Anda di halaman 1dari 16

TRADISI MENDEM ARI-ARI

Eksistensi tradisi mengubur ari-ari masyarakat suku Jawa di kota Jayapura

ABSTRAK
Kota Jayapura adalah kota yang sarat akan keberagaman termasuk keberagaman
suku dan budaya atau tradisi. Masyarakat suku Jawa yang menetap di kelurahan
Vim kota Jayapura sampai saat ini masih terbilang cukup banyak. Mereka pun masih
menjaga adat istiadat yang diwariskan dan diajarkan oleh nenek moyang mereka.
Salah satu tradisi yang masih dilestarikan adalah tradisi mendem ari-ari. Dengan
metode pengumpulan data melalui wawancara fenomenologi kualitatif, penulis
berusaha mengumpulkan fakta-fakta dari para responden dan mengemasnya dalam
tulisan ini. Walaupun tradisi ini tidak dikerjakan oleh seluruh masyarakat suku Jawa
yang tinggal di kota Jayapura, namun sebagian besar masih mengerjakannya
dikarenakan beberapa faktor di antaranya faktor menghormati nenek moyang,
adanya keyakinan terhadap hal-hal yang berbau mistis, melestarikan budaya
daerah, menjaga kekerabatan, dan lain sebagainya. Modernisasi, kepercayaan
agama, dan berkembangnya teknologi menjadikan sebagian kecil dari masyarakat
suku Jawa yang berada di kota Jayapura tidak lagi menjaga tradisi mendem ari-ari.
Eksistensi tradisi mendem ari-ari di lingkup masyarakat suku Jawa di kota Jayapura
sangat terpengaruh dengan beberapa faktor eksternal maupun faktor internal.
Kata kunci : mendem ari-ari, suku Jawa, kota Jayapura

ABSTRACT
The city of Jayapura is a city full of diversity, including ethnic and cultural diversity or
traditions. There are still quite a lot of Javanese people living in the Vim sub-district,
Jayapura city. They also still maintain the customs inherited and taught by their
ancestors. One tradition that is still preserved is the tradition of dem ari-ari. Using the
data collection method through qualitative phenomenological interviews, the author
tried to collect facts from the respondents and package them in this article. Even
though this tradition is not carried out by all Javanese people living in the city of
Jayapura, the majority still do it due to several factors including respect for
ancestors, belief in mystical things, preserving regional culture, maintaining kinship,
and so on. etc. Modernization, religious beliefs and the development of technology
have meant that a small portion of the Javanese people in the city of Jayapura no
longer maintain the tradition of mendem ari-ari. The existence of the mendem ari-ari
tradition in the Javanese community in the city of Jayapura is greatly influenced by
several external and internal factors.
Keywords : mendem ari-ari, Javanese, Jayapura city
Pendahuluan
Siklus kehidupan manusia terdiri dari kelahiran, kehidupan, dan kematian.
Seluruh siklus tersebut akan dilewati oleh seluruh umat manusia tanpa terkecuali
walaupun manusia tidak akan pernah tahu berapa lama dia akan hidup di dunia.
Salah satu siklus yang pasti dilewati adalah kelahiran. Masyarakat kelurahan Vim
kota Jayapura yang terdiri dari kebanyakan suku Jawa tentu tidak lepas dari adat
istiadat dan tradisi, termasuk tradisi mengubur ari-ari setelah melahirkan anak
mereka yang tentunya sarat akan ritual-ritual maupun ketentuan-ketentuan khusus
yang harus dijalani pada saat melaksanakan prosesi penguburan ari-ari dari seorang
bayi yang baru lahir. Tradisi mengubur ari-ari atau biasa disebut plasenta sudah
turun temurun dilakukan oleh masyarakat suku Jawa, terutama bagi mereka yang
masih tinggal di daerah perkampungan dan pedesaan 1. Tradisi demikian juga masih
diamalkan dan dijaga oleh masyarakat suku Jawa yang tinggal di kelurahan Vim
kota Jayapura, walaupun tidak keseluruhan dari mereka yang masih taat dan
menjaga adat istiadat ataupun tradisi ini.
Eksistensi tradisi mengubur ari-ari dengan ketentuan-ketentuan adat istiadat
masih dijaga dan diamalkan oleh masyarakat suku Jawa di kelurahan Vim kota
Jayapura sampai saat ini dikarenakan beberapa alasan. Pertama, mengandung nilai
spiritual, sebagaimana yang diyakini oleh masyarakat desa Panti kabupaten Jember.
Masyarakat Panti memiliki keyakinan yang kuat dengan hal-hal yang berbau mistis/
supranatural dalam prosesi pelaksanaan tradisi mengubur ari-ari/plasenta. Dalam
tradisi ini masyarakat Panti memberikan perawatan khusus dalam mengubur ari-ari.
Seperti contoh yang menguburkan harus dalam keadaan suci dan memakai baju
putih. Yang artinya agar anak tersebut menjadi anak saleh 2. Kedua, mengandung
nilai menjaga kekerabatan. Masyarakat suku Jawa pada umumnya menganggap
bahwa ari-ari itu adalah saudara si bayi. Masyarakat suku Jawa di kota Samarinda
juga berpendapat bahwa diharuskan menjaga dan menghormati saudara kandung
dari bayi yang baru lahir yaitu ari-arinya, karena mereka lahir bersamaan 3. Ketiga,
melestarikan kebudayaan. Masyarakat Jawa di kelurahan Vim kota Jayapura masih
mempertahankan tradisi ini karena mereka ingin mempertahankan budaya mereka
sebagai masyarakat suku Jawa.
Tradisi dalam mengubur ari-ari seorang bayi yang baru lahir masih
dilestarikan sampai hari ini oleh sebagian besar masyarakat suku Jawa di daerah
pedesaan. Namun sebagai masyarakat yang tinggal di perkotaan, masyarakat suku
Jawa di kelurahan Vim kota Jayapura tentu akan mendapat tantangan dalam
melaksanakan tradisi atau adat istiadat dari kampung asalnya karena maraknya
gempuran modernisasi dan era teknologi yang dampaknya dapat melemahkan
hasrat para warga perkotaan untuk tetap mempertahankan tradisi atau adat istiadat
mereka4. Menurut fakta ini timbul beberapa pertanyaan yang menjadi tujuan
penulisan artikel ini yaitu apakah masyarakat suku Jawa di kota Jayapura masih
menjaga tradisi mereka dalam mengubur ari-ari?, atau hanya melaksanakan
1
Cahyani, R. E., & Syamsi, N. (2023). Mengubur Ari-Ari dalam Perspektif ‘Urf. Mitsaq: Islamic Family
Law Journal, 1(2), 194.
2
Humairoh, S., & Mufti, W. Z. (2021). Akulturasi Budaya Islam Dan Jawa Dalam Tradisi Mengubur
Tembuni. Khazanah: Jurnal Studi Islam dan Humaniora, 19(2), 264.
3
Cahyani, R. E. (2022). Mengubur Ari-Ari dalam Perspektif „Urf (Studi Terhadap Masyarakat Jawa
dan Banjar di Kelurahan Selili Kecamatan Samarinda Ilir).
4
Alifuddin, A. U., & Setyawan, B. W. (2021). Pengaruh Budaya dan Tradisi Jawa Terhadap Kehidupan
Sehari-Hari pada Masyarakat di Kota Samarinda. Jurnal Adat dan Budaya Indonesia, 3(2), 67.
sebagian dari ritualnya saja?, apa alasan dan motivasi baik bagi mereka yang masih
menjaga tradisi ini atau meninggalkannya ? dan bagaimana cara mereka
mengamalkan tradisi ini dalam kehidupan mereka di kota Jayapura.
Masyarakat kota sering meninggalkan adat istiadat atau tradisi suku mereka
karena dampak modernisasi, urbanisasi, dan globalisasi. Proses urbanisasi
menyebabkan perubahan drastis dalam gaya hidup dan nilai-nilai masyarakat. Kota-
kota menjadi pusat pertumbuhan ekonomi, teknologi, dan pendidikan, mengundang
individu untuk beradaptasi dengan tren modern. Modernisasi membawa perubahan
dalam pola pikir, nilai, dan norma-norma sosial. Masyarakat kota cenderung
mengadopsi budaya global yang sering kali bertentangan dengan tradisi lokal.
