Indonesia dan diwariskan kepada anak cucu melalui proses panjang secara turun-temurun dan
mengandung nilai-nilai budaya, Tradisi atau adat sakral. Dimana pencak silat di dalamnya
terkandung unsur olah raga, beladiri dan seni serta tersimpan pula ilmu-ilmu lahir maupun
batin. konon pada zaman kerajaan tempo dahulu, pencak silat merupakan silat yang ampuh
bagi tentara kerajaan untuk membela diri dan mempertahankan kedaulatan kerajaan. Dalam
bahasa jawa Adapun pencak silat dapat diartikan= “ ngepenke kawikcasanaan”
(mengutamakan kebijaksanaan) SILAT= “ sinau” (belajar) “ilmu” “laku” (kegiatan)
“amanah” “Tuhan”(allah).
Di dalam mendirikan Organisasi Olah Raga Bela Diri Pencak Silat Cempaka Putih, Bapak
Wagiman mendapat dukungan dari para pendekarnya antara lain:
Didalam pengembangan telah disiapkan pula para pelatih yang handal antara lain:
1.Drs. Kusdi
2.Sugeng Haryono
3.Syukurno
4.Suprapto
5.Totok Suprapto
Dengan modal Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga Organisasi Olah Raga Bela
Diri Pencak Silat Cempaka Putih dan dengan landasan spiritual: ketaqwaan terhadap Tuhan
Yang Maha Esa, landasan moral: pancasila, serta landasan operasional : panca setia cempaka
putih, dengan semboyan WIRO YUDHO WICAKSONO dan lambing bunga cempaka
berwarna putih berdiri dengan kokoh dan mekar berkembang di seluruh wilayah persada
nusantara
Di dalam pengembangannya Organisasi Olah Raga Bela Diri Cempaka Putih berpedoman
pada ajaran-ajaran dan kaidah-kaidah pencak silat, serta menyesuaikan dengan perkembangan
zaman yang serba maju dan modern.
Dengan bekal ilmu lahir maupun batin yang dikembangkan dan dituangkan dalam bentuk
bahan pendidikan dan pembinaan yang meliputi:
Kini Organisasi Olah Raga Bela Diri Pencak Silat Cempaka Putih telah berkembang pesat
dan telah mencetak jutaan pendekar yang terdiri dari tiga tingkatan warga, yaitu:
.
Tingkat Warga Dwija
1Etimologi
2Sejarah
3Istilah dalam Pencak Silat
4Aspek dan bentuk
5Senjata
6Tingkat kemahiran
7Tata tertib pencak silat
8Nilai positif pencak silat
9Pencak silat di dunia
10Padepokan pencak silat Indonesia
11Aliran dan perguruan di Indonesia
12Organisasi pencak silat
13Lihat pula
14Referensi
15Referensi
16Pranala luar
Etimologi[sunting | sunting sumber]
Laga final Pencak Silat putri kelas E 65kg - 70kg. Di sebelah kiri Amelia Roring (Indonesia -
medali emas) vs Siti Rahmah Mohamed Nasir (Malaysia - medali perak). 17 November 2011
pada SEA Games 2011 di Padepokan Pencak Silat Taman Mini Indonesia Indah, Jakarta
Timur, Indonesia.
Istilah silat dikenal secara luas di Asia Tenggara, akan tetapi khusus di Indonesia istilah yang
digunakan adalah pencak silat. Istilah ini digunakan sejak 1948 untuk mempersatukan
berbagai aliran seni bela diri tradisional yang berkembang di Indonesia.[3] Nama "pencak"
digunakan di Jawa, sedangkan "silat" digunakan di Sumatra, Semenanjung Malaya dan
Kalimantan. Dalam perkembangannya, kini istilah "pencak" lebih mengedepankan unsur seni
dan penampilan keindahan gerakan, sedangkan "silat" adalah inti ajaran bela diri dalam
pertarungan.
Sejarah[sunting | sunting sumber]
Bela diri yang berkembang di Nusantara didasarkan pada upaya pertahanan suku menghadapi
musuh, seperti tari perang Nias.
