Anda di halaman 1dari 16

Seminar dan Call for Paper FMI 2013 Pontianak

Pengaruh Sense of Community terhadap Berbagi Pengetahuan pada Komunitas Nikon:


Efek Moderasi Individualisme Anggota
Badri Munir Sukoco
Arya Martin Setiawan
Departemen Manajemen, Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Airlangga
badrimsc@gmail.com
ABSTRAK
Peningkatan nilai guna dan inovasi pada produk dapat melibatkan konsumen melalui coconsumption (berbagi pengetahuan dengan anggota) dan co-production (berbagi pengetahuan
dengan produsen). Fenomena ini semakin masif terjadi di dalam komunitas virtual. Peneliti
berargumen bahwa sense of community yang dimiliki anggota berkontribusi pada coconsumption dan co-production, dan pengaruhnya akan menguat bila anggota memiliki tingkat
individualisme yang rendah. Sense of community pada komunitas virtual tersebut dibentuk oleh
seberapa bagus kualitas informasi dan sistem jejaring sosial yang ada. Peneliti menguji hipotesa
yang diajukan dengan mendistribusikan kuesioner kepada 200 anggota komunitas Nikon. Hasil
analisa menunjukkan bahwa kualitas informasi yang didiskusikan dan sistem yang digunakan
membentuk sense of community dikalangan anggota komunitas Nikon. Hasil lebih lanjut
menunjukkan bahwa sense of community berpengaruh terhadap aktifitas saling berbagi
pengetahuan (co-consumption dan co-production) diantara anggota komunitas Nikon. Pengaruh
tersebut akan melemah bilamana tingkat individualisme anggota tinggi dibandingkan rendah.
Implikasi akademis dan manajerial akan didiskusikan lebih lanjut dalam artikel ini.

KEYWORDS:
kualitas informasi, kualitas sistem, sense of community, individualisme, berbagi pengetahuan,
dan komunitas Nikon

Seminar dan Call for Paper FMI 2013 Pontianak

Latar Belakang
Seorang individu biasanya mempunyai keterbatasan pengetahuan dan keahlian dalam berinovasi,
apalagi ketika perkembangan pengetahuan maupun kebutuhan konsumen sangat kompleks dan
dinamis (Dahlander dan Frederiksen, 2011). Hal tersebut juga berlaku bagi produsen, dimana
penciptaan

bersama

(co-creation)

dengan

konsumen

merupakan

solusi

terkini

atas

kekurangmampuan perusahaan dalam memahami kebutuhan maupun inovasi yang diinginkan


oleh konsumen (Vargo dan Lusch, 2004). Hal inilah yang menjadikan perkembangan kolaborasi
inovatif antar pengguna suatu produk (co-consumption) maupun pengguna dengan produsen (coproduction) banyak ditemui di dalam internet, terutama pada komunitas virtual (Faraj, Jarvenpaa,
dan Majchrzak, 2011). Komunitas virtual merupakan komunitas yang terbuka, terdiri atas
anggota yang terpisah dan tidak memerlukan identifikasi, namun mempunyai kepentingan yang
sama guna memenuhi kepentingan individual dan komunitas (Sproull dan Arriaga, 2007).
Kolaborasi

inovatif

tersebut

didefinisikan

sebagai

aktifitas

berbagi,

men-transfer,

mengumpulkan, men-transformasikan, dan menciptakan secara bersama (Faraj dkk., 2011; hal.
1) dengan pengguna lain maupun dengan produsen. Keberlangsungan hidup sebuah komunitas
virtual tergantung pada tingkat kolaborasi yang ada diantara anggotanya, sehingga dapat
bermanfaat pada anggotanya secara individual (misalnya pada komunitas Linux Bagozzi dan
Dholakia, 2006; Apple Newton Muniz dan Schau, 2005) maupun kepada produsen (misalnya
pada komunitas Nike Fuller, Jawecki, dan Muhlbacher, 2007; iPhone Wu dan Sukoco, 2010).
Fenomena kolaborasi inovatif di dalam komunitas virtual telah diteliti menggunakan beragam
perspektif. Misalnya Bagozzi dan Dholakia (2006) menggunakan perspektif social identity dan
menemukan bahwa identifikasi secara kognitif, evaluatif, dan afektif dalam komunitas Linux
mendorong anggota untuk berbagi pengetahuan dan berinovasi di dalamnya. Perspektif yang
sama juga digunakan oleh Brown, Kozinets, dan Sherry (2003) pada komunitas VW Beetle
maupun Muniz dan Schau (2005) pada komunitas Apple Newton. Adapun Wu dan Sukoco
(2010) menggunakan perspektif MOA (motivation-opportunity-ability) menunjukkan bahwa
motif untuk berprestasi mendorong anggota komunitas iPhone untuk secara aktif berbagi
pengetahuan dan berkolaborasi dengan anggota lainnya. Hsu, Ju, Yen dan Chang (2007)
menggunakan perspektif social cognitive menemukan bahwa gabungan pengaruh lingkungan dan
motif anggota komunitas menjelaskan tingkat kolaborasi inovatif yang dimiliki oleh komunitas
2

