Anda di halaman 1dari 17

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG MASALAH

Masyarakat sekarang cenderung mengacaukan pengertian kata "profesi".

Kekacauan pertama, kata "profesi" (profession) dianggap sama dengan pekerjaan

(vocation) dan atau matapencaharian (occupation). Kekacauan kedua, profesi

dipandang sebagai keseluruhan pengetahuan dan keterampilan teknis yang harus

dikuasai untuk melakukan suatu pekerjaan, tanpa ada tali-temali dengan

persoalan-persoalan etika yang melekat pada pekerjaan itu.

Kedua kekacauan itu bersumber kepada kesalahan pemahaman tentang

makna kata "profesi". Menurut sebuah kamus, "profession" berarti suatu

pekerjaan atau jabatan yang menuntut pendidikan tinggi khusus dan rangkaian

latihan intensif dan berjangka panjang (an occupation requiring considerable

training and specialized study). Kata ini berasal dari kata Latin professus, derivasi

dari kata profiteor, yaitu menyatakan secara terbuka di hadapan umum.

Tidak berhenti di situ, kekacauan juga menyangkut hubungan antara

pengertian "akademik" dengan pengertian "profesional." Pendidikan profesional

adalah pendidikan yang mempersiapkan peserta didik untuk memangku jabatan-

jabatan yang bersifat tertutup (closed occupations) yang lazimnya dilindungi

undang-undang. Sebagai contoh jabatan kedokteran, jabatan ke-insinyur-an,

jabatan bidang hukum, dan sebagainya. Sebaliknya,

1
2

pendidikan akademik adalah pendidikan yang mempersiapkan peserta didik

untuk melakukan telaah-telaah keilmuan (academic inquiries). Pendidikan

akademik menekankan penguasaan ilmu-ilmu dasar (basic sciences), seperti

fisika, biologi, sosiologi, ilmu politik dan ilmu ekonomi. Program studi

akuntansi, misalnya jelas merupakan pendidikan profesi, sedangkan program

studi ekonomi pembangunan adalah pendidikan akademik.

Kerancuan antara konsep "profesi" dengan konsep "okupasi" terletak

pada fungsi pekerjaan yang sama-sama untuk memperoleh nafkah, sehingga

menganggap diri atau dianggap oleh masyarakat sebagai pemain profesional,

sekalipun kemahiran atau keahlian mereka tidak cukup tinggi menurut tuntutan

profesionalisme. Tuntutan profesionalisme ini pun berbeda dari masyarakat yang

satu ke masyarakat yang lain, bergantung pada perbedaan mutu pelatihan, tuntutan

dan persaingan di kedua lingkungan tersebut. Karena itu, setiap usaha pendidikan

profesional dan upaya profesionalisasi harus terlebih mengajukan pertanyaan:

Apakah ukuran, kriteria, atau standar profesionalisme yang dipergunakan sebagai

acuan dalam program pendidikan atau program pengembangan profesionalisme

tersebut merupakan standar berkeabsahan? Bukan tidak mungkin, misalnya, pada

bidang yang mempunyai standar internasional, ketidak-sesuaian standar akan

membuat seseorang tidak mampu bersaing melawan tenaga-tenaga profesional

dari negara lain.

Satu persoalan lagi harus dicatat, yaitu berkenaan dengan dinamika

profesi. Ketika ilmu-ilmu pengetahuan mengalami kemajuan begitu cepat,


3

standar yang berlaku dalam suatu periode pasti mengalami perubahan.

Standar profesionalisme, misalnya untuk bidang-bidang kedokteran,

teknologi, hukum, manajemen, akuntansi, serta pendidikan telah mengalami

perubahan cukup penting dibandingkan dengan standar yang berlaku sepuluh

atau lima belas tahun lalu. Karena itu, pendidikan profesional dan program

profesionalisasi harus selalu mengikuti perkembangan dan memutakhirkan

standar yang digunakan. Kegagalan dalam pemutakhiran akan menyebabkan

khalayak sasaran program hanya menguasai kecakapan profesional

kedaluwarsa (outdated professionalism), yang pada gilirannya akan

merugikan masyarakat.

