Anda di halaman 1dari 12

TRADISI MEPE KASUR DESA KEMIREN BANYUWANGI

Dosen Pengampu:
Drs. Sumarjono,
M.Si.
Ahmad Rian Pratama, S.Hum, MA.
Tugas Artikel Sejarah Lisan Kelas
B

Oleh:
Muhammad Arsil Mubin
Nim 140210302039

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN SEJARAH


JURUSANPENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS JEMBER
2020
TRADISI MEPE KASUR DESA KEMIREN BANYUWANGI

Muhammad Arsil Mubin


Email : Arsilmubin20@gmail.com

ABSTRAK
Masyarakat Suku Osing Dalam Melestarikan Adat Istiadat di Tengah Modernisasi (Studi
Kasus : di Desa Kemiren Kecamatan Glagah Kabupaten Banyuwangi),

Kata Kunci : tradisi, Mepe kasur, kemiren, banyuwangi.

Permasalahan yang dikaji dalam penelitian ini ada dua yakni bagaimana upaya
masyarakat suku Osing di desa Kemiren, kecamatan Glagah, kabupaten Banyuwangi dalam
melestarikan adat-istiadat pernikahan di tengah modernisasi serta apa hambatan dan tantangan
yang dihadapi masyarakat suku Osing dalam melestarikan adat istiadatnya di desa Kemiren,
kecamatan Glagah kabupaten Banyuwangi.

Metode yang digunakan adalah metode deskriptif kualitatif dengan teknik pengumpulan
data observasi, wawancara, dan dokumentasi. Teori yang digunakan dalam menganalisis Strategi
Masyarakat Suku Osing Dalam Melestarikan Adat- Istiadat di Tengah Modernisasi (Studi Kasus
: di Desa Kemiren Kecamatan Glagah Kabupaten Banyuwangi) ialah teori Fungsionalisme
Struktural Talcolt Parsons.

Dari hasil penelitian ini ditemukan bahwa : Strategi Masyarakat Suku Osing di Desa
Kemiren dalam Melestarikan Adat-Istiadat Pernikahan di Tengah Modernisasi Berlandaskan
Teori Fungsionalisme Strukturalisme : Adaptasi (adaptation): sebuah sistem harus
menanggulangi situasi eksternal yang gawat. Sistem harus menyesuaikan diri dengan lingkungan
dan menyesuaikan lingkungan itu dengan kebutuhannya. Hukum Adat adalah salah satu strategi
yang sangat efektif untuk melestarikan adat istiadat pernikahan di tengah modernisasi yang ada
di Desa Kemiren Kecamatan Glagah Kabupaten Banyuwangi. Pencapaian tujuan (Goal
attaiment): sebuah sistem harus mendefinisikan dan mencapai tujuannya. Sosialisasi Adat-
Istiadat adalah strategi kedua yang masyarakat untuk melestarikan adat-istiadat pernikahan di
tengah modernisasi. Sosialisasi yang pertama adalah masyarakat secara tidak langsung sudah
memperkenalkan adat- istiadat dari dini kepada anak-anak mereka. Kemudian sosialisasi melalui
seni teater dan lagu. Integrasi (integration): sebuah sistem harus mengatur antarhubungan bagian-
bagian yang menjadi komponennya. Sistem juga harus mengelola antar hubungan ketiga fungsi
penting lainnya (A,G,I,L). Pengembangan desa Adat adalah strategi ketiga, Dengan adanya desa
adat ini banyak remaja yang semakin mencintai dan rasa memiliki terhadap adat-istiadat yang
dimilikinya semakin tinggi. Hambatan dan tantangan yang dihadapi dalam melestarikan adat-
istiadat pernikahannya di tengah modernisasi gaya makeup pernikahan modern, model pakaian
pernikahan, menikah dengan warga selain suku osing, pemikiran logis masyarakat.

