Biografi Ilmuan
Biografi Ilmuan
Thales dari Miletos adalah seorang filsuf yang mengawali sejarah filsafat Barat pada abad ke-6 SM.
[1][2][3]
Sebelum Thales, pemikiran Yunani dikuasai cara berpikir mitologis dalam menjelaskan segala
sesuatu.[1] Pemikiran Thales dianggap sebagai kegiatan berfilsafat pertama dan di sebut sebagai bapak
filsafat.[4] Karena mencoba menjelaskan dunia dan gejala-gejala di dalamnya tanpa bersandar pada
mitos melainkan pada rasio manusia.[1] Ia juga dikenal sebagai salah seorang dari Tujuh Orang
Bijaksana (dalam bahasa Yunani hoi hepta sophoi), yang oleh Aristoteles diberi gelar 'filsuf yang
pertama'.[2] Selain sebagai filsuf, Thales juga dikenal sebagai ahli geometri, astronomi, dan politik.
[2]
Bersama dengan Anaximandros dan Anaximenes, Thales digolongkan ke dalam Mazhab Miletos.[1]
[5]
Thales tidak meninggalkan bukti-bukti tertulis mengenai pemikiran filsafatnya. [2] Pemikiran Thales
terutama didapatkan melalui tulisan Aristoteles tentang dirinya. [2] Aristoteles mengatakan bahwa
Thales adalah orang yang pertama kali memikirkan tentang asal mula terjadinya alam semesta.
[2]
Karena itulah, Thales juga dianggap sebagai perintis filsafat alam (natural philosophy).[6]
Thales (624-546 SM) lahir di kota Miletus yang merupakan tanah perantauan orang-orang Yunani
di Asia Kecil.[2] Situasi Miletos yang makmur memungkinkan orang-orang di sana untuk mengisi
waktu dengan berdiskusi dan berpikir tentang segala sesuatu. [2] Hal itu merupakan awal dari kegiatan
berfilsafat sehingga tidak mengherankan bahwa para filsuf Yunani pertama lahir di tempat ini. [2]
Thales adalah seorang saudagar yang sering berlayar ke Mesir.[2] Di Mesir, Thales mempelajari ilmu
ukur dan membawanya ke Yunani.[2][6] Ia dikatakan dapat mengukur piramida dari bayangannya saja.
[2]
Selain itu, ia juga dapat mengukur jauhnya kapal di laut dari pantai. [2] Kemudian Thales menjadi
terkenal setelah berhasil memprediksi terjadinya gerhana matahari pada tanggal 28 Mei 585 SM. [2][6]
[7]
Thales dapat melakukan prediksi tersebut karena ia mempelajari catatan-catatan astronomis yang
tersimpan di Babilonia sejak 747 SM.[6]
Di dalam bidang politik, Thales pernah menjadi penasihat militer dan teknik dari Raja Krosus
di Lydia.[6] Selain itu, ia juga pernah menjadi penasihat politik bagi dua belas kota Iona. [5][6]
Pemikiran[sunting | sunting sumber]
Air sebagai Prinsip Dasar Segala Sesuatu[sunting | sunting sumber]
Thales menyatakan bahwa air adalah prinsip dasar (dalam bahasa Yunani arche) segala sesuatu.[1][2]
[5]
Air menjadi pangkal, pokok, dan dasar dari segala-galanya yang ada di alam semesta. [2] Berkat
kekuatan dan daya kreatifnya sendiri, tanpa ada sebab-sebab di luar dirinya, air mampu tampil dalam
segala bentuk, bersifat mantap, dan tak terbinasakan. [1]Menurut Thales air sebagai sumber kehidupan.
[8]
Argumentasi Thales terhadap pandangan tersebut adalah bagaimana bahan makanan semua
makhluk hidup mengandung air dan bagaimana semua makhluk hidup juga memerlukan air untuk
hidup.[9] Selain itu, air adalah zat yang dapat berubah-ubah bentuk (padat, cair, dan gas) tanpa menjadi
berkurang.[5]
Selain itu, ia juga mengemukakan pandangan bahwa bumi terletak di atas air. [5] Bumi dipandang
sebagai bahan yang satu kali keluar dari laut dan kemudian terapung-apung di atasnya. [5]
Teorema Thales :
Berdasarkan catatan Herodotus, Thales pernah memberikan nasihat kepada orang-orang Ionia yang
sedang terancam oleh serangan dari Kerajaan Persia pada pertengahan abad ke-6 SM. [11] Thales
menyarankan orang-orang Ionia untuk membentuk pusat pemerintahan dan administrasi bersama di
kota Teos yang memiliki posisi sentral di seluruh Ionia. [11] Di dalam sistem tersebut, kota-kota lain di
Ionia dapat dianggap seperti distrik dari keseluruhan sistem pemerintahan Ionia. [11] Dengan demikian,
Ionia telah menjadi sebuah polis yang bersatu dan tersentralisasi. [11]
Demokritos
Demokritos
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Pemikiran[sunting | sunting sumber]
Tentang Atom[sunting | sunting sumber]
Demokritos dan gurunya, Leukippos, berpendapat bahwa atom adalah unsur-unsur yang membentuk
realitas.[1][3] Di sini, mereka setuju dengan ajaran pluralisme Empedokles dan Anaxagoras bahwa
realitas terdiri dari banyak unsur, bukan satu. [3] Akan tetapi, bertentangan dengan Empedokles dan
Anaxagoras, Demokritos menganggap bahwa unsur-unsur tersebut tidak dapat dibagi-bagi lagi.
[3]
Karena itulah, unsur-unsur tersebut diberi nama atom (bahasa Yunani atomos: a berarti "tidak"
dan tomos berarti "terbagi")[1][3]
Atom-atom tersebut merupakan unsur-unsur terkecil yang membentuk realitas. [1] Ukurannya begitu
kecil sehingga mata manusia tidak dapat melihatnya. [1][2][3] Selain itu, atom juga tidak memiliki
kualitas, seperti panas atau manis. [1][3] Hal itu pula yang membedakan dengan konsep zat-zat
Empedokles dan benih-benih dari Anaxagoras. [1][3] Atom-atom tersebut berbeda satu dengan yang
lainnya melalui tiga hal: bentuknya(seperti huruf A berbeda dengan huruf N), urutannya (seperti AN
berbeda dengan NA), dan posisinya (huruf A berbeda dengan Z dalam urutan abjad). [3] Dengan
demikian, atom memiliki kuantitas belaka, termasuk juga massa. [1] Jumlah atom yang membentuk
realitas ini tidak berhingga.[3]
Selain itu, atom juga dipandang sebagai tidak dijadikan, tidak dapat dimusnahkan, dan tidak berubah.