Teknologi dan media massa memainkan peran penting dalam menyebarkan gaya
hidup modern, mempercepat proses perubahan budaya. Selain itu, urbanisasi dapat
memisahkan individu dari akar budaya mereka karena perpindahan geografis dan
keberagaman populasi kota. Pada beberapa kasus, adat istiadat dan tradisi suku
dianggap kuno atau tidak relevan dalam konteks urban, sehingga masyarakat lebih
memilih mengikuti norma-norma baru. Globalisasi juga memfasilitasi pertukaran
budaya yang lebih cepat, memunculkan budaya pop yang mendunia yang mungkin
lebih menarik bagi generasi muda daripada tradisi leluhur mereka5. Dalam hal ini,
faktor-faktor ini bersama-sama menciptakan dinamika di mana masyarakat kota
cenderung meninggalkan tradisi suku mereka demi gaya hidup modern dan global.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode wawancara
fenomenologi kualitatif dengan melakukan pendekatan penelitian yang digunakan
untuk memahami dan merinci pengalaman subjek serta makna yang terkandung
dalam pengalaman tersebut. Dalam tahap sebelum penelitian, peneliti
mengidentifikasi fenomena yang akan diteliti dan memilih responden yang memiliki
pengalaman relevan terkait fenomena tersebut. Selama wawancara, peneliti
menggunakan pertanyaan terbuka dan pemandu untuk mendorong responden
menceritakan pengalaman mereka secara mendalam tanpa intervensi interpretasi
pribadi. Transkrip wawancara kemudian dianalisis dengan cermat untuk
mengidentifikasi pola, tema, dan makna yang muncul. Proses analisis melibatkan
pembuatan kluster tema, pencarian kesatuan makna, dan pembuatan riwayat
fenomena. Hasil analisis ini divalidasi dengan kembali kepada responden untuk
memastikan kesesuaian interpretasi dengan pengalaman mereka. Penting untuk
menciptakan ruang yang aman dan terbuka selama wawancara, memungkinkan
responden untuk mengungkapkan makna pribadi mereka tanpa adanya bias atau
intervensi yang dapat memengaruhi hasil penelitian. Dengan demikian, wawancara
fenomenologi kualitatif bertujuan memberikan pemahaman mendalam tentang
struktur dan makna pengalaman subjek6.
Masyarakat kelurahan Vim kota Jayapura
Distrik Abepura, Jayapura, merupakan pusat kehidupan urban yang kaya
akan aktivitas ekonomi, pendidikan, dan kesejahteraan masyarakat. Secara
geografis, Abepura terletak di bagian barat Kota Jayapura, mencakup pemukiman
penduduk yang beraneka ragam dan menjadi wilayah yang penting dalam dinamika
perkotaan. Distrik ini tidak hanya berfungsi sebagai pusat pemerintahan setempat
5
Suneki, S. (2012). Dampak globalisasi terhadap eksistensi budaya daerah. CIVIS: Jurnal Ilmiah Ilmu
Sosial dan Pendidikan Kewarganegaraan, 2(1).
6
Kuswarno, E. (2006). Tradisi fenomenologi pada penelitian komunikasi kualitatif: sebuah
pengalaman akademis. MediaTor (Jurnal Komunikasi), 7(1), 50.
tetapi juga menawarkan berbagai fasilitas dan layanan dasar kepada penduduk,
mulai dari layanan kesehatan hingga pendidikan. Abepura juga dikenal sebagai
lokasi beberapa institusi pendidikan tinggi, termasuk kampus Universitas
Cenderawasih, yang memberikan dampak besar pada perkembangan pendidikan di
wilayah tersebut. Keberadaan pusat perdagangan, pasar tradisional, dan fasilitas
transportasi yang baik juga menciptakan lingkungan ekonomi yang dinamis. Di
tengah keberagaman budaya dan etnis, Abepura menunjukkan kerukunan antar
agama dengan adanya tempat ibadah yang beragam. Dengan pertumbuhan dan
pembangunan yang terus berlanjut, distrik ini memainkan peran penting dalam
mengisi kebutuhan dan aspirasi masyarakat di Kota Jayapura. Abepura menjadi
cermin perkembangan dan kesejahteraan dalam konteks urban di wilayah timur
Indonesia.
Masyarakat kelurahan Vim kota Jayapura termasuk dalam lingkaran pusat
perekonomian yang kuat di lingkungan kota Jayapura, dibuktikan dengan banyaknya
toko-toko besar, adanya supermarket , banyaknya wilayah perkantoran, dan
masifnya beragam kuliner di kota Jayapura. Keadaan ini menimbulkan suatu
ketertarikan yang dapat menarik individu untuk mencari peluang pekerjaan dan
pendidikan yang lebih baik di lingkungan ini. Terdapat banyak sekali masyarakat dari
wilayah pedesaan dari berbagai daerah datang berangsur-angsur ke wilayah kota
Jayapura demi mengadu nasibnya di kota ini. Fenomena urbanisasi yang terjadi di
lingkup kelurahan Vim kota Jayapura menciptakan lingkungan dinamis di mana
sektor bisnis, sektor industri, dan inovasi berkembang sangat pesat. Mobilitas
ekonomi yang tinggi di kelurahan ini mendorong pertumbuhan populasi yang
signifikan, membangun komunitas masyarakat kota yang beragam, dan multikultur.
Dinamika kehidupan di wilayah perkotaan memainkan peran yang vital dalam
mengubah lanskap ekonomi menjadi lebih bervariasi serta bersifat kompetitif dan
juga ikut andil di dalam menciptakan lapangan kerja yang beragam.
Urbanisasi di lingkungan kelurahan Vim kota Jayapura membawa beberapa
dampak yang dimulai dari keberagaman etnis. Keberagaman etnis baik dari Jawa,
Sunda, Bugis, Nusa Tenggara, Sumatera, bahkan penduduk asli Papua mewarnai
indahnya keberagaman di wilayah kelurahan Vim kota Jayapura. Dengan adanya
keberagaman etnis tentunya menimbulkan beragam kebudayaan yang dibawa oleh
masing-masing etnis yang berada di kelurahan Vim kota Jayapura. Beragamnya
budaya ini pun ikut andil dalam menambah beragamnya warna kebudayaan di
sekitar masyarakat. Selain etnis dan budaya, latar belakang sosial juga sangat
beragam. Berbeda dengan masyarakat pedesaan yang hanya memiliki latar
belakang sosial yang tidak jauh berbeda, masyarakat kelurahan Vim kota Jayapura
dilatar belakangi latar belakang sosial yang sangat beragam. Lingkungan kelurahan
Vim kota Jayapura menjadi tempat di mana masyarakat berinteraksi secara
langsung dengan perbedaan, membentuk kumpulan masyarakat sosial yang begitu
kompleks. Inilah tempat di mana ide, gagasan, pandangan sosial, dan perspektif
bertabrakan sehingga dapat menciptakan dinamika sosial yang kaya dan unik.
Perkembangan teknologi dan gaya hidup urban pada masyarakat kelurahan
Vim kota Jayapura telah membentuk pola-pola baru dalam kehidupan sehari-hari.
Perkembangan teknologi dan gaya hidup pada lingkungan masyarakat kelurahan
Vim kota Jayapura memicu transformasi dalam pola konsumsi, hiburan, dan
komunikasi. Pola konsumsi bagi masyarakat perkotaan pada umumnya sangat
konsumtif, begitu pula yang terjadi pada masyarakat kelurahan Vim kota Jayapura.
Dikarenakan kesibukan pekerjaan sehingga mereka lebih memilih membeli makanan
siap saji daripada harus mengolahnya terlebih dahulu. Kemajuan dalam teknologi
hiburan dan tingkat stres yang tinggi memicu mereka gemar untuk menghadiri pusat-
pusat tempat hiburan. Pusat-pusat keramaian, pusat-pusat tempat hiburan, dan
tempat-tempat wisata selalu ramai dikunjungi ketika akhir pekan telah tiba.