Seminar dan Call for Paper FMI 2013 Pontianak

virtual dari berbagai macam profesi. Sedangkan Sukoco dan Aditya (2011) menggunakan
perspektif modal sosial (social capital Coleman, 1988; Putnam, 1995) dengan menginvestigasi
bagaimana modal sosial yang dimiliki oleh sebuah komunitas virtual berpengaruh terhadap
persepsi anggota akan nilai informasi dan nilai sosial yang ditawarkan oleh sebuah komunitas
(Mathwick, Wietz, dan Ruyter, 2008).
Namun yang belum begitu jelas adalah bagaimana karakteristik virtual community yang dapat
menunjang inovasi kolaboratif? Berbeda dengan penelitian tersebut diatas, penelitian ini
mengedepankan karakteristik virtual community yang diajukan oleh Preece (2001), yakni
usability dan sociability (Preece, 2001). Kerangka yang digunakan Preece (2001)
mengedepankan bagaimana pengguna berinteraksi dengan teknologi (usability), sedangkan
bagaiamana pengguna sistem berinteraksi satu sama lain dengan dukungan teknologi adalah
sociability.

Menggunakan

model

yang

dikembangkan

oleh

Zhang

(2010),

peneliti

mengoperasionalkan usability dengan melihat apakah sistem (site) yang digunakan oleh virtual
community memiliki kualitas informasi dan sistem yang baik, sedangkan sociability
dioperasionalkan dengan sense of community (McMillan dan Davis, 1986; Sarason, 1974).
Sejalan dengan penelitian Sukoco, Wu, dan Loh (2011), peneliti berargumentasi apakah
kolaborasi inovatif yang terjadi dalam sebuah virtual brand community tergantung pada budaya
dimana komunitas tersebut berada? Meskipun Muniz dan OGuinn (2001) berpendapat bahwa
brand community adalah tak terbatas secara geografis (unbounded geographically), namun
penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa budaya juga mempengaruhi orang dalam
berperilaku, terutama berbagi pengetahuan. Sehingga penelitian ini mengajukan pertanyaan
apakah pengaruh sense of community terhadap perilaku berbagi pengetahuan memiliki intensitas
yang berbeda tergantung pada tingkat individualisme masing-masing anggotanya? Dua
pertanyaan tersebut yang akan dijawab melalui penelitian ini.

Tinjauan Pustaka dan Pengembangan Hipotesa


Sense of community merupakan konstruk yang integral dan berasal dari disiplin psikologi
komunitas yang mempelajari persepsi individual, pemahaman, sikap, perasaan, dan lainnya
terkait komunitas dan hubungannya dengan anggota maupun antar-anggota (McMillan dan
3

Seminar dan Call for Paper FMI 2013 Pontianak

Davis, 1986; Sarason, 1974). Sense of community didefinisikan sebagai persepsi kemiripan
dengan anggota yang lain, pengakuan atas ketergantungan satu sama lain, kesediaan untuk
menjaga ketergantungan dengan anggota atau melakukan sesuatu atas ekspektasi anggota
lainnya, dan perasaan bahwa dia menjadi bagian dari struktur yang dapat diandalkan dan stabil
(Sarason, 1974).
Salah satu konsep yang cukup diterima dikalangan akademisi adalah 4 dimensi sense of
community yang dikembangkan oleh McMillan dan Davis (1986) yang terdiri atas keanggotaan,
pengaruh, integrasi dan pemenuhan kebutuhan, serta berbagi hubungan emosional. Keanggotaan
merupakan perasaan menjadi bagian sebuah komunitas, adapun pengaruh mencakup ide bahwa
pengaruh komunitas pada anggotanya dan perasaan anggotanya untuk mengontrol dan
mempengaruhi komunitasnya. Integrasi dan pemenuhan kebutuhan adalah adanya kebutuhan,
tujuan, dan nilai-nilai bersama yang mengikat sebuah komunitas untuk memenuhi kebutuhan
individual dan kelompok. Sedangkan berbagi hubungan emosional merupakan jalinan yang
dikembangkan sepanjang waktu melalui interaksi yang positif dengan anggota lain komunitas
tersebut.
Kualitas informasi didefinsikan sebagai kualitas konten dari sistem jejaring sosial (Zhang, 2010).
Penelitian sebelumnya menunjukkan beberapa karakteristik yang menunjukkan kualitas
informasi, yakni format, akurasi, kekinian, cakupan, dan mudah dipahami (Bailey dan Pearson,
1983; Seddon, 1997; dan Wixom dan Todd, 2005). Format merepresentasikan persepsi pengguna
tentang seberapa bagus informasi dipresentasikan, akurasi merepresentasikan persepsi pengguna
bahwa informasi yang disampaikan benar, kekinian merepresentasikan persepsi pengguna bahwa
infomasi yang disajikan up to date, cakupan merepresentasikan derajat sejauh mana sistem
menyediakan informasi yang luas, dan mudah dipahami merepresentasikan persepsi pengguna
akan informasi yang disajikan mudah untuk dicerna (Zhang, 2010). Kelima dimensi tersebut
dapat menjelaskan persepsi pengguna akan kualitas informasi yang terdapat pada sistem jejaring
sosial (Zhang, 2010), dalam hal ini adalah virtual brand community.
Beberapa penelitian sebelumnya berargumentasi bahwa kualitas informasi akan mempengaruhi
secara langsung maupun tidak langsung rasa kebersamaan sebuah komunitas virtual (mis: Teo,
Chan, Wei, dan Zhang, 2003; Yoo, Suh, dan Lee, 2002). Anggota virtual brand community
mengunjungi situs komunitasnya dengan beragam tujuan, misalnya tetap berhubungan dengan
4