[3]
Yang terjadi pada atom adalah gerak. [1][3] Karena itu, Demokritus menyatakan bahwa "prinsip dasar
alam semesta adalah atom-atom dan kekosongan". [1] Jika ada ruang kosong, maka atom-atom itu dapat
bergerak.[1] Demokritus membandingkan gerak atom dengan situasi ketika sinar matahari memasuki
kamar yang gelap gulita melalui retak-retak jendela. [3] Di situ akan terlihat bagaimana debu bergerak
ke semua jurusan, walaupun tidak ada angin yang menyebabkannya bergerak. [3] Dengan demikian,
tidak diperlukan prinsip lain untuk membuat atom-atom itu bergerak, seperti prinsip "cinta" dan
"benci" menurut Empedokles.[3] Adanya ruang kosong sudah cukup membuat atom-atom itu bergerak.
[3]
PLATO
Plato (bahasa Yunani: Πλάτων) (lahir sekitar 427 SM - meninggal sekitar 347 SM) adalah
seorang filsuf dan matematikawan Yunani, penulis philosophical dialogues dan pendiri
[2]
dari Akademi Platonik di Athena, sekolah tingkat tinggi pertama di dunia barat. Ia adalah
murid Socrates.[2] Pemikiran Plato pun banyak dipengaruhi oleh Socrates.[3] Plato adalah guru
dari Aristoteles.[2] Karyanya yang paling terkenal ialah Republik (dalam bahasa Yunani Πολιτεία
atau Politeia, "negeri") yang di dalamnya berisi uraian garis besar pandangannya pada keadaan
"ideal".[butuh rujukan] Dia juga menulis 'Hukum' dan banyak dialog di mana Socrates adalah peserta
utama.[butuh rujukan] Salah satu perumpamaan Plato yang termasyhur adalah perumpaan tentang
orang di gua.[2] Cicero mengatakan Plato scribend est mortuus (Plato meninggal ketika sedang
menulis).[2]
Bersifat Sokratik
Dalam Karya-karya yang ditulis pada masa mudanya, Plato selalu menampilkan kepribadian dan
karangan Sokrates sebagai topik utama karangannya.[2]
Berbentuk dialog
Hampir semua karya Plato ditulis dalam nada dialog.[2] Dalam Surat VII, Plato berpendapat
bahwa pena dan tinta membekukan pemikiran sejati yang ditulis dalam huruf-huruf yang
membisu.[2] Oleh karena itu, menurutnya, jika pemikiran itu perlu dituliskan, maka yang paling
cocok adalah tulisan yang berbentuk dialog.[2]
Pandangan Plato tentang ide, unia ide dan dunia
indrawi[sunting | sunting sumber]
Idea-idea[sunting | sunting sumber]
Sumbangsih Plato yang terpenting adalah pandangannya mengenai ide.[4] Pandangan Plato
terhadap ide-ide dipengaruhi oleh pandangan Sokrates tentang definisi.[4] Idea yang dimaksud
oleh Plato bukanlah ide yang dimaksud oleh orang modern.[4] Orang-orang modern berpendapat
ide adalah gagasan atau tanggapan yang ada di dalam pemikiran saja.[butuh rujukan] Menurut
Plato idea tidak diciptakan oleh pemikiran manusia.[4] Idea adalah dunia yang melampaui
manusia maka ide tidak tergantung pada pemikiran manusia, melainkan pikiran manusia yang
tergantung pada dunia ide.[4] Ide adalah citra pokok dan perdana dari realitas, nonmaterial,
abadi, dan tidak berubah.[2] Ide sudah ada dan berdiri sendiri di luar pemikiran kita.[2] Ide-ide ini
saling berkaitan satu dengan yang lainnya.[2] Misalnya, ide tentang dua buah lukisan tidak dapat
terlepas dari ide dua, ide dua itu sendiri tidak dapat terpisah dengan ide genap.[2] Namun, pada
akhirnya terdapat puncak yang paling tinggi di antara hubungan ide-ide tersebut.[2] Puncak inilah
yang disebut ide yang “indah”.[2] Ide ini melampaui segala ide yang ada.[2]
Aristoteles
(bahasa Yunani: ‘Aριστοτέλης Aristotélēs), (384 SM – 322 SM) adalah seorang filsuf Yunani,
murid dari Plato dan guru dari Alexander Agung.[1] Ia menulis tentang berbagai subyek yang
berbeda,
termasuk fisika, metafisika, puisi, logika, retorika, politik, pemerintahan, etnis, biologi dan zoologi.