Kemajuan teknologi pun tak luput mengubah pola komunikasi pada masyarakat
perkotaan. Kecanggihan teknologi menjadikan pola komunikasi lebih terfokus pada
penggunaan teknologi seperti smart phone, laptop dan lain sebagainya. Bertatap
muka, berkumpul berbincang bersama sudah jarang dijumpai bahkan di tempat
keramaian pun mereka asyik dengan gadget masing-masing. Kehidupan perkotaan
mencerminkan adaptasi masyarakat terhadap tren modern, menciptakan gaya hidup
yang terintegrasi dengan kemajuan teknologi.
Masyarakat kelurahan Vim kota Jayapura hidup dengan tingkat kualitas hidup
yang beragam. Di balik gemerlapnya kehidupan perkotaan, masyarakat kelurahan
Vim kota Jayapura mendapatkan tantangan kesejahteraan dan tidak setaranya taraf
kualitas hidup. Terdapat perbedaan yang sangat mencolok pada kesejahteraan dan
taraf kualitas hidup di wilayah ini. Cepatnya pertumbuhan ekonomi tidak seta merta
meningkatkan kesejahteraan keseluruhan warga perkotaan, justru semakin
memperjelas kesenjangan yang ada dalam tingkat kesejahteraan. Bagi mereka yang
sukses dalam bisnis dan pekerjaan, maka kesejahteraan dan kualitas hidup akan
menjadi lebih baik. Namun bagi mereka yang kalah dalam persaingan akan terpuruk
dan terancam kesejahteraannya begitu juga kualitas hidup yang buruk.
Pertumbuhan ekonomi yang pesat tidak selalu merata, menciptakan kesenjangan
sosial dalam akses terhadap pendidikan, perumahan, dan layanan kesehatan.
Pendidikan yang bagus tentu akan membutuhkan biaya yang tidak murah dan sulit
dijangkau oleh mereka yang miskin. Perumahan layak juga hanya diperuntukkan
bagi mereka yang memiliki kualitas finansial yang baik. Terlebih lagi layanan
kesehatan, layanan kesehatan yang berkualitas di perkotaan tentunya disediakan
dengan biaya yang tidak murah. Fakta kehidupan seperti ini yang dialami juga oleh
masyarakat kelurahan Vim kota Jayapura.
Kelurahan Vim kota Jayapura memiliki kegiatan sosial dan budaya yang
dinamis, menawarkan beragam aktivitas dan pengalaman kepada seluruh
masyarakat. Secara sosial, Kelurahan Vim kota Jayapura menjadi tempat di mana
orang dari berbagai latar belakang etnis dan budaya berinteraksi secara langsung.
Pusat perbelanjaan, dan area publik lainnya menciptakan ruang untuk pertemuan,
percakapan, dan pertukaran ide antar individu. Dalam konteks budaya, Kelurahan
Vim kota Jayapura menawarkan berbagai acara yang mencerminkan kekayaan seni
dan warisan budaya. Acara komunitas dan paguyuban menciptakan momentum
untuk merayakan keberagaman budaya yang ada di dalam kota. Melalui aktivitas
sosial dan budaya, Kelurahan Vim kota Jayapura menjadi cermin dinamika
masyarakat yang terus berkembang. Pengalaman bersama dalam kegiatan ini tidak
hanya memperkaya kehidupan individu, tetapi juga membentuk identitas Kelurahan
Vim kota Jayapura sebagai pusat kehidupan sosial dan budaya yang bersemangat.
Dengan demikian, Kelurahan Vim kota Jayapura bukan hanya sekadar tempat
tinggal, tetapi juga panggung yang memajukan keterlibatan, apresiasi, dan
pertumbuhan komunitas secara keseluruhan.
Ketegangan sosial dan kepadatan lingkungan di Kelurahan Vim kota
Jayapura sering kali saling terkait, menciptakan tantangan kompleks dalam
kehidupan urban. Ketegangan sosial muncul akibat pertumbuhan penduduk yang
cepat, ketidaksetaraan, dan persaingan sumber daya. Kepadatan populasi yang
tinggi di Kelurahan Vim kota Jayapura menyebabkan persaingan untuk perumahan,
pekerjaan, dan akses ke layanan dasar. Hal ini mengakibatkan ketegangan antara
kelompok sosial, ketidaksetaraan dalam distribusi sumber daya, dan bahkan
meningkatkan tingkat kriminalitas. Di sisi lain, kepadatan lingkungan yang tinggi,
terutama dalam hal bangunan, lalu lintas, dan polusi udara, juga menjadi sumber
ketegangan. Tata kelola bangunan yang kurang teratur bahkan cenderung kumuh,
lalu lintas yang padat terutama di saat jam berangkat dan pulang dari tempat kerja,
polusi udara yang buruk dikarenakan padatnya kendaraan yang berlalu lalang di
wilayah Kelurahan Vim kota Jayapura. Keseluruhan daripada kondisi ini yang
menyebabkan munculnya stres, masalah kesehatan, dan berkurangnya kualitas
hidup bagi masyarakat di lingkungan Kelurahan Vim kota Jayapura.
Komunitas lokal dan solidaritas memainkan peran krusial dalam membentuk
struktur sosial masyarakat Kelurahan Vim kota Jayapura. Di tengah kepadatan dan
kompleksitas perkotaan, komunitas lokal memberikan wadah untuk membangun
keterikatan antar individu, menciptakan jaringan dukungan, dan meningkatkan
kualitas hidup. Solidaritas dalam konteks ini mencerminkan rasa persatuan dan
saling mendukung di antara anggota komunitas di Kelurahan Vim kota Jayapura.
Dalam komunitas lokal di Kelurahan Vim kota Jayapura, masyarakat sering kali
berkumpul dalam lingkungan yang lebih kecil, seperti lingkungan perumahan atau
tingkat RT. Aktivitas bersama, seperti kegiatan sosial, festival warga, atau proyek
lingkungan, memperkuat ikatan sosial dan merangsang kolaborasi positif. Solidaritas
ini muncul melalui partisipasi bersama dalam memecahkan masalah lokal,
mendukung usaha-usaha komunitas, dan merayakan keberagaman. Solidaritas
masyarakat Kelurahan Vim kota Jayapura juga tercermin dalam respons terhadap
tantangan bersama, seperti bencana alam atau krisis kesehatan. Komunitas lokal di
Kelurahan Vim kota Jayapura sering kali menjadi poros utama untuk
penyelenggaraan bantuan dan dukungan di antara warganya. Inisiatif sukarela dan
proyek gotong-royong dapat memperkuat ikatan sosial, menciptakan rasa tanggung
jawab bersama, dan memberikan dampak positif.
Kelurahan Vim kota Jayapura, sebagaimana kota lain pada umumnya
menjadi pusat pertumbuhan ekonomi serta bertumbuh sebagai magnet peluang dan
inovasi. Faktor utama yang memandu pertumbuhan ekonomi kota adalah
keberagaman peluang pekerjaan, melibatkan sektor keuangan, teknologi,
manufaktur, dan layanan. Infrastruktur yang maju, seperti sistem transportasi efisien
dan fasilitas bisnis yang berkualitas, membentuk landasan untuk konektivitas yang
kuat, memfasilitasi mobilitas barang dan manusia. Keberadaan pusat keuangan dan
bisnis menjadi daya tarik bagi perusahaan dan investor, sementara inovasi dan riset
di universitas dan pusat penelitian menciptakan ekosistem untuk pengembangan
teknologi baru. Dalam konteks pasar konsumen yang besar, kreativitas budaya, dan
keterlibatan komunitas bisnis lokal, kota menjadi pusat pertumbuhan ekonomi yang
dinamis dan inklusif. Dengan memaksimalkan akses terhadap sumber daya manusia
terampil, bahan baku, dan layanan profesional, kota tidak hanya menjadi pusat
ekonomi, tetapi juga menciptakan lingkungan yang menarik, mendukung
perkembangan bisnis, dan meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya. Dengan
demikian, kota berkembang sebagai pendorong utama pertumbuhan ekonomi di
tingkat lokal, nasional, dan bahkan internasional.