Nenek moyang bangsa Indonesia telah memiliki cara pembelaan diri yang ditujukan untuk
melindungi dan mempertahankan kehidupannya atau kelompoknya dari tantangan alam.
[4]
Mereka menciptakan bela diri dengan menirukan gerakan binatang yang ada di alam
sekitar, seperti gerakan kera, harimau, ular, atau burung elang.[4] Asal mula ilmu bela diri di
nusantara ini kemungkinan juga berkembang dari keterampilan suku-suku asli Indonesia
berburu dan berperang dengan menggunakan parang, perisai, dan tombak, misalnya seperti
dalam tradisi suku Nias yang hingga abad ke-20 relatif tidak tersentuh pengaruh luar.
Silat diperkirakan menyebar di kepulauan nusantara semenjak abad ke-7 masehi, akan tetapi
asal mulanya belum dapat ditentukan secara pasti. Kerajaan-kerajaan besar,
seperti Sriwijaya dan Majapahit disebutkan memiliki pendekar-pendekar besar yang
menguasai ilmu bela diri dan dapat menghimpun prajurit-prajurit yang kemahirannya dalam
pembelaan diri dapat diandalkan.[4] Peneliti silat Donald F. Draeger berpendapat bahwa bukti
adanya seni bela diri bisa dilihat dari berbagai artefak senjata yang ditemukan dari masa
klasik (Hindu-Budha) serta pada pahatan relief-relief yang berisikan sikap-sikap kuda-kuda
silat di candi Prambanan dan Borobudur. Dalam bukunya, Draeger menuliskan bahwa senjata
dan seni beladiri silat adalah tak terpisahkan, bukan hanya dalam olah tubuh saja, melainkan
juga pada hubungan spiritual yang terkait erat dengan kebudayaan Indonesia. Sementara itu
Sheikh Shamsuddin (2005)[5] berpendapat bahwa terdapat pengaruh ilmu bela diri
dari Cina dan India dalam silat. Hal ini karena sejak awal kebudayaan Melayu telah mendapat
pengaruh dari kebudayaan yang dibawa oleh pedagang maupun perantau dari India, Cina, dan
mancanegara lainnya.
Pencak silat telah dikenal oleh sebagian besar masyarakat rumpun Melayu dalam berbagai
nama.[6] Di semenanjung Malaysia dan Singapura, silat lebih dikenal dengan nama alirannya
yaitu gayong dan cekak.[6] Di Thailand, pencak silat dikenal dengan nama bersilat, dan di
Filipina selatan dikenal dengan nama pasilat.[6] Dari namanya, dapat diketahui bahwa istilah
"silat" paling banyak menyebar luas, sehingga diduga bahwa bela diri ini menyebar dari
Sumatra ke berbagai kawasan di rantau Asia Tenggara.[6]
Tradisi silat diturunkan secara lisan dan menyebar dari mulut ke mulut, diajarkan dari guru ke
murid, sehingga catatan tertulis mengenai asal mula silat sulit ditemukan. Sejarah silat
dikisahkan melalui legenda yang beragam dari satu daerah ke daerah lain.
Legenda Minangkabau, silat (bahasa Minangkabau: silek) diciptakan oleh Datuk Suri Diraja
dari Pariangan, Tanah Datar di kaki Gunung Marapi pada abad ke-11.