[1]
Bersama dengan Socrates dan Plato, ia dianggap menjadi seorang di antara tiga orang filsuf
yang paling berpengaruh di pemikiran Barat.[butuh rujukan]
Pemikiran[sunting | sunting sumber]
Filsafat Aristoteles berkembang dalam tiga tahapan yang pertama ketika dia masih belajar di
Akademi Plato ketika gagasannya masih dekat dengan gurunya tersebut, kemudian ketika dia
mengungsi, dan terakhir pada waktu ia memimpin Lyceum mencakup enam karya tulisnya yang
membahas masalah logika, yang dianggap sebagai karya-karyanya yang paling penting, selain
kontribusinya di bidang Metafisika, Fisika, Etika, Politik, Ilmu Kedokteran, Ilmu Alam dan karya
seni.[butuh rujukan]
Di bidang ilmu alam, ia merupakan orang pertama yang mengumpulkan dan
mengklasifikasikan spesies-spesies biologi secara sistematis.[butuh rujukan] Karyanya ini
menggambarkan kecenderungannya akan analisis kritis, dan pencarian terhadap hukum alam
dan keseimbangan pada alam.[butuh rujukan]
Berlawanan dengan Plato yang menyatakan teori tentang bentuk-bentuk ideal benda, Aristoteles
menjelaskan bahwa materi tidak mungkin tanpa bentuk karena ia ada (eksis).[butuh rujukan] Pemikiran
lainnya adalah tentang gerak di mana dikatakan semua benda bergerak menuju satu tujuan,
sebuah pendapat yang dikatakan bercorak teleologis.[butuh rujukan] Karena benda tidak dapat
bergerak dengan sendirinya maka harus ada penggerak di mana penggerak itu harus
mempunyai penggerak lainnya hingga tiba pada penggerak pertama yang tak bergerak yang
kemudian disebut dengan theos, yaitu yang dalam pengertian Bahasa Yunani sekarang
dianggap berarti Tuhan.[butuh rujukan]
Logika Aristoteles adalah suatu sistem berpikir deduktif (deductive reasoning), yang bahkan
sampai saat ini masih dianggap sebagai dasar dari setiap pelajaran tentang logika formal.[butuh
rujukan]
Meskipun demikian, dalam penelitian ilmiahnya ia menyadari pula pentingnya observasi,
eksperimen dan berpikir induktif (inductive thinking).[butuh rujukan]
Hal lain dalam kerangka berpikir yang menjadi sumbangan penting Aristoteles adalah silogisme
yang dapat digunakan dalam menarik kesimpulan yang baru yang tepat dari dua kebenaran
yang telah ada.[butuh rujukan] Misalkan ada dua pernyataan (premis)[butuh rujukan]:
René Descartes
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
René Descartes
La Haye, Prancis
Stockholm, Swedia
Kebangsaan Prancis
Aliran Rasionalisme
Metafisika[sunting | sunting sumber]
Bagi Rene Descrates, realitas terdiri dari tiga hal. Yakni benda material yang terbatas (objek-
objek fisik seperti meja, kursi, tubuh manusia, dan sebagainya), benda mental-nonmaterial yang
terbatas (pikiran dan jiwa manusia), serta benda mental yang tak terbatas (Tuhan).
Ia juga membedakan antara pikiran manusia dan tubuh fisik manusia. Pembagian ini juga
mengantarkannya pada pembagian keilmuan. Realitas material sebagai ranah bagi keilmuan
baru yang dibawa Galileo dan Copernicus, realitas mental bagi keilmuan dalam bidang agama,
etika, dan sejenisnya.
Namun, dualismenya ini juga yang kerap kali menjadi kritikan bagi berbagai filsuf lainnya seperti
Barkley misalnya. Problem utama dari dualisme tersebut ialah bagaimana pikiran dan tubuh
berinteraksi satu sama lainnya. serta terjebak dalam pilihan ekstrem, baginya benda hidup selain
manusia (contoh:hewan) tidak memiliki pikiran dan jiwa, sehingga hanya dipandang sebagai
bentuk material sama halnya seperti mesin.
CICERO
Karier politik
Cicero remaja pertama kali bekerja sebagai auditor Phillo di Akademi.[9] Karena bakat dan
karakter Cicero yang baik, ia kemudian diminati oleh sekolah Mucii, sebuah tempat yang
melahirkan banyak negarawan dan pemimpin yang duduk di senat.[9] Di sana ia belajar hukum.
[9]
Kemudian ia menjadi tentara di bawah Sulla dalam Perang Marsi.[9] Pada tahun 89-82 SM,
Cicero menjadi tentara di bawah Pompeius Strabo (ayah dari Pompeius) dan menunjukkan
kemampuannya di pengadilan dalam pembelaannya untuk Quintius (81 SM).[4] Disusul dengan
kesuksesannya dalam pembelaannya kepada Sextus Roscius yang terkait tuduhan pembunuhan
keluarga (80 atau awal 79 SM), kemampuan Cicero semakin dipercaya oleh publik, terutama
dalam bidang hukum.[4] Ia kemudian bekerja sebagai petugas pemerintahan (kuestor) yang
berkantor di SisiliaBarat.[4] Kemudian Cicero berganti tugas menjadi pretor.[4]
Sebagai pretor (satu tingkat di bawah konsul), Cicero menyuarakan pidato politiknya pertama
kali pada tahun 66 SM dalam rangka melawan Catullus dan kepemimpinan Optimates yang
merupakan orang konservatif di dewan senat Romawi, ia berunding dengan perintah Pompeius
dalam rangka melawan Mithradates, raja Pontus.[4] Kedekatan Cicero dengan Pompeius
menimbulkan kebencian Marcus Licinius Crassus, namun justru menjadikannya semakin populer
sehingga pada tahun 63 SM ia diangkat sebagai konsul.[4]
Sebagai konsul, prestasi Cicero semakin melejit karena prestasinya menggagalkan komplotan
Lucius Sergius Catilina yang melakukan konspirasi menggulingkan Republik Romawi dengan
maksud menggantinya dengan sistem aristokrasi.[1][13] Setelah Julius Caesarmeninggal pada
tahun 44 SM, Cicero memihak Octavianus melawan Antonius dengan pidato-pidatonya yang
tajam, antara lain "Phillipacea".[1] Setelah terbentuk sebuah pemerintahan dengan tiga orang
kuat (Julius Caesar, Pompeius, dan Crassus) di dalamnya yang dijuluki triumvirs[14],
pemerintahan Romawi cenderung mengarah pada perebutan kekuasaan antar-pribadi.[2] Cicero
sendiri lebih dekat kepada Pompeius karena persahabatan dan kesamaan prinsip dalam
menegakkan gagasan sistem republik. Meski demikian, Cicero mencoba menengahi perseteruan
antara ketiga orang tersebut, terutama antara pihak Pompeius dan Caesar yang sering berselisih
dengan Crassus. Kemudian, setelah Pompeius meninggal pada tahun 48 SM, Cicero kemudian
menentang cara pemerintahan Caesar yang cenderung tirani.[2] Cicero pergi
ke Roma Italia dengan pengampunan Caesar karena tindakan perlawanannya.[2] Cicero tetap
berpegang pada prinsip moral untuk tidak mendukung tirani.[2] Oleh karena itu Cicero memilih
jalan menulis secara dialogis terhadap diri sendiri yang gelisah untuk menunjukkan keteguhan
sikapnya.[2] Secara sistem, Cicero tidak dapat menyumbangkan ide-idenya kepada Romawi
karena Caesar menduduki tahta 10 tahun berikutnya.[2] Walau demikian Cicero terus menulis dan
berorasi dalam rangka mengecam pemerintah.[2]Setelah terbunuhnya Caesar pada tanggal 17
Maret 44 SM dalam sebuah konspirasi yang tidak melibatkan Cicero, Cicero kembali aktif dalam
politik.[4] Hingga pada tahun 43, ketika Cicero berselisih dengan koalisi antara Markus Aemilius
Lepidus dan Antonius, Cicero akhirnya dituntut untuk dibunuh dengan cara dipenggal.[1] Walapun
Cicero melarikan diri, namun tetap berhasil dibunuh dalam pelariannya.[1][4] Menjadi tradisi, yang
salah satunya diceritakan oleh Plutarkos, Cicero meninggal secara heroik.[2]
de Academia;
de Fibinus;
de Tusculan Disputations;
de Natura Deorum;
de Divinatione;
de Fato;
de Officiis; dan
de Amicitia.
