Anda di halaman 1dari 9

See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.

net/publication/343499279

Mengenal kilas Balik Qanun Meukuta Alam

Article · August 2020

CITATIONS READS
0 75

1 author:

Imadul Auwalin
Syiah Kuala University
41 PUBLICATIONS   1 CITATION   

SEE PROFILE

Some of the authors of this publication are also working on these related projects:

Skripsi View project

Acehnese History View project

All content following this page was uploaded by Imadul Auwalin on 07 August 2020.

The user has requested enhancement of the downloaded file.


Mengenal kilas Balik Qanun Meukuta Alam

August 07 2020

Sebatas informasi yang kami ketahui, selama ini ada beberapa naskah/buku yang didalamnya
terkandung undang-undang Kerajaan Aceh Darussalam, yakni :

1. Adat Atjeh.

Jurnal/buku ini berisi kajian terhadap peraturan-peraturan produk kesultanan Aceh yang dilakukan
dua sarjana Belanda, Prof. G.W.J. Drewes dan P. Voorhoeve.

Hasil kajian itu diterbitkan dalam bahasa Inggris di negeri Belanda tahun 1958 dalam jurnal
Verhandelingen No. XXIV dan diberi judul “Adat Atjeh”.1 (Drewes(G.W.J) and Voorhoeve (P.),
Adat Atjeh, reproduced in facsimile from a manuscript in the India Office Library, VKI, XXIV,
Den Haag, Nijhoff, 1958.). Judul ini dapat membingungkan para pembaca yang belum pernah
membacanya, karena mengira isinya tentang adat-istiadat Aceh, padahal isi sebenarnya bukanlah
demikian. Judul asli naskah ini adalah ‘Mabaiyinas Salathin”(Perintah Segala Raja-Raja) yang
disusun/editornya Ismail bin Ahmad.

Dalam Adat Atjeh berisi kumpulan perundang-undangan Kerajaan Aceh Darussalam yang
sebagian isinya dianggap berasal dari era Sultan Iskandar Muda. Kumpulan peraturan itu dapat
dibagi dalam 4 (empat) kelompok yang berbeda, yaitu :

(1). Peraturan tentang kekuasaan raja (majelis), organisasi istana serta syarat-syarat menjadi staf
istana.

(2). Riwayat ringkas para sultan yang berkuasa di Kesultanan Aceh Darussalam.

(3). Berbagai jenis upacara dan perayaan yang berlangsung sepanjang tahun di ibukota kerajaan,
yang menampilkan kebesaran dan kemakmuran Kerajaan Aceh Darussalam.

(4). Berbagai jenis beacukai dan pajak pelabuhan yang dipungut dari kapal-kapal dagang asing
yang berniaga ke Aceh. Kesemua pungutan ini disebut “Adat”.
Sejauh yang kami ketahui, jurnal/buku Adat Atjeh itu sampai kini belum diterjemahkan ke bahasa
Indonesia. Namun lampiran copy naskah asli huruf

Arab Jawi/Jawoe telah ditransliterasikan ke aksara Latin ( masih dalam bahasa Melayu lama) oleh
T.A. Sakti tahun 2002.

*Catatan kemudian: M. Adli Abdullah, Ph.D telah mengkaji naskah ini. Tahun 2019 telah
diterbitkan oleh Bandar Publishing dengan judul MA BAIN – AS-SALATIN (ADAT ACEH).

2. Adat Meukuta Alam.

Buku ini disusun Tuanku Abdul Jalil, yang diterbitkan Pusat Dokumentasi dan Informasi Aceh
(PDIA), Banda Aceh tahun 1991. Walaupun diberi judul “Adat Meukuta Alam”, namun kita yang
membaca naskah perundang-undangan saja; samasekali tidak menjumpai sebutan Meukuta Alam
atau Sultan Iskandar Muda di dalamnya. Kedua sebutan itu baru ditemukan pada catatan kaki, yang
merupakan penjelasan yang diberikan Tuanku Abdul Jalil kemudian. Beberapa peraturan atau
perundang-undangan Kerajaan Aceh Darussalam yang dimuat dalam buku ini adalah sebagai
berikut:

(1). Peraturan di dalam negeri Aceh Bandar Darussalam disalin daripada daftar Paduka Sri Sultan
Mahkota Alam Iskandar Muda.

(2). Peraturan hari besar sultan Aceh memberi karunia dan kehormatan kepada Hulubalang dan
rakyatnya.