[7]
Kemudian silek dibawa dan dikembangkan oleh para perantau Minang ke seluruh Asia
Tenggara. Demikian pula cerita rakyat mengenai asal mula silat aliran Cimande, yang
mengisahkan seorang perempuan yang mencontoh gerakan pertarungan antara harimau dan
monyet. Setiap daerah umumnya memiliki tokoh persilatan (pendekar) yang dibanggakan,
misalnya Prabu Siliwangi sebagai tokoh pencak silat Sunda Pajajaran,[8] Hang Tuah panglima
Malaka,[9] Gajah Mada mahapatih Majapahit[butuh rujukan] dan Si Pitung dari Betawi.[butuh rujukan]
Perkembangan silat secara historis mulai tercatat ketika penyebarannya banyak dipengaruhi
oleh kaum penyebar agama Islam pada abad ke-14 di nusantara. Kala itu pencak silat
diajarkan bersama-sama dengan pelajaran agama di surau atau pesantren. Silat menjadi
bagian dari latihan spiritual.[5] Dalam budaya beberapa suku bangsa di Indonesia, pencak silat
merupakan bagian tak terpisahkan dalam upacara adatnya. Misalnya kesenian
tari Randai yang tak lain adalah gerakan silek Minangkabau kerap ditampilkan dalam
berbagai perhelatan dan acara adat Minangkabau. Dalam prosesi pernikahan
adat Betawi terdapat tradisi "palang pintu", yaitu peragaan silat Betawi yang dikemas dalam
sebuah sandiwara kecil. Acara ini biasanya digelar sebelum akad nikah, yaitu sebuah drama
kecil yang menceritakan rombongan pengantin pria dalam perjalanannya menuju rumah
pengantin wanita dihadang oleh jawara (pendekar) kampung setempat yang dikisahkan juga
menaruh hati kepada pengantin wanita. Maka terjadilah pertarungan silat di tengah jalan
antara jawara-jawara penghadang dengan pendekar-pendekar pengiring pengantin pria yang
tentu saja dimenangkan oleh para pengawal pengantin pria.
Silat lalu berkembang dari ilmu beladiri dan seni tari rakyat, menjadi bagian dari pendidikan
bela negara untuk menghadapi penjajah asing.[9] Dalam sejarah perjuangan
melawan penjajah Belanda, tercatat para pendekar yang mengangkat senjata,
seperti Panembahan Senopati, Sultan Agung, Pangeran Diponegoro, Teuku Cik Di
Tiro, Teuku Umar, Imam Bonjol, serta para pendekar wanita, seperti Sabai Nan Aluih, Cut
Nyak Dhien, dan Cut Nyak Meutia.[4]
Silat saat ini telah diakui sebagai budaya suku Melayu dalam pengertian yang luas,[10] yaitu
para penduduk pulau Sumatra dan Semenanjung Malaka, serta berbagai kelompok etnik
lainnya yang menggunakan lingua franca bahasa Melayu di berbagai daerah
di Jawa, Bali, Kalimantan, Sulawesi, dan pulau-pulau lain-lainnya yang juga
mengembangkan beladiri ini.
Menyadari pentingnya mengembangkan peranan pencak silat maka dirasa perlu adanya
organisasi pencak silat yang bersifat nasional, yang dapat pula mengikat aliran-aliran pencak
silat di seluruh Indonesia. Pada tanggal 18 Mei 1948, terbentuklah Ikatan Pencak Silat
Indonesia (IPSI)[4] Kini IPSI tercatat sebagai organisasi silat nasional tertua di dunia.
Pada 11 Maret 1980, Persatuan Pencak Silat Antarbangsa (Persilat) didirikan atas prakarsa
Eddie M. Nalapraya (Indonesia), yang saat itu menjabat ketua IPSI.[6] Acara tersebut juga
dihadiri oleh perwakilan dari Malaysia, Singapura, dan Brunei Darussalam.[6] Keempat
negara itu termasuk Indonesia, ditetapkan sebagai pendiri Persilat.[6]
Beberapa organisasi silat nasional antara lain adalah Ikatan Pencak Silat Indonesia (IPSI) di
Indonesia, Persekutuan Silat Kebangsaan Malaysia (PESAKA) di Malaysia, Persekutuan
Silat Singapore (PERSIS) di Singapura, dan Persekutuan Silat Brunei Darussalam (PERSIB)
di Brunei. Telah tumbuh pula puluhan perguruan-perguruan silat di Amerika Serikat dan
Eropa. Silat kini telah secara resmi masuk sebagai cabang olahraga dalam pertandingan
internasional, khususnya dipertandingkan dalam SEA Games.
Kuda-kuda: adalah posisi menapak kaki untuk memperkukuh posisi tubuh. Kuda-
kuda yang kuat dan kukuh penting untuk mempertahankan posisi tubuh agar tidak mudah
dijatuhkan. Kuda-kuda juga penting untuk menahan dorongan atau menjadi dasar titik
tolak serangan (tendangan atau pukulan).
