Anda di halaman 1dari 12

KONSEP DASAR FILSAFAT MANUSIA HILEMORFISME ARISTOTELES

DISUSUN OLEH:

1. SHAFIRA INTANA PUTRI MEYRAGUS (202360055)

2. IZZA YULFANA KHIDISMIYA (202360076)

3. ALFINA NAFISATUZ ZAHRO (202360087)

4. ISNAENI LUTFIANA SARI (202360088)

5. DIENA OLIVIA RACHMA (202360092)

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS MURIA KUDUS

2023
KATA PENGANTAR

Puji Syukur atas kehadirat ALLAH SWT Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmat dan

hidayah-Nya yang memungkinkan dapat menyelesaikan makalah ini yang berjudul "Konsep

Dasar Filsafat Manusia Hilemorfisme Aristoteles!".

Penulisan makalah ini merupakan salah satu tugas dan persyaratan dalam menyelesaikan mata

kuliah Filsafat Ilmu dan Manusia. Dalam penyusunan makalah ini, penulis menyadari masih

terdapat banyak kekurangan baik dalam teknis penulisan maupun materi, dengan menyadari

keterbatasan kemampuan penulis. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran

dari semua pihak untuk penyempurnaan pembuatan makalah ini.

Akhir kata, semoga makalah ini dapat berguna dan bermanfaat bagi para pembaca untuk

pengembangan ilmu.

Kudus, 26 September 2023

Penulis
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Filsafat merupakan salah satu cabang ilmu pengetahuan dengan cakupan yang luas, oleh

karena itu, titik awal untuk memahami dan mengerti filsafat dapat dimulai dengan

menganalisis etimologi (pemahaman asal-usul suatu istilah atau kata). Contohnya, etimologi

dari kata "filsafat" dalam bahasa Indonesia memiliki padanan kata seperti "falsafah" (bahasa

Arab), "philosophy" (bahasa Inggris), "philosophia" (bahasa Latin), dan "philosophie"

(bahasa Jerman, Belanda, Perancis). Filsafat mencoba untuk memahami dan menangkap

makna serta nilai-nilai dunia.

Filsafat dianggap sebagai akar dari seluruh ilmu pengetahuan dan sering disebut sebagai

"Ibu dari Sains." Karakteristik ilmu filsafat mencakup pemikiran yang komprehensif, yaitu

berpikir secara luas dan mempertimbangkan berbagai sudut pandang; mendasar, yaitu berpikir

secara mendalam hingga mencapai inti mental (di luar fenomena yang tampak); bersifat

spekulatif, artinya hasil pemikiran dijadikan dasar bagi pemikiran selanjutnya, dan hasil

pemikirannya selalu dimaksudkan sebagai medan eksplorasi yang baru. Karakteristik ini

menjadi landasan bagi pengembangan ilmu pengetahuan lainnya.

Salah satu tokoh filsafat yang sangat berpengaruh hingga saat ini adalah Aristoteles.

Aristoteles memberikan kontribusi besar terhadap perkembangan teknologi dan ilmu

pengetahuan yang ada saat ini. Ia menjadi pionir dalam membentuk fondasi filsafat dan sains.

Aristoteles, seorang filsuf dan ilmuwan Yunani, merupakan salah satu intelektual terbesar

dalam sejarah Barat (Roger, 2010:2). Dia dianggap sebagai bapak logika dan ilmu alam, yang

juga dikenal sebagai guru Alexander yang Agung. Aristoteles adalah penulis sistem filosofis
dan ilmiah yang komprehensif, yang memiliki pengaruh yang sangat besar dalam sejarah.

Ensiklopedia Inggris bermain kata-kata dengan menyebutnya sebagai "ilmuwan sejati

pertama dalam sejarah" (Mauludi, 2016: 2).

B. Rumusan Masalah

1. Siapakah Aristoteles ?

2. Bagaimana Pemikiran Aristoteles bagi dunia Filsafat Umum ?

3. Bagaimana Konsep Dasar Filsafat Manusia Hilemorfisme Aristoteles ?

C. Tujuan Penulisan

1. Mengetahui apa itu filsafat

2. Menggali, mengangkat, menstrukturkan konsep-konsep, gagasan-gagasan, dan

teori-teori Konsep Dasar Filsafat Manusia Hilemorfisme Aristoteles.

3. Memahami Sejarah Aristoteles di bidang filsafat ilmu dan manusia.


BAB II

PEMBAHASAN

A. Biografi Aristoteles

Aristoteles lahir di stagira di semenanjung Thraican, Yunani. Ia lahir dari

keluarga besar yang punya tradisi yang kuat di bidang ilmu ketabiban. Ayahnya

Nichomachus ialah ahli ketabiban ragawi, sekaligus sahabat erat raja Amyntas dari

Macedonia. Setelah kematian kedua orang tuanya, Pendidikan masa kecil Aristoteles

diambil alih oleh pengasuhnya Proxenus dari Atarneus (Windelband, 1956).