Seminar dan Call for Paper FMI 2013 Pontianak

anggota lain, mendapatkan peluang bisnis, meng-upgrade pengetahuan tentang produk atau
hanya bersenang-senang (Wu dan Sukoco, 2010). Tentunya kualitas informasi di sebuah virtual
brand community akan memfasilitasi terbentuknya sense of community, karena anggota
komunitas akan mengunjungi situsnya secara reguler (Yoo dkk., 2002). Selain itu, kualitas
informasi yang dipertukarkan akan menstimulasi anggota lain untuk saling berbagi ide, baik
sesama anggota (co-consumption) maupun feedback terhadap produsen (co-production) (Sukoco
dan Aditya, 2011; Sukoco dkk., 2011). Sehingga,
H1: Kualitas informasi akan berpengaruh positif terhadap (a) pembentukan sense of community
di Nikon community(b) perilaku berbagi pengetahuan.
Kualitas sistem adalah sejauh mana sistem (site) yang digunakan oleh virtual brand community
melakukan fungsinya (Zhang, 2010). Biasanya kualitas sistem dikaitkan dengan seberapa mudah
navigasinya, interface yang terstruktur dengan baik, respon dan waktu loading yang cepat, serta
reliabilitas dari site yang digunakan (mis: DeLone dan McLean, 2003; McKinney, Yoon dan
Zahedi, 2002). Reliabilitas adalah operasi dari sistem yang dapat diandalkan, ketepatan waktu
adalah tingkatan sejauhmana sistem merespon permintaan informasi, navigasi adalah sejauhmana
sistem menyediakan tautan informasi (link) yang dibutuhkan, dan penggunaan yang mudah
adalah sejauhmana sistem berjalan dengan konsisten dan mudah digunakan (Zhang, 2010).
Seperti yang disampaikan sebelumnya, sense of community akan diperkuat dengan adanya
interaksi antar user, begitu juga dengan brand community (Muniz dan OGuinn, 2000). Sistem
yang sulit untuk digunakan tentunya akan menjadikan anggota Nikon community patah
semangat untuk beraktifitas, sehingga ujung-ujungnya tingkat sense of community mereka akan
rendah. Sebaliknya, bilamana sistem yang digunakan oleh Nikon community memiliki kualitas
yang bagus, maka partisipasi anggota akan semakin tinggi, begitu juga sense of community
mereka terhadap Nikon community. Studi yang dilakukan oleh Lin, Fan, Wallace, dan Chang
(2007) serta Teo dkk. (2003) juga menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara kualitas sistem
dengan rasa kebersamaan yang dimiliki oleh anggota sebuah komunitas online. Selain itu,
kualitas sistem yang baik akan memfasilitasi anggota untuk co-consumption maupun coproduction (Fller, 2007; Sukoco dan Aditya, 2011). Sehingga,

Seminar dan Call for Paper FMI 2013 Pontianak

H2: Kualitas informasi akan berpengaruh positif terhadap (a) pembentukan sense of community
di Nikon community(b) perilaku berbagi pengetahuan.

Komunitas virtual dipenuhi dengan banyak kegiatan yang berkaitan dengan berbagi
pengetahuan dan informasi. Berbagi pengetahuan merupakan perilaku dari anggota komunitas
virtual yang membagikan pengetahuan dan informasi yang dimilikinya kepada anggota lainnya
(Ryu, Ho, dan Han, 2003). Berdasarkan pendapat Vargo dan Lusch (2004), aktifitas berbagi
pengetahuan tersebut merupakan sarana bagi produsen untuk melakukan proses penciptaan
bersama dengan konsumennya (co-creation) yang dapat digolongkan menjadi dua, yakni coconsumption dan co-production (Wu dan Sukoco, 2010; Sukoco dan Aditya, 2011). Coconsumption terjadi ketika anggota komunitas mendistribusikan pengetahuan atau informasi
yang dimilikinya kepada anggota lainnya di komunitas virtual (Ryu dkk., 2003), sedangkan coproduction terjadi ketika anggota komunitas mendistribusikan pengetahuan atau informasi yang
dimilikinya kepada produsen guna meningkatkan kegunaan atau kualitas produk yang
dikonsumsi (Brown dkk., 2003; Fuller dkk., 2007).
Sense of community menunjukkan adanya saling ketergantungan antara satu anggota dengan
anggota yang lain dan mereka menjaga perasaan tersebut dengan saling memenuhi ekspektasi
anggota lainnya (Sarason, 1974). Penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Wu dan Sukoco
(2010) dan Sukoco dan Aditya (2011) menunjukkan bahwa berbagi pengetahuan yang terjadi
antar anggota, baik co-consumption maupun co-production, didalam sebuah komunitas dilandasi
oleh perasaan yang sama sebagai anggota komunitas. Sehingga,
H3: Sense of community yang dimiliki oleh anggota Nikon community akan berpengaruh positif
terhadap perilaku berbagi pengetahuan
Menurut Hofstede (1980), individualisme merupakan fokus seseorang akan haknya dibandingkan
kewajibannya, perhatian pada dirinya sendiri, menitikberatkan pada otonomi diri dan pemenuhan
kebutuhan diri, dan mendasarkan identitasnya pada pencapaian diriya. Lawannya adalah
kolektifisme, dimana seseorang menempatkan kehidupan social sebagai pandnagan hidup,
berorientasi

