Anda di halaman 1dari 7

RELASI ISLAM DAN BUDAYA JAWA PADA TRADISI GEBYURAN KAMPUNG

BUSTAMAN KECAMATAN PURWODINATAN KOTA SEMARANG

Akhmad Farcha Dani Salam

2106026215@student.walisongo.ac.id

M. Riyan Maulana

2106026212@student.walisongo.ac.id

Kirani Jola Pramesti

2106026213@student.walisongo.ac.ad

Salma Fauziah

2106026214@student.walisongo.ac.id

ABSTRAK
Salah satu bentuk tradisi komunal di Jawa Tengah terdapat Tradisi Gebyuran tepatnya di
Kampung Bustaman Puwodinatan Kota Semarang. Tradisi ini merupakan tradisi turun
menurun yang berawal dari Kyai Bustam. Dalam artikel ini akan menjelaskan bagaimana
latar belakang dan keseluruhan tradisi gebyuran. Artikel ini menggunakan dengan metode
kualitatif dengan menggunakan jenis penelitian research lapangan dan dengan menggunakan
pendekatan interpretatif. Dari penelitian yang sudah dilakukan terdapat hasil bahwa
pelaksanaan tradisi gebyuran di Kampung Bustaman susah dilaksanakan lebih dari 10 tahun.
Tradisi Gebyuran ini diawali melalui kebiasaan Keluarga dari Kyai Bustam yang rutin
memandikan anaknya saat menjelang Bulan Suci Ramadhan tepatnya dua atau 3 hari sebelum
puasa dilakukan. Makna yang terkandung dalam Tradisi Gebyuran ialah sebagai simbol dari
pensucian diri dosa yang telah dilakukan selama kurang lebih satu tahun guna menyambut
Bulan Suci Ramadhan. Tradisi ini diawali dengan memukul bedug sebanyak tiga kali yang
biasnya dipimpin oleh. Setelah bedug dibunyikan maka mereka akan memulai tradisi tersebut
yaitu dengan mulai melempar keras plastik yang sudah diisi air. Penulisan artikel ini untuk
mengetahui bagaimana latar belakang tradisi gebyuran, pelaksanaan dan juga relasi islam dan
budaya jawa pada tradisi gebyuran.

KATA KUNCI : Tradisi, Gebyuran, Semarang.


