Anda di halaman 1dari 40

POLA PENYEBARAN DAN STRUKTUR POPULASI

SALAGUNDI (Roudholia teysmanii) DI DESA SIMORANGKIR


JULU, KABUPATEN TAPANULI UTARA

SKRIPSI

MUHAMMAD RIZKY
141201126

DEPARTEMEN BUDIDAYA HUTAN


FAKULTAS KEHUTANAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
2018

i
Universitas Sumatera Utara
POLA PENYEBARAN DAN STRUKTUR POPULASI
SALAGUNDI (Roudholia teysmanii) DI DESA SIMORANGKIR
JULU, KABUPATEN TAPANULI UTARA

SKRIPSI

OLEH
MUHAMMAD RIZKY
141201126

DEPARTEMEN BUDIDAYA HUTAN


FAKULTAS KEHUTANAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
2018

ii
Universitas Sumatera Utara
POLA PENYEBARAN DAN STRUKTUR POPULASI
SALAGUNDI (Roudholia teysmanii) DI DESA SIMORANGKIR
JULU, KABUPATEN TAPANULI UTARA

SKRIPSI

Oleh :
MUHAMMAD RIZKY
141201126

Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh


gelar sarjana di Fakultas Kehutanan
Universitas Sumatera Utara

DEPARTEMEN BUDIDAYA HUTAN


FAKULTAS KEHUTANAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
2018

iii
Universitas Sumatera Utara
iv
Universitas Sumatera Utara
ABSTRAK

MUHAMMAD RIZKY: Pola Penyebaran dan Struktur Populasi Salagundi


(Roudholia teysmanii) di Desa Simorangkir Julu, Kabupaten Tapanuli Utara.
Dibimbing oleh Dr. Kansih Sri Hartini, S. Hut., MP.

Indonesia merupakan negara megabiodiversitas dengan kekayaan hayati


yang melimpah. Salagundi (Roudholia teysmanii) merupakan salah satunya.
Spesies ini belum banyak dikenal namun cukup berpotensi.Sampai saat ini
populasi Salagundi masih terbatas. Masyarakat sekitar sering memanfaatkan
kayunya untuk berbagai kepentingan, salah satunya untuk tiang rumah.
Pemanfaatan yang berlebihan dapat mengancam keberadaannya di alam.Pola
penyebaran dan struktur populasi merupakan salah satu cara untuk mengkaji
keadaan populasi suatu jenis. Berdasarkan kajian tersebut dapat disimpulkan
apakah populasi spesies sudah mendekati langka, kritis atau berkembang.Tujuan
penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi pola penyebaran dan
mengidentifikasi struktur populasi Salagundi di Desa Simorangkir Julu,
Kabupaten Tapanuli Utara, Sumatera Utara. Pengumpulan data lapangan
dilakukan dengan menggunakan teknik analisis vegetasi berupa kombinasi antara
jalur dan garis berpetak. Hasil penelitian menunjukkan pola penyebaran Salagundi
pada tingkat semai sampai pohon adalah mengelompok dengan nilai indeks
Morisita (Ip) 0,51 – 0,53. Kurva struktur populasi salagundi berbentuk huruf J
terbalik. Hal tersebut menunjukkan kondisi populasi yangsedang berkembang
denganregenerasi yang berjalan dengan baik.

KATA KUNCI : Keanekaragaman, Penyebaran, Struktur, Salagundi.

iv

Universitas Sumatera Utara


ABSTRACT

MUHAMMAD RIZKY: Distribution Pattern and Population Structure Salagundi


(Roudholia teysmanii) in Simorangkir Julu Village, North Tapanuli Regency
Supervised by Dr. Kansih Sri Hartini, S. Hut., MP.

Indonesia is a megabiodiversity country with abundant of flora and fauna.


One of those flora which is lesser-known and potential species is Salagundi
(Roudholia teysmanii). In the present, the population and information of
Salagundi is limited. The community surrounding area often use the wood for
various uses which is as home poles. Excessive use can threaten its existence in
nature. Distribution patterns and population structures are one way to assess the
state of a species. Based on the study, it can be concluded whether the population
of species is approaching rare, critical or developing. The purpose of this study
was to identify the pattern of distribution and identify the Salagundi population
structure in Simorangkir Julu Village, North Tapanuli Regency, North Sumatra.
Field data collection was carried out using vegetation analysis techniques in the
form of a combination of path and plot lines.The results showed that the
distribution pattern of Salagundi at the seedling to tree level was clumped with
the Morisita (Ip) index value of 0.51 - 0.53. The population structure curve was
the J-shaped reversed. This shows the condition of the population is developing
with regeneration that goes well.

KEY WORDS: Diversity, Distribution, Structure, Salagundi.

ii
vi
Universitas Sumatera Utara
RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Desa Bandar Pasir Mandoge, Kabupaten Asahan, 22

September 1996 sebagai anak ketiga dari tiga bersaudara dari ayah Aminto dan

Ibu Siti Fatimah. Penulis memulai pendidikan di SD Negeri 016402 Bandar Pasir

Mandoge pada tahun 2002 hingga tahun 2008. Pada tahun 2008 hingga 2011

penulis melanjutkan pendidikan di SMP Swasta PTPN IV Bandar Pasir Mandoge

dan selanjutnya di SMA Negeri 1 Bandar Pasir Mandoge pada tahun 20011

hingga 2014. Penulis melanjutkan pendidikan ke jenjang perguruan tinggi di

Universitas Sumatera Utara melalui jalur Seleksi Bersama Masuk Perguruan

Tinggi Negeri (SBMPTN) pada tahun 2014 dan diterima sebagai mahasiswa pada

Departemen Budidaya Hutan, Fakultas Kehutanan.

Selama mengikuti perkuliahanpenulis aktif sebagai anggota BKM Baytul

Asyjaar Fakultas Kehutanan USU. Penulis melaksanakan Praktek Pengenalan

Ekosistem Hutan (P2EH) di Desa Nagalawan, Kecamatan Perbaungan, Kabupaten

Deli Serdang pada bulan Agustus 2016.Penulis melaksanakan kegiatan Praktek

Kerja Lapangan (PKL) di Perum Perhutani Unit I Jawa Tengah KPH Kedu Utara

pada bulan Februari sampai Maret 2018. Penulis melaksanakan penelitian di Desa

Simorangkir Julu, Kecamatan Siatas Barita, Kabupaten Tapanuli Utara, Provinsi

Sumatera Utara dengan judul penelitian “Pola penyebaran dan Struktur Populasi

Salagundi (Roudholia teysmanii) di Desa Simorangkir Julu, Kabupaten Tapanuli

Utara”.

iii
vii
Universitas Sumatera Utara
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT atas segala rahmat dan

nikmat yang telah diberikan sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas akhir

(skripsi) yang berjudul “Pola Penyebaran dan Struktur Populasi Salagundi

(Roudholia teysmanii) di Desa Simorangkir Julu, Kabupaten Tapanuli Utara”.

Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana

Kehutanan di Departemen Budidaya Hutan, Fakultas Kehutanan USU.

Pada kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terimakasih kepada

Dr. Kansih Sri Hartini, S.Hut.,M.P selaku dosen pembimbing yang telah

membimbing dan memberikan masukan kepada penulis. Penulis juga

mengucapkan terimakasih kepada Kepala Desa Simorangkir Julu dan warga

setempat yang telah membantu penulis dalam mengumpulkan data.

