Anda di halaman 1dari 18

DETERMINAN SIKAP DAN INTENSI MEMBELI PRODUK FASHION PALSU

Chairy dan Taysa Yuliana


Universitas Tarumanagara, Jakarta, Indonesia
Email: cchairy@yahoo.com; chairy@tarumanagara.ac.id

Abstrak: Produkfashion terutama produk dengan merk luar negeri yang terkenal banyak
dipalsukan termasuk di Indonesia. Alasan utama keberadaan produk palsu adalah adanya
permintaan yang kuat atas produk ini. Penelitian ini bertujuan untuk menyelidiki faktor-faktor
yang mempengaruhi sikap dan keinginan konsumen untuk membeli produk fashion palsu.
Berdasarkan studi literatur dan penelitian sebelumnya, diperkirakan kualitas produk, harga,
dan scarcity merupakan determinan sikap dan intensi membeli produk palsu. Populasi
penelitian ini adalah para mahasiswa tingkat sarjana yang merupakan konsumen produk
fashion palsu. Sampel penelitian sebanyak 200 responden ditarik dengan menggunakan
teknik convenience sampling. Dengan menggunakan analisis regresi, hasil penelitian
menunjukkan bahwa kualitas produk, harga, dan scarcity merupakan faktor yang
mempengaruhi sikap konsumen terhadap produk fashionpalsu secara signifikan. Selanjutnya
sikap konsumen mempengaruhi intensi mereka untuk membeli produk fashion palsu secara
signifikan.Hasil penelitian diharapkan dapat memberikan penjelasan logis tentang mengapa
konsumen ingin membeli produk fashion palsu. Hasil penelitian juga bermanfaat bagi pemilik
dan pemasar produk asli dalam melindungi produk mereka dari pemalsuan.
Katakunci: kualitas produk, harga, scarcity, sikap, intensi membeli.
Abstract: Fashion productsespecially foreign branded items are easy to find in retail market
including in Indonesia. The main reason of the existence of counterfeit product is the high
demand for this product. The aim of this research is to investigate factors affecting attitude
toward counterfeit products and intention to buy counterfeit products. Based on literature
study and previous research, it is predicted that product quality, price, and scarcity are the
determinants of attitude and intention to buy counterfeit products. The population of this
study is university students who are also the consumer of counterfeit products. Using
convenience sampling, 200 respondents were drawn. Regression analysis showed that
product quality, price, and scarcity are the predictors of attitude towards counterfeits product.
Further, attitude affected intention to buy counterfeit product significantly. The result of this
research provides explanation of why consumers like and intent to buy counterfeit products.
This research also provide guidances for original product producers to protect their product
from counterfeited
Keywords: product quality, price, scarcity, attitude, intention to buy

PENDAHULUAN
Produk palsu dapat diibaratkan sebagai pedang bermata dua, pada satu sisi keberadaan
produk palsu merugikan produsen produk asli, pada sisi yang lain permintaan akan produk
palsu tetap tinggi dari masa ke masa. Produk palsu digunakan oleh sekelompok konsumen
untuk mengecohkan kelas sosial dirinya agar terlihat lebih tinggi (Eisend dan SchuchertGuler, 2006).
Salah satu produk yang sering dipalsukan dan dibeli konsumen adalah produk
fashionkhususnya produk fashion mewah dengan merek yang terkenal. Hidayat dan
Diwasasri(2013) melaporkan bahwa membeli produk palsu adalah hal yang umum terjadi di
Indonesia. Kenyataan ini dapat dimaklumi karena perilaku ini dapat dengan mudah dilihat
dibeberapa pusat perbelanjaan tertentu di Jakarta yang menjual produk palsu terutama produk
fashion. Produk palsu ini diberi label sebagai produk KW Super untuk produk palsu dengan
kondisi fisik produk yang mendekati asli dan KW 1 untuk produk palsu dengan kualitas
lebih rendah, dan seterusnya. Produk palsu ini disinyalir berasal dari salah satu negara besar
di Asia yang sejak lama terkenal kemampuannya untuk meniru produk fashion mahal kelas
dunia.Salah satu barang yang sering dipalsukan dan dibeli konsumen adalah barang mode
atau fashionkhususnya untuk barang fashion mewah dengan merek yang terkenal
Pemalsuan produk bermerek terkenal (branded item) memang sudah menjadi fenomena
biasa dan terjadi hampir di seluruh belahan dunia. Aktivitas pemalsuan ini telah menjadi
sebuah epidemik dan merugikan industri fashion (Cheek dan Easterling, 2008). Tumbuhnya
aktivitas pemalsuan branded item sejalan dengan berkembangnya perdagangan global dan
munculnya pasar-pasar baru, majunya perkembangan teknologi, dan meningkatnya barangbarang yang dianggap bernilai untuk dipalsukan (Wee, Tan, dan Cheok, 1995). Alasan utama
dipalsukannya branded item adalah mudahnya produk ini dijual dan rendahnya biaya untuk
menghasilkan produk palsu (Shultz dan Soporito, 1996).