PENGANTAR

Budaya merupakan tradisi dan gaya hidup yang dipelajari dan dapat didapatkan secara
sosial oleh anggota dalam suatu masyarakat, termasuk cara berpikir, perasaan dan tindakan
yang terpola dan dilakukan secara berulang-ulang (M.Harris). Tradisi dalam kamus
antropologi memiliki kesamaan dengan adat istiadat yaitu suatu kebiasaan yang bersifat
magis religius dari kehidupan pada suatu penduduk asli yang meliputi nilai-nilai budaya,
norma, hukum dan aturan-aturan yang saling berkaitan, dan kemudian menjadi suatu sistem
atau peraturan yang sudah matang serta mencakup segala konsepsi manusia dalam kehidupan
sosial. Masyarakat di Kampung Bustaman, yang terletak pada kecamatan Purwodinatan,
Kecamatan Semarang Tengah, Kota Semarang. Memiliki salah satu tradisi yang unik setiap
menjelang bulan puasa, yaitu tradisi Gebyuran tradisi ini hampir mirip dengan tradisi
Gebyuran. Tradisi ini dianggap sebagai cara yang baik untuk membersihkan diri dan juga
memperbaiki hubungan dengan Tuhan sebelum merayakan Idul Fitri dan juga memasuki
bulan Ramadhan yang suci. Tradisi ini umumnya dilaksanakan di kalangan masyarakat Jawa
setiap menjelang Bulan Ramadhan, tradisi Gebyuran dipercaya sudah ada sejak zaman para
walisongo. Awal mula dari tradisi Gebyuran ini dilakukan dengan cara mendatangi sumber
mata air murni yang dipercaya oleh masyarakat dapat mendapatkan berkat. Kemudian
dilanjutkan dengan mandi besar, yaitu membersihkan badan dari ujung rambut hingga ujung
kaki.
Kajian yang membahas tentang tradisi gebyuran atau padusan suah pernah dilakukan
oleh beberapa peneiti dan ahi salah satu ahli yang mengambil tema ini adalah maly D.L di
tahun 2018. Malau memusatkan perhatian pada fenomena Tradisi Gebyuran yang dilakukan
oleh kaum wanita pada bulan khusus menjelang ramadhan, keunikan dari pada jurnal ini
adalah fakta bahwa budaya yang erat kental kaitanya dengan jawa namun pelaksanaanya
didaerah luar dalam hal ini adalah kota pinang. Kemudian terdapat penelitian oleh H.S Akbar
yang mengangkat judul Orientasi Keagamaan Komunitas Barongsai Naga Buana Dalam
Gebyuran Di Masjid Jami’ Al-Manshur Kampung Kauman Wonosobo, penelitian ini
berfokus pada budaya gebyuran di jawa yang lekat dengan islam dan adanya akulturasi
keragaman kelompok etnis agama lain.
Tradisi Gebyuran Bustaman sekarang ini menjadi Ikon atau daya Tarik dari Kota
Semarang ketika akan menyambut Bulan Ramadhan. Tradisi Gebyuran Bustaman ini
biasanya dimulai setelah melaksanakan sholat Ashar hingga menjelang Maghrib. Sebelum
dilakukannya ritual ini masyarakat biasanya mengotori tubuh dan mencoretcoret wajah, hal
ini dilakukan karena dianggap sebagai simbol angkara murka. Kemudian sesepuh memimpin
untuk doa, ritual dilanjutkan dengan mengisi plastik dengan air warna-warni, kemudian
masyarakat saling melemparkan plastik yang berisi air tersebut hingga basah kuyup. Usai
tradisi Gebyuran Bustaman ini dilakukan, masyarakat menutupnya dengan berkumpul dan
menikmati hidangan khas Kota Semarang. Tradisi Gebyuran Bustaman ini menjadi suatu
kultur yang berevolusi mengikuti kebiasaan dari masyarakat, tradisi ini tidak termakan oleh
waktu akan tetapi menjadi suatu daya tarik dari Kota Semarang. Tradisi ini dibuat semakin
menarik karena prosesproses saat melakukan tradisi ini berbeda dari yang sebelumnya.
Dengan adanya tradisi ini masyarakat semakin memiliki hubungan yang erat dengan sesama
manusia ataupun hubungan dengan Tuhan.
Tradisi Gebyuran Bustaman ini menjadi suatu kultur yang berevolusi mengikuti
kebiasaan dari masyarakat, tradisi ini tidak termakan oleh waktu akan tetapi menjadi suatu
daya tarik dari Kota Semarang. Tradisi ini dibuat semakin menarik karena prosesproses saat
melakukan tradisi ini berbeda dari yang sebelumnya. Dengan adanya tradisi ini masyarakat
semakin memiliki hubungan yang erat dengan sesama manusia ataupun hubungan dengan
Tuhan.
Berdaaarkan paparan diatas penelitian ini bermaksud untuk menemukan :
1. Bagaimana Pelaksanaan tradisi Gebyuran di Semarang?
2. Apa makna yang terkandung dalam Tradisi Gebyuran di Semarang?
3. Bagaimana Relasi antara Islam dan Budaya Jawa dalam Tradisi Gebyurandan
orientasinya dengan kehidupan Masyarakat sekarang?
Ketiga pertanyaan diatas didasarkan pada asumsi berikut:
1. Tradisi budaya jawa memiliki tata urut dalam pelaksanaan itu sendiri
2. Tradisi budaya jawa memiliki makna yang terkandung dalam setiap pelaksanaanya
3. Tradisi memiliki Relasi dengan Agama Islam dan Orientasinya terhadap masyarakat
sekarang