(3). Peraturan Panglima Sagi jikalau meninggal atau ahli warisnya dan Hulubalang dalam Sagi
atau ahli warisnya dan Hulubalang dalam tanmggungan sultan Aceh Bandar Darusslam.

(4). Peraturan yang jadi makanan Panglima Sagi dan Hulubalang dalam Sagi atau Hulubalang
dalam tanggungan raja yang ada duduk dalam daerah negeri Aceh Besar.

(5). Peraturan Panglima Sagi atau Hulubalang dalam Sagi atau Hulubalang dalam tanggungan raja
yang mendapat anak.
Buku ini merupakan penyusunan kembali dari buku yang sudah terbit sebelumnya dengan judul
“Susunan Pemerintahan semasa Kesultanan Aceh” yang merupakan terjemahan Bapak Aboe
Bakar dari buku karya K.F.H. van Langen yang berjudul “De Inrichting van het Atjehsche
Staatsbestuur onder het Sultanaat”, terbit tahun 1888.

Pada penerbitan dengan judul Adat Meukuta Alam ini, Tuanku Abdul Jalil berupaya menjelaskan
istilah-istilah pangkat, gelar dan jabatan perangkat Kerajaaan Aceh yang tercantum dalam naskah
itu, sehingga mudah dipahami para pembacanya. Dalam kata pengantarnya sudah dijelaskan,
bahwa naskah Adat Meukuta Alam ini sama sekali tidak lengkap/tidak utuh. Pasalnya naskah ini
berasal dari sisa pertempuran yang dahsyat. Ketika pasukan Belanda dapat menduduki mesjid
Indrapuri tahun 1879, diantara naskah-naskah yang berserakan di situ adalah manuskrip Aceh
yang tidak utuh lagi.Perlu ditambahkan, bahwa setahunsebelumnya yaitu tahun1878, sultan
Muhammad Daud Syah yang merupakan Sultan Aceh terakhir dilantik/ditabalkan di mesjid
Indrapuri itu. Jadi, walaupun sudah diterbitkan buku yang berjudul Adat Meukuta Alam, tetapi ia
merupakan terjemahan yang berulang kali dari naskah asli yang tidak lengkap.Terjemahan pertama
ke bahasa Belanda oleh K.F.H van Langen, yang kemudian diterjemahkan ke bahasa Indonesia.

Bila kita membaca isi perundang-undangan itu, segera kita ketahui bahwa ianya bukanlah produk
undang-undang masa Sultan Iskandar Muda.Tentang adanya undang-undang warisan Sultan
Iskandar Muda sebagiannya, memang tak dipungkiri, sebab sebagian peraturan lama yang relevan
selalu dikekalkan.

Adanya jabatan Panglima Sagi merupakan bukti yang menunjukkan perundang-undang tersebut
bukan dihasilkan pada era Sultan Iskandar Muda yang salah satu gelarnya Meukuta Alam. Dalam
cacatan sejarah disebutkan, bahwa jabatan Panglima Sagi di Aceh baru dibentuk pada masa raja
perempuan Sulthanah Shafiatuddin Syah (1050 - 1086 H/1641 - 1675 M). Walaupun pemberian
judul demikian bukanlah suatu hal yang salah, namun buku ini lebih tepat berlabel “Susunan
Pemerintahan semasa Kesultanan Aceh”; seperti yang diberikan Bapak Aboe Bakar dibandingkan
judul “Adat Meukuta Alam”.
Selain itu, peraturan-peraturan Kesultanan Aceh dalam buku Adat Meukuta Alam; sudah tidak
autentik/asli lagi. Isinya telah diringkas dan diambil intinya saja. Pemberikan angka pada nomor
urut ayat-ayatnya memberi bukti ketidak aslian itu.Sejauh yang telah diteliti, pada manuskrip-
manuskrip atau naskah lama nyaris tak dijumpai penulisan nomor dengan angka/bilangan;
melainkan secara tulisan. Misalnya; pertama, kedua, dan seterusnya.

3. Tazkirah Thabaqat

Kitab ini merupakan kitab pedoman pemerintahan perdana bagi Kerajaan Aceh Darussalam.
Disusun oleh Syekh Abdullah Asyi; seiring dengan pembentukan kerajaan Aceh persatuan pada
tahun 913 H/1514 M dengan raja pertamanya Sultan Ali Ibrahim Mughayat Syah. Nama
perundang-undangan yang dikandung kitab Tazkirah Thabaqat disebut ’Qanun Syarak Kerajaan
Aceh Darussalam”.