Kekacauan kedua tentang profesionalisme berkenaan dengan pandangan

bahwa profesionalisme merupakan suatu bidang keahlian dan kemahiran semata,

tanpa bersangkut-paut dengan masalah moralitas atau etika. Ketika dihadapkan

pada persoalan moral dan etika, banyak tenaga profesional akan menghindar dan

berkata, "Saya seorang profesional. Urusan saya bersifat teknis, dan tidak

berurusan dengan masalah moral." Ini merupakan sikap dan perilaku yang keliru.

Karena niscaya bersentuhan dengan kehidupan manusia, maka profesi pun

memiliki dimensi moral dan etika. Kasus bendungan Kedung Ombo, misalnya,

menyeruak karena ada sejumlah orang melihat rencana pembangunan bendungan

ini dari segi kemanusiaan.

Setiap profesi menghadapi sejumlah masalah kemanusiaan, yang tentu

saja harus ditangani dengan mengacu kepada nilai-nilai moral. Profesi


4

kedokteran, hukum, jurnalistik, guru, insinyur, dan seterusnya, pada saat-saat

tertentu harus berhadapan dengan masalah-masalah moralitas ini. Menjadi

semakin jelas, pengertian yang benar terhadap istilah "profesionalisme"

mempunyai cakupan makna cukup luas, karena tidak hanya berkenaan

dengan keahlian dan penghargaan, tetapi juga menyentuh dimensi moral.

Karena itu, merupakan suatu kerharusan bagi setiap profesi untuk memiliki

kode etik, yang disebut etika profesi (professional ethics). Kode etik ini yang

berfungsi mengatur perilaku para anggota masyarakat profesi. Tentu saja,

dalam setiap masyarakat profesi terdapat anggota-anggota yang

mengindahkan norma-norma etika, tetapi ada juga anggota-anggota yang

tidak mengindahkan sama sekali norma-norma etika.

Guru sebagai profesi perlu diiringi dengan pemberlakuan aturan profesi

keguruan, sehingga akan ada keseimbangan antara hak dan kewajiban bagi

seseorang yang berprofesi guru, antara lain: Indonesia memerlukan guru yang

bukan hanya disebut guru, melainkan guru yang profesional terhadap profesinya

sebagai guru. Aturan profesi keguruan berasal dari dua kata dasar profesi dan

bidang spesifik guru/keguruan.

Secara logik, setiap usaha pengembangan profesi (professionalization)

harus bertolak dari konstruk profesi, untuk kemudian bergerak ke arah substansi

spesifik bidangnya. Diletakkan dalam konteks pengembangan profesionalisme

keguruan, maka setiap pembahasan konstruk profesi harus diikuti dengan

penemukenalan muatan spesifik bidang keguruan. Lebih khusus lagi,

penemukenalan muatan didasarkan pada


5

khalayak sasaran profesi tersebut. Karena itu, pengembangan profesionalisme

guru sekolah dasar atau madrasah ibtidaiyah akan menyentuh persoalan: (1)

sosok profesional secara umum, (2) sosok profesional guru secara umum, dan

(3) sosok profesional guru sekolah dasar atau madrasah ibtidaiyah. Profesional

adalah pekerjaan atau kegiatan yang dilakukan oleh

seseorang dan menjadi sumber penghasilan kehidupan yang memerlukan keahlian,

kemahiran, atau kecakapan yang memenuhi standar mutu atau norma tertentu

1
serta memerlukan pendidikan profesi.

Guru merupakan pekerjaan dan sudah menjadi sumber penghasilan bagi

begitu banyak orang, serta memerlukan keahlian berstandar mutu atau norma

tertentu. Secara teoretik, ini sejalan dengan syarat pertama profesi menurut Ritzer

