Anda di halaman 1dari 7