Kecuali karyanya yang berjudul de Officiis, Cicero tidak pernah mengklaim bahwa tulisan-
tulisannya merupakan tulisan otentik dari dirinya, dalam suratnya kepada Atticus, ia mengatakan,
"Karya-karyaku merupakan transkrip, aku secara sederhana hanya menyumbang kata-kata, dan
aku mencukupkan diri dengan hal itu".[4] Tujuan Cicero adalah
menyediakan ensiklopedi filsafat bagi Romawi, negara yang ia cintai.[4] Bentuk yang ia pakai
merupakan dialog dengan gaya yang lebih dekat kepada Aristoteles daripada Plato.[4]
Secara personal, Cicero adalah orang yang sangat cerdas dalam bernalar, bahkan mampu
memakai peristiwa-peristiwa dalam hidupnya sebagai pemacu karya-karya filsafatnya.[12]Bukan
hanya alasan personal yang membuat ia merampungkan sejumlah karya, namun kutipan dari de
Natura berikut memperlihatkan keprihatinannya yang lain[12],
Jika ada yang terheran-heran mengapa aku mempercayakan setiap refleksi menjadi
“ tulisan pada tahap hidup saya ini, aku dapat menjawabnya secara sederhana.
Tanpa aktivitas publik yang aku tanggung (jabatan atau tugas resmi
kemasyarakatan), dan dalam situasi politik diktatorial yang tak terelakkan, aku
berpikir bahwa tindakan patriotisme dengan menjelaskan secara rinci filsafat
kepada para sesama warga negara sebagai tindakan evaluasi yang sungguh-
sungguh kepada negara terhormat dan suci, yaitu demi sebuah ekspresi subjek
(warga negara) yang luhur melalui literatur Latin. ”
— Cicero
Pemikiran Cicero tentang bagaimana menjadi seorang negarawan yang baik tercermin
dalam orasi-orasinya yang tidak berpusat pada sekadar pengetahuan berpidato, melainkan
tentang bagaimana menjadi seorang orator terbaik, yang mampu memberikan rasa aman
kepada rakyat, dan melalui orasinya ia dapat menyatukan rakyat.[2] Oleh karena itu, karya
orasi de Oratore yang mementingkan karakter seorang pejabat kemudian menjadi landasan
gagasan de Re Publica, dan de Legibus yang berbicara banyak tentang tugas seorang
negarawan yang sejati.[2]Dialog yang ada dalam karya itu merepresentasikan Phillipus sebagai
pencemooh otoritas senat dan tanggung jawab atas apa yang terjadi selama perang sipil
puluhan tahun yang terjadi kemudian.[2] Bagi Cicero, pidato harus didedikasikan sebagai alat
untuk pelayanan publik.[2]Cicero memang negarawan yang sangat berbakti, dalam de Re
Publica, kata Cicero kepada saudaranya, adalah "tentang kondisi terbaik dari sebuah kota dan
warga negara yang paling baik".[2] Cicero banyak sekali bicara
tentang demokrasi, keadilan rakyat, hukum alam sebagai acuan perilaku kepentingan manusia.
[2]
Bagi Cicero etika warga negara sama pentingnya dengan sistem politik.[2] Kelangsungan
sistem politikakan tergantung pada etika politik: negarawan memelihara kota dengan keputusan
yang bijaksana dan contoh moral.[2]
Bagi Cicero, menjadi negarawan yang patriotis adalah segala-galanya, bahkan ganjarannya
adalah surga.[2] Tugas politik bagi Cicero adalah suci, yang dibebankan Tuhan kepada manusia,
seperti ditulis Cicero dalam dialog kepada Scipo Africanus, kakeknya[2],
Ketahuilah Africanus, jalan masuk ke surga terbuka bagi orang yang berjasa kepada
“ negaranya, meskipun sejak anak-anak aku mengikuti jejakmu dan ayahku sehingga
tidak jauh dari kemasyuranmu, kini ketika ganjaran besar terungkap padaku, aku
akan terus berjuang dengan keras ”
— Cicero dari Arpinum
Di sini, Cicero sebagai filsuf tampak mengeksploitasi doktrin Plato tentang keabadian jiwa untuk
memperkuat cita-citanya akan pengabdian patriotis, tidak perlu risau jika seseorang mati demi
kepentingan negara, sebab yang mati hanya tubuh, sedangkan jiwanya tetap abadi.[2]
Orang yang mengambil sesuatu dari orang lain dan meningkatkan keuntungannya
“ sendiri dengan mengorbankan keuntungan orang lain lebih buruk daripada
kematian, daripada kemiskinan, daripada penderitaan yang mungkin menimpa tubuh
atau hak milik eksternal lainnya.[2] Alam dengan hukumnya menetapkan bahwa
seorang manusia harus bersedia mempertimbangkan kepentingan orang lain,
siapapun ia, dengan alasan mendasar yakni karena ia adalah manusia.[2]
”
— Cicero dalam de Officiis
Selanjutnya, menyikapi warisan dari keberanian tradisi Romawi dalam kemiliteran, dan warisan
Yunani yang mengatakan bahwa doxa (kejayaan dan opini) adalah berbahaya dan tidak
berharga, Cicero mengakomodasi keduanya dengan berkata[2],
Jiwa besar tampak dalam dua hal sikap: tidak memperdulikan hal-hal eksternal
“ (kekayaan, nama baik, prestise jabatan), dalam keyakinan bahwa orang seharusnya
tidak memuji, memilih, dan mengejar apa pun kecuali kehormatan dan seharusnya
tidak tunduk kepada manusia, hasutan jiwa atau kekayaan ”
— Cicero dalam de Officiis I.66-7
Di dalam diri manusia terdapat emosi yang baik, yang disebut eupatheia (bebas dari hasrat
personal), Cicero menyebut constatiae (bahasa lain dari konstitusi) yang mengatakan bahwa
negara yang kukuh tidak boleh dikendalikan perilaku manusia yang berhasrat berlebih-lebihan.