(1972), yakni pengetahuan teoretik (theoretical knowledge). Guru memang bukan

sekedar pekerjaan atau mata pencaharian yang membutuhkan ketrampilan teknis,

2
tetapi juga pengetahuan teoretik. Sekedar contoh, siapa pun bisa trampil

melakukan pertolongan pertama pada kecelakaan (PPPK), tetapi hanya seorang

dokter yang bisa mengakui dan diakui memiliki pemahaman teoretik tentang

kesehatan dan penyakit manusia. demikian juga dengan pekerjaan keguruan. Siapa

saja bisa trampil mengajar orang lain, tetapi hanya mereka yang berbekal

pendidikan profesional keguruan yang bisa menegaskan dirinya memiliki

pemahaman

1
Sekretariat Negara RI, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14
Tahun 2005, tentang, Guru dan Dosen, www.indonesia.go,id, Jakarta, 2003, hal. 3
2
Sakban Rosidi, Sistem Kredit dan Profesionalisasi Keguruan, Surya, 13
Maret 2007
6

teoretik bidang keahlian kependidikan. Kualifikasi pendidikan ini hanya bisa


3
diperoleh melalui pendidikan formal bidang dan jenjang tertentu.

Kompetensi guru meliputi kompetensi pedagogik, kompetensi


kepribadian, kompetensi sosial, dan kompetensi profesional yang
diperoleh melalui pendidikan profesi. Kompetensi pedagogik menunjuk
pada kemampuan mengelola pembelajaran peserta didik. Kompetensi
kepribadian menunjuk pada kemampuan kepribadian yang mantap,
berakhlak mulia, arif, dan berwibawa serta menjadi teladan peserta didik.
Kompetensi profesional menunjuk pada kemampuan penguasaan materi
pelajaran secara luas dan mendalam. Kompetensi sosial menunjuk
kemampuan guru untuk berkomunikasi dan berinteraksi secara efektif
dan efisien dengan peserta didik, sesama guru, orangtua/wali peserta
4
didik, dan masyarakat sekitar.

Tampaknya, Kendati syarat kualifikasi pendidikan terpenuhi, tak

berarti dengan sendirinya seseorang bisa bekerja profesional, sebab juga

harus ada cukup bukti bahwa dia memiliki keahlian, kemahiran, atau

kecakapan yang memenuhi standar mutu atau norma tertentu. Karena itu,

belakangan ditetapkan bahwa sertifikasi pendidik merupakan pengakuan yang

diberikan kepada guru dan dosen sebagai tenaga profesional.

Syarat kedua profesi adalah pemberlakuan pelatihan dan praktik

yang diatur secara mandiri (self-regulated training and practice). Kalau

kebanyakan orang bekerja di bawah pengawasan ketat atasan, tak demikian

dengan profesi. Pekerjaan profesional menikmati derajat otonomi tinggi,

yang bahkan cenderung bekerja secara mandiri. Sejumlah pelatihan

profesional masih diperlukan dan diselenggarakan oleh asosiasi profesi.

3 Sekretariat Negara RI, Peraturan Pemerintah No 19 Tahun 2005


tentang Standar Nasional Pendidikan., www.indonesia.go,id, Jakarta, 2003,
hal.3

4 Sekretariat Negara RI, Op Cit, hal. 4


7

Gelar formal dan berbagai bentuk sertifikasi dipersyaratkan untuk berpraktik

profesional. Bahkan, pada sejumlah profesi yang cukup mapan, lobi-lobi

politik asosiasi profesi ini bisa memberikan saksi hukum terhadap mereka
5
yang melakukan praktik tanpa sertifikasi terkait.

Bila tolak-ukur ini dikenakan pada pekerjaan keguruan, jelas kemantapan

guru sebagai profesi belum sampai tahapan ini. Banyak guru masih bekerja dalam

pengawasan ketat para atasan serta tidak memiliki derajat otonomi dan

kemandirian sebagaimana layaknya profesi. Pun nyaris tanpa sanksi bagi siapa

saja yang berpraktik keguruan meskipun tanpa sertifikasi kependidikan. Sistem

konvensional teramat jelas tidak mendukung pemantapan profesi keguruan.

Keputusan penilaian seorang guru bidang studi, misalnya, sama sekali tidak

bersifat final karena untuk menentukan kelulusan, atau kenaikan kelas, masih ada

rapat dewan guru. Tak jarang, dalam rapat demikian, seorang guru bidang studi

harus “mengubah” nilai yang telah ditetapkan agar sesuai dengan keputusan rapat

dewan guru.

