Anda di halaman 1dari 18

HUKUM PERDATA INTERNASIONAL

Nama : Finli Rosita Ardhani

NPM : 010114176

Dosen : Anyuta Mursini S.H., M.H

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS PAKUAN
2017
Kata Pengantar

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SAW karena berkat dan
rahmat-Nya kami bisa menyelesaikan tugas Hukum Perdata Internasional. Tugas
ini dimaksudkan untuk menyempurnakan salah satu tugas mata kuliah yang
dibimbing oleh dosen yang bernama Anyuta Mursini S.H., M.H . Kita sering
mendengar tentang Hukum Perdata, namun, hukum perdata pun tidak hanya
mencakup mengenai lingkup Nasional saja namun juga terdapat lingkup
Internasio nya. Pada kenyataannya masih banyak orang yang belum memahami
tentang Perdata Internasional dan apa saja pembahasan disalamnya,
Tugas ini sesungguhnya dibuat sebagai pemenuhan tugas Hukum Perdata
Internasional yang dibuat secara lebih ringkas namun juga menyuluruh. Dalam
pembuatan serta penyusunan tugas ini mungkin masih banyak kesalahan, baik
dalam segi bahan, pembahasan, tampilan maupun tehnik. Tapi kami telah
mengusahakan yang terbaik dalam penyusunan dan penyelesaiannya. Akhir kata
semoga tugas ini dapat bermanfaat bagi para pembaca pada umumnya. Kami
dengan senang hati menerima kritik, saran dan pendapat yang bersifat
membangun guna meningkatkan kualitas materi kami lebih baik lagi.
                                                                                
