Anda di halaman 1dari 24

Thales

Thales dari Miletos adalah seorang filsuf yang mengawali sejarah filsafat Barat pada abad ke-6 SM.
[1][2][3]
 Sebelum Thales, pemikiran Yunani dikuasai cara berpikir mitologis dalam menjelaskan segala
sesuatu.[1] Pemikiran Thales dianggap sebagai kegiatan berfilsafat pertama dan di sebut sebagai bapak
filsafat.[4] Karena mencoba menjelaskan dunia dan gejala-gejala di dalamnya tanpa bersandar pada
mitos melainkan pada rasio manusia.[1] Ia juga dikenal sebagai salah seorang dari Tujuh Orang
Bijaksana (dalam bahasa Yunani hoi hepta sophoi), yang oleh Aristoteles diberi gelar 'filsuf yang
pertama'.[2] Selain sebagai filsuf, Thales juga dikenal sebagai ahli geometri, astronomi, dan politik.
[2]
 Bersama dengan Anaximandros dan Anaximenes, Thales digolongkan ke dalam Mazhab Miletos.[1]
[5]

Thales tidak meninggalkan bukti-bukti tertulis mengenai pemikiran filsafatnya. [2] Pemikiran Thales
terutama didapatkan melalui tulisan Aristoteles tentang dirinya. [2] Aristoteles mengatakan bahwa
Thales adalah orang yang pertama kali memikirkan tentang asal mula terjadinya alam semesta.
[2]
 Karena itulah, Thales juga dianggap sebagai perintis filsafat alam (natural philosophy).[6]

Riwayat Hidup[sunting | sunting sumber]

Gerhana Matahari total

Thales (624-546 SM) lahir di kota Miletus yang merupakan tanah perantauan orang-orang Yunani
di Asia Kecil.[2] Situasi Miletos yang makmur memungkinkan orang-orang di sana untuk mengisi
waktu dengan berdiskusi dan berpikir tentang segala sesuatu. [2] Hal itu merupakan awal dari kegiatan
berfilsafat sehingga tidak mengherankan bahwa para filsuf Yunani pertama lahir di tempat ini. [2]
Thales adalah seorang saudagar yang sering berlayar ke Mesir.[2] Di Mesir, Thales mempelajari ilmu
ukur dan membawanya ke Yunani.[2][6] Ia dikatakan dapat mengukur piramida dari bayangannya saja.
[2]
 Selain itu, ia juga dapat mengukur jauhnya kapal di laut dari pantai. [2] Kemudian Thales menjadi
terkenal setelah berhasil memprediksi terjadinya gerhana matahari pada tanggal 28 Mei 585 SM. [2][6]
[7]
 Thales dapat melakukan prediksi tersebut karena ia mempelajari catatan-catatan astronomis yang
tersimpan di Babilonia sejak 747 SM.[6]
Di dalam bidang politik, Thales pernah menjadi penasihat militer dan teknik dari Raja Krosus
di Lydia.[6] Selain itu, ia juga pernah menjadi penasihat politik bagi dua belas kota Iona. [5][6]

Pemikiran[sunting | sunting sumber]
Air sebagai Prinsip Dasar Segala Sesuatu[sunting | sunting sumber]
Thales menyatakan bahwa air adalah prinsip dasar (dalam bahasa Yunani arche) segala sesuatu.[1][2]
[5]
 Air menjadi pangkal, pokok, dan dasar dari segala-galanya yang ada di alam semesta. [2] Berkat
kekuatan dan daya kreatifnya sendiri, tanpa ada sebab-sebab di luar dirinya, air mampu tampil dalam
segala bentuk, bersifat mantap, dan tak terbinasakan. [1]Menurut Thales air sebagai sumber kehidupan.
[8]
 Argumentasi Thales terhadap pandangan tersebut adalah bagaimana bahan makanan semua
makhluk hidup mengandung air dan bagaimana semua makhluk hidup juga memerlukan air untuk
hidup.[9] Selain itu, air adalah zat yang dapat berubah-ubah bentuk (padat, cair, dan gas) tanpa menjadi
berkurang.[5]
Selain itu, ia juga mengemukakan pandangan bahwa bumi terletak di atas air. [5] Bumi dipandang
sebagai bahan yang satu kali keluar dari laut dan kemudian terapung-apung di atasnya. [5]

Pandangan tentang Jiwa[sunting | sunting sumber]


Thales berpendapat bahwa segala sesuatu di jagat raya memiliki jiwa. [2][5] Jiwa tidak hanya terdapat di
dalam benda hidup tetapi juga benda mati. [2][5][9] Teori tentang materi yang berjiwa ini
disebut hylezoisme.[2][5] Argumentasi Thales didasarkan pada magnet yang dikatakan memiliki jiwa
karena mampu menggerakkan besi.[5][9]

Teorema Thales[sunting | sunting sumber]


Di dalam geometri, Thales dikenal karena menyumbangkan apa yang disebut teorema Thales, kendati
belum tentu seluruhnya merupakan buah pikiran aslinya. [10] Teorema Thales berisi sebagai berikut:

Jika ACadalah sebuah diameter, maka sudut B adalah selalu sudut siku-siku

Teorema Thales : 

 1. Sebuah lingkaran terbagi dua sama besar oleh diameternya. [10]


 2. Sudut bagian dasar dari sebuah segitiga samakaki adalah sama besar. [10]
 3. Jika ada dua garis lurus bersilangan, maka besar kedua sudut yang saling berlawanan akan
sama.[10]
 4. Sudut yang terdapat di dalam setengah lingkaran adalah sudut siku-siku. [10]
 5. Sebuah segitiga terbentuk bila bagian dasarnya serta sudut-sudut yang bersinggungan
dengan bagian dasar tersebut telah ditentukan. [10]

Pandangan Politik[sunting | sunting sumber]


Iona

Berdasarkan catatan Herodotus, Thales pernah memberikan nasihat kepada orang-orang Ionia yang
sedang terancam oleh serangan dari Kerajaan Persia pada pertengahan abad ke-6 SM. [11] Thales
menyarankan orang-orang Ionia untuk membentuk pusat pemerintahan dan administrasi bersama di
kota Teos yang memiliki posisi sentral di seluruh Ionia. [11] Di dalam sistem tersebut, kota-kota lain di
Ionia dapat dianggap seperti distrik dari keseluruhan sistem pemerintahan Ionia. [11] Dengan demikian,
Ionia telah menjadi sebuah polis yang bersatu dan tersentralisasi. [11]

Demokritos

Demokritos
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Loncat ke navigasiLoncat ke pencarian

Demokritos adalah seorang filsuf yang termasuk di dalam Mazhab Atomisme.[1] Ia adalah murid


dari Leukippos, pendiri mazhab tersebut.[2][3] Demokritos mengembangkan pemikiran tentang atom
sehingga justru pemikiran Demokritos yang lebih dikenal di dalam sejarah filsafat. [3]
Selain sebagai filsuf, Demokritos juga dikenal menguasai banyak keahlian. [3] Sayangnya, karya-karya
Demokritos tidak ada yang tersimpan.[4] Demokritos menulis tentang bagaimana cara seorang laki laki
mendapatkan pacar yang banyak dan juga ilmu alam, astronomi, matematika, sastra, epistemologi,
dan etika.[3] Ada sekitar 300 kutipan tentang pemikiran Demokritos di dalam sumber-sumber kuno. [3]
[4]
 Sebagian besar kutipan-kutipan tersebut berisi tentang etika. [4]

Riwayat Hidup[sunting | sunting sumber]


Demokritos lahir di kota Abdera, Yunani Utara.[3][5] Ia hidup sekitar tahun 460 SM hingga 370 SM. [2]
[3]
 Ia berasal dari keluarga kaya raya. [3] Pada waktu ia masih muda, ia menggunakan warisannya untuk
pergi ke Mesir dan negeri-negeri Timur lainnya.[3] Selain menjadi murid Leukippos, Ia juga belajar
kepada Anaxagoras dan Philolaos.[5] Hanya sedikit yang dapat diketahui dari riwayat hidup
Demokritos.[4] Banyak data tentang kehidupannya telah tercampur dengan legenda-legenda yang
kebenarannya sulit dipercaya.[3]
Meskipun ia hidup sezaman dengan Sokrates, bahkan usianya lebih muda, namun Demokritos tetap
digolongkan sebagai filsuf pra-sokratik. [3] Hal ini dikarenakan ia melanjutkan dan mengembangkan
ajaran atomisme dari Leukippos yang merupakan filsuf pra-sokratik. [3][4] Ajaran Leukippos dan
Demokritos bahkan hampir tidak dapat dipisahkan. [3] Selain itu, filsafat Demokritos tidak dikenal di
Athena untuk waktu yang cukup lama.[3] Misalnya saja, Plato tidak mengetahui apa-apa tentang
Atomisme.[3][5] Baru Aristoteles yang kemudian menaruh perhatian besar terhadap pandangan
atomisme.[3][5]

Pemikiran[sunting | sunting sumber]
Tentang Atom[sunting | sunting sumber]
Demokritos dan gurunya, Leukippos, berpendapat bahwa atom adalah unsur-unsur yang membentuk
realitas.[1][3] Di sini, mereka setuju dengan ajaran pluralisme Empedokles dan Anaxagoras bahwa
realitas terdiri dari banyak unsur, bukan satu. [3] Akan tetapi, bertentangan dengan Empedokles dan
Anaxagoras, Demokritos menganggap bahwa unsur-unsur tersebut tidak dapat dibagi-bagi lagi.
[3]
 Karena itulah, unsur-unsur tersebut diberi nama atom (bahasa Yunani atomos: a berarti "tidak"
dan tomos berarti "terbagi")[1][3]
Atom-atom tersebut merupakan unsur-unsur terkecil yang membentuk realitas. [1] Ukurannya begitu
kecil sehingga mata manusia tidak dapat melihatnya. [1][2][3] Selain itu, atom juga tidak memiliki
kualitas, seperti panas atau manis. [1][3] Hal itu pula yang membedakan dengan konsep zat-zat
Empedokles dan benih-benih dari Anaxagoras. [1][3] Atom-atom tersebut berbeda satu dengan yang
lainnya melalui tiga hal: bentuknya(seperti huruf A berbeda dengan huruf N), urutannya (seperti AN
berbeda dengan NA), dan posisinya (huruf A berbeda dengan Z dalam urutan abjad). [3] Dengan
demikian, atom memiliki kuantitas belaka, termasuk juga massa. [1] Jumlah atom yang membentuk
realitas ini tidak berhingga.[3]
Selain itu, atom juga dipandang sebagai tidak dijadikan, tidak dapat dimusnahkan, dan tidak berubah.
[3]
 Yang terjadi pada atom adalah gerak. [1][3] Karena itu, Demokritus menyatakan bahwa "prinsip dasar
alam semesta adalah atom-atom dan kekosongan". [1] Jika ada ruang kosong, maka atom-atom itu dapat
bergerak.[1] Demokritus membandingkan gerak atom dengan situasi ketika sinar matahari memasuki
kamar yang gelap gulita melalui retak-retak jendela. [3] Di situ akan terlihat bagaimana debu bergerak
ke semua jurusan, walaupun tidak ada angin yang menyebabkannya bergerak. [3] Dengan demikian,
tidak diperlukan prinsip lain untuk membuat atom-atom itu bergerak, seperti prinsip "cinta" dan
"benci" menurut Empedokles.[3] Adanya ruang kosong sudah cukup membuat atom-atom itu bergerak.
[3]

PLATO

Plato (bahasa Yunani: Πλάτων) (lahir sekitar 427 SM - meninggal sekitar 347 SM) adalah
seorang filsuf dan matematikawan Yunani, penulis philosophical dialogues dan pendiri
[2]
dari Akademi Platonik di Athena, sekolah tingkat tinggi pertama di dunia barat.  Ia adalah
murid Socrates.[2] Pemikiran Plato pun banyak dipengaruhi oleh Socrates.[3] Plato adalah guru
dari Aristoteles.[2] Karyanya yang paling terkenal ialah Republik (dalam bahasa Yunani Πολιτεία
atau Politeia, "negeri") yang di dalamnya berisi uraian garis besar pandangannya pada keadaan
"ideal".[butuh rujukan] Dia juga menulis 'Hukum' dan banyak dialog di mana Socrates adalah peserta
utama.[butuh rujukan] Salah satu perumpamaan Plato yang termasyhur adalah perumpaan tentang
orang di gua.[2] Cicero mengatakan Plato scribend est mortuus (Plato meninggal ketika sedang
menulis).[2]

Ciri-ciri karya Plato[sunting | sunting sumber]


Plato dan Socratesdalam lukisan abad pertengahan.

