Anda di halaman 1dari 18

1

MODUL PERKULIAHAN

W042100005 –
Cyber Culture
Pola Komunikasi di Era Cyber,
Generation Gap, Digital Divide
dan Digital Native

Abstrak Sub-CPMK

Modul ini membahas aspek Sub CPMK 1 Mampu memahami pola


fenomenologis: komunikasi di era cyber, generation
1. Pola komunikasi di era gap, digital divide, digital native
cyber
2. Generation Gap
3. Digital Divide
4. Digital Native
5. Digital Immigrant

Fakultas Program Studi Tatap Muka Disusun Oleh

03
Engga Probi Endri, S.I.Kom., M.A
Ilmu Komunikasi Ilmu Komunikasi & Tim Teaching
Pola Komunikasi di Era Cyber
Munculnya teknologi internet yang memungkinkan manusia untuk terhubung
secara virtual telah melahirkan komunitas-komunitas virtual. Identitas manusia pun
muncul dalam berbagai macam identitas virtual yang dianggap lebih dapat
mengekspresikan dirinya dalam berkomunikasi dengan rekan virtual lainnya. Mereka yang
terlibat dalam komunikasi yang diperantarai oleh medium internet ini tidak hanya
didominasi oleh kaum muda, tetapi orang-orang yang dahulunya tidak mengenal teknologi
informasi maka seringkali mereka dituntut untuk merubah diri untuk menyesuaikan
dengan semakin menyebar dan meluasnya teknologi ini. Semakin berkembangnya
teknologi semakin cepat pula arus komunikasi yang tejadi di Era digital, komunikasi
semakin cepat, praktis dan efisien. Komunikasi online lebih banyak penggunanya dan
lebih sering berkomunikasi di dunia maya dibandingkan berkomunikasi di dunia nyata.
Tidak heran jika ditemui orang-orang yang sedang berkumpul berdekatan tapi masih
berkomunikasi lewat digital.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, pola di artikan sebagai bentuk (struktur)
yang tetap. Sedangkan komunikasi adalah proses penciptaan arti terhadap gagasan atau
ide yang di sampaikan. Komunikasi adalah pengiriman dan penerimaan pesan atau berita
antara dua orang atau lebih dengan cara yang tepat sehingga pesan yang dimaksud
dapat dipahami. Dengan demikian, pola komunikasi disini dapat dipahami sebagai pola
hubungan dua orang atau lebih dalam pengiriman dan penerimaan pesan dengan cara
yang tepat sehingga pesan yang dimaksud dapat dipahami. Menurut Tubbs dan Moss
dalam Mulyana (2006:26) mengatakan bahwa pola komunikasi dapat diciptakan oleh
hubungan komplementaris atau simetri. Dalam hubungan komplementer, satu bentuk
perilaku akan diikuti oleh lawannya. Contohnya perilaku dominan dari satu partisipan
mendatangkan perilaku tunduk dan lainnya. Dalam simetri, tingkatan sejauh mana orang
berinteraksi atas dasar kesamaan. Dominasi bertemu dengan dominasi, atau kepatuhan
dengan kepatuhan. Disini mulai dilibatkan bagaimana proses interaksi menciptakan
struktur sistem. Bagaimana orang merespon satu sama lain menentukan jenis hubungan
yang mereka miliki

Menurut Djamarah (2004:1) pola komunikasi dapat diartikan sebagai pola


hubungan antara dua orang atau lebih dalam pengiriman dan penerimaan pesan dengan
cara yang tepat sehingga pesan yang dimaksud dapat dipahami. Sedangkan menurut
Effendy (dalam Gunawan 2013:225) pola komunikasi adalah suatu proses yang dirancang
untuk mewakili kenyataan keterpautannya unsurunsur yang dicakup beserta

2021 Cyber Culture Biro Bahan Ajar E-learning dan MKCU


2 Engga Probi Endri, S.I.Kom., M.A. & Tim http://pbael.mercubuana.ac.id/
Teaching
keberlangsungannya guna memudahkan pemikiran secara sistematik dan logis. Pola
komunikasi adalah suatu gambaran yang sederhana dari proses komunikasi yang
memperlihatkan kaitan antara satu komponen komunikasi dengan komponen lainnya
(Soejanto dalam Santi & Ferry: 2015). Dari beberapa pengertian tentang pola komunikasi
diatas, dapat disimpulkan bahwa pola komunikasi adalah suatu pola hubungan yang
terbentuk dari beberapa unsur yang saling berkaitan dan melengkapi satu sama lain dan
bertujuan untuk memberikan gambaran terkait proses komunikasi yang sedang terjadi.

Komunikasi berarti mentransfer pesan dari satu ke yang lain dan memiliki
beberapa bentuk seperti intrapersonal, interpersonal, kelompok dan komunikasi massa.
Komunikasi memiliki peran yang sangat penting dalam semua kegiatan manusia, baik
individu maupun organiasasi. Peran komunikasi dalam organiasasi sangat diperlukan
guna tercapainya hubungan yang baik antar anggota dan demi tercapainya suatu tujuan
bersama. Seiring dengan terjadinya komunikasi yang terus dilakukan, pola komunikasi
dalam organisasi tersebut akan terbentuk dengan sendirinya, dan setiap organisasi pasti
memiliki pola komunikasi yang berbeda-beda. Cara penyampaian pesan, media yang
digunakan, serta aturan dalam berkomunikasi merupakan bagian dari pola komunikasi.
Pola komunikasi menentukan pembentukan alur dan suasana komunikasi. Suasana yang
bersifat kekeluargaan pada saat berkomunikasi diyakini dapat mendorong anggota
organisasi untuk dapat berkomunikasi secara lebih terbuka, tidak canggung (luwes)
dengan anggota organisasi lainnya.

