Anda di halaman 1dari 5

TUGAS KELOMPOK

PSIKOLOGI BISNIS – PEKAN KE-5

1. ANGGOTA KELOMPOK

2. BAHAN KAJIAN

o PERAN WORKPLACE WELL-BEING TERHADAP MENTAL HEALTH


PADA KARYAWAN DISABILITAS

3. CAPAIAN PEMBELAJARAN

Mahasiswa mampu memahami, menguraikan, serta menjelaskan kembali definisi, tujuan,


manfaat, dan aplikasi well-being dalam lingkungan kerja, dalam rangka mengamati pengaruh
mental health karyawan terhadap produktivitas kerja karyawan penyandang kebutuhan khusus
(difabel).

A. DEFINISI WELL-BEING DAN PRODUKTIVITAS

Well-being : Kesejahteraan

Workplace well-being adalah komponen yang paling dekat hubungannya dengan pekerja
dan lingkungan kerja karena pekerja menghabiskan sebagian besar waktunya di lingkungan
kerja. Page (2005) mendefinisikan workplace well-being sebagai kesejahteraan yang dirasakan
oleh pegawai yang dipengaruhi oleh adanya kepuasaan terhadap aspek-aspek dalam
pekerjaannya

Konsep well-being pekerja sendiri biasanya terdiri dari 3 aspek, yaitu :

o Physical (fisik), seperti olahraga, tidur, makanan, dan lain-lain;


o Social (sosial), jejaring sosial yang positif dan mendukung. dan;
o Psychological (psikologis), kemampuan menghadapi stress dalam hidup, menjaga sikap
positif.
Produktivitas Kerja : Kemampuan memperoleh manfaat sebesar-besarnya dari sarana dan
prasarana yang tersedia dengan menghasilkan output yang optimal (Siagian dalam Soeharso,
2020).

B. TEMUAN

Dewasa ini, perusahaan dan organisasi semakin menyadari perlunya menangani


kesejahteraan pekerja mereka secara serius. Organisasi yang progresif melakukannya karena
mereka menghargai bahwa sumber daya terpenting adalah sumber daya manusia, yaitu para
karyawan yang bekerja di perusahaan mereka.

Kesehatan mental yang baik memungkinkan orang untuk menyadari potensi mereka
dalam mengatasi tekanan kehidupan yang normal, bekerja secara produktif dan berkontribusi
pada komunitas mereka. Kondisi mental yang sehat pada tiap individu tidak dapat
disamaratakan.

Lebih lanjut disebutkan bahwa tempat kerja dan pekerjaan memainkan peran ganda
dalam kesehatan mental karyawan. Kesehatan mental dapat menjadi sumber stres karena budaya,
organisasi dan tuntutan tempat kerja; atau dapat menjadi sumber dukungan dan berkontribusi
terhadap kesehatan mental secara keseluruhan dan proses pemulihan dari penyakit mental
(OECD, 2010).

Workplace well-being mencakup sebuah persepsi mengenai kesejahteraaan yang


dirasakan terhadap aspek-aspek terkait pekerjaan dan lingkungan pekerjaan. Secara spesifik
terkait dengan semua aspek kehidupan kerja, mulai dari kualitas dan keamanan lingkungan fisik,
hingga bagaimana perasaan pekerja tentang pekerjaan mereka, lingkungan kerja mereka, iklim
di tempat kerja dan organisasi kerja.

Smith dkk. (1995) sebagaimana dikutip oleh Danna dan Griffin (1999) mengidentifikasi
tiga bidang utama penelitian yang menghubungkan kehidupan organisasi dengan kesehatan
pekerja yaitu:

1) hubungan pengaturan kerja dengan risiko penyakit tertentu;

2) hubungan stres dengan kondisi kerja; dan


3) kerentanan penyakit tertentu dengan karakteristik kepribadian atau jenis lingkungan
kerja.

Jenis lingkungan kerja telah ditemukan terkait dengan risiko kesehatan tertentu,
termasuk yang melibatkan situasi darurat dan pemutusan hubungan kerja.

C. HASIL DISKUSI

Tematik, kami berdiskusi tentang temuan-temuan dan kaitan well-being terhadap


produktivitas kerja dari penyandang disabilitas, sesuai dengan materi pertemuan ke-5 dalam mata
kuliah psikologi bisnis.

Penyandang disabilitas merupakan seseorang yang memiliki keterbatasan baik pada


mental, fisik maupun intelektual. Keterbatasan yang dimiliki, cenderung mendapatkan penilaian
negatif dari orang lain. Kondisi tersebut membuat mereka sulit untuk membangun hubungan
dengan orang lain dan membawa pengaruh negatif terhadap kesejahteraan, terutama
kesejahteraan psikologisnya.

