Σωκράτης
Sokrates
Sokrates (Yunani: Σωκράτης, Sǒkratēs) (sekitar 470 SM–399 SM) adalah salah
seorang filsuf dari Yunani.[1] Ia merupakan salah satu pemikir antroposentrisme
yang hidup pada masa Yunani Klasik.[2] Pemikiran filsafat Sokrates bertujuan
untuk mengenal manusia dengan memahami alam semesta melalui teori.[3]
Perhatian utama dalam pemikiran filsafat
Aristoteles
Aristoteles lahir di sebuah kota kecil bernama Stagira pada tahun 384 SM. Kota ini
merupakan bagian dari semenanjung Kalkidiki. Pengasuhan Aristoteles dilakukan
oleh keluarganya di Atarneus, Anatolia. Kondisi ini disebabkan ayahnya wafat
pada usia muda selama pengadilan di Pella, Makedonia Tengah. Pekerjaan
ayahnya adalah sebagai fisikawan.[8]
Abstraksi
Aristoteles meyakini bahwa abstraksi menjadi pembentuk kategori yang dapat
diterapkan ke objek pemikiran.[11] Aristoteles menganggap bahwa pemikiran
manusia melebihi tiga jenis abstraksi yang membentuk filsafat, yaitu fisika,
matematika dan metafisika. Manusia melampaui fisika ketika ia mulai berpikir
saat sedang melakukan pengamatan. Selama berpikir, akal manusia melepaskan
diri dari pengamatan yang menggunakan indra untuk merasakan segala yang
dapat dirasakan keberadaannya. Pengetahuan yang bersifat umum kemudian
diketahui dari hal yang partikular dan nyata. Pengetahuan fisika kemudian
terbentuk melalui pengetahuan abstrak dan akal manusia. Selanjutnya, abstraksi
matematika membuat manusia mampu mengerti mengenai materi yang tidak
terlihat. Akal melepaskan diri dari segala sesuatu yang dapat dipahami. Semua ciri
material dari abstraksi ini kemudian menghasilkan ilmu pengetahuan. Sementara,
abstraksi metafisika muncul setelah manusia melakukan abstraksi fisika. Dalam
abstraksi ketiga, manusia telah mampu berpikir tentang kenyataan dari segala
materi beserta dengan asal-usul dan tujuan pembentukannya. Aristoteles
menganggap abstraksi ini sebagai filsafat pertama.[12]
Metode filsafat
Aristoteles mengemukakan bahwa metode penemuan pengetahuan dan
kebenaran baru terbagi menjadi dua. Pertama, metode induktif dan yang kedua
ialah metode deduktif. Metode induktif bertujuan menyimpulkan hal-hal khusus
menjadi suatu kesimpulan umum. Sementara itu, metode deduktif hanya
menyimpulkan kebenaran dari dua hal yang bersifat pasti dan tidak diragukan.
Sifat dari metode deduktif ialah menyimpulkan dari sesuatu yang bersifat umum
menjadi khusus. Kondisi dari suatu proposisi dapat ditinjau melalui analitika atau
dialektik. Analitika digunakan pada penelitian yang menggunakan proposisi yang
telah diyakini kebenarannya untuk argumentasi. Sementara dialektik digunakan
pada penelitian yang menggunakan proposisi yang diragukan kebenarannya untuk
argumentasi. Analitika dan dialektika menjadi dasar dari logika dengan inti yaitu
silogisme. Peran silogisme ialah menjadi mekanisme penalaran premis-premis
yang benar untuk menghasilkan kesimpulan yang benar. Silogisme menjadi
bentuk formal dari penalaran deduktif. Aristoteles menjadi metode deduktif ini
sebagai metode terbaik dalam memperoleh pengetahuan dan kebenaran baru
yang didasarkan kepada kesimpulan. Metode ini dikenal dengan nama metode
silogistis deduktif.[15]
Plato
Plato (bahasa Yunani: Πλάτων) (lahir sekitar 427 SM - meninggal sekitar 347 SM)
adalah seorang filsuf dan matematikawan Yunani, secara spesifik dari Athena.
Dilihat dari perspektif sejarah filsafat, Plato digolongkan sebagai filsuf Yunani
Kuno. Ia adalah penulis philosophical dialogues dan pendiri dari Akademi Platonik
di Athena, sekolah tingkat tinggi pertama di dunia barat.[2]
Plato diyakini sebagai seorang filsuf yang berperan besar dalam perkembangan
filsafat Yunani Kuno dan filsafat barat secara umum. Sumbangsih yang besar juga
diberikan oleh guru Plato, yakni Sokrates , dan murid Plato, yakni Aristoteles.[2]
Selain sebagai filsuf, Plato juga dikenal sebagai salah satu peletak dasar agama-
agama barat dan spiritualitas.[3] Pemikiran Plato dikembangkan menjadi
Neoplatonisme oleh para pemikir seperti Plotinus dan Porphyry. Neoplantonisme
memberi pengaruh besar bagi perkembangan Kristianitas, terutama
memengaruhi pemikiran para Bapa Gereja seperti Agustinus. Filsuf Alfred North
Whitehead bahkan mengapreasiasi Plato dengan mengatakan, "Karakterisasi
umum yang paling aman dari tradisi filosofis Eropa adalah bahwa tradisi ini terdiri
dari serangkaian catatan kaki untuk Plato".[4]