                                           
                Bogor, Mei 2017
Daftar Isi
A. Renvoi (Penunjukan Kembali)
Merupakan suatu teori yang terdapat dalam Hukum Perdata Internasional
dimana seringkali juga disebut dengan penunjukan kembali. Renvoi atau
penunjukan kembali ini akan timbul apabila terdapat keanekaragaman warna
sistim HPI. Seperti yang kita tahu bahwa setiap Negara Nasional di dunia
mempunyai sistim HPI nya sendiri-sendiri. Salah satu persoalan penting
berkenaan dengan status personil ialah apakah status personil itu ditentukan
menurut prinsip Nasionalitas atau prindip domisili. Berhubungan dengan
adanya dua sistim yang berbeda ini, maka timbullah masalah Renvoi.
Renvoi memiliki hubungan dengan beberapa teori yaitu :
1. Kualifikasi
Renvoi memiliki hubungan yang erat dengan persoalan kualifikasi.
Hubungan erat tersebut ialah Renvoi juga dapat dianggap sebagai
kualifikasi yaitu mengenai kualifikasi hukum asing. Bagaimana cata untuk
mengkualifikasikan, mendefiniir atau mengklasifikasikan istilah hukum
asing tersebut. hal itu merupakan pokok persoalan dari Renvoi maupun
masalah kualifikasi seringkali dibicarakan secara bersamaan dan kedua-
duanya merupakan bagian dari ajaran pokok HPI atau basic theories
(Allgemeine Lehren) HPI.
Kualifikasi merupakan bentuk penyalinan atau translation mengenai
fakta-fakta yang ada didalam istilah-istilah hukum. Dimana fakta-fakta
tersebut dimasukkan kedalam kotak-kotak hukum, kelas-kelas, ruang-
ruang atau kamar-kamar atau bagian-bagian hukum yang sudah tersedia.
Kembali kepada Renvoi, seperti yang dikatakan diatas bahwa Renvoi
merupakan kualifikasi mengenai hukum asing dimana apa yang diartika
dengan hukum asing itu. Jika sistim HPI menunjuk kepada berlakunya
hukum asing, apakah berarti bahwa hukum intern dari Negara
bersangkutan yang harus diberlakukan atau lebih luas lagi, juga termasuk
didalam penunjukan kaidah-kaidah HPI nya
2. Istilah
Renvoi atau Penunjukan kembali memiliki banyak istilah yang
digunakan dari zaman dahulu hingga sekarang yaitu Renvoi au premier
degree atau partial or single renvoi (Perancis), Ruckverweisung, Renvoi
ersten Grades (Jerman), Remission remitting, reference back remittal
(Inggris, USA), rinvio indrieto (Italia), terugwijzing, terugverwijzing
(Belanda).
3. Renvoi dan sifat assosiasi dari HPI
Masalah renvoi ini memiliki hubungan erat dengan persoalan prinsioil,
apakah HPI merupakan hukum yang supra nasional, maka tentunya tidak
ada tempat untuk renvoi. Kaidah-kaidah HPI yang termauk sistim tata
tertib supra nasional mempunyai kekuatan hukum dengan tidak
menghiraukan apakah pembuat Undang-Undang Nasional mengoper atau
menolak renvoi kaidah-kaidah HPI menurut pandangan ini berasal
daripada tata tertib hukum yang yang lebih tinggi dari pembuat Undang-
Undang Nasional. Maka HPI yag bersifat supra nasional inilah yang selalu
berlaku.
4. Kontroversi renvoi
Dalam masalah renvoi ini terdapat beberapa kelompok yang
mendukung maupun menolak adanya renvoi. Kelompok yang
menamakan dirinya sebagai anti renvoi berpendapat bahwa
a. doktrin renvoi merupakan tidak logis atau illogical karena apabila kita
menerima renvoi akan terjadi suatu penunjukankembali secara terus
menerus dengan tidak henti-henti nya reffering back at infinitum
hingga akan terjadi inextricable circle, circulus vituosus, vicieuze
elrkel, vicious circle, Internasionale pingpong atau so Soiegel-kabinet,
dan yang lainnya. Dimana arti dari semua ini adalah tidak aka nada
suatu penyelesaian karena terus menerus akan seperti orang main
pingpong karena bolanya terus dan tidak akan putus.
b. Renvoi merupakan bentuk penyerahan kedaulatan legislatif yang
merupakan virtual capitulation dari kaidah-kaidah HPI (choice of
law’s rules) seolah-olah kita merekapitulasi kaidah-kaidah nasional
untuk kaidah-kaidah asing. Kaidah-kaidah asing mengantikan kaidah
sendiri (souvereinitas hukum sendiri dibahayakan).
c. Renvoi membawa ketidakpastian hukum sehingga apabila diterima
maka penyelesaian HPI akan menjadi samar-samar dapat berjalan
kesegala jurusan (ambiguous) dan tidak kokoh, tidak stabil (belum
uitgebalanceered). Dengan demikian maka secara teoritis dan praktis
akan diperoleh kesulitan-kesulitan kalau kita menerima renvoi
tersebut.