pada

kelompok

sosialnya

(Oyserman,

1993).

Sebagian

besar

peneliti

mengasumsikan bahwa individualisme lebih terlihat di negara-negara Barat dan kolektifisme


6

Seminar dan Call for Paper FMI 2013 Pontianak

dominan di negara-negara Timur (mis: Cova dkk., 2007; Yamaguchi, 1994). Pendapat ini
berdasarkan pada argumentasi dari Hofstede (1980) bahwa individualism-kolektifisme
seharusnya diukur secara agregat, karena budaya itu sendiri merupakan refleksi dari kondisi
social-struktural suatu bangsa. Berbeda dengan pendapat ini, penelitian ini mengasumsikan
bahwa individu memiliki budaya yang unik karena setiap manusia berbeda, sehingga
individualisme-kolektifisme harus diukur dari masing-masing individu (Ji, Schwarz, dan Nisbett,
2000; Peng, Nisbett, dan Wong, 1997). Selain itu, peneliti sependapat dengan Hofstede (1980)
bahwa individualisme-kolektifisme merupakan kontinum, sehingga bilamana seseorang
individualismenya tinggi, maka dia akan memiliki kolektifisme yang rendah.
Meskipun anggota memiliki sense of community yang tinggi, tidak menutup kemungkinan akan
terdapat anggota yang memiliki tingkat individualisme yang beragam. Semakin tinggi tingkat
individualisme anggota, maka pengaruh sense of community terhadap perilaku berbagi
pengetahuan akan melemah (Sukoco, Wu, dan Loh, 2011). Hal ini disebabkan karena anggota
yang memiliki individualisme tinggi akan focus pada pencapaian prestasi pribadi meskipun
mengorbankan hubungan yang dimiliki (Oyserman, 1993; Kim, Triandis, dkk, 1994). Selain itu,
Muniz dan O'Guinn (2001) berpendapat bahwa anggota dari brand community memiliki
tanggung jawab sosial dengan memiliki kewajiban untuk membanu sesame anggota maupun
komunitas pada umumnya. Namun dalam perspektif individualisme, loyalitas tidak terlalu
diperhitungkan

dan

apapun

yang

dilakukan

anggota

sebuah

komunitas

merupakan

tanggungjawab priadi dibandingkan tanggung jawab bersama sebagai sesame anggota komunitas
(Ho, 1979). Hal inilah yang menjadikan anggota dengan ingkat individualisme tinggi
menyebabkan hubungan sense of community dengan perilaku berbagi pengetahuan akan
melemah. Sehingga,
H4: Pengaruh positif sense of community terhadap perilaku berbagi pengetahuan akan
dimoderasi oleh tingkat individualisme anggota komunitas. Semakin tinggi tingkat individualism
anggota, maka pengaruh sense of community akan melemah.