Sikap dan Gerak: Pencak silat ialah sistem yang terdiri atas sikap (posisi) dan gerak-
gerik (pergerakan). Ketika seorang pesilat bergerak ketika bertarung, sikap dan
gerakannya berubah mengikuti perubahan posisi lawan secara berkelanjutan. Segera
setelah menemukan kelemahan pertahanan lawan, maka pesilat akan mencoba
mengalahkan lawan dengan suatu serangan yang cepat.
Langkah: Ciri khas dari Silat adalah penggunaan langkah. Langkah ini penting di
dalam permainan silat yang baik dan benar. Ada beberapa pola langkah yang dikenali,
contohnya langkah tiga dan langkah empat.
Kembangan: adalah gerakan tangan dan sikap tubuh yang dilakukan sambil
memperhatikan, mewaspadai gerak-gerik musuh, sekaligus mengintai celah pertahanan
musuh. Kembangan utama biasanya dilakukan pada awal laga dan dapat bersifat
mengantisipasi serangan atau mengelabui musuh. Seringkali gerakan kembangan silat
menyerupai tarian atau dalam maenpo Sunda menyerupai ngibing (berjoget). Kembangan
adalah salah satu bagian penilaian utama dalam seni pencak silat yang mengutamakan
keindahan gerakan.
Buah: Pencak Silat memiliki macam yang banyak dari teknik bertahan dan
menyerang. Secara tradisional istilah teknik ini dapat disamakan dengan buah. Pesilat
biasa menggunakan tangan, siku, lengan, kaki, lutut dan telapak kaki dalam serangan.
Teknik umum termasuk tendangan, pukulan, sandungan, sapuan, mengunci, melempar,
menahan, mematahkan tulang sendi, dan lain-lain.
Jurus: pesilat berlatih dengan jurus-jurus. Jurus ialah rangkaian gerakan dasar untuk
tubuh bagian atas dan bawah, yang digunakan sebagai panduan untuk menguasai
penggunaan teknik-teknik lanjutan pencak silat (buah), saat dilakukan untuk berlatih
secara tunggal atau berpasangan. Penggunaan langkah, atau gerakan kecil tubuh,
mengajarkan penggunaan pengaturan kaki. Saat digabungkan, itulah Dasar Pasan, atau
aliran seluruh tubuh.
Sapuan dan Guntingan: adalah salah satu jenis buah (teknik) menjatuhkan musuh
dengan menyerang kuda-kuda musuh, yakni menendang dengan menyapu atau menjepit
(menggunting) kaki musuh, sehingga musuh kehilangan keseimbangan dan jatuh.
Kuncian: adalah teknik untuk melumpuhkan lawan agar tidak berdaya, tidak dapat
bergerak, atau untuk melucuti senjata musuh. Kuncian melibatkan gerakan menghindar,
tipuan, dan gerakan cepat yang biasanya mengincar pergelangan tangan, lengan, leher,
dagu, atau bahu musuh.
Senjata[sunting | sunting sumber]
Selain bertarung dengan tangan kosong, pencak silat juga mengenal berbagai macam senjata.
antara lain:
Keris: sebuah senjata tikam berbentuk pisau kecil, sering dengan bilah bergelombang
yang dibuat dengan melipat berbagai jenis logam bersama-sama dan kemudian cuci
dalam asam.
Kujang: pisau khas Sunda
Samping/Linso: selendang kain sutera dipakai sekitar pinggang atau bahu, yang
digunakan dalam penguncian teknik dan untuk pertahanan terhadap pisau.
Galah: tongkat yang terbuat dari kayu, baja atau bambu .
Cindai: kain, biasanya dipakai sebagai sarung atau dibungkus sebagai kepala gigi.
Tradisional perempuan menutupi kepala mereka dengan kain yang dapat diubah menjadi
cindai.
Tongkat/Toya: tongkat berjalan yang dibawa oleh orang tua, pengelana dan musafir.
Kipas: kipas lipat tradisional yang kerangkanya dapat terbuat dari kayu atau besi.
Kerambit/Kuku Machan: sebuah pisau berbentuk seperti cakar harimau yang bisa
diselipkan di rambut perempuan.