Di samping itu, penulis juga mengucapkan terima kasih kepada seluruh

staf pengajar dan pegawai di Program Studi Kehutanan, Fakultas Kehutanan serta

abang/kakak/adik/teman-teman yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu

yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. Semoga skripsi ini

bermanfaat.

Medan, Oktober 2018

Penulis

ivviii

Universitas Sumatera Utara


DAFTAR ISI

Halaman
ABSTRACT ...................................................................................................... i
ABSTRAK ........................................................................................................ ii
RIWAYAT HIDUP .......................................................................................... iii
KATA PENGANTAR ...................................................................................... iv
DAFTAR ISI ..................................................................................................... v
DAFTAR TABEL.............................................................................................. vii
DAFTAR GAMBAR ......................................................................................... viii
PENDAHULUAN
Latar Belakang ............................................................................................ 1
Tujuan Penelitian ......................................................................................... 3
Manfaat Penelitiaan ..................................................................................... 3

TINJAUAN PUSTAKA
Keanekaragaman Hayati .............................................................................. 4
Morfologi Pohon Salagundi (Roudholia teysmanii) .................................... 5
Deskripsi Salagundi (Roudholia teysmanii) Di Lokasi Penelitian ............... 6
Kawasan Hutan Desa Simorangkir julu ....................................................... 6
Pola Penyebaran ........................................................................................... 7
Struktur Populasi .......................................................................................... 10

METODE PRAKTIKUM
Waktu dan Tempat Penelitian ...................................................................... 12
Alat dan Bahan Penelitian ............................................................................ 12
Metode Pengumpulan Data .......................................................................... 12
Jenis Data ................................................................................................ 12
Pengumpulan Data .................................................................................. 13
Metode Pengolahan Data ............................................................................. 15
Pola Penyebaran ...................................................................................... 15
Struktur Populasi ..................................................................................... 16

HASIL DAN PEMBAHASAN


Pola penyebaran ........................................................................................... 18
Struktur populasi .......................................................................................... 21
Faktor fisik lingkungan ............................................................................... 24

KESIMPULAN DAN SARAN


Kesimpulan .................................................................................................. 26
Saran ........................................................................................................... 26

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 27

v ix

Universitas Sumatera Utara


DAFTAR TABEL

No. Halaman
1. Pola penyebaran salagundi (Roudholia teysmanii) ...................................... 18

2. Struktur populasi salagundi (Roudholia teysmanii) ..................................... 21

3. Karakter fisik lingkungan............................................................................. 24

vi x

Universitas Sumatera Utara


DAFTAR GAMBAR

No. Halaman
1. Tiga pola dasar sebaran spasial individu dalam suatu habitat(a) acak,

(b) mengelompok, (c) seragam ...................................................................... 9

2. Desain jalur pengamatan ............................................................................... 14

3. Bagan jalur dan petak pengamatan ................................................................ 14

4. Salagundiyang tumbuh mengelompok pada tempat yang ternaungi namun

masih mendapatkan sinar matahari ............................................................... 19

5. Kurva struktur populasi salagundi (Roudholia teysmanii) ............................ 22

6. Bekas tebangan salagundi (Roudholia teysmanii) .......................................... 23

vii
xi
Universitas Sumatera Utara
1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Indonesia merupakan negara yang memiliki keanekaragaman hayati yang

melimpah baik flora maupun fauna. Kekayaan keanekaragaman hayati ini

memberikan keuntungan yang besar bagi masyarakat.Keanekaragaman floradi

Indonesia sangatlah banyak, hal ini dipengaruhi oleh berbagai faktor yang

mendukung persebaran tersebut.Meningkatnya jumlah populasi manusia, maka

meningkat pula permintaan akan ketersediaan lahan untuk permukiman dan lahan

pekerjaan. Akibat pembukaan lahan tersebut membuat berkurangnya lahan hijau

pada hutan yang berdampak pula penurunan keanekaragaman hayati yang ada di

hutan.

Saat ini keanekaragaman hayati Indonesia mengalami ancaman yang

serius, seiring dengan laju kehilangan hutan setiap tahunnya. Tekanan terus

menerus terhadap keanekaragaman hayati Indonesia yang unik berasal dari

tingginya laju perubahan habitat, deforestasi, eksploitasi yang berlebihan,

kebakaran hutan, penebangan illegal dan perdagangan untuk mempercepat laju

ekonomi, tingginya pertumbuhan penduduk dan institusi yang korup

(Bappenas, 2003).

Menurut Wirakusumah (2003), pada dasarnya tidak ada ekosistem yang

homogen, pada sebaran relung yang sempit sekalipun karena pengaruh

mikrohabitat ekosistem beragam (heterogen) lebih-lebih pada hamparan

lingkungan yang luas misalnya, disebabkan perbedaan topografi. Perbedaan faktor

lingkungan secara alami itu sangat besar dari satu tempat ke tempat lain hingga

Universitas Sumatera Utara


2

heterogenitas ekosistem bersifat alamiah, pada gilirannya keanekaragaman

komunitas yang sangat heterogen juga merupakan sifat komunitas secara alamiah.

Segala aspek komunitas pada ruangan yang berlainan termasuk struktur

komunitas dengan fenomenanya yang terkait seperti stabilitas atau penyebaran

geografik populasi dan komunitas tertentu.

Distribusi jenis tumbuhan di alam dapat disusun dalam tiga pola dasar,

yaitu acak, teratur dan mengelompok.Pola distirbusi demikian erat hubungannya

dengan kondisi lingkungan. Organisme pada suatu tempat bersifat saling

bergantung, dan tidak terikat berdasarkan kesempatan semata, dan bila terjadi

gangguan pada suatu organisme atau sebagian faktor lingkungan akan

berpengaruh terhadap komunitas (Kuchler, 1967).

Di Indonesia sudah dikenal 400 jenis kayu yang dianggap penting, 267

dikenal dalam perdagangan dan 133 digolongkan dalam kelompok kayu kurang

dikenal. Saat ini umumnya pemanfaatan kayu kurang dikenal belum disesuaikan

dengan sifatnya.Salagundi memiliki Kayu yang keras dengan berat jenis yang

termasuk kelas tinggi (0.80 -0.86) sehingga jenis ini cocok untuk produksi bahan

baku yang memerlukan kekuatan. Seratnya lurus dan halus, cocok untuk kusen

indah dan mebel-mebel yang menampilkan serat indah (Pasaribu, 2017).

Kayu Salagundi oleh masyarakat sering digunakan untuk tiang pancang

rumah.Bentuk pohon dan pancang yang lurus dari jenis ini, menjadikan sering

dieksploitasi dalam bentuk tiang (Saragih dkk, 2016). adanya hal tersebut maka

menyebabkan tumbuhan Salagundi mengalami penurunan jumlah, oleh karena itu

perlu diketahui tentang struktur populasi tumbuhan Salagundi yang diamati

berdasarkan tingkat pertumbuhan pohon menurut Mas’ud (1998), meliputi jumlah

Universitas Sumatera Utara


3

semai (seedling), pancang (sapling), tiang (poles), dan pohon (trees), untuk

mengkaji apakah tumbuhan tersebut sudah mendekati langka, kritis atau

berkembang.

Tujuan Penelitian

Penelitian mengenai pola penyebaran dan struktur populasi Salagundi

(Roudholia teysmanii) di Desa Simorangkir Julu, Kabupaten Tapanuli Utara

bertujuan :

1. Mengidentifikasi pola penyebaran Salagundi (Roudholia teysmanii) di

Desa Simorangkir Julu, Kabupaten Tapanuli Utara.