Dari sisi konsumen, terdapat beberapa alasan yang membuat seorang konsumen
berminat

membeli

produk

fashion

palsu

yaitu

antara

lain

karena

konsumen

menganggapproduk fashion palsu tidak memberikan dampak langsung yang merugikan bagi
mereka, harga produk palsu umumnya lebih murah sehingga mereka merasa seolah-olah
sebagai wise shoppers.
Beberapa peneliti melaporkan alasan utama konsumen membeli produk palsu.
Cheekdan Easterling (2008) mengatakan bahwa konsumen cenderung merasa bahwa
pembelian produk palsu tersebut tidak akan merugikan pemilik merek asli. Menurut Bloch,
Bush, dan Campbell(1993),konsumen cenderung membeli produk palsu karena alasan daya
beli yang lemah. Cordel, Wongtada, dan Kieschnick(1996) menambahkan bahwa tingginya
permintaan akan produk palsu karena kualitas dari produk palsu telah sedemikian baiknya
sehingga tidak jauh berbeda dibandingkan dengan produk aslinya. Sejalan dengan berbagai
alasan di atas, permintaan konsumen akan produk palsu terus meningkat karena konsumen
ingin mengejar status dan berharap dianggap sadar akan fashion(Eisend dan Schuchert-Guler,
2006).
Mempertimbangkan tingginya permintaan produk fashion palsu, penelitian ini
menyelidiki determinan sikap dan intensi membeli produk fashion palsu. Yang tercakup
sebagai produk fashion palsu antara lain tas, kacamata, jam tangan, sepatu, bajudan lainlain.Berangkat dari penelitian Eisend dan Schuchert-Guler (2006) yang membagi determinan
pembelian produk palsu yang terdiri dari faktor individu, produk, sosial dan budaya, dan
situasi pembelian, penelitian ini berfokus pada faktor produk yaitu kondisi produk palsu.
Variabel yang diteliti adalah kualitas produk palsu, harga produk palsu dan scarcity
(kelangkaan produk palsu). Berbeda dengan penelitian sebelumnya yang menyelidiki
pengaruh scarcity produk asli terhadap intensi membeli produk palsu, penelitian ini
menyelidik efek dari scarcity produk palsuterhadap intensi membeli produk palsu. Hasil

penelitian diharapkan dapat dijadikan masukan baik bagi produsen produk asli dalam
mengurangi aktivitas pemalsuan produknya maupun oleh pengambil keputusan kebijakan
publik dalam menyusun kebijakan publik.

LANDASAN TEORI, KAJIAN EMPIRIS DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS


Kualitas Produk
Menurut Kotler dan Keller (2011), produk adalah apa saja yang ditawarkan ke pasar
untuk memenuhi atau memuaskan keinginan dan kebutuhan pelanggan, termasuk barang
yang berbentuk fisik, jasa, pengalaman, acara, orang, tempat, perlengkapan, organisasi,
informasi, dan ide. Keberhasilan suatu produk tidak lepas dari kualitas produk itu sendiri.
Kotler dan Keller (2011) mendefinisikan kualitas produk sebagai keseluruhan ciri atau sifat
barang dan jasa yang berpengaruh pada kemampuannya dalam memenuhi kebutuhan yang
dinyatakan maupun yang tersirat. Dengan demikian kualitas produk adalah kesempurnaan
dan kesesuaian sejumlah atribut atau sifat-sifat yang dideskripsikan didalam produk (barang
dan jasa) beserta sejauh mana produk itu dapat berfungsi dengan baik sesuai dengan
kegunaan dan persyaratan yang diberikan untuk memenuhi harapan-harapan pelanggan.
Pengertian di atas tidak membedakan antara produk asli dengan produk palsu
Karakteristik kualitas dari suatu produk sangat multidimensional, karena produk dapat
memberikan kepuasan dan nilai kepada pelanggan dalam banyak cara. Karakteristik beberapa
produk secara kuantitatif mudah ditentukan, seperti berat, panjang, dan waktu penggunaan.
Namun beberapa katakteristik yang lain seperti daya tarik produk adalah bersifat kualitatif.
Berdasarkan perspektif kualitas, Garvin (1987) mengembangkan dimensi kualitas ke
dalam delapan dimensi yang dapat digunakan sebagai dasar perencanaan strategis. Kedelapan
dimensi tersebut adalah: (1) performance (kinerja), yang merupakan persepsi pelanggan
terhadap manfaat inti dari produk yang digunakan oleh pelanggan; (2) features (ciri-ciri),