 Bersifat Sokratik
Dalam Karya-karya yang ditulis pada masa mudanya, Plato selalu menampilkan kepribadian dan
karangan Sokrates sebagai topik utama karangannya.[2]

 Berbentuk dialog
Hampir semua karya Plato ditulis dalam nada dialog.[2] Dalam Surat VII, Plato berpendapat
bahwa pena dan tinta membekukan pemikiran sejati yang ditulis dalam huruf-huruf yang
membisu.[2] Oleh karena itu, menurutnya, jika pemikiran itu perlu dituliskan, maka yang paling
cocok adalah tulisan yang berbentuk dialog.[2]
Pandangan Plato tentang ide, unia ide dan dunia
indrawi[sunting | sunting sumber]
Idea-idea[sunting | sunting sumber]
Sumbangsih Plato yang terpenting adalah pandangannya mengenai ide.[4] Pandangan Plato
terhadap ide-ide dipengaruhi oleh pandangan Sokrates tentang definisi.[4] Idea yang dimaksud
oleh Plato bukanlah ide yang dimaksud oleh orang modern.[4] Orang-orang modern berpendapat
ide adalah gagasan atau tanggapan yang ada di dalam pemikiran saja.[butuh rujukan] Menurut
Plato idea tidak diciptakan oleh pemikiran manusia.[4] Idea adalah dunia yang melampaui
manusia maka ide tidak tergantung pada pemikiran manusia, melainkan pikiran manusia yang
tergantung pada dunia ide.[4] Ide adalah citra pokok dan perdana dari realitas, nonmaterial,
abadi, dan tidak berubah.[2] Ide sudah ada dan berdiri sendiri di luar pemikiran kita.[2] Ide-ide ini
saling berkaitan satu dengan yang lainnya.[2] Misalnya, ide tentang dua buah lukisan tidak dapat
terlepas dari ide dua, ide dua itu sendiri tidak dapat terpisah dengan ide genap.[2] Namun, pada
akhirnya terdapat puncak yang paling tinggi di antara hubungan ide-ide tersebut.[2] Puncak inilah
yang disebut ide yang “indah”.[2] Ide ini melampaui segala ide yang ada.[2]

Dunia indrawi[sunting | sunting sumber]


Dunia indrawi adalah dunia nyata yang mencakup benda-benda jasmani yang konkret, yang
dapat dirasakan oleh panca indra kita.[2] Dunia indrawi ini tiada lain hanyalah refleksi atau
bayangan daripada dunia ideal.[4] Selalu terjadi perubahan dalam dunia indrawi ini.[4] Segala
sesuatu yang terdapat dalam dunia jasmani ini fana, dapat rusak, dan dapat mati.[4]

Dunia ide[sunting | sunting sumber]


Dunia ide adalah dunia yang hanya terbuka bagi rasio kita.[2] Dalam dunia ini tidak ada
perubahan, semua ide bersifat abadi dan tidak dapat diubah.[2] Hanya ada satu ide “yang bagus”,
“yang indah”.[3] Di dunia ide semuanya sangat sempurna.[3] Hal ini tidak hanya merujuk kepada
barang-barang kasar yang bisa dipegang saja, tetapi juga mengenai konsep-konsep pikiran,
hasil buah intelektual.[3] Misalkan saja konsep mengenai "kebajikan" dan "kebenaran".[3]

Aristoteles
 (bahasa Yunani: ‘Aριστοτέλης Aristotélēs), (384 SM – 322 SM) adalah seorang filsuf Yunani,
murid dari Plato dan guru dari Alexander Agung.[1] Ia menulis tentang berbagai subyek yang
berbeda,
termasuk fisika, metafisika, puisi, logika, retorika, politik, pemerintahan, etnis, biologi dan zoologi.
[1]
 Bersama dengan Socrates dan Plato, ia dianggap menjadi seorang di antara tiga orang filsuf
yang paling berpengaruh di pemikiran Barat.[butuh rujukan]

Riwayat hidup[sunting | sunting sumber]


Aristoteles lahir di Stagira, kota di wilayah Chalcidice, Thracia, Yunani (dahulunya termasuk
wilayah Makedonia tengah) tahun 384 SM.[1] Ayahnya adalah tabib pribadi Raja Amyntas dari
Makedonia.[butuh rujukan] Pada usia 17 tahun, Aristoteles menjadi murid Plato.[2]Belakangan ia
meningkat menjadi guru di Akademi Plato di Athena selama 20 tahun.[butuh rujukan] Aristoteles
meninggalkan akademi tersebut setelah Plato meninggal, dan menjadi guru bagi Alexander dari
Makedonia.[butuh rujukan]
Saat Alexander berkuasa pada tahun 336 SM, ia kembali ke Athena.[butuh rujukan] Dengan dukungan
dan bantuan dari Alexander, ia kemudian mendirikan akademinya sendiri yang diberi
nama Lyceum, yang dipimpinnya sampai tahun 323 SM.[butuh rujukan] Perubahan politik seiring
jatuhnya Alexander menjadikan dirinya harus kembali kabur dari Athena guna menghindari nasib
naas sebagaimana dulu dialami Socrates.[butuh rujukan] Aristoteles meninggal tak lama setelah
pengungsian tersebut.[butuh rujukan]Aristoteles sangat menekankan empirisme untuk menekankan
pengetahuan.[butuh rujukan]

Pemikiran[sunting | sunting sumber]
Filsafat Aristoteles berkembang dalam tiga tahapan yang pertama ketika dia masih belajar di
Akademi Plato ketika gagasannya masih dekat dengan gurunya tersebut, kemudian ketika dia
mengungsi, dan terakhir pada waktu ia memimpin Lyceum mencakup enam karya tulisnya yang
membahas masalah logika, yang dianggap sebagai karya-karyanya yang paling penting, selain
kontribusinya di bidang Metafisika, Fisika, Etika, Politik, Ilmu Kedokteran, Ilmu Alam dan karya
seni.[butuh rujukan]
Di bidang ilmu alam, ia merupakan orang pertama yang mengumpulkan dan
mengklasifikasikan spesies-spesies biologi secara sistematis.[butuh rujukan] Karyanya ini
menggambarkan kecenderungannya akan analisis kritis, dan pencarian terhadap hukum alam
dan keseimbangan pada alam.[butuh rujukan]
Berlawanan dengan Plato yang menyatakan teori tentang bentuk-bentuk ideal benda, Aristoteles
menjelaskan bahwa materi tidak mungkin tanpa bentuk karena ia ada (eksis).[butuh rujukan] Pemikiran
lainnya adalah tentang gerak di mana dikatakan semua benda bergerak menuju satu tujuan,
sebuah pendapat yang dikatakan bercorak teleologis.[butuh rujukan] Karena benda tidak dapat
bergerak dengan sendirinya maka harus ada penggerak di mana penggerak itu harus
mempunyai penggerak lainnya hingga tiba pada penggerak pertama yang tak bergerak yang
kemudian disebut dengan theos, yaitu yang dalam pengertian Bahasa Yunani sekarang
dianggap berarti Tuhan.[butuh rujukan]
Logika Aristoteles adalah suatu sistem berpikir deduktif (deductive reasoning), yang bahkan
sampai saat ini masih dianggap sebagai dasar dari setiap pelajaran tentang logika formal.[butuh
rujukan]
 Meskipun demikian, dalam penelitian ilmiahnya ia menyadari pula pentingnya observasi,
eksperimen dan berpikir induktif (inductive thinking).[butuh rujukan]
Hal lain dalam kerangka berpikir yang menjadi sumbangan penting Aristoteles adalah silogisme
yang dapat digunakan dalam menarik kesimpulan yang baru yang tepat dari dua kebenaran
yang telah ada.[butuh rujukan] Misalkan ada dua pernyataan (premis)[butuh rujukan]:

 Setiap manusia pasti akan mati (premis mayor).


 Sokrates adalah manusia (premis minor)
 maka dapat ditarik kesimpulan bahwa Sokrates pasti akan mati
Di bidang politik, Aristoteles percaya bahwa bentuk politik yang ideal adalah gabungan dari
bentuk demokrasi dan monarki.[butuh rujukan]
Karena luasnya lingkup karya-karya dari Aristoteles, maka dapatlah ia dianggap berkontribusi
dengan skala ensiklopedis, di mana kontribusinya melingkupi bidang-bidang yang sangat
beragam sekali seperti Fisika, Astronomi, Biologi, Psikologi, Metafisika (misalnya studi tentang
prisip-prinsip awal mula dan ide-ide dasar tentang alam), logika formal, etika, politik, dan bahkan
teori retorika dan puisi.[butuh rujukan]
Di bidang seni, Aristoteles memuat pandangannya tentang keindahan dalam buku Poetike.
[2]
 Aristoteles sangat menekankan empirisme untuk menekankan pengetahuan.[2] Ia mengatakan
bahwa pengetahuan dibangun atas dasar pengamatan dan penglihatan.[2] Menurut Aristoteles
keindahan menyangkut keseimbangan ukuran yakni ukuran material.[2] Menurut Aristoteles
sebuah karya seni adalah sebuah perwujudan artistik yang merupakan hasil chatarsis disertai
dengan estetika.[2] Chatarsis adalah pengungkapan kumpulan perasaan yang dicurahkan ke luar.
[3]
 Kumpulan perasaan itu disertai dorongan normatif.[3] Dorongan normatif yang dimaksud adalah
dorongan yang akhirnya memberi wujud khusus pada perasaan tersebut.[3] Wujud itu ditiru dari
apa yang ada di dalam kenyataan.[3]Aristoteles juga mendefinisikan pengertian sejarah yaitu
Sejarah merupakan satu sistem yang meneliti suatu kejadian sejak awal dan tersusun dalam
bentuk kronologi. Pada masa yang sama, menurut dia juga Sejarah adalah peristiwa-peristiwa
masa lalu yang mempunyai catatan, rekod-rekod atau bukti-bukti yang konkrit.