Aristoteles masih berusia 18 tahun Ketika mulai belajar pada Plato di Akademi

Athena. Ia menjadi murid Plato selama kurang lebih 20 tahun (Warner, 1963). Setelah

meninggalnya Plato, Ariatoteles menjalani tugas menjadi guru Iskandar Agung, putra

mahkota Kerajaan Macedonia. Setelah mendirikan tugas ia mendirikan sekolah sendiri

yang masyhur Bernama Lyceum (Kleinman, 2013; Warbuton, 2011).

Kekaguman orang kepada Aristoteles menjadi sangat tinggi di akhir abad

tengah tatkala keadaan sudah mengarah pada penyembahan berhala. Dalam keadaan

itu tulisan –tulisan Aristoteles lebih merupakan semacam lampu penerang jalan yang

terang untuk mencari jawaban problem yang lebih lanjut. Aristoteles tidak sepakat

dengan sanjungan membabi buta dari generasi-generasi berikutnya terhadap tulisan-

tulisannya.

Beberapa pemikiran Aristoteles yang tidak sesuai bila diterapkan pada masa

sekarang adalah di mana dia mendukung perbudakan karena dianggap sejalan dengan

hukum alam. Dan dia percaya kerendahan martabat wanita bila dibandingkan dengan

laki-laki. Tapi banyak pula ide Aristoteles yang sesuai untuk masa sekarang di mana
dia berpendapat bahwa kemiskinan adalah pokok dari revolusi dan kejahatan. Begitu

pula pernyataannya yang menyebutkan bahwa barang siapa yang sudah merenungi

dalam-dalam seni memerintah manusia pasti yakin bahwa nasib suatu emperium

tergantung pada pendidikan kaum mudanya.

B. Pemikiran filsafat umum

Bila di bandingkan dengan gurunya Plato, Aristoteles lebih tampak sebagai realis. Ia

seorang pengamat (observer), lebih tertarik pada rincian-rincian subtansi bersifat individual

daripada yang bersifat general abstrak. Menurut Aristoteles, realitas berada dalam benda

konkret dan menampak dalam proses perkembangan. Dunia nyata terletak dalam dunia

pencerapan, bahkan secara kusus terletak dalam dunia yang terdiri dari konsep bentuk (form)

dan materi (bahan) sebagai satu kesatuan tidak terpisahkan (Titus, 1953).

Bila dalam pemikiran filosofis tentang realitas terdalam Plato dalam memilah antara dunia

ide yang nyata dan dunia materi yang tidak nyata (unreal), Aristoteles menyatakan

sebenarnya kedua pemilahan itu hanya dua sisi dari satu dunia yang nyata. Dunia terdiri dari

kesatuan unsur bentuk dunia dan materi.

Ia cenderung sepakat bahwa bentuk (form) memiliki kedudukan penting karena tidak

tergantung pada waktu dan bersifat tetap. Meski begitu bentuk tidak sepenuhnya berbentuk

terpisah sebagai intensitas tersendiri dari benda-benda di dunia ini. Bentuk (form) bersama-

sama dengan materi (matter) merupakan kategori yang tidak terpisahkan di setiap gejala

dunia (Warner, 1963).

Pemikiran Aristoteles tentang bentuk dan materi ini lazim dikenal sebagai teori filsafat

hilemorfisme atau filsafat bentuk (morphe) dan materi (hyle). Melalui hilemorfisme

Arostoteles berupaya menyintesiskan – atau sekurangnya mendamaikan – dualism ide dan


materi melalui konsepsi empirisme dunia yang dikembangkan dalam metafisika (Windelband,

1956).

Pemikiran ontologis metafiska Plato banyak memengaruhi arah pemikiran filsafat di

bidang lain, seperti, seperti epistemology, logika, aksiologi, termasuk ilmu alam.

Banyak ahli sejarah mengemukakan bahwa Aristoteles adalah peletak dasar sekaligus

pengembang lahirnya metafisika dalam filsafat. Dalam terminology Aristoteles, metafisika

disebut sebagai “filsafat pertama” atau “teologi”. Metafisika diletakkan di luar buku-buku

lain yang mengkaji tema-tema seperti seperti matematika, fisika, astronomi, atau psikologi

(Windelband, 1956).

Selain tentang realitas, pemikiran Aristoteles yang juga patut diketengahkan ialah

kosmologis mengenai teori penyebab (kausalitas) tentang asal mula terjadinya segala sesuatu.