yang merupakan persepsi pelanggan terhadap ciri-ciri produk yang menunjang manfaat lini
produk untuk membedakan produk perusahaan dengan pesaing; (3) reliability (keandalan),
yang merupakan persepsi pelanggan terhadap keandalan produk yang dinyatakan dengan
garansi atau jaminan produk tidak rusak sebelum masa kadaluwarsa yang ditetapkan; (4)
conformance (kesesuaian), yang merupakan persepsi pelanggan akan tingkat kesesuaian
produk atas standar yang ditetapkan; (5) durability (daya tahan), yang merupakan persepsi
pelanggan terhadap umur ekonomis produk yang akan digunakan; (6) serviceability
(kemudahan perbaikan), yang merupakan persepsi pelanggan terhadap pelayanan yang
diberikan perusahaan kepada pelanggan ketika menggunakan produk; (7) aestethics
(keindahan), yang merupakan persepsi pelanggan terhadap daya tarik produk yang ditangkap
oleh panca indra; (8) perceived quality (kualitas yang dipersepsikan), yang merupakan citra
sebuah produk serta citra dan tanggungjawab perusahaan terhadap produk. Baik produk asli
maupun produk palsu memiliki karakteristik maupun dimensi kualitas yang tidak berbeda.
Harga Produk
Harga merupakan jumlah uang yang harus konsumen bayarkan untuk mendapatkan
produk. Harga adalah bagian penting dan tidak dapat dipisahkan dari bauran pemasaran
karena merupakan faktor penentu dari permintaan pasar untuk barang dan jasa tersebut
(Kotler dan Keller, 2011). Harga didefinisikan sebagai jumlah yang ditagihkan untuk suatu
produk atau jasa, jumlah nilai yang dipertukarkan konsumen untuk manfaat memiliki atau
menggunakan roduk atau jasa
Menurut Peter dan Olson (2009), harga adalah sesuatu yang harus diserahkan sebagai
ganti pembelian dari barang dan jasa.Berdasarkan dua pengertian di atas dapat disimpulkan
bahwa harga adalah sejumlah nilai uang yang ditagih, termasuk waktu dan usaha yang
ditawarkan untuk mengkonsumsi serta menggunakan produk dan jasa. Pada saat pelanggan
membeli produk, pelanggan menukar sejumlah nilai (uang) dengan sejumlah nilai lain

(manfaat atas memiliki atau menggunakan produk). Pelanggan yang berorientasi pada harga
mengharapkan mendapatkan manfaat dari produk yang diterima sebanding dengan uang yang
dibelanjakan.
Harga mempunyai peranan penting dalam keberhasilan pemasaran produk. Pertama,
harga adalah salah satu faktor penentu jumlah permintaan produk dipasar. Kedua, harga
menentukan jumlah hasil penjualan dan keuntungan. Ketiga, harga dapat mempengaruhi
segmen pasar yang dapat ditembus perusahaan. Keempat, harga dan strategi harga
mempengaruhi keberhasilan distribusi produk. Terakhir, harga mempunyai pengaruh
terhadap implementasi program promosi penjualan. Dengan demikian menjadi jelas bahwa
harga produk palsu ikut menentukan keberhasilan pemasaran suatu produk palsu.
Scarcity (Kelangkaan Produk)
Lynn (1991) mendefinisikan scarcity (kelangkaan)sebagai terbatasnya jumlah produk
yang dihasilkan dari pasokan yang terbatas. Dengan demikian scarcity adalah terbatasnya
jumlah produk yang diproduksi dari penawaran yang terbatas sehingga tidak dapat memenuhi
semua permintaan konsumen.
Literatur perilaku konsumen banyak membahas aspek scarcity suatu produk. Scarcity
memiliki kaitan dengan persepsi nilai suatu produk atau merk. Menurut Solomon (2013),
seperti halnya orang (manusia), suatu produk akan terlihat lebih menarik apabila tidak
tersedia atau terbatas ketersediaannya. Kondisi ini yang menjelaskan mengapa produk
limited edition terlihat lebih menarik.
Eisend dan Schuchert-Guler (2006) menjelaskan bahwa kelangkaan produk asli
mempengaruhi permintaan baik terhadap produk asli maupun produk palsu. Dalam penelitian
ini scarcityyang dibahas adalah scarcity produk fashionpalsu.
Sikap terhadap Produk Palsu

Menurut Schiffman dan Kanuk (2009), sikap merupakan evaluasi keseluruhan atas
suatu objek. Matos, Ituassu, dan Rossi (2007) menjelaskan bahwa sikap adalah
kecenderungan psikologis yang diekspresikan dengan mengevaluasi entitas tertentu melalui
tingkat suka atau tidak disukai.Dalam penelitian ini entitas yang dimaksud adalah produk
palsu (counterfeits). Dengan demikian sikap terhadap produk palsu dapat dikatakan sebagai
evaluasi konsumen terhadap suatu produk palsu, apakah konsumen memiliki sikap positif
atau sebaliknya terhadap suatu produk palsu.
Dalam pemasaran, sikap merupakan salah satu konstruk terpenting karena berkorelasi
dengan keinginan seseorang untuk membeli suatu produk. Dengan demikian sikap
merupakan salah satu faktor yang dapat menjelaskan perilaku konsumen. Menurut Schiffman
dan Kanuk (2009), sikap cenderung konsisten dengan perilaku yang timbul karena itu apabila
konsumen memiliki sikap yang positif terhadap produk palsu, maka perilaku yang ditunjukan
cenderung konsisten dengan sikap yang dimilikinya. Berbagai faktor mempengaruhi
pembentukan sikapdiantaranya adalah kualitas produk.
Prendegast, Chuen, dan Phau (2002) memperlihatkan bahwa untuk produk pakaian,
kualitas merupakan salah satu faktor yang dipertimbangkan konsumen dalam keputusan
pembelian mereka.Shaharudin et al (2011) memperlihatkan adanya kaitan yang positif antara
kualitas produk dengan sikap konsumen terhadap produk itu. Dalam konteks produk palsu
diperkirakan kualitas produk palsu mempengaruhi sikap konsumen terhadap produk palsu
dimaksud. Dengan demikian dapat disusun hipotesis pertama dalam penelitian ini sebegai
berikut:
H1: Kualitas produk palsu mempengaruhi sikap konsumen terhadap produk palsu