Sedangkan kelompok yang setuju dengan renvoi mengatakan bahwa


a. Baik yang menerima renvoi atau tidak adalah secara logis mungkin.
Tidak perlu setiap penunjukan dan setiap penunjukan kembali harus
berarti Gesamtverweisung.
b. Teori doktrin renvoi bukan berarti self effacement bukan suatu
rekapitulasi dari hukum sendiri demi berlakunya hukum asing. Yang
selalu berlaku adalah kemauan diri sendiri, kita memberlakukan
hukum asing karena kita yang menghendaki demikian.
c. Penolakan terhadap renvoi tersebut yang akan membawa ketidak
pastian. Karena jika renvoi diterima maka hukum intern dari sang
hakim sendiri yang akan dipakai. Ini membawa ketidakpastian.
Sebaliknya apabila ditolak renvoi justru akan terjadi kesulitan dan
ketidak pastian.
B. Ketertiban Umum
Istilah-istilah dari ketrtiban umum antara lain Ordre Public (Perancis),
Openbare Orde (Belanda), Vorbehaltklausel (Jerman). Public Policy (Anglo
Saxon). Ketertiban umum merupakan salah satu bagian terpenting daripada
HPI dan telah dianggap sebagai salah satu fundamen atau rukun daripada
seluruh bangunann HPI. HPI dianggap penting karena lembaga ketertiban
umum ini mempunyai sangkut paut yang erat dengan paham-paham asasi dan
dasar-dasar HPI. HPI diperkenalkan sebagai hukum untuk memperlakukan
unsur-unsur asing (Rechtstoepassingsrecht).
Jika di dalam HPI tidak ditentukan bahwa hukum asing harus
diberlakukan hal ini tidak berarti bahwa selalu dan dalam semua hal harus
dipergunakan hukum asing itu. Jika pemakaian hukum asing berarti suatu
pelanggaran yang sangat daripada sendi-sendi azasi hukum nasional Hakim,
maka dalam hal-hal pengecualian, hakim dapat mengesampingkan hukum
asing ini.
Fungsi daripada lembaga ketertiban umum adalah seolah-olah suatu :rem
darurat yang kita ketemukan pada tiap kereta api. Pemakaiannya juga harus
secara hati-hati dan seirit mungkin. Karena apabila kita terlampau lekas
menarik rem darurat itu maka “kereta HPI” tidak dapat berjalan dengan baik.
Penyalahgunaan daripada rem darurat ini diancam dengan hukuman. Jika kita
terlalu banyak mempergunakan lembaga keteertiban umum, berarti bahwa kita
akan selalu memakai hukum nasional kita sendiri, pada hal HPI sudah
menentukan dipakaikanya hukum asing.dengan demikian maka tidaklah dapat
berkembang HPI ini. Hanya jika hukum yang sebenearnya harus dipakai
menurut ketentuan HPI kita sendiri maka hukum asing ini yang bersifat
merusak dengan sangat perasaan keadilan azasi dan sendi-sendi fundamental
dari sisrim hukum dan tata usaha masyarakat hakim, maka secara
pengecualian hukum asing ini dapat dikesampingkan. Pemakaian lembaga
ketertiban umum ini pernah dilukiskan seolah-olah bercabang-cabang dari
pohon asing yang condong ke dalam.
Lembaga ketertiban umum ini seyogyanya hanya dipakai sebagai suatu
tameng tidak sebagai suatu pedang untuk menusuk hukum asing ini. Dengan
lain perkataan fungsinya hanya defensif, hanya sebagai perlindungan tidak
supaya secara aktif kita mentiadakan pemakaian hukum asing ini. Karena
apabila kita hendak selalu memakai lembaga ketertiban umum ini, hasilnya
ialah bahwa hukum nasional kitalah yang selalu akan digunakan.
Pengertian tentang ketertiban umum ini mempunyai hubungan dengan
dasar pokok HPI yang mengedepankan prinsip pesamarataan dan persamaan
penghargaan (gelijkwaardigheidsbeginsel, principe d’egalite.
Gleichheitsprinsio) anrtara semua stelsel-stelsel hukum yang dipertautkan
pada suatu peristiwa HPI. Baik hukum sendiri maupun hukum asing adalah
sama nilainya “berdiri sama tinggi, duduk sama rendah”.
Hanya jika pemakaian hukum asing ini adalah hal-hal tertentu sebagai
pengecualian dirasakan sebagai terlalu menusuk dapat di kesampingkan
pemakaian daripada hukum asing ini. Hukum asing ini harus benar-benar
manifestament Incomplimentable untuk meminjam kata-kata dari konvensi-
konvensi HPI Den Haag pada waktu akhir-akhir ini.
Adanya lembaga ketertiban umum sesungguhnya tidak sesuai dengan
pendirian Internasionalistis tentang HPI yang menganggap HPI bersifat supra
natural. Konsep ketertiban umum terikat pada faktor tempat dan waktu. Jika
situasi dan kondisi berlainan, paham-paham ketertiban umum juga berubah-
ubah. Ketertiban umum ini dipandang sebagai suatu spelbreker seorang yang
selalu mengganggu permainan suatu storenfried, suatu enfant terrible.
Dipandang juga sebagai suatu anjing Carberus, penjaga berkepala tiga dalam
mythology yang menjaga dengan waspada pintu yang menjuju neraka.
Binatang ini sedang terbaring atas tangga HPI atau atas tangga daripada
konsepsi Internasionalistis mengenai HPI.
Public policy ini mempunyai hubungan erat dengan pertimbangan-
pertimbangan politis.boleh dikatakan bahwa policy makin memegang peranan
yang penting dalam pengertian ini.
1. Ketertiban umum dipakai seirit mungkin
Syarat ini diadakan supaya secara hemat dipakainya lembaga ketertiban
umum. Diantara para penulis HPI sudah dikemukakan peringatan-peringatan
supaya ketertiban umum ini hanya dipakai secara hemat. Hanya jika
diperlukan sekali, sebagai “ultimatum remedium” boleh dipakainya. Jika
terlalu banyak dipergunakan lembaga ketertiban umum ini, kita bisa dicap
sebagai menganut rechts-farizeisme.
Jika kita terlalu cepat memakai lembaga ketertiban umum, akibatnya ialah
hanya pakai hukum sendiri. Maka kita ini memperlihatkan sikap Juristischen
Chauvinimus dan nationaler Eitelkeit. Kita bersikap terlalu mengagung-
agungkan, mendewa-dewakan hukum sendiri secara Chauvinitas yang
tentunya tidak dapat dipertanggungkan dalam hubungan Internasional. Sifat
dari lembaga ketertiban umum memang hanya sebagai rem darurat dalam
kereta api. Jika rem darurat dipergunakan secara terlampau riyal, maka hal ini
akan membawaakibat tidak menyenangkan bagi si penarik sendiri, dia akan
dihukum dan para penumpang akan terganggu dalam perjalannnya. Mendewa-
dewakan hukum sendiri sudah melanggar ketertiban umum, adalah sifat
hukum Parisi (rechts-farizeisme) atau chauvinimus yuridis.
2. Perumusan
Dengan istilah ketertiban umum ini hendak diartikan lembaga dalam HPI
yang memungkinkan sang hakim untuk secara pengecualian
mengenyampingkan pemakaian dari hukum asing yang menurut ketentuan
HPI sang hakim sendiri, seyogyanya harus diperlakukan. Tidak dipakainya
hukum asing dalam hal yang khusus ini disebabkan karena hukum asing ini
dipandang demikian menyolok dan member “shock” (kegoncangan kepada
sendi-sendi di azasi daripada sistim hukum sendiri jika dipergunakan).