2. Mengidentifikasi struktur populasi Salagundi (Roudholia teysmanii) di

Desa Simorangkir Julu, Kabupaten Tapanuli Utara.

Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat menambah khasanah ilmu pengetahuan

tentang ekologi salagundi (Roudholia teysmanii) mengingat literatur mengenai

jenis ini masih sangat terbatas.Hasil dari penelitian ini juga dapat digunakan

sebagai informasi untuk masukan kepada pihak terkait untuk melestarikan hutan

khususnya jenis Salagundi (Roudholia teysmanii).yang terdapat di Desa

Simorangkir Julu, Kabupaten Tapanuli Utara.

Universitas Sumatera Utara


4

TINJAUAN PUSTAKA

Keanekaragaman Hayati

Keanekaragaman hayati atau biodiversitas adalah semua kehidupan di atas

bumi ini baik tumbuhan, hewan, jamur dan mikroorganisme serta berbagai materi

genetik yang dikandungnya dan keanekaragaman sistem ekologi di mana mereka

hidup.Termasuk didalamnya kelimpahan dan keanekaragaman genetik relatif dari

organisme-organisme yang berasal dari semua habitat baik yang ada di darat, laut

maupun sistem-sistem perairan lainnya (Global Village Translations, 2007).

Keanekaragaman makhluk hidup atau keanekaragaman hayati memiliki arti yang

penting untuk menjaga kestabilan ekosistem. Syamsuri (1997) dan Ellenberg

(1988), menjelaskan bahwa tumbuhan merupakan produsen yang menjadi sumber

energi dalam suatu daur kehidupan dan sebagai indikator kondisi suatu

lingkungan.Terkait dengan peranan tersebut maka pengelolaan kawasan hutan

perlu ditingkatkan secara terpadu dan berwawasan lingkungan agar fungsi tanah,

air, udara, iklim, dan lingkungan hidup terjamin (Zain, 1998). Keanekaragaman

hayati dapat digolongkan menjadi tiga tingkatan (Indrawan, 2007) :

a) Keanekaragaman spesies

Keanekaragaman spesies mencakup seluruh spesies yang ditemukan di

bumi, termasuk bakteri dan protista serta spesies dari kingdom bersel banyak

(tumbuhan, jamur, hewan, yang bersel banyak atau multiseluler). Spesies dapat

diartikan sebagai sekelompok individu yang menunjukkan beberapa karakteristik

penting berbeda dari kelompok-kelompok lain baik secara morfologi, fisiologi

atau biokimia. Definisi spesies secara morfologis ini yang paling banyak

Universitas Sumatera Utara


5

digunakan oleh pada taksonom yang mengkhususkan diri untuk

mengklasifikasikan spesies dan mengidentifikasi spesimen yang belum diketahui.

b) Keanekaragaman genetik

Keanekaragaman genetik merupakan variasi genetik dalam satu spesies

baik di antara populasi-populasi yang terpisah secara geografik maupun di antara

individu-individu dalam satu populasi. Individu dalam satu populasi memiliki

perbedaan genetik antara satu dengan lainnya. Variasi genetik timbul karena

setiap individu mempunyai bentuk-bentuk gen yang khas. Variasi genetik

bertambah ketika keturunan menerima kombinasi unik gen dan kromosom dari

induknya melalui rekombinasi gen yang terjadi melalui reproduksi seksual.

Proses inilah yang meningkatkan potensi variasi genetik dengan mengatur ulang

alela secara acak sehingga timbul kombinasi yang berbeda-beda.

c. Keanekaragaman ekosistem

Keanekaragaman ekosistem merupakan komunitas biologi yang berbeda

serta asosiasinya dengan lingkungan fisik (ekosistem) masing- masing.

Morfologi Pohon Salagundi (Roudholia teysmanii)

Pohon Salagundi memiliki tinggi mencapai 13 meter dengan tinggi batang

bebas cabang 9 m sedangkan diameter berkisar 36- 45 cm. Pohon ini tidak

memiliki banir apabila ada, ukurannya sangat kecil berupa bagian batang pohon

yang menonjol.Tajuk pohon berupa tajuk payung dengan percabangan yang

jarang.Daun berbentuk ellips berkelompok pada bagian ranting. Kulit pohon

beralur pendek, berwarna coklat dan terdapat bagian yang putih, tebal kulit

berkisar 0,6 – 0,8 cm. Kulit sangat mudah dipisahkan dengan bagian batang

pohon dan terdapat kambium yang sangat licin.Warna kayu coklat kemerahan

Universitas Sumatera Utara


6

pada bagian gubal dan gelap (coklat tua) pada bagian kayu teras. Antara kayu

gubal dan kayu teras terdapat perbedaan warna yang sangat kontras. Tekstur kayu

halus dengan arah serat yang lurus (Pasaribu, 2017).

Deskripsi Salagundi (Roudholia teysmanii) Di Lokasi Penelitian

Kayu Salagundi oleh masyarakat sering digunakan untuk tiang pancang

rumah.Bentuk pohon dan pancang yang lurus dari jenis ini, menjadikan sering

dieksploitasi dalam bentuk tiang. Tegakan Salagundi pada lokasi penelitian ini

merupakan tanaman yang ditanam warga pada sekitar tahun 1995 dengan luas

sekitar 23 Ha untuk dimanfaatkan sebagai bahan kontruksi tiang bangunan oleh

karena bentuk batang tanaman ini silindris,lurus dan tidak memiliki cabang yang

banyak. Namun, pada tegakan salagudi terdapat hutan heterogen yang tidak

didominasi mutlak oleh pohon Salagundi tetapi juga terdapat pohon pinus,

motung, medang, haumbang, harumonting sehingga ekosistemnya lebih stabil dan

lebih lengkap pada setiap tingkatan yaitu semai, pancang, tiang dan pohon

(Saragih dkk, 2016).

Kawasan Hutan Desa Simorangkir julu

Simorangkir Julu merupakan nama desa yang berada di Kecamatan Siatas

Barita, Kabupaten Tapanuli Utara, Provinsi Sumatera Utara, Indonesia. Desa ini

berada di daerah wisata Salib Kasih. Dilihat dari lokasinya, Desa Simorangkir

Julu berada di daerah kawasan Hutan Produksi Terbatas (HPT) dan sering

digunakan sebagai lahan pertanian, lalu lintas, lokasi pencarian kayu bakar, dan

pembangunan sarana dan prasarana wisata (Pemkab Taput, 2014).

Berdasarkan klasifikasi Schmidt dan Ferguson Desa Simorangkir Julu

termasuk kedalam klasifikasi type B dengan curah hujan rata-rata pertahun 2.000

Universitas Sumatera Utara


7

s/d 4.000 mm. Suhu udara minimum 150 C dan maksimum 300 C dengan

kelembaban rata-rata berkisar antara 90-100%. Keadaan vegetasi di hutan Desa

Simorangkir Julu merupakan tipe hutan tropis dengan didominasi oleh tumbuhan

jenis Tusam. Beberapa jenis satwa yang dapat dijumpai antara lain, Kera,

Siamang, Ayam hutan dan beberapa jenis burung. Di samping keadaan alamnya

sendiri yang potensial sebagai tempat wisata, juga keindahan alam sekitar salib

kasih. Beberapa kegiatan wisata yang dapat dilakukan antara lain : lintas alam,

berkemah, dan rekreasi santai. Sarana kemudahan dan pelayanan yang tersedia

antara lain jalan setapak. Untuk mencapai lokasi desa simorangkir julu melalu rute

: Medan – Tebing Tinggi – Pematang Siantar – Tarutung – lokasi, 450 km

(Pemkab Taput, 2014).

