Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH

HUKUM PERDATA INTERNASIONAL


RENVOI
Dosen Pengampu:
Hasan Asy ari, SH. MH

Disusun oleh:
1. Muhammad Rizki Agustiansyah D1A021230
2. Muzammil Uzami D1A021233
3. Nanda Legian Pramudyawardani D1A021240
4. Neorista Anggun Wibawa D1A021242
5. Ni Kadek Putri Lestari Dewi D1A021244
6. Ni Luh Madyarni Sri Depi D1A021245
7. Ni Made Dwi Mandriani D1A021246
8. Syabilla Agita Putri D1A021297
9. Aris Munandar D1A021354
10. Baiq Azmy Ridha Auliah D1A021369

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM


FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS MATARAM
TAHUN 2023
KATA PENGANTAR

Pertama-tama kami panjatkan puji syukur ke Hadirat Tuhan yang maha kuasa karena
dengan Taufiq dan Hidayah-Nya Saya diberikan kemudahaan serta kelancaran dalam
menyelesaikan tugas makalah Hukum Perdata Internasional yang berjudul “RENVOI” yang
diberikan oleh Dosen Pengampu, Bapak Hasan Asy ari, SH.,MH Mata Kuliah Hukum
Perdata Internasional.

Ucapan Terima Kasih kami ucapkan kepada Dosen Pengampu, Bapak Hasan Asy ari,
SH.,MH yang telah memberikan tugas dalam menyusun makalah ini. Makalah disusun dari
beberapa referensi buku dan Internet yang kemudian saya jadikan sebagai pembahasan. Kritik
dan Saran sangat saya harapkan kepada para pembaca makalah ini. semoga makalah ini dapat
menjadi bahan referensi. Mohon maaf apabila dalam penyampaian masih terdapat banyak
kekurangan semoga makalah saya dapat lebih baik lagi dilain hari.

Mataram, 14 September 2023

Penulis

II
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................................ ii


DAFTAR ISI ........................................................................................................................ iii
BAB I PENDAHULUAN .................................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang ........................................................................................................ 1
1.2 Rumusan Masalah ................................................................................................... 3
BAB II PEMBAHASAN ...................................................................................................... 4
2.1 Pengertian Renvoi ................................................................................................... 4
2.2 Jenis-Jenis Renvoi................................................................................................... 5
2.3 Prinsip-Prinsip Dalam Renvoi ................................................................................. 8
2.4 Penggunaan Renvoi Dalam HPI ............................................................................ 10
2.5 Contoh Kasus ........................................................................................................ 11
BAB III PENUTUP............................................................................................................ 13
3.1 Kesimpulan ........................................................................................................... 13
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................................... 15

III
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Salah satu bagian dari teori umum HPI yang selalu menarik perhatian adalah masalah
“Renvoi” atau “Penunjukkan Kembali”. Masalah Renvoi timbul karena adanya aneka warna
sistem dunia HPI, tiap-tiap negara nasional di dunia ini mempunyai sistem HPI nya sendiri-
sendiri. Hal ini berarti bahwa tidak ada keseragaman cara-cara menyelesaikan masalah-
masalah HPI.
Dalam ranah Hukum Antar Tata Hukum dan Hukum Perdata Internasional, salah satu
teori dan prinsip hukum yang dipakai dalam menyelesaikan kasus dimana terlihat ada unsur
asing didalamnya ialah Renvoi. Renvoi merupakan sebuah doktrin yang dapat digunakan untuk
menghindarkan pemberlakuan kaidah hukum tertentu atau sistem hukum yang seharusnya
berlaku (lex causae) sesuai dengan prosedur Hukum Perdata Internasional yang biasanya
dilakukan. Pemberlakuan doktrin ini hadir oleh karena adanya kemajemukan sistem hukum
didunia, yang mana masing-masing dalam sistem hukum tersebut memiliki prinsip Hukum
Perdata Internasionalnya sendiri. Adanya realitas ini membawa kepada aplikasi Renvoi yang
kemudian menjadi mendasar dan penting dalam penyelesaian kasus-kasus Hukum Perdata
Internasional dari dahulu hingga sekarang. Berdasarkan dari artian mendasar dalam kaitannya
dengan Renvoi, doktrin disini dapat diartikan sebagai suatu prinsip yang berkembang di Sistem
Hukum Eropa Kontinental/Sistem Civil Law walaupun teori ini juga berkembang dan
menemukan tempat serta cara pemakain yang unik di negara-negara dengan sistem Anglo-
Saxon/Common Law.
Proses renvoi dapat dikategorikan menjadi 2 jenis yaitu remission dan transmission.
penunjukan kembali (remission, rückverweisung, terug verwijzing) dapat diartikan sebagai
proses renvoi oleh kaidah hukum perdata internasional asing kembali ke arah lex fori, proses
remission tersebut merupakan penunjukan pertama berlangsung dari kaidah hukum perdata
internasional forum ke arah kaidah hukum perdata internasional asing, karena sebelumnya
telah diketahui kaidah hukum perdata internasional asing itu dalam penunjukkan kedua akan
menunjuk kembali ke arah lex fori. Penunjukan lebih lanjut (transmission, weiter verweisung
verder verwijzing) merupakan suatu proses renvoi oleh kaidah hukum perdata internasional
asing ke arah suatu sistem hukum asing yang lain, di mana penunjukan pertama berlangsung

