1. ANGGOTA KELOMPOK
2. BAHAN KAJIAN
3. CAPAIAN PEMBELAJARAN
Well-being : Kesejahteraan
Workplace well-being adalah komponen yang paling dekat hubungannya dengan pekerja
dan lingkungan kerja karena pekerja menghabiskan sebagian besar waktunya di lingkungan
kerja. Page (2005) mendefinisikan workplace well-being sebagai kesejahteraan yang dirasakan
oleh pegawai yang dipengaruhi oleh adanya kepuasaan terhadap aspek-aspek dalam
pekerjaannya
B. TEMUAN
Kesehatan mental yang baik memungkinkan orang untuk menyadari potensi mereka
dalam mengatasi tekanan kehidupan yang normal, bekerja secara produktif dan berkontribusi
pada komunitas mereka. Kondisi mental yang sehat pada tiap individu tidak dapat
disamaratakan.
Lebih lanjut disebutkan bahwa tempat kerja dan pekerjaan memainkan peran ganda
dalam kesehatan mental karyawan. Kesehatan mental dapat menjadi sumber stres karena budaya,
organisasi dan tuntutan tempat kerja; atau dapat menjadi sumber dukungan dan berkontribusi
terhadap kesehatan mental secara keseluruhan dan proses pemulihan dari penyakit mental
(OECD, 2010).
Smith dkk. (1995) sebagaimana dikutip oleh Danna dan Griffin (1999) mengidentifikasi
tiga bidang utama penelitian yang menghubungkan kehidupan organisasi dengan kesehatan
pekerja yaitu:
Jenis lingkungan kerja telah ditemukan terkait dengan risiko kesehatan tertentu,
termasuk yang melibatkan situasi darurat dan pemutusan hubungan kerja.
C. HASIL DISKUSI
Melansir data dari Survei Sosial Ekonomi Nasional atau Susenas, pada tahun 2018
Indonesia memiliki jumlah penyandang disabilitas sebagai berikut.
Sebagai catatan, kelompok kami menilai rentang usia 19 s/d 59 tahun adalah pekerja aktif
atau orang-orang yang masih dikatakan secara fisik, sosial, dan psikologis; masih sanggup untuk
bekerja. Sementara disisi lain, rentang usia 60 tahun ke atas kami nilai adalah pensiunan atau
tidak lagi bekerja.
Penyandang disabilitas didudukkan sebagai subjek yang artinya sebagai individu yang
memiliki hak dan kewajiban sehingga penyelenggaraan kesejahteraan sosial untuk penyandang
disabilitas tidak hanya berupa rehabilitasi sosial dan jaminan sosial namun juga meliputi
pemberdayaan sosial dan perlindungan sosial (Ratnaningsih, 2016).
Selain daripada fasilitas publik, mengenai peraturan aksesibilitas juga diatur terkait hak
dalam pekerjaan, dimana pada Pasal 11 huruf c UU Penyandang Disabilitas disebutkan bahwa
setiap penyandang disabilitas berhak mendapatkan akomodasi yang layak dalam pekerjaan. Hal
ini mengindikasikan bahwa penyandang disabilitas juga memiliki hak yang sama dengan warga
negara pada umumnya dan wajib diberikan kesempatan yang sama pada sektor pekerjaan.
Kalau tidak begitu, di Negara yang masih berkembang seperti Indonesia ini akan sangat
sulit melanjutkan pembangunan besar-besaran dari berbagai sektor. Bagaimana tidak, dimasa-
masa sulit yang dimana kita seharusnya menambah manpower untuk setiap sektor pembangunan,
alih-alih kita malah menumpuk beban kerja dengan secara tidak sengaja maupun sengaja,
menjatuhkan dan menghilangkan kesejahteraan (well-being) karyawan penyandang disabilitas.
Dalam praktiknya, kita harus berupaya untuk memfasilitasi para karyawan penyadang
disabilitas sehingga mereka mampu menjadi subjek pembangunan pula. Dalam artian lebih
dalam, mereka dapat meningkatkan produktivitas kerja.
Berdasarkan analisa dari temuan yang diperoleh, adapun simpulannya yakni adanya
pengaruh signifikan workplace well-being terhadap mental health karyawan disabilitas.
Kesejahteraan tersebut dapat dipengaruhi dengan diskriminasi, pola kerja terapan
perusahaan yang dinilai tidak kondusif, sistem penggajian, fasilitas/akomodasi, dan lainnya.
Kesejahteraan terhadap produktivitas kerja, dinilai goyah secara sosial dan psikis ketika hak-hak
ataupun kebutuhan-kebutuhan tidak terpenuhi atau equal.
Dengan kesempatan singkat ini, kami harap penjelasan kami dapat membantu berbagai
pihak yang membacanya. Pencarian dan pengamatan dilakukan dengan keterbatasan-
keterbatasan tertentu, sehingga memungkinkan bahwa terdapat banyak kekurangan dalam
penyajiannya.