PENDAHULUAN

Adat istiadat memiliki unsur-unsur penting di dalamnya seperti nilai-nilai budaya,


sistem norma, sitem hukum , dan aturan- aturan khusus. Tentunya kebudayaan dan
adat istiadat sangat banyak jumlahnya di Indonesia karena banyaknya suku-suku yang
berada di dalamnya. Seperti yang tidak kalah menarik adalah adat istiadat suku Osing
yang ada di kabupaten banyuwangi. Suku Osing adalah penduduk asli Banyuwangi
karena suku Osing adalah masyarakat yang sudah hidup pada masa pemerintahan
kerajaan Blambangan. Masyarakat Banyuwangi biasa menyebut dirinya sebagai Laros
atau Lare Osing. Suku Osing sendiri mempunyai banyak adat istiadat, hampir di setiap
desa pasti memiliki adat istiadatnya sendiri. Hal ini karena Banyuwangi memiliki
wilayah yang sangat luas, maka dari itu pembentukan adat istiadat setiap daerah
hampir berbeda karena adanya latar belakang yang berbeda. Misal saja di desa Alas
Malang kecamatan Singojuruh kabupaten Banyuwangi memiliki adat istiadat berupa
Kebo- Keboan adat ini dilakukan untuk mengucapkan rasa terima kasih warga
terhadap dewi kemakmuran yaitu dewi Sri. Berbeda dengan kecamatan lainnya,
kecamatan Glagah memiliki banyak adat istiadat dibeberapa desanya misalnya ritual
penyucian desa dengan tarian Seblang di desa Bakungan dan desa Oleh Sari. Selain itu
di kecamatan Glagah terdapat desa yang menjadi simbol adat istiadat seluruh suku
Osing yaitu desa Kemiren. Di desa kemiren terdapat banyak adat istiadat yang masih
dijaga sampai sekarang berupa Ider Bumi, Tumpeng Sewu, Selametan Sedekah
Lebaran, Mepe Kasur, Nginang, Mudun Lemah, Koloan, Geredoan, Angkat-
Angakatan, Kawin Colong, Ngeleboni, Arak-Arakan Penganten.
Desa Kemiren terletak di kecamatan Glagah. Masyarakat suku Osing di desa
Kemiren adalah masyarakat yang masih memegang teguh adat istiadat suku Osing.
Suku Osing di desa ini mampu mempertahankan adat istiadatnya di tengah
modernisasi. Jika dilihat dari segi letak geografisnya desa Kemiren sangat dekat
dengan pusat dari segala aspek pembangunan yang ada di Kabupaten Banyuwangi,
yaitu Banyuwangi kota. Namun hal ini tidak membuat suku Osing terpengaruh arus
modernisasi yang ada di Banyuwangi kota.
Yang lebih menarik adalah desa Kemiren adalah desa ini berhasil dipilih
sebagai ikon suku Osing dan Desa Wisata Osing. Desa kemiren dipilih menjadi desa
wisata adat Osing karena masih memegang teguh adat istiadatnya. Masyarakat suku
Osing desa di desa ini bahkan masih memegang teguh adat istiadat yang unik yaitu
adat pernikahan. Dulu masyarakat suku
osing di desa Kemiren mengenalkan istilah Kawin Upek-upekkan. Kawin Upek-
Upekkan ini adalah pernikahan yang hanya dilakukan dengan masyarakat suku Osing desa
Kemiren dengan suku Osing desa Kemiren pula. Hal ini dilakukan untuk menjaga adat
istiadat mereka agar adat istiadat yang mereka tidak teralkuturasi dengan budaya lain. Adat
pernikahan disana dibagi menjadi tiga yaitu Angkat-Angkatan, Kawin Colong, dan
Ngeleboni kemudian prosesi sakral bernama Arak-Arakan Penganten, Surup, dan ritual-