1
dari kaidah hukum perdata internasional forum ke arah kaidah hukum perdata internasional
asing, yang sebelumnya telah diketahui akan menunjuk ke arah sistem hukum ketiga.
Renvoi memberikan ruang untuk pengadilan menentukan kaidah atau sistem hukum
mana yang dianggap terbaik untuk menyelesaikan suatu perkara hukum perdata internasional.
Pengaplikasian juga dapat disebut dengan penerapan yang mempunyai pengertian sebagai
suatu perbuatan menerapkan sesuatu. menurut beberapa ahli penerapan merupakan suatu
perbuatan mempraktekkan suatu teori, metode serta hal-hal lain yang menyangkut pautkan ke
dalam suatu perlakuan untuk mencapai tujuan tertentu dan untuk sebuah kepentingan yang
diinginkan oleh suatu kelompok maupun golongan. Pada pengertiannya pengaplikasian teori
renvoi yaitu penerapan yang dilatar belakangi oleh suatu teori renvoi bertujuan untuk
mendoktrin apa yang digunakan untuk menghindari pemberlakuan kaidah hukum tertentu atau
sistem hukum yang seharusnya berlaku sesuai dengan prosedur Hukum Perdata Internasional
yang biasanya dilakukan
Salah satu persoalan penting berkenaan dengan status personil ialah apakah status
personil itu ditentukan menurut Prinsip Nasionalitas atau Prinsip Domisili. Berhubung dengan
adanya dua sistem yang berbeda ini, maka timbullah masalah Renvoi. Secara umum renvoi
adalah penunjukan kembali atau penunjukan lebih lanjut oleh kaidah-kaidah HPI dari suatu
sistem hukum asing yang ditunjuk oleh kaidah HPI Lex Fori.
Konsepsi renvoi sesungguhnya merupakan penyimpangan terhadap suatu alur pikir
dalam HPI yang selalu diarahkan untuk menetapkan sistem hukum yang diberlakukan (Lex
Causae). Pada prakteknya, pengadilan dapat memutuskan perkara HPI dengan berdasarkan
kaidah-kaidah hukum intern Lex Fori atau sistem hukum lain selain Lex Causae apabila
diyakini mampu memberikan putusan yang lebih baik dan adil.
Ada banyak masalah persoalan-persoalan yang terjadi dan kita temukan dalam perkara
ke hidupan sehari-hari dengan ciri khusus beberapa proses penyelesihan dalam bidang hukum
perdata internasional maka hadirnya Penunjukan yang di lakukan melalui penerapan sebuah
kaidah hpi selalu di maksudkan untuk menetapkan sistem hukum mana yang akan di
berlakukan sebagai lex causae, dalam perkembangan HPI ternyata tumbuh kebutuhan untuk
menyimpang dari proses berfikir, khususnya apabila pengadilan beranggapan bahwa perkara
akan lebih baik di selesaikan berdasrkan kaidah-kaidah hukum intern lex fori atau siste hukum
lain selain lex causae yang di tunjukan.
Hingga pemanfaatan yang ada dapat menyelesaikan masalah persoalan-persoalan hukum
konkkrit dalam masalah, maka dengan itu hadirlah salah satu bentuk untuk menyelesaikan

2
pristiwa dalam persoalan yang ada sebagai bentuk keadilan yang di ciptakan dalam
menyelesaikan sebuah perkara yang ada.

1.2 Rumusan Masalah

1. Apa yang dimaksud dengan Renvoi?


2. Apa saja macam-macam Renvoi?
3. Apa saja prinsip-prinsip yang berkaitan dengan Renvoi?
4. Bagaimana penggunaan Renvoi dalam HPI?
5. Bagaimanakah contoh kasus Renvoi?