Selain kualitas produk, diperkirakan harga juga mempengaruhi sikap konsumen


terhadap produk palsu. Penelitian yang dilakukan oleh Haque, Arun, dan Sabbir (2011)

memperlihatkan adanya beberapa faktor penting yang mempengaruhi pemilihan produk


bajakan (palsu), salah satunya adalah harga produk palsu. Semakin terjangkau harga suatu
produk palsu maka semakin baik evaluasi konsumen terhadap produk palsu dimaksud.
Bloch et al (1993) menyelidiki perilaku konsumen Amerika dewasa untuk produk
pakaian dan menemukan adanya pengaruh harga dalam keputusan pembelian produk palsu.
Demikianjuga, Prendegast et al (2002) memperlihatkan bahwa untuk produk pakaian, harga
merupakan salah satu faktor yang dipertimbangkan konsumen dalam keputusan pembelian
mereka.Dengan demikian diperkirakan harga produk palsu mempengaruhi sikap konsumen
terhadap produk palsu sehingga hipotesis kedua dapat disusun sebagai berikut:
H2: Harga produk palsu mempengaruhi sikap konsumen terhadap produk palsu

Faktor ketiga dalam penelitian ini yang diduga mempengaruhi sikap konsumen terhadap
produk palsu adalah kelangkaan produk palsu. Ketersediaan produk palsu diperkirakan juga
mempengaruhi keputusan pembelian konsumen atas produk palsu. Morres dan Dhaliwal
(2004) serta Morres dan Dhillon (2000) memperlihatkan bahwa ketersediaan produk bajakan
membuat produk bajakan menjadi menarik untuk dibeli.
Solomon (2013) memperlihatkan enam faktor psikologis yang dapat mengubah sikap
konsumen yaitu reciprocity (timbal balik), authority (otoritas sumber), consistency
(konsistensi perilaku), liking(kesukaan), consensus (mempertimbangkan perilaku individu
lain), dan scarcity (kelangkaan produk). Dengan demikian jelas bahwa kelangkaan produk
dapat menimbulkan persepsi yang positif terhadap suatu produk. Semakin langka suatu
produk maka konsumen akan menilai semakin positif terhadap produk tersebut. Selanjutnya,
dapat disusun hipotesis ketiga sebagai berikut:
H3: Kelangkaan produk palsu mempengaruhi sikap terhadap poduk palsu

Intensi Membeli Produk Palsu


Menurut Khan, Ghauri, dan Majeed (2012), intensi membeli adalah niat dari seorang
individu untuk membeli suatu merek tertentu. Sebelum melakukan pembelian biasanya
individu telah melakukan evaluasi terlebih dahulu terhadap produk yang akan dibeli. Intensi
membeli adalah kemungkinan konsumen untuk merencanakan atau bersedia untuk
melakukan pembelian atas suatu produk atau jasa tertentu di kemudian hari (Wu, Yeh, dan
Hsiao, 2011).
Schiffman dan Kanuk (2009) mengemukakan bahwa intensi membeli dapat mengukur
kemungkinan konsumen dalam melakukan pembelian atas produk, dimana semakin tinggi
intensi membeli, maka akan semakin tinggi pula keinginan konsumen untuk membeli produk.
Selain itu, intensi membeli menandakan bahwa konsumen akan mengumpulkan informasi
berdasarkan pengalaman, preferensi, dan lingkungan eksternal mereka, kemudian
mengevaluasi alternatif yang ada dan membuat keputusan pembelian. Dengan demikian
intensimembeli produk palsu adalah niat dari seseorang untuk membeli suatu produk palsu.
Studi sebelumnya memperlihatkan adanya hubungan yang erat antara sikap dan
intensi membeli termasuk membeli produk palsu. Wee et al (1995) mengatakan bahwa sikap
yang positif terhadap produk palsu akan meningkatkan niat membeli produk palsu tersebut.
Sebaliknya semakin negatif sikap konsumen terhadap produk palsu maka akan semakin kecil
kemungkinan konsumen untuk membeli produk palsu. Cheng, Fu, dan Tu (2011)
menggunakan Theory of Planned Behavior untuk menjelaskan intensi konsumen membeli
produk palsu. Hasilpenelitiannya memperlihatkan bahwa sikap mempengaruhi niat konsumen
untuk membeli produk palsu. Dengan demikian dapatdisusun hipotesis keempat sebagai
berikut:
H4: Sikap konsumen terhadap produk palsu mempengaruhi intensi membeli produk
palsu.