Seminar dan Call for Paper FMI 2013 Pontianak

Metode Penelitian
Peneliti menggunakan 14 item yang merepresentasikan 5 dimensi dari kualitas informasi (format,
akurasi, kekinian, cakupan, dan mudah dipahami) yang diadaptasikan dari studi yang dilakukan
oleh McKinney dkk. (2002), Nelson dkk. (2005), Rai dkk. (2002), dan Wixom dan Todd (2005).
Sedangkan kualitas sistem diukur dengan menggunakan 10 item yang mereperesentasikan 4
dimensi, yakni reliabilitas, kegunaan, navigasi, dan ketepatan waktu yang diadaptasikan dari
McKinney dkk. (2002) dan Wixom dan Todd (2005). Adapun sense of community diukur dengan
4 dimensi (keanggotaan, pengaruh, pemenuhan kebutuhan, dan hubungan emosional) dan 15
item yang diadaptasikan dari Perkins dkk. (1990) dan McMillian dan Chavis (1986). Guna
mengukur co-production dan co-consumption, peneliti menggunakan item yang dikembangkan
dan digunakan oleh Wu dan Sukoco (2010). Semua item diukur dengan menggunakan 5 skala
Likert. Adapun individualisme diukur menggunakan 7 item yang dikembangkan oleh Oyserman
dkk. (2002) dan diukur dengan menggunakan 6 skala Likert.
Penggunaan skala yang berbeda (yaitu 5, dan 6 skala Likert) dilakukan sebagai salah satu cara
untuk mengurangi efek self-generated validity (Feldman dan Lynch, 1988) berdasarkan saran
dari Podsakoff, MacKenzie, Lee, dan Podsakoff (2003). Penelitian ini juga melakukan balancing
order, yakni mengurutkan pertanyaan tidak secara berurutan (misalnya, co-consumption dan coproduction diletakkan di awal, diikuti oleh sense of community, individualisme, kualitas
informasi dan sistem).
Nikon Team adalah komunitas virtual para pengguna kamera Nikon ang bergaransi resmidi
Indonesia. Didirikan berdasarkan inisiatif pengguna kamera Nikon pada tahun 2009, hingga saat
ini memiliki facebook fan page lebih dari 6000 anggota. Melihat antusiasme tersebut, PT.Altaindo sebagai distributor resmi kamera Nikon di Indonesia memfasilitasi komunitas tersebut
dalam website www.nikonteam.net. Komunitas ini dibentuk untuk menjadi media berbagi ilmu
tentang fotografi, workshop, seminar serta sharing antar pengguna kamera Nikon. Anggota juga
dapat mem-posting hasil karyanya untuk mendapatkan feedback berupa saran dan kritikan dari
anggota lain, selain itu mereka dapat sharing tentang teknik yang mereka gunakan dalam
menghasilkan foto tersebut.

Seminar dan Call for Paper FMI 2013 Pontianak

Setelah mendapatkan izin dari administrator untuk masing-masing komunitas, peneliti


mendistribusikan kusioner secara online (http://goo.gl/Okmtw ) yang dilaksanakan antara Maret
dan April 2013. Terdapat 200 responden yang berpartisipasi dalam penelitian ini, dengan
komposisi laki-laki yang lebih dominan (90%). Usia responden terbanyak pada rentang usia 1825 tahun (44%), diikuti responden dengan umur 26-35 tahun (38,50%), sisanya merupakan
responden diatas 36 tahun. Sebagian besar responden berpendidikan sarjana (67,50%), dengan
pekerjaan mahasiswa (29%), wiraswasta (24,50%, dan pegawai swasta (35%) adalah tiga
kategori yang dominan. Sebagian besar responden terhitung baru sebagai fotografer (< 5 tahun,
62%), namun fotografer yang cukup berpengalaman (> 10 tahun) juga relatif banyak (19 orang,
9,50%). Responden semuanya menggunakan kamera Nikon, dimana pengguna baru sangat
dominan (111 orang (55,50%). Hampir semua responden baru menjadi anggota dari komunitas
Nikon (195 orang, 97,50%). Yang menarik adalah terdapat 8 responden (4%) yang menjadi
anggota komunitas fotografi di lebih dari 6 komunitas, sedangkan 36 responden (18%) menjadi
anggota antara 3 hingga 6 komunitas. Terdapat responden yang berpartisipasi dalam forum lebih
dari 6 kali (27 orang, 13,50%) dan 3-6 kali (39 orang, 19,50%).
ANALISA
Peneliti menggunakan Confirmatory Factor Analysis (CFA) dan menemukan bahwa hampir
semua factor loading dan korelasi mempunyai nilai lebih tinggi dari 0,600, dan setiap dimensi
atau faktor yang digunakan mempunyai eigen-value lebih dari 1. Sedangkan semua nilai
Cronbachs mempunyai nilai lebih dari 0,700. Hasil lebih lanjut juga menunjukkan bahwa
model yang digunakan mempunyai tingkat kesesuaian yang tinggi dengan data, dan goodness-offit sebagai berikut: (df) = 1301,931 (629), CFI (RMSEA) = 0,888 (0,070)
2

Untuk menguji discriminant validity, peneliti menggunakan 2 langkah. Pertama, menggunakan


uji Harmans one-factor test dengan menempatkan semua item pertanyaan dalam principal
component factor analysis (Podsakoff dan Organ, 1988) Hasilnya menunjukkan bahwa tidak ada
satu faktor yang mendominasi (terdapat 9 faktor yang dihasilkan dengan 74,630% adalah total
variance, dan faktor pertama mempunyai 19,045% variance). Kedua, uji perbedaan 2
dilakukan untuk masing-masing pasangan dari faktor yang ada, dan semuanya menunjukkan
bahwa masing-masing faktor memang berbeda secara signifikan, yang lebih lanjut menunjukkan