3
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Renvoi


Renvoi adalah penunjukan kembali atau penunjukan lebih lanjut oleh kaidah-kaidah HPI
dari suatu sistem hukum asing yang ditunjuk oleh kaidah HPI lex fori. Penunjuk kembali
(Renvoi) merupakan salah satu pranata HPI tradisional yang terutama berkembang di dalam
tradisi Civil Law (Hukum Eropa Kontinental) sebagai pranata yang dapat digunakan untuk
menghindari pemberlakuan kaidah atau sistem hukum yang seharusnya berlaku (lex causae)
yang sudah ditetapkan berdasarkan prosedur HPI yang normal. Pelaksanaan Renvoi ini pada
dasarnya dimungkinkan karena adanya berbagai sistem hukum di dunia yang masing-masing
memiliki sistem dan kaidah-kaidah HPI-nya sendiri.
Renvoi dikenal juga sebagai doktrin penunjukkan kembali adalah suatu doktrin yang
dapat digunakan untuk menghindari diberlakukannya kaidah atau system hukum yang
seharusnya berlaku atau disebut juga lex cause yang sudah ditetapkan berdasarkan prosedur
hukum perdata internasional secara normal dan mengubah acuan kepada suatu kaidah atau pada
system hukum yang lainnya seperti pada contoh kaidah hukum intern lex fori atau system
hukum yang lain selain lex cause. Dengan demikian, renvoi digunakan sebagai alat bagi para
hakim untuk merekayasa penetuan lex cause ke arah system hukum yang mana dianggap bisa
memberikan putusan terbaik sehingga sudah pasti dalam proses renvoi ini ada kaidah hukum
perdata yang dikesampingkan
Persoalan Renvoi berkaitan erat dengan persoalan prinsip nasionalitas atau domisili
dalam menentukan status personal seseorang. terutama karena adanya perbedaan mengenai
prinsip yang dianut (nasionalitas atau domisili) di berbagai negara.
Menurut pandangan Sunarjati Hartono bahwa persoalan renvoi tidak bisa dilepaskan atau
erat sekali kaitannya dengan masalah “kualifikasi” dam masalah “titik laut”, karena memang
sebenarnya ketiga persoalan dapat dicakup dalam satu persoalan yaitu hukum manakah yang
akan berlaku (lex causae) dalam suatu peristiwa Hukum Perdata Internasional.
Dr. Bayu Seto Hardjowahono, S.H., LL.M. dalam bukunya Dasar-Dasar Hukum Perdata
Internasional menerangkan renvoi atau yang dikenal juga sebagai doktrin penunjukan kembali
merupakan suatu doktrin yang dapat digunakan untuk menghindarkan pemberlakuan kaidah
atau sistem hukum yang seharusnya berlaku (lex causae) yang sudah ditetapkan berdasarkan
prosedur hukum perdata internasional secara normal dan mengubah acuan kepada suatu kaidah

4
atau sistem hukum yang lain, seperti contoh kaidah-kaidah hukum intern lex fori atau sistem
hukum lain selain lex causae yang ditunjuk tadi.
Persoalan semacam ini timbul karena menurut kenyataan terdapat aneka warna sistem
hukum Perdata Internasional. Oleh karena itu, terjadilah conflict de systems in de international
prive, sehingga tidak ada keseragaman dalam menyelesaikan masalah Hukum Perdata
Internasional di berbagai Negara. Demikian, renvoi akan timbul bilamana hukum asing yang
ditunjuk lex fori menunjuk kembali kepada lex fori tadi atau kepada sistem hukum yang lain.

2.2 Jenis-Jenis Renvoi


Dalam teori HPI tradisional suatu kaidah HPI (choice of law rule) pada dasarnya dibuat
untuk menunjuk (aanwijzen) ke arah suatu sistem hukum tertentu, sebagai hukum yang
seharusnya berlaku untuk menyelesaikan masalah HPI yang sedang dihadapi (the applicable
law in a given case). Yang menjadi masalah adalah apa yang dimaksud dengan menunjuk ke
arah suatu sistem hukum tertentu‟ itu?
Jika titik-titik taut telah diketahui, masih ada persoalan lain, yaitu bagian manakah dari
hukum asing yang harus berlaku? Apakah hukum asing itu hanya hukum intern negara yang
bersangkutan saja atau lebih luas lagi, yaitu termasuk juga kaidah- kaidah HPI-nya?
Masalah Renvoi mempunyai hubungan yang erat dengan persoalan kualifikasi. Apakah
yang diartikan dengan istilah “Hukum Asing” jika sistem HPI kita menunjuk kepada
berlakunya hukum asing, apakah ini berarti bahwa hukum intern dari negara bersangkutan yang
harus diberlakukan atau lebih luas lagi, juga termasuk di dalam penunjukkan ini kaidah-kaidah
HPI nya.
Untuk memperjelas uraian tersebut, Sudargo Gautama memberikan contoh sebagai
berikut: bilamana hakim Indonesia berdasarkan ketentuan HPI indonesia telah menyatakan
bahwa hukum yang berlaku terhadap perkara yang ia periksa atau adili adalah hukum Inggris,
maka timbul persoalan atau pertanyaan apakah yang diartikan dengan hukum inggris itu?
Dalam hal ini dapat terjadi dua kemungkinan.
1. Hukum intern (domestic law = municipal law = local law) Inggris yang berlaku di Inggris
untuk hubungan-hubungan hukum sesama orang Inggris; atau
2. Di dalamnya termasuk pula ketentuan-ketentuan HPI Inggris, jadi termasuk pula ketentuan
choice of law.