Adapun model penelitiannya adalah sebagai berikut:


Model Penelitian

Kualitas roduk
palsu

Harga produk
palsu

H1

H2

Sikap terhadap
produk palsu

Intensi membeli
produk palsu

H4

Kelangkaan
produk palsu

H3

METODE PENELITIAN
Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif yang bertujuan untuk menyelidiki
pengaruh kualitas produk, harga produk, dan scarcity terhadap sikap dan intensi membeli
produk palsu. Populasi penelitian ini adalah para mahasiswa tingkat sarjana salah satu
universitas swasta di Jakarta yang juga merupakan konsumen produk palsu.
Sebelum digunakan, kuesioner yang telah disusun diuji coba dengan 30 sampel dari
populasi yang sama. Uji validitas dan reliabilitas dilakukan dengan menggunakan sampel
sebanyak 30 ini. Adapun hasil uji validitas memperlihatkan semua nilai corrected item total
correlation untuk masing-masing variabel telah melebihi angka 0,3. Uji reliabilitas dilakukan
dengan menghitung nilai Cronbach Alpha untuk masing-masing variabel. Nilai Cronbach
Alpha untuk variabel kualitas produk, harga, scarcity, sikap, dan intensi membeli berturut
turut sebesar 0,734; 0,839; 0,639; 0,785; 0,785. Dengan demikian dapat dipastikan kuesioner
yang disusun siap untuk digunakan.

10

Adapun variabel dalam penelitian ini diukur dengan skala likert 5 poin dari sangat tidak
setuju sampai sangat setuju. Item untuk mengukur kualitas produk diperoleh dari penelitian
sebelumnya dan literatur yang digunakan untuk menjelaskan masing-masing variabel dengan
nilai cronbach alpha seperti disajikan di atas. Item untuk mengukur kualitas produk adalah
daya tahan, kesesuaian, nilai estetika, keandalan, kinerja, fitur, kemudahan perbaikan, dan
persepsi kualitas. Item yang digunakan untuk mengukur harga adalah murah, sesuai kualitas,
pantas, sesuai manfaat, terjangkau. Item yang digunakan untuk mengukur scarcity adalah
keterbatasan kuantitas, edisi terbatas, perrmintaan melebihi pasokan. Item untuk mengukur
sikap adalah menyukai produk palsu, lebih baik membeli produk palsu, produk palsu
memberi manfaat, tidak salah membeli produk palsu. Item untuk mengukur intensi membeli
adalahberkeinginan membeli produk palsu, mempertimbangkan untuk membeli produk palsu,
memutuskan untuk membeli produk palsu.
Setelah lulus uji validitas dan reliabilitas, dengan menggunakan teknik convenience
sampling sebanyak 200 sampel disertakan dalam penelitian ini. Responden terdiri dari 98
perempuan (49%) dan 102 laki-laki (51%). Uang saku responden per bulan berkisar dari
kurang dari satu juta rupiah sampai dengan lima juta rupiah.
Untuk memperoleh gambaran tentang pengaruh variabel bebas terhadap variabel terikat
dalam rangka menjawab hipotesa yang diajukan dalam penelitian ini, dilakukan uji regresi.
Sesuai prosedur standard uji regresi, untuk memastikan uji regresi layak digunakan maka
dilakukan uji asumsi klasik sebelum data diolah lebih lanjut. Uji asumsi klasik yang
dilakukan meliputi normalitas, heteroskedatisitas, dan multikolinieritas.

HASIL PENELITIAN
Uji Asumsi Klasik

11

Uji normalitas dilakukan dengan melihat grafik Normal P-P Plot of Regression
Standardized Residual.

Hasilnya memperlihatkan adanya titik-titik dalam grafik yang

mengikuti arah garis diagonal yang menunjukkan terpenuhinya asumsi normalitas. Uji
heteroskedatisitas dilakukan dengan menganalisis diagram scatteerplot masing-masing
variabel terikat dengan sumbu tegak regression studentized residual dan sumbu mendatar
regression standardized predicted value. Titik-titik dalam gambar yang menyebar dan tidak
membentuk

pola

yang

jelas,

menunjukkan

tidak

terjadi

heteroskedatisitas.Uji

multikolinearitas dilakukan dengan melihat nilai collinearity statistics. Nilai VIF (variance
inflation factor) yang diperoleh lebih kecil dari 2. Nilai VIF yang lebih kecil dari 10 ini
menunjukan tidak terjadinya multikolinearitas.
Uji Hipotesa
Uji hipotesa mulai dari H1 sampai dengan H4 dilakukan melalui dua kali regresi.
Regresi pertama dilakukan dengan variabel bebas kualitas produk, harga, dan scarcity.
Variabel terikatnya adalah sikap terhadap produk palsu. Hasil uji F disajikan dalam Tabel 1
di bawah ini:
Tabel 1. Uji F
a