ritual lainnya.
Pertama, Angkat-Angkatan adalah adat-istiadat pernikahan yang didasari oleh
sebuah perjodohan dari keluarga ataupun tahap tunangan. Di desa Kemiren sendiri adat
kawin angkat-angakatan biasanya bisa dilakukan mulai dari kecil atau bahkan calon
pengantin masih dalam kandungan sudah mulai dijodohkan. Angkat-angkatan juga bisa
dilakukan untuk pasangan yang menjalin hubungan asmara atau yang biasa disebut
pacaran. Jika sudah mantab untuk melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi maka
keluarga laki- laki datang ke rumah perempuan untuk melakukan tunangan atau yang
disebut dengan Angkat-angkatan.
Kedua, Kawin Colong sebenarnya adalah bentuk dari ketidakpuasan atau
pemberontakan terhadap pilihan jodoh yang sudah ditentukan oleh orang tua dan
keluarga. Kawin colong terjadi untuk meminta restu orang tua dan keluarga pihak
wanita untuk mendapatkan sebuah restu melakasanakan pernikahan. Tradisi angkat-
angkatan sangat berperan aktif dalam adanya adaT
kawin colongan. Kawin colong berbeda dengan kawin lari, karena kawin
lari adalah melarikan anak orang dan menikah tanpa restu dari orang tua. Kawin
colong juga bisa terjadi meskipun kedua keluarga sudah saling merestui jika kedua
pasangan sudah tidak sabra untuk menjadi pasangan suami istri.
Ketiga adalah adat Ngeleboni, adat ini adalah kebalikan dari kawin colong.
Ngeleboni adalah cara untuk mendapatkan restu untuk menikah dari pihak keluarga
laki-laki. Kemudian dari tiga macam adat pernikahan ini ada pula adat-istiadat yang
harus dilaksanakan saat prosesi upacara pernikahan, baik sebelum pernikahan maupun
sesudah acara pernikahan dilaksanakan. Seperti Arak-Arakkan Penganten, Surup,
Ngosek Punjen, dan sederet ritual sakral lainnya. Ritual-ritual sakral ini masih
dilakukan oleh masyarakat suku Osing di desa Kemiren, karena mereka mempercayai
bahwa jika tidak melakukannya akan mendatangkan sebuah musibah baik untuk
pengantin maupun keluarganya.
Di tengah maraknya pembangunan modernisasi di Banyuwangi adat- istiadat
pernikahan Osing masih dijaga dan dipelihara dengan baik oleh masyarakat suku
Osing yang ada di desa Kemiren kecamatan Glagah Kabupaten Banyuwangi. Saat ini
masyarakat suku Osing di desa Kemiren sudah mulai bisa beradaptasi dengan era
modernisasi saat ini. Masyarakat Osing desa Kemiren yang dulunya menutup diri dari
dunia luar, sekarang sudah mulai mengikuti perkembangan zaman terutama remajanya
dalam ilmu pengetahuan dan juga ilmu teknologi. Namun dengan terbukanya
pemikiran
masyarakat Osing di desa Kemiren tidak menjadikan mereka lupa akan
adat- istiadat yang mereka miliki. Justru hal ini menjadi semangat mereka
terutama kaum remajanya untuk terus melestarikan adat-adat istiadat yang
mereka miliki. Hal inilah yang menjadi fokus permasalahan dalam penelitian
ini. Yang menjadi pertanyaan besar adalah bagaimana strategi masyarakat
suku Osing di desa Kemiren bisa mempertahankan adat istiadat
pernikahannya di tengah modernisasi yang ada di kabupaten Banyuwangi.