[17]
Sepanjang ada nafsu, selalu ada keinginan yang berlebihan; sejauh ada ketakutan selalu ada
alasan untuk menghindar; dan sejauh ada kesenangan, selalu ada kegembiraan.[17]
Namun kumpulan perasaan itu hanya dapat dimengerti oleh para sophis (orang yang berlaku
bijaksana), yang hanya punya nalar yang lurus.[17] Menurut orang bijasana, tidak ada dorongan
yang dapat dibenarkan benar dari penderitaan mental, misalnya orang yang menderita sekalipun
tidak dibenarkan mencuri.[17] Seorang bijak harus menerima segala peristiwa tak terelakkan pada
dirinya, dan tidak ada yang buruk secara moral dalam menyediakan sebuah sebab bagi tekanan
yang ada dalam diri manusia.[17] Jadi persoalan manusia terhadap segala dorongan atau impuls
bukan pada hal di luar diri, melainkan dalam dirinya sendiri.[17] Itu mengapa, ajaran tentang moral
dalam Stoa yang dianut oleh Cicero menduduki posisi paling penting dan merupakan tindakan
yang luhur.[17]
Pemikirannya[sunting | sunting sumber]
Substansi Tunggal[sunting | sunting sumber]
Pandangan Spinoza mengenai substansi tunggal merupakan tanggapannya atas pemikiran
Descartes tentang masalah substansi dan hubungan antara jiwa dan tubuh.[5] Dalam filsafat
Descartes, terdapat sebuah permasalahan yaitu bagaimana Allah, jiwa, dan dunia material dapat
dipikirkan sebagai satu kesatuan utuh?[1] Dalam bukunya Ethica, ordine geometrico
demonstrata (Etika yang dibuktikan dengan cara geometris), Spinoza mencoba menjawab
permasalahan ini.[1] Ia memulai menjawab permasalahan dari filsafat Descartes dengan
memberikan sebuah pengertian mengenai substansi.[1] Substansi dipahami sebagai sesuatu
yang ada dalam dirinya sendiri dan dipikirkan oleh dirinya sendiri, artinya sesuatu yang
konsepnya tidak membutuhkan konsep lain untuk membentuknya.[1] Menurut Spinoza, sifat
substansi adalah abadi, tidak terbatas, mutlak, dan tunggal-utuh.[1]Bagi Spinoza, hanya ada satu
yang dapat memenuhi definisi ini yaitu Allah.[1] Menurut Spinoza, sifat substansi adalah abadi,
tidak terbatas, mutlak, dan tunggal-utuh.[1] Bagi Spinoza, hanya ada satu yang dapat memenuhi
definisi ini yaitu Allah.[1] Hanya Allah yang memiliki sifat yang tak terbatas, abadi, mutlak, tunggal,
dan utuh.[1] Selain itu, Spinoza juga mengajarkan apabila Allah adalah satu-satunya substansi,
maka segala yang ada harus dikatakan berasal daripada Allah.[1] Hal ini berarti semua gejala
pluralitas dalam alam baik yang bersifat jasmaniah (manusia, flora dan fauna, bahkan bintang)
maupun yang bersifat rohaniah (perasaan, pemikiran, atau kehendak) bukanlah hal yang berdiri
sendiri melainkan tergantung sepenuhnya dan mutlak pada Allah.[1] Untuk menyebut gejala ini,
Spinoza menggunakan sebuah istilah yaitu modi.[5] Modi merupakan bentuk atau cara tertentu
dari keluasan dan pemikiran.[5] Dengan demikian, semua gejala dan realitas yang kita lihat dalam
alam hanyalah modi saja dari Allah sebagai substansi tunggal.[1] Dengan kata lain, alam dan
segala isinya adalah identik dengan Allah secara prinsipil.[1]
Kata kunci ajaran Spinoza adalah Deus sive natur (Allah atau alam).[5] Yang berbeda dari ajaran
ini hanyalah istilah dan sudut pandangnya saja.[1] Sebagai Allah, alam adalah natura
naturans (alam yang melahirkan).[1] natura naturans dipandang sebagai asal usul, sebagai
sumber pemancaran, sebagai daya pencipta yang asali.[5] Sebagai dirinya sendiri, alam
adalah natura naturata (alam yang dilahirkan) yaitu sebuah nama untuk alam dan Allah yang
sama tetapi dipandang menurut perkembangannya yaitu alam yang kelihatan.[5]Dengan ini
Spinoza membantah ajaran Descartes bahwa realitas seluruhnya terdiri dari tiga substansi
(Allah, jiwa, materi).[1] Bagi Spinoza hanya ada satu substansi saja, yakni Allah/alam.[1]
Karya-karyanya[sunting | sunting sumber]
Halaman Pembuka dari salah satukarya Spinoza magnum opus, Ethics
John Locke
(lahir 29 Agustus 1632 – meninggal 28 Oktober 1704 pada umur 72 tahun) adalah
seorang filsuf dari Inggris yang menjadi salah satu tokoh utama dari pendekatan empirisme.
Selain itu, di dalam bidang filsafat politik, Locke juga dikenal sebagai filsuf negara liberal.