ANOVA
Model

Sum of Squares
Regression

Df

Mean Square

576.174

192.058

Residual

1765.826

196

9.009

Total

2342.000

199

F
21.318

Sig.
b

.000

a. Dependent Variable: ATC (Sikap terhadap Produk Palsu)


b. Predictors: (Constant), S (scarcity), Q (kualitas), P (harga)

Dengan nilai F sebesar 21.318 dan angka sig sebesar 0.000, maka dapat disimpulkan
bahwa model regresi dapat digunakan untuk memprediksi. Paling tidak terdapat satu variabel
bebas (kualitas produk, harga, atau scarcity) mempengaruhi variabel terikatnya (sikap

12

terhadap produk palsu). Nilai R square sebesar 0,246 menunjukkan bahwa variabel bebas
yang terdiri dari kualitas produk, harga, dan scarcity mampu menjelaskan variasi pada
variabel terikat sikap terhadap produk palsu sebesar 24,6%. Sisanya dijelaskan oleh variabel
lain yang tidak disertakan dalam model penelitian ini.
Tabel 2. Uji t
Model

Unstandardized Coefficients

B
(Constant)

Std. Error
.393

Sig.

Beta

1.992

PQ (Kualitas)
.292
.047
P (Harga)
.298
.092
S (Scarcity)
.313
.105
a. Dependent Variable: ATC (Sikap terhadap Produk Palsu)
1

Standardized
Coefficients

.395
.208
.203

.198

.844

6.210
3.246
3.210

.000
.001
.002

Melalui uji t yang disajikan dalam Tabel 2 diketahui bahwa nilai sig untuk semua variabel
bebas lebih kecil dari 0,05. Dengan demikian semua variabel bebas secara signifikan
mempengaruhi variabel terikatnya. Dengan kata lain kualitas produk palsu mempengaruhi
sikap konsumen terhadap produk palsu secara positif dan signifikan (H1 didukung data).
Harga produk palsu mempengaruhi sikap terhadap produk palsu secara positif dan signifikan
(H2 didukung data). Scarcity mempengaruhi sikap terhadap produk palsu secara positif dan
signifikan (H3 didukung data).
Untuk menjawab hipotesa ke - 4 dilakukan uji regresi tahap kedua dengan variabel
bebas sikap terhadap produk palsu dan variabel terikat intensi membeli produk palsu. Nilai F
yang dihasilkan dari regresi adalah sebesar 189,701 dengan angka sig sebesar 0,000. Adapun
nilai R square sebesar 0,489. Sedangkan nilai t dan sig masing-masing sebesar 13,773 dan
0.00.Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa sikap terhadap produk palsu mempengaruhi
intesi membeli produk palsu secara positif dan signifikan. Hasil ini mendukung H4.

PEMBAHASAN
13

Penelitian ini menyelidiki pengaruh kualitas produk, harga, dan scarcity terhadap sikap
dan intensi membeli produk palsu. Dengan menggunakan analisis regresi hasil penelitian
menunjukkan bahwa kualitas produk, harga, dan scarcity mempengaruhi sikapdan intensi
membeli produk palsu secara positif dan signifikan.
Hipoteses pertama yang mengatakan bahwa kualitas produk mempengaruhi sikap
konsumen terhadap produk palsu sejalan dengan hasil penelitian sebelumnya dan konsep
dasar dalam pemasaran yang mengatakan semakin baik kualitas produk maka konsumen akan
semakin menyukai produk tersebut (Kotler dan Keller, 2011). Hasil ini juga berlaku untuk
produk palsu seperti ditunjukkan dalam penelitian ini.
Namun hasil penelitian ini tidak mendukung penelitian sebelumnya yang dilakukan
oleh Shaharudin et al (2011), yang menyatakan bahwa kualitas produk tidak memiliki
pengaruh yang positif dan signifikan dengan alasan konsumen melihat elemen lain yang lebih
dari sekedar persepsi kualitas pada keputusan membeli mereka dan hanya mereka sendiri
yang mengerti apa yang sebenarnya mereka cari dan mereka inginkan. Mungkin saja
konsumen membeli produk palsu bukan karena kualitasnya yang baik namun hanya karena
merk yang disandangnya. Namun dalam konteks Indonesia, hasilnya dapat berbeda karena
saat ini konsumen Indonesia bahkan memilih jenis kualitas produk palsu yang ditandai
dengan isilah KW Super untuk kualitas produkpalsu terbaik yang mendekati produk asli
dan KW 1 untuk kualitas di bawah KW Super, serta KW 2 dan seterusnya untuk
kualitas

yang

lebih

rendah

lagi.