Sabit/Clurit: sebuah sabit, biasa digunakan dalam pertanian, budidaya dan panen
tanaman.
Sundang: sebuah ujung pedang ganda Bugis, sering berombak-berbilah
Rencong: belati Aceh yang sedikit melengkung
Tumbuk Lada: belati kecil yang juga sedikit melengkung mirip rencong, secara
harfiah berarti "penghancur lada".
Gada: senjata tumpul yang terbuat dari baja.
Tombak: lembing yang terbuat dari bambu, baja atau kayu yang kadang-kadang
memiliki bulu yang menempel di dekat pisau.
Parang/Golok: pedang pendek yang biasa digunakan dalam tugas sehari-hari seperti
memotong saat menyisir hutan.
Trisula: tiga sula atau senjata bercabang tiga
Chabang/Cabang: trisula bergagang pendek, secara harfiah berarti "cabang".
1. Pemula, diajari semua yang tahap dasar seperti kuda-kuda,teknik tendangan, pukulan,
tangkisan, elakan,tangkapan, bantingan, olah tubuh, maupun rangkaian jurus dasar
perguruan dan jurus standar IPSI
2. Menengah, ditahap ini, pesilat lebih difokuskan pada aplikasi semua gerakan dasar,
pemahaman, variasi, dan disini akan mulai terlihat minat dan bakat pesilat, dan akan
disalurkan kepada masing-masing cabang, misalnya Olahraga & Seni Budaya.
3. Pelatih, hasil dari kemampuan yang matang berdasarkan pengalaman di tahap
pemula, dan menengah akan membuat pesilat melangkah ke tahap selanjutnya, di
mana mereka akan diberikan teknik - teknik beladiri perguruan, di mana teknik ini
hanya diberikan kepada orang yang memang dipercaya, dan mampu secara teknik
maupun moral, karena biasanya teknik beladiri merupakan teknik tempur yang sangat
efektif dalam melumpuhkan lawan / sangat mematikan .
4. Pendekar, merupakan pesilat yang telah diakui oleh para sesepuh perguruan, mereka
akan mewarisi ilmu-ilmu rahasia tingkat tinggi.
Pesilat Vietnam memperagakan permainan golok.
Pencak Silat telah berkembang pesat selama abad ke-20 dan telah menjadi olahraga kompetisi
di bawah penguasaan dan peraturan Persilat (Persekutuan Pencak Silat Antara Bangsa, atau
The International Pencak Silat Federation). Pencak silat sedang dipromosikan oleh Persilat di
beberapa negara di seluruh 5 benua, dengan tujuan membuat pencak silat menjadi
olahraga Olimpiade. Persilat mempromosikan Pencak Silat sebagai kompetisi olahraga
internasional. Hanya anggota yang diakui Persilat yang diizinkan berpartisipasi pada
kompetisi internasional.
Kini, beberapa federasi pencak silat nasional Eropa bersama dengan Persilat telah mendirikan
Federasi Pencak Silat Eropa. Pada 1986 Kejuaraan Dunia Pencak Silat pertama di luar Asia,
mengambil tempat di Wina, Austria.
Pencak silat pertama kali diperkenalkan dan dipertandingan dalam Pesta Olahraga Asia
Tenggara (SEA Games) ke-14 tahun 1987 di Jakarta. Hingga kini cabang olahraga pencak
silat rutin dipertandingkan dalam SEA Games. Pada tahun 2002 Pencak Silat diperkenalkan
sebagai bagian program pertunjukan di Asian Games di Busan, Korea Selatan untuk pertama
kalinya. Kejuaraan Dunia terakhir ialah pada 2010 mengambil tempat di Jakarta, Indonesia
pada Desember 2010.
Selain dari upaya Persilat yang membuat pencak silat sebagai pertandingan olahraga, masih
ada banyak aliran-aliran tua tradisional yang mengembangkan pencak silat dengan nama
Silek dan Silat di berbagai belahan dunia. Diperkirakan ada ratusan aliran (gaya) dan ribuan
perguruan.
1. Sebagai pusat informasi, pendidikan, penyajian dan promosi berbagai hal yang
menyangkut Pencak Silat.