Masyarakat Kelurahan Vim kota Jayapura menjadi panggung yang hidup bagi
keberagaman agama dan tradisi keagamaan. Kelurahan Vim kota Jayapura sering
kali menyajikan gambaran kumpulan keyakinan yang beragam, menciptakan
lanskap spiritual yang dinamis. Tempat-tempat ibadah dari berbagai agama, seperti
gereja, masjid dan kuil, menyatu di dalamnya, mencerminkan koeksistensi dan
keragaman agama di tengah kepadatan aktivitas urban. Acara-acara keagamaan
bersama, festival, dan ritual tradisional menjadi momen di mana penduduk
Kelurahan Vim kota Jayapura dapat merayakan perbedaan dan menghormati tradisi
keagamaan yang beragam, menguatkan nilai-nilai toleransi di tengah masyarakat
yang heterogen. Di samping kekayaan keberagaman, tantangan muncul dalam
bentuk potensi konflik antar umat beragama. Oleh karena itu, pentingnya dialog dan
pendidikan keberagaman di kota tidak dapat diabaikan. Dengan melibatkan
komunitas agama dalam kegiatan sosial, pendidikan, dan layanan masyarakat,
masyarakat perkotaan dapat memperkuat solidaritas dan mengatasi potensi
ketegangan. Dengan begitu, keberagaman agama dan tradisi keagamaan di kota
tidak hanya menjadi elemen estetis, melainkan juga kekuatan yang membentuk
masyarakat yang harmonis dan saling mendukung.
Tradisi mengubur ari-ari
Masyarakat suku Jawa di kelurahan Vim kota Jayapura pada umumnya masih
meyakini hal-hal yang sifatnya mistis/tidak rasional. Salah satunya dalam tradisi
mengubur ari-ari/plasenta bayi yang diyakini memiliki nilai sakral. Masyarakat Jawa
di kelurahan Vim kota Jayapura sangat berhati-hati jangan sampai ada yang salah
ataupun ada yang kurang ketika melaksanakan ritualnya. Karena apabila ada yang
salah atau kurang, akan berimplikasi pada perkembangan bayi dan kesejahteraan
Ibu bahkan masyarakat. Plasenta atau biasa dikenal dengan istilah ari-ari, memiliki
fungsi yang sangat urgen dalam proses perkembangan dan pertumbuhan janin.
Sebagaimana disampaikan oleh Ibu Lastri selaku dukun bayi di kelurahan Vim kota
Jayapura bahwa fungsi tersebut yaitu memberikan semua kebutuhan janin, seperti
halnya oksigen dan nutrisi, membuang kotoran janin, mengeluarkan hormon, dan
melindunginya dari ancaman infeksi. Karena ari-ari/ plasenta memiliki peran yang
sangat urgen maka, masyarakat suku Jawa di kelurahan Vim kota Jayapura
menganggap ari-ari sebagai bagian yang tidak dapat terpisahkan dari bayi yang
dilahirkan dalam kata lain tembuni/plasenta menjadi saudara atau penjaga bagi
jabang bayi.
Setelah bayi lahir, ari-ari pun tidak berfungsi lagi, sehingga digunting dan
dipisahkan dari tubuh bayi. Oleh karena itu, setelah bayi dilahirkan, biasanya akan
dilakukan ritual dengan menggunakan simbol-simbol khusus untuk menghormati
jasa ari-ari, yaitu dengan menguburnya atau diistilahkan juga dengan menanam ari-
ari. Mengubur ari-ari/ plasenta merupakan tradisi yang dilakukan setelah seorang
perempuan melahirkan sang jabang bayi di mana ritual ini dianggap sangat penting
oleh masyarakat suku Jawa di kelurahan Vim kota Jayapura. Ritual penguburan ari-
ari ini dilakukan selain untuk memberi penghormatan yang layak kepada ari-ari, juga
terdapat beberapa pertimbangan yang harus diperhatikan olah yang menjalakan
tradisi ini yakni terkait dengan kebersihan dan kesehatan serta tidak mengganggu
lingkungan. Karena jika ari-ari/plasenta dibuang sembarangan, maka banyak risiko
yang akan terjadi seperti halnya ari-ari yang dibuang begitu saja akan menjadi
santapan hewan liar yang berkeliaran di sekitar rumah. Selain jadi santapan hewan
liar, potensi mengganggu lingkungan pun akan terjadi seperti bau yang menyengat
dan mengotori lingkungan.
Dalam setiap kebudayaan yang terdapat dalam masyarakat suku Jawa di
kelurahan Vim kota Jayapura, ada hal yang melatarbelakangi adanya tradisi/ ritual.
Setiap bentuk tingkah laku masyarakat akan dihayati dan dimaknai sebagai suatu
tindakan dan simbol yang sifatnya sudah pasti mengandung nilai-nilai sejarah
penting. Walaupun demikian, asal-usul dari tradisi mengubur atau menanam ari-ari
ini sangat sulit untuk diketahui secara pasti, siapa yang mencetuskan dan memulai
pertama kalinya yang disertai dengan menggunakan simbol-simbol khusus yang
memiliki tujuan tertentu. Sebagaimana dikatakan oleh bapak Sutriyono, bahwa
tradisi mengubur/ menanam ari-ari itu sudah ada sejak zaman dahulu yang
bertujuan untuk menghormati jasa-jasa ari-ari selama dalam kandungan, oleh
karena itu tidak terdapat catatan khusus tentang tradisi ini sehingga untuk
mengetahui siapa yang mencetuskan dan menentukan simbol-simbol yang
digunakan itu sulit. Beberapa masyarakat suku Jawa di kelurahan Vim kota
Jayapura yang lain juga mengatakan bahwa tradisi ini merupakan tradisi yang sudah
turun temurun dari nenek moyang terdahulu yang dulu masih menganut
kepercayaan dinamisme dan animisme, dan tentunya di setiap wilayah memiliki
tradisi yang berbeda.
Sebagaimana juga disampaikan oleh Bapak Sutriyono bahwa dalam
mengubur/menanam tembuni ini sebenarnya sudah diatur dalam agama Islam
dengan tujuan tertentu yakni sebagai bentuk penghormatan dan memuliakan Bani
Adam, karena bagian dari memuliakan manusia adalah mengubur dari bagian
anggota tubuh yang terlepas, salah satunya yaitu ari-ari. Beliau juga mengatakan
bahwa tradisi mengubur tembuni ini sudah ada sejak zaman dahulu yang sudah
menjadi adat kebiasaan masyarakat. Oleh sebab itu, konstruksi masyarakat suku
Jawa di kelurahan Vim kota Jayapura terkait sejarah tradisi dalam mengubur
ari-ari/plasenta itu tidak ada catatan khusus. Masyarakat suku Jawa di kelurahan
Vim kota Jayapura telah mempercayai tradisi tersebut karena sudah menjadi turun-
temurun dari nenek moyang terdahulu, di mana dalam tradisi tersebut masih
terdapat unsur dinamisme dan animisme. Di sini dapat dipahami bahwa suatu tradisi
itu bukan lahir dari waktu yang singkat. Akan tetapi terdapat proses-proses panjang
dalam melaluinya dan bahkan tradisi ini masih eksis dan dilestarikan oleh
masyarakat suku Jawa di kelurahan Vim kota Jayapura yang mayoritas beragama
Islam sampai saat ini.
Suci merupakan syarat utama dalam melakukan segala bentuk ibadah.
Sebagaimana sudah kita ketahui dalam agama Islam, orang yang hendak
melaksanakan Shalat haruslah suci pakaian, tempat, maupun tubuh kita. Karena
bersih dan suci dalam agama Islam memiliki kedudukan yang urgen, dalam kata lain
ditempatkan pada garda depan yang menjadi pangkal dalam beribadah.
Sebagaimana yang dinyatakan oleh Ibu Lastri bahwa sama halnya dengan tradisi
mengubur ari-ari ini, masyarakat suku Jawa di kelurahan Vim kota Jayapura
menganggap bahwa ketika hendak mengubur tembuni juga harus dalam keadaan
suci, berpakaian rapi berwarna putih, memakai sarung dan peci. Karena hal tersebut
mencerminkan bentuk penghormatan, etika dan bentuk rasa syukur kepada Allah
Swt. atas karunia yang telah diberikannya. Bentuk sikap yang demikian adalah
cerminan dari anggapan masyarakat suku Jawa di kelurahan Vim kota Jayapura
bahwasanya mengubur ari-ari adalah termasuk dalam hal ibadah. Selain itu, yang
menguburkan harus dari pihak ayah/bapak, ini bermaksud bahwa yang memiliki
tanggung jawab penuh terhadap seorang anak yang dilahirkan adalah seorang
ayah/bapak.