[2]
Bersama dengan rekannya, Isaac Newton, Locke dipandang sebagai salah satu figur
terpenting di era Pencerahan.[3][4]Selain itu, Locke menandai lahirnya era Modern dan juga era
pasca-Descartes (post-Cartesian), karena pendekatan Descartes tidak lagi menjadi satu-satunya
pendekatan yang dominan di dalam pendekatan filsafat waktu itu.[4][5][6] Kemudian Locke juga
menekankan pentingnya pendekatan empiris dan juga pentingnya eksperimen-eksperimen di
dalam mengembangkan ilmu pengetahuan.[6]
Filsafat Locke dapat dikatakan antimetafisika. Ia menerima keraguan sementara yang diajarkan
oleh Descartes, tetapi ia menolak intuisi yang digunakan oleh Descartes. Ia juga menolak
metode deduktif Descartes dan menggantinya dengan generalisasi
berdasarkan pengalaman; jadi, induksi. Bahkan Locke menolak juga akal (reason). Ia hanya
menerima pemikiran matematis yang pasti dan cara penarikan dengan metode induksi.[7]
Tulisan-tulisan Locke tidak hanya berhubungan dengan filsafat, tetapi juga
tentang pendidikan, ekonomi, teologi, dan medis.[3] Karya-karya Locke yang terpenting adalah
"Esai tentang Pemahaman Manusia" (Essay Concerning Human Understanding), "Tulisan-
Tulisan tentang Toleransi" (Letters of Toleration), dan "Dua Tulisan tentang Pemerintahan" (Two
Treatises of Government).[3][8][9]
Biografi[sunting | sunting sumber]
John Locke dilahirkan pada tanggal 28 Agustus 1632 di Wrington, Somerset.[6][10] Keluarganya
berasal dari kelas menengah dan ayahnya memiliki beberapa rumah dan tanah di
sekitar Pensford, sebuah kota kecil di bagian selatan Bristol.[10] Selain bekerja sebagai pemilik
tanah, ayah Locke bekerja juga sebagai pengacara dan melakukan tugas-tugas administratif di
pemerintahan lokal.[6][10]
Pada tahun 1647, Locke belajar di Sekolah Westminster, yang pada waktu itu merupakan
sekolah terkenal di Inggris.[6][10] Pendidikan di sana berpusat pada pelajaran bahasa-bahasa
kuno, yaitu pertama-tama bahasa Latin, kemudian bahasa Yunani, dan juga bahasa Ibrani.
[10]
Setelah itu, pada tahun 1652, Locke mendapat beasiswa untuk menempuh pendidikan
di Sekolah Gereja Kristus (Christ Church), Oxford, dan tinggal di sana sejak bulan Mei 1652.[6][10]
Di sekolah itu, Locke kurang menyukai metode skolastik dalam berdebat dan juga tema-
tema metafisika dan logika.[6][10] Karena itu, Locke tidak mendapatkan nilai yang mengesankan
ketika ia mendapatkan gelar hingga strata dua.[10] Ia lebih banyak menghabiskan waktunya untuk
membaca karya-karya sastra, seperti drama, roman, dan sebagainya.[10]
Setelah itu, Locke mulai menyenangi bidang medis, sebagaimana tertulis di dalam beberapa
catatan pribadi Locke yang ditulis pada periode akhir dekade 1650-an.[10] Ia membuat banyak
catatan tentang hal-hal yang berhubungan dengan kesehatan dan pengobatan.[10]
Melalui minatnya dalam bidang medis, Locke mulai meminati filsafat alam sejak tahun 1658.
[10]
Pada awal tahun 1660, ia berjumpa dengan Robert Boyle yang akan banyak
memengaruhinya kelak.[6][10] Sejak tahun 1660, Locke menambah minatnya dengan membaca
filsafat mekanis yang baru muncul, yang dimulai dengan membaca karya Boyle.[10]Selain itu, ia
juga mulai rajin membaca karya-karya Descartes.[10]
Perhatian Locke pada waktu-waktu ini tidak terbatas pada bidang medis dan filsafat alam saja,
namun juga kepada bidang politik.[10] Situasi politik di Inggris pada waktu itu memang sedang
bergejolak.[10] Cromwell, yang pada waktu itu telah mengubah sistem politik Inggris, meninggal
pada tahun 1658 sehingga terjadi perubahan lagi di bawah pemerintahan Raja Charles II.
[10]
Charles II menghendaki pemerintahan yang dengan kuat menguasai negara dan gereja
Inggris, dan Locke pada waktu itu mendukung pemerintahan Charles II.[10] Pada bulan November
hingga Desember 1660, ia membuat suatu karangan singkat untuk menanggapi
pandangan Edward Bagshaw, yang menegaskan perlunya hakim sipil dalam menentukan
bentuk-bentuk ibadah keagamaan.[10] Kemudian pada tahun 1661-1662, Locke menulis dua
karya lagi dalam bahasa Latin.[10] Karya pertama menegaskan lagi tesis yang dipakai untuk
melawan argumentasi Bagshaw, dan karya kedua berisi penolakan terhadap posisi Gereja
Katolik Roma yang menyatakan Alkitab perlu ditafsir tanpa ada kesalahan melalui
lembaga magisterium.[10] Di sini, Locke menggunakan teologi Gereja Anglikan dalam
mempertahankan pendapatnya.[10]
Pada tahun 1661, Locke diangkat menjadi dosen di sekolah Gereja Kristus tempatnya belajar
dulu.[6][10] Ia mengajar bahasa Yunani dan bahasa Latin.[6][10] Kemudian pada tahun 1664, ia
menjadi petugas sensor dalam bidang filsafat moral.[6][10] Selama periode ini, Locke melanjutkan
minatnya pada bidang pengobatan dan filsafat alam.[10] Kemudian Locke belajar kepada Thomas
Willis selama tahun 1661-1662 dan mempelajari kimia pada tahun 1663 kepada Boyle.[10] Selain
itu, Locke juga membantu penelitian-penelitian yang mereka lakukan.[10]
Pada tahun 1665, Locke mendapat kesempatan untuk menjadi sekretaris Walter Vane yang
bertugas melakukan misi diplomatik ke beberapa negara.[6][10] Locke meninggalkan Inggris pada