Bilamana kita hanya menunjuk pada hukum intern saja, orang Jerman menyebutnya
sebagai sachnormen, penunjukkannya dinamakan sachnormverweisung. Bilamana yang

5
dimaksud dengan hukum asing itu adalah seluruh sistem hukum (jadi termasuk ketentuan HPI-
nya) disebut kollisionsnormen, penunjukkannya dinamakan gesamtverweisung.
Penerapan ruang lingkup asing kami lengkapi lagi dengan penjelasan ilustrasi telah
dikemukakan J.G. Castel di atas Pengadilan Ontario menunjuk hukum Jerman, karena negara
Jerman merupakan domisili terakhir orang meninggal (pewaris). Dalam menginterpretasikan
kaidah-kaidah HPI, pengadilan harus memberikan arti“hukum Jerman” tersebut.
Pertama hukum Jerman diartikan sebagai hukum substantif “internal atau domestik”
negara tersebut. Dalam pengertian ini pengadilan Ontario akan menerapkan hukum domestik
Jerman yang berlaku bagi warga negara Jerman, tanpa menghiraukan bahwa yang
bersangkutan adalah warga negara Kanada dan harta warisan berupa benda bergerak tersebut
terletak di Ontario. Dengan kata lain, forum tidak mempertimbangkan elemen-elemen faktual
mengenai bagaimana pengadilan Jerman akan menerapkan ketentuan HPI-nya jika kasus
tersebut dihadapkan kepadanya. Inilah yang disebut sebagai teori “hukum intern” (internal law)
atau referensi substantif (substantive reference). Pengadilan Ontario akan memutuskan, bahwa
kaidah HPI yang relevan dengan kasus tersebut memberikan arti “alamiah” dan hukum Jerman
harus diberlakukan tanpa memperhatikan kaidah HPI-nya. Solusi seperti ini tidak memerlukan
pembuktian apapun tentang kaidah HPI Jerman meskipun pembuktian harus dilakukan
terhadap hukum internal negara tersebut.
Kedua, “hukum Jerman” diartikan sebagai keseluruhan hukum Jerman, termasuk kaidah
HPI-nya. Jika dalam masalah yang sama kaidah HPI Jerman menunjuk hukum Kanada, dalam
hal ini hukum provinsi Ontario, maka akan terjadi konflik kaidah HPI yang berkelanjutan,
karena kaidah HPI lex fori dan lex cause berbeda. Jika kaidah HPI Ontario dan Jerman sama,
tetapi titik pertalian dalam kedua kaidah atau aturan HPI tersebut diinterpretasikan secara
berbeda, maka akan timbul konflik kaidah atau aturan HPI yang juga akan menunjuk kembali
kepada hukum provinsi Ontario. Penunjukan Kembali pada hukum Ontario tersebut disebut
renvoi atau remission.
Jika penunjukan kepada hukum asing itu dianggap termasuk pula kaidah-kaidah HPI-
nya, maka mungkin terjadi apa yang dinamakan dengan penunjukan kembali, misalnya hakim
di negara X berdasarkan kaidah HPI negara X harus memberlakukan hukum negara Y dalam
arti seluruh sistem hukum negara Y, maka mungkin ketentuan HPI negara Y menunjuk kembali
kepada hukum negara X. mungkin pula HPI negara Y tersebut menunjuk lebih jauh kepada
hukum negara ketiga, yaitu Z (penunjukan lebih jauh).
Dengan demikian penunjukan kembali dapat dibagi dua, yaitu:

6
1. Remission ( penunjukan kembali, rujkverwesung, terugverwijzing )
Yaitu proses renvoi ole kaidah HPI asing kembali ke arah lex fori. Ole karena itu dalam
remission penunjukan pertama berlangsung dari kaidah HPI forum ke arah kaidah HPI
asing ( gasamtverweisung ) karena sebelumnya di ketahui bahwa kaidah HPI asing itu
dalam penunjukan kembali ke arah lex fori. Jika forum menerima renvoi, penunjukan
kembali ini akan dianggap sebagai sachnormverweisung.
2. Tarnsmission ( penunjukan lebih lanjud,Weiterverweisung, verderverwijzing )
Yaitu proses renvoi oleh kaidah HPI asing ke arah suatu sistem hukum asing lain. Dalam
hal ini penunjukan pertama berlangsung dari kaidah HPI forum ke arah kekaidah HPI
asing ( gasantverweisung) yang sebelumnya telahdi ketahui akan menunjukan lebih
lanjud ke arah sistem hukum ke tiga [2]. karena hakim memang berniat memberlakukan
aturan intern dari hukum ke tiga itu, maka penunjukan kedua akan di anggap sebagai
sachnormverweisung.