René Descartes
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

(Dialihkan dari Rene descartes)

Loncat ke navigasiLoncat ke pencarian

René Descartes

Lahir 31 Maret 1596

La Haye, Prancis

Meninggal 11 Februari 1650 (umur 53)

Stockholm, Swedia

Kebangsaan Prancis

Aliran Rasionalisme

René Descartes (IPA: ʀəˈne deˈkaʀt; lahir di La Haye, Prancis, 31 Maret 1596 – meninggal


di Stockholm, Swedia, 11 Februari 1650pada umur 53 tahun), juga dikenal sebagai Renatus
Cartesius dalam literatur berbahasa Latin, merupakan
seorang filsuf dan matematikawan Prancis. Karyanya yang terpenting ialah Discours de la
méthode (1637) dan Meditationes de prima Philosophia (1641).
Rene Descartes sering disebut sebagai bapak filsafat modern. Rene Descartes lahir di La Haye
Touraine-Prancis dari sebuah keluarga borjuis. Ayah Descartes adalah ketua Parlemen Inggris
dan memiliki tanah yang cukup luas (borjuis). Ketika ayah Descartes meninggal dan menerima
warisan ayahnya, ia menjual tanah warisan itu, dan menginvestasikan uangnya dengan
pendapatan enam atau tujuh ribu franc per tahun. Dia bersekolah di Universitas Jesuit di La
Fleche dari tahun 1604-1612, yang tampaknya telah memberikan dasar-dasar matematika
modern walaupun sebenarnya pendidikan itu bidang hukum. Pada tahun 1612, dia pergi ke
Paris, namun kehidupan sosial di sana dia anggap membosankan, dan kemudian dia
mengasingkan diri ke daerah terpencil di Prancis untuk menekuni Geometri, nama daerah
terpencil itu Faubourg. Teman-temannya menemukan dia di tempat perasingan yang ia tinggali,
maka untuk lebih menyembunyikan diri, ia memutuskan untuk mendaftarkan diri menjadi tentara
Belanda (1617). Ketika Belanda dalam keadaan damai, dia tampak menikmati meditasinya tanpa
gangguan selama dua tahun. Tetapi, meletusnya Perang Tiga Puluh Tahun mendorongnya
untuk mendaftarkan diri sebagai tentara Bavaria (1619). Di Bavaria inilah selama musim dingin
1619-1620, dia mendapatkan pengalaman yang dituangkannya ke dalam buku Discours de la
Methode (Russel, 2007:733). Descartes, kadang dipanggil "Penemu Filsafat Modern" dan
"Bapak Matematika Modern", adalah salah satu pemikir paling penting dan berpengaruh dalam
sejarah barat modern. Dia menginspirasi generasi filsuf kontemporer dan setelahnya, membawa
mereka untuk membentuk apa yang sekarang kita kenal sebagai rasionalisme kontinental,
sebuah posisi filosofikal pada Eropa abad ke-17 dan 18.
Pemikirannya membuat sebuah revolusi falsafi di Eropa karena pendakatan pemikirannya bahwa
semuanya tidak ada yang pasti, kecuali kenyataan bahwa seseorang bisa berfikir. Ini juga
membuktikan keterbatasan manusia dalam berfikir dan mengakui sesuatu yang di luar
kemampuan pemikiran manusia. Karena itu, ia membedakan "fikiran" dan "fisik". Pada akhirnya,
kita mengakui keberadaan kita karena adanya alam fikir.
Dalam bahasa Latin kalimat ini adalah: cogito ergo sum sedangkan dalam bahasa
Prancis adalah: Je pense donc je suis. Keduanya artinya adalah:
"Aku berpikir maka aku ada". (Ing: I think, therefore I am) Atau, I think, therefore I exist.
Meski paling dikenal karena karya-karya filosofinya, dia juga telah terkenal sebagai
pencipta sistem koordinat Kartesius, yang memengaruhi perkembangan kalkulus modern.
Ia juga pernah menulis buku sekitar tahun 1629 yang berjudul Rules for the Direction of the
Mind yang memberikan garis-garis besar metodenya. Tetapi, buku ini tidak komplet dan
tampaknya ia tidak berniat menerbitkannya. Diterbitkan untuk pertama kalinya lebih dari lima
puluh tahun sesudah Descartes tiada. Dari tahun 1630 sampai 1634, Descartes
menggunakan metodenya dalam penelitian ilmiah. Untuk mempelajari lebih mendalam
tentang anatomi dan fisiologi, dia melakukan penjajakan secara terpisah-pisah. Dia
bergumul dalam bidang-bidang yang berdiri sendiri seperti optik, meteorologi, matematika,
dan berbagai cabang ilmu lainnya.
Sedikitnya ada lima ide Descartes yang punya pengaruh penting terhadap jalan pikiran
Eropa: (a) pandangan mekanisnya mengenai alam semesta; (b) sikapnya yang positif
terhadap penjajakan ilmiah; (c) tekanan yang, diletakkannya pada penggunaan matematika
dalam ilmu pengetahuan; (d) pembelaannya terhadap dasar awal sikap skeptis; dan (e)
penitikpusatan perhatian terhadap epistemologi.

Karya Filsafat[sunting | sunting sumber]


Principia philosophiae, 1685

Pengetahuan yang Pasti[sunting | sunting sumber]


Karya filsafat Descrates dapat dipahami dalam bingkai konteks pemikiran pada masanya, yakni
adanya pertentangan antara scholasticism dengan keilmuan baru galilean-copernican. Atas
dasar tersebut ia dengan misi filsafatnya berusaha mendapatkan pengetahuan yang tidak dapat
diragukan. Metodenya ialah dengan meragukan semua pengetahuan yang ada, yang kemudian
mengantarkannya pada kesimpulan bahwa pengetahuan yang ia kategorikan ke dalam tiga
bagian dapat diragukan.
1.Pengetahuan yang berasal dari pengalaman inderawi dapat diragukan, semisal kita
memasukkan kayu lurus ke dalam air maka akan tampak bengkok.
2.Fakta umum tentang dunia semisal api itu panas dan benda yang berat akan jatuh juga dapat
diragukan. Descrates menyatakan bagaimana jika kita mengalami mimpi yang sama berkali-kali
dan dari situ kita mendapatkan pengetahuan umum tersebut
3.Logika dan Matematika prinsip-prinsip logika dan matematika juga ia ragukan. Ia menyatakan
bagaimana jika ada suatu makhluk yang berkuasa memasukkan ilusi dalam pikiran kita, dengan
kata lain kita berada dalam suatu matriks.
Dari keraguan tersebut, Descrates hendak mencari pengetahuan apa yang tidak dapat
diragukan. Yang akhirnya mengantarkan pada premisnya Cogito Ergo Sum (aku berpikir maka
aku ada). Baginya eksistensi pikiran manusia adalah sesuatu yang absolut dan tidak dapat
diragukan. Sebab meskipun pemikirannya tentang sesuatu salah, pikirannya tertipu oleh suatu
matriks, ia ragu akan segalanya, tidak dapat diragukan lagi bahwa pikiran itu sendiri eksis/ada.
Pikiran sendiri bagi Descrates ialah suatu benda berpikir yang bersifat mental (res cogitans)
bukan bersifat fisik atau material. Dari prinsip awal bahwa pikiran itu eksis Descrates
melanjutkan filsafatnya untuk membuktikan bahwa Tuhan dan benda-benda itu ada.

Ontologi Tuhan dan Benda[sunting | sunting sumber]


Berangkat dari pembuktiannya bahwa pikiran itu eksis, filsafatnya membuktikan bahwa Tuhan
ada dan kemudian membuktikan bahwa benda material ada.
Descrates mendasarkan akan adanya Tuhan pada prinsip bahwa sebab harus lebih besar,
sempurna, baik dari akibat. Dalam pikiran Descrates ia memiliki suatu gagasan tentang Tuhan
adalah suatu makhluk sempurna yang tak terhingga. Gagasan tersebut tidak mungkin
muncul/disebabkan oleh pengalaman dan pikiran diri sendiri, karena kedua hal tersebut
merupakan sesuatu yang tidak sempurna dan dapat diragukan sehingga tidak memenuhi prinsip
sebab lebih sempurna dari akibat. Gagasan tentang Tuhan yang ada dalam kepala (sebagai
akibat) hanya bisa disebabkan oleh sebuah makhluk sempurna yang menaruhnya dalam pikiran
saya, yakni Tuhan.
Setelah membuktikan adanya Tuhan, Descrates membuktikan bahwa benda material itu eksis. Ia
menyatakan bahwa Tuhan menciptakan manusia dengan ketidakmampuan untuk membuktikan
bahwa benda material itu sejatinya tidak ada. Bahkan Tuhan menciptakan manusia untuk
memiliki kecenderungan pemahaman bahwa benda material itu eksis. Apabila pemahaman
benda material eksis hanya merupakan sebuah matriks kompleks yang menipu pikiran manusia,
itu berarti Tuhan adalah penipu, dan bagi Descrates, penipu ialah ketidaksempurnaan. Padahal
Tuhan ialah makhluk yang sempurna, oleh karena itu Tuhan tidak mungkin menipu, sehingga
benda material itu pastilah ada.

Metafisika[sunting | sunting sumber]
Bagi Rene Descrates, realitas terdiri dari tiga hal. Yakni benda material yang terbatas (objek-
objek fisik seperti meja, kursi, tubuh manusia, dan sebagainya), benda mental-nonmaterial yang
terbatas (pikiran dan jiwa manusia), serta benda mental yang tak terbatas (Tuhan).
Ia juga membedakan antara pikiran manusia dan tubuh fisik manusia. Pembagian ini juga
mengantarkannya pada pembagian keilmuan. Realitas material sebagai ranah bagi keilmuan
baru yang dibawa Galileo dan Copernicus, realitas mental bagi keilmuan dalam bidang agama,
etika, dan sejenisnya.
Namun, dualismenya ini juga yang kerap kali menjadi kritikan bagi berbagai filsuf lainnya seperti
Barkley misalnya. Problem utama dari dualisme tersebut ialah bagaimana pikiran dan tubuh
berinteraksi satu sama lainnya. serta terjebak dalam pilihan ekstrem, baginya benda hidup selain
manusia (contoh:hewan) tidak memiliki pikiran dan jiwa, sehingga hanya dipandang sebagai
bentuk material sama halnya seperti mesin.

CICERO

Cicero atau Marcus Tullius Cicero (di Inggris dijuluki "Tully") (lahir 3 Januari 106 SM -


meninggal 7 Desember 43 SM) adalah filsuf, orator yang memiliki keterampilan handal
dalam retorika, pengacara, penulis, dan negarawan Romawi kuno yang umumnya dianggap
sebagai ahli pidato Latin dan ahli gaya prosa.[1][2][3][4]
Cicero merupakan tokoh besar mazhab filsafat Stoa yang populer pada abad 4 SM (Sebelum
Masehi) sampai abad 2 M (Masehi), dan ia merupakan salah satu tokoh pada periode akhir yang
lebih terkenal dengan sebutan Stoa Romawi.[5] Selain itu, ia dan pemikirannya juga dianggap
dekat dengan aliran Platonisme dan Epikureanisme.[2] Pemikirannya banyak dirujuk dalam
pemikiran hukum dan tata negara, serta pemikiran filsafat lainnya.[5] Salah satunya adalah David
Hume pada abad 18.[5]
Karya dan pemikiran Cicero juga dikagumi oleh beberapa Bapa Gereja Latin yang berpengaruh
seperti Santo Agustinus dari Hippo, yang mengatakan bahwa karyanya Hortensius merupakan
salah satu pendorong beralihnya ia kepada Kekristenan,[6] dan St. Hieronimus yang mengalami
kegelisahan karena mendapat penglihatan bahwa ia dituduh sebagai "pengikut Cicero dan
bukannya Kristus" pada saat penghakiman khusus.[7]
Cicero dikenal sebagai negarawan yang berusaha menegakkan prinsip-prinsip republik dalam
perang sipil, kegagalannya menyebabkan perang sipil yang menghancurkan Republik Romawi.
[3]
 Tulisan-tulisannya meliputi retorika, pidato, risalah filsafat dan politik, dan surat-surat.[3]

Hidup dan karya Cicero[sunting | sunting sumber]