METODE
HASIL

Pelaksanaan Tradisi Gebyuran


Tradisi gebyuran atau gebyuran adalah tradisi yang dilakukan oleh masyarakat
Kampung Bustaman setiap tahun menjelang bulan Ramadhan. Tradisi ini berasal dari ajaran
Kyai Kertoboso Boestam, pendiri Kampung Bustaman, yang mengajarkan agar masyarakat
menjalin silaturahim dan menyucikan diri sebelum berpuasa. Tradisi ini juga merupakan
bentuk living hadis, yaitu pengamalan hadis-hadis Nabi Muhammad SAW dalam kehidupan
sehari-hari. Tradisi gebyuran dilakukan dengan cara saling melempar air antara warga setelah
mendengar tiga kali pukulan kentongan dari masjid. Air yang digunakan berasal dari sumur-
sumur tua yang ada di kampung tersebut. Masyarakat percaya bahwa air sumur tersebut
memiliki khasiat untuk membersihkan diri dari segala dosa dan penyakit. Tradisi ini juga
menjadi ajang untuk bersenang-senang dan bercanda antara warga, terutama anak-anak dan
remaja. Tradisi gebyuran telah berlangsung sejak tahun 1743 dan masih tetap dilestarikan
hingga sekarang. Tradisi ini menjadi salah satu ciri khas dan kearifan lokal Kampung
Bustaman, yang merupakan salah satu kampung lama di Kota Semarang. Kampung
Bustaman memiliki eksistensi yang kuat di tengah perkembangan kota, karena
masyarakatnya memiliki sense of place yang tinggi.
Masyarakat Kampung Bustaman juga dikenal sebagai masyarakat yang religius,
kreatif, dan produktif, terutama dalam bidang oenyembelihan kambing kambing dan
pengolahan kuliner, hal ini tidak lepas dari sejarah dimana para warga bustaman yang
merupakan kumpulan warga yang terdiri dari etnis arab dan jawa dan juga sebagai efek dari
kebiasaan para kolonial di saat itu yang suka memakan daging namun tidak mau repot
mengurusi penyembelihan serta oengolahan jeroan dari kambing yang akhirnya dimanfaatkan
oleh warga kampung bustaman . Pelaksanaan tradisi bustaman Gebyuran adalah ritual
menyucikan diri dengan air sebelum menjalankan ibadah puasa di bulan Ramadan. Tradisi ini
dibawa oleh Walisongo ketika menyebarkan agama Islam di Nusantara, khususnya Pulau
Jawa Di kampung Bustaman, kecamatan Purwodinatan, Kecamatan Semarang Tengah, Kota
Semarang, tradisi gebyuran dilakukan dengam cara yang unik dan dinamai gebyuran
bustaman. Tradisi ini bermula dari kebiasaan Kiai Kertoboso Busman yang dulunya sering
memandikan cucunya menjelang bulan Ramadan.
Istilah yang dipakai pada saat itu adalah padusan, Hal itu dipercaya sebagai simbol
untuk menyucikan diri dari dosa-dosa sebelum berpuasa.karena istilah padusan dianggap
terlalu general atau mengerucut akhirnya warga sepakat untuk sedikit memodifikasinya dan
mengganti istilah padusan menjadi gebyuran tanpa mengurangi makna di baliknya. Tradisi
gebyuran bustaman ini dilakukan dengan cara saling melempar air warna-warni yang sudah
diisi dalam plastik. Sebelumnya, warga akan berkumpul dan berdoa bersama di masjid
setelah mendengar lima kali pukulan kentongan. Kemudian, ada lima anak yang dicoret
wajahnya dengan pewarna merah, hijau, dan biru, serta memakai kaos putih. Mereka disiram
air dari kendi yang diambil dari sumur tua yang dibuat oleh Kiai Bustam 279 tahun lalu.
Tradisi gebyuran kampung bustaman dimulai dengan pembacaan arwah jamak, dan pengajian
makam Sayyid Abdullah, yang merupakan salah satu sesepuh kampung yang makamnya baru
terkuak berkat jasa dsri Habib Lutfi bin Yahya. Pada hari pelaksanaan, warga kampung
berkumpul di masjid setelah mendengar tiga kali pukulan kentongan. Mereka berdoa bersama
dan mengambil air dari sumur tua yang dibuat oleh Kiai Kertoboso Bustam 279 tahun lalu.
Ada lima anak yang dipilih untuk menjadi simbol penyucian diri. Mereka dicoret wajahnya
dengan pewarna merah, hijau, dan biru, serta memakai kaos putih. Pewarna tersebut
melambangkan dosa-dosa hidup, sedangkan kaos putih melambangkan kesucian Lima anak
tersebut disiram air dari kendi yang diarak oleh warga dari sumur ke masjid. Kemudian,
warga saling melempar air warna-warni yang sudah diisi dalam plastik. Tradisi ini disebut
gebyuran bustaman. Setelah gebyuran bustaman selesai, warga melakukan ziarah ke makam
Kiai Bustam dan Sayyid Abdullah. Mereka juga mengadakan kegiatan lain seperti temu mitra
pekakota, penampilan musik, dan arak-arakan warga.