Foreign Court Theory

Dokrin Renvoi tumbuh di dalam tradisi hukum civil law di Eropa Kontinental yang
mengandalkan satu titik tautsekunder untuk menentukan hukum mana yang akan berlaku
sebagai lex causae, Doktrin ini umumnya ditolak di dalam sistem “conflict of laws” di Inggris
(dan umumnya di Amerika) karena dianggap menganding kesulitan logika tertentu.
Dibandingkan dengan doktrin semacam ini yang berkembang di dalam sistem HPI Inggris,
maka renvoi yang berkembang di dalam tradisi hukum Eropa Kontinental ini dikenal dengan
sebutan single-renvoi.
Jika renvoi lebih banyak berkembang di Eropa Kontinental, dalam sistem hukum Inggris
dikenal pula sejenis renvoi yang diberi nama the Foreign Court Theory (FCT). Pengadilan
Inggris pada dasarnya menolak pelaksanaan doktrin (single) renvoi dalam penyelesaian
perekara-perkara HPI. Namun, dalam beberapa perkara, tampak adanya kebutuhan bagi sistem
peradilan HPI Inggris untuk mengesampingkan berlakunya lex causae dengan menggunakan
pola berpikir yang mirip renvoi Ada dua hal yang perlu disadari dalam pelaksanaan doktrin
FCT yaitu:
1. Hakim harus menentukan terlebih dahulu sistem hukum atau badan peradilan asing
yang seharusnya mengadili dan memutus perkara HPI yang dihadapi. Secara
tradisional, hal ini dilakukan dengan menggunakan titiktitik taut dan kaidah-kaidah HPI
lex fori.

7
2. Langkah selanjutnya dalam proses penyelesaian perkara haruslah dilakukan
berdasarkan sistem HPI dari “foreign forum” yang ditunjuk itu.

2.3 Prinsip-Prinsip Dalam Renvoi

1. Asas Pacta Sunt Servanda


Jika diterjemahkan dari bahasa latin, pacta sunt servanda berarti janji harus ditepati.
Diterangkan Harry Purwanto dalam Mimbar Hukum Volume 21 No. 1, asas pacta sunt
servanda adalah asas atau prinsip dasar dalam sistem hukum civil law yang dalam
perkembangannya diadopsi dalam hukum internasional.
Kemudian, Purwanto juga menerangkan bahwa asas hukum perdata yang satu ini
berkaitan dengan kontrak atau perjanjian yang dilakukan antara para individu dan
mengandung makna, bahwa:
a. perjanjian merupakan undang-undang bagi para pihak yang membuatnya; dan
b. mengisyaratkan bahwa pengingkaran terhadap kewajiban yang ada pada perjanjian
merupakan tindakan melanggar janji atau wanprestasi.
2. Asas Konsensualisme
Asas Konsensualisme merupakan sahnya suatu perjanjian ketika telah terjadinya
kesepakatan dari para pihak. Maksudnya adalah perjanjian yang dilakukan oleh para
pihak tersebut sebenarnya telah terjadi dengan adanya kata sepakat tanpa perlu
dipenuhinya formalitas- formalitas tertentu.
Pasal 1338 ayat (1) menentukan bahwa “semua perjanjian yang dibuat secara sah
berlaku sebagai undang-undang bagi yang membuatnya”. Berdasar dua pasal dalam
KUH Perdata tersebut, dapatlah dikatakan berlakunya asas konsensualisme di dalam
hukum perjanjian memantapkan adanya asas kebebasan berkontrak.
Makna dari asas konsensualisme adalah para pihak yang mengadakan perjanjian
harus sepakat dalam setiap isi atau hal-hal yang pokok dalam perjanjian yang dibuat.
Asas konsensualisme tersirat dalam salah salah satu syarat sah perjanjian berdasarkan
KUH Perdata. Pasal 1320 KUH Perdata menerangkan bahwa supaya terjadi persetujuan
yang sah, perlu dipenuhi empat syarat:
1. kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya;
2. kecakapan untuk membuat suatu perikatan;
3. suatu pokok persoalan tertentu;
4. suatu sebab yang tidak terlarang.