Nama dan keluarga[sunting | sunting sumber]
Nama "Cicero" diambil dari bahasa Latin "cicer" yaitu nama tanaman sejenis kacang polong
yang kaya nutrisi.[8] Nama tersebut dikenakan pada Cicero karena terdapat semacam penyok di
ujung hidungnya yang menyerupai buah kacang polong yang disebut cicer.[9] Nama Cicero
dianggap lebih terkenal daripada kota Scauri dan Catuli sekalipun.[9] Ketika ia
menjadi kuestor (pejabat publik di zaman Romawi Kuno yang mengurusi keuangan)[10] di Sisilia,
ia membuat sebuah piring perak untuk dipersembahkan kepada para dewa, yang berukirkan dua
namanya, "Marcus" dan Tullius".[9] Pada hari lahirnya, tanggal 3 bulan pertama (Januari), para
hakim di Roma melakukan doa bersama untuk mengenangnya.[9]
Ketika Cicero tinggal di Arpinum, dekat Napoli, ia memperistri seorang gadis bernama Terentia.
[9]
 Karena kekayaan warisan Terentia banyak sekali, Cicero dapat menjalani hidupnya dengan
baik.[9] Bahkan ia membangun rumah di Bukit Palatium, tempat yang strategis untuk bepergian.[9]

Latar belakang dan pendidikan


Cicero lahir di Arpinum (sekarang bernama Arpino), sebuah kota yang berjarak ± 70 mil sebelah
tenggara Roma, Italia.[2][11] Ayah Cicero adalah seorang tuan tanah dan pejabat publik Romawi.
[2]
 Oleh karena itu, Cicero dapat mengakses pendidikan di Roma, yaitu di bawah bimbingan
Marcus Licinius Crassus (seorang anggota senat atau disebut Konsul tahun 95 SM), salah satu
orator terbaik kala itu.[2] Sebagai seorang muda, Cicero langsung mendekatkan diri dengan aliran
filsafat besar yang berkembang waktu itu: Stoa, Epikureanisme, dan para filsuf dari Akademi.
[12]
 Dia belajar filsafat di bawah Epikurean Phaedrus (140-70 SM); belajar Stoa dari Diodotus
tokoh Stoa yang buta di Roma († 60 SM) dan dari Phillo dari Larissa (160-80 SM yang
merupakan ketua Akademi.[2] Mulai tahun 79-77 SM, ia mengunjungi Yunaniuntuk belajar retorika
dan filsafat kepada Posidonius di Rhodes, juga belajar di Akademi di bawah Antiochus dari
Ascalon di Athena.[4] Jadi, Cicero belajar dari empat aliran filsafat yang ada pada waktu itu.[4]
Cicero mampu mengkombinasikan ambisi filsafat retorika gaya Romawi dengan gaya Yunani.
[12]
 Cicero kemudian belajar sembari melakukan banyak sekali aktivitas politik, hingga pada tahun
45 SM pada usianya yang ke-60, filsafatnya benar-benar mencapai keluasan dan puncak
kematangan.[5][12] Dengan pendampingan sepupunya, Quintus Mucius Ascaevola, sang pontifex
(imam) yang pernah menjadi konsul tahun 117 SM, Cicero bertumbuh menjadi seorang yang
menaruh hormat kepada konservatisme nilai-nilai moderat dalam politik.[2]

Karier politik
Cicero remaja pertama kali bekerja sebagai auditor Phillo di Akademi.[9] Karena bakat dan
karakter Cicero yang baik, ia kemudian diminati oleh sekolah Mucii, sebuah tempat yang
melahirkan banyak negarawan dan pemimpin yang duduk di senat.[9] Di sana ia belajar hukum.
[9]
 Kemudian ia menjadi tentara di bawah Sulla dalam Perang Marsi.[9] Pada tahun 89-82 SM,
Cicero menjadi tentara di bawah Pompeius Strabo (ayah dari Pompeius) dan menunjukkan
kemampuannya di pengadilan dalam pembelaannya untuk Quintius (81 SM).[4] Disusul dengan
kesuksesannya dalam pembelaannya kepada Sextus Roscius yang terkait tuduhan pembunuhan
keluarga (80 atau awal 79 SM), kemampuan Cicero semakin dipercaya oleh publik, terutama
dalam bidang hukum.[4] Ia kemudian bekerja sebagai petugas pemerintahan (kuestor) yang
berkantor di SisiliaBarat.[4] Kemudian Cicero berganti tugas menjadi pretor.[4]
Sebagai pretor (satu tingkat di bawah konsul), Cicero menyuarakan pidato politiknya pertama
kali pada tahun 66 SM dalam rangka melawan Catullus dan kepemimpinan Optimates yang
merupakan orang konservatif di dewan senat Romawi, ia berunding dengan perintah Pompeius
dalam rangka melawan Mithradates, raja Pontus.[4] Kedekatan Cicero dengan Pompeius
menimbulkan kebencian Marcus Licinius Crassus, namun justru menjadikannya semakin populer
sehingga pada tahun 63 SM ia diangkat sebagai konsul.[4]
Sebagai konsul, prestasi Cicero semakin melejit karena prestasinya menggagalkan komplotan
Lucius Sergius Catilina yang melakukan konspirasi menggulingkan Republik Romawi dengan
maksud menggantinya dengan sistem aristokrasi.[1][13] Setelah Julius Caesarmeninggal pada
tahun 44 SM, Cicero memihak Octavianus melawan Antonius dengan pidato-pidatonya yang
tajam, antara lain "Phillipacea".[1] Setelah terbentuk sebuah pemerintahan dengan tiga orang
kuat (Julius Caesar, Pompeius, dan Crassus) di dalamnya yang dijuluki triumvirs[14],
pemerintahan Romawi cenderung mengarah pada perebutan kekuasaan antar-pribadi.[2] Cicero
sendiri lebih dekat kepada Pompeius karena persahabatan dan kesamaan prinsip dalam
menegakkan gagasan sistem republik. Meski demikian, Cicero mencoba menengahi perseteruan
antara ketiga orang tersebut, terutama antara pihak Pompeius dan Caesar yang sering berselisih
dengan Crassus. Kemudian, setelah Pompeius meninggal pada tahun 48 SM, Cicero kemudian
menentang cara pemerintahan Caesar yang cenderung tirani.[2] Cicero pergi
ke Roma Italia dengan pengampunan Caesar karena tindakan perlawanannya.[2] Cicero tetap
berpegang pada prinsip moral untuk tidak mendukung tirani.[2] Oleh karena itu Cicero memilih
jalan menulis secara dialogis terhadap diri sendiri yang gelisah untuk menunjukkan keteguhan
sikapnya.[2] Secara sistem, Cicero tidak dapat menyumbangkan ide-idenya kepada Romawi
karena Caesar menduduki tahta 10 tahun berikutnya.[2] Walau demikian Cicero terus menulis dan
berorasi dalam rangka mengecam pemerintah.[2]Setelah terbunuhnya Caesar pada tanggal 17
Maret 44 SM dalam sebuah konspirasi yang tidak melibatkan Cicero, Cicero kembali aktif dalam
politik.[4] Hingga pada tahun 43, ketika Cicero berselisih dengan koalisi antara Markus Aemilius
Lepidus dan Antonius, Cicero akhirnya dituntut untuk dibunuh dengan cara dipenggal.[1] Walapun
Cicero melarikan diri, namun tetap berhasil dibunuh dalam pelariannya.[1][4] Menjadi tradisi, yang
salah satunya diceritakan oleh Plutarkos, Cicero meninggal secara heroik.[2]

Karya-karya Cicero[sunting | sunting sumber]


Cicero merupakan pembaru bahasa Latin terbesar di zamannya.[1] Karya filsafatnya sangat
terkenal dan berpengaruh, di antaranya adalah yang tertuang dalam pidato-pidatonya yang
berjumlah 57 tulisan, selain 17 fragmen lain.[1] Kemudian karya-karya filsafat, retorika, dan surat-
surat tercatat berjumlah ± 800 buah dan tersimpan baik hingga saat ini.[1][15]Pada sumber lain
tercatat bahwa pada Juli 43 SM, lebih dari 900 tulisan diselamatkan, 835 ditulis oleh Cicero
sendiri, 416 dialamatkan kepada sahabatnya, seorang ksatria bernama Pomponius Atticus, dan
419 kepada 94 orang lain, baik kerabat maupun kenalannya.[4] Beberapa surat tidak dapat
dilacak, salah satunya suratnya kepada Pompeius yang disebutkan dalam Pro Sulla dan Pro
Plancio yang merupakan surat berisi konspirasi Lucius Sergius Catilina.[4] Kemudian, terdapat
juga empat koleksi surat-surat Cicero yang dialamatkan kepada Atticus dalam 16 buku, kepada
kenalan dan saudaranya yang berjumlah 16 buku, kepada Brutus yang berjumlah 3 buku, dan
kepada saudaranya berjudul Ad Quintum Fratem.[4]
Selain karya-karya tentang filsafat dan tulisan yang terkait politik, sebagai penyair, Cicero
diketahui menerbitkan puisi-puisi berbahasa Latin, di antaranya adalah: epos berjudul de
Consulatu Suo (Inggris: On His Consulship) dan de Temproribus Suis (Inggris: On His Life and
Times), yang merupakan tulisan yang dipakainya untuk mengkritik kekunoan tradisi
penyembahan masyarakat Romawi pada zamannya.[4] Cicero sendiri menolak untuk disebut
sebagai salah satu tokoh dari salah satu aliran-aliran seni kala itu, entah sebagai seniman dalam
kelompok orang-orang Asia yang rata-rata kaya dan tampil secara berlebihan, atau kelompok
yang diwakili oleh Quintus Hortensius, maupun mereka yang menyebut diri sebagai Atticist,
misalnya Julius Caesar dan Brutus.[4] Adapun karya bergenre humor yang ditulis Cicero yang
memuat prinsip-prinsip Stoanya berjudul Pro Murena, yang merupakan sebuah karya yang
mendiskreditkan Cato yang berpihak kepada para pengacara yang menyerang Clodia.[4] Karya
tersebut termuat dalam pidato berjudul Pro Caelio yang dibawakan Cicero pada 4 April 56 SM.[4]
[16]

Cicero sebagai filsuf[sunting | sunting sumber]