2. Sebagai pusat berbagai kegiatan yang berhubungan dengan upaya pelestarian,
pengembangan, penyebaran dan peningkatan citra Pencak Silat dan nilai-nilainya.
3. Sebagai sarana untuk memperkukuh persatuan dan kesatuan masyarakat Pencak Silat
Indonesia.
4. Sebagai sarana untuk mempererat persahabatan di antara masyarakat Pencak Silat di
berbagai negara.
5. Sebagai sarana untuk memasyarakatkan 2 kode etik manusia Pencak Silat, yakni:
Prasetya Pesilat Indonesia dan Ikrar Pesilat
GENDER
engan penafsiran berbeda-beda kerap menimbulkan respon yang tidak proporsional. Semoga
artikel ini dapat menjadi salah satu referensi untuk menyamakan persepsi tentang pengertian
gender. Kata gender dalam bahasa Indonesia dipinjam dari bahasa Inggris yang secara harfiah
“gender” berarti jenis kelamin (John M.Echols dan Hasan Sadily, Kamus Inggris Indonesia,
(Jakarta: Gramedia, cet XII, 1983), h. 265).
Gender adalah suatu konsep kultural yang berupaya membuat pembedaan (distinction) dalam
hal peran, perilaku, mentalitas, dan karakteristik emosional antara laki-laki dan perempuan
yang berkembang dalam masyarakat (Helen Tierney (ed), Women’s Studies Encyclopedia,
Vol 1, New York: Green Wood Press, h.153)
Mengacu pada pendapat Mansour Faqih, Gender adalah suatu sifat yang melekat pada laki-
laki maupun perempuan yang dikonstruksi secara sosial maupun kultural. Misalnya bahwa
perempuan itu lemah lembut, cantik, emosional, dan sebagainya. Sementara laki-laki
dianggap kuat, rasional, jantan, perkasa, dan tidak boleh menangis. Ciri dan sifat itu sendiri
merupakan sifat-sifat yang dapat dipertukarkan. Perubahan ciri dan sifat tersebut dapat terjadi
dari waktu ke waktu dan dari tempat ketempat yang lain, juga perubahan tersebut bisa terjadi
dari kelas ke kelas masyarakat yang berbeda. Semua hal yang dapat dipertukarkan antara sifat
perempuan dan laki-laki yang bisa bisa berubah, baik itu waktu maupun kelas (Mansour
Faqih, Analisis Gender dan Transformasi Sosial (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), h. 8-9)
Masih dalam buku yang sama, Mansour faqih mengungkapkan bahwa sejarah perbedaan
gender terjadi melalui proses yang sangat panjang. Perbedaan Gender terbentuk oleh banyak
hal yang disosialisasikan, diajarkan, yang kemudian diperkuat dengan mengkonstruksinya
baik secara sosial maupun kultural. Melalui proses panjang tersebut pada akhirnya diyakini
sebagai sesuatu yang kodrati baik bagi kaum laki-laki maupun perempuan, hal ini kemudian
direfleksikan sebagai sesuatu yang dianggap alami dan menjadi identitas gender yang baku.
Identitas gender adalah definisi seseorang tentang dirinya, sebagai laki-laki atau perempuan,
yang merupakan interaksi kompleks antara kondisi biologis dan berbagai karakteristik
perilaku yang dikembangkan sebagai hasil proses sosialisasi.
Pengertian gender yang lebih kongkrit dan lebih operasional dikemukakan oleh Nasarudin
Umar bahwa gender adalah konsep kultural yang digunakan untuk memberi identifikasi
perbedaan dalam hal peran, perilaku dan lain-lain antara laki-laki dan perempuan yang
berkembang di dalam masyarakat yang didasarkan pada rekayasa sosial (Nasarudin Umar,
Argumen Kesetaraan Gender Perspektif Al-Qur’an, Jakarta : Paramadina, 2001,h.35)
Lebih lanjut Nasarudin Umar menjelaskan bahwa penentuan peran gender dalam berbagai
sistem masyarakat, kebanyakan merujuk kepada tinjauan biologis atau jenis kelamin.