Aristoteles melihat pada dasarnya semua proses penyebaban memiliki empat kategori

penting. Pertama, kausa material atau sebab bahan. Kausa material menunjukkan bahwa

segala sesuatu secara mendasar harus memiliki basis material. Tanpa keberadaan basis dasar

materi, segala sesuatu tidak mungkin “menjadi” apa pun. Kedua, kausa formalis atau sebab

bentuk. Kausa formalis berfungsi mengaktualisasikan potensi-potensi yang terdapat dalam

materi. Ketiga, kausa efisien atau sebab guna. Kausa efisien berperan membuat fungsi bentuk

(form) actual pada materi. Keempat, kausa finalis atau sebab tujuan, yaitu sebab yang

memberi arah tujuan bagi keberadaan segala sesuatu (Radhakrishna, 1953).

C. Hilemorfisme Aristoteles

Manusia adalah makhluk yang multidimensional, paradoksal, dan dinamis. Maka, tidak

mengherankan bahwa pandangan atas manusia itu beragam. Pandangan paling terkenal yaitu

dari Aristoteles yang mengatakan: “Manusia adalah animal rationale” (hewan yang berakal

budi). Menurut logika Aristoteles bagian pertama, suatu definisi harus meyebutkan jenis yang
paling dekat (dalam hal ini animal), sedangkan bagian kedua harus menyebut hal yang

spesifik (dalam hal ini rationale, berakal budi).

Sesuai teori hilemorfisme tentang hakikat realitas, dalam membahas hakikat manusia

pun Aristoteles berpendapat bahwa manusia tersusun atas dua prinsip subtansial – mirip

subtansi kosmis lain. Pertama, bentuk (morphe) – ia memiliki sifat-sifat kerohanian,

sempurna, dan aktif. Kedua, “bahan pertama” (hyle proote) – ia memiliki sifat-sifat material,

tidak stabil, pasif, dan terbuka (potensial) untuk diaktualisasikan (Bakker, 1992).

Hilemorfisme mengajarkan bahwa materi (hyle) dan bentuk (morphe) saling berkaitan

dan tidak dapat dipisahkan. Materi adalah potensi atau kemampuan untuk menjadi sesuatu,

sedangkan bentuk adalah aktualisasi potensi tersebut. Tidak ada materi tanpa bentuk, dan

tidak ada bentuk tanpa materi. Hilemorfisme berarti sesuatu yang berlangsung terus di dalam

setiap peruahan, namun ia sendiri tidak berubah.

Dalam menelaah hubungan antara jiwa dan tubuh, Aristoteles menjelaskan bahwa jiwa

berada di posisi pertama yang memberi fungsi aktualitas bagi pengelolaan keseluruhan tubuh.

Ia membuat metafora: mata fisik dapat diartikan mengandung unsur kebinatangan, sedangkan

manfaat penglihatan merupakan wakil dari fungsi jiwa. Penglihatan merupakan subtansi

(esensi) dari mata fisik manusia. Mata fisik merupakan materi (bahan) bagi kegiatan melihat

yang dilakukan seseorang. Melihat adalah representasi dari unsur bentuk (morphe) manusia.

Dua unsur manusia tersebut membuktikan pendapat Aristoteles bahwa manusia

merupakan satu kesatuan hubungan antara jiwa dan tubuh. Tanpa tubuh ragawi jiwa pun tidak

memiliki keberadaan sebagai jiwa manusia sebenarnya. Ketika seseorang melihat suatu objek,

jiwa mengadakan kegiatan pengamatan melalui tubuh (mata) sekaligus saat itu pula mata

secara terarah mengamati objek penglihatan. Apabila kegiatan melihat tidak dilakukan,

dengan sendirinya (secara otomatis) mata tidak lagi menjadi mata dengan segala konsekuensi
esensial untuk melihat, tapi hanya menjadi nama untuk menunjukan bagian tubuh yang

terletak di kepala manusia. Banyak ahli psikologi dan filsafat menafsirkan bahwa

hilemorfisme cenderung masuk kategori naturalistic (Henderson, 1960).

Menilai pentingnya hubungan makna jiwa dan tubuh untuk menunjukan makhluk

manusia, secara khusus Aristoteles menyatakan bahwa jiwa sebagi perwujudan bentuk (form)

berupaya merealisasikan rencana induk (master plan) terhadap tubuh yang memiliki potensial

bagi kehidupan. Karena penanganan terarah oleh jiwa, kini tubuh tidak lagi semata-mata

seperti benda mati yang lain (peursen, 1991). Dua unsur itu saling bergantung dan bekerja

sama merealisasikan proses potensi dan aktualitas dalam diri manusia untuk menuju sebagai

makhluk secara lengkap.