Cicero menyebut dirinya seorang filsuf dari Akademi (Platonis).[4] Namun hal tersebut diragukan
oleh banyak pihak terkait karya-karyanya yang kontradiktif dan tidak murni.[4] Dalam hal etika,
Cicero cenderung memakai prinsip dogmatis Stoa yang sangat dipengaruhi Socrates.[4]Dalam
beragama, Cicero dapat dikatakan nyaris agnostik, walaupun dia memiliki pengalaman religius
mendalam, yaitu ketika ia berkunjung ke Eleusis, pada saat kematian saudarinya, Tullia pada
tahun 45 SM.[4] Sebagai penulis, ia memosisikan diri sebagai seorang ateis, kecuali dalam
karyanya yang berjudul Somnium Scipionis (mimpi-mimpi Scipio) berisi luapan perasaan religius,
tepatnya terdapat pada bagian akhir de Republica.[4]
Sebagai seorang filsuf, Cicero mulai serius menulis karya-karya filsafatnya pada tahun 54 SM.
[4]
 Karya awalnya berjudul de Republica dan diikuti de Legibus pada tahun 52 SM.[4] Tulisan
tersebut berisi tafsiran tentang sejarah Romawi yang diteropong dengan sudut pandang
teori politik Yunani.[4] Dalam kondisi politik yang carut-marut dan yang membuat setiap orang
menderita, yaitu ketika perang sipil terjadi, perang yang juga merenggut nyawa saudari
tercintanya[4]), Cicero mencurahkan seluruh energinya demi menghibur diri atas duka dengan
aktivitas menulis secara radikal.[12] Banyak karya yang ia selesaikan selama dua tahun masa
kehilangan tersebut, di antaranya ialah:[12]

 de Academia;
 de Fibinus;
 de Tusculan Disputations;
 de Natura Deorum;
 de Divinatione;
 de Fato;
 de Officiis; dan
 de Amicitia.
Kecuali karyanya yang berjudul de Officiis, Cicero tidak pernah mengklaim bahwa tulisan-
tulisannya merupakan tulisan otentik dari dirinya, dalam suratnya kepada Atticus, ia mengatakan,
"Karya-karyaku merupakan transkrip, aku secara sederhana hanya menyumbang kata-kata, dan
aku mencukupkan diri dengan hal itu".[4] Tujuan Cicero adalah
menyediakan ensiklopedi filsafat bagi Romawi, negara yang ia cintai.[4] Bentuk yang ia pakai
merupakan dialog dengan gaya yang lebih dekat kepada Aristoteles daripada Plato.[4]
Secara personal, Cicero adalah orang yang sangat cerdas dalam bernalar, bahkan mampu
memakai peristiwa-peristiwa dalam hidupnya sebagai pemacu karya-karya filsafatnya.[12]Bukan
hanya alasan personal yang membuat ia merampungkan sejumlah karya, namun kutipan dari de
Natura berikut memperlihatkan keprihatinannya yang lain[12],

Jika ada yang terheran-heran mengapa aku mempercayakan setiap refleksi menjadi
“ tulisan pada tahap hidup saya ini, aku dapat menjawabnya secara sederhana.
Tanpa aktivitas publik yang aku tanggung (jabatan atau tugas resmi
kemasyarakatan), dan dalam situasi politik diktatorial yang tak terelakkan, aku
berpikir bahwa tindakan patriotisme dengan menjelaskan secara rinci filsafat
kepada para sesama warga negara sebagai tindakan evaluasi yang sungguh-
sungguh kepada negara terhormat dan suci, yaitu demi sebuah ekspresi subjek
(warga negara) yang luhur melalui literatur Latin. ”
— Cicero

Di akhir masa hidupnya, Cicero dalam bidang etika mengkritik tradisi doktrin Epikuros, Stoa, dan


Peripatetik (pengikut Aristoteles) dalam karya On Ends, yang bicara tentang pandangan mereka
terhadap kematian, penderitaan, dan emosi yang tidak masuk akal.[5] Kemudian dalam
pandangan tentang kebahagiaan, Cicero menulisnya dalam karya Tusculan Disputations.[5] Pada
masa akhir hidupnya dalam karya On Duties, Cicero berpijak pada prinsip Stoa.[5] Pada akhirnya,
Cicero berseberangan dengan pandangan filsafat Epikureanisme.[15]

Cicero sebagai negarawan[sunting | sunting sumber]


Cicero ketika berumur lebih kurang 60 tahun

Pemikiran Cicero tentang bagaimana menjadi seorang negarawan yang baik tercermin
dalam orasi-orasinya yang tidak berpusat pada sekadar pengetahuan berpidato, melainkan
tentang bagaimana menjadi seorang orator terbaik, yang mampu memberikan rasa aman
kepada rakyat, dan melalui orasinya ia dapat menyatukan rakyat.[2] Oleh karena itu, karya
orasi de Oratore yang mementingkan karakter seorang pejabat kemudian menjadi landasan
gagasan de Re Publica, dan de Legibus yang berbicara banyak tentang tugas seorang
negarawan yang sejati.[2]Dialog yang ada dalam karya itu merepresentasikan Phillipus sebagai
pencemooh otoritas senat dan tanggung jawab atas apa yang terjadi selama perang sipil
puluhan tahun yang terjadi kemudian.[2] Bagi Cicero, pidato harus didedikasikan sebagai alat
untuk pelayanan publik.[2]Cicero memang negarawan yang sangat berbakti, dalam de Re
Publica, kata Cicero kepada saudaranya, adalah "tentang kondisi terbaik dari sebuah kota dan
warga negara yang paling baik".[2] Cicero banyak sekali bicara
tentang demokrasi, keadilan rakyat, hukum alam sebagai acuan perilaku kepentingan manusia.
[2]
 Bagi Cicero etika warga negara sama pentingnya dengan sistem politik.[2] Kelangsungan
sistem politikakan tergantung pada etika politik: negarawan memelihara kota dengan keputusan
yang bijaksana dan contoh moral.[2]
Bagi Cicero, menjadi negarawan yang patriotis adalah segala-galanya, bahkan ganjarannya
adalah surga.[2] Tugas politik bagi Cicero adalah suci, yang dibebankan Tuhan kepada manusia,
seperti ditulis Cicero dalam dialog kepada Scipo Africanus, kakeknya[2],

Ketahuilah Africanus, jalan masuk ke surga terbuka bagi orang yang berjasa kepada
“ negaranya, meskipun sejak anak-anak aku mengikuti jejakmu dan ayahku sehingga
tidak jauh dari kemasyuranmu, kini ketika ganjaran besar terungkap padaku, aku
akan terus berjuang dengan keras ”
— Cicero dari Arpinum

Di sini, Cicero sebagai filsuf tampak mengeksploitasi doktrin Plato tentang keabadian jiwa untuk
memperkuat cita-citanya akan pengabdian patriotis, tidak perlu risau jika seseorang mati demi
kepentingan negara, sebab yang mati hanya tubuh, sedangkan jiwanya tetap abadi.[2]

Cicero dan etika Stoa[sunting | sunting sumber]


Karya Cicero yang membawa pengaruh terlama dan terpenting adalah de Officiis, yaitu tulisan
dengan semangat Stoa, yang banyak membahas tentang perhatiannya sepanjang periode krisis
personal manusia dan krisis politik.[2] Menurut Cicero, bahaya bagi masyarakat adalah
jika ambisi pribadi sangat mendominasi kehidupan mereka.[2] Dalam hal ini, manusia perlu
menyadari bahwa sebuah pelayanan publik akan terlaksana dengan baik jika kepentingan
pribadi ditekan sedemikian rupa sehingga kepentingan publik menjadi yang utama.[2] Tulisan
terkenal Cicero berjudul de Officiis memuat semangat Stoa tentang etika katekontik, yaitu
tindakan yang tepat dan terbaik didasari kesadaran terdalam manusia akan tugas kebaikan yang
melekat padanya dalam menunaikan tanggung jawab diri demi kebaikan masyarakat.[2] Terdapat
tugas sosial yang melekat dalam setiap warga negara.[2]Dalam peristiwa konflik, Cicero
menetapkan sebuah prosedur,

Orang yang mengambil sesuatu dari orang lain dan meningkatkan keuntungannya
“ sendiri dengan mengorbankan keuntungan orang lain lebih buruk daripada
kematian, daripada kemiskinan, daripada penderitaan yang mungkin menimpa tubuh
atau hak milik eksternal lainnya.[2] Alam dengan hukumnya menetapkan bahwa
seorang manusia harus bersedia mempertimbangkan kepentingan orang lain,
siapapun ia, dengan alasan mendasar yakni karena ia adalah manusia.[2]

— Cicero dalam de Officiis

Selanjutnya, menyikapi warisan dari keberanian tradisi Romawi dalam kemiliteran, dan warisan
Yunani yang mengatakan bahwa doxa (kejayaan dan opini) adalah berbahaya dan tidak
berharga, Cicero mengakomodasi keduanya dengan berkata[2],

Jiwa besar tampak dalam dua hal sikap: tidak memperdulikan hal-hal eksternal
“ (kekayaan, nama baik, prestise jabatan), dalam keyakinan bahwa orang seharusnya
tidak memuji, memilih, dan mengejar apa pun kecuali kehormatan dan seharusnya
tidak tunduk kepada manusia, hasutan jiwa atau kekayaan ”
— Cicero dalam de Officiis I.66-7

Di dalam diri manusia terdapat emosi yang baik, yang disebut eupatheia (bebas dari hasrat
personal), Cicero menyebut constatiae (bahasa lain dari konstitusi) yang mengatakan bahwa
negara yang kukuh tidak boleh dikendalikan perilaku manusia yang berhasrat berlebih-lebihan.
[17]
 Sepanjang ada nafsu, selalu ada keinginan yang berlebihan; sejauh ada ketakutan selalu ada
alasan untuk menghindar; dan sejauh ada kesenangan, selalu ada kegembiraan.[17]
Namun kumpulan perasaan itu hanya dapat dimengerti oleh para sophis (orang yang berlaku
bijaksana), yang hanya punya nalar yang lurus.[17] Menurut orang bijasana, tidak ada dorongan
yang dapat dibenarkan benar dari penderitaan mental, misalnya orang yang menderita sekalipun
tidak dibenarkan mencuri.[17] Seorang bijak harus menerima segala peristiwa tak terelakkan pada
dirinya, dan tidak ada yang buruk secara moral dalam menyediakan sebuah sebab bagi tekanan
yang ada dalam diri manusia.[17] Jadi persoalan manusia terhadap segala dorongan atau impuls
bukan pada hal di luar diri, melainkan dalam dirinya sendiri.[17] Itu mengapa, ajaran tentang moral
dalam Stoa yang dianut oleh Cicero menduduki posisi paling penting dan merupakan tindakan
yang luhur.[17]

Bertrand Arthur William Russell, 3rd Earl Russell, OM (18 Mei 1872 – 2 Februari 1970)


adalah seorang filsuf dan ahli matematikaternama Britania Raya. Dia menulis banyak sekali buku
dan brosur tentang berbagai masalah, antara lain filsafat, moral, pendidikan, sejarah, agama dan
politik. Sumbangan terbesarnya di bidang ilmiah adalah di bidang logika matematika.[3]

Riwayat hidup[sunting | sunting sumber]


Bertrand Russell terlahir sebagai cucu Lord John Russell, Perdana Menteri Britania Raya pada
masa Ratu Victoria. Setelah meninggalnya ibu (pada tahun 1874) dan ayahnya (1876), Russell
dan abangnya diasuh oleh kedua kakek-neneknya. Setelah meninggalnya John Russell pada
tahun 1878, Russell kecil dibesarkan sepenuhnya oleh neneknya, Lady Russell. Bertrand
Russell dididik secara privat di rumahnya, sebelum menempuh pendidikan di Trinity
College, Universitas Cambridge. Di sana dia meraih gelar di bidang matematika dan ilmu-ilmu
moral. Russell terpilih menjadi anggota Royal Society pada tahun 1908.[4]
Karier Russell di Trinity College terhenti pada tahun 1916 karena aktivitas antiperangnya, yang
menyebabkan dia dihukum dan didenda. Russell dipecat dari Trinity College sebagai buntut
hukumannya itu. Dua tahun kemudian dia kembali dihukum, kali ini dipenjara selama enam
bulan. Semasa dipenjara, Russell menulis buku Introduction to Mathematical Philosophy. Dia
baru kembali ke Trinity pada tahun 1944.[4]
Russell dianugerahi Order of Merit pada tahun 1949, dan menerima hadiah Nobel Sastra pada
tahun 1950. Selama dasawarsa 1950-an dan 1960-an dia menjadi inspirasi kaum muda karena
aktivitas antiperang dan antinuklirnya. Bersama-sama dengan Albert Einstein, dia
mengumumkan Manifesto Russell-Einstein pada tahun 1955, yang menghimbau pembatasan
senjata nuklir. Dia juga merupakan pengatur utama Konferensi Pugwash Pertama, yang
mengumpulkan para ilmuwan yang prihatin terhadap penyebaran senjata nuklir. Pada tahun
1961 dia kembali dipenjara akibat demonstrasi antinuklir, dan dihukum penjara selama dua
bulan. Namun setelah banding hukumannya ini kemudian diperingan menjadi satu minggu di
rumah sakit penjara. Dia tetap menjadi figur publik sampai saat wafatnya pada tahun 1970.[4]