Masyarakat selalu berlandaskan pada diferensiasi spesies antara laki-laki dan perempuan.
Organ tubuh yang dimiliki oleh perempuan sangat berperan pada pertumbuhan kematangan
emosional dan berpikirnya. Perempuan cenderung tingkat emosionalnya agak lambat.
Sementara laki-laki yang mampu memproduksi dalam dirinya hormon testosterone membuat
ia lebih agresif dan lebih obyektif.
Istilah gender menurut Oakley (1972) berarti perbedaan atau jenis kelamin yang bukan
biologis dan bukan kodrat Tuhan. Sedangkan menurut Caplan (1987) menegaskan bahwa
gendermerupakan perbedaan perilaku antara laki-laki dan perempuan selain dari struktur
biologis, sebagian besar justru terbentuk melalui proses social dan cultural. Gender dalam
ilmu sosial diartikan sebagai pola relasi lelaki dan perempuan yang didasarkanpada ciri sosial
masing-masing (Zainuddin, 2006: 1).
Menurut para ahli lainnya seperti Hilary M. Lips mengartikan gender sebagai harapan-
harapan budaya terhadap laki-laki dan perempuan (cultural expectations for women and
men). H. T. Wilson mengartikan gender sebagai suatu dasar untuk menentukan perbedaan
sumbangan laki-laki dan perempuan pada kebudayaan dan kehidupan kolektif yang sebagai
akibatnya mereka menjadi laki-laki dan perempuan. Sedangkan Linda L. Lindsey
menganggap bahwa semua ketetapan masyarakat perihal penentuan seseorang sebagai laki-
laki dan perempuan adalah termasuk bidang kajian gender (What a given society defines as
masculine or feminim is a component of gender). Elaine Showalter menegaskan bahwa
gender lebih dari sekedar pembedaan laki-laki dan perempuan dilihat dari konstruksi sosial-
budaya (NasaruddinUmar, 2010: 30).
Dari pengertian gender menurut para ahli di atas dapat diambil kesimpulan bahwa gender
adalah seperangkat sikap, peran, tanggung jawab, fungsi, hak, dan perilaku yang melekat
pada diri laki-laki dan perempuan akibat bentukan budaya atau lingkungan masyarakat
tempat manusia itu tumbuh dan dibesarkan. Artinya perbedaan sifat, sikap dan perilaku yang
dianggap khas perempuan atau khas laki-laki atau yang lebih populer dengan istilah feminitas
dan maskulinitas, terutama merupakan hasil belajar seseorang melalui suatu proses sosialisasi
yang panjang di lingkungan masyarakat, tempat ia tumbuh dan dibesarkan
Kesetaraan Gender adalah kalimat yang seringkali kita dengar terucap dalam diskusi ataupun
tertulis dalam sejumlah referensi. Apa arti kesetaraan gender? Untuk menjelaskannya, berikut
ini kami ketengahkan sejumlah istilah yang erat kaitannya dengan problematika gender selain
istilah tersebut.
A. Pengarusutamaan Gender
B. Kesenjangan Gender
Dikatakan terjadi kesenjangan gender apabila salah satu jenis kelamin berada dalam keadaan
tertinggal dibandingkan jenis kelamin lainnya (Laki-laki lebih banyak dari perempuan atau
sebaliknya)
C. Kesetaraan Gender
Kesetaraan gender adalah kesamaan kondisi bagi laki-laki dan perempuan untuk memperoleh
kesempatan serta hak-haknya sebagai manusia, agar mampu berperan dan berpartisipasi
dalam kegiatan politik, hukum, ekonomi, sosial budaya, pendidikan dan pertahanan dan
keamanan nasional (hankamnas) serta kesamaan dalam menikmati hasil pembangunan.
Terwujudnya kesetaraan gender ditandai dengan tidak adanya diskriminasi antara perempuan
dan laki-laki, dan dengan demikian mereka memiliki akses, kesempatan berpartisipasi,
kontrol atas pembangunan dan memperoleh manfaat yang setara dan adil dari pembangunan.