Naskah ini sudah berkali-kali dilakukan perubahan atau amandemen, agar sesuai dengan
perkembangan zaman. Penyesuaian terbesar telah dilakukan pada masa berkuasanya Sultan
‘Alaiddin Mahmud Alqahhar ‘Ali Ri’ayat Syah(942 - 975 H).

Beberapa kali amandemen setelah itu hanya berupa sisipan sesuai kebutuhan pada masa masing-
masing sultan Aceh yang berkuasa saat itu. Penyusunan terakhir dilakukan oleh Teungku Di Mulek
alias Sayid Abdullah Jamalullail atas perintah Sultan Ibrahim Mansur Syah yang memerintah di
Kerajaan Aceh Darussalam tahun 1257 - 1287 H. Teungku Di Mulek tetap memberi judul naskah
yang disalinnya dengan judul aslinya, yakni “Tazkirah Thabaqat Almajmu‘us Sulthanis Salathin
Al-’Alam”.Setiap perubahan(amandemen) yang dilakukan para sultan terhadap perundang-
undangan pemerintah sebelumnya selalu naskahnya diberi nama Tazkirah Thabaqat, yang
bermakna “Kenangan Generasi”.Pada bagian awal Tazkirah Thabaqat, Teungku Di Mulek juga
mengutip isi Qanun Meukuta Alam, yakni mengenai cara berdirinya suatu kerajaan. Pengutipan
ini menunjukkan antara Tazkirah Thabaqat dengan Qanun Meukuta Alam adalah dua naskah yang
berbeda.
Sebagian isi Tazkirah Thabaqat memang dikandung Qanun Meukuta Alam, karena Tazkirah
Thabaqat merupakan kitab pedoman pemerintahan yang pertama bagi Kerajaan Aceh Darussalam,
yang sebagian isinya terus dikekalkan.

Sementara Qanun Meukuta Alam adalah nama perundang-undangan Kerajaan Aceh Darussalam
sejak masa Sultan Iskandar Muda sampai Sultan Muhammad Daud Syah sebagai sultan Aceh
terakhir.

Bila dikelompokkan isi Tazkirah Thabaqat terdiri dari beberapa bagian, yaitu :

(1). Nama para sultan Aceh serta masa pemerintahannya.

(2). Pentingnya ilmu pengetahuan bagi semua pemimpin Aceh.

(3). Qanun Syarak Kerajaan Aceh Darussalam.

(4). Balai atau Lembaga-lembaga pemerintahan Aceh.

(5). Persyaratan pengangkatan bagi para pejabat Kerajaan Aceh Darussalam.

(6). Bagaimana menjadi pemimpin yang adil.

Dapat ditambahkan, naskah Tazkirah Thabaqat yang ditulis dalam huruf Arab Melayu/Jawoe itu
pada tahun 1224 H/2004 M telah ditransliterasikan ke huruf Latin oleh T.A. Sakti; namun sampai
kini belum diterbitkan ( tambahan: Sekarang dalam persiapan penerbitan)
Qanun Meukuta Alam

Qanun Meukuta Alam adalah nama Undang-undang Dasar Kerajaan Aceh Darussalam.
Sejak kehadirannya qanun ini telah berkali-kali mengalamiperubahan (amandemen) yang
dilakukan pemerintahan kerajaan Aceh dengan para sultan yang silih berganti. Selain
diamemdemen, Qanun Meukuta Alam juga diberi komentar (syarahan) oleh para pakar “Hukum
Tata Negara” masa itu. Salah seorang ahlinya yang masih kita kenal namanya adalah Sayid
Abdullah Jamalullail alias Teungku Di Mulek.

Bila diamati secara seksama, naskah qanun yang telah kami transliterasikan dari huruf Jawi ke
Latin ini juga ikut dikomentari orang lainnya, namun namanya tidak ditemukan lagi dalam
halaman-halaman naskah yang tersedia.Pensyarah terakhir tersebut juga tetap memberi judul
karyanya dengan Tazkirah Thabaqat (artinya: kenangan generasi). Akibat peredaran waktu yang
cukup panjang, kita amat sulit menemukan sesuatu manuskrip dalam keadaan lengkap. Begitu pula
dengan Qanun Meukuta Alam ini.