Pola Penyebaran

Beberapa penelitian menunjukkan bahwa tumbuhan tersebar di alam

secara tidak merata (tidak mempunyai jarak yang sama) disebabkan perbedaan

kondisi lingkungan, sumber daya, tumbuhan tetangga, dan gangguan yang

merupakan faktor yang mempengaruhi pola dinamika populasi tumbuhan.

Perbedaan perangkat kondisi lingkungan tersebut tidak hanya memodifikasi

distribusi dan kelimpahan individu, tetapi juga merubah laju pertumbuhan,

produksi biji, pola percabangan, area daun, area akar, dan ukuran

individu.Distribusi, survival, pola pertumbuhan serta reproduksi mencerminkan

adaptasi tumbuhan terhadap lingkungan tertentu.Keadaan tersebut menjadi suatu

bagian penting dalam ekologi tumbuhan (Syamsurizal, 2000).

Penyebaran spesies dalam tingkat komunitas dan organisasi ekologi

bersifat unik. Cox (1972) mengungkapkan bahwa komunitas vegetasi dengan

Universitas Sumatera Utara


8

penyebaran spesies yang lebih besar akan memiliki jaringan kerja lebih kompleks

daripada komunitas dengan penyebaran spesies yang rendah. Penyebaran spesies

tumbuhan dapat terjadi secara vertikal maupun horizontal.Penyebaran secara

vertikal suatu spesies sangat dipengaruhi oleh adanya perbedaan intensitas cahaya

matahari.Spesies yang memiliki tajuk yang tinggi paling teratas berada pada

kondisi yang penuh cahaya (100%), sedangkan spesies dengan tajuk yang rendah

dan dekat permukaan tanah berada dalam kondisi yang kurang cahaya.Penyebaran

spesies tumbuhan secara horizontal merupakan penyebaran yang sangat komplek.

Menurut Surasana (1990), Penyebaran atau distribusi individu dalam

populasi bisa bermacam-macam, pada umumnya memperlihatkan tiga pola

penyebaran, yaitu :

1. Penyebaran secara acak, jarang terdapat di alam. Penyebaran ini biasanya

terjadi apabila faktor lingkungan sangat seragam untuk seluruh daerah

dimana populasi berada, selain itu tidak ada sifat-sifat untuk berkelompok

dari organisme tersebut. Dalam tumbuhan ada bentuk-bentuk organ

tertentu yang menunjang untuk terjadinya pengelompokan trmbuhan.

2. Penyebaran secara merata, penyebaran ini umumnya terdapat pada

tumbuhan. Penyebaran semacam ini terjadi apabila da persaingan yang

kuat antara individu-individu dalam populasi tersebut. Pada tumbuhan

misalnya persaingan untuk mendapatkan nutrisi dan ruang.

3. Penyebaran secara berkelompok, penyebaran ini yang paling umum

terdapat di alam, terutama untuk hewan.

Universitas Sumatera Utara


9

Gambar 1. Tiga pola dasar sebaran spasial individu dalam suatu habitat (a) acak,
(b) mengelompok, (c) seragam (Ludwigs & Reynolds 1988).
Odum (1998), juga menyatakan bahwa individu dalam suatu populasi

menyebar mengikuti tiga pola, yaitu acak (random), mengelompok (clumped) dan

seragam (uniform). Pola sebaran random sangat jarang ditemui di alam dan hanya

akan terjadi bila kondisi lingkungan seragam dan tidak ada kecenderungan

terjadinya agregasi. Pola penyebaran uniformakan terjadi bila tingkat kompetisi

antar individu sama atau terjadi hubungan antagonis positif yang mendukung

penyebaran keruangan. Pola penyebaran clumped merupakan pola penyebaran

yang paling umum. Pola ini dibagi lagi menjadi tiga, yaitu random clumped,

uniform clumped dan aggregated clumped.

Terbentuknya pola sebaran tersebut dipengaruhi oleh berbagai mekanisme.

Berbagai proses interaksi baik biotik dan abiotik saling berkontribusi untuk

membentuk pola sebaran tersebut. Suatu pola sebaran acak dalam populasi

organisme disebabkan oleh lingkungan yang homogen dan pola perilaku non

selektif. Di sisi lain, pola sebaran non-acak (mengelompok dan seragam)

menunjukkan adanya suatu pembatas pada populasi yang ada. Pola mengelompok

disebabkan oleh adanya individu-individu yang akan berkelompok dalam suatu

habitat yang sesuai dengan kebutuhan hidupnya. Sebaran seragam merupakan

hasil dari adanya interaksi negatif antar individu, misalkan adanya kompetisi atas

makanan dan ruang tumbuh (Lestari, 2011).

Universitas Sumatera Utara


10

Pola sebaran suatu spesies dapat diidentifikasi dengan menggunakan

berbagai macam indeks sebaran, antara lain dengan rasio varian dan mean, Indeks

Clumping, Koefisien Green, Indeks Morisita, Standarisasi Indeks Morisita dan

rasio antara kepadatan observasi dengan kepadatan harapan (Rani, 2003).

Struktur Populasi

Populasi didefinisikan sebagai kelompok kolektif organisme. Organisme

dan spesies yang sama (kelompok-kelompok lain di mana individu-individu dapat

bertukar informasi genetika) menduduki ruang atau tempat tertentu, memiliki

berbagai ciri atau sifat yang merupakan sifat milik individu di dalam kelompok

itu. Populasi mempunyai sejarah hidup dalam arti mereka tumbuh, mengadakan

pembedaan-pembedaan dan memelihara diri seperti yang dilakukan oleh

organisme. Sifat-sifat kelompok seperti laju kelahiran, laju kematian,

perbandingan umur, dan kecocokan genetik hanya dapat diterapkan pada populasi

(Odum,1998).

Populasi cenderung diatur oleh komponen-komponen fisik seperti cuaca,

arus air, faktor kimia yang membatasi pencemaran dan sebagainya dalam

ekosistem yang mempunyai keanekaragaman rendah atau dalam ekosistem yang

menjadi sasaran gangguan-gangguan luar yang tidak dapat diduga, sedangkan

dalam ekosistem yang mempunyai keanekaragaman tinggi, populasi cenderung

dikendalikan secara biologi dan seleksi alam.Faktor negatif ataupun positif bagi

populasi adalah, Ketidaktergantungan pada kepadatan (density independent),

apabila pengaruhnya tidak tergantung dari besarnya populasi. Contohnya iklim

sering kali, tetapi tidak berarti selalu.Ketergantungan pada kepadatan (density

dependent), apabila pengaruhnya pada populasi merupakan fungsi dari kepadatan.

Universitas Sumatera Utara


11

Contohnya faktor biotik (persaingan, parasit, dan sebagainya) tetapi tidak selalu

(Odum,1998).

Menurut Hardiansyah (2010) struktur populasi meliputi densitas dan pola

distribusi, demografi tumbuhan, stadia dan umur, fekunditas, struktur umur dan

struktur stadia.Biasanya populasi yang sedang berkembang cepat mengandung

sebagian besar individu-individu muda.