METODE PENELITIAN :

Penelitian ini adalah penelitian sejarah karena objek-objek yang diteliti dalam
penelitian ini adalah peristiwa sejarah sehingga metode penelitian yang digunakan adalah
metode penelitian sejarah. Sebelum menguraikan langkah langkah dalam penelitian sejarah,
terlebih dahulu perlu dijelaskan pengertian metode penelitian sejarah. Metode penelitian
sejarah menurut Louis Gottschalk adalah proses menguji dan menganalisis secara kritis
rekaman dan peninggalan masa lampau berdasarkan rekonstruksi yang imanjinatif
(1975:32).4 Berdasarkan pendapat di atas dapat disimpulkan, bahwa metode penelitian
sejarah adalah sarana atau alat bantu yang digunakan sejarawan dalam suatu prosedur kerja
untuk menguji dan menganalisis secara kritis bahan bahan atau jejak jejak yang ditinggalkan
di masa lampau. Metode penelitian sejarah berupa aturan yang sistematis untuk memberikan
arah dalam penelitian sejarah. Adapun langkah langkah metode penelitian sejarah meliputi;
(1) heuristik, (2) kritik, (3) interpretasi, (4) historiografi (Gottschalk, 1975: 34).

Langkah pertama dalam penelitian sejarah adalah heuristik. Kuntowijoyo (1995:45)


mengatakan bahwa heuristik adalah kegiatan mencari dan mengumpulkan bahan-bahan atau
jejak-jejak yang akan digunakan untuk penulisan sejarah atau mencari sesuatu yang
digunakan untuk menceritakan kembali peristiwa sejarah. Sedangkan sumber sejarah
menurut Louis Gottschalk adalah sesuatu yang digunakan sebagai sumber dalam penulisan
atau penceritaan kembali masa lampau (1975:35). Usaha untuk menemukan sumber-sumber
bagi penelitian sejarah yang hendak dilakukan, akan sangat sukar jika tidak mengadakan
penggolongan sumber-sumber sejarah (Sugiyanto, 2011:38). Peneliti mencari dan
mengumpulkan sumber tertulis atau dokumen berupa arsip, buku, maupun laporan yang
berhubungan dengan tari godril. Selain mengumpulkan dokumen, peneliti juga melakukan
wawancara. Wawancara merupakan kegiatan menghimpun bahan-bahan beserta keterangan
dengan melakukan tanya jawab lisan secara sepihak, berhadapan muka dan dengan arah atau
tujuan yang telah ditentukan (Kuntowijoyo, 1980:24).

Langkah kedua dalam penelitian sejarah adalah kritik. Kritik adalah menyeleksi atau
menilai sumber sumber atau data data sejarah menjadi fakta sejarah. Kritik sumber dilakukan
setelah peneliti berhasil mengumpulkan sumber yang selanjutnya akan dikritik untuk
memperoleh keabsahan sumber yang digunakan. Kritik sejarah dapat dibedakan menjadi dua
yaitu kritik ekstern dan kritik intern. Dalam hal ini, dilakukan uji keabsahan tentang keaslian
sumber yang dilakukan melalui kritik ekstern dan keabsahan tentang kesahihan sumber
(kredibilitas) yang ditelusuri melalui kritik intern (Abdurrahman, 2007:68).

Kegiatan selanjutnya agar fakta-fakta sejarah yang didapat memiliki makna, maka
langkah yang dilakukan penulis adalah melakukan interpretasi. Menurut Kuntowijoyo
(1995:100-101) Interpretasi sejarah sering juga disebut sebagai analisis sejarah. Dalam hal
ini, ada dua metode yang digunakan, yaitu analisis dan sintesis. Analisis berarti menguraikan,
sedangkan sintesis berarti menyatukan. Fakta yang sudah terhimpun dirangkai dan
dihubungkan menjadi suatu bentuk yang logis, rasional dan objektif dan kausalitas sehingga
dapat membentuk fakta yang rasional dan faktual berdasarkan pada aspek pembahasan.

Langkah terakhir dalam penelitian ini adalah Historiografi. Historiografi menurut


Gottschlak (1975: 33) adalah yang dilakukan oleh penulis adalah menyusun dan menulis
cerita sejarah dengan cara merangkai fakta- fakta sejarah dari hasil heuristik, kritik dan
interpretasi. tahap ini, peneliti melakukan penulisan secara kronologis, logis, dan sistematiS
dengan cara merangkai fakta-fakta sejarah sebagai hasil penafsiran atas fakta-fakta sejarah
sebagai hasil penafsiran atas fakta-fakta tersebut sehingga terjadi suatu kisah sejarah ilmiah.

PEMBAHASAN

Tradisi mepe kasur merupakan kebiasaan masyarakat desa kemiren untuk


membersihkan segala hal penyakit yang ada pada kasur. Ada juga yang beranggapan bahwa
tradisi mepe kasur berguna untuk membuat pasangan suami-isteri cepat mendapatkan
keturunan. Tradisi ini terkadang diadakan setahun sekali bersamaan dengan acara syukuran
desa, acara kegiatan tersebut dilaksanakan setiap bulan Dzulhijjah.

Fungsi melakukan mepe kasur dibulan Dzulhijjah ialah untuk pameran budaya tradisi
masyarakat osing atau nguri-nguri budaya leluhur dan mencegah tolakbalak. Selain berfungsi
untuk mencegah tolak balak, mepe kasur juga berguna untuk menjalin rasa kebersamaan antar
warga sebab pada saat bulan Dzulhijjah para masyarakat mengeluarkan kasur mereka dari
dalam rumah. Biasanya kasur yang dipepe oleh masyarakat osing adalah kasur berwarna hitam
dan merah. Sebab, merah dan hitam menurut masyarakat desa kemiren memiliki filosofi yaitu,
merah artinya berani, maksudnya dalam artian berani segala resiko untuk suami dan isteri
dalam menjalani hidup. Sedangkan warna Hitam memiliki arti kelanggengan, maksudnya suami
dan isteri akan berjodoh secara langgeng hingga nenek dan kakek.

