Anda di halaman 1dari 3

Nama : Nadya Arista

Resume Artikel Jurnal


“Food fraud: An exploratory study for measuring consumer
perception towards mislabeled food products and influence on
selfauthentication intentions”

Istilah food fraud sudah dikenal dari zaman Kekaisaran Yunani dan Romawi.
Namun, seiring berkembangnya tekonologi banyak kecurangan dalam distribusi
makanan yang telah terungkap belakangan ini (Charlebois & Haratifar, 2015).
Mislabelling daging kuda di Eropa menyorot perhtian masyarakat Eropa terkait
kecurangan produksi dan distribusi makanan skala besar (Falkheimer & Heide,
2015; Le Vallee & Charlebois, 2015). Suatu produk makanan seharusnya mematuhi
aturan dalam pemberian label, terutama dalam pencantuman komposisi bahan,
protokol, dan praktik produksi, teknologi yang digunakan, dan identitas genetik).
Artikel ini bertujuan untuk mengetahui persepsi konsumen terhadap keakuratan
pelabelan makanan dan lokasi produksi yang dinyatakan serta mengevaluasi
pengunaan perangkat identifikasi produk dengan otentikasi wilayah atau negara
asalnya saat pembelian produk makanan. Selain itu, artikel ini juga bertujuan untuk
memberikan pandangan baru bagi pembuat kebijakan untuk merumuskan strategi
yang lebih efektif untuk mengurangi kasus penipuan makanan, melindungi produk
daerah dan nasional serta menggali pola pikir konsumen terkait pembelian produk
makan palsu.
Penipuan dalam produksi dan distribusi makanan berkaitan erat dengan
keinginan untuk mendapatkan keuntungan ekonomi sebesar mungkin. Penipuan
makanan mencakup pemalsuan untuk tujuan ekonomi, pemalsuan dan kesalahan
pelabelan, penghindaran pajak, dan penyelundupan. Perkembangan dunia
perdagangan berbanding lurus dengan peningkatan kejadian penipuan makanan di
masyarakat. Kasus yang paling sering muncul melibatkan produk ikan dan makanan
laut, diantaranya adalah kesalahan pelabelan berdasarkan jenis spesies laut
(Jacquet & Pauly, 2008; Leal, Pimentel, Ricardo, Rosa, & Calado, 2015). Ditemukan
juga beberapa kasus terkait kesalahan pelabelan pada produk daging dan sosis
ayam. Kesalahan pelabelan ini mempengaruhi citra merk suatu wilayah dan negara.
Menurut Kjærnes (2012), keadaan ini meningkatkan ketidakberdayaan
konsumen sehingga konsumen mungkin merasa tidak memiliki cukup kendali atas
produk yang mereka beli. Konsumen kesulitan untuk mengetahui dengan pasti dari
mana makanan yang mereka beli berasal. Kebanyakan konsumen tertipu karena
nilai produk dan daya jual yang dirasa menguntungkan tanpa menyadari bahwa
produk yang dibeli telah dipalsukan atau dicurangi. Sebagian besar konsumen tidak
menyadari produk telah dipalsukan karena produk tersebut dangat mirip dengan
produk asli. Hal ini dapat mengancam keselamatan konsumen karena pada label
Nama : Nadya Arista

makanan tidak dicantumkan bahan makanan yang mungkin berbahaya dan tinggi
risiko alergen serta senyawa beracun.