bulan November dan kembali pada bulan Februari.[10] Melalui surat yang dikirimnya, tampak
bahwa Locke menikmati kunjungan luar negeri pertamanya itu.[10] Setelah itu, Locke ditawarkan
pekerjaan menjadi sekretaris untuk pekerjaan diplomasi ke Spanyol namun ia menolak.[6]
[10]
Sekembalinya Locke ke Oxford, ia melanjutkan studinya dalam bidang kimia dan fisiologi.[10]
Pada tahun 1666, Locke bertemu dengan Lord Ashley yang di kemudian hari membuat
perubahan besar dalam hidup Locke.[10] Pada tahun 1667, Locke pindah dari Oxford
menuju London untuk bekerja di rumah Lord Ashley.[3][6][10] Locke tinggal di sini selama delapan
tahun.[10] Selama di London, Locke juga membaca buku-buku pengobatan, namun di situ ia
mendapatkan pengalaman langsung dalam soal-soal klinis karena ia menjadi asisten
dari Thomas Sydenham yang adalah seorang dokter.[6][10] Locke menemani Sydenham dalam
perjalanan-perjalanannya dan juga membuat catatan-catatan tentang soal-soal kesehatan.[10] Di
sini, Locke membuat catatan yang akhirnya dibukukan dengan judul De Arte Medica, yang di
dalamnya dipakai pendekatan empiris.[10]
Pada tahun 1668, Lord Ashley mengalami gangguan kesehatan yang cukup parah.[10] Locke
melakukan operasi terhadap liver Lord Ashley dan keadaannya semakin membaik.[10]Karena itu,
Lord Ashley menganggap Locke sebagai penyelamat hidupnya.[10] Setelah itu, untuk mendukung
studi Locke dalam bidang kimia, Lord Ashley menyediakan laboratorium di rumahnya.[10]
Selain meningkatkan kemampuan dalam bidang kesehatan dengan praktik langsung bersama
Sydenham, perkenalan Locke dengan Lord Ashley juga menambah pengalaman Locke dalam
bidang politik.[10] Setahun setelah datang ke London, Locke menulis "Essay tentang Toleransi"
yang isinya amat berbeda dengan dua karya yang ia tulis pada tahun 1660-1662.[10] Pada tahun
1669, Lord Ashley melibatkan Locke dalam urusan pendirian koloni baru di Carolina, khususnya
dalam membuat konstitusi Carolina.[6][10] Locke menjalani tugasnya dalam membantu Lord Ashley
hingga ia meninggalkan Inggris menuju Prancis pada tahun 1675.[6][10]
Di Prancis[sunting | sunting sumber]
Hingga tahun 1670, Locke belum dapat dikatakan sebagai seorang filsuf.[10] Akan tetapi, ia mulai
mengorganisir suatu pertemuan dengan beberapa temannya untuk berdiskusi mengenai topik-
topik tertentu.[10] Ada tulisan tentang epistemologi yang ditulis pada tahun 1671 berdasarkan
diskusi-diskusi yang dilakukan Locke.[10]
Selama tahun 1672 hingga 1675, kebanyakan waktu Locke dipakai untuk mengerjakan tugas-
tugas administratif.[10] Pada bulan Maret 1672, Lord Ashley diangkat sebagai pangeran
dari Shaftesbury dan Locke tetap membantunya hingga Lord Ashley keluar dari jabatan tersebut
pada tahun 1673.[10] Pada bulan November 1675, tugas Locke usai dan Locke pergi ke Prancis.
[6]
Locke tinggal di sana selama kurang lebih tiga setengah tahun.[10] Pada tanggal 4 Januari
1676, Locke tiba di Montpellier, di mana ia tinggal selama setahun.[10] Ia berteman dengan dua
dokter Protestan yang bernama Charles Barbeyrac dan Pierre Magnol, serta seorang filsuf
Cartesian, Sylvain Regis, yang menjadi guru bahasa Prancis bagi Locke.[10] Setelah mempelajari
bahasa Prancis, Locke mulai membaca buku-buku dalam bahasa Prancis.[10]
Selama di Montpellier, Locke meneruskan pembelajarannya dalam bidang filsafat, sebagaimana
tertulis di dalam jurnal pribadinya.[10] Bulan Februari 1677, Locke meninggalkan Montpellier dan
menuju Paris.[10] Ia bermukim sebentar di Paris lalu pergi ke beberapa tempat hingga tahun 1678
kembali ke Inggris.[10]
Pengaruh[sunting | sunting sumber]
Dalam filsafat pengetahuan[sunting | sunting sumber]
Hume, seorang filsuf empiris radikal yang dipengaruhi oleh Locke
Pemikiran Locke tentang pengetahuan memiliki pengaruh besar terhadap para filsuf setelahnya,
khususnya David Hume di Inggris dan Kant di Jerman.[4][8]Pandangan Locke tentang proses
manusia mendapat pengetahuan memiliki dua implikasi penting.[2] Pertama, munculnya
anggapan bahwa seluruh pengetahuan manusia berasal dari pengalaman, dan tiadanya
pengetahuan secara apriori (sebelum pengalaman) sebagaimana yang dikatakan Descartes.
[2]
Kedua, semua hal yang manusia ketahui melalui pengalaman, bukanlah objek atau benda
pada dirinya sendiri, melainkan hanya kesan-kesan indrawi dari hal itu yang diterima oleh panca
indra manusia.[2]
Pertama, mengenai pengatahuan yang berasal dari pengalaman, berarti segala pengetahuan
manusia sebenarnya hanya merupakan kait-mengait dari pengalaman-pengalaman sederhana.
[2]
Konsep ini akan memengaruhi dan dipertajam oleh David Hume di kemudian hari, dan
akhirnya mendapat bentuk paling tajam di dalam filsafat Kant, yang merupakan seorang filsuf
paling berpengaruh di era filsafat modern.[2] Kant menolak semua kemungkinan metafisika,
maksudnya manusia tidak dapat mengetahui sesuatu apapun di luar panca-indranya.[2] Lebih
jauh, Kant menyatakan bahwa pengetahuan atau pemikiran tentang Allah telah kehilangan
legitimasi karena tidak mungkin lagi, sebab Allah berada di luar jangkauan indrawi manusia.