Wacana dalam konteks otoritas profesional tersebut, tampak berbeda

antara otonomi profesi dosen dengan otonomi profesi guru. Dengan sistem kredit

semester, seorang dosen bisa membuat keputusan profesional secara mandiri dan

bertanggung-jawab. Keputusan seorang dosen profesional memiliki bobot

mengikat sebagaimana keputusan seorang dokter untuk memberikan atau tidak

memberikan obat tertentu. Tak sesiapa pun, termasuk Ketua Jurusan, Dekan, dan

bahkan Rektor, yang bisa melakukan intervensi

5
Sakban Rosidi, OP Cit, hal. 2
8

langsung terhadap penilaian yang telah dilakukan oleh seorang dosen

terhadap mahasiswanya. Tentu saja, di balik otoritas demikian, juga dituntut

adanya tanggung-jawab dan keberanian moral seorang tenaga professional,

sehingga dengan demikian jika guru benar-benar profesional maka prestasi

belajar siswa akan meningkat. Hal ini tidak saja berlaku pada mata pelajaran

atau mata kuliah tertentu saja akan tetapi seluruh mata pelajaran termasuk

mata pelajaran Akidah Akhlak yang dalam penelitian ini menjadi fokus

penulis.

Permaslahan Profesionalisme Guru dalam Pembelajaran menjadi

perhatian serius jajaran MI Al-As’ad Brambang Diwek Jombang karena dengan

guru yang profesional, Prestasi Belajar siswa dapat mudah ditingkatkan, MI Al-

As’ad Brambang Diwek Jombang telah melakukan berbagai upaya agar seluruh

guru yang mengajar di madrasah tersebut memiliki kompetensi sesuai dengan

standar nasional Pendidikan.

Berdasarkan permasalahan pada latar belakang diatas, penulis tertarik

untuk menelitinya dan penulis merasa perlu untuk memberikan sumbangsih dan

memberikan suatu konsep dalam mengatasi permasalahan tersebut yang penulis

tuangkan dalam penelitian sederhana dalam bentuk skripsi yang berjudul :

Pengaruh Profesionalisme Guru terhadap kemandirian belajar siswa di MI Al-

As’ad Brambang Diwek Jombang.

B. BATASAN MASALAH

Berdasarkan latar belakang diatas, maka dari judul penelitian “Pengaruh

Profesionalisme Guru dalam Pembelajaran terhadap Prestasi Belajar Mata


9

Pelajaran Aqidah Akhlak Siswa di MI Al-As’ad Brambang Diwek Jombang”,

penulis membatasi permasalahan-permasalahan pada:

1. Subyek Penelitian yang penulis teliti adalah siswa di MI Al-As’ad Brambang

Diwek Jombang

2. Profesionalisme Guru dalam Pembelajaran di MI Al-As’ad Brambang Diwek

Jombang penulis batasi pada aspek-aspek :

a. menguasai karakteristik peserta didik dari aspek fisik,

b. menguasai karakteristik peserta didik dari aspek moral,

c. menguasai karakteristik peserta didik dari aspek sosial,

d. menguasai karakteristik peserta didik dari aspek kultural,

e. menguasai karakteristik peserta didik dari aspek emosional, dan

intelektual,

f. menguasai teori belajar dan prinsip-prinsip pembelajaran yang mendidik,

g. mengembangkan kurikulum yang terkait dengan bidang pengembangan

yang diampu,

h. menyelenggarakan kegiatan pengembangan yang mendidik,

i. memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi untuk kepentingan

penyelenggaraan kegiatan pengembangan yang mendidik, dan

j. memfasilitasi pengembangan potensi peserta didik untuk

mengaktualisasikan berbagai potensi yang dimiliki .


10

3. kemandirian belajar siswa di MI Al-As’ad Brambang Diwek Jombang penulis

batasi pada : uraian tentang pendapat responden tentang kemandirian belajar

siswa.