Oleh karena itu, dibutuhkan pengawasan dengan ketelitian yang tinggi untuk
memantau keakuratan label makanan. Sekarang, banyak prototipe yang telah
beredar digunakan untuk menguji asal dan bahan dalam produk makanan. Beberapa
diantaranya adalah perangkat berbasis pengkategorian spesies berdasarkan DNA
spesifik, penggunaany cahaya inframerah, penanda molekuler, dan masih banyak
lagi. Perangkat-perangkat ini berfokus untuk pengaplikasian pada bidang industri.
Namun, dengan adanya perkembangan teknologi, konsumen dapat mengakses
perangkat otentikasi produk secara mandiri. Misalnya di Austria, konsumen dapat
memvalidasi apakah benar produk apel italia yang dibeli berasal dari Italia.
Artikel jurnal ini dibuat berdasarkan analisis kuantitatif induktif terhadap data
primer yang diperoleh melalui survei dengan pendekatan yang konsisten. Data
dikumpulkan menggunakan metode consumer intercept di beberapa lokasi di Kota
Innsbruck, Austria. Instrumen survei ini memiliki tiga bagian yang berbeda, yaitu
bagian pertama berupa variabel demografis (terkait jenis kelamin, usia, pekerjaan,
dan tingkat Pendidikan). Bagian kedua berupa kualitas responden (terkait masalah
kesehatan seperti, alergi; dan perilaku di toko makanan seperti, frekuensi kunjungan
dan membaca label makanan). Bagian ketiga menilai tingkat kepercayaan terkait
regulator dan industri (Stevenson & Busby, 2015).
Pengumpulan data dilakukan selama 2 minggu. Sebelum survei, responden
menerima penjelasan mengenai konsep otentikasi label. Dari 105 responden, 53,3%
berjenis kelamin laki-laki, 56,2% berada dalam rentang usia 21-35 tahun, 49,5%
berpendidikan pasca sekolah menengah atau lebih tinggi, 65,7% bekerja di sektor
swasta atau di LSM. Setiap responden membutuhkan waktu 5-10 menit untuk
mengisi survei. Sebanyak 22,9% responden mengaku memiliki alergi dan intoleransi
terhadap makanan tertentu. Namun, kejadian ini belum dikonsultasi dan dikonfirmasi
oleh responden kepada dokter.
Skala pengukuran dan indikator yang digunakan dirancang untuk mengukur
kepercayaan konsumen terhadap kredibilitas regulator makanan dan peran
pemerintah dalam kepatuhan. Responden diwawancara untuk menilai kesadaraan
terkait risiko makanan, ketidakpercayaan dan cara konsumen mengotentikasi produk
secara mandiri, dan ketersediaan konsumen untuk menggunakan perangkat
otentikasi mandiri.
Hasil penelitian eksplorasi ini menunjukkan terdapat korelasi kuat antara
kebiasaan membaca label dengan gender responden. Ditemukan bahwa responden
wanita lebih cenderung membaca label kemasan produk dibandingkan responden
pria. Selain itu, ada korelasi antara kebiasaan membaca label dengan kemauan
responden untuk menggunakan alat otentikasi mandiri. Hasil lainnya menyatakan
Nama : Nadya Arista

responden tidak membedakan antara pengawasan, kewaspadaan, dan kepuasan


kepatuhan industry dan regulator produk makanan.
Kesimpulannya, dibutuhkan pemantauan intensif serta berkelanjutan terhadap
produksi dan distribusi produk makanan yang salah label. Penting juga untuk
menyediakan program yang memadai dengan tujuan mengurangi kesalahan
pelabelan dan penipuan produk makanan sehingga industri makanan akan lebih
disiplin untuk mematuhi peraturan yang ada. Dengan adanya artikel penelitian ini,
harapannya akan muncul ide-ide baru untuk mendukung penelitian terkait penipuan
dalam industri makanan dan pengembangan tekonologi untuk memvalidasi produk
makanan yang beredar di pasaran.

Daftar Pustaka :
Charlebois S., Schwab A., Henn R., Huck C.W. (2016). Food fraud: An exploratory
study for measuring consumer perception towards mislabeled food products
and influence on self-authentication intentions. Trends in Food Science &
Technology (50); 211-218.
Charlebois, S., & Haratifar, S. (2015). The perceived value of dairy product
traceability in modern society: an exploratory study. Journal of Dairy Science,
98(5); 3514-3525.
Falkheimer, J., & Heide, M. (2015). Trust and brand recovery campaigns in crisis:
findus nordic and the horsemeat scandal. International Journal of Strategic
Communication, 9(2); 134-147.
Jacquet, J. L., & Pauly, D. (2008). Trade secrets: renaming and mislabeling of
seafood. Marine Policy, 32(3); 309-318.
Kjærnes, U. (2012). Ethics and action: a relational perspective on consumer choice
in the European politics of food. Journal of Agricultural and Environmental
Ethics, 25(2); 145-162.
Le Vallee, J., & Charlebois, S. (2015). Benchmarking global food safety
performances: the era of risk intelligence. Journal of Food Protection, 78(10);
1896-1913.
Leal, M., Pimentel, T., Ricardo, F., Rosa, R., & Calado, R. (2015). Seafood
traceability: current needs, available tools, and biotechnological challenges for
origin certification. Trends in Biotechnology, 33(6); 331
Stevenson, M., & Busby, J. (2015). An exploratory analysis of counterfeiting
strategies. International Journal of Operations & Production Management,
35(1); 110.

Anda mungkin juga menyukai