Makna Tradisi Gebyuran


Tradisi Gebyuran di Kampung Bustaman merupakan salah satu bentuk kekayaan
budaya yang patut dilestarikan dan dikembangkan. Tradisi ini menunjukkan nilai-nilai
kebersamaan, kebersihan, dan ketaqwaan yang dimiliki oleh warga Kampung Bustaman.
Tradisi ini juga menjadi salah satu daya tarik wisata bagi para pengunjung yang ingin
mengenal lebih dekat kehidupan masyarakat kampung kota Semarang. Tradisi gebyuran ini
sendiri dimaknai oleh warga sekitar sebagai proses menyucian diri menyambut Ramadhan
Dalam tradisi gebyuran, warga mengoles wajahnya dengan bedak dingin yang berwarna
berwarna yang bermakna dosa atau kesalahan selama setahun ke belakang. Kemudian, warga
saling melempar air untuk membersihkan diri dari dosa- dosa tersebut.
Tradisi Gebyuran di Kampung Bustaman juga memiliki latar belakang sejarah dan
agama yang kuat. Tradisi gebyuran pun dibawa oleh Walisongo ketika menyebarkan agama
Islam di Nusantara, khususnya Pulau Jawa. Tradisi gebyuran diinspirasi oleh kebiasaan Kiai
Bustam, pendiri kampung tersebut, yang sering memandikan cucunya menjelang bulan puasa
dilaksanakan. Makna Tradisi Gebyuran segi spiritual, Tradisi di kampung bustaman ini
merupakan simbol untuk menyucikan diri dari dosa-dosa sebelum berpuasa. Tradisi ini juga
menjadi media untuk merenung dan introspeksi diri dari kesalahan-kesalahan yang telah
dilakukan di masa lalu. Unsur-unsur yang melambangkan penyucian diri adalah air dan bedak
dingin. Air diambil dari sumur tua yang dibuat oleh Kiai Bustam yang diyakini memiliki
kekuatan mistis. Pewarna merah, hijau, dan biru melambangkan dosa-dosa hidup. Segi sosial
tradisi gebyuran di kampung bustaman juga menjadi ajang silaturahmi dan kebersamaan
antara warga kampung dan masyarakat luas. Tradisi ini menarik perhatian banyak orang, baik
dari dalam maupun luar kota, bahkan wisatawan asing. Unsur-unsur yang melambangkan
persatuan dan solidaritas adalah kentongan, kendi, dan plastik. Kentongan digunakan untuk
mengajak warga berkumpul di masjid dan juga sebagai tanda suara dimulainya tradisi
Bustaman. Kendi digunakan untuk mengarak air dari sumur ke masjid. Plastik digunakan
untuk saling melempar air warna-warni
Dari Segi budaya Tradisi Gebyuran di kampung bustaman adalah salah satu warisan
budaya yang kaya dan beragam dari masyarakat Jawa. Melakukan tradisi ini dapat menjadi
upaya untuk melestarikan budaya Jawa, dan juga dapat menjadi ajang untuk mengenalkan
keunikan budaya Jawa kepada dunia Unsur-unsur yang melambangkan warisan budaya
adalah masjid, makam, dan musik dari hadroh. Masjid merupakan tempat ibadah sekaligus
pusat kegiatan masyarakat. Makam merupakan tempat ziarah para sesepuh kampung yang
berjasa dalam menyebarkan agama Islam. Musik hadroh merupakan salah satu bentuk
ekspresi seni masyarakat jawa. Tradisi gebyuran bustaman ini sudah ada sejak tahun 1743