Saat diperoleh di Perpustakaan Ali Hasjmy, Banda Aceh naskahnya memang tidak lengkap lagi.
Hanya diperoleh dari halaman 31 sampai dengan halaman 135 saja, tertulis dalam huruf Arab
Melayu/aksara Jawi. Biarpun tidak lengkap, namun naskah tersebut masih mengandung unsur-
unsur penting sebagai sebuah Undang-undang Dasar suatu kerajaan.

Mungkin dalam halaman-halaman yang hilang itulah tercantumnya nama pensyarah terakhir yang
sudah lenyap itu. Komentar ini berisi amandemen-amandemen dan pengimplementasiannya
terhadap Qanun Meukuta Alam, sesuai dengan perkembangan masa dan kebutuhan dari seorang
raja ke raja selanjutnya. Dalam komentar ini sudah terdapat penambahan-penambahan yang berupa
kata-kata atau istilah-istilah kontemporer, sehingga kalau dilihat secara sepintas naskah sudah
dipalsukan.Tetapi kalau diteliti secara mendalam, sebagai qanun yang sudah diamandemenkan
sudah tentu mengalami perubahan-perubahan dari masa ke masa.
Demikian juga terdapat kata-kata atau istilah-istilah kenegaraan yang modern di dalamnya, tidak
lebih dari penerjemahan istilah-istilah klasik ke dalam istilah-istilah kontemporer. Jika terdapat
kata-kata yang tidak wajar, seperti terdapat kata sandang “ si “ sebelum nama beberapa anggota
Majelis Mahkamah Rakyat, kalau diukur dengan zaman sekarang ini bisa dikatakan tidak
terhormat, tetapi di zaman kerajaan seorang pembesar apalagi raja sah-sah saja memanggil nama
bawahannya seperti itu.

Secara garis besar, naskah ini berisi tentang sumber-sumber qanun baik tentang syari’at Islam,
adat maupun resam. Dari sumber-sumber hukum ini dijabarkan kepada syarat-syarat, rukun-rukun,
peringatan-peringatan dan anjuran-anjuran untuk terbentuk dan langgengnya sebuah kerajaan.

Begitu pula mengenai figur-figur yang akan tampil menjadi kepala negara, aparat pemerintahan
dan rakyat. Jika disimak lebih cermat, meskipun Aceh dalam bentuk kerajaan atau kesultanan,
tetapi mempunyai Majelis Mahkamah Rakyat, maka pergantian kepala negaranya tidak terikat
sekali kepada tali keturunan dan tidak boleh bertindak dengan sewenang-wenang.

Maka dalam penafsirannya boleh saja Aceh kadang-kadang disebut sebagai sebuah kerajaan atau
kesultanan dan kadang-kadang disebut juga sebagai sebuah jumhuriyyah (republik). Akibatnya
kepala kerajaan atau kesultanan ada yang disebut raja atau sultan dan ada yang disebut rais
jumhuriyyah (presiden).

Kerajaan Aceh sebagai negara yang ditegakkan di atas hukum, tidak ada warga negaranya yang
kebal hukum, walau raja sekalipun; bahkan Sultan Iskandar Muda sendiri sebagai raja termegah
dari Kerajaan Aceh Darussalam.
Dalam pengambilan keputusan, sultan yang terkenal itu tidak pernah bertindak sendiri, tetapi
dimusyawarahkan dengan Majelis Mahkamah Rakyat. Semestinya Sultan Iskandar Muda sebagai
seorang raja yang mutlak berkuasa ia dapat saja menunjuk penggantinya jika ia wafat. Tetapi hal
ini tidak ia lakukan, ia tidak memaksa kehendak kepada rakyat baik untuk menunjukkan putrinya
menjadi raja, maupun untuk menunjukkan satu-satunya anak laki-laki dari selir yaitu Panglima
Polem untuk menjadi penggantinya.

Lebih dari itu, dalam penjabaran sumber-sumber hukum bila ada yang dirasa penting maka akan
diatur tersendiri, sehingga muncul dan diundang-undangkan apa yang disebut dengan Qanun
Meukuta Alam. Tetapi dalam komentar Teungku Di Mulek, Qanun Meukuta Alam tidak dimuat
seutuhnya. Hanya yang dimuat pengimplementasiannya menurut kebutuhan sesuai dengan
pergantian masa dari raja ke raja.

Oleh: T.A. Sakti

Alih: Imadul Auwalin/Pecinta Sejarah Aceh

View publication stats

Anda mungkin juga menyukai