3. Ketertiban Umum Internasional dan Ketertiban Umum Intern


Sistim hukum dari Negara-negara mengenai perbedaan-perbedaan antara
apa yang dinamakan ketertiban umum Internasional (Internationale openbare
ords public internasional) dan ketertiban umum intern (Interneopenbare
orde, orde public interene). Yang dinamakan ketertiban umum Internasional
adalah kaidah-kaidah yang bermaksud untuk melindungi kesejahteraan
Negara dalam keseluruhannya. Perlindungan dari masyarakat pada umumnya.
Kaidah-kaidah ini membatasi kekuatan extra territorial dari kaidah-kaidah
asing. Kaidah-kaidah yang termasuk ketertiban umum intern sebaliknya
adalah kaidah-kaidah yang hanya membatasi kebebasan perseorangan.
Ex : kaidah-kaidah yang dinamakan ketertiban umum intern adalah
kaidah hukum perdata yang mengenai batas umur atau derajat
kekeluargaan berkenaan dengan perkawinan .kaidah-kaidah ini
dianggap bersifat ketertiban umum intern, karena hanya pertama-tama
mengenai perseorangan pribadi dan bukan mengenai Negara pada
umumnya ketertiban umum Internasional mempunyai bidang kekuatan
berlaku secara pengecualian dan jauh lebih kecil bidang ini daripada
“ketertiban umum nasional”.