Oleh karena itu, peranan komunikasi semakin tidak terelakan, untuk kepentingan
berinteraksi, memecahkan masalah, atau untuk menjalin hubungan baik dengan
sesamanya. Demikian pula bila dilihat dari sudut pandang organisasi sebagai suatu
kesatuan sosial yang terdiri dari orang atau kelompok orang yang berinteraksi satu sama
lain untuk mencapai suatu tujuan bersama (Robbins, 1994:4), komunikasi memiliki
peranan penting, salah satunya dalam menjalin hubungan dengan para stakeholder.

Pola komunikasi kelompok yang biasanya dilakukan secara langsung atau tatap
muka, kini telah mengalami perubahan. Hal ini menunjukan adanya pergeseran pola
komunikasi yang beralih menggunakan teknologi atau media baru (New Media). New
Media atau media baru bukanlah media cetak, eletronik, maupun radio, media baru lebih
dikenal dengan sebutan intenet. Definisi new media dapat dibatasi sebagai ide, perasaan,
dan pengalaman yang diperoleh seseorang melalui keterlibatanya dalam medium dan
cara berkomunikasi yang baru, berbeda dan lebih menantang (Peter Ride & Andrew
Dewdney, 2006:4).

2021 Cyber Culture Biro Bahan Ajar E-learning dan MKCU


3 Engga Probi Endri, S.I.Kom., M.A. & Tim http://pbael.mercubuana.ac.id/
Teaching
Teori Communicative Constitution of Organizations (CCO) menuurut James R
Taylor dalam (Francois & Thomas) tidak hanya bisa menggambarkan bagaimana proses
komunikasi, dan tujuannya, tetapi juga menampilkan bagaimana jaringan juga ikut
berpengaruh dalam proses komunikasi. Hal yang berperan dalam CCO adalah jaringan
(network). Jaringan merupakan susunan sosial yang diciptakan oleh komunikasi antar
individu dan kelompok. Saat manusia saling berkomunikasi, terciptalah mata rantai yang
merupakan jalur komunikasi dalam sebuah organisasi. Beberapa diantaranya ditentukan
oleh aturan-aturan organisasi (seperti susunan birokrasi yang dinyatakan oleh Weber)
dan jaringan formal (formal networks) yang banyak berkutat pada bagian susunan
organisasi. Jaringan yang justru banyak berkembang bukan jaringan formal melainkan
saluran-saluran informal yang sebenarnya dibentuk oleh para anggota organisasi tersebut
yang tergabung dalam jaringan formal.

Gagasan struktural dasar dari teori jaringan adalah keterkaitan (conectedness),


dimana terbentuknya pola komunikasi yang cukup stabil antarindividu. Setiap orang
memiliki susunan hubungan yang khusus dengan orang lain dalam organisasi. Hal ini
disebut dengan jaringan pribadi (personal networks) dimana hubungan komunikasi yang
dimiliki terjalin secara khusus dengan orang lain dalam organisasi, dan jaringan tersebut
berbeda anggota dalam organisasi. Dari personal networks, manusia terhubung dengan
group networks kemudian terhubung lagi ke jaringan yang lebih besar yaitu organizational
networks. Satuan dasar dari organisasi adalah mata rantai (link) antara dua orang. Mata
rantai dapat didefinisikan sebagai sebuah peranan jaringan (network role) tertentu, yang
menghubungkan kelompok-kelompok dengan cara-cara tertentu. Ketika anggota
organisasi saling berkomunikasi, mereka memenuhi beragam peranan dalam jaringan.

Generation Gap (Kesenjangan Generasi)


Sebuah fenomena unik yang terjadi di dunia korporasi atau bahkan dunia sosial
saat ini adalah kesenjangan generasi. Dalam hitungan belasan tahun sejak masuk dalam
milenium masehi, perusahaan-perusahaan besar dunia harus menghadapi tantangan
yaitu bertemunya tiga atau bahkan empat generasi karyawan dibawah satu atap
perusahaan. Seringkali tantangan terbesar perusahaan multi-generasi ini adalah
bagaimana agar setiap generasi mampu menghalau bias atau simpangan cara pandang
dan bekerja bersama dalam mencapai satu tujuan perusahaan.

2021 Cyber Culture Biro Bahan Ajar E-learning dan MKCU


4 Engga Probi Endri, S.I.Kom., M.A. & Tim http://pbael.mercubuana.ac.id/
Teaching
Generasi adalah suatu konstruksi sosial dimana didalamnya terdapat sekelompok
orang yang memiliki kesamaan umur dan pengalaman historis yang sama, sehingga
individu yang menjadi bagian dari satu generasi adalah mereka yang memiliki kesamaan
tahun lahir dalam rentan waktu 20 tahun dan berada dalam dimensi sosial dan dimensi
historis yang sama (Manheim, 1952). Kupperschmidt (2000) juga mendefinisikan generasi
sebegai sekelompok individu yang mengidentifikasi kelompoknya berdasarkan kesamaan
tahun kelahiran, lokasi dan kejadian-kejadian dalam kehidupan kelompok tersebut yang
memiliki pengaruh dalam fase pertumbuhan mereka

Setidaknya ada empat generasi yang saat ini bekerja dalam sebuah perusahaan,
yaitu: Generasi Baby Boomer (1946-1967), Generasi X (1968-1980), Generasi Y, Millenial
(1981-1994) dan Generasi Z (1995-2010). Setiap generasi memiliki keunikannya masing-
masing yang didasari oleh values (nilai-nilai) yang mengasah pengalaman hidupnya. Ada
dua hal yang membuat “gap generation” itu terjadi, yaitu arus perubahan atau
modernisasi dan perkembangan teknologi.