dan masih bertahan hingga sekarang. Tradisi ini juga menjadi ajang silaturahmi dan
kebersamaan antara warga kampung Bustaman dan masyarakat luas. Tradisi Bustaman
merupakan warisan dari leluhur yang harus dihormati dan dilestarikan. Tradisi ini berasal dari
kebiasaan Kiai Kertoboso Bustam yang sering memandikan cucunya sebelum berpuasa.
Tradisi ini memiliki keunikkan tersendiri sehingga menarik perhatian banyak orang baik
masyarakat asli bustaman maupun dari masyarakat umum baik dari dalam maupun luar kota,
bahkan wisatawan asing. Tradisi ini juga menjadi salah satu budaya masyarakat Indonesia
yang ikonik dan khas Tradisi Bustaman juga memiliki makna spiritual yang mendalam, yaitu
sebagai simbol untuk menyucikan diri dari dosa-dosa sebelum berpuasa.
Relasi Islam dan Tradisi Gebyuran dan Orientasinya dengan Kehidupan Masyarakat
Sekarang
Gebyuran atau dalam kasus ini adalah tadisi bustaman secara garis umum adalah
sebuah upacara yang dilaksanakan oleh sekelompok masyarakat dalam suatu daerah didalam
waktu waktu tertentu yang memiliki tujuan sebagai simbol pembersihan diri guna kembali
kepada jati diri manusia yang suci melalui media air yang di basuh kearah sekejur tubuh
mereka sehingga menimbulkan kesan mereka telah bersih dari dosa dosa yang telah
dilakukan. Selain itu, tradisi ini juga diramaikan dengan berbagai perayaan seperti musik
hadroh, tarian-tarian dan makan bersama. Hal demikian nentunya memiliki makna yang
menarik bagi masyarakat sekitar atau bahkan khalayak umum. Tradisi bustaman ini tentunya
mempunyai beragam orientasi yang kuat dengan kehidupan pada masa sekarang ini.
Lalu bagaimanakah relasi yang ada dalam upacara gebyuran menurut pandangan
islam dan jawa dalam orientasinya di dalam masyarakat? Untuk menjawab ini perlu kita
ketahui bahwa unsur penting dalam tradisi gebyuran adalah air itu sendiri terlepas dari ada
juga unsur lainya yang sering digunakan dalam upacara seperti hadroh, menyembelih
kambing atau makan-makan bersama tetapi sejatinya airlah pemeran utama dalam tradisi
gebyuran ini. Berbagai bukti sejarah nusantara sudah menggambarkan dan memberikan
faktanya mengenai makna air, dimana sudah dianggap zat pembersih dan mensucikan jauh
sejak dahulu bahkan sebelum agama islam masuk di nusantara, dimana saat itu air yang
dianggap suci ini mendapat sebutan tirta di zaman dahulu, dalam budaya jawa apalagi yang
kental akan kepercayaan terhadap leluhur dan pelestarian kepercayaan nenek moyang, setelah
agama islam masuk Nusantara para walisongo tidak secara langsung menghilangkan
kepercayaan masyarakat mengenai kesucian air atau khasiat dari air itu sendiri karena dalam
islam juga di ajarkan bahwa air adalah sumber pembersihan dan penyucian umat dalam
menjalankan ibadah, bahkan kisah tentang air yang berkhasiat sudah tertulis dalam Al-Qur’an
yang diabadikan dalam rangkaian ibadah haji dan umrah dimana dalam kasus ini adalah air