8
3. Asas Good Faith atau Kejujuran
Prinsip good faith (itikad baik) tidak lain adalah “kejujuran” dalam perilaku atau
kejujuran dalam bertransaksi dagang, termasuk di dalamnya adalah kejujuran dalam
fakta dan penghormatan terhadap standar-standar dagang yang wajar dan transaksi
dagang yang jujur.
a) prinsip itikad baik dalam sistem hukum continental : dalam sistem continental,
pendekatan terhadap prinsip ini didasarkan pada filosofi dari kontrak yang
menitikberatkan atau memusatkan pada hubungan para pihak. Hubungan ini
mensyaratkan kewajiban itikad baik bukan saja ketika kontrak ditandatangani,
tetapi juga sebelum kontrak ditutup. Misalnya, kitab undang-undang hukum perdata
belgia. Negara ini mensyaratkan semua kontrak dilaksanakan dengan itikad baik
dan penafsiran (kontraktualnya) pun harus disertai dengan kebiasaan.
b) Prinsip Itikad Baik dalam Sistem Common Law Khususnya Inggris, tidak mengenal
proses negosiasi, para pihak terikat oleh prinsip beritikad baik. Menurut Hukum
Inggris, masuknya para pihak ke dalam negosiasi tidak dengan serta merta
melahirkan kewajiban itikad baik. Menurut Hukum Inggris, selama kontrak belum
ditandatangani, para pihak tidak terikat satu sama lain dan tidak memiliki kewajiban
apapun terhadap pihak lainnya hingga kontrak tersebut akhirnya ditandatangani.
c) Prinsip Itikad Baik dalam Perjanjian Internasional Pengakuan dan kewajiban untuk
melaksanakan prinsip itikad baik diakui dalam prinsip-prinsip kontrak komersial di
negara-negara yang ingin menerapkannya. Menurut UNIDROIT (The International
Institute for the Unification of Private Law). Pasal 1.7 prinsip UNIDROIT
menyatakan, “Each party must act in accordance with Good Faith and fair dealing
in international trade” dan “The parties may not exclude or limit their duty”. Norma-
norma yang telah dinyatakan secara abstrak di dalam ketentuan pasalnya, kemudian
dinyatakan kembali dalam bentuk uraian penjelasan, disertai dengan contoh-contoh,
oleh karena itu disebut restatement. Menurut restatement dari pasal di atas ada 3
(tiga) unsur prinsip itikad baik dan transaksi yang jujur, yaitu: Pertama, itikad baik
dan transaksi jujur sebagai prinsip dasar yang melandasi kontrak; Kedua, prinsip
itikad baik dan transaksi jujur dalam UPICCS (UNIDROIT Principles of
International Commercial Contracts) ditekankan pada praktek perdagangan
internasional; Ketiga, prinsip itikad baik dan transaksi jujur bersifat memaksa.

9
4. Asas Timbal Balik
Asas Timbal Balik adalah suatu konsep yang menyatakan bahwa setiap individu
atau badan mempunyai hak untuk mendapatkan perlakuan yang sama dengan apa yang
telah mereka berikan. Konsep ini sering digunakan dalam hukum dan politik. Asas
Hukum ini menyatakan bahwa setiap orang harus menanggung akibat hukum dari
tindakannya. Asas ini juga dikenal sebagai asas saling menguntungkan atau win-win
solution.
5. Asas Transparansi
Asas transparansi atau asas keterbukaan yang dimaksud dalam UU No. 28 Tahun
1999 adalah asas yang membuka diri terhadap hak masyarakat untuk memperoleh
informasi yang benar, jujur, dan tidak diskriminatif tentang penyelenggaraan Negara
dengan tetap memperhatikan perlindungan atas hak asasi pribadi, golongan maupun
rahasia Negara.

2.4 Penggunaan Renvoi Dalam HPI

Doktrin renvoi tidak dapat digunakan di semua jenis perkara HPI. Terutama dalam
perkara-perkara yang bersentuhan dengan transaksi-transaksi bisnis dan setiap Tindakan
pilihan hukum. Di dalam Pasal 15 Konvensi Roma 1980, renvoi tegas-tegas ditolak dalam
penyelesaian perkara-perkara HPI dalam bidang kontrak/perjanjian.
Masalah-masalah HPI yang masih dapat diselesaikan dengan doktrin Renvoi adalah
masalah validitas pewarisan, tuntutan- tuntutan atas benda-benda tetap di negara asing,
perkara-perkara menyangkut benda bergerak, dan masalah dalam lapangan hukum keluarga.
Doktrin renvoi harus digunakan sebagai alat bagi hakim untuk merekayasa penentuan lex
causae ke arah sistem hukum yang dianggap akan memberikan putusan yang dianggapnya
terbaik. Jadi, dapatlah dikataan bahwa penggunaan lembaga renvoi dalam penyelesaian perkara
HPI hanya dimungkinkan:
a. Apabila hakim hendak meberlakukan sistem hukum lain selain dari lex causae yang
seharusnya berlaku berdasarkan penunjukkan oleh kaidah HPI Lex Fori.
b. Apabila kaidah-kaidah HPI dari Lex fori dan sistem hukum asing yang seharusnya berlaku
tidak menggunakan titik taut sekunder yang sama.
c. Apabila fakta-fakta dalam perkara memungkinkan penunjukkan kembali/lebih lanjut oleh
kaidah HPI asing kembali ke arah lex fori (remission) atau kearah sistem hukum ketiga
(transmission).