Modernisasi telah membuat orang mencoba untuk berbeda dengan yang


sebelumnya, baik dalam mengaktualisasi dirinya, cara mendapatkan materi dan cara
pandang melihat sebuah perubahan. Orang-orang yang fleksibel dalam mengikuti
perubahan dianggap sebagai orang modern, demikian pula orang yang pintar
mengaktualisasi dirinya mengikuti selera yang berkembang saat ini dianggap sebagai
orang yang up to date.

Generasi baby boomers (1948–1963) adalah generasi dari hasil didikan keras
generasi traditionalist, tidak jarang generasi baby boomers merupakan orang-orang yang
optimis, idealis dan berani. Kemudian, generasi yang paling cepat mandiri dan
independen, generasi yang saat ini paling banyak menduduki kursi di manajemen
perusahaan yaitu Generasi X (1964 – 1979). Banyak sekali kreativitas dan inovasi yang
berkembang di era generasi X sehingga membuat perubahan yang cukup berpengaruh
dalam kehidupan sosial dan dunia korporasi.

Generasi millennial (1981-1994) atau yang juga dikenal dengan istilah the young
generation atau generasi Y bertumbuh menjadi para pengguna teknologi modern karena
didukung dari perkembangan teknologi yang semakin pesat. The young
generation adalah generasi yang saat ini banyak memenuhi kursi-kursi dikantor
sebagai team player. Sebagian orang mungkin merasa “kewalahan” dengan perilaku
generasi Y di tempat kerja karena mereka sering mengandalkan multitasking dengan
teknologi untuk mendukung pekerjaannya.

2021 Cyber Culture Biro Bahan Ajar E-learning dan MKCU


5 Engga Probi Endri, S.I.Kom., M.A. & Tim http://pbael.mercubuana.ac.id/
Teaching
The last but not least adalah generasi Z (1995-2010) atau internet
generation adalah generasi yang lahir pada abad digital. The native gadget atau internet
generation menganggap bahwa perangkat komunikasi merupakan bagian integral dari
kehidupannya karena hampir semua aktivitas yang mereka lakukan berbasiskan digital
atau internet. Generasi ini memiliki karakteristik sebagai orang
yang opportunistic dan omnivorous yang menikmati segala sesuatu dalam lingkungan
yang serba online atau serba instant, menyukai kolaborasi dari satu orang ke orang
lain, multi-tasking, dan menyukai segala sesuatu yang bersifat interaktif.

Teori perbedaan generasi menurut Lancaster dan Stillman (2002) membagi


generasi menjadi tiga jelompok berdasarkan karakteristiknya, yaitu generasi baby
boomers, generasi X dan generasi Y (milenials).

Tabel 1. Perbedaan Generasi (Lancaster dan Stillman)


Faktor Generasi X Generasi Y
Attitude Skeptis Realistis
Overview Generasi ini tertutup, sangat Sangat menghargai
independen dan punya perbedaan, lebih memilih
potensi, tidak bergantung bekerja sama daripada
pada orang lain untuk menerima perintah, dan
menolong mereka sangat pragmatis ketika
memecahkan persoalan
Work Habit Menyadari adanaya Memiliki rasa optimis yang
keragaman dan berpikir tinggi, fokus pada prestasi,
global, ingin percaya diri, percaya pada
menyeimbangkan antara nilai-nilai moral dan sosial,
pekerjaan dengan menghargai adanaya
kehidupan, bersifat informal, keragaman
mengandalkan diri sendiri,
menggunakan pendekatan
praktis dalam bekerja, ingin
bersenangsenang dalam
bekerja dengan teknologi
terbaru

Generasi X merupakan generasi yang lahir pada era awal perkembangan


teknologi dan informasi, seperti perkembangan teknologi PC (personal computer),
internet, handphone, televisi, dan sebagainya. Ciri khas dari generasi X secara umum
adalah mampu beradaptasi, mampu menerima perubahan dengan baik, memiliki karakter
mandiri dan loyal, sangat mengutamakan image, nama baik dan materi, pekerja keras,
dan menghitung kontribusi yang telah diberikan perusahaan terhadap hasil kerjanya
(Jurkiewicz, 2000). Generasi Y yang juga disebut sebagai generasi milenial merupakan
generasi yang tumbuh bersamaan dengan era internegt booming (Lyons, 2004). Generasi

2021 Cyber Culture Biro Bahan Ajar E-learning dan MKCU


6 Engga Probi Endri, S.I.Kom., M.A. & Tim http://pbael.mercubuana.ac.id/
Teaching
Y juga memiliki ciri khas secara umum memiliki pola komunikasi sangat terbuka dibanding
generasi-generasi sebelumnyya, memiliki ketergantungan yang tinggi terhadap
perkembangan teknologi, lebih terbuka terhadap pandangan politik dan ekonomi sehingga
terlihat reaktif terhadap perubahan sosial yang terjadi di lingkungannya. Setiap kelompok
generasi memiliki karakteristik yang berbeda-beda, sehingga memiliki kecenderungan
perilaku yang berbeda. Pola komunikasi antara generasi X dan generasi Y juga memiliki
pola yang berbeda.