Tradisi mengubur ari-ari dianggap sakral oleh masyarakat suku Jawa di
kelurahan Vim kota Jayapura dan dalam penggunaan simbol pun juga tidak
sembarangan. Ada beberapa simbol pilihan yang digunakan dalam tradisi mengubur
ari-ari, sebagaimana dijelaskan oleh ibu Lastri dan bapak Sutriyono: Pertama, ari-ari
harus disucikan terlebih dahulu. Hal ini bermaksud karena terdapat banyak kotoran
yang menempel di ari-ari seperti halnya darah. Penggunaan wadah (kendi/ tunas
pohon pisang) dan dibungkus dengan daun labu sejumlah 7 lembar (untuk alasnya 4
lembar dan tutup 3 lembar), kendi/ tunas pohon pisang dan daun labu itu dipercaya
bisa menciptakan kedamaian dan keharmonisan karena sifatnya dingin, sejuk, dan
tidak mudah berkarat. Jadi, dalam penggunaan wadah ini nantinya akan
menghegemoni terhadap kepribadian si jabang bayi. Misalnya selalu memberikan
kedamaian dan keharmonisan baik dalam keluarga maupun lingkungan sekitar.
Penggunaan bumbu lengkap (garam, asam, kunyit, gula, ketumbar), simbol ini
bermakna bahwa agar si jabang bayi memiliki pikiran yang sempurna atau memiliki
berbagai keahlian, bisa menghadapi cobaan dengan sabar, tidak mudah sakit, bisa
menyelesaikan berbagai masalah dengan baik.
Ritual dilanjutkan dengan pemberian tumbuhan putri malu, dalam hal ini
bermaksud agar si jabang bayi nantinya tidak rewel dan mudah ketika hendak
menidurkan. Kemudian penggunaan guntingan dari banyak warna kain, simbol ini
memiliki makna bahwa ketika si jabang bayi mengenakan pakaian warna apa pun
bisa cocok ketika dikenakan. Pemberian beberapa tulisan (bahasa Arab, Indonesia,
Inggris, dll.), yang dimaksudkan supaya si jabang bayi memiliki kemampuan
berbagai bahasa dan memiliki daya ingat yang kuat. Penggunaan batu di atas
kuburan ari-ari, simbol ini bermakna bahwa pada nantinya kuburan ari-ari ini tidak
mudah untuk digali oleh hewan buas. Pemberian lampu di atas kuburan ari-ari ini
bermaksud memberikan kode secara tidak langsung kepada masyarakat bahwa
terdapat penduduk baru yang baru saja dilahirkan. Jadi masyarakat menjadi sadar
bahwa tidak akan melakukan kegaduhan dan keramaian di lingkungan sekitar
kuburan ari-ari itu berada karena dapat mengganggunya. Selain itu, pemberian
lampu juga dimaksudkan sebagai penerang bagi si jabang bayi itu sendiri.
Selanjutnya pemberian pagar bambu yang mengelilingi kuburan tembuni, hal
ini diyakini bahwa dalam pemberian dan penataan bambu di atas kuburan ari-ari ini
dapat berimplikasi pada proses tumbuhnya gigi si jabang bayi. Nah, jika penataan
pagar bambu terlalu renggang maka nantinya ketika tumbuh gigi juga akan
renggang dan besar-besar, namun sebaliknya, jika penataan pagar bambu rapat
maka juga akan rapat dan kecil-kecil. Pemberian taburan bunga di atas kuburan ari-
ari, simbol ini diyakini supaya si jabang bayi kelak selalu mengharumkan nama baik
keluarga besarnya dan mengharumkan namanya sendiri di masyarakat. Untuk
ukuran kedalamannya pas siku, hal ini dikarenakan dapat berpengaruh pada proses
tumbuhnya gigi si jabang bayi. Jika terlalu dalam mengubur ari-arinya, maka gigi si
jabang bayi tumbuhnya akan lambat. Begitu sebaliknya, jika kedalamannya pas siku
yang menjadi tolak ukur masyarakat suku Jawa di kota Jayapura maka proses
tumbuhnya gigi akan cepat. Untuk peletakan kuburannya (jika bayi laki-laki di depan
sebelah kanan, jika perempuan di belakang sebelah kanan), hal ini diyakini karena
dalam masyarakat Jawa posisi laki-laki sangat diagungkan, seorang laki-laki
dianggap orang yang harus bisa bertanggung jawab dalam hal apa pun, bisa
menjadi pemimpin. Sedangkan perempuan diposisikan di belakang sebelah kanan,
dikarenakan seorang perempuan sebagai pengikut/ makmum dari seorang laki-laki,
dan mengapa diletakkan di sebelah kanan karena istilah kanan memiliki makna
tentang kebaikan.
Penyebab tradisi mengubur ari-ari masih diamalkan di kota Jayapura
Tradisi yang terdapat di dalam suatu masyarakat tentunya tidak serta-merta
dilakukan, akan tetapi di dalamnya memiliki nilai dan makna tersendiri. Yang
pastinya di setiap wilayah memiliki pemaknaan yang berbeda terhadap tradisi yang
diyakininya. Seperti halnya yang akan dibahas dalam penelitian ini yakni nilai-nilai
yang terkandung dalam tradisi mengubur ari-ari di masyarakat suku Jawa di
kelurahan Vim kota Jayapura seperti yang dinyatakan oleh ibu Lastri, bapak
Sutriyono, dan Bapak Miskidi bahwa nilai moral dalam tradisi mengubur ari-ari
dilakukan selain untuk memberi penghormatan kepada ari-ari, juga terdapat
beberapa pertimbangan yakni terkait dengan kebersihan dan kesehatan serta tidak
mengganggu lingkungan. Karena jika ari-ari/plasenta dibuang sembarangan, maka
banyak resiko yang akan terjadi seperti halnya akan menjadi santapan hewan.
Selain itu, juga sebagai bentuk penghormatan dan memuliakan Bani Adam, karena
bagian dari memuliakan manusia adalah mengubur dari bagian anggota tubuh yang
terlepas, salah satunya yaitu ari-ari. Dan juga wujud syukur manusia kepada Allah
atas dikaruniainya seorang anak.
Pemaknaan terhadap nilai-nilai yang terkandung dalam tradisi mengubur ari-
ari juga disampaikan oleh bapak Yatnoto, yakni nilai selametan. Selametan tidak
hanya memiliki makna yang sederhana bagi setiap orang yang beriman, namun
memiliki makna lebih sehingga dapat membentuk nilai moral, seperti halnya nilai
sosial yang terkandung dalam selametan yakni sikap saling berbagi antar
masyarakat, meningkatkan solidaritas antar masyarakat, dan menciptakan suasana
kehidupan yang guyub rukun. Sedangkan nilai religius yang terkandung dalam
selametan yakni meningkatkan keimanan kita terhadap Allah Swt. memohon
keselamatan diri sendiri dan segala sesuatu yang dikerjakannya. Sebagaimana telah
dipaparkan di atas terkait hasil penelitian tradisi mengubur ari-ari ini bahwa tidak ada
catatan khusus, tidak ada yang mengetahui secara pasti tentang, kapan, siapa, dan
berasal dari agama dan kepercayaan apa. Beberapa masyarakat yang
melaksanakannya telah mengatakan bahwa tradisi ini berasal dari para leluhur
terdahulu atau nenek moyang terdahulu yang sudah menjadi keyakinan dan
dilakukan secara turun-temurun, yang menganut kepercayaan animisme dan
dinamisme.