Seminar dan Call for Paper FMI 2013 Pontianak

bahwa masing-masing faktor tidaklah collinear (Anderson dan Gerbing, 1988), sehingga
discriminant validity diantara masing-masing konstruk penelitian telah dikonfirmasi. Matriks
korelasi juga menunjukkan bahwa hipotesa yang diajukan memang tervalidasi (Tabel 2).
Peneliti menggunakan structural equation model (SEM) guna menguji hipotesa yang diajukan,
dan menghasilkan 2 (df) sebesar 202,900 (84) dengan CFI (RMSEA) sebesar 0,957 (0,080).
Salah satu kriteria penting dalam menguji apakah model yang diajukan lebih baik, perlu
diperbandingkan dengan model rival (Bagozzi and Yi, 1988). Model yang diajukan adalah
berdasarkan konsep yang diwujudkan dalam bentuk hipotesa-hipotesa yang membentuk sebuah
model. Misalnya kualitas informasi dan sistem akan mempengaruhi pembentukan sense of
community dan perilaku berbagi pengetahuan. Lebih lanjut, sense of community juga
mempengaruhi perilaku berbagi pengetahuan dari anggota komunitas. Sedangkan model rival
menghipotesakan bahwa kualitas informasi, kualitas sistem, dan sense of community akan secara
langsung berpengauh terhadap perilaku berbagi pengetahuan. Keseluruhan model fit untuk
model yang diajukan lebih bagus dibandingkan model rival ( 2 = 652,092, df = 87, CFI = 0,796,
RMSEA = 0,172).
Hipotesa pertama menyatakan bahwa terdapat pengaruh yang positif dari kualitas informasi
terhadap sense of community dan perilaku berbagi pengetahuan. Hasil analisa SEM menunjukkan
bahwa kualitas informasi berpengaruh secara positif terhadap sense of community ( = 0,354,
1

p<0,05), namun menjadi negatif dan tidak signifikan terhadap perilaku berbagi pengetahuan
( 2 = -0,245, p>0,10), sehingga hanya H1a yang dapat diterima. Hipotesa kedua menyatakan
bahwa kualitas sistem yang terdapat pada virtual community akan berpengaruh positif terhadap
sense of community dan perilaku berbagi pengetahuan. Hasil analisa menunjukkan bahwa
kualitas sistem berpengaruh secara positif terhadap sense of community

( 3 = 0,486, p<0,01),

namun tidak signifikan (meskipun positif) terhadap perilaku berbagi pengetahuan ( 4 = 0,145,
p>0,10), sehingga hanya H1a yang dapat diterima.

10

Seminar dan Call for Paper FMI 2013 Pontianak

Kualitas
Informasi

-0,245

0,354

Sense of
Community

***

0,753

Berbagi
Pengetahuan

**

0,486

Kualitas
Sistem

***

0,777
***
0,804

0,135

A
G

P
G

0,819
***
0,896
K
B

***

H
E

0,942

***

C
C

0,786

***

C
P

Catatan: - (df) = 202,900 (84), CFI (RMSEA) = 0,957 (0,080)


2

AG = keanggotaan, PG = pengaruh, KB = terpenuhinya kebutuhan, HE = hubungan

emosional, CC = co-consumption, CP = co-production


-

menunjukkan p < 0,05, ** menunjukkan p < 0,01, *** menunjukkan p < 0,001

Guna menguji efek moderasi, peneliti mengembangkan baseline (unconstrained) dan


constrained model. Constrained model menggunakan nilai rata-rata untuk mempresentasikan
tinggi dan rendahnya individualisme anggota. Perbedaan dalam nilai 2 antara dua model dapat
menunjukkan kualitas dari jalur dari dua grup (Jreskog and Srbom, 1999). Lebih lanjut, kami
menguji perbedaan nilai kritis antar jalur berdasarkan nilai t. Baseline model mirip dengan model
yang diajukan dan memiliki nilai 2 yang relatif sama ( 2 (8) = = 62,795) dengan constrained
model ( 2 (16) = 63,649) (Tabel 2).
Hipotesa 4 memprediksikan bahwa pengaruh sense of community terhadap perilaku berbagi
pengetahuan akan dimoderasi oleh tingkat individualisme anggota komunitas. Hasil analisa
menunjukkan bahwa pengaruh sense of community terhadap perilaku perbagi pengetahuan bagi
anggota yang memiliki tingkat individualism tinggi ((IT) = 0,707, p < 0,001) juga memiliki
11

Seminar dan Call for Paper FMI 2013 Pontianak

koefisien yang relatif sama dengan anggota yang memiliki tingkat individualisme rendah ( (IR) =
0,611, p < 0,001) dengan tingkat perbedaan yang tidak signifikan (t = -0,157, p > 0,100).
Sehingga dapat dikatakan bahwa tidak terdapat efek moderasi dari tingkat individualism anggota
pada pengaruh sense of community terhadap perilaku berbagi pengetahuan.