Baruch de Spinoza (24 November 1632 – 21 Februari 1677) (Bahasa Ibrani: ‫)ברוך שפינוזה‬


adalah filsuf keturunan Yahudi-Portugisberbahasa Spanyol yang lahir dan besar di Belanda.
[1]
 Pikiran Spinoza berakar dalam tradisi Yudaisme.[1] Pemikiran Spinoza yang terkenal adalah
ajaran mengenai Substansi tunggal Allah atau alam.[1] Hal ini ia katakan karena baginya Tuhan
dan alam semesta adalah satu dan Tuhan juga mempunyai bentuk yaitu seluruh alam
jasmaniah.[2] Oleh karena pemikirannya ini, Spinoza pun disebut sebagai penganut panteisme-
monistik.[2]

Riwayat Hidup[sunting | sunting sumber]


Awal Kehidupan[sunting | sunting sumber]
Baruch de Spinoza lahir di kota Amsterdam pada tanggal 24 November 1632.[3] Ayahnya
merupakan seorang pedagang yang kaya.[3] Pada masa kecilnya, Spinoza telah menunjukkan
kecerdasannya sehingga banyak orang yang mengatakan bahwa ia bisa menjadi seorang rabbi.
[3]
 Dalam kehidupannya, ia tidak hanya belajar matematika dan ilmu-ilmu alam, ia juga
mempelajari bahasa Latin, Yunani, Belanda, Spanyol, Prancis, Yahudi, Jerman, dan Italia.
[3]
 Pada usianya yang ke 18 tahun, Spinoza membuat marah komunitas Yahudi karena ia
meragukan Kitab Suci sebagai Wahyu Allah, mengkritik posisi imam Yahudi, mempertanyakan
kedudukan bangsa Yahudi sebagai umat pilihan Yahweh, dan keterlibatan Allah secara personal
dalam sejarah manusia.[1]

Dikucilkan dari Sinagoge[sunting | sunting sumber]


Sikap yang ditunjukkan Spinoza kepada orang Yahudi, membuat para tokoh agama Yahudi
mengambil sebuah sikap.[4] Para tokoh agama Yahudi pada saat itu menjadi gelisah dengan
semua ajaran-ajaran Spinoza.[4] Para tokoh agama ini terus menerus memaksa agar Spinoza
kembali lagi pada ortodoksi agama, namun hal ini tidak pernah berhasil.[4]Akhirnya pada tahun
1656, Spinoza dikucilkan dari Sinagoge.[4] Tidak hanya kelompok Yahudi yang mengucilkan
Spinoza, keluarganya pun turut mengucilkan dirinya.[4] Meskipun demikian, Spinoza tetap tenang
mengatasi masalah hidupnya.[4] Hingga Akhirnya ia mengganti nama dirinya dengan Benedictus
de Spinoza, sebagai tanda kehidupan barunya.[4]
Akhir Hidup[sunting | sunting sumber]
Dalam keadaan yang telah dikucilkan, Spinoza mencari nafkah dengan cara mengasah lensa
sambil terus menerus menuliskan pemikiran-pemikirannya.[4] Tidak lama setelah pengucilan ini,
Spinoza mengidap penyakit TBC.[1] Pada tahun 1673, dia diundang untuk mengajar di
universitas Heidelberg namun ia menolaknya.[4] Alasan Spinoza menolak undangan ini
dikarenakan baginya tidak ada yang lebih mengerikan daripada kenyataan bahwa orang-orang
dihukum mati karena berpikir bebas.[4] Semasa hidupnya, Spinoza juga bekerja sebagai guru
pribadi pada beberapa keluarga kaya dan dari sinilah Spinoza bertemu dengan tokoh-tokoh
partai politik Belanda saat itu, antara lain Jan de Witt.[1] Akhirnya pada tanggal 21 Februari 1677
Spinoza meninggal pada usia 44 tahun karena penyakit TBC paru-paru yang telah lama ia
derita.[4]

Pemikirannya[sunting | sunting sumber]
Substansi Tunggal[sunting | sunting sumber]
Pandangan Spinoza mengenai substansi tunggal merupakan tanggapannya atas pemikiran
Descartes tentang masalah substansi dan hubungan antara jiwa dan tubuh.[5] Dalam filsafat
Descartes, terdapat sebuah permasalahan yaitu bagaimana Allah, jiwa, dan dunia material dapat
dipikirkan sebagai satu kesatuan utuh?[1] Dalam bukunya Ethica, ordine geometrico
demonstrata (Etika yang dibuktikan dengan cara geometris), Spinoza mencoba menjawab
permasalahan ini.[1] Ia memulai menjawab permasalahan dari filsafat Descartes dengan
memberikan sebuah pengertian mengenai substansi.[1] Substansi dipahami sebagai sesuatu
yang ada dalam dirinya sendiri dan dipikirkan oleh dirinya sendiri, artinya sesuatu yang
konsepnya tidak membutuhkan konsep lain untuk membentuknya.[1] Menurut Spinoza, sifat
substansi adalah abadi, tidak terbatas, mutlak, dan tunggal-utuh.[1]Bagi Spinoza, hanya ada satu
yang dapat memenuhi definisi ini yaitu Allah.[1] Menurut Spinoza, sifat substansi adalah abadi,
tidak terbatas, mutlak, dan tunggal-utuh.[1] Bagi Spinoza, hanya ada satu yang dapat memenuhi
definisi ini yaitu Allah.[1] Hanya Allah yang memiliki sifat yang tak terbatas, abadi, mutlak, tunggal,
dan utuh.[1] Selain itu, Spinoza juga mengajarkan apabila Allah adalah satu-satunya substansi,
maka segala yang ada harus dikatakan berasal daripada Allah.[1] Hal ini berarti semua gejala
pluralitas dalam alam baik yang bersifat jasmaniah (manusia, flora dan fauna, bahkan bintang)
maupun yang bersifat rohaniah (perasaan, pemikiran, atau kehendak) bukanlah hal yang berdiri
sendiri melainkan tergantung sepenuhnya dan mutlak pada Allah.[1] Untuk menyebut gejala ini,
Spinoza menggunakan sebuah istilah yaitu modi.[5] Modi merupakan bentuk atau cara tertentu
dari keluasan dan pemikiran.[5] Dengan demikian, semua gejala dan realitas yang kita lihat dalam
alam hanyalah modi saja dari Allah sebagai substansi tunggal.[1] Dengan kata lain, alam dan
segala isinya adalah identik dengan Allah secara prinsipil.[1]
Kata kunci ajaran Spinoza adalah Deus sive natur (Allah atau alam).[5] Yang berbeda dari ajaran
ini hanyalah istilah dan sudut pandangnya saja.[1] Sebagai Allah, alam adalah natura
naturans (alam yang melahirkan).[1] natura naturans dipandang sebagai asal usul, sebagai
sumber pemancaran, sebagai daya pencipta yang asali.[5] Sebagai dirinya sendiri, alam
adalah natura naturata (alam yang dilahirkan) yaitu sebuah nama untuk alam dan Allah yang
sama tetapi dipandang menurut perkembangannya yaitu alam yang kelihatan.[5]Dengan ini
Spinoza membantah ajaran Descartes bahwa realitas seluruhnya terdiri dari tiga substansi
(Allah, jiwa, materi).[1] Bagi Spinoza hanya ada satu substansi saja, yakni Allah/alam.[1]

Karya-karyanya[sunting | sunting sumber]
Halaman Pembuka dari salah satukarya Spinoza magnum opus, Ethics

 Renati Descartes Principiorum Philosophiae, 1663 (Prinsip Filsafat Descartes)


 Tractatus Theologico-Politicus, 1670 (Traktat Politis-Teologis)
 Tractatus de intellectus emendatione, 1677 (Traktat tentang Perbaikan Pemahaman)
 Ethica more geometrico demonstrata, 1677 (Etika yang dibuktikan secara geometris)

John Locke 
(lahir 29 Agustus 1632 – meninggal 28 Oktober 1704 pada umur 72 tahun) adalah
seorang filsuf dari Inggris yang menjadi salah satu tokoh utama dari pendekatan empirisme.
Selain itu, di dalam bidang filsafat politik, Locke juga dikenal sebagai filsuf negara liberal.
[2]
 Bersama dengan rekannya, Isaac Newton, Locke dipandang sebagai salah satu figur
terpenting di era Pencerahan.[3][4]Selain itu, Locke menandai lahirnya era Modern dan juga era
pasca-Descartes (post-Cartesian), karena pendekatan Descartes tidak lagi menjadi satu-satunya
pendekatan yang dominan di dalam pendekatan filsafat waktu itu.[4][5][6] Kemudian Locke juga
menekankan pentingnya pendekatan empiris dan juga pentingnya eksperimen-eksperimen di
dalam mengembangkan ilmu pengetahuan.[6]
Filsafat Locke dapat dikatakan antimetafisika. Ia menerima keraguan sementara yang diajarkan
oleh Descartes, tetapi ia menolak intuisi yang digunakan oleh Descartes. Ia juga menolak
metode deduktif Descartes dan menggantinya dengan generalisasi
berdasarkan pengalaman; jadi, induksi. Bahkan Locke menolak juga akal (reason). Ia hanya
menerima pemikiran matematis yang pasti dan cara penarikan dengan metode induksi.[7]
Tulisan-tulisan Locke tidak hanya berhubungan dengan filsafat, tetapi juga
tentang pendidikan, ekonomi, teologi, dan medis.[3] Karya-karya Locke yang terpenting adalah
"Esai tentang Pemahaman Manusia" (Essay Concerning Human Understanding), "Tulisan-
Tulisan tentang Toleransi" (Letters of Toleration), dan "Dua Tulisan tentang Pemerintahan" (Two
Treatises of Government).[3][8][9]