[2]
Tentu saja pandangan Kant ini telah banyak dikritik, namun pengaruhnya tetap besar.[2]
Kedua, bahwa manusia dalam pengalamannya sebenarnya hanya menerima kesan-kesan
indrawi yang ditangkap oleh panca indra kita dari benda-benda atau hal-hal tertentu, memiliki
implikasi terhadap kecenderungan subyektivisme.[2] Maksudnya subyektivisme adalah
pandangan yang menolak adanya sesuatu yang obyektif, yang berlaku umum, dan hal itu akan
mengarah ke relativisme.[2] Hal itu disebabkan manusia yang satu dengan yang lain dapat
menarik kesimpulan berbeda mengenai kesan-kesan indrawi mereka masing-masing terhadap
suatu hal atau benda.[2] Apa yang obyektif, yakni benda tersebut sesungguhnya pada dirinya
sendiri, tidak dapat diketahui oleh manusia.[2]
Pengaruh pemikiran Locke dalam bidang politik amat besar di negara-negara Eropa, seperti
Inggris, Prancis, Jerman, bahkan hingga Amerika Serikat.[6] Bapak-bapak pendiri negara Amerika
Serikat, seperti Jonathan Edwards, Hamilton, dan Thomas Jefferson dipengaruhi oleh ide-ide
politik Locke.[6] Kemudian para filsuf Pencerahan Prancis, seperti Voltaire dan Montesquieu, juga
dipengaruhi oleh Locke.[6][8] Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa pemikiran-pemikiran politik
Locke juga memengaruhi munculnya Revolusi Prancis tanggal 14 Juli 1789.[6][8]
Pemikiran politik Locke yang terkenal adalah pembagian/pemisahan kekuasaan menjadi tiga:
eksekutif (menjalankan undang-undang), legislatif (membuat undang-undang), dan federatif
(memerintah daerah-daerah jajahan).
Immanuel Kant
(lahir di Königsberg, Kerajaan Prusia, 22 April 1724 – meninggal di Königsberg, Kerajaan
Prusia, 12 Februari 1804pada umur 79 tahun). Kota itu sekarang bernama Kaliningrad di Rusia.
Dia berasal dari keluarga pengrajin yang sederhana. Ketika Kant masih muda, usaha ayahnya
bangkrut. Kehidupan mereka harus didukung oleh keluarga besar orang tuanya. Kant penuh
dengan kerendahan hati dan sangat disiplin.
Kant kemudian menjadi guru besar untuk logika dan metafisika di Universitas Königsberg. Dia
secara rutin menyajikan kuliah tentang geografi fisik. Hal ini dilakukannya sepanjang tahun
sampai tahun 1796. Dalam pengantar kuliahnya, dia selalu menegaskan tempat geografi dalam
dunia ilmiah. Dia memberikan landasan falsafi bagi geografi sebagai pengetahuan ilmiah.
Minat Kant dalam geografi fisik tidak dirangsang oleh pengalamannya menghadapi alam di
berbagai belahan dunia tetapi muncul dari penyelidikan filsofis atas pengetahuan empiris. Bagi
Kant, geografi adalah ilmu empiris yang ingin menunjukkan alam sebagai suatu sistem. Geografi,
menurutnya merupakan ilmu tentang fenomena fisik dan budaya yang tersusun dalam ruang
bumi.
Biografi[sunting | sunting sumber]
Immanuel Kant dilahirkan pada tahun 1724 di Königsberg dari pasangan Johann Georg Kant,
seorang ahli pembuat baju zirah (baju besi), dan Anna Regina Kant.[1] Setelah itu, ayahnya
kemudian dikenal sebagai ahli perdagangan, tetapi pada tahun 1730-1740 perdangangan di
Königsberg mengalami kemerosotan.[1] Hal ini memengaruhi bisnis ayahnya dan membuat
keluarga mereka hidup dalam kesulitan.[1] Ibunya meninggal pada saat Kant berumur 13 tahun,
sedangkan ayah Kant meninggal saat dia berumur hampir 22 tahun.[1]
Kant menempuh pendidikan dasar di Saint George's Hospital School, kemudian melanjutkan ke
Collegium Fredericianum, sebuah sekolah yang berpegang pada ajaran Pietist.[2] Keluarga Kant
memang penganut agama Pietist, yaitu agama di Jerman yang mendasarkan keyakinannya
pada pengalaman religius dan studi kitab suci.[2] Pada tahun 1740, Kant menempuh pendidikan
di Universitas Königsberg dan mempelajari filsafat, matematika, dan ilmu alam.[2] Untuk
meneruskan pendidikannya, dia bekerja sebagai guru privat selama tujuh tahun dan pada masa
itu, Kant mempublikasikan beberapa naskah yang berkaitan dengan pertanyaan ilmiah.[2] Pada
tahun 1755-1770, Kant bekerja sebagai dosen sambil terus mempublikasikan beberapa naskah
ilmiah dengan berbagai macam topik.[2] Gelar profesor didapatkan Kant di Königsberg pada
tahun 1770.[2]
Kant dikenal dengan hidupnya yang sangat disiplin. Setiap hari ia jalani dengan jadwal yang
sudah sangat tersistematisasi. Orang konon bisa menebak dengan mudah pada jam/waktu ini ia
berada di mana dan sedang melakukan kegiatan apa. Kedisiplinan hidup inilah yang
memungkinkan Kant menulis begitu banyak karya yang fenomenal.
Jeremy Bentham
adalah filsuf pendiri utilitarianisme asal Inggris.[1][2][3] Ia dilahirkan di London, menempuh
pendidikan di Oxford, dan kemudian mendapatkan kualifikasi sebagai seorang barrister
(advokat) di London.[3] Bentham merupakan salah seorang filsuf empirisme dalam bidang moral
dan politik.[3][4]
Auguste Comte (Nama panjang: Isidore Marie Auguste François Xavier Comte; lahir di
Montpellier, Prancis, 17 Januari 1798 – meninggal di Paris, Prancis, 5 September 1857
pada umur 59 tahun) adalah seorang filsuf Prancis yang dikenal karena memperkenalkan
bidang ilmu sosiologi serta aliran positivisme. Melalui prinsip positivisme, Comte
membangun dasar yang digunakan oleh akademisi saat ini yaitu pengaplikasian metode
ilmiah dalam ilmu sosial sebagai sarana dalam memperoleh kebenaran. Comte juga
merupakan Tokoh yang pertama memciptakan istilah sosiologi, sehingga ia mendapat
julukan sebagai Bapak Sosiologi Dunia.