Bentuk ungkapan ritual dalam tradisi mengubur ari-ari ini adalah upaya untuk
mendekatkan diri kepada Sang Pencipta dalam bentuk doa-doa dan pembacaan
ayat suci al-Quran. Dalam kerangka ini, ritual dalam tradisi mengubur tembuni
tersusun dalam bentuk ritual selametan. Di mana terdapat serangkaian ritual seperti
harus dalam keadaan suci, pembacaan ayat suci al-Quran, doa-doa, permohonan,
dan wujud syukur atas segala nikmat yang diberikan-Nya. Dalam hal ini secara tidak
sadar masyarakat Panti telah berupaya menghadirkan Tuhan sebagai Yang Maha
melindungi dan Maha memberi keselamatan terhadap hamba-hamba-Nya. Hal ini
juga mencerminkan bentuk rasa penghormatan kepada Tuhan, di mana tercermin
dalam proses penguburan tembuni ini seseorang yang hendak mengubur tembuni
haruslah dalam keadaan suci, berpakaian putih, rapi, memakai peci dan sarung,
selayaknya hendak melakukan ibadah Shalat. Selain itu juga, dalam tradisi ini
mengutamakan asas patriarki yakni tampak ketika hendak menguburkan tembuni,
haruslah dari pihak laki-laki/ ayah dari si jabang bayi.
Tradisi budaya dipahami oleh masyarakat suku Jawa di kelurahan Vim kota
Jayapura berperan penting sebagai pilar yang kokoh dalam pemertahanan identitas
suatu masyarakat. Praktik-praktik budaya yang diwariskan dari generasi ke generasi
membentuk landasan nilai, norma, dan simbol-simbol yang menggambarkan jati diri
sebuah suku tertentu. Melalui keberlangsungan budaya yang terwujud dalam tradisi,
sebuah komunitas mengakui dan menghargai warisan leluhur, menciptakan
pertautan antar generasi, dan merangsang rasa keterikatan dengan akar budaya.
Simbol-simbol identitas budaya, seperti pakaian tradisional, makanan tradisional,
acara-acara kebudayaan, dan bahasa khas, menjadi lambang visual yang
memperkuat kesadaran akan identitas kultural. Tradisi budaya juga menjadi wahana
resistensi terhadap homogenisasi global, mempertahankan keunikannya dan
menunjukkan keberagaman yang berlimpah. Dengan melibatkan generasi muda
dalam praktik budaya, sebuah masyarakat memastikan bahwa identitas kulturalnya
tidak hanya diwariskan, tetapi juga terus berkembang dan relevan dalam dinamika
perubahan zaman yang terjadi sampai dengan di saat sekarang ini, sebagai
kekuatan pemersatu antar sesama suku, tradisi budaya membentuk esensi yang
mendalam dari identitas suatu komunitas.
Tradisi penguburan ari-ari bukan hanya dianggap budaya belaka. Masyarakat
suku Jawa di kelurahan Vim kota Jayapura juga memahami bahwa tradisi budaya
bukan hanya berfungsi sebagai pewarisan nilai-nilai dan praktik kebudayaan dari
satu generasi ke generasi berikutnya, tetapi juga menjadi sarana pertemuan yang
unik antar generasi. Praktik-praktik tradisional menciptakan platform di mana
hubungan antara generasi muda dan tua dapat terjalin dengan kuat. Melalui
pelibatan dalam tradisi, terdapat beberapa cara di mana tradisi budaya berperan
sebagai sarana pertemuan antar generasi. Pertama, pelibatan dalam perayaan atau
ritual tradisional memberikan kesempatan bagi generasi muda untuk belajar dari
pengalaman dan cerita-cerita yang dibagikan oleh generasi senior. Ini menciptakan
ikatan yang lebih mendalam dengan warisan budaya, memperkaya pemahaman
mereka tentang sejarah dan nilai-nilai yang membentuk komunitas. Kedua,
partisipasi dalam aktivitas tradisional mendorong pertukaran pengetahuan dan
keterampilan antar generasi. Misalnya, proses membuat kerajinan tangan, memasak
hidangan tradisional, atau berpartisipasi dalam pertunjukan budaya menghadirkan
kesempatan bagi pengetahuan dari generasi tua untuk ditransfer kepada generasi
muda.
Alasan yang Ketiga, tradisi budaya sering kali menciptakan momen-momen
kebersamaan yang membangun hubungan yang erat antar generasi dalam sebuah
suku tertentu. Keterlibatan bersama dalam persiapan atau pelaksanaan tradisi
budaya penguburan ari-ari pada masyarakat suku Jawa di lingkungan kelurahan Vim
kota Jayapura terwujud dengan cara menggalang rasa solidaritas dan kebersamaan
antar sesama dan juga mengurangi kesenjangan antar beberapa generasi dan
menciptakan suasana saling menghargai antar sesama. Keempat, melibatkan
generasi muda dalam pengambilan keputusan atau perencanaan acara tradisional
mempromosikan keterlibatan aktif mereka dalam melestarikan dan mengembangkan
warisan budaya leluhur yang telah dilaksanakan secara turun temurun. Ini
menciptakan dinamika partisipasi yang memperkuat ikatan antar generasi dalam
menjaga keberlanjutan tradisi. Dengan demikian, tradisi budaya tidak hanya
menyediakan alat untuk melestarikan identitas kultural, tetapi juga menjadi medan
pertemuan yang mengakomodasi interaksi, pertukaran pengetahuan, dan
membangun jembatan yang erat antar generasi. Dalam konteks ini, tradisi budaya
menjadi fondasi penting untuk menciptakan koneksi yang mendalam dan
berkelanjutan di tengah perubahan zaman.
Tradisi budaya penguburan ari-ari termasuk dalam sarana yang kuat untuk
menghormati leluhur, menyelenggarakan ritual dan praktik yang merayakan warisan
mereka. Dengan mempertahankan dan meneruskan tradisi budaya, masyarakat
menyampaikan penghargaan yang mendalam pada leluhur dan memberikan bentuk
ritual penghormatan yang konsisten. Ritual ini menciptakan hubungan antara
generasi sekarang dengan yang telah berlalu, menggambarkan rasa terima kasih
dan rasa hormat atas kontribusi leluhur dalam membentuk identitas dan nilai-nilai
kolektif. Tradisi penghormatan pada leluhur bukan hanya mencakup doa atau
upacara keagamaan yang ditujukan untuk roh leluhur, pemujaan di situs-situs
bersejarah, atau pelaksanaan ritual khusus yang diwariskan dari generasi
sebelumnya, akan tetapi terus melaksanakan warisan yang baik. Selain itu,
meneruskan tradisi juga dapat dianggap sebagai bentuk tanggung jawab moral
untuk menjaga dan merawat apa yang telah diberikan oleh leluhur. Ini menciptakan
kesadaran akan keturunan yang kuat dan rasa kewajiban untuk melestarikan tradisi
agar tetap relevan bagi generasi mendatang. Dengan cara ini, tradisi budaya bukan
hanya menjadi ekspresi hormat pada leluhur, tetapi juga menjadi cara praktis untuk
menjaga hubungan batin dan memastikan warisan mereka tidak dilupakan atau
terpinggirkan oleh kemajuan zaman.
Tradisi penguburan ari-ari bagi masyarakat suku Jawa di lingkungan
kelurahan Vim kota Jayapura merupakan tradisi budaya yang memiliki dimensi yang
dalam sebagai wadah bagi kepercayaan dan dimensi spiritual dalam masyarakat di
lingkungan ini. Praktik-praktik budaya sering kali terkait erat dengan kepercayaan
dan nilai-nilai spiritual yang membentuk landasan etika dan moral masyarakat.
Tradisi budaya berupa penguburan ari-ari setelah melahirkan seorang bayi yang
diwariskan dari leluhur sering mencerminkan pandangan dunia, mitos-mitos, dan
praktik keagamaan yang menjadi inti keyakinan spiritual. Ritual keagamaan,
perayaan, dan upacara adat adalah contoh konkret dari bagaimana tradisi budaya
mengungkapkan dimensi spiritual. Misalnya, upacara keagamaan yang terintegrasi
dalam tradisi budaya bisa mencakup doa, persembahan, atau tata cara yang
didasarkan pada kepercayaan spiritual tertentu. Selain itu, perayaan budaya yang
merayakan musim atau peristiwa-peristiwa alam sering memiliki aspek keagamaan
yang mendalam, menandakan rasa keterhubungan manusia dengan alam dan
keberadaan spiritual.