Dengan

demikian

terlihat

bahwa

konsumen

mempertimbangkan kualitas produk palsu dalam keputusan pembeliannya


Hipoteseis kedua yang mengatakan harga mempengaruhi sikap konsumen terhadap
produk palsu didukung data. Konsep pemasaran mengatakan harga merupakan salah satu
elemen bauran pemasaran yang dapat membentuk persepsi konsumen terhadap produk yang
ditawarkan (Kotler dan Keller, 2011). Hasil ini sejalan dengan hasil penelitian sebelumnya

14

yang dilakukan olehHaque et al (2011) yang menyatakan terdapat hubungan antara harga dan
persepsi konsumen terhadap produk hasil pembajakan serta penelitian Bloch et al (1993) dan
Prendegast et al (2002) yang menyatakan adanya hubungan antara harga dengan keputusan
pembelian produk fashion.
Hipotesis ketiga yang mengatakan bahwa scarcity mempengaruhi sikap konsumen
terhadap produk palsu juga didukung data. Sejalan dengan Solomon (2013), keterbatasan
produk membuat suatu produk menjadi lebih menarik. Semakin langka suatu produk maka
semakin tinggi liking terhadap produk tersebut. Kondisi ini juga terjadi untuk produk palsu.
semakin terbatas produk palsu yang ditawarkan maka konsumen akan semakin tergerak untuk
mencari produk dimaksud.
Hipotesis keempat atau terakhir dalam penelitian ini yangmengatakan bahwa sikap
mempengaruhi intensi membeli produk palsu didukung data. Sikap positif dipandang sebagai
faktor utama yang mendorong konsumen membeli suatu produk (Schiffman dan
Kanuk,2009). Hasil penelitian ini sejalan dengan pandangan di atas. Semakin konsumen
menyukai suatu produk palsu maka semakin tinggi kemungkinan konsumen untuk membeli
produk palsu tersebut.
Implikasi
Hasil penelitian ini memperlihatkan bahwa sikap positif konsumen terhadap produk
palsu dipengaruhi oleh kualitas produk palsu, harga produk palsu danscarcity produk palsu.
Dari sisi pemasar produk palsu, ketiga faktor ini akan menjadi perhatian mereka. Namun
penelitian ini tidak ditujukan untuk memberikan saran pada pemasar produk palsu namun
sebaliknya untuk pemasar produk asli.
Para pemasar produk asli perlu memperhatikan dan memahami bahwa ketiga variabel
ini menentukan sikap konsumen terhadap produk palsu. Dengan demikian para produsen dan
pemasar produk asli perlu mendesain produk mereka sedemikian rupa sehingga kualitasnya

15

tidak mudah ditiru oleh pembajak produk asli. Atau, apabila para pemalsu ingin
menghasilkan produk yang setara kualitasnya dengan produk asli maka harga produk akan
menjadi mahal atau mendekati harga produk asli. Dengan demikian tidak terdapat alasan bagi
konsumen untuk membeli produk palsu. Produk palsu dengan kualitas sangat rendah tidak
akan menarik bagi konsumen kelas menengah dengan daya beli yang cukup baik. Produk
palsu ini hanya dibeli kalangan menengah bawah yang tidak melihat merk produk palsunya.
Demikian juga produsen produk asli tidak perlu khawatir akan membanjirnya produk
palsu karena pasokan yang berlebihan dari produk palsu juga akan memberi efek merugikan
atas produk palsu itu sendiri. Karena scarcity hanya berlaku untuk produk yang bernilai dan
harga yang cukup tinggi, pemasar produk asli hanya perlu mencermati produk palsu KW
Super saja. Dengan berproduksi secara efisien, dapat dihasilkan produk asli dengan harga
yang sangat reasonable sehingga efek scarcity tidak relevan lagi karena konsumen akan lebih
memilih produk asli dengan kualitas yang jauh lebih baik dan harga yang tidak jauh berbeda
dengan produk palsu.

PENUTUP
Kesimpulan dan Rekomendasi
Penelitian ini menyelidiki pengaruh kualtias produk, harga, dan scarcity terhadap
sikap dan intensi membeli produk palsu. Hasil penelitian menunjukan kualitas produk,harga,
dan scarcity mempengaruhi sikap konsumen terhadap produk palsu. Selanjutnya sikap
konsumen mmpengaruhi intensi membeli produk palsu. Hasil penelitian memberikan
rekomendasi bagi pemasar produk asli. Dengan memahami perilaku konsumen produk palsu,
pemasar produk asli dapat menyusun strategi pemasaran yang tepat agar konsumen produk
palsu tidak terrtarik lagi untuk membeli produk palsu. Penelitian ini juga melengkapi hasil

16

penelitian sebelumnya dengan memperlihatkan adanya pengaruh scarcity produk palsu


terhadap intensi membeli produk palsu.
Penelitian ini hanya meneliti faktor eksternal konsumen yaitu kualitas produk palsu,
harga, dan scarcity dalam mempengaruhi sikap dan intensi konsumen membeli produk palsu.
Penelitian selanjutnya perlu meneliti aspek lain misalnya aspek internal konsumen dalam
mempengaruhi mereka untuk menyukai dan membeli produk palsu.