Tabel 2. Generational Behavioral Characteristics of Different Age-groups Bencsik and Machova, 2016

Digital Divide (Kesenjangan Digital)


Kesenjangan digital yang dikemukakan oleh Dewan dkk (2005) sebagai
ketidakmampuan individu dalam merasakan manfaat dari teknologi informasi karena
kurangnya akses serta kemampuan dalam menggunakan teknologi informasi. Menurut
pendapat Kadiman (2006) kesenjangan terjadi akibat akses teknologi terbatas
dikarenakan biaya peralatan dan mahalnya operasional, sedangkan OECD (2001),
mendefinisikan kesenjangan digital sebagai berikut: “the gap between individuals,
households, bussiness and geographic areas at different socio-economic levels with
regard both to their oppoertunities to access information and communication technologies
(Its) and to their use of the internet for a wide variety of activities”. Berdasarkan definisi
tersebut dapat disimpulkan bahwa kesenjangan terjadi antara tingkat individu, rumah
tangga, bisnis, dan area geografi yang tingkat sosial ekonominya berbeda berdasarkan

2021 Cyber Culture Biro Bahan Ajar E-learning dan MKCU


7 Engga Probi Endri, S.I.Kom., M.A. & Tim http://pbael.mercubuana.ac.id/
Teaching
kesempatan mereka untuk mengakses teknologi informasi dan komunikasi (Organisation
for Economic CoOperation and Development, 2001).

Pengertian kesenjangan digital menurut Instruksi Presiden No 3 Tahun 2003


tentang kebijakan dan strategi nasional pengembangan e-government didefinisikan
sebagai ketidakmampuan menyesuaikan diri dengan kecenderungan global akan
membawa bangsa Indonesia ke dalam jurang kesenjangan digital yaitu keterisolasian dari
perkembangan global karena tidak mampu memanfaatkan informasi (Inpres, 2003).
Menurut Zulkarimen & nasution (2007) kesenjangan digital merupakan keadaan
dimana terjadi gap antara mereka yang dapat mengakses internet melalui infrastruktur
teknologi informasi dengan mereka yang sama sekali tidak terjangkau oleh teknologi
tersebut Sementara menurut Donny (2012), istilah kesenjangan digital terbentuk untuk
menggambarkan kesenjangan dalam memahami, kemampuan, dan akses teknologi,
sehingga muncul istilah “mempunyai” sebagai pemilik atau pengguna teknologi dan “tidak
mempunyai” yang berarti sebaliknya.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa kesenjangan digital merupakan


kesenjangan (gap) antara individu, rumah tangga, bisnis, (atau kelompok masyarakat)
dan area geografis pada tingkat sosial ekonomi yang berbeda dalam hal kesempatan
mengakses Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) dan penggunaan internet untuk
beragam aktivitas.

Perkembangan teknologi dalam kehidupan bermasyarakat telah membawa


perubahan yang cukup signifikan dalam berbagai bidang kehidupan. Kemajuan di bidang
teknologi ini semakin mempercepat terjadinya perubahan dalam cara bertukar informasi.
Saat ini, informasi tersedia secara melimpah dan dapat diakses dengan mudah dan cepat
melalui Internet, dimana dan kapan saja. Negara-negara maju dengan sistem ekonomi
dan pendidikan yang jauh lebih baik telah menangkap peluang fenomena ini dengan
cepat sehingga mereka semakin berkembang dalam pertumbuhan negaranya. Mereka
telah memproduksi informasi digital dalam volume yang luar biasa besarnya.

Sebaliknya untuk masyarakat di daerah berkembang, seperti Indonesia,


cenderung hanya menjadi konsumen informasi. Sebagian besar masyarakat Indonesia
sudah merasa puas menggunakan internet untuk memenuhi kebutuhan informasi mereka.
Penyebaran teknologi di Indonesia juga masih belum merata. Masih banyak daerah
terpencil yang tidak merasakan fungsi teknologi dalam mempermudah kehidupan
masyarakat dan bahkan mendengar kata internet pun tidak pernah. Hal ini mengakibatkan

2021 Cyber Culture Biro Bahan Ajar E-learning dan MKCU


8 Engga Probi Endri, S.I.Kom., M.A. & Tim http://pbael.mercubuana.ac.id/
Teaching
terjadinya digital divide. Digital divide juga dapat dikatakan sebagai kesenjangan antara
mereka yang meggunakan teknologi dengan yang tidak.

Penyebab utama terjadinya digital divide itu sendiri adalah kurang memadainya
infrastruktur yang ada seperti internet, listrik, komputer, dan sebagainya. Pemerataan
infrastruktur tidak dilakukan dengan baik oleh pemerintah sehingga masyarakat yang
berada di tempat yang tidak terjangkau oleh teknologi tidak turut merasakan infrastruktur
seperti di kota sehingga masyarakat tersebut tidak turut berkembang seperti masyarakat
kota. Kekurangan Sumber Daya Manusia (SDM) yang dimana seseorang itu mampu
mengoperasikan atau mengakses sebuah informasi terjadi dikarenakan kurangnya
pemerataan edukasi di seluruh daerah. Karena infrastruktur yang tidak memadai, hal ini
memicu proses edukasi untuk pengembangan SDM juga turut terhambat. Mereka juga
cenderung menerima berita-berita yang tidak benar (hoax) dikarenakan tidak mau
mencari tahu kebenaran dan langsung menerima informasi yang ada bulat-bulat.