Tradisi budaya penguburan ari-ari bayi juga dapat menjadi cermin bagi nilai-
nilai spiritual yang mendasari etika dan moralitas masyarakat suku Jawa di
kelurahan Vim kota Jayapura. Contohnya, nilai-nilai seperti kasih sayang, keadilan,
dan kerja sama, yang mungkin terakar dalam tradisi budaya, sering kali memiliki
dimensi spiritual yang mengakar dalam sistem kepercayaan masyarakat. Pentingnya
tradisi budaya dalam konteks spiritualitas juga tercermin dalam peran pemimpin
keagamaan dan pendeta yang sering menjadi penjaga dan pemelihara tradisi
tersebut. Dengan demikian, tradisi budaya seperti halnya tradisi penguburan ari-ari
bagi suku Jawa tidak hanya menjadi rangkaian praktik berulang, tetapi juga sarana
untuk merayakan dan menyampaikan kepercayaan dan spiritualitas yang
mengarahkan cara hidup dan interaksi sosial suatu masyarakat. Dalam hal ini, tradisi
budaya menjadi jembatan yang menghubungkan dimensi material dan spiritual
keberadaan manusia dalam suatu komunitas tertentu, lebih khususnya adalah bagi
masyarakat suku Jawa yang tinggal di kota Jayapura.

Eksistensi tradisi penguburan ari-ari di kelurahan Vim kota Jayapura


Tradisi penguburan ari-ari masih dilakukan oleh sebagian besar masyarakat
suku Jawa di kelurahan Vim kota Jayapura. Walaupun tidak dilakukan oleh seluruh
lapisan masyarakat dari suku Jawa akan tetapi sebagian besar masih berpegang
teguh pada tradisi tersebut. Seperti pemaparan di atas dikarenakan alasan spiritual,
penguatan identitas kesukuan, penghormatan pada adat istiadat leluhur, alasan
moral, dan sebagai sarana menyambung tali kekerabatan antar suku Jawa yang
berada di lingkup kelurahan Vim kota Jayapura. Namun pada kenyataannya,
keseluruhan masyarakat suku Jawa di lingkup kelurahan Vim kota Jayapura terbagi
dalam 3 golongan jika dilihat dalam aspek pelaksanaannya. Sebagian dari mereka
ada yang menjalankan tradisi penguburan bayi ini sesuai dengan tata cara dan
ketentuan yang diajarkan oleh para leluhurnya, ada juga sebagian dari mereka yang
hanya menjalankan sebagian dari tata cara penguburan ari-ari yang di ajarkan oleh
leluhurnya, dan sebagian lainnya terdapat juga mereka yang tidak menjalankan
sama sekali ritual tradisi penguburan ari-ari. Tentunya hal ini didasari oleh banyak
sekali penyebab baik dari faktor internal maupun faktor eksternal.
Masyarakat suku Jawa pada umumnya terutama yang masih tinggal di desa
asalnya tentu masih sangat menjaga adat istiadat yang diwariskan oleh nenek
moyang mereka. Berbeda dengan masyarakat suku Jawa yang tinggal di daerah
perkotaan seperti di kota Jayapura, dikarenakan modernisasi dan kemajuan
teknologi mereka sering mengabaikan tradisi dan adat istiadat dari suku asal
mereka. Namun tidak sedikit dari mereka yang masih memegang teguh adat istiadat
mereka, seperti yang dilakukan oleh ibu Lastri yang tinggal di kelurahan Vim kota
Jayapura. Keluarga ibu Lastri sampai saat ini masih mengamalkan tradisi adat
istiadat dari suku asalnya yaitu suku Jawa, termasuk di antaranya yaitu tradisi
mengubur ari-ari. Ibu Lastri masih menjaga dan mengaplikasikan ritual-ritual dalam
menguburkan ari-ari secara lengkap, dimulai dari tata caranya membersihkan ari-ari
sampai kepada cara penguburannya. Tidak luput juga barang-barang yang diikut
sertakan bersama dengan ari-ari seperti jarum, kain berwarna-warni, beraneka
bunga, dan lain sebagainya. Ibu Lastri menganggap bahwa adat istiadat ini harus
dilestarikan karena jika dilanggar akan ada dampak-dampak negatif yang akan
menimpa anaknya kelak.
Berbanding terbalik dengan apa yang dilakukan oleh ibu Lastri di atas
terdapat sebagian masyarakat suku Jawa yang tinggal di lingkungan kelurahan Vim
kota Jayapura yang meninggalkan tradisi adat istiadat yang telah diturunkan dan
diajarkan oleh nenek moyang mereka. Mereka menganggap bahwasanya adat
istiadat ataupun kebudayaan banyak yang sudah tidak relevan dan tidak perlu
dilakukan ataupun dijaga di era modern pada zaman sekarang ini. Hal ini diamini
oleh salah seorang warga kelurahan Vim kota Jayapura yaitu bapak Suwito. Bapak
Suwito yang berprofesi sebagai dosen di salah satu universitas negeri di kota
Jayapura menganggap bahwasanya tradisi penguburan ari-ari setelah bayi
dilahirkan tidak perlu dibarengi dengan tata cara ataupun ritual khusus, karena
bapak Suwito menganggap bahwasanya adat istiadat tersebut tidak ada
tuntunannya di dalam agama Islam. Bapak Suwito yang juga seorang aktivis
Muhammadiyah memahami bahwasanya ari-ari yang mengiringi lahirnya seorang
bayi tidak perlu diperlakukan secara khusus sama halnya dengan barang yang
lainnya hanya dicukupkan dengan menguburnya secara biasa saja tidak perlu ada
perlakuan atau pun tata cara khusus dalam menguburkannya.
Di antara golongan yang pro dan kontra di dalam menanggapi adat istiadat
ataupun budaya penguburan ari-ari setelah melahirkan seorang bayi ada sebagian
masyarakat suku Jawa yang tinggal di kelurahan Vim kota Jayapura yang
membedakan diri dari golongan yang pro dan golongan yang kontra terhadap adat
istiadat tersebut. Sebagian masyarakat suku Jawa yang tinggal di lingkungan
kelurahan Vim kota Jayapura tidak serta merta meninggalkan adat istiadat tersebut
dan tidak pula mengamalkannya secara sempurna. Mereka hanya menjalankan
sebagian tradisi ataupun ritual dalam penguburan ari-ari seorang bayi saja.
Sebagaimana yang selama ini dijalankan oleh salah satu keluarga dari suku Jawa
yang tinggal di kelurahan Vim kota Jayapura yaitu bapak Sutriono. Bapak Sutriono
tetap menjalankan ritual dalam penguburan ari-ari, namun hanya dijalankan
sebagian dari ritual yang telah diajarkan oleh nenek moyangnya saja. Hal ini
dikarenakan ada unsur menghormati terhadap ajaran ataupun perintah leluhurnya,
dan ada pula sedikit keraguan pada diri bapak Sutriono tentang perlu atau tidaknya
seta boleh atau tidaknya menjalankan ritual tersebut menurut agama Islam.
Terlepas dari pada ke 3 golongan di atas sebagian besar masyarakat
kelurahan Vim kota Jayapura bahwasanya adat istiadat ataupun tradisi yang
diajarkan atau pun yang di laksanakan oleh masyarakat suku Jawa pada umumnya
adalah tidak boleh dianggap sebagai sesuatu yang tidak penting untuk dilestarikan.
Karena sejatinya adat istiadat adalah identitas suatu suku dan menjadi kekayaan
tersendiri bagi suku Jawa pada khususnya dan masyarakat Indonesia pada
umumnya. Hilangnya suatu adat istiadat atau kebudayaan tentu hal yang mustahil
karena sesuai dengan yang disampaikan oleh salah seorang pakar hukum adat yaitu
DR. Heru SH. MH., beliau menyampaikan bahwasanya “selagi terdapat masyarakat
adat maka hukum adat tidak akan pernah sirna”. Realita yang terjadi pada sebagian
masyarakat kelurahan Vim kota Jayapura tidak serta merta menjadikan anggapan
bahwa adat istiadat maupun kebudayaan sebagai sesuatu yang buruk. Asalkan
bersandar pada landasan yang benar dan tidak bertentangan dengan norma agama
maupun norma sosial maka sebuah tradisi ataupun kebudayaan sah saja dilakukan
dan dilestarikan.