C. DEFINISI OPERASIONAL

Untuk lebih terarah dan terfokusnya pembahasan, serta menjaga apabila

terdapat kesalahfahaman, maka perlu adanya penjelasan mengenai batasan-

batasan yang relevan maupun istilah-istilahnya, Adapun jabaran istilah tersebut

sebagai berikut:

1. Profesionalisme Guru

Istilah profesionalisme berasal dari kata proffession yang berarti

pekerjaan yang memerlukan keahlian dan diperoleh melalui pendidikan dan lati

khusus. Dengan kata lain :

Profesi dapat diartikan sebagai suatu bidang keahlian yang khusus


6
menangani lapangan kerja tertentu yang membutuhkannya.

Agar seorang guru dapat melaksanakan kegiatan belajar mengajar dengan

baik, yaitu dengan memaksimalkan pencapaian tujuan pendidikan (pengajaran)

yang telah ditetapkan. Maka guru dituntut untuk memiliki beberapa kriteria

kemampuan profesional, yaitu kemampuan dalam hal merencanakan,

melaksanakan dan melakukan evaluasi kegiatan belajar mengajar

6
H M. Arifin, Kapita Selekta Pendidikan, Bumi Aksara, Jakarta, 1993,
hal. 105
11

2. Kemandirian belajar siswa Siswa

Kemandirian : Keadaan berdiri sendiri, tidak bergantung pada orang


7
lain.

Belajar berasal dari kata ajar dan mendapatkan awalan be, Ajar sendiri

mempunyai arti Petunjuk yang diberikan kepada orang supaya diketahui, (diturut),

jika mendapat awalan be (Belajar) artinya menjadi :

Berusaha untuk memperoleh dan mendapatkan ilmu atau membaca,

berubahnya tingkah laku yang berasal dari suatu tindakan tertentu atau

8
pengalaman tertentu.

D. RUMUSAN MASALAH

Agar pembahasan yang ada dalam penelitian ini sesuai dengan target

yang diinginkan dan untuk mempermudah Penulis dalam memilih data yang

didapat, maka penelitian menetapkan rumusan masalah sebagai berikut:

1. Bagaimana Profesionalisme Guru di MI Al-As’ad Brambang Diwek

Jombang?

2. Bagaimana kemandirian belajar siswa di MI Al-As’ad Brambang Diwek

Jombang ?

3. Seberapa besar Pengaruh Profesionalisme Guru terhadap kemandirian belajar

siswa di MI Al-As’ad Brambang Diwek Jombang ?

7Prof. Dr. Wjs. Poerwodarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Pn.


Balai Pustaka, Jakarta, 2006, hal, 744

8 Ibid, hal. 15
12

E. TUJUAN PENELITIAN

Tujuan merupakan motivasi pencapaian dari sebuah aksi, begitu juga

dengan penelitian ini, tujuan penelitian dalam penulisan skripsi ini adalah :

1. Untuk mengetahui bagaimana Profesionalisme Guru di MI Al-As’ad

Brambang Diwek Jombang.

2. Untuk Mengetahui bagaimana kemandirian belajar siswa di MI Al-As’ad

Brambang Diwek Jombang.

3. Untuk mengetahui Seberapa besar Pengaruh Profesionalisme Guru terhadap

kemandirian belajar siswa di MI Al-As’ad Brambang Diwek Jombang.

F. MANFAAT PENELITIAN

Setiap pembahasan secara ilmiah tentu ada manfaatnya, adapun manfaat

yang diharapkan dari penelitian ini adalah : a. Bagi Penulis

[1]. Penulis dapat mengetahui Profesionalisme Guru di MI Al-As’ad Brambang

Diwek Jombang.

[2]. Penulis dapat mengetahui Kemandirian belajar siswadi MI Al-As’ad

Brambang Diwek Jombang.

[3]. Penulis dapat mengetahui sejauh mana Pengaruh Profesionalisme Guru

dengan Kemandirian belajar siswadi MI Al-As’ad Brambang Diwek Jombang

b. Bagi MI Al-As’ad Brambang Diwek Jombang.

Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai parameter bagaimana

Profesionalisme Guru siswa agar kemandirian belajar siswa jadi meningkat. c.

Bagi Ilmu Pengetahuan


13

Hasil penelitian ini dapat melengkapi khazanah ilmu pengetahuan

khususnya mengenai Pengaruh Profesionalisme Guru Terhadap kemandirian

belajar siswa.