4. Ketertiban umum Internasional adalah Nasional


Terhadap istilah ketertiban umum Internasional terdengar kecaman karena
sesungguhnya yang dikehendaki bukan untuk menjelaskan bahwa ketertiban
ini bersifat tidak lain daripada “nasional”. Sejalan dengan keberatan terhadap
istilah “Internasional pada HPI”, maka harus melihat istilah ini bukan
mengenai sumber dan isinya Internasional. Hanya hubungan-hubunganlah
yang dianggap Internasional, hanya suasananya yang Internasional.
Sedangkan sumber dan isi makna ketertiban umum ini adalah nasional belaka.
Istilah yang lebih baik digunakan adalah ketertiban umum extern ,
terhadap ketertiban umum intern, jadi setiap Negara mempunyai ketertban
umum Internasional atau ketertiban umum extern-nya sendiri.

5. Perumusan ketertiban umum dalam berbagai ketentuan-ketentuan HPI tertulis


dari berbagai Negara
Di berbagai Negara di dunia ini kita saksikan adanya perumusan-
perumusan tentang konsepsi HPI. Bagi kami perumusan yang telah
dipergunakan dalam Undang-Undang HPI Jepang, yang pada pokoknya
mencontoh dari HPI Jerman adalah yang sebaiknya dapat dijadikan contoh
untuk peraturan tertulis tentang ketertiban umum dalam sesuatu Undang-
Undang HPI yang kiranya akan dibuat oleh Negara kita sendiri. Perumusan
yang terdapat di dalam Undang-Undang HPI Jepang ini adalah cukup
sederhana tetapi jelas. Kesederhanaan dan kejelasan ini merupakan hal-hal
yang sesungguhnya juga harus dijadikan pegangan dalam konsep-konsep
daripada pembaharuan hukum nasional oleh Badan Pembinaan Hukum
Nasional kita.
Perumusan dalam UU HPI Jepang dari tanggal 21 Juni 1898, yang
mengikuti HPI Jerman (EGBGB) pasal terakhir ini (30) menentukan
ketertiban umum ini. Menurut pasal 30 tersebut kaidah-kaidah asing yang
sebenernya harus diperlakukan , tidak akan dipergunakan bilamana
pemakaiannya akan melanggar ketertiban umum atau kesusilaan baik.