Kesimpulan
Masyarakat suku Jawa di kelurahan Vim kota Jayapura pada umumnya masih
meyakini hal-hal yang sifatnya mistis/tidak rasional. Salah satunya dalam tradisi
mengubur ari-ari/plasenta bayi yang diyakini memiliki nilai sakral. Ritual penguburan
ari-ari ini dilakukan selain untuk memberi penghormatan yang layak kepada ari-ari,
juga terdapat beberapa pertimbangan yang harus diperhatikan olah yang
menjalakan tradisi ini yakni terkait dengan kebersihan dan kesehatan serta tidak
mengganggu lingkungan. Dalam setiap kebudayaan yang terdapat dalam
masyarakat ini, ada hal yang melatarbelakangi adanya tradisi/ ritual. Setiap bentuk
tingkah laku masyarakat akan dihayati dan dimaknai sebagai suatu tindakan dan
simbol yang sifatnya sudah pasti mengandung nilai-nilai sejarah penting. Tradisi
penguburan ari-ari bagi masyarakat suku Jawa yang berada di kelurahan Vim kota
Jayapura sarat akan ritual dan persyaratan tertentu di antaranya harus
menggunakan kendi, yang menguburkan harus laki-laki dan suci, kuburan ari-ari
harus disinari dengan lampu, serta diikut sertakan beberapa barang dalam kendi
tersebut seperti jarum, sisir, kain putih dan lain sebagainya.
Faktor-faktor penyebab tradisi penguburan ari-ari bagi masyarakat suku Jawa
di kelurahan Vim kota Jayapura sangat beragam. Di antara faktornya adalah
terdapat nilai-nilai tertentu dalam tradisi ini. Seperti halnya yang telah dibahas dalam
penelitian ini yakni nilai-nilai yang terkandung dalam tradisi mengubur ari-ari di
masyarakat suku Jawa di kelurahan Vim kota Jayapura seperti yang dinyatakan oleh
ibu Lastri, bapak Sutriyono, dan Bapak Miskidi bahwa nilai moral dalam tradisi
mengubur ari-ari dilakukan selain untuk memberi penghormatan kepada ari-ari, juga
terdapat beberapa pertimbangan yakni terkait dengan kebersihan dan kesehatan
lingkungan. Bentuk ungkapan ritual dalam tradisi mengubur ari-ari ini juga
merupakan upaya untuk mendekatkan diri kepada Sang Pencipta dalam bentuk doa-
doa dan pembacaan al-Quran. Tradisi budaya penguburan ari-ari juga dipahami
oleh masyarakat Jayapura berperan penting sebagai pilar yang kokoh dalam
pemertahanan identitas suatu masyarakat. Tradisi budaya penguburan ari-ari juga
termasuk dalam sarana yang kuat untuk menghormati leluhur, menyelenggarakan
ritual dan praktik yang merayakan warisan mereka. Dengan mempertahankan dan
meneruskan tradisi budaya, masyarakat menyampaikan penghargaan yang
mendalam pada leluhur dan memberikan bentuk ritual penghormatan yang
konsisten.
Tradisi penguburan ari-ari masih dilakukan oleh sebagian besar masyarakat
suku Jawa di kelurahan Vim kota Jayapura. Walaupun tidak dilakukan oleh seluruh
lapisan masyarakat dari suku Jawa akan tetapi sebagian besar masih berpegang
teguh pada tradisi tersebut. Seperti pemaparan yang telah tuliskan di atas,
dikarenakan alasan spiritual, penguatan identitas kesukuan, penghormatan pada
adat istiadat leluhur, alasan moral, dan sebagai sarana menyambung tali
kekerabatan antar suku Jawa yang berada di lingkup kelurahan Vim kota Jayapura.
Namun pada kenyataannya, keseluruhan masyarakat suku Jawa di lingkup
kelurahan Vim kota Jayapura terbagi dalam 3 golongan jika dilihat dalam aspek
pelaksanaannya. Sebagian dari mereka ada yang menjalankan tradisi penguburan
bayi ini sesuai dengan tata cara dan ketentuan yang diajarkan oleh para leluhurnya,
ada juga sebagian dari mereka yang hanya menjalankan sebagian dari tata cara
penguburan ari-ari yang di ajarkan oleh leluhurnya, dan sebagian lainnya terdapat
juga mereka yang tidak menjalankan sama sekali ritual tradisi penguburan ari-ari.
Tradisi budaya penguburan ari-ari bagi masyarakat suku Jawa memiliki
makna yang mendalam dalam konteks spiritual, historis, dan sosial. Secara spiritual,
penguburan ini menjadi wujud keyakinan akan kehidupan setelah mati, di mana
proses pemakaman dianggap sebagai sarana untuk menyatukan roh yang telah
berpulang dengan leluhur mereka. Selain itu, nilai-nilai historis yang terkandung
dalam setiap aspek tradisi ini menjadi penjaga sejarah budaya yang kaya,
merefleksikan tata cara dan praktik kuno yang membentuk jati diri masyarakat suku
Jawa. Tradisi ini juga menjadi perekat sosial yang memperkukuh ikatan antar
generasi dan antar keluarga, mengangkat pentingnya kebersamaan dalam proses
perpisahan. Dengan memegang teguh tradisi penguburan ari-ari, masyarakat suku
Jawa mengekalkan identitas lokalnya, menjaga simbol kesetiaan pada warisan
leluhur, dan memberikan penghormatan kepada yang telah meninggal sebagai
bagian integral dari perjalanan roh mereka. Sebagai ritual penghormatan yang sarat
makna, penguburan ari-ari melampaui sekadar upacara perpisahan, tetapi menjadi
ungkapan nyata dari warisan budaya yang hidup dan relevan.

Daftar Pustaka
Alifuddin, A. U., & Setyawan, B. W. (2021). Pengaruh Budaya dan Tradisi
Jawa Terhadap Kehidupan Sehari-Hari pada Masyarakat di Kota Samarinda. Jurnal
Adat dan Budaya Indonesia, 3(2).
Alfiyah, N. L. (2022). Tinjauan Hukum Islam Mengenai Tradisi Penyimpanan
Ari-Ari Di Dalam Kendil (Studi Kasus Desa Karangklesem) (Doctoral dissertation,
UIN Prof. KH Saifuddin Zuhri).
Cahyani, R. E., & Syamsi, N. (2023). Mengubur Ari-Ari dalam Perspektif
‘Urf. Mitsaq: Islamic Family Law Journal, 1(2), 194.
Cahyani, R. E. (2022). Mengubur Ari-Ari dalam Perspektif „Urf (Studi
Terhadap Masyarakat Jawa dan Banjar di Kelurahan Selili Kecamatan Samarinda
Ilir).
Humairoh, S., & Mufti, W. Z. (2021). Akulturasi Budaya Islam Dan Jawa
Dalam Tradisi Mengubur Tembuni. Khazanah: Jurnal Studi Islam dan
Humaniora, 19(2), 264.
Kuswarno, E. (2006). Tradisi fenomenologi pada penelitian komunikasi
kualitatif: sebuah pengalaman akademis. MediaTor (Jurnal Komunikasi), 7(1), 50.
Murti, G. H. (2018, July). Mengkubur Ari-Ari, Menumbuhkan Toleransi:
Semangat Menghormati Hidup di Tengah Tegangan Identitas Komunitas antar
Agama. In PROSIDING SEMINAR NASIONAL DAN CALL FOR PAPER:
COMMUNITY PSYCHOLOGY SEBUAH KONSTRIBUSI PSIKOLOGI MENUJU
MASYARAKAT BERD (Vol. 1, pp. 178-191).
Meylinda, M., Tulistyantoro, L., & Suprobo, F. P. (2018). Relasi antara
Kepercayaan dan Hunian Masyarakat Jawa di Kediri Jawa Timur. Intra, 6(2), 557-
562.
Suneki, S. (2012). Dampak globalisasi terhadap eksistensi budaya
daerah. CIVIS: Jurnal Ilmiah Ilmu Sosial dan Pendidikan Kewarganegaraan, 2(1).
Widyaningrum, L., & Tantoro, S. (2017). Tradisi Adat Jawa dalam Menyambut
Kelahiran Bayi (Studi Tentang Pelaksanaan Tradisi Jagongan Pada Sepasaran Bayi)
di Desa Harapan Harapan Jaya Kecamatan Pangkalan Kuras Kabupaten
Pelalawan (Doctoral dissertation, Riau University).

Anda mungkin juga menyukai