Aristoteles mejelaskan jiwa merupakan sesuatu hal yang penting dalam tubuh, hal ini

dijelaskan dalam idenya yang sudah dibahas di atas tadi, hilemorfisme yang menunjukkan

tubuh dan setiap organiknya hanya berfungsi andaika diresapi dan digerakkan oleh jiwa.

Tanpa jiwa, tubuh akan mati. Lalu gagasan “jiwa datang” dan menghidupi tubuh; menunjuk

penekanan Aristoteles pada dualisme manusia dan pemisahan kodrati jasmani tubuh dan

kodrati rohani.

Aristoteles membagi jiwa manusia menjadi tiga bagian: pertama, jiwa yang bersifat

vegetative (tumbuhan). Kedua, jiwa animal (kebinatangan). Ketiga, jiwa rasional (jiwa

manusiawi). Aristoteles mengemukakan bahwa jiwa tertimggi yang dimiliki makhluk jasmani

adalah jiwa rasional. Secara khusus Aristoteles berpendapat bahwa semua makhluk hidup

memiliki jiwa, meski perwujudannya pada setiap makhluk bias berbeda-beda (Peursen, 1991).

Mengenai filsafat manusia, Aristoteles mengemukakan bahwa tujuan hidup manusia

adalah kebahagiaan (happiness) bagi dirinya. Bentuk kebahagiaan tertinggi dapat dicapai

melalui kontemplasi intelektual mendalam (Brubacher, 1962).


Menurut Aristoteles, kebahagiaan melalui kontemplasi mendalam harus dikaitkan

dengan prinsip etika, yaitu sebagai upaya pelatihan mencapai kebajikan tertinggi yang

diperoleh melalui pertimbangan rasional. Orang bijaksana adalah orang yang dapat

mengetahui makna kehidupan melalui pertimbangan rasional memecahkan masalah-masalah

etika kehidupannya (Radhakrishnan, 1953). Dalam upaya manusia mencapai kebahagiaan

tertinggi, Aristoteles banyak mementingkan aspek rasional sebagai karakteristik esensial

kemanusiaan. Aspek rasional itu merupakan aspek pembeda manusia dari hewan-hewan lain

di dunia ini (Brubacher, 1962). Di bukunya politics (politik) (dalam weber, 1960), ia

mengatakan bahwa pengembangan akal (intelek) merupakan hakikat tujuan dari

perkembangan lengkap makhluk manusia.

Pandangan Aristoteles bahwa tujuan hidup manusia ialah mencapai kebahagiaan

melalui realisasi diri atau aktualisasi potensi diri berpengaruh kuat terhadap salah satu tema

utama lahirnya aliran psikologi positif di abad ke-20. Psikologi positif mempelajari perilaku

manusia dari sudut pandang bersifat positif, yaitu kebahagiaan melalui prinsip eudaimonis

(Baumgardener & Crothers, 2010). Menurut prinsip eudamonis orang dapat mencapai

kebahagiaan apabila mampu merealisasikan diri sesuai ekspresi potensi yang ada dalam

dirinya. Kebahagiaan menurut prinsip eudaimonis bertentangan dengan paham hedonis yang

menyatakan bahwa bahagia berarti orang terhindar dari segenap penderitaan, yaitu bila

merasa senang dan jauh dari penderitaan.


KESIMPULAN

1. Filsafat hilemorfisme mengambil prinsip dari definisi Aristoteles tentang manusia,

yaitu manusia adalah animal rasional (hewan yang berpikir). Maksud Aristoteles ialah

dalam diri manusia terdapat fungsi berpikir (rasional) – sebagai perwujudan prinsip

bentuk (morphe) – dan kebinatangan (animality) – sebagai perwujudan dari prinsip

materi (hyle). Ini berarti manusia teerdiri dari jiwa dan raga. Jiwa adalah bentuk, raga

adalah materi.

2. Aristoteles mengemukakan tujuan hidup manusia adalah memperoleh kebahagiaan

(happiness) bagi dirinya. Bentuk kebahagiaan tertinggi dapat dicapai melalui

kontemplasi intelektual mendalam. Filsafat manusia Aristoteles berpengaruh pada

psikologi positif dalam hal upaya mencapai kebahagiaan melalui realisasi diri atau

aktualisasi potensi manusia memecahkan masalah kehidupannya.


REFERENSI

Setyo Wibowo,A. Manusia sebagai ”kami” Menurut Plotinos Yogyakarta: Kanisius,

2014.

Anda mungkin juga menyukai