Adapun indikator kesetaraan gender adalah sebagai berikut:
1. AKSES; yang dimaksud dengan aspek akses adalah peluang atau kesempatan dalam
memperoleh atau menggunakan sumber daya tertentu. Mempertimbangkan bagaimana
memperoleh akses yang adil dan setara antara perempuan dan laki-laki, anak perempuan dan
laki-laki terhadap sumberdaya yang akan dibuat. Sebagai contoh dalam hal pendidikan bagi
anak didik adalah akses memperoleh beasiswa melanjutkan pendidikan untuk anak didik
perempuan dan laki-laki diberikan secara adil dan setara atau tidak.
2. PARTISIPASI; Aspek partisipasi merupakan keikutsertaan atau partisipasi seseorang
atau kelompok dalam kegiatan dan atau dalam pengambilan keputusan. Dalam hal ini
perempuan dan laki-laki apakah memiliki peran yang sama dalam pengambilan keputusan di
tempat yang sama atau tidak.
3. KONTROL; adalah penguasaan atau wewenang atau kekuatan untuk mengambil
keputusan. Dalam hal ini apakah pemegang jabatan tertentu sebagai pengambil keputusan
didominasi oleh gender tertentu atau tidak.
4. MANFAAT; adalah kegunaan yang dapat dinikmati secara optimal. Keputusan yang
diambil oleh sekolah memberikan manfaat yang adil dan setara bagi perempuan dan laki-laki
atau tidak.
D. Keadilan Gender
Keadilan gender adalah suatu proses dan perlakuan adil terhadap perempuan dan laki-laki.
Dengan keadilan gender berarti tidak ada pembakuan peran, beban ganda, subordinasi,
marginalisasi dan kekerasan terhadap perempuan maupun laki-laki.
Ketidakadilan gender (gender inequalities) merupakan sistem dan struktur di mana baik kaum
laki-laki dan perempuan menjadi korban dari sistem tersebut. Ketidakadilan gender menurut
beberapa pakar timbul dalam bentuk:
1. Stereotype
Pelabelan atau penandaan yang seringkali bersifat negatif secara umum dan melahirkan
ketidakadilan. Sebagai contoh, perempuan sering digambarkan emosional, lemah, cengeng,
tidak rasional, dan sebagainya. Stereotype tersebut yang kemudian menjadikan perempuan
selama ini ditempatkan pada posisi domestik, kerapkali perempuan di identikan dengan
urusan masak, mencuci, dan seks (dapur, sumur, dan kasur).
2. Kekerasan (violence)
Kekerasan berbasis gender, kekerasan tersebut terjadi akibat dari ketidak seimbangan posisi
tawar (bargaining position) atau kekuasaan antara perempuan dan laki-laki. Kekerasan terjadi
akibat konstruksi peran yang telah mendarah daging pada budaya patriarkal yang
menempatkan perempuan pada posisi lebih rendah. Cakupan kekerasan ini cukup luas,
diantaranya eksploitasi seksual, pengabaian hak-hak reproduksi, trafficking, perkosaan,
pornografi, dan sebagainya.
3. Marginalisasi
4. Subordinasi
Penomorduaan (subordinasi) ini pada dasarnya merupakan keyakinan bahwa jenis kelamin
tertentu dianggap lebih penting atau lebih utama dibanding jenis kelamin lainnya (Leli
Nurohmah dkk, Kesetaraan Kemajemukan dan Ham, Jakarta: Rahima, h. 13). Hal ini
berakibat pada kurang diakuinya potensi perempuan sehingga sulit mengakses posisi-posisi
strategis dalam komunitasnya terutama terkait dengan pengambilan kebijakan.
Adanya anggapan bahwa perempuan memiliki sifat memelihara dan rajin serta tidak cocok
untuk menjadi kepala keluarga berakibat bahwa semua pekerjaan domestik rumah tangga
menjadi tanggung jawab perempuan (Mansour Faqih, Analisis Gender dan Transformasi
Sosial, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007, h.21). Untuk keluarga miskin perempuan selain
bertanggung jawab terhadap pekerjaan domestik, mereka juga mencari nafkah sebagai
sumber mata pencarian tambahan keluarga, ini menjadikan perempuan harus bekerja ekstra
untuk mengerjakan kedua bebannya.