G. METODE PEMBAHASAN

Sesuai dengan tujuan penelitian pada pembahasan ini, penggunaan

berbagai metode untuk mengumpulkan data dalam penyusunan skripsi dengan

melakukan penelitian pada kajian kepustakaan, pengambilan populasi dan

penentuan sampel serta pada lembaga pendidikan terkait, sehingga tercetuslah

sebuah judul : Pengaruh Profesionalisme Guru terhadap kemandirian belajar siswa

di MI Al-As’ad Brambang Diwek Jombang. Sehingga dalam penelitian ini dapat

dipertanggungjawabkan secara teoritis maupun empiris. Adapun metode-metode

pembahasan yang dipakai dalam penyusunan skripsi ini adalah sebagai berikut :

a) Metode Deduksi

Dalam hal ini Prof. Drs. Sutrisno Hadi, MA menyatakan :

“Apa saja yang dipandang benar pada suatu peristiwa dalam suatu kelas

atau jenis, berlaku juga dalam semua peristiwa termasuk dalam suatu

9
kelas atau jenis tersebut”

Kemudian dalam kaitannya dengan pembahasan ini penulis berusaha

untuk mengantisipasi data-data yang sifatnya teoritis dan data yang sifatnya

umum dengan menggunakan silogisme.

9 Prof. Drs. Sutrisno Hadi, MA, Metode Research I, Andi Offset,


Yogyakarta, Cet. XXX, 2000, hal. 36.
14

Alat Untuk mencapai Pengetahuan dengan jalan deduksi disebut


Silogisme (Syillogisme dalam bahasa Yunani disebut Konklusi),
silogisme adalah suatu argumentasi yang terdiri dari dari tiga buah
preposisi (Prepositio dalam bahasa latin berarti suatu statemen yang
menolak atau membenarkan suatu perkara). Dalam Preposisi yang
pertama disebut premis Mayor dan premis minor, sedangkan preposisi
yang ketiga disebut kesimpulan atau konklusi atau konsekuen. (dalam
bahasa Prancis kuno disebut Premisse yang diambil dari bahasa latin
10
Baru Premissa yang berarti asumsi atau dasar argumentasi).

b) Metode Induksi

Yang dimaksud dengan metode induksi adalah berangkat dari faktor

khusus peristiwa konkret atau peristiwa-peristiwa khusus kemudian


11
ditarik generalisasi-generalisasi yang mempunyai sifat umum.

Pendapat diatas dapat dipahami bahwa metode induksi adalah proses

menjeneralisasikan dari fakta umum ke fakta khusus. Dalam hal ini penulis

menggunakan Induksi sistim Bacon, dimana penulis mengamati serta meneliti

sendiri hakekat suatu gejala yang ada. Adapun kaitannya dengan pembahasan ini

penulis mengumpulkan data yang ada hubungannya dengan masalah yang akan

dibahas, kemudian disimpulkan secara umum.

c) Metode Komparatif

Metode komparatif adalah suatu pembahasan dengan mengadakan

perbandingan antara pengetahuan yang satu dengan yang lainnya lalu diambil

suatu pengertian yang baru. Sebagaimana pendapat Muhdhor Ahmad dalam

bukunya Etika Dalam Islam ia menyebutkan :

10 Ibid, hal.37

11 Ibid, hal.46
15

Metode komparatif yaitu cara pemutusan dengan membandingkan


12
pendapat-pendapat yang tertera dari berbagai buku.

H. HIPOTESIS

Hipotesis pada hakekatnya adalah kesimpulan yang sifatnya sementara

dan belum valid. Namun walaupun sifatnya sementara hipotesis tidak boleh begitu

saja dilontarkan, sebagaimana Prof. Dr. Wjs. Poerwodarminta dalam Kamus

Umum Bahasa Indonesia menyatakan :

Hipotesis adalah suatu yang dianggap benar untuk alasan atau


13
mengutarakan pendapat, meskipun kebenarannya belum dibuktikan.