DAFTAR PUSTAKA
Bloch, Peter H., Ronald F. Bush, dan Leland Campbell. (1993). Consumer 'Accomplices' in
Product Counterfeiting. Journal of Consumer Marketing Vol 10, Iss4, 27-36.
Cheek, W.K. dan C.R. Easterling.(2008). Fashion Counterfeiting: Consumer Behavior Issues.
Journal of Family and Consumer Science, Vol 100, 40-48..
Cheng, Shih I, Fu, Hwai Hui, dan Tu, Le Thi Cam. (2011). Examining Customer Purchase
Intentions for Counterfeit Products Based on a Modefied Theory of Planned Behavior.
International Journal of Humanities and Social Science, Vol 1, No. 10, 278-284.
Cordell, Victor V., Nittaya Wongtada, dan Robert L. Kieschnick, Jr. (1996). Counterfeit
Purchase Intentions: Role of Lawfulness Attitudes and Product Traits as Determinants.
Journal of Business Research, Vol 35, No. 1, 35-41.
Eisend, M. dan Pakize Schuchert-Gler. (2006). Explaining Counterfeit Purchases: a Review
and Preview. Academy of Marketing Science Review, Vol 2006, No 12.
Garvin, David A. (1987). Competing on the Eight Dimensions of Quality. Harvard Business
Review, November-December, 101-109.
Haque, Ahasanul.,Arun K. Tarofder, dan Rahman Sabbir. (2011). Exploring Critical Factors
Choice of Piracy Products: An Empirical Investigation on Malaysian
Customers.European Journal of Economics, Finance and Administrative Sciences,
Issue 30, 84-94.
Hidayat, Anas, dan Ayu Hema Ajeng Diwasasri. 2013. Factors Influencing Attitudes and
Intention to Purchase Counterfeit Luxury Brands among Indonesian
Consumers.International Journal of Marketing Studies, Vol 5, No. 4, 143-151
Khan, I., T.A. Ghauri, dan S. Majeed. (2012). Impact of Brand Related Attributes on
Purchase Intention of Customers: A study about the Customers of Punjab, Pakistan.
Interdisciplinary Journal of Contemporary Research in Business,Vol 4, Iss 3, 194-200.
17

Kotler, P., dan Kevin L. Keller. (2011). Marketing Management 14th Edition. New Jersey:
Pearson Education.
Lynn, M. (1991). Scarcity Effect on Value: A Quantitative Review of the Commodity Theory
Literature. Psychology & Marketing, Vol 8, Iss 1, 43-57.
Matos, C. A., C.T. Ituassu, dan C.A.V Rossi. (2007). Consumer Attitudes toward
Counterfeits: A review and Extension. Journal of Consumer Marketing, Vol 24, Iss 1,
36-47.
Moores, Trevor dan Jasbir Dhaliwal. (2004). A Reversed Context Analysis of Software
Piracy Issues in Singapore. Information & Management,Vol 41, 1037-42.
Moores, Trevor dan Gupreet Dhillon. (2000). Software Piracy: A View from Hong Kong.
Communications of the ACM,Vol 43, Iss 12, 88-93.
Peter, J. P., dan J.C. Olson. (2009). Consumer Behavior and Marketing Strategy. 9th Edition,
Boston: McGraw Hill.
Prendergast, Gerard, Leung Hing Chuen, dan Ian Phau. (2002). Understanding Consumer
Demand for Non-Deceptive Pirated Brands. Marketing Intelligence & Planning,Vol
20, Iss 7, 405-16.
Schiffman, Leon G. dan Leslie LazarKanuk. (2009). Consumer Behavior,10th Edition. New
Jersey: Pearson Education, Inc.
Shaharudin, M. R., Suhardi WanMansor, Anita Abu Hassan, Maznah Wan Omar, dan Etty
Harzina Harun. (2011). The Relationship between Product Quality and Purchase
Intention: The case of Malaysias National Motorcycle/Scooter Manufacturer.
AfricanJournal of Business Management, Vol 5, Iss 20, 8163-8176.
Shultz, C.J. dan B. Soporito.(1996). Protecting Intellectual Property Strategies and
Recommendations to Deter Counterfeiting and Brand Piracy in Global Markets.
Columbia Journal of World Business, Vol 31, 18-28.
Wee, C.H., S.J.Tan, dan K.H Cheok. (1995).Non-price Determinants of Intention to Purchase
Counterfeit Goods: an Exploratory Study.International Marketing Review, Vol 12, 1946.
Wu, P. C., G. Yeh, dan Ch. R. Hsiao. (2011). The Effect of Store Image and Service Quality
on Brand Image and Purchase Intention for Private Label Brands.Australian Marketing
Journal, Vol 19, 30-39.

18

Anda mungkin juga menyukai