bersikap,
menyudutkan,
mengancam dan
berdebat
Edukasi
 Inforasokan
keluarga sebagai
dasar
pembentukan
kognitif
Perubahan Setelah dilakukan tidakan Manajemen halusinasi
presepsi keperawatan selam 3 x 24 jam Observasi:
sensori: di harapkan perubahan  Monitor perilaku
halusinasi presepsi : Halusinasi membaik yang
dengan kriteria hasil(Tim Pokja mengindikasi
SLKI DPP PPNI, 2019) : halusinasi
Awal Akhir  Monitor dan
Verbalisasi 1 3 tingkat aktivitas
mendengar dan stimulasi
bisikan lingkungan
Distorsi 1 3
 Monitor isi
sensori
halusinasi
Perilaku 1 3
Terapeutik:
halusinasi
Melamun 1 3  Pertahankan
Curiga 1 3
lingkungan aman
 Lakukan tindakan
keselamatan
ketika tidak dapat
mengontrol
perilaku
 Diskusi perasaan
dan respon
terhadap
halusinasi
 Hindari
perdebatan
tentang validasi
halusinasi
Edukasi:
 Anjurkan
memonitor
sendiri situasi
terjadi halusinasi
 Anjurkan bicara
pada orang yang
dipercaya untuk
memberikan
dukungan dan
umpan korektif
halusinasi
 Anjurkan
melakukan
distraksi
 Ajarkan keluarga
dan pasien cara
mengontrol
halusinasi
Kolaborasi
 Kolaborasi
pemberian obat
antipsikolitik

DAFTAR PUSTAKA

Prabowo, E. (2014). Buku Ajar Keperawatan Jiwa. Nuha Medika.


Ade Hermawan Surya Direja, S.kep., N. (2011). Buku Ajar Asuhan Keperawatan
Jiwa. Nuha Medika.

Direja, A. H. S. (2011). Buku Ajar Asuhan Keperawatan Jiwa. Nuha Medika.

Grabb, H. K. & B. S. & J. (2010). Psikiatri Ilmu PengetahuanPerilaku Psikiatri


Klinis. Bina Rupa Kampus.

PPNI, Tim Pokja SDKI DPP. (2017). Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia
(Definisi Dan Indikator Diagnosis) (1st ed.). Dewan Pengurus Pusat PPNI.

PPNI, Tim Pokja SIKI DPP. (2018). Standar intervensi Keperawatan Indonesia (1st
ed.). Dewan Pengurus Pusat PPNI.

PPNI, Tim Pokja SLKI DPP. (2019). Standar Luaran Keperawatan Indonesia
(definisi Dan Kriteria Hasil (1st ed.). Dewan Pengurus Pusat PPNI.

Prabowo, E. (2014). Buku Ajar Keperawatan Jiwa. Nuha Medika.

Anda mungkin juga menyukai