Universitas Sumatera Utara


12

METODE PENELITIAN

Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian pola penyebaran dan struktur populasi Salagundi (Roudholia

teysmanii) dilaksanakan pada bulan Juni - Agustus 2018.Penelitian ini

dilaksanakan di Desa Simorangkir Julu, Kecamatan Siatas Barita, Kabupaten

Tapanuli Utara, Provinsi Sumatera Utara.

Alat dan Bahan Penelitian

Alat yang digunakan dalam penelitian ini terdiri atas GPS (Global

Positioning System), kamera, parang/pisau, meteran, penggaris, kompas,

thermometer, hygrometer,lux meter, alat tulis, kalkulator.

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini terdiri atas tally sheetdan tali

raffia.

Metode Pengumpulan Data

Jenis Data

Dalam penelitian ini jenis data yang dikumpulkan terdiri atas data primer dan data

sekunder antara lain:

a. Data Primer

Data primer diperoleh melalui observasi (pengamatan langsung) di

lapangan untuk mendapatkan gambaran secara umum tentang habitat Salagundi.

Kegiatan yang dilakukan adalah dengan melakukan pengamatan dan pengambilan

data berupa jumlah individu Salagundi pada setiap plot yang akan diamati.

Universitas Sumatera Utara


13

b. Data Sekunder

Data sekunder diperoleh dari kantor/instansi terkait, literatur, internet

serta laporan-laporan yang berhubungan dengan penelitan ini, meliputi: keadaan

umum lokasi penelitian seperti letak wilayah, luas wilayah, dan kondisi fisik

lingkungan.

Pengumpulan Data

Pengumpulan data lapangan dilakukan dengan menggunakan teknik

analisis vegetasi berupa kombinasi antara jalur dan garis berpetak. Jalur tersebut

kemudian dibagi menjadi subpetak menggunakan metode nested sampling

(Soerianegara dan Indrawan, 1998).

Teknik pengambilan contoh pada penelitian ini dengan menggunakan

metode jalur berpetak.Jalur tersebut dibuat berukuran 20 m x 500 m yang dibuat

berjumlah 3 jalur. Masing-masing jalur dibagi menjadi 25 petak ukur yang

berukuran 20 m x 20 m untuk mengukur vegetasi tingkat pohon (diameter ≥20

cm), yang di dalamnya terdapat sub petak pengamatan berukuran 10 m x 10 m

untuk mengukur vegetasi tingkat tiang (diameter ≥10 - < 20 cm), sub petak

pengamatan 5 m x 5 m untuk mengukur vegetasi tingkat pancang (diameter <10

cm), dan sub petak pengamatan 2 m x 2 m untuk mengukur vegetasi tingkat

semai.

Jalur pertama ditentukan secara purposive sampling berdasarkan

keterjangkauan dan keterwakilan kondisi fisik lingkungan. Jalur selanjutnya

diletakkan secara sistematis sejajar satu sama lain dengan jarak antar jalur 200 m.

Desain petak pengamatan dalam unit sampling pada lokasi penelitian dapat dilihat

pada Gambar 2.

Universitas Sumatera Utara


14

Gambar 2.Desain jalur pengamatan.

Desain petak pengamatan dan sub petak dalam jalur pengamatan pada lokasi

penelitian dapat dilihat pada gambar 3.

Ket: A = Petak pengamatan ukuran 2 m x 2 m (tingkat semai)


B = Petak pengamatan ukuran 5 m x 5 m (tingkat pancang)
C = Petak pengamatan ukuran 10 m x 10 m (tingkat tiang)
D = Petak pengamatan ukuran 20 m x 20 m (tingkat pohon)

Gambar 3.Bagan jalur dan petak pengamatan.

Data fisik lingkungan yang diukur meliputi:

1. Suhu, pengukuran dilakukan dengan mengukur suhu lingkungan sekitar

Salagundi (Roudholia teysmanii) dengan menggunakan thermometer.

Pencatatan suhu dilakukan pada setiap plot pengamatan yang dibuat.

2. Kelembaban udara, pengukuran dilakukan dengan mengukur kelembaban

udara lingkungan sekitar Salagundi (Roudholia teysmanii) dengan

menggunakan hygrometer. Pencatatan kelembaban udara dilakukan pada

setiap plot pengamatan yang dibuat.

Universitas Sumatera Utara


15

3. Intensitas cahaya, pengukuran intensitas cahaya dengan menggunakan lux

meter.

4. Ketebalan serasah, pengukuran ketebalan serasah dilakukan dengan

menggunakan penggaris.

Metode Pengolahan Data

Pola Penyebaran

Pola penyebaran dihitung menggunakan indeks Morisita yang telah

distandarisasi (Jongjitvimol dkk. 2005):

Keterangan : Id : Indeks Morisita.


n : jumlah seluruh petak ukur.
Xi : jumlah individu jenis tertentu pada unit contoh ke-i.
Pola Penyebarannya ditunjukkan melalui perhitungan Mu dan Mc sebagai

berikut:

Keterangan: Mu : Indeks Morisita untuk pola sebaran seragam.


χ²0,975 : Nilai Chi-square tabel dengan derajat bebas n-1 dan selang
kepercayaan 97,5%.
Mc : Indeks Morisita untuk pola sebaran mengelompok.
χ²0,025 : Nilai Chi-square tabel dengan derajat bebas n-1 dan
selang kepercayaan 2,5%.

Universitas Sumatera Utara


16

Standar derajat Morisita dihitung dengan rumus:

Berdasarkan nilai Ip, maka diperoleh kesimpulan pola sebarannya:

a) Jika nilai Ip = 0, maka individu tumbuhan berdistribusi acak (Random).


b) Jika nilai Ip > 0, maka individu tumbuhan berdistribusi mengelompok
(Clumped).
c) Jika nilai Ip < 0, maka individu tumbuhan berdistribusi seragam (Reguler).

Struktur Populasi

Untuk mendapatkan gambaran struktur populasi Salagundi, maka data

yang diperoleh dikelompokkan berdasarkan tingkat pertumbuhan tanaman berupa

jumlah semai (seedling), pancang (sapling), tiang (poles), pohon (trees) pada tiap

petak contoh pengamatan.

Kriteria semai, pancang, tiang dan pohon menurut Soerianegara dan

Indrawan (1998) sebagai berikut :

1. Seedling (semai), permudaan mulai kecambah sampai setinggi 1,5 m

(dibagi dalam kelas-kelas tinggi 0 - 30 cm dan 30 – 150 cm).

2. Sapling (pancang), permudaan yang tingginya 1,5 m dan lebih sampai

pohon-pohon muda yang berdiameter kurang dari 10 cm (dibagi dalam

kelas-kelas) ukuran tinggi 1,5-3 m, 3 m sampai pohon-pohon muda

Universitas Sumatera Utara


17

berdiameter kurang dari 5 cm, dan pohon-pohon muda berdiameter 5-10

cm.

3. Pole (tiang), pohon-pohon muda yang berdiameter 10-19 cm.

4. Pohon dewasa, pohon yang berdiameter 20 cm keatas.

Struktur populasi tumbuhan dianalisis berdasarkan kerapatan tumbuhan

dianalisis menggunakan rumus dari Odum (1998) sebagai berikut:

Kerapatan = Jumlah total individu


Luas area (ha)

Universitas Sumatera Utara


18

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pola penyebaran

Dalam penelitian pola penyebaran ini, digunakan 3 jalur pengamatan

masing-masing terdiri atas 25 petak pengamatan, sehingga terdapat 75 total petak

pengamatan. Pola penyebaran salagundi dapat diketahui berdasarkan indeks

Morisita yang telah distandarisasi, dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1.Pola penyebaran salagundi (Roudholia teysmanii).