C. Jual Beli Dalam Hukum Perdata Internasional


Jual beli yang diterjadi dalam Perdata Internasional tidaklah jauh berbeda
dengan jual beli yang terjadi dalam Perdata Nasional dilihat dari asas dan juga
syarat-syaratnya. Dalam pasal 1457 KUHPerd disebutkan bahwa jual-beli
adalah suatu persetujuan dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya
untuk menyerahkan suatu kebendaan,dan pihak yang satu lain untuk
membayar harga yang telah dijanjikan. Jadi pengertian jual-beli menurut
KUHPerd adalah suatu perjanjian bertimbal balik dalam mana pihak yang satu
(penjual) berjanji untuk menyerahkan hak milik atas suatu barang, sedang
pihak yang lainnya (pembeli) untuk membayar harga yang terdiri atas
sejumlah uang sebagai imbalan dari perolehan hak milik tersebut (Subekti,
1995: 1)
1. Asas-asas dalam hukum perdata
a. Asas kebebasan berkontrak
Hukum perjanjian memberikan kebebasan seluas-luasnya kepada
masyarakat untuk mengadakan perjanjian yang berisikan apa saja,
asalkan tidak melanggar aturan yang memaksa, ketertiban umum dan
kesusilaan. Para pihak diperkenankan untuk memperjanjikan hal-hal di
luar Undang-Undang sesuai dengan kesepakatan bersama. Asas
‘sistem terbuka’ dalam perjanjian, mengandung suatu prinsip
kebebasan membuat perjanjian, dalam KUHPerdata lainnya
disimpulkan dalam Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata yang
berbunyi :“Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai
Undang-undang bagi mereka yang membuatnya”. Dengan
menekankan keadaan ‘semua’ maka pasal tersebut seolah-olah
berisikan suatu pernyataan kepada masyarakat, bahwa kita
diperbolehkan membuat perjanjian berupa dan berisi apa saja (tentang
apa saja) dan perjanjian itu mengikat mereka yang membuatnya seperti
suatu Undang-undang. Dengan kata lain, hal membuat atau melakukan
perjanjian, kita diperbolehkan memperjanjikan sesuatu bagi kita
sendiri yang akan berlaku bagi para pihak dan mempunyai kekuatan
hukum seperti halnya sebuah Undang-undang.
b. Asas Konsensualisme
Dalam hukum perjanjian berlaku asas yang dinamakan asas
konsensualisme. Perikatan ini berasal dari Bahasa Latin “consensus”
yang berarti sepakat. Asas konsensualisme bukanlah berarti suatu
perjanjian disyaratkan adanya sepakat, tetapi hal ini merupakan suatu
hal yang semestinya, karena suatu perjanjian juga dinamakan
persetujuan, berarti dua belah pihak sudah setuju atau bersepakat
mengenai sesuatu hal. Asas ini dapat ditemukan dalam Pasal 1320
KUHPerdata dan Pasal 1338 KUHPerdata. Pasal 1320 KUHPerdata
disebutkan secara tegas, sedangkan dalam Pasal 1338 KUHPerdata
ditemukan dengan istilah “semua”. Kata “semua” menunjukkan setiap
orang diberi kesempatan untuk menyatakan keinginan, yang
dirasakannya baik untuk menciptakan perjanjian. Asas ini sangat erat
hubungannya dengan asas kebebasan mengadakan perjanjian.
c. Asas Itikad Baik Hukum perjanjian,
asas itikad baik seperti yang terdapat pada Pasal 1338 ayat 3
KUHPerdata yang menentukan bahwa : “Suatu perjanjian harus
dilaksanakan dengan itikad baik” Asas itikad baik ini mengkehendaki
bahwa suatu perjanjian dilaksanakan secara jujur, yakni dengan
mengindahkan norma-norma kepatuhan dan kesusilaan. Asas ini
adalah salah satu sendi terpenting dari hukum perjanjian.
2. Syarat sah
Dalam pasal 1320 KUHPerdata terdapat syarat sah dari jual beli ialah

a. Kesepakatan para pihak dalam perjanjian


b. Kecakapan para pihak dalam perjanjian
c. Suatu hal tertentu
d. Suatu sebab yang halal

D. Perkara Dalam Hukum Perdata Internasional


Sistim kasus perkawinan dimalta ( the maltese matriabe case ) th 1889
Yang dikenal dengan kasus Anton VS Bartolo. Kasus posisi / pokok perkara
sebagai berikut :

1. Sepasang suami istri yang menikah sebelum tahun 1870 yang berdomosili di
malta (Jajahan Inggris)
2. Setelah pernikahan mereka pindah ke ajasair ( jajahan perancis ) &
memperoleh perancis
3. Suami membeli sebidang tanah di perancis
4. Setelah suami meninggal si istri menuntut ¼ bagian dari hasil tanah ( usufruct
right )
5. Perkara diajukan dipengadilan perancis (aljasair)