12

Seminar dan Call for Paper FMI 2013 Pontianak

Pembahasan
Penelitian ini dilakukan guna menjawab 2 pertanyaan: Pertama, bagaimana karakteristik virtual
community yang dapat menunjang inovasi kolaboratif? Hasil analisa menunjukkan bahwa
pengaruh kualitas informasi dan kualitas sistem terhadap perilaku berbagi pengetahuan akan
dimediasi oleh sense of community. Meskipun hasil ini relative berbeda dengan argumentasi
yangs ebelumnya dibangun, namun hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kualitas sistem dan
informasi itu sendiri tidak akan mendorong anggota untuk berbagi pengetahuan bilamana mereka
tidak memiliki sense of community sebagaimana yang ditekankan oleh Muniz dan OGuinn
(2001). Kualitas informasi yang dipertukarkan akan menstimulasi anggota lain untuk saling
berbagi ide, baik sesama anggota (co-consumption) maupun feedback terhadap produsen (coproduction) (Sukoco dan Aditya, 2011a; Sukoco dkk., 2011b), dengan syarat sense of community
tersebut ada (McMillan dan Davis, 1986). Begitu juga dengan kualitas sistem yang digunakan
oleh virtual brand community (Lin dkk., 2007; Teo dkk., 2003) tidak akan serta merta
memfasilitasi anggota untuk co-consumption maupun co-production (Fller, 2007; Sukoco dan
Aditya, 2011) bila sense of community-nya kurang terbangun (Wu dan Sukoco, 2010; Sukoco
dan Aditya, 2011).
Pertanyaan kedua adalah apakah kolaborasi inovatif yang terjadi dalam sebuah virtual brand
community tergantung pada budaya dimana komunitas tersebut berada? Hasil analisa
menunjukkan tidak terdapat efek moderasi dari tingkat individualisme yang dimiliki oleh
anggota Nikon Team. Meskipun cukup bertentangan dengan argumentasi sebelumnya, hal ini
semakin menguatkan pendapat dari Muniz dan OGuinn (2001) bahwa brand community adalah
unbounded geographically.
Hasil penelitian ini mempunyai implikasi manajerial sebagai berikut: Pertama, komunitas virtual
merupakan salah satu tempat dimana individu dapat berhubungan sosial, berinteraksi dan berbagi
pengetahuan tanpa dipisahkan oleh jarak. Kemudahan individu dalam memberikan informasi
maupun mengkonsumsi informasi tersebut merupakan peluang bagi para pemasar untuk
menggali informasi tentang produk mereka dalam komunitas virtual. Mengelola komunitas agar
anggota mempersepsikan nilai sosial yang tinggi akan mendorong mereka co-produce dengan
produsen, layaknya anggota komunitas Nike (Fuller dkk., 2008) maupun VW New Beetle
(Brown dkk., 2003). Kedua, pemasar harus menyadari bahwa daya dukung sistem yang
13

Seminar dan Call for Paper FMI 2013 Pontianak

digunakan, baik yang diukur melalui kualitas informasi dan kualitas sistem (usability) dan sense
of community (sociability) agar sense of community diantara anggota tinggi (Preece, 2001;
Zhang, 2010). Tanpa dukungan sistem yang baik, tentunya rasa kebersamaan maupun cocreation yang diharapkan dari adanya virtual brand community tidak akan terealisir.
Selain implikasi manajerial, penelitian ini juga mempunyai implikasi akademis. Pertama,
penelitian ini menggunakan perspektif sistem (Preece, 2001) sebagai perspektif dasar guna
menginvestigasi kolaborasi inovatif di dalam komunitas virtual, yang mana sebelumnya
didominasi oleh perspektif identitas sosial (Bagozzi dan Dholakia, 2006; Muniz dan Schau,
2005). Kedua, penelitian ini menunjukkan bahwa individualisme tidak memoderasi pengaruh
sense of community terhadap perilaku berbagi pengetahuan (baik co-consumption dan coproduction). Hal ini tentunya memperluas konsep individualisme ditingkat individual yang
digagas oleh Oyserman dkk. (2002) ke dalam fenomena kolaborasi inovatif.
Meskipun penelitian ini telah dilakukan dengan baik, namun masih terdapat beberapa
keterbatasan. Pertama, penelitian ini terbatas hanya pada komunitas Nikon di Indonesia yang
notabene memiliki kolektifisme relatif tinggi (Hofstede, 1980). Penelitian selanjutnya dapat
memperbandingkan apakah kolaborasi inovatif berbeda antara negara dengan nilai kolektifisme
dan individualisme yang berbeda (Sukoco dkk., 2011). Kedua, penelitian ini menggunakan
kamera yang mewakili produk high involvement (Zaichkowsky, 1985). Penelitian selanjutnya
dapat menggunakan tipologi produk yang lain, misalnya hedonic vs. utilitarian atau high vs. low
involevement (Sukoco dan Aditya, 2011) guna menginvestigasi kolaborasi inovatif. Ketiga,
meskipun tujuan utama penelitian ini adalah berkontribusi pada literatur kolaborasi inovatif
berdasarkan perspektif modal sosial, menggabungkanya dengan dengan perspektif social
cognitive (Hsu dk.., 2007) atau social identity (Bagozzi dan Dholakia, 2006; Muniz dan Schau,
2005) maupun MOA (Wu dan Sukoco, 2010) tentunya akan meningkatkan kontribusinya.

