Anda di halaman 1dari 7

MENGKAJI FENOMENA SEKITAR DALAM PSIKOLOGI INDIGENOUS

Tugas Mata Kuliah Psikologi Indigenous

A. JUDUL FENOMENA

Tradisi Padusan mneyambut bulan Ramadhan bagi masyarakat Jawa Tengah


terkhusus daerah Klaten dan Boyolali

B. LATAR BELAKANG

Bulan Ramadhan merupakan bulan yang suci dan sakral bagi umat Islam.
Umat Islam diseluruh dunia selalu menantikan datangnya bulan Ramadhan
dengan penuh suka cita. Pada bulan yang suci ini, umat Islam diseluruh dunia
diwajibkan untuk menjalankan puasa Ramadhan sesuai anjuran Nabi Muhammad
SAW selama 30 hari berturut-turut tanpa jeda.

Puasa menurut KBBI, merupakan sinonim dari kata siam/saum. Sedangkan


menurut terminologi (istilah) puasa ialah menahan diri dari makan, minum, dan
hubungan seksual dan lain-lain yang telah diperintahkan menahan diri dari
padanya sepanjang hari menurut cara yang telah di syariatkan. Disertai pula
menahan diri dari perkataan sia-sia (membuat), perkataan yang merangsang
(porno) perkataan-perkataan lain baik yang haram maupun yang makruh pada
waktu yang telah ditetapkan dan menurut syarat yang telah ditentukan
(Muhammad bin Ismail al-Kahlani).
Kesakralan puasa pada bulan Ramadhan, dimaknai berbeda-beda oleh setiap
umat Islam di penjuru dunia. Umat Islam berlomba-lomba menyambut bulan
Ramadhan, mengumpulkan pahala serta kebaikan dengan caranya masing-
masing. Seperti halnya di daerah Jawa Tengah, terutama di daerah Klaten dan
Boyolali masyarakat muslim asli Jawa Tengah menyambut kehadiran bulan
Ramadhan dengan cara mensucikan diri sebelum memasuki bulan puasa
Ramadhan melalui tradisi 'padusan'.
C. ISI FENOMENA

Seluruh umat Islam di penjuru dunia selalu melakukan persiapan ketika


hendak menyambut bulan suci Ramadhan. Persiapan tersebut selalu identik
dengan proses penyucian diri, jiwa, serta kegiatan-kegiatan yang dapat
meningkatkan amalan ibadah.

Di Indonesia sendiri, terdapat ragam kegiatan yang biasa dilakukan


masyarakat dalam rangka menyambut datangnya Ramadhan. Di
Yogyakarta dan Jawa Tengah, misalnya, masyarakat kerap berduyun-duyun
melakukan sebuah ritual, sebuah tradisi, membasuh atau memandikan diri
mereka di sumur atau sumber-sumber mata air. Kegiatan tersebut dikenal dengan
istilah tradisi padusan.

Padusan berasal dari kata dasar adus yang berarti mandi. Dalam
pengertian budaya, padusan merupakan tradisi masyarakat membersihkan diri
atau mandi besar dengan maksud dan tujuan untuk mensucikan raga dan jiwa
dalam rangka menyambut datangnya hari-hari atau bulan istimewa, seperti bulan
Ramadhan, Hari Raya Idul Fitri, dan Hari Raya Idul Adha.

Tradisi padusan diyakini telah diwariskan secara turun menurun dari para
leluhur. Mensucikan diri dengan cara mandi besar memang disunnahkan oleh
Nabi Muhammad SAW dalam menyambut datangnya bulan suci, namun memang
tidak ada aturan baku tentang bagaimana harus melakukan proses padusan.
Kendati demikian, masyarakat Jawa Tengah terkhusus daerah Boyolali dan
Klaten biasanya melaksanakan tradisi ini dengan cara mandi beramai-ramai di
sumur atau sumber mata air.