Biografi[sunting | sunting sumber]
John Locke dilahirkan pada tanggal 28 Agustus 1632 di Wrington, Somerset.[6][10] Keluarganya
berasal dari kelas menengah dan ayahnya memiliki beberapa rumah dan tanah di
sekitar Pensford, sebuah kota kecil di bagian selatan Bristol.[10] Selain bekerja sebagai pemilik
tanah, ayah Locke bekerja juga sebagai pengacara dan melakukan tugas-tugas administratif di
pemerintahan lokal.[6][10]
Pada tahun 1647, Locke belajar di Sekolah Westminster, yang pada waktu itu merupakan
sekolah terkenal di Inggris.[6][10] Pendidikan di sana berpusat pada pelajaran bahasa-bahasa
kuno, yaitu pertama-tama bahasa Latin, kemudian bahasa Yunani, dan juga bahasa Ibrani.
[10]
 Setelah itu, pada tahun 1652, Locke mendapat beasiswa untuk menempuh pendidikan
di Sekolah Gereja Kristus (Christ Church), Oxford, dan tinggal di sana sejak bulan Mei 1652.[6][10]
Di sekolah itu, Locke kurang menyukai metode skolastik dalam berdebat dan juga tema-
tema metafisika dan logika.[6][10] Karena itu, Locke tidak mendapatkan nilai yang mengesankan
ketika ia mendapatkan gelar hingga strata dua.[10] Ia lebih banyak menghabiskan waktunya untuk
membaca karya-karya sastra, seperti drama, roman, dan sebagainya.[10]
Setelah itu, Locke mulai menyenangi bidang medis, sebagaimana tertulis di dalam beberapa
catatan pribadi Locke yang ditulis pada periode akhir dekade 1650-an.[10] Ia membuat banyak
catatan tentang hal-hal yang berhubungan dengan kesehatan dan pengobatan.[10]
Melalui minatnya dalam bidang medis, Locke mulai meminati filsafat alam sejak tahun 1658.
[10]
 Pada awal tahun 1660, ia berjumpa dengan Robert Boyle yang akan banyak
memengaruhinya kelak.[6][10] Sejak tahun 1660, Locke menambah minatnya dengan membaca
filsafat mekanis yang baru muncul, yang dimulai dengan membaca karya Boyle.[10]Selain itu, ia
juga mulai rajin membaca karya-karya Descartes.[10]
Perhatian Locke pada waktu-waktu ini tidak terbatas pada bidang medis dan filsafat alam saja,
namun juga kepada bidang politik.[10] Situasi politik di Inggris pada waktu itu memang sedang
bergejolak.[10] Cromwell, yang pada waktu itu telah mengubah sistem politik Inggris, meninggal
pada tahun 1658 sehingga terjadi perubahan lagi di bawah pemerintahan Raja Charles II.
[10]
 Charles II menghendaki pemerintahan yang dengan kuat menguasai negara dan gereja
Inggris, dan Locke pada waktu itu mendukung pemerintahan Charles II.[10] Pada bulan November
hingga Desember 1660, ia membuat suatu karangan singkat untuk menanggapi
pandangan Edward Bagshaw, yang menegaskan perlunya hakim sipil dalam menentukan
bentuk-bentuk ibadah keagamaan.[10] Kemudian pada tahun 1661-1662, Locke menulis dua
karya lagi dalam bahasa Latin.[10] Karya pertama menegaskan lagi tesis yang dipakai untuk
melawan argumentasi Bagshaw, dan karya kedua berisi penolakan terhadap posisi Gereja
Katolik Roma yang menyatakan Alkitab perlu ditafsir tanpa ada kesalahan melalui
lembaga magisterium.[10] Di sini, Locke menggunakan teologi Gereja Anglikan dalam
mempertahankan pendapatnya.[10]
Pada tahun 1661, Locke diangkat menjadi dosen di sekolah Gereja Kristus tempatnya belajar
dulu.[6][10] Ia mengajar bahasa Yunani dan bahasa Latin.[6][10] Kemudian pada tahun 1664, ia
menjadi petugas sensor dalam bidang filsafat moral.[6][10] Selama periode ini, Locke melanjutkan
minatnya pada bidang pengobatan dan filsafat alam.[10] Kemudian Locke belajar kepada Thomas
Willis selama tahun 1661-1662 dan mempelajari kimia pada tahun 1663 kepada Boyle.[10] Selain
itu, Locke juga membantu penelitian-penelitian yang mereka lakukan.[10]
Pada tahun 1665, Locke mendapat kesempatan untuk menjadi sekretaris Walter Vane yang
bertugas melakukan misi diplomatik ke beberapa negara.[6][10] Locke meninggalkan Inggris pada
bulan November dan kembali pada bulan Februari.[10] Melalui surat yang dikirimnya, tampak
bahwa Locke menikmati kunjungan luar negeri pertamanya itu.[10] Setelah itu, Locke ditawarkan
pekerjaan menjadi sekretaris untuk pekerjaan diplomasi ke Spanyol namun ia menolak.[6]
[10]
 Sekembalinya Locke ke Oxford, ia melanjutkan studinya dalam bidang kimia dan fisiologi.[10]
Pada tahun 1666, Locke bertemu dengan Lord Ashley yang di kemudian hari membuat
perubahan besar dalam hidup Locke.[10] Pada tahun 1667, Locke pindah dari Oxford
menuju London untuk bekerja di rumah Lord Ashley.[3][6][10] Locke tinggal di sini selama delapan
tahun.[10] Selama di London, Locke juga membaca buku-buku pengobatan, namun di situ ia
mendapatkan pengalaman langsung dalam soal-soal klinis karena ia menjadi asisten
dari Thomas Sydenham yang adalah seorang dokter.[6][10] Locke menemani Sydenham dalam
perjalanan-perjalanannya dan juga membuat catatan-catatan tentang soal-soal kesehatan.[10] Di
sini, Locke membuat catatan yang akhirnya dibukukan dengan judul De Arte Medica, yang di
dalamnya dipakai pendekatan empiris.[10]
Pada tahun 1668, Lord Ashley mengalami gangguan kesehatan yang cukup parah.[10] Locke
melakukan operasi terhadap liver Lord Ashley dan keadaannya semakin membaik.[10]Karena itu,
Lord Ashley menganggap Locke sebagai penyelamat hidupnya.[10] Setelah itu, untuk mendukung
studi Locke dalam bidang kimia, Lord Ashley menyediakan laboratorium di rumahnya.[10]
Selain meningkatkan kemampuan dalam bidang kesehatan dengan praktik langsung bersama
Sydenham, perkenalan Locke dengan Lord Ashley juga menambah pengalaman Locke dalam
bidang politik.[10] Setahun setelah datang ke London, Locke menulis "Essay tentang Toleransi"
yang isinya amat berbeda dengan dua karya yang ia tulis pada tahun 1660-1662.[10] Pada tahun
1669, Lord Ashley melibatkan Locke dalam urusan pendirian koloni baru di Carolina, khususnya
dalam membuat konstitusi Carolina.[6][10] Locke menjalani tugasnya dalam membantu Lord Ashley
hingga ia meninggalkan Inggris menuju Prancis pada tahun 1675.[6][10]

Di Prancis[sunting | sunting sumber]
Hingga tahun 1670, Locke belum dapat dikatakan sebagai seorang filsuf.[10] Akan tetapi, ia mulai
mengorganisir suatu pertemuan dengan beberapa temannya untuk berdiskusi mengenai topik-
topik tertentu.[10] Ada tulisan tentang epistemologi yang ditulis pada tahun 1671 berdasarkan
diskusi-diskusi yang dilakukan Locke.[10]
Selama tahun 1672 hingga 1675, kebanyakan waktu Locke dipakai untuk mengerjakan tugas-
tugas administratif.[10] Pada bulan Maret 1672, Lord Ashley diangkat sebagai pangeran
dari Shaftesbury dan Locke tetap membantunya hingga Lord Ashley keluar dari jabatan tersebut
pada tahun 1673.[10] Pada bulan November 1675, tugas Locke usai dan Locke pergi ke Prancis.
[6]
 Locke tinggal di sana selama kurang lebih tiga setengah tahun.[10] Pada tanggal 4 Januari
1676, Locke tiba di Montpellier, di mana ia tinggal selama setahun.[10] Ia berteman dengan dua
dokter Protestan yang bernama Charles Barbeyrac dan Pierre Magnol, serta seorang filsuf
Cartesian, Sylvain Regis, yang menjadi guru bahasa Prancis bagi Locke.[10] Setelah mempelajari
bahasa Prancis, Locke mulai membaca buku-buku dalam bahasa Prancis.[10]
Selama di Montpellier, Locke meneruskan pembelajarannya dalam bidang filsafat, sebagaimana
tertulis di dalam jurnal pribadinya.[10] Bulan Februari 1677, Locke meninggalkan Montpellier dan
menuju Paris.[10] Ia bermukim sebentar di Paris lalu pergi ke beberapa tempat hingga tahun 1678
kembali ke Inggris.[10]

Kembali ke Inggris dan pergi ke Belanda[sunting | sunting sumber]


Ketika Locke memutuskan kembali ke Inggris pada bulan Mei 1679, situasi politik Inggris sedang
mengalami krisis.[6] Terdapat rumor yang menyatakan akan terjadinya pembunuhan terhadap
Raja Charles II untuk digantikan dengan saudaranya, James, yang beragama Katolik.[10] Selama
empat tahun berikutnya, hingga Locke melarikan diri ke Belanda untuk mencari suaka politik,
Locke memusatkan perhatian kepada politik.[10] Hal itu disebabkan Lord Ashley, yang merupakan
sahabat Locke, adalah salah satu pemimpin kaum yang anti terhadap pemerintahan Raja
Charles II.[10]
Raja Charles II melihat Lord Ashley sebagai musuhnya yang amat berbahaya dan ingin
membunuhnya, namun beberapa kali usahanya gagal.[10] Hal itu mendorong Lord Ashley untuk
melarikan diri dari Inggris menuju Belanda pada akhir tahun 1682 dan meninggal di Belanda
pada bulan Januari 1683.[6][10] Kehidupan Locke di Inggris turut terancam karena gerakan-
gerakan dari kaum anti pemerintahan Charles II masih terus ada sehingga ia terus dicurigai
sebagai pengkhianat oleh pemerintah.[10] Akhirnya, Locke meninggalkan Inggris pada tahun 1683
dan menuju Rotterdam, Belanda.[3][6][10]
Buku Locke yang terkenal berjudul "Dua Tulisan tentang Pemerintahan" ditulis ketika Locke
berada di Belanda.[6][10] Tentu saja proses penulisan buku itu telah dimulai sebelumnya.[10] Di
dalam karya ini, Locke memberikan kritik terhadap buku "Patriarcha" karangan Robert
Filmer karena Filmer menganjurkan monarki absolut.[3][10]
Buku tersebut bukan satu-satunya karya Locke dalam bidang politik pada periode ini.[10] Pada
periode ini, Locke juga berpolemik dengan Edward Stillingfleet, yang menulis buku untuk
menyerang kaum Protestan Inggris yang tidak mau menerima Gereja Anglikan.[10] Jikalau pada
tahun 1660-1662 Locke pernah berdebat untuk membela Gereja Anglikan, kini justru Locke
menyanggah posisi Gereja Anglikan.[10] Locke menulis karya yang menyanggah buku Stillingfleet
bersama dengan seorang teman dari Oxford yang bernama James Tyrrell.[10]
Di Belanda, Locke melakukan kontak kepada beberapa politikus Inggris yang sedang melarikan
diri juga.[10] Pada tahun 1684, nama Locke tercantum di dalam daftar pencarian orang dari
pemerintahan Belanda sehingga Locke harus bersembunyi dan berpindah-pindah tempat hingga
bulan Mei 1685.[10] Di sinilah Locke menyelesaikan karya terpenting lainnya, "Essay tentang
Pemahaman Manusia", yang mana ia kirim salinannya ke Inggris pada tahun 1686 dengan amat
hati-hati.[10] Pada akhir tahun 1686, naskah-naskah dari tulisan itu hampir selesai dan
menyerupai bentuk akhir yang ada saat ini.[10]
Dalam mengerjakan buku tersebut, Locke sempat terinterupsi karena pekerjaannya dalam
menulis karya lain, "Surat Perihal Toleransi".[6][10] Karya itu dikerjakan selama tahun 1685 hingga
1686 di Amsterdam.[10] Locke memang telah lama bergumul soal toleransi agama sesuai konteks
politik Inggris, namun dorongan langsung terhadap pembuatan karya itu adalah pencabutan
kembali Maklumat Nantes pada bulan Oktober 1685.[10] Pemilihan bahasa Latin dalam karya itu
menunjukkan bahwa karya itu ditujukan Locke kepada pembaca Eropa secara luas.[10] Karya itu
terbit pada bulan Mei 1689, setelah Locke kembali ke Inggris, dan diterbitkan secara anonim.[6][10]

Pengaruh[sunting | sunting sumber]
Dalam filsafat pengetahuan[sunting | sunting sumber]
Hume, seorang filsuf empiris radikal yang dipengaruhi oleh Locke