Karyawan disabilitas masih terhitung sedikit yang dilibatkan bekerja di perusahaan.


Ketika karyawan disabilitas harus bekerja bersama-sama dengan karyawan normal tentunya
akan ada sedikit perlakuan berbeda dari rekan kerja normalnya. Hal itu akan berakibat pada
keadaan psikis khususnya pada kesehatan mental dan kenyamanan karyawan disabilitas ketika
berada di tempat kerja.

Melansir data dari Survei Sosial Ekonomi Nasional atau Susenas, pada tahun 2018
Indonesia memiliki jumlah penyandang disabilitas sebagai berikut.

o Kelompok usia 19-59 tahun sebanyak 150.704.645 jiwa, dengan jumlah


penyandang disabilitas sedang sebanyak 15.834.339 jiwa dan penyandang
disabilitas berat sebanyak 2.627.531 jiwa.
o Kelompok usia > (lebih dari) 60 tahun sebanyak 24.493.684 jiwa dengan jumlah
penyandang disabilitas sedang sebanyak 12.073.572 jiwa dan penyandang
disabilitas berat sebanyak 3.381.134 jiwa.

Sebagai catatan, kelompok kami menilai rentang usia 19 s/d 59 tahun adalah pekerja aktif
atau orang-orang yang masih dikatakan secara fisik, sosial, dan psikologis; masih sanggup untuk
bekerja. Sementara disisi lain, rentang usia 60 tahun ke atas kami nilai adalah pensiunan atau
tidak lagi bekerja.

Pandangan di dalam UU penyandang cacat yang sudah lama berjalan kemudian


dipandang sudah ketinggalan zaman dan tidak sesuai dengan upaya peningkatan harkat dan
martabat penyandang disabilitas sebagai manusia seutuhnya (Ratnaningsih, 2016).

Penyandang disabilitas didudukkan sebagai subjek yang artinya sebagai individu yang
memiliki hak dan kewajiban sehingga penyelenggaraan kesejahteraan sosial untuk penyandang
disabilitas tidak hanya berupa rehabilitasi sosial dan jaminan sosial namun juga meliputi
pemberdayaan sosial dan perlindungan sosial (Ratnaningsih, 2016).

Selain daripada fasilitas publik, mengenai peraturan aksesibilitas juga diatur terkait hak
dalam pekerjaan, dimana pada Pasal 11 huruf c UU Penyandang Disabilitas disebutkan bahwa
setiap penyandang disabilitas berhak mendapatkan akomodasi yang layak dalam pekerjaan. Hal
ini mengindikasikan bahwa penyandang disabilitas juga memiliki hak yang sama dengan warga
negara pada umumnya dan wajib diberikan kesempatan yang sama pada sektor pekerjaan.

Kami berpendapat bahwa penting dilaksanakannya proses orientasi agar orang-orang di


lingkungan kerja bisa memahami dan tahu cara berinteraksi dengan para penyandang disabilitas.
Lalu dari pihak perusahaan serta pemerintah ada baiknya menyediakan akomodasi yang layak
dan penghapusan stigma yang merata.

Kalau tidak begitu, di Negara yang masih berkembang seperti Indonesia ini akan sangat
sulit melanjutkan pembangunan besar-besaran dari berbagai sektor. Bagaimana tidak, dimasa-
masa sulit yang dimana kita seharusnya menambah manpower untuk setiap sektor pembangunan,
alih-alih kita malah menumpuk beban kerja dengan secara tidak sengaja maupun sengaja,
menjatuhkan dan menghilangkan kesejahteraan (well-being) karyawan penyandang disabilitas.

Dalam praktiknya, kita harus berupaya untuk memfasilitasi para karyawan penyadang
disabilitas sehingga mereka mampu menjadi subjek pembangunan pula. Dalam artian lebih
dalam, mereka dapat meningkatkan produktivitas kerja.

Berdasarkan analisa dari temuan yang diperoleh, adapun simpulannya yakni adanya
pengaruh signifikan workplace well-being terhadap mental health karyawan disabilitas.
Kesejahteraan tersebut dapat dipengaruhi dengan diskriminasi, pola kerja terapan
perusahaan yang dinilai tidak kondusif, sistem penggajian, fasilitas/akomodasi, dan lainnya.
Kesejahteraan terhadap produktivitas kerja, dinilai goyah secara sosial dan psikis ketika hak-hak
ataupun kebutuhan-kebutuhan tidak terpenuhi atau equal.

Dengan kesempatan singkat ini, kami harap penjelasan kami dapat membantu berbagai
pihak yang membacanya. Pencarian dan pengamatan dilakukan dengan keterbatasan-
keterbatasan tertentu, sehingga memungkinkan bahwa terdapat banyak kekurangan dalam
penyajiannya.

Anda mungkin juga menyukai