Tradisi padusan ini dilakukan dengan cara berendam atau mandi di sumur-
sumur atau sumber mata air. Dengan membersihkan raga kita dari ujung rambut
sampai ujung kaki dipercaya dapat menyingkirkan noda-noda serta kotoran-
kotoran pada diri kita sehingga kita dapat menyambut bulan suci dengan bersih
secara lahir dan batin.
Di beberapa tempat, padusan memang masih menyimpan kesakralanya,
meskipun beramai-ramai mendatangi sumber mata air, masyarakat melakukan
ritual padusan dengan sangat khusuk. Masyarakat Klaten dan Boyolali melakukan
ritual sehari sebelum dimulainya puasa atau sehari sebelum tanggal 1 Ramadhan.

Tradisi padusan dimulai dengan arak-arakan pada tokoh daerah


menggunakan busana Jawa (beskap dan kebaya) menaiki kereta kuda keliling
kota menuju salah satu sumber mata air. Setelah tiba ditempat, para tokoh
memasuki tempat dengan beriring-iringan disertai gamelan sebagai musik
pengiring. Acara pertama yaitu sambutan dari berbagai tokoh masyarakat
setempat, dilanjutkan dengan simbolisasi siraman, yaitu perwakilan pria dan
wanita dengan busana siraman, duduk di tempat yang telah disediakan untuk
disirami oleh tokoh masyarakat setempat. Siraman diartikan menyiram seluruh
kotoran serta hal-hal negatif pada diri seseorang agar ikut luruh bersama air
siraman yang jatuh. Kemudian setelah selesai siraman, perwakilan pria dan
wanita tersebut berjalan beriringan menuju kolam/sumber mata air untuk
kemudian mencelupkan diri dari ujung kaki hingga ujung kepala, sehingga sekujur
tubuhnya basah oleh air. Ritual ini menandakan bahwa ritual padusan bagi
masyarakat umum dapat segera dilaksanakan. Ritual kemudian ditutup dengan
tarian tradisional Jawa Tengah.

Bagi para masyarakat umum, biasanya memulai ritual dengan niat yang
diucapkan didalam hati untuk membersihkan jiwa dan raga agar siap
menyongsong bulan suci, membasuh tubuh dimulai dari ujung kepala hingga
ujung kaki dengan seksama, sambil berterimakasih kepada Allah SWT karena
memberi kesempatan untuk bertemu kembali dengan bulan suci Ramadhan,
berdoa dengan sungguh-sungguh agar diampuni dosa-dosa serta kesalahan
dibulan-bulan sebelumnya dan meminta kepada Allah SWT agar diberi
kelancaran dalam menjalankan puasa selama 30 hari berturut-turut, dijauhkan
dari godaan dan hasutan setan untuk berbuat tidak baik, serta memohon agar
diberi umur panjang untuk dapat merayakan hari kemenangan bersama keluarga
pada akhir bulan Ramadhan nanti. Setelah membasuh seluruh tubuh dengan
seksama, ritual diakhiri dengan mengambil air wudhu.
Namun di sejumlah tempat lain, terutama diderah perkotaan, ritual padusan
kini telah menjadi komoditi pariwisata. Masyarakat lupa bahwa padusan itu bukan
sekedar mandi dan keramas menjelang puasa. Namun lebih kepada pembersihan
raga dan jiwa sehingga benar-benar bersih, suci, dan siap untuk berpuasa.
Begitulah kata kanjeng Raden Tumenggung, seorang budayawan di Solo, Jawa
Tengah. Tradisi padusan di perkotaan tampak sudah kehilangan ruhnya. Apalagi
belakangan ini ritual padusan mulai dijual demi kepentingan pariwisata. Bahkan
banyak tempat-tempat padusan yang dilengkapi dengan panggung dangdut. Nilai
sakral mulai ditinggalkan, tetapi lebih mengejar pada jumlah pengunjung.
Semakin banyak orang datang, maka semakin banyak pula tiket yang terjual.