Pemikiran Locke tentang pengetahuan memiliki pengaruh besar terhadap para filsuf setelahnya,
khususnya David Hume di Inggris dan Kant di Jerman.[4][8]Pandangan Locke tentang proses
manusia mendapat pengetahuan memiliki dua implikasi penting.[2] Pertama, munculnya
anggapan bahwa seluruh pengetahuan manusia berasal dari pengalaman, dan tiadanya
pengetahuan secara apriori (sebelum pengalaman) sebagaimana yang dikatakan Descartes.
[2]
Kedua, semua hal yang manusia ketahui melalui pengalaman, bukanlah objek atau benda
pada dirinya sendiri, melainkan hanya kesan-kesan indrawi dari hal itu yang diterima oleh panca
indra manusia.[2]

Kant, filsuf besar masa Pencerahan

Pertama, mengenai pengatahuan yang berasal dari pengalaman, berarti segala pengetahuan
manusia sebenarnya hanya merupakan kait-mengait dari pengalaman-pengalaman sederhana.
[2]
 Konsep ini akan memengaruhi dan dipertajam oleh David Hume di kemudian hari, dan
akhirnya mendapat bentuk paling tajam di dalam filsafat Kant, yang merupakan seorang filsuf
paling berpengaruh di era filsafat modern.[2] Kant menolak semua kemungkinan metafisika,
maksudnya manusia tidak dapat mengetahui sesuatu apapun di luar panca-indranya.[2] Lebih
jauh, Kant menyatakan bahwa pengetahuan atau pemikiran tentang Allah telah kehilangan
legitimasi karena tidak mungkin lagi, sebab Allah berada di luar jangkauan indrawi manusia.
[2]
 Tentu saja pandangan Kant ini telah banyak dikritik, namun pengaruhnya tetap besar.[2]
Kedua, bahwa manusia dalam pengalamannya sebenarnya hanya menerima kesan-kesan
indrawi yang ditangkap oleh panca indra kita dari benda-benda atau hal-hal tertentu, memiliki
implikasi terhadap kecenderungan subyektivisme.[2] Maksudnya subyektivisme adalah
pandangan yang menolak adanya sesuatu yang obyektif, yang berlaku umum, dan hal itu akan
mengarah ke relativisme.[2] Hal itu disebabkan manusia yang satu dengan yang lain dapat
menarik kesimpulan berbeda mengenai kesan-kesan indrawi mereka masing-masing terhadap
suatu hal atau benda.[2] Apa yang obyektif, yakni benda tersebut sesungguhnya pada dirinya
sendiri, tidak dapat diketahui oleh manusia.[2]

Dalam bidang politik[sunting | sunting sumber]


Voltaire

Pengaruh pemikiran Locke dalam bidang politik amat besar di negara-negara Eropa, seperti
Inggris, Prancis, Jerman, bahkan hingga Amerika Serikat.[6] Bapak-bapak pendiri negara Amerika
Serikat, seperti Jonathan Edwards, Hamilton, dan Thomas Jefferson dipengaruhi oleh ide-ide
politik Locke.[6] Kemudian para filsuf Pencerahan Prancis, seperti Voltaire dan Montesquieu, juga
dipengaruhi oleh Locke.[6][8] Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa pemikiran-pemikiran politik
Locke juga memengaruhi munculnya Revolusi Prancis tanggal 14 Juli 1789.[6][8]
Pemikiran politik Locke yang terkenal adalah pembagian/pemisahan kekuasaan menjadi tiga:
eksekutif (menjalankan undang-undang), legislatif (membuat undang-undang), dan federatif
(memerintah daerah-daerah jajahan).

Dalam bidang keagamaan[sunting | sunting sumber]


Pandangan Locke tentang agama memengaruhi perkembangan deisme atau agama alamiah.
[12]
 Pandangan tersebut meluas di Barat pada abad ke-19 dan ke-20.[12]

Munculnya negara-negara sekularistik[sunting | sunting sumber]


Pandangan Locke yang memisahkan urusan negara dan urusan agama dengan sangat ketat
merupakan awal dari munculnya negara-negara sekularistik di kemudian hari.[8]Negara-negara
yang menganut paham sekuler memisahkan dengan ketat urusan negara dan urusan agama.[8]

Terhadap psikologi dan epistemologi[sunting | sunting sumber]


Pemikiran-pemikiran Locke terhadap pikiran manusia telah membawa pengaruh dalam
bidang psikologi dan epistemologi.[3] Beberapa filsuf dan pemikir setelahnya yang dipengaruhi
Locke adalah David Hartley (1705-1757), Joseph Priestley (1733-1804), Francis
Hutcheson (1694-1747), James Mill (1733-1836), dan Étienne Condillac (1715-1780).[3]Mereka
mendapat pengaruh Locke dalam hal menganalisis pengalaman manusia berdasarkan unsur-
unsur pengalaman, kombinasi unsur-unsur tersebut, dan asosiasi-asosiasi yang terjadi.[3]

Immanuel Kant 
(lahir di Königsberg, Kerajaan Prusia, 22 April 1724 – meninggal di Königsberg, Kerajaan
Prusia, 12 Februari 1804pada umur 79 tahun). Kota itu sekarang bernama Kaliningrad di Rusia.
Dia berasal dari keluarga pengrajin yang sederhana. Ketika Kant masih muda, usaha ayahnya
bangkrut. Kehidupan mereka harus didukung oleh keluarga besar orang tuanya. Kant penuh
dengan kerendahan hati dan sangat disiplin.
Kant kemudian menjadi guru besar untuk logika dan metafisika di Universitas Königsberg. Dia
secara rutin menyajikan kuliah tentang geografi fisik. Hal ini dilakukannya sepanjang tahun
sampai tahun 1796. Dalam pengantar kuliahnya, dia selalu menegaskan tempat geografi dalam
dunia ilmiah. Dia memberikan landasan falsafi bagi geografi sebagai pengetahuan ilmiah.
Minat Kant dalam geografi fisik tidak dirangsang oleh pengalamannya menghadapi alam di
berbagai belahan dunia tetapi muncul dari penyelidikan filsofis atas pengetahuan empiris. Bagi
Kant, geografi adalah ilmu empiris yang ingin menunjukkan alam sebagai suatu sistem. Geografi,
menurutnya merupakan ilmu tentang fenomena fisik dan budaya yang tersusun dalam ruang
bumi.

Biografi[sunting | sunting sumber]
Immanuel Kant dilahirkan pada tahun 1724 di Königsberg dari pasangan Johann Georg Kant,
seorang ahli pembuat baju zirah (baju besi), dan Anna Regina Kant.[1] Setelah itu, ayahnya
kemudian dikenal sebagai ahli perdagangan, tetapi pada tahun 1730-1740 perdangangan di
Königsberg mengalami kemerosotan.[1] Hal ini memengaruhi bisnis ayahnya dan membuat
keluarga mereka hidup dalam kesulitan.[1] Ibunya meninggal pada saat Kant berumur 13 tahun,
sedangkan ayah Kant meninggal saat dia berumur hampir 22 tahun.[1]
Kant menempuh pendidikan dasar di Saint George's Hospital School, kemudian melanjutkan ke
Collegium Fredericianum, sebuah sekolah yang berpegang pada ajaran Pietist.[2] Keluarga Kant
memang penganut agama Pietist, yaitu agama di Jerman yang mendasarkan keyakinannya
pada pengalaman religius dan studi kitab suci.[2] Pada tahun 1740, Kant menempuh pendidikan
di Universitas Königsberg dan mempelajari filsafat, matematika, dan ilmu alam.[2] Untuk
meneruskan pendidikannya, dia bekerja sebagai guru privat selama tujuh tahun dan pada masa
itu, Kant mempublikasikan beberapa naskah yang berkaitan dengan pertanyaan ilmiah.[2] Pada
tahun 1755-1770, Kant bekerja sebagai dosen sambil terus mempublikasikan beberapa naskah
ilmiah dengan berbagai macam topik.[2] Gelar profesor didapatkan Kant di Königsberg pada
tahun 1770.[2]
Kant dikenal dengan hidupnya yang sangat disiplin. Setiap hari ia jalani dengan jadwal yang
sudah sangat tersistematisasi. Orang konon bisa menebak dengan mudah pada jam/waktu ini ia
berada di mana dan sedang melakukan kegiatan apa. Kedisiplinan hidup inilah yang
memungkinkan Kant menulis begitu banyak karya yang fenomenal.

Jeremy Bentham 
adalah filsuf pendiri utilitarianisme asal Inggris.[1][2][3] Ia dilahirkan di London, menempuh
pendidikan di Oxford, dan kemudian mendapatkan kualifikasi sebagai seorang barrister
(advokat) di London.[3] Bentham merupakan salah seorang filsuf empirisme dalam bidang moral
dan politik.[3][4]

Latar belakang[sunting | sunting sumber]


Jeremy Bentham masuk ke Universitas Oxford pada usia dua belas tahun dan lulus pada usia
lima belas tahun[5]. Dia kemudian mempelajari hukum dan mulai bekerja pada usia sembilan
belas. Sebenarnya dia tidak pernah membuka kantor hukum karena sejak awal dia terlibat dalam
reformasi sistem hukum Inggris, yang dia rasa sulit dipraktekkan dan aneh, baik dalam hal
teorinya maupun prosedurnya, serta tidak manusiawi dan tidak adil.[5] Praktik ketidakadilan sosial
membuat Bentham, sebagai seorang mahasiswa hukum, sangat berminat tehadap berbagai
persoalan yang berkaitan dengan moralitas publik.[3] Ia banyak menulis tentang permasalahan
etika, politik dan hukum. dalam rentang usianya yang cukup panjang, Bentham selalu
bersemangat untuk menerapkan ide-ide praktisnya.[3] Ia menjadi pemimpin dari sebuah
kelompok yang dikenal sebagai Para Radikal Filosofis (Philosophical Radicals) yang menjadi
ujung tombak dari gerakan reformasi liberal.[3] Gerakan ini benyak menyoroti persoalan seputar
pendidikan, hukum tentang aktivitas seksual, korupsi dalam institusi-institusi publik,
penyensoran, dan pengelolaan penjara.[3]

Auguste Comte (Nama panjang: Isidore Marie Auguste François Xavier Comte; lahir di
Montpellier, Prancis, 17 Januari 1798 – meninggal di Paris, Prancis, 5 September 1857
pada umur 59 tahun) adalah seorang filsuf Prancis yang dikenal karena memperkenalkan
bidang ilmu sosiologi serta aliran positivisme. Melalui prinsip positivisme, Comte
membangun dasar yang digunakan oleh akademisi saat ini yaitu pengaplikasian metode
ilmiah dalam ilmu sosial sebagai sarana dalam memperoleh kebenaran. Comte juga
merupakan Tokoh yang pertama memciptakan istilah sosiologi, sehingga ia mendapat
julukan sebagai Bapak Sosiologi Dunia.

Auguste Comte (Nama panjang: Isidore Marie Auguste François Xavier Comte; lahir


di Montpellier, Prancis, 17 Januari 1798 – meninggal di Paris, Prancis, 5 September 1857 pada
umur 59 tahun) adalah seorang filsuf Prancis yang dikenal karena memperkenalkan bidang
ilmu sosiologi serta aliran positivisme. Melalui prinsip positivisme, Comte membangun dasar
yang digunakan oleh akademisi saat ini yaitu pengaplikasian metode ilmiah dalam ilmu
sosial sebagai sarana dalam memperoleh kebenaran. Comte juga merupakan Tokoh yang
pertama memciptakan istilah sosiologi, sehingga ia mendapat julukan sebagai Bapak Sosiologi
Dunia.

Anda mungkin juga menyukai