10
Dari penjelasan di atas masih dapat diajukan pertanyaan lain, yaitu bilamana suatu
forum dapat dikatakan menerima atau menolak suatu penunjukkan kembali melalui proses
renvoi. Penerimaan atau penoolakan renvoi adalah sikap atau policy yang dianut oleh suatu
sistem hukum tertentu atau seorang hakim tertentu. Hal ini perlu disinggung untuk menegaskan
bahwa suatu proses renvoi betul betul merupakan tindakan oleh sebuah pengadilan/hakim yang
dilandasi oleh proses berpikir hakim sendiri dan sama sekali tidak melibatkan forum asing yang
akan menunjuk kembali ke arah forum yang pertama.
Ada beberapa hal yang mungkin terjadi misalnmya:
a. Jika kaidah HPI suatu sistem hukum (lex fori) menunjuk ke arah suatu sistem hukum asing
dan penunjukkan itu langsung dianggap sebagai sachnormverweisung ke arah kaidah-
kaidah hukum intern asing dapat disimpulkam bahwa hakim telah menolak renvoi.
b. Jika kaidah HPI suatu sistem hukum (lex fori) menunjuk ke arah suatu sistem hukum asing
dan penunjukkan ini dianggap sebagai gesamtverweisung (termasuk kaidah-kaidah HPI
asing), ada kemunginan bahwa kaidah HPI sistem hukum asing itu akan menunjuk
kembali ke arah lex fori atau menunjuk lebih lanjut ke arah sistem hukum ketiga,
penunjukkan inilah yang disebut dengan proses renvoi.
c. Jika penunjukkan kembali ke arah lexfor dianggap sebagai penunjukkan ke arah seluruh
sistem hukum lex fori, termasuk kaidah-kaidah HPI lex fori (gesamtverweisung), fakta ini
menunjukkan bahwa forum teaah menolak renvoi.
d. Namun jika hakim (lex fori) menganggap bahwa penunjukkan kembali atau lebih lanjut
dianggap sebagai sachnormverweisung dan mengarah pada kaidah-kaidah hukum intern
lex fori, (atau sistem hukum asing lain), pengadilan dalam hal ini dianggap telah
menerima renvoi.

2.5 Contoh Kasus

Kasus posisi
Forgo adalah seorang yang berwarga negara Bavaria (Jerman), ia berdomisili di Prancis
sejak berusia lima tahun tanpa memperoleh kewarganegaraan Prancis. Kemudain Forgo
meninggal dunia di Prancis secara ab intestatis (tanpa meninggalkan testamen), di mana
sebelumnya Forgo adalah seorang anak luar kawin yang telah meninggalkan sejumlah barang
bergerak di Prancis. Akhirnya perkara pembagian harta warisan Forgo di ajukan di depan
pengadilan Prancis
Permasalahannya adalah berdasarkan pada hukum mana pengaturan pembagian warisan
itu dilakukan? berdasarkan hukum Bavaria ataukah hukum Prancis. Oleh karena kaidah

11
HPI lex fori Perancis menegaskan “persoalan pewarisan benda-benda bergerak harus diatur
berdasarkan kaidah-kaidah hukum dari tempat di mana pewaris menjadi warga negara.”
Sementara Forgo sendiri berasal dari warga negara Bavaria yang menurut versi HPI Prancis.
Kaidah HPI Bavaria menegaskan bahwa “pewarisan benda-benda bergerak harus diatur
berdasarkan hukum dari tempat di mana pewaris bertempat tinggal sehari-hari.
Fakta Hukum
a. Hukum perdata inter bavaria menetapkan bahwa saudara-saudar kandung dari seorang
anak luar kawin tetap berhak untuk menerima harta peninggalan dari anak luar kawin yang
bersangkutan.
b. Hukum perdata inter prancis menetapkan bahwa harta peninggalan dari seorang anak luar
kawin jatuh ketangan negara.
c. Kaidah HPI bavaria menetapkan bahwa pewarisan benda-benda bergerak harus tunduk
pada hukum dari tempat di mana pewaris bertempat tinggal sehari-hari (habitual residence)
d. Kaidah HPI prancis menetapkan bahwa persoalan pewarisan benda0benda bergerak harus
di atur berdasarkan hukum dari tempat di mana pewaris menjadi warga negara.
Dengan mekanisme renvoi Proses penyelesaian masalah tersebut di atas melalui beberapa
tahap:
1. Pada tahap pertama hakim Prancis melakukan penunjukan ke arah hukum Bavaria
sesuai perintah kaidah HPI Prancis.
2. Tampaknya hakim Prancis menganggap penunjukan itu sebagai gesamtverweisung se
hingga meliputi pula kaidah-kaidah HPI Bavaria.
3. Sementara kaidah HPi Bavaria yang menyangkut pewarisan benda-benda bergerak,
menetapkan bahwa hukum yang harus digunakan untuk mengatur hal itu adalah hukum
dari tempat tinggal si Pewaris. Jadi kaidah HPI Bavaria menunjuk kembali ke arah
hukum Prancis (hukum dari tempat kediaman tetap si Pewaris). Pada tahap ini baru
dapat dikatakan terjadi renvoi.
4. Hakim Prancis ternyata kemudian menganggap bahwa “penunjukan kembali” oleh
kaidah HPI Bavaria sebgai suatusachnormverweisung (penunjukan ke arah kaidah-
kaidah hukum intern Prancis) dalam teori HPI sikap hakim lex foriini dikatakan
menerima renvoi.
5. Beradasarkan anggapan hakim tersebut, hakim lalu memberlakukan kaidah hukum
waris Prancis dan pada akhirnya saudara-saudara Forgo tidak bisa mendapatkan harta
warisan, oleh karena aturan HPI yang berlaku adalah HPI Prancis. Dan HPI Prancis
akhirnya memutuskan terhadap harta Forgo jatuh ke tangan pemerintahan Prancis.