Selain itu, kekurangan isi (konten) dalam Bahasa Indonesia dalam dunia teknologi
karena di Indonesia, masyarakatnya masih sangat kurang dalam menggunakan bahasa
asing seperti bahasa inggris. Hal ini menjadi penghambat untuk mempelajari segala
sesuatu yang sebenarnya sudah ada di Internet sehingga masyarakat Indonesia
cenderung untuk tidak mau tahu tentang perkembangan teknologi dan mengambil
manfaat dari hal tersebut.

Selain itu, kurangnya pemanfaatan internet itu sendiri membuat masyarakat


menyalahgunahi kegunaan Internet hanya sekedar sebagai hiburan saja. Di kota-kota
besar di Indonesia, banyak masyarakat yang memiliki komputer, bahkan setiap hari
mereka bisa mengakses Internet tetapi “tidak menghasilkan apapun”. Terutama anak-
anak remaja hingga dewasa, pada umumnya menggunakan internet hanya untuk
kepuasan tersendiri seperti melakukan chatting, melihat Instagram dan instastory,
membuka Youtube untuk menonton channel yang sedang trend tapi tidak memiliki makna
untuk mereka.

Kondisi ekonomi juga memengaruhi timbulnya digital divide. Masyarakat yang


berada dalam kelompok penghasilan yang hanya cukup unutk digunakan dalam
keperluan sehari-hari, mereka tidak pernah berpikir untuk menggunakan teknologi
informasi dan komunikasi. Jadi, proses pertukaran informasi pada kelompok masyarakat
ini berkembang dengan sangat lambat. Karena mereka hanya mengharapkan informasi
yang dibagikan dari mulut ke mulut ataupun sejeninsya.

2021 Cyber Culture Biro Bahan Ajar E-learning dan MKCU


9 Engga Probi Endri, S.I.Kom., M.A. & Tim http://pbael.mercubuana.ac.id/
Teaching
Perbedaan generasi juga menjadi salah satu kesenjangan ini terjadi. Generasi
yang sudah familiar dengan teknologi dan mudah untuk mempelajari hal-hal baru dengan
generasi yang terbiasa analog dipaksa untuk digital. Oleh karena itu, anak-anak muda
lebih cepat untuk menyerap informasi di era digital daripada orangtua.

Dampak negatif dari kesenjangan digital adalah bagi mereka yang mampu
menghasilkan teknologi dan sekaligus memanfaatkan teknologi memiliki peluang lebih
besar untuk mengelola sumber daya eknonomi sementara yang tidak memiliki teknologi
harus puas sebagai penonton saja. Akibatnya daerah yang maju semakin maju dan yang
tertinggal semakin tertinggal.

Kemajuan teknologi informasi itu terlahir dari sebuah kemajuan zaman. Digital
divide tidak bisa diselesaikan dengan peningkatan akses terhadap teknologi itu sendiri
karena kesenjangan dalam hal ini berpotensi melahirkan persoalan kesenjangan baru
dalam masyakarat atau memperparah persoalan kesenjangan yang ada, terutama di
negara berkembang seperti Indonesia atau kelompok masyarakat/daerah yang relatif
tertinggal.

Dampak positif dari kesenjangan digital adalah sebagian orang yang belum bisa
mengenal atau menerapkan teknologi yaitu masyarakat dapat termotifasi untuk ikut ambil
bagian dalam peningkatan teknologi informasi.

Beberapa solusi yang dapat diterapkan untuk kesenjangan digital ini adalah
dimulai dengan menyiapkan masyarakat untuk bisa menangani, menilai, menerima,
memutuskan dan memilih informasi yang tersedia. Mereka juga harus diberi edukasi
untuk tidak menerima informasi itu secara langsung tanpa menyelidiki kebenarannya
sehingga masyarakat Indonesia tidak cenderung termakan oleh berita palsu. Penyiapan
kondisi psikologis bagi masyarakat ini bisa dilakukan dengan melakukan penyuluhan di
seluruh daerah Indonesia secara merata. Dengan persiapan ini, masyarakat akan
mengerti dengan baik tentang kemudahan akses untuk menggunakan dan memperoleh
informasi di era digital.

Pembangunan infrastruktur secara merata di seluruh daerah Indonesia sehingga


setiap masyarakat mendapat kesetaraan informasi, apa yang didapatkan oleh masyarakat
kota juga didapatkan oleh masyarakat desa. Pembangunan Wartel dan Warnet adalah
langkah paling umum yang bisa diambil oleh pemerintah daerah. Kedua fasilitas ini
memainkan peranan penting dalam mengurangi digital divide dan secara berkelanjutan
memperluas jangkauan telekomunikasi dan Internet, baik di daerah kota maupun desa.

2021 Cyber Culture Biro Bahan Ajar E-learning dan MKCU


10 Engga Probi Endri, S.I.Kom., M.A. & Tim http://pbael.mercubuana.ac.id/
Teaching
Digital Native dan Digital Immigrant
Istilah Digital Natives dan Digital Immigrants diciptakan oleh seorang konsultan
pendidikan bernama Mac Prensky dalam tulisan ilmiahnya yang berjudul “Digital Natives,
Digital Immigrants” membagi umat manusia menjadi 2, yakni generasi Digital Immigrant
dan Digital Native. Digital Native adalah kelompok yang saat mulai belajar menulis sudah
mengenal internet atau yang saat ini berada di bawah 24 tahun. Sedangkan Digital
Immigrant adalah yang mengenal dunia internet setelah mereka dewasa. Digital Native
adalah net generation yaitu generasi yang lahir setelah tahun 1980-an, di mana mereka
selalu dikelilingi dan menggunakan komputer, video game, pemutar music digital, kamera
video, telepon selular dan mainan digital lain. Sedangkan Digital Immigrant adalah orang-
orang yang lahir sebelum tahun 1980 dan tidak tumbuh di era budaya digital. Mereka
memerlukan kemampuan beradaptasi dengan teknologi dalam kehidupan sehari-hari (Hill,
2010: 22).