D. PEMBAHASAN

Proses pembersihan diri dalam rangka menyambut datangnya bulan suci


Ramadhan merupakan sunnah dari Rasulullah SAW. Dalam hal tersebut,
pembersihan diri yang dimaksut adalah mandi besar, membasuh tubuh secara
menyeluruh, dan berwudhu. Hal ini nampaknya disunting oleh masyarakat Jawa
Tengah terkhusus daerah Boyolali dan Klaten, lalu kemudian proses pembersihan
diri ini menjadi tradisi asli masyarakat setempat dengan nama tradisi padusan.

Tradisi padusan di Jawa Tengah sendiri merupakan tradisi turun temurun


yang telah dilakukan dari jaman dahulu kala. Dalam hal ini, tradisi padusan dapat
berkembang dan menjadi salah satu budaya asli masyarakat Boyolali dan Klaten
karena dipengaruhi oleh berbagai macam faktor. Salah satunya adalah faktor
pesatnya perkembangan agama Islam di Jawa Tengah yang kemudian
menjadikan Islam sebagai agama mayoritas yang dianut penduduk setempat.
Boyolali dan Klaten merupakan daerah yang penduduknya cukup banyak, dan
mayoritas adalah pemeluk agama Islam. Dari data yang disajikan oleh Badan
Pusat Statistik Jawa Tengah, Boyolali dengan total penduduk tahun 2017
sejumlah 1.047.280 jiwa, sebanyak 1.010.879 jiwa merupakan pemeluk agama
Islam. Sedangkan di daerah Klaten dengan total penduduk sejumlah 1.390.639
jiwa, 1.262.007 jiwa merupakan pemeluk agama Islam.
Faktor lainnya yang memungkinkan tradisi padusan menjadi tradisi asli Jawa
Tengah terkhusus daerah Klaten dan Boyolali adalah topografi daerah tersebut
yang mempunyai banyak sumber mata air. Klaten dan Boyolali merupakan daerah
dengan lebih banyak sumber mata air dibandingkan daerah lainnya di Jawa
Tengah, maka tidak mengeherankan apabila tradisi padusan tumbuh subur dan
mengakar pada daerah-daerah ini. Kemudahan akses masyarakat setempat ke
sumber-sumber mata air membuat tradisi padusan lebih mudah untuk dilakukan
sehingga tradisi ini masih dilestarikan hingga kini.

Kebudayaan asli yang tumbuh subur dan lestari di suatu daerah, menurut
penulis merupakan hasil dari kecocokan tradisi dengan budaya yang telah ada
sebelumnya di masyarakat tersebut. Tradisi padusan, merupakan cara umat Islam
berusaha menyucikan diri untuk menyambut bulan Ramadhan yang kemudian
dicocokkan dengan ritme kehidupan masyarakat daerah Klaten dan Boyolali,
dimana mayoritas masyarakatnya adalah pemeluk agama Islam, serta topografi
daerahnya memungkinkan untuk melakukan ritual. Hal ini kemudian yang
menggerakkan hati dan pikiran masyarakat, menjadi motivasi masyarakat untuk
tetap menjalankan ritual, melestarikan ritual, menjadi sebuah tradisi yang asli,
unik, dan satu-satunya yang hanya dimiliki oleh daerah tersebut.

Tradisi padusan dengan serangkaian ritual yang sakral, yang tidak ditemukan
dimanapun selain di daerah ini, menjadi nilai budaya tersendiri bagi masyarakat
Klaten dan Boyolali. Hal yang unik ini kemudian menjadi daya tarik tersendiri bagi
masyarakat luas. Terbukti dengan banyaknya wisatawan dari luar daerah, yang
sengaja datang untuk mengikuti tradisi padusan ini, baik dengan hanya
menyaksikan serangkaian ritual maupun ikut berpartisipasi meramaikan tradisi
padusan.

Bagi masyarakat setempat, tradisi padusan merupakan ritual yang sangat


sakral, karena erat hubungannya dengan kepercayaan dan Tuhan. Namun
terkadang masyarakat luar daerah yang datang menyaksikan ritual padusan,
menganggap hal ini sebagai konten wisata semata. Hal inilah yang harus kita
hindari. Sebagai masyarakat luar daerah yang minim pengetahuan mengenai
sebuah tradisi, sebaiknya kita mencari tahu asal muasal, serta nilainya bagi suatu
kelompok tertentu, sehingga kita dapat menghormati tradisi dan kesakralannya
sama baik seperti kita menghormati dan menghargai kesakralan tradisi kita
sendiri.

Akan sangat tidak bijaksana rasanya apabila kita mencampur tradisi asli suatu
daerah dengan hal-hal yang dapat merusaknya. Maka hal yang dapat kita lakukan
apabila kita menjadi turis dan berkesempatan mengenal tradisi asli suatu daerah
secara langsung adalah berusaha untuk mengenal. Ketika kita berusaha untuk
mengenal dan mendalami suatu tradisi, maka otomatis kita akan menghargai asal
usul, perkembangan, serta jalannya tradisi tersebut. Dalam tradisi padusan ini,
telah disampaikan diatas bahwa kini tradisi padusan menjadi komoditi wisata yang
membaurkan tradisi-tradisi lain (seperti adanya panggung dangdut di wilayah
ritual) dan berusaha membaurkannya dengan ritual yang sakral. Apabila kita
dapat menghargai suatu tradisi, maka kita tidak dengan mudah mengikuti hal-hal
yang dinilai melawan arus. Kita dapat memilah hal mana yang bijak untuk
dilakukan ketika kita berada pada situasi tradisi tersebut.

E. KESIMPULAN

Setiap komunitas masyarakat pasti akan selalu melahirkan sebuah budaya.


Selain sebagai kebutuhan, budaya juga merupakan konsekuensi sosiologis orang
bermasyarakat. Masyarakat dimanapun di dunia pasti mempunyai budaya asli.
Salah satu cara untuk menghargainya dalah dengan cara mempelajari dan
berusaha untuk memahami budaya tersebut. Selain dapat memperluas
pengetahuan kita, mempelajari budaya asli suatu daerah akan membantu kita
untuk melestarikannya.

Tradisi padusan merupakan tradisi yang masih sangat alami serta sakral bagi
masyarakat Jawa Tengah terkhusus daerah Klaten dan Boyolali. Tradisi ini
haruslah selalu dihidupkan hingga anak cucu kita nanti, maka tugas kita adalah
mendukung agar budaya ini tetp hidup ditengah gempuran budaya global.

Saran saya bagi mayarakat setempat, tetap lakukan ritual padusan setiap
tahun menjelang bulan Ramadhan, sehingga tradisi ini tidak hilang dan dapat
mengajarkan nilai budaya bagi masyarakat setempat. Karena uniknya ritual ini,
sehingga kemungkinan menarik wisatawan luar daerah sangatlah besar, maka
manfaatkan momen ini untuk menunjukkan nilai budaya asli kalian. Sehingga
tertanam dalam benak wisatawan bahwa tradisi padusan merupakan budaya asli
milik masyarakat Klaten dan Boyolali, jangan merusak penilaian masyarakat luas
akan sakralnya tradisi padusan dengan hal-hal yang tidak berelasi dengan tradisi
tersebut. Janganlah menggunakan kesempatan ini untuk kepentingan pribadi,
namun gunakanlah sebaik-baiknya untuk melestarikan tradisi dan budaya daerah.

F. DAFTAR PUSTAKA

https://www.kompasiana.com/putriocta/59398686e3f7bc64664aa3e2/tradisi-
padusan-menyambut-bulan-ramadan

Taqiyudin al-Din Abi Bakar bin Muhammad al-Husaini, Kifayatul Akhyar,


(Surabaya: Bina Ilmu, 1984).

https://jateng.bps.go.id/statictable/2016/08/19/1272/jumlah-penduduk-menurut-
kabupaten-kota-dan-agama-yang-dianut-di-provinsi-jawa-tengah-2015.html

https://klatenkab.go.id/geografi-dan-topografi-kabupaten-klaten/

https://boyolalikab.bps.go.id/subject/153/geografi.html

Anda mungkin juga menyukai