12
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Renvoi secara mendasar merupakan teori didalam Hukum Perdata Internasional dimana
terjadinya suatu penunjukkan kembali sebuah sistem hukum tertentu karena adanya ketentuan
untuk itu yang dinyatakan pada sistem hukum itu kembali kepada sistem hukum awal yang
kemudian dipakai untuk menyelesaikan suatu kasus HATAH atau lebih spesifiknya dalam
kasus-kasus Keperdataan Internasional. Renvoi merupakan salah satu prinsip/teori hukum yang
penting didalam dinamika Keperdataan Internasional dan hadir akibat adanya dinamika yang
sangat berwarna dalam sistem-sitem serta kaidah-kaidah HPI yang ada didalam negara-negara.
Renvoi laksananya dapat diaplikasikan melihat bahwa memang sebuah kasus hendak menuntut
pemberlakukannya terutama bilamana kasus itu erat kaitannya dengan status personil
seseorang. Hal itu terbit bilamana misalkan sebuah kasus berkaitan dengan status
kewargangeaan seseorang dan apabila dalam sebuah kasus domisili seseorang dipertanyakan.
Renvoi sendiri terbagi dalam tiga bentuk dalam aplikasinya bagi kasus-kasus dan
pemberlakuannya tergantung juga dalam bagaimana kaidah HPI suatu negara memandang
Renvoi itu sendiri. Ketika sebuah kasus hadir, ada perbedaan dalam hukum perdata
internasional dua negara. Perbedaan tersebut terletak dalam tiga solusi pemberlakuan Renvoi
yang antara lain ialah:

 Pengambilan makna suatu hukum negara sebagai hukum internal negara itu,
 Adanya aplikasi Single Renvoi,
 Serta adanya aplikasi doktrin Total Renvoi.
Adapun mengenai aplikasinya dalam kasus Keperdataan Internasional, terlihat dengan
nyata bahwa penggunaanya oleh Hakim tergantung daripada seberapa jelas posisi kasus
tersebut bilamana kasus tersebut berkaitan erat dengan staus personil seseorang. Penggunaan
Renvoi dalam kasus yang ditelaah diatas maupun dalam contoh-contoh yang disarikan demi
kejelasan Remvoi hadir untuk menyelesaikan persoalan bilamana domisili seseorang belum
tentu jelas, ataupun bilamana status kewarganegaraa seseorang dipertanyakan.
1. Renvoi adalah penunjukan kembali atau penunjukan lebih lanjut oleh kaidah-kaidah
HPI dari suatu sistem hukum asing yang ditunjuk oleh kaidah HPI lex for
2. Macam-macam renvoi ;

13
a. Remission ( penunjukan kembali, rujkverwesung, terugverwijzing )
b. Tarnsmission ( penunjukan lebih lanjud,Weiterverweisung, verderverwijzing)
3. Prinsip-prinsip Renvoi dalam HPI
a. Asas Pacta Sunt Servanda
b. Asas Konsensualisme
c. Asas Good Faith atau Kejujuran
d. Asas Timbal Balik
e. Asas Transparansi
4. Penggunaan Renvoi dalam HPI
5. Contoh kasus orgo dalam remission
6. Menurut Cheshire, doktrin renvoi ini tidak dapat digunakan disemua jenis perkara HPI.

14
DAFTAR PUSTAKA

Alam, A. P., Woods, J. A., & Ardiansyah, R. Teori Renvoi dan Aplikasinya dalam Kasus
Keperdataan Internasional.

Hardjowahono, B. S. (2006). Dasar-Dasar Hukum Perdata Internasional. Bandung: Citra


Aditya Bakti.

Budzaina, A., Azzahra, A., Hanifah, A., Oktalina, A., Wandita, C. A., Ramadan, D., ... &
Ma'ruf, M. (2023). PENGANTAR HUKUM PERDATA INTERNASIONAL.

Dasar-Dasar Perdata Internasional , Bandung ; Citra Aditya Bakti,2013 www.google

Ida Bagus Wyasa Putra, dkk., 2016, Diktat Hukum Perdata Internasional,
Denpasar: Fakultas Hukum Universitas Udayana. Indonesia. Jakarta:
Bina Cipta. Internasional. Bandung: Citra Aditya Bakti.

Khairandy, R. (2007). Pengantar hukum perdata internasional. Fakultas Hukum Universitas


Islam Indonesia (FH UII) Press.
Gautama, S. (1977). Pengantar Hukum Perdata Internasional Indonesia. Bina Cipta.

15

Anda mungkin juga menyukai