No Tingkat pertumbuhan Ip Pola penyebaran
1 Semai 0,53 Mengelompok
2 Pancang 0,51 Mengelompok
3 Tiang 0,51 Mengelompok
4 Pohon 0,52 Mengelompok
5 Total 0,51 Mengelompok

Dari hasil pengamatan ditemukan bahwa pola penyebaran salagundi yang

dianalisis berdasarkan tingkat pertumbuhannya adalah mengelompok dengan nilai

indeks Morisita (Ip) lebih dari nol (Ip > 0) yaitu 0,53 pada fase semai, 0,51 pada

fase pancang, 0,51 pada fase tiang, dan 0,52 pada fase pohon. Tetapi dilihat dari

hasil tersebut, nilai indeks Morisita (Ip) yang dihasilkan tidak berbeda jauh antara

setiap fase pertumbuhan.Hasil perhitungan juga sesuai dengan hasil pengamatan

di lapangan, bahwa salagundi banyak ditemukan tumbuh mengelompok

terutamanya di lokasi yang ternaungi namun masih mendapatkan cahaya matahari

(Gambar 4).

Universitas Sumatera Utara


19

Gambar 4.Salagundiyang tumbuh mengelompok pada tempat yang sedikit


ternaungi namun masih mendapatkan sinar matahari.
Pada pengamatan di lapangan, ditemukan bahwa salagundi tumbuh

berdekatan satu sama lain dalam kelompok-kelompok kecil dan lebih banyak

ditemukan di sekitar pohon induk, sehingga pada penelitian ini anakan sebagian

besar tersebar di sekitar pohon induk. Kurangnya peran agen pemencaran biji

menyebabkan banyak biji dari tumbuhan induk akan langsung jatuh dan tumbuh

berada di sekitar pohon induk. Menurut Ewusie (1990) pemencaran biji tumbuhan

tertentu dapat dilakukan oleh hewan seperti burung, kera, tupai dan kelelawar

melalui kotorannya.Mudiana (2005), menambahkan bahwa secara umum

pemencaran tumbuhan dapat dilakukan dengan perantara angin (anemokori), air

(hidrokori), hewan (zookori), dan tumbuhan itu sendiri (autokori).

Pola penyebaran mengelompok menunjukkan bahwa hadirnya suatu

tumbuhan akan memberikan indikasi untuk menemukan tumbuhan yang sejenis,

hal ini disebabkan karena individu memiliki kecenderungan untuk berkumpul dan

mencari kondisi lingkungan yang sesuai dengan kebutuhan hidupnya.

Pengelompokan tersebut dilakukan karena adanya interaksi yang saling

menguntungkan diantara individu tersebut (Istomo 1994). Pola penyebaran

salagundi yang mengelompok menunjukkan bahwa pada hutan di area penelitian

Universitas Sumatera Utara


20

memiliki kondisi fisik yang heterogen, sehingga salagundi akan tumbuh

mengelompok pada lokasi yang sesuai dengan kebutuhan hidupnya, namun disisi

lain penyebaran bergerombol dapat meningkatkan kompetisi di dalam populasi

untuk memperoleh unsur hara, ruang dan cahaya (Munawaroh, 2012).

Menurut Soegianto (1994), pola penyebaran organisme di alam jarang

yang ditemukan dalam pola yang seragam (teratur), tetapi pada umumnya

mempunyai pola mengelompok. Hal tersebut tidak hanya disebabkan oleh faktor

lingkungan dan kompetisi yang dapat menjadi faktor pembatas pertumbuhan, juga

dipengaruhi juga oleh kemampuan reproduksi yang dimiliki tumbuhan itu

sendiri.Munawaroh (2012) menyatakan bahwa tumbuhan yang bereproduksi

dengan biji, dan biji tersebut jatuh dekat dengan induknya atau dengan rimpang

yang menghasilkan anakan vegetatif masih dekat dengan induknya.

Kondisi fisik lingkungan merupakan faktor yang sangat berperan dalam

menentukan pola penyebaran suatu tumbuhan.Pola penyebaran mengelompok

dapat terjadi karena disebabkan oleh kondisi fisik lingkungan yang jarang

seragam, meskipun pada lokasi yang yang sempit sekalipun. Perbedaan kondisi

iklim dan ketersediaan unsur hara pada suatu lokasi akan menghasilkan perbedaan

yang nyata pada suatu organisme. Hidayati (2010) menyatakan bahwa hal ini

disebabkan karena adanya naluri individu-individu atau jenis-jenis tersebut untuk

mencari lingkungan tempat hidup yang cocok untuk jenis tersebut. Individu-

individu tersebut akan dapat hidup dan tumbuh apabila lingkungan tempat

tumbuhnya mendukung.

Hasil penelitian ini, juga sesuai dengan penelitian Hidayati (2010) untuk

jenis Tengkawang (Shorea spp.) di IUPHHK-HA PT. Intracawood Manufacturing

Universitas Sumatera Utara


21

Propinsi Kalimantan Timur.Penelitian tersebut menyatakan bahwa dari ketiga

jenis tengkawang yang ditemukan pola penyebaran umumnya

mengelompok.Lebih lanjut dijelaskan bahwa kondisi iklim dan faktor

ketersediaan hara atau nutrisi merupakan faktor yang sangat berperan dalam

penyebaran. Penelitian lainnya oleh Frianto dan Novriyanti (2016) diGunung

Tujuh, Kabupaten Kerinci, Jambi pada jenis cemara sumatera (Taxus sumatrana)

juga mendapatkan hasil bahwa pola penyebarannya juga terjadi secara

berkelompok, dijelaskan juga bahwa pola peyebaran yang secara berkelompok

bergantung pada pada faktor lingkungan tempat tumbuh tanaman.

Struktur populasi

Struktur populasi ditentukan dengan melihat sebaran jumlah individu

salagundi (Roudholia teysmanii) berdasarkan tingkat pertumbuhan.Dari hasil

analisis data didapatkan hasil seperti pada Tabel 2, Kemudian dari data kerapatan

(individu/ha) pada setiap tingkat pertumbuhan dibuatkan kurva struktur populasi

seperti pada Gambar 5.

Tabel 2.Struktur populasi salagundi (Roudholia teysmanii).


No. Tingkat pertumbuhan Jumlah individu Kerapatan (individu/ha)
1 Semai 78 2.600
2 Pancang 71 379
3 Tiang 34 45
4 Pohon 49 16

Universitas Sumatera Utara


22

3000

Kerapatan (ind/ha)
2500
2000
1500
1000
500
0
Semai Pancang Tiang Pohon
Tingkat pertumbuhan

Gambar 5.Kurva struktur populasi salagundi (Roudholia teysmanii).

Gambar 5 menunjukkan bahwa kurva struktur populasi salagundi

berbentuk J terbalik. Hasil ini menunjukkan bahwa salagundi dapat beregenerasi

dengan baik, yang terlihat dengan jumlah semai yang melimpah.Penurunan

jumlah individu/ha pada tingkat pertumbuhan mengikuti huruf J terbalik hal ini

merupakan hal umum pada hutan alam. Meskipun awalnya tegakan salagundi

pada lokasi penelitian ini merupakan tanaman yang ditanam warga pada sekitar

tahun 1995 dengan luas sekitar 23 Ha, tetapi jika melihat dari kurva struktur

populasi menunjukkan bahwa pada hutan pada lokasi penelitan mengalami

perubahan kondisi, hutan yang awalnya termasuk hutan tanaman perlahan-lahan

mendekati kondisi hutan alam normal. Menurut Suwardi (2013) ketersediaan

tegakan pada hutan yang bertipe normal akan membentuk kurva J terbalik sangat

tinggi, sehingga dapat menjamin keberlangsungan tegakan di masa mendatang.