Mengingat Digital Native adalah seseorang yang lahir selama atau setelah digital
itu dikenalkan dengan lebih luas dan mereka mulai terbiasa berintrakasi dengan digital
sejak usia dini sehingga mereka sudah mulai memahami dari sejak dini tentang hal-hal
yang berhubungan dengan digital. Digital Native ini mempunyai karakter yaitu lahir
setelah tahun 1980, namun dengan catatan mereka hidup di tempat yang dikelilingi oleh
teknologi. Mengerjakan banyak tugas dalam satu waktu, contoh: mengerjakan paper di
komputer sambil mendengarkan musik dan lain-lain. Lebih menyukai membaca dari
screen atau layar.

Untuk hal ini, menurut penelitian yang dilakukan oleh Gary Small (2008) dalam
bukunya yang berjudul IBrain, ia mengatakan bahwa informasi yang dibaca melalui
screen akan lebih bertahan lama dalam memori. Selain itu juga, dengan membaca
melalui screen akan memperbanyak proses penyambungan neuron-neuron di otak. Lebih
menyukai multimedia daripada hanya sekedar teks, lebih cepat memahami konsep,
pengguna teknologi. Bagi mereka tidak ada perbedaan antara dunia offline dan online.

Berbagai pendapat di atas dapat disimpulkan generasi digital natives merupakan


generasi yang dilingkupi dengan lingkungan berbasis teknologi, bekerja dengan
cara multitasking, berjejaring dengan banyak orang, menyukai suatu permainan yang
interaktif, akses informasi secara acak, ingin segera mendapatkan informasi secara
instan, cepat, tanpa harus membaca informasi secara detail, pilihan rujukan informasi

2021 Cyber Culture Biro Bahan Ajar E-learning dan MKCU


11 Engga Probi Endri, S.I.Kom., M.A. & Tim http://pbael.mercubuana.ac.id/
Teaching
dominan pada sumber-sumber yang tersedia online, dibanding sumber informasi yang
disediakan perpustakaan. Perilaku orang dalam mengadopsi teknologi dipengaruhi dari
adanya teknologi yang muncul di setiap generasi yang berbeda. Generasi Digital juga
memiliki ciri-ciri yang membedakannya dengan generasi sebelumnya. Ciri – ciri Generasi
Digital Native :

1. Bebas, Tidak Mau Terkekang. Mereka cenderung hidup dalam kebebasan


digital. Dalam kehidupan nyata, mereka pun cenderung menuntut rentang
kebebasan yang lebih. Ketika di sekolah dan di rumah dikuasai oleh orang
dewasa, mereka memilih berinteraksi di media sosial sebagai ruang-ruang baru
yang mereka kuasai.

2. Bermain, Bukan Hanya Bekerja . Anak-anak generasi digital menjalani hidup


dengan semangat bermain. Tidak ada kesulitan, yang ada adalah tantangan yang
ingin mereka atasi untuk menyelesaikan permainan. Dalam bekerja pun, mereka
tetap menggunakan logika bermain sehingga cenderung menolak pekerjaan rutin
yang tanpa makna.

3. Tidak Hanya Reseptif Generasi digital native senang mengekspresikan diri.


Dalam dunia digital, mereka bisa hadir dan diakui sebagai individu. Hampir semua
hal kesukaan diekspresikan melalui media sosial. Mereka enggan melakukan
perjumpaan yang menempatkan mereka hanya sebagai reseptif, menerima
mentah-mentah ekspresi dari generasi sebelumnya.

4. Cepat, Enggan Menunggu. Sebagai dunia digital yang ukurannya adalah


kecepatan, generasi digital pun ingin menjalani kehidupan dengan cepat. Ketika
ada keadaan yang memaksa mereka untuk menunggu maka akan beralih pada
kegiatan lain seperti mendengarkan musik, bermain games dan lainnya.

5. Mencari, Bukan Menunggu Instruksi. Mereka tidak suka diajari. Mereka lebih
memilih belajar dengan mencari sendiri konten di dunia digital. Mereka gunakan
mesin pencari. Mereka cari video tutorial di youtube dan belajar sendiri.

6. Unggah, Bukan Hanya Unduh Perkembangan teknologi web 2.0 memungkinkan


siapa pun dapat mengunggah konten. Dampaknya, mereka bukan hanya
mengunduh tapi juga mengunggah konten. Mereka merasa tidak eksis bila tidak
mengunggah konten di internet.

2021 Cyber Culture Biro Bahan Ajar E-learning dan MKCU


12 Engga Probi Endri, S.I.Kom., M.A. & Tim http://pbael.mercubuana.ac.id/
Teaching
7. Interaktif, Bukan Hanya Komunikasi Searah. Mereka cenderung menolak
komunikasi searah dalam bentuk apapun, offline maupun online. Mereka senang
bila bisa mengkustomisasi sebuah konten sesuai dengan selera mereka.

8. Berkolaborasi, Tak Hanya Berkompetisi. Dunia digital mendorong orang untuk


berbagi dan berkolaborasi. Sebuah karya bisa dicipta ulang oleh banyak orang
sesuai kreativitas masingmasing. Begitu pula karakter generasi ini yang suka
berkontribusi sesuai kemampuan dalam sebuah aktivitas bersama.