zam-zam dimana dalam banyak riwayat mengatakan bahwa sebaik baik air adalah air zam-
zam . Dari hal tersebut jelas adanya relasi antara agama islam dan budaya jawa dalam
konteks memaknai air, karena unsur utama dalam upacara gebyuran adalah air sebagai relasi
yang kuat untuk menghilangkan dosa yang telah dilakukan. Islam menggambarkan air
sebagai elemen pensucian, karena memang sejatinya air itu mensucikan namun islam
menampik bahwa air ini berasal dari para dewa atau leluhur mereka, maka dari itu tradisi
bustaman ini menggunakan air untuk media pembersihan diri pada tradisi ini, hal demikian
dimaksudkan untuk memanjatkan doa kepada Allah SWT melalui air sebagai perantaranya
agar dosa-dosanya terhapuskan.
Menyembelih kambing dan makan-makan bersama turut menjadi serangkaian acara
dalam tradisi gebyuran bustaman ini. Tentunya acara tersebut menjadi bagian yang juga
disukai dan ditunggu oleh orang-orang. Makna dari adanya momentum makan-makan ini
sendiri merupakan sebagai bentuk ajang berkumpul atau silahturahmi para warga guna
merekatkan hubungan satu sama lain. Kaitannya dengen masa sekarang adalah pentingnya
sebuah perkumpulan atau tali silaturahmi yang harus tetap berjalan dimana dan kapanpun itu.
Seperti yang kita ketahui sendiri, pada zaman yang serba maju dengan berbagai teknologi ini,
manusia dimanjakan dengan kenikmatan teknologi yang menjadikannya candu dan sulit
untuk meninggalkannya. Orang-orang pada masa sekarang banyak yang terkesan individualis
atau hanya berfokus pada dunia maya sehingga mengasingkan diri terhadap lingkungan
sekitarnya, padahal sejatinya hal itu bukannya sebuah perlakuan yang tepat. Maka dari itu
salah satu agenda dari tradisi gebyuran, yakni makan-makan harus tetap ada dan dilestarikan
pada tradisi ini. Hal ini berguna untuk merekatkan satu sama lain dan menunjukkan ikatan
yang kuat agar bisa menjadi contoh kepada masyarakat umum diluar daerah bustaman.
Orientasi yang bisa di petik guna kehidupan di masa kini sejatinya tidak ada beda
yang terlalu jauh. Dengan adanya kemajuan zaman dan teknologi banyak yang akhirnya
mengatakan bahwa kepercayaan tentang hal itu adalah tahayul, namun saat kita berusaha
menaruh perhatian yang lebih detail lagi kita akan menemukan nilai nilai yang lebih tepat
terhadap perubahan pada zaman kita sekarang, yakni dengan banyaknya kemudahan akses
terhadap dosa dan kemaksiatan. Melalui tardisi ini orientasi tentang kebaikan dan
kebersamaan dalam mengahadapi dan menyambut datangnya bulan suci ramadan akan lebih
tersampaikan dengan baik kepada masyarakat di masa kini, sehingga hal demikian dapat
menjadi contoh positif dan dapat ditiru serta terus dilestarikan hingga kelak agar tetap terjaga
dan tidak punah tergerus oleh zaman.

KESIMPULAN
Beyond the fact
Kelemahan
Kesempatan bagi peneliti lain Berdasarkan keterbatasan penelitian ini
DAFTAR PUSTAKA

Anda mungkin juga menyukai