Menurut Widiyanti dan Kusmana (2014) struktur horizontal vegetasi hutan yang

membentuk kurva J terbalik akan menunjukan proses suksesi sekunder yang

berjalan baik sejalan dengan pertambahan waktu.

Penurunan jumlah kerapatan dapat disebabkan karena tingkat pohon

mengalami regenerasi sehingga muncul anakan baru (semai/pancang) sebagai

generasi berikutnya selain itu tumbangnya pohon karena sudah tua dan kemudian

Universitas Sumatera Utara


23

mati menyebabkan kerapatan pohon jadi kecil.Jika huruf J terbalik tidak dapat

ditunjukkan oleh hutan alam artinya hutan tersebut bisa jadi mengalami gangguan

karena terganggunya anakan untuk beregenerasi.Penyebab gangguan tersebut bisa

saja misalnya karena aktifitas manusia seperti perambahan, kebakaran, masuknya

jenis invasif dan aktifitas manusia lainnya.

Gambar 6.Bekas tebangan Salagundi (Roudholia teysmanii).

Gambar 6 menunjukkan bekas tebangan salagundi, masyarakat sekitar

hutan tempat penelitian banyak memanfaatkan tumbuhan salagundi ini sebagai

kayu bakar, sedangkan untuk salagundi dengan ukuran lebih besar digunakan

sebagai tiang bangunan/rumah.Hal ini sesuai dengan pernyataan Saragih, dkk

(2016), Bahwa bentuk pohon dan pancang yang lurus dari jenis Salagundi ini,

menjadikan sering dieksploitasi dalam bentuk tiang.

Meski sering dieksploitasi oleh masyarakat, tetapi keberadaan populasi

salagundi tidak terancam atau tidak dalam keadaan kritis karena salagundi

memiliki kerapatan yang termasuk tinggi.Sesuai yang dikemukakan Tati (1998),

kerapatan minimal suatu populasi tumbuhan berbeda tergantung tempat dan jenis

dari tumbuhan tersebut. Misalnya untuk tumbuhan di daerah tropis jumlah

minimal yang harus ditemukan pada kawasan 1 km 2 adalah 25 individu dewasa

agar populasi tumbuhan tersebut dapat mempertahankan keberadaan di suatu

Universitas Sumatera Utara


24

kawasan, sedangkan pengamatan di lokasi penelitian bahwa tumbuhan salagundi

di dapatkan kerapatan pohon sebesar 16 pohon/ha atau 1.600 pohon/km2. Mace

dan Lande (1991), menambahkan bahwa suatu takson disebut mengalami keadaan

kritis jika dalam area 100 km2 status populasinya ditaksir kurang dari 50 pohon

dewasa maka populasi tersebut berada dalam kondisi kritis. Berdasarkan hasil

penelitian ditemukan 49 pohon dewasa dalam area 3 Ha atau 160.000 pohon

dewasa pada area 100 km2, sehingga dapat dinyatakan bahwa tumbuhan salgundi

di daerah tersebut tidak dalam kondisi kritis atau berada dalam kondisi normal.

Faktor Fisik Lingkungan

Faktor fisik lingkungan dianalisis untuk mengetahui kesesuaian

lingkungan dengan suatu jenis tumbuhan. Kondisi lingkungan dapat

mempengaruhi komposisi individu yang ditemukan dalam lingkungannya. Data

fisik lingkungan dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3 Karakter fisik lingkungan.


No. Parameter Lingkungan Kisaran pengukuran
o
1 Suhu udara ( C) 21 - 26
2 Kelembaban udara (%) 85 - 94
3 Intensitas cahaya (lux) 9.020 – 12.650
4 Ketebalan serasah (cm) 4,75 – 6,65
5 Ketinggian (m dpl) 1.261 – 1.328

Pengukuran suhu udara dilakukan sebanyak satu kali dalam setiap plot

pengamatan yang dibuat. Berdasarkan hasil pengukuran di lapangan suhu udara

terendah yaitu 21°C dan tertinggi 26°C dengan rata-rata suhu sebesar 23,28°C.

Suhu berhubungan erat terhadap pertumbuhan vegetatif, induksi bunga, mekar

bunga, munculnya serbuk sari, pembentukan benih dan pemasakan benih.

Universitas Sumatera Utara


25

Kelembaban udara berkisar antara 85 – 94%. Menurut Ewusie (1990),

kelembaban udara merupakan faktor lingkungan penting yang dapat menentukan

ada tidaknya beberapa jenis tumbuhan dan hewan dalam habitat tertentu. Polunin

(1992) menambahkan bahwa daya penguapan udara merupakan suatu faktor yang

penting sekali bagi kehidupan tumbuhan, karena langsung berpengaruh terhadap

transpirasi pada tumbuhan.

Intensitas cahaya berkisarar antara 9.020 – 12.650 lux, cahaya merupakan

faktor lingkungan penting yang diperlukan untuk mengendalikan pertumbuhan

dan perkembangan tumbuhan. Alasan utamanya adalah karena cahaya diperlukan

dalam proses fotosintesis yang dapat langsung mempengaruhi pertumbuhan

tumbuhan. Sesuai dengan pernyataan Ansari, dkk (2016), bahwa cahaya matahari

merupakan faktor yang sangat penting dalam kehidupan tumbuhan sebagai

sumber energi, oleh sebab itu perubahan intensitas cahaya sangat mempengaruhi

kehidupan tumbuhan.

Ketebalan serasah berkisar antara 4,75 – 6,65 cm. Menurut (Bargali, dkk

2015), serasah merupakan bahan organik yang dihasilkan oleh tanaman yang akan

dikembalikan ke dalam tanah. Serasah tanaman dapat berupa daun, batang,

ranting, bahkan akar. Serasah yang sudah terdekomposisi akan menjadi unsur

hara, ketersediaan unsur hara penting bagi pertumbuhan tanaman secara normal.

Ketinggian tempat pada lokasi penelitian berkisar antara 1261 – 1328 m

dpl.Ketinggian tempat sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan tanaman.

Semakin tinggi suatu tempat dari permukaan laut, suhu udaranya akan semakin

rendah dan kelembabannya akan tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa salagundi

tumbuh pada dataran tinggi dengan ketinggian lebih dari 1000 m dpl.

Universitas Sumatera Utara


26

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

1. Pola penyebaran Salagundi (Roudholia teysmanii) bersifat mengelompok.

2. Kurva struktur populasi Salagundi (Roudholia teysmanii) berbentuk J

terbalik.

Saran

Kondisi populasi Salagundi di lokasi penelitian dalam kondisi sedang

berkembang dengan regenerasi yang berjalan dengan baik, tetapi terdapat tekanan

yang cukup tinggi pada populasi Salagundi. Oleh karenanya perlu adanya upaya

untuk meningkatkan pelestariannya, salah satu upayanya dengan studi perbanyakan

Salagundi secara generatif.