Beberapa aplikasi yang sering digunakan oleh generasi digital adalah:

• Instagram

Instagram menyediakan posting edit foto snapgram (caption, filter, efek unik, dan
stiker lucu), instastories, video pendek, bumerang, superzoom, rewind, handsfree
dan slow motion, berita mutakhir, link informasi gosip dari akun, meme, video
tutorial, dan klip karaoke yang membuat digital native dapat berlama-lama
menikmati fitur fasilitas yang disediakan oleh Instagram.

• Line

Line merupakan pilihan utama digital native untuk melakukan video call, berbagi
stiker dan emoji, mengobrol di grup, multichat, dan mencari informasi di Linenews.

• Youtube

Youtube adalah media audio visual pilihan digital native untuk menonton film,
acara TV yang terlewat, video, dan vlog.

• WhatsApp

2021 Cyber Culture Biro Bahan Ajar E-learning dan MKCU


13 Engga Probi Endri, S.I.Kom., M.A. & Tim http://pbael.mercubuana.ac.id/
Teaching
Whatsapp dipilih digital native sebagai media sosial yang paling mudah digunakan
karena dapat langsung terhubung hanya dengan mengunakan nomor telepon di
aplikasi Whatsapp.

• Facebook

Facebook bagi digital native berfungsi sebagai media penunjukan identitas diri
melalui pembaruan status kalimat dan status background di newsfeed.

• Snapchat

Snapchat digunakan digital native untuk membagikan suatu momen berharga


secara langsung (on the spot).

• Twitter

Twitter menjadi rujukan berita dan informasi yang menjadi trending topic bagi
digital native.

• Ask.fm

Ask.fm adalah aplikasi untuk saling bertanya (question and answer) dengan
anggota ask.fm yang tergabung di dalamnya.

• Electronic Mail (E-Mail)

2021 Cyber Culture Biro Bahan Ajar E-learning dan MKCU


14 Engga Probi Endri, S.I.Kom., M.A. & Tim http://pbael.mercubuana.ac.id/
Teaching
Aplikasi internet untuk sarana komunikasi surat-menyurat dalam bentuk elektronik.
Dengan email kita dapat mengirimkan tulisan, file dokumen, gambar dan
sebagainya. Email dapat diterima sesaat setelah dikirim. Adapun situs yang
memberikan layanan e-mail seperti yahoo!, Gmail, dan masih banyak lagi.

• Mailing List (Milis)

Mailing List (milis) adalah Aplikasi internet yang digunakan sebagai sarana diskusi
atau bertukar informasi dalam satu kelompok melalui e-mail. Setiap email yang
dikirim ke alamat milis akan dikirimkan ke seluruh alamat email yang terdaftar
sebagai anggota milis tersebut.

• Google Drive

Google Drive merupakan aplikasi yang menyimpan data secara online selayaknya
menyimpan ke dalam folder dalam komputer. Layanan ini juga terintregasi dengan
google mail dalam satu akun. Google Drive memberikan layanan penyimpnana
gratis sebesar 15 GB dan dapat ditambahkan dengan pembayaran tertentu.
Dengan fitur unggulan yang sama seperti dropbox, yaitu sinkronisasi data melalui
folder khusus didalam desktop atau dikenal dengan Desktop Sync Clients.

• Google Document

Memberikan alternatif bagi yang tetap menginginkan aplikasi sejenis bawaan


sistem operasi windows seperti microsoft word tetapi legal, dengan menerbitkan
google document. Sistem ini memerlukan koneksi jaringan internet dalam

2021 Cyber Culture Biro Bahan Ajar E-learning dan MKCU


15 Engga Probi Endri, S.I.Kom., M.A. & Tim http://pbael.mercubuana.ac.id/
Teaching
pengoprasiannya, namun tidak lagi harus menginstall programnya ke dalam
desktop atau komputer pribadi.

• Google Slide

Google Slide merupakan fasilitas presentasi layaknya power point pada microsoft
office. Fasilitas ini sangat memberikan kemudahan dalam membuat presentasi,
menampilkan presentasi, bahkan dapat berinteraksi antara presenter dengan
pemirsa secara online.

Puluhan tahun yang lalu, seseorang akan lebih banyak mengekspresikan dirinya
melalui pakaian, perhiasan, barang-barang pribadi yang melekat pada diri dan gaya
hidupnya. Mereka mengomunikasikan kepada orang lain, siapa mereka dan apa
kepribadiannya melalui hal-hal ini. Demikian pula, mereka menjadi bagian dari sistem
sosial yang memiliki identitas. Mereka memiliki kontribusi untuk mengubah identitas
sosial, tetapi harus melakukan secara bersama-sama dengan anggota komunitasnya.

Para digital native ini juga memiliki substansi yang sama, tetapi dengan cara dan
kecepatan yang berbeda. Mereka mampu mengekspresikan diri melalui online dan offline.
Mereka memiliki lebih banyak akses, terutama melalui internet dan mobile. Dalam hal
identitas, beberapa perbedaan penting adalah dalam hal personal information.
Para immigrant sangat hati-hati dalam memberikan informasi yang bersifat
personal. Digital native justru sangat terbuka dan cenderung menebar informasi tentang
hobi mereka, apa yang mereka lakukan, dan apa pandangan mereka. Ini dilakukan
karena mereka memiliki keinginan untuk mencapai goal dan tujuan hidup
seperti friendship, social acceptance, popularitas atau sekedar pelepas stres. Kalau
mereka mengundang kawan-kawannya untuk menjadi bagian dari Facebook, maka yang
ingin mereka dapatkan adalah untuk melihat berapa kawan yang menerima respons
mereka.

Digital native ini memiliki kemampuan untuk membentuk identitas mereka lebih
cepat dan lebih beragam. Di sisi lain, mereka tidak memiliki kontrol atau lebih sedikit
kontrol dalam hal persepsi orang lain terhadap identitas mereka. Ini adalah paradoks.

2021 Cyber Culture Biro Bahan Ajar E-learning dan MKCU


16 Engga Probi Endri, S.I.Kom., M.A. & Tim http://pbael.mercubuana.ac.id/
Teaching
Jadi, mereka berpikir bahwa mereka mampu dan punya kebebasan untuk mengubah-
ubah identitas mereka, tetapi sebenarnya identitas sosial menjadi hal yang sulit.

Di masa lalu, kita lebih mudah mengubah identitas sosial atau bagaimana orang
lain mempersepsi kita. Dengan komunikasi yang konvensional, orang-orang di sekitar kita
akan memiliki persepsi seperti yang kita inginkan. Saat ini, identitas sosial justru lebih sulit
karena tidak adanya kekuatan untuk menciptakan maupun mengubah hal ini.

Reebok, di beberapa outletnya yang besar, sudah memiliki sebuah tempat bagi
para digital native untuk mendesain sepatu mereka sendiri. Mereka boleh memilih
modelnya, warnanya, coraknya dan kemudian ukuran sepatunya. Sepatu mereka terasa
pas dengan keinginan dan ini sesuai dengan harapan mereka agar identitas mereka bisa
diekspresikan. Dalam jangka panjang, hal-hal ini akan booming. Perusahaan yang tidak
mampu melihat keinginan para digital native ini pasti akan ditinggalkan.

Privacy adalah termasuk dimensi yang mengalami perubahan cepat sehingga


membedakan kelompok native dan immigrant. Dengan bantuan Google, seseorang dapat
melihat apa saja yang telah dilakukan kawannya selama beberapa tahun terakhir.
Bahkan, dengan bantuan Google Earth, sudut-sudut rumahnya bisa terlihat pula.
Memang, beberapa situs sudah mulai memikirkan cara-cara untuk memblok Google yang
dapat mengakses data mereka. eb 2.0 telah menjadi alat komunikasi yang luar biasa,
tetapi sekaligus menjadi “monster” bagi mereka yang menginginkan privacy. Sekelompok
siswa pernah melakukan demo melalui online untuk memprotes Facebook. Hanya dalam
hitungan hari, sebanyak 750.000 member sudah bergabung dalam gerakan “Students
Against Facebook”. Akhirnya, Facebook mendengar dan merespons mereka. Sebuah fitur
baru dibuat untuk lebih melindungi para user dan terbukti direspons dengan sangat baik.
Di satu sisi, perusahaan perlu serius memberikan keyakinan terhadap privacy. Suatu
saat, semua bentuk spam akan menjadi semakin sempit ruang geraknya. Yang ideal
adalah mengajak mereka untuk masuk dalam sebuah komunitas atau
membentuk database. Cara-cara komunikasi seperti ini, akan menjadi pola yang terbaik
bagi mereka yang tidak mau terganggu masalah privacy.

Daftar Pustaka
Djamarah, Bahri Syaiful. 2004. Pola Komunikasi Orang Tua & Anak Dalam keluarga.
Jakarta: PT. Reneka Cipta

2021 Cyber Culture Biro Bahan Ajar E-learning dan MKCU


17 Engga Probi Endri, S.I.Kom., M.A. & Tim http://pbael.mercubuana.ac.id/
Teaching
Effendy, Onong Uchjana. 2005. Ilmu Komunikasi: Teori dan Praktek. Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya

Generasi Digital. Swaracinta Edisi 65, Juli – Agustus 2016. Diakses melalui laman
website http://kbknews.id/SC65JULI2016.pdf diakses pada 06/09/2021 pukul 11.02
WIB

Harry, Angiola. 2015. Mengelola Gen Y, Gen X dan Baby Boomers di Perusahaan di
https://www.kompasiana.com/harrystbagindo/55d00f3e0e9373ce10176c8a/mengelola-
gen-y-gen-x-dan-baby-boomers-di-perusahaan?page=all (diakses pada 06/09/2021)

Hasugian J. (2011). Perpustakaan digital dan digital natives. Disampaikan pada Seminar dan
Workshop Nasional Pemberdayaan Repositori. 1 Desember 2011. Medan: Universitas
Nommensen.

Kolnhofer, Anita. Regina Reicher. Agnes Szeghegyi. 2017. The X and Y Generations Characteristic
Comparison. Acta Polytchnica Hungarica (Vol 14, N0 8, 2017)

Prensky, M., (2001). Digital natives, digital immigrant. On the Horizon, 9 (5). Retrieved
from http://www.marcprensky.com/writing/Prensky%20%20Digital%20Natives,%20Digital%
20Immigrants%20-%20Part1.pdf

https://www.pertamina-ptc.com/dealing-generation-gap/ (diakses pada 06/09/2021 pukul 10.05


WIB)

https://medium.com/@putriisilaban/perkembangan-dan-cara-untuk-mengatasi-digital-divide-di-
indonesia-e43f4a2cd7a8 (diakses pada 06/09/2021 pukul 10.35 WIB)

2021 Cyber Culture Biro Bahan Ajar E-learning dan MKCU


18 Engga Probi Endri, S.I.Kom., M.A. & Tim http://pbael.mercubuana.ac.id/
Teaching

Anda mungkin juga menyukai