Daftar Pustaka
Bagozzi, R.P., dan Dholakia, U.M. (2006). Open Source Software User Communities: A Study
of Participation in Linux User Groups. Management Science, 52 (7), 1099-1115.
Brown, S., Kozinets, R.V., Jr., dan Sherry, J.F. (2003). Teaching Old Brands New Tricks: Retro
Branding and the Revival of Brand Meaning. Journal of Marketing, 67 (3), 19-33.
14

Seminar dan Call for Paper FMI 2013 Pontianak

Coleman, J. (1988). Social Capital in the Creation of Human Capital. American Journal of
Sociology, 94 (Suppl.), 95120.
Dahlander, L., dan Frederiksen, L. (2011). The Core and Cosmopolitans: A Relational View of
Innovation in User Communities. Organization Science, 24 (2), 414-431.
Hsu, M.-H., Ju T.-L., Yen, C.-H., dan Chang C.-M. (2006). Knowledge Sharing Behavior in
Virtual Communities: The Relationship between Trust, Self-efcacy, & Outcome
Expectations. International Journal of Human-Computer Studies, 65 (2), 153169.
Faraj, S., Jarvenpaa, S.L., dan Majhrzak, A. (2011). Knowledge Collaboration in Online
communities. Organization Science, 22 (5), 1224-1239.
Fller, J., Jawecki, G., dan Mhlbacher, H. (2007). Innovation Creation by Online Basketball
Communities. Journal of Business Research, 60 (1), 60-71.
Mathwick, C., Wiertz, C., dan Ruyter K.D. (2008). Social Capital Production in a Virtual P3
Community. Journal of Consumer Research, 34 (6), 832-849.
McKinney, V., Yoon, K., dan Zahedi, F. M. (2002). The measurement of web-customer
satisfaction: an expectation and disconfirmation approach, Information Systems Research, 13
(3), 296-315
D. W. McMillian dan Chavis, D. W. (1986). Sense of community: A denition and theory.
Journal of Community Psychology, 14, 623.
Muniz, A.M., dan O'Guinn, T.C. (2001). Brand community. Journal of Consumer Research, 27
(2), 412-432.
Muniz, A.M., dan Schau H.J. (2005). Religiosity in the Abandoned Apple Newton Brand
Community. Journal of Consumer Research, 31 (1), 737747.
Nelson, R.R., Todd, P.A., dan Wixom, B.H. (2005). Antecedents of Information and System
Quality: An Empirical Examination Within the Context of Data Warehousing. Journal of
Management Information Systems, 21 (4), 199-235.
Oyserman, D., Coon, H.M., and Kemmelmeier, M. (2002), Rethinking individualism and
collectivism: Evaluation of theoretical assumptions and meta-analyses, Psychological
Bulletin, Vol. 128, pp. 3-72.
Palmer, J.W. (2002). Web site usability, design, and performance metrics. Information Systems
Research, 13 (2), 151167.
Perkins, D. D., Florin, P., Rich, R.C., Wandersman, A., dan Chavis, D.M. (1990). Participation
and the social and physical environment of residential blocks: Crime and community context.
American Journal of Community Psychology, 18 (1), 83115.
Podsakoff, P.M., MacKenzie, S.B., Lee, J.Y., and Podsakoff, N.P. (2003), Common method
biases in behavioral research: A critical review of the literature and recommended remedies,
Journal of Applied Psychology, Vol. 88, pp. 879903.
Preece, J. (2001). Sociability and usability in online communities: Determining and measuring
success. Behav. Inf. Technol., vol. 20, no. 5, pp. 347356, 2001.
Putnam, R.D. (1995). Tuning In, Tuning Out: The Strange Disappearance of Social Capital in
America, Political Science & Politics, Vol. 28 No. 4, pp. 66484.
Rai, A., Lang, S.S., and Welker, R.B. "Assessing The Validity Of IS Success Models: An
Empirical Test And Theoretical Analysis," Information Systems Research (13:1) 2002, pp 5069.
Sproull, L., dan Arriaga, M. (2007). Online Communities, in H. Bidogli, ed. Handbook of
Computer Networks, Vol. 3. John Wiley & Sons, New York.

15

Seminar dan Call for Paper FMI 2013 Pontianak

Sukoco, B.M. dan Aditya, M.L. (2011). Pengaruh Nilai Informasi dan Sosial pada Coconsumption dan Co-production antar Anggota Kaskus: Perspektif Modal Sosial. Jurnal
Manajemen Teknologi 10(3): 264-280
Sukoco, B.M., Wu, W-Y., Loh, A.L.C. (2011). The Effect of Member Identification across
Cultures inside a Brand Community. Academy of International Business (AIB) Conference,
Nagoya, Jepang; 24-28 Juni 2011
Vargo, S.L., dan Lusch, R.F. (2004). Evolving to A New Dominant Logic for Marketing,
Journal of Marketing, Vol. 68 No. 1, pp. 1-17.
B. H. Wixom and P. A. Todd, A theoretical integration of user satisfaction and technology
acceptance, Information Systems Research., vol. 16, no. 1, pp. 85102, 2005.
Wu, W-Y., dan Sukoco, B.M. (2010). Why Should I Share? Examining Consumers Motives
and Trust on Knowledge Sharing, Journal of Computer Information Systems, Vol. 50 No. 4,
pp. 11-19.
Zhang, Z-J. (2010). Feeling the sense of community in social networking usage. IEEE
Transactions on Engineering Management, 57 (2), 2010.

16

Anda mungkin juga menyukai