Universitas Sumatera Utara


27

DAFTAR PUSTAKA

Ansari, M.L, Dharmono, Amintarti, S. 2016. Population Structure of Aleurites


moluccana willd in the Tour Bajuin Waterfall Tanah Laut. Prosiding
Seminar Biologi 12(1): 740-745.

Bappenas 2003.Strategi dan Rencana Aksi Keanekaragaman Hayati Indonesia


2003-2020 [Dokumen Nasional].Badan Perencanaan Pembangunan
Nasional. Jakarta.

Bargali, Shukla K, Singh L, Ghosh L, Lakhera ML. 2015. Leaf litter


decomposition and nutrien dynamics in four tree species of dry deciduous
forest. Tropical Ecology 56(2): 191–200.

Cox, G.W. 1972.Laboratory Mannual of General Ecology. Iowa: WMC Brown


Company Publishers.

Ellenberg, H. 1988. Ekologi.Yayasan Obor Indonesia. Jakarta.

Ewusie, J.Y., 1990. Ekologi Tropika. ITB Bandung. Bandung.

Frianto, D., dan Novriyanti, E. 2017. Exploration of Taxus sumatrana potential in


Mount Kerinci, Sumatra. In Prosiding Seminar Nasional Masyarakat
Biodiversitas Indonesia 3(3): 471-475.

Global Village Translations. 2007. Pengelolaan Keanekaragaman Hayati.Jakarta:


Persemakmuran Australia.

Hardiansyah. 2010. Pengantar Ekologi Tumbuhan. Banjarmasin: Fakultas


Keguruan dan Ilmu Pendidikan UNLAM.

Hidayati, T. 2010. Studi potensi dan penyebaran Tengkawang (Shorea spp.) di


IUPHHK-HA PT. Intracawood Manufacturing Propinsi Kalimantan Timur
[skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Indrawan, M. 2007. Biologi Konservasi Edisi Revisi. Jakarta:Yayasan Obor


Indonesia.

Istomo. 1994. Hubungan Antara Komposisi, Struktur dan Penyebaran Ramin


(Gonstylus bancanus (Miq.)Kurz) dengan Sifat-Sifat Tanah Gambut Studi
Kasus Di Areal HPH PT INHUTANI III Kalimanatan Tengah [tesis].
Bogor: Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

Universitas Sumatera Utara


28

Jongjitvimol T, Boontawon K, Wandee W, Deowanish S. 2005. Nest dispersion of


a stingless bee species, Trigona collina Smith, 1857 (Apidae, Meliponinae)
in a mixed deciduous forest in Thailand.The Natural History Journal
ofChulalongkon University 5(2):69-71.

Kuchler, A W. 1967.Vegetation Mapping, 472. Ronald Pr, New York.

Lestari, D. P. 2011. Pola Sebaran Spasial Jenis Merbau (Intsia spp.)pada Hutan
Primer dan Hutan Bekas Tebangan di ArealIUPHHK-HA PT Mamberamo
Alasmandiri, Provinsi Papua.Skripsi.Fakultas Kehutanan Institut Pertanian
Bogor.

Ludwig JA., dan Reynolds JF. 1988. Statistical Ecology, A primer on methods
and computing. New York: John Willey and Sons.

Mace, G. M., dan R. Lande. 1991. Assessing Extinctionof IUCN Threatened


Species of Categorie.Conservation Biology 5.

Mas’ud. 1998. Dasar Umum Ilmu Kehutanan. Badan Kerjasama PTN Indonesia
Bagian Utara.

Mudiana, D. 2005. Dispersal of Syzygium cormiflorum (F. Muell.) B. Hyland.


around the main trees in Lamedae Natural Reserve, Kolaka, Southeast
Sulawesi. Biodiversitas Journal of Biological Diversity, 6(2).

Munawaroh, S. 2012. Keanekaragaman, Pola Sebaran, dan Asosiasi Nepenthes


Di Hutan Kerangas Kabupaten Belitung Timur Provinsi Kepulauan
Bangka Belitung. Skripsi.Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor.

Natalia D., Umar H., Sustri S. 2014. Pola Penyebaran Kantong Semar (Nepenthes
tentaculata Hook. F) di Gunung Rorekautimbu Kawasan Taman Nasional
Lore Lindu. Jurnal Warta Rimba, 2(1).

Odum, E. P. 1998. Dasar-dasar Ekologi, Edisi Ketiga, Terjemahan: Tjahyono


Samingan. Gadjah Mada University Pres. Yogyakarta.

Pasaribu, G. 2017. Sifat Fisis dan Mekanis Empat Jenis Kayu Andalan Asal
Sumatera Utara. Jurnal Penelitian Hasil Hutan, 25(1), 15-27.

Pemerintah Kabupaten Tapanuli Utara. 2014. Pokja Sanitasi Kab.Tapanuli Utara.


Percepatan Pembangunan Sanitasi Pemukiman. Tarutung.

Polunin, N. 1992.Pengantar Geografi Tumbuhan dan Beberapa Ilmu


Serumpun.Yogyakarta: Gadjah Mada University Press

Rani, C. 2003.Metode pengukuran dan analisis pola spasial (dispersi) organisme


bentik. Jurnal Protein, 19, 1351-1368.

Universitas Sumatera Utara


29

Saragih, I. A., Muhdi, M., Hartini, K. S. 2016.Pengaruh Struktur dan Komposisi


Tegakan Terhadap Cadangan Karbon Tumbuhan Bawah di Hutan Desa
Simorangkir Julu, Kabupaten Tapanuli Utara. Peronema Forestry Science
Journal, 5(4), 10-23.

Soegianto A. 1994. Ekologi kuantitatif : metode analisis populasi dan komunitas


usaha nasional. Jakarta.

Soerianegara, I., dan Indrawan, A. 1998. Ekologi Hutan Indonesia. Laboratorium


Ekologi Hutan, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor, Indonesia,
pp. 1-104.

Surasana, E. 1990.Ekologi tumbuhan. Bandung: Jurusan Biologi Fakultas MIPA


ITB.

Surasana, E.S.,Taufikurrahman. 1994. Pengantar Ekologi Tumbuhan. Bandung:


Fakultas MIPA ITB.

Suwardi, A. B. 2013. Komposisi Jenis dan Cadangan Karbon di Hutan Tropis


Dataran Rendah Ulu Gandut Sumatera Barat. Jurnal Biologi. Universitas
Andalas Padang.Padang Sumatera Barat. 12(2) : 168-176.

Syamsuri, I.W.R. 1997. Lingkungan Hidup Kita. PKPKLH IKIP Malang. Malang.

Syamsurizal. 2000. Pengantar Ekologi Tumbuhan. Padang : UNP Press.

Tati, S. 1998. Pengukuran Kuantitatif Populasi. (Makalah Seminar Kapita Selekta


Pasca Sarjana Biologi ITB).ITB. Bandung. Tidak dipublikasikan.

Widiyanti, P., C. Kusmana. 2014. Komposisi Jenis dan Struktur Vegetasi Pada
Kawasan Karst Gunung Cibodas Kecamatan Ciampea Kabupaten Bogor.
Jurnal Silvikultur Tropika. Institut Pertanian Bogor. Bogor. 5(2) : 69-79.

Wirakusumah, S. 2003. Dasar-Dasar Ekologi Bagi Populasi dan Komunitas. UI


Press. Jakarta.

Zain, A. S. 1998. Aspek pembinaan hutan dan stratifikasi hutan rakyat. Rineka
Cipta.

Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai