Anda di halaman 1dari 2

TRADISI TAKIRAN DI BULAN SURA SEBAGAI WUJUD KEBERAGAMAN BUDAYA

DI DESA SELANEGARA KECAMATAN SUMPIUH

Septimia Puspa Hastria Sayu Wiwit


Pascasarjana Pendidikan Islam Anak Usia Dini
Universitas Islam Negeri Prof. K.H. Saifuddin Zuhri Purwokerto
septimiapuspa@gmail.com

Abstrak

Tradisi Takiran masih sangat familiar kita jumpai di seluruh pelosok desa di Kabupaten
Banyumas, Khususnya di Kecamatan Sumpiuh.Tradisi Takiran yang dilaksanakan di bulan Sura/
Muharam ini merupakan salah satu bentuk keberagaman budaya yang kita miliki, sebagai
perwujudan rasa syukur kepada pencipta.Tidak ada ketentuan pasti mengenai hari pelaksanaan
Takiran ini,yang pasti masih dalam hari di bulan sura sesuai kesepakatan warga desa dengan
kepala desanya.Biasanya diambil hari minggu atau hari libur dengan pertimbangan agar
pelaksanaan takiran ini bisa dinikmati oleh banyak masyarakat terutama yang hari-hari
bekerja.Sebelum dilaksanakan doa bersama dan makan-makan nasi takir biasanya kaum laki-laki
bekerja bakti membersihkan lingkungan dan fasilitas umum,sedangkan kaum perempuan/Ibu-ibu
mempersiapkan Nasi Takir lengkap dengan lauk pauknya.Penelitian ini menggunakan teori
Intepretasi budaya oleh Clifford Geertz yakni kebudayaan merupakan pola-pola makna (pattern
of meaning) yang tertuang dalam berbagai symbol.Sedangkan metode yang digunakan adalah
metode deskriptif kualitatif dengan pendekatan Fenomenologi.Tekhnik pengumpulan data yang
digunakan adalah obervasi dan interview terhadap kepala desa dan para sesepuh setempat.Tujuan
penelitian ini adalah kita bisa mengetahui Makna Filosofi yang terkandung dalam takir sangat
unik yaitu ‘ditata lan dipikir’’ serta ‘taqwa dan dzikir” serta pernak pernik dalam tradisi
takiran.Tradisi takiran merupakan warisan budaya dari islam jawa yang masih kita jumpai dari
jaman dahulu hingga saat ini,hanya saja ada beberapa desa yg sudah mengkombinasikan
tampilan-tampilan takiran lebih modern.Ada juga yg masih mempertahankan tata cara dan
tampilan dari nasi takirnya,seperti di desa Selanegara yang masih menggunkan daun pisang yang
dibentuk takir sebagai tempat Nasi kemudian diatasnya ditaruh lauk pauk, sayur dan
kelengkapan lainnya.

Kata kunci : Tradisi Takiran; Keberagaman Budaya


Abstarct

The Takiran tradition is still very familiar, we can find it in all corners of the village in
Banyumas Regency, especially in Sumpiuh District. It is certain about the day of the Takiran
implementation, which is definitely still on the day of the Sura month according to the agreement
between the villagers and the village head. Usually it is taken on Sundays or holidays with the
consideration that the implementation of this takiran can be enjoyed by many people, especially
those who work days. praying together and eating takir rice usually the men work to clean the
environment and public facilities, while the women/mothers prepare Nasi Takir complete with
side dishes. This study uses the theory of cultural interpretation by Clifford Geertz, namely
culture is a pattern of the pattern of meaning contained in various symbols. While the method
used is a qualitative descriptive method with a phenomenological approach. The data collection
technique used is observation and interviews with village heads and local elders. arranged and
thought about'' and 'taqwa and dhikr' as well as knick-knacks in the takiran tradition. The takiran
tradition is a cultural heritage from Javanese Islam that we still encounter from ancient times
until now, it's just that there are several villages that have combined the appearances of more
takiran. There are also those who still maintain the procedure and appearance of their takir rice,
such as in the village of Selanegara, which still uses banana leaves which are shaped as takir for
rice and then put side dishes, vegetables and other accessories on top.

oiiuuKeywords: Takiran Tradition; Cultural Diversity

Anda mungkin juga menyukai