Menurut Prof. Drs. Sutrisno Hadi, MA, Hipotesis adalah harus

dirumuskan sebagai berikut :

Sebagai konklusi, sudah tentu hipotesis tidak dibuat dengan semena-


mena, melainkan atas dasar pengetahuan ini seBagi an didapat dari hasil-
hasil serta problematik-problematik yang timbul dari penyelidikan-
penyelidikan yang mendahului dan renungan-renungan atas dasar
pertimbangan-pertimbangan yang masuk akal, atau dari hasil
14
penyelidikan yang eksploratif yang dilakukan sendiri.

Hipotesis harus dalam bentuk statemen dan tidak boleh dalam bentuk
15
pertanyaan.

12
Muhdhor Ahmad, Etika Dalam Islam, Al Ikhlas, Surabaya, 1983,
hal.11

13 Prof, Drs. Perwodarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Pn.


Balai Pustaka, Jakarta, 2006.,hal. 9

14 Prof. Drs. Sutrisno Hadi, MA, Op Cit, hal. 63

15 Ibid, hal. 63
16

Suatu hal lain lagi dalam hubungannya dengan persoalan hipotesis ini

perlu kita perhatikan secara seksama apa yang disebut hipotesis nihil (Null

Hypthesis) adalah :

Suatu hipotesis yang menyatakan kesamaan atau tidak adanya perbedaan


antara dua kelompok (atau lebih) tentang suatu perkara yang
dipersoalkan, dan suatu hipotesis bukan hipotesis nihil disebut hipotesis
16
Alternatif.

Adapun hipotesis yang diajukan oleh penulis disini adalah sebagai

berikut :
1. HipotesisKerja ( Ha ) : Ada pengaruh yang signifikan Profesionalisme

Guru terhadap Kemandirian belajar siswa di MI

Al-As’ad Brambang Diwek Jombang

2. HipotesisNol ( Ho ) : TidakAdapengaruhyangsignifikan

Profesionalisme Guru terhadap Kemandirian

belajar siswa di MI Al-As’ad Brambang Diwek

Jombang

I. SISTEMATIKA PEMBAHASAN

Dalam penulisan skripsi ini penulis berusaha menyajikan sebaik mungkin

dengan menata berdasarkan tata aturan penelitian yang berlaku serta berdasarkan

petunjuk dari bapak Dosen pembimbing.

Penulisan skripsi ini penulis jadikan lima bab dan masing-masing bab

mempunyai sub bab pembahasan secara sistimatis. Adapun pembahasan bab demi

bab tersebut adalah :

16 Ibid, hal. 64
17

BAB I : PENDAHULUAN dalam bab ini menguraikan tentang : Latar

Belakang Masalah, Penegasan Judul, Pembatasan Masalah, Rumusan Masalah,

Tujuan Penelitian, Manfaat Penelitian, Metode Pembahasan, Hipotesis


dan

Sistematika Pembahasan.

BAB II : LANDASAN TEORI dalam bab ini secara teoritis penulis

membahas tentang variabel yang ada dalam penelitian, yaitu : Tinjauan Tentang

Profesionalisme Guru, Pengertian Guru, Pengertian Profesionalisme Guru,

Pembinaan dan Peningkatan Profesionalisme Guru, Tinjauan tentang kemandirian

belajar siswa, Pembalikan Makna Belajar, Belajar dengan Mengalami,

Mengembangkan Keterampilan Sosial, Kognitif, dan Emosional, Pengaruh

Profesionalisme Guru dengan Kemandirian belajar siswa di MI Al-As’ad

Brambang Diwek Jombang

BAB III METODE PENELITIAN yang menguraikan tentang : Jenis

Penelitian, Penentuan Obyek Penelitian, Populasi dan Sampel, Metode /

Instrumen Penelitian, Metode Dokumentasi, Metode Angket, serta Pengujian

Instrumen / Metode Analisa Data.

BAB IV LAPORAN HASIL PENELITIAN dimana pada bab ini penulis

menguraikan hasil penelitian lapangan tentang : Latar Belakang Obyek Penelitian,

Penyajian data dan analisis data.

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN serta dilengkapi dengan

DAFTAR PUSTAKA dan LAMPIRAN-LAMPIRAN.

Anda mungkin juga menyukai