Tradisi Mepe Kasur

Pelaksanaan mepe kasur pertama, kasur harus dikeluarkan terlebih dahulu dari dalam
rumah kemudian dijemur dari pagi hingga siang hari. Sejak matahari terbit, warga yang akan
melaksanakan tradisi ini harus memanjatkan do,a sambil memericikan air bunga dihalaman
rumah. Hal ini dipercaya dapat mengusir segala penyakit yang ada pada kasur. Setelah lewat
siang hari, kasur wajib dimasukan kembali kedalam rumah. Sebab, jika kasur dijemur terlalu
sore akan menghilangkan keampuhan ritual. Menjelang sore, biasanya warga desa kemiren
berbondong-bondong menuju makam seseorang tokoh yang dipercaya menjaga desa kemiren.
Masyarakat menuju makam dengan mengarak barong ke ujung desa menuju makam. Ketika
dimalam hari, masyarakat berkumpul untuk menggelar acara tumpeng sewu. Setiap warga
membuat tumpengnya sendiri-sendiri dengan hiasan yang menarik dan indah untuk dinikmati.
Biasanya acara tersebut sangat meriah hingga larut malam
KESIMPULAN DAN SARAN

Berdasarkan rumusan masalah yang sudah dikemukakan, bahwa eksistensi mepe


kasur setiap tahun mengalami kemunduran, hal itu diakibatkan karena kurang sadarnya
generasi pemuda akan budaya lokal salah satunya tentang tradisi mepe kasur. Mepe kasur
yang menjadi Tradisi khas, Apalagi kesadaran untuk melestarikan mepe kasur ini sangat
besar dan diharapkan terus terjaga mengingat perkembangan zaman yang semakin pesat dan
diiringi perkembangan teknologi yang maju semakin mengancam kesadaran untuk mencintai
budaya lokal. Maka mepe kasur sudah sepantasnya harus dilestarikan agar tidak terkikis
seiring bergantinya zaman.
Berdasarkan kesimpulan diatas, penulis dapat memberikan saran terkait
dengan penelitian yang dilakukan adalah :

1. Bagi lembaga, penelitian ini wujud nyata dari Tri Dharma Perguruan Tinggi;

2. Bagi Ilmu, dapat menambah referensi khususnya sejarah kebudayaan dan sejarah lokal.

3. Bagi pembaca, mendapatkan informasi tentang eksistensi mepe kasur di Banyuwangi;

4. Bagi pemerintah, dapat dijadikan evaluasi untuk semakin mengajak masyarakat


khususnya warga Banyuwangi agar mencintai budaya lokal.
DAFTAR PUSTAKA

Gottschalk, L. 1986. Mengerti Sejarah, (diterjemahkan oleh Nugroho Notosusanto). Yayasan


Penerbit UI : Jakarta

Koentjoroningrat. 1984. Kebudayaan Jawa. Jakarta:Balai Pustaka.


Kuntowijoyo. 1995. Pengantar Ilmu Sejarah. Yogyakarta: Bentang Budaya.
https://www.banyuwangikab.go.id/berita-daerah/mepe-kasur-tradisi-warga-using-desa-
kemiren.html#:~:text=BANYUWANGI%20%E2%80%93%20Selain%20Tumpeng%20Sewu
%2C%20tradisi,Glagah%2C%20Banyuwangi%20adalah%20Mepe%20Kasur.&text=Begitu
%20matahari%20terbit%2C%20kasur%20segera,dijauhkan%20dari%20bencana%20dan
%20penyakit.
Daftar Pertanyaan.
1. Bagaimana sejarah awal dari Mepe kasur ini sendiri?

2. Apa alasan dari di adakannya Mepe kasur pada jaman dahulu?

3. Di daerah mana pencetus dari Mepe kasur ini sendiri?

4. Apa ciri khas dari Mepe kasur ini sendiri?

5. Apakah ada makna sembolis dari gerakan tari Godril ini sendiri?
6. Menurut anda, adakah keunikan tersendiri dari mepe kasur sendiri?
7. Menurut anda, bagaimanakah generasi sekarang memaknai tradisi mepe kasur ini
sendiri sebagai tradisi yang dimiliki oleh Kabupaten banyuwangi?

Anda mungkin juga menyukai