Dari fakta tersebut diatas terlihat titik taut ( connecting factors ) antara
lain :
1. Inggris (malta) adalah Locus Celebrationis (tempat diresmikannya
perkawinan dengan demikian hukum yang berlaku adalah hukum dimana
perkawinan itu diresmikan) sehingga hukum inggris relevan ( sesuai ) =
(tptdupas) sebagai lex loci celebrationis (menjadi hukum dari tempat
diresmikanya suatu perkawinan )
2. Perancis ( aljasair ) adalah hukumnya relevan sebagai
 Domisilli (lex domicilli)adalah hukum dari tempat kediaman seseorang
 Nasionalitas (lex patriae) pasal 16 AB
Hukum dari tempat seseorang menjadi warga Negara
 Situs benda (lex situs) pasal 17 AB
Hukum dari tempta dimana suatu benda berada
 Locus Forum (Lex Fori)
Hukum dari tempat kejadian yang menyelesaikan perkara
Cara Penyelesaian Perkara Kasus anton vs bartolo melibatkan 2 sistim
hukum yaitu : Ketentuan HPI perancis & ketentuan HPI inggris
Sedangkan kedua ketentuan ini terdapat kesamaan sikap yakni sbb

1. Masalah pewarisan tanah harus diatur oleh hukum dari tempat dimana
tanah berada atau terletak (pasal 17 AB) asas lex rei sitag
Pasal 16, 17 AB berlaku didunia
2. Hak-HAK seorang janda yang timbul/lahir karena perkawinan
(matrimonial right = hukum janda ) harus diatur berdasarkan hukum dari
tempat para pihak berdomisili pada saat perkawinan diresmikan (asas lex
loci celebrationis)

Antara Kaidah HP Inggris & Perancis Terdapat Kesamaan Sifat sbb :


Masalah pewarisan tanah harus diatur oleh hukum dari tempat dimana tanah
itu terletak atau berada
Hak-hak seworang janda yang timbul/lahir karena perkawinan harus
diatur berdasarkan hukum dari tempat para pihak bertempat tinggal
( domisili ) pada saat perkawinan diresmikan ( asa lex loci selebritionis )
Yang menjadi permasalahan bagi hakim perancis adalah sekumpulan
fakta tersebut diatas bagi hukum perancis ( code civil ) digolongkan sebagai
masalah pewarisan tanah sedangkan berdasarkan hukum inggris perkara akan
dikualifikasikan sebagai masalah hak janda / harta perkawinan
Daftar Pustaka
A. Undang-Undang
KUHPerdata

B. Buku
Pengantar Hukum Perdata Internasional Indonesia. Prof.Dr. S. Gautama S.H.

C. Lain-lain
https://rennymagdawiharnani.wordpress.com/sih/hukum-perdata-
internasional-hpi/
A. Renvoi
Penunjukan kembali aray penunjukan lebih lanjut oleh kaidah HPI oleh
kaidah HPI lex fori. Penunjukan diarahkan ke kaidah HPI asing yang dianggap
relefan dengan perkara yang sedang dihadapi. Agar perkara dapat diputuskan
dengan cara yang seharusnya perkara diadili. Agar tercipta keseragaman
dalam penyelesaian perkara HPI.

B. Ketertiban Umum
Seberapa jauh pengadilan memperhatikan, mentaati, dan mengakui
berlakunya hukum asing/hak-hak yang diperoleh. Hak-hak yang diperoleh
dapat dikesampingkan dengan alasan demi ketertiban umum. Jika
pemberlakuan hukum asing/hak-hak yang telah diperoleh dapat menimbulkan
akibat-akibat berupa pelanggaran terhadap sendi-sendi pokok hukum
setempat. Semua kaidah hukum setempat yang dibuat untuk melindungi
kesejahteraan umum harus didahulukan. Pelanggaran terhadap prinsip-prinsip
keadilan yang mendasar. Bertentangan dengan kesusilaan yang baik.
Bertentangan dengan tradisi yang sudah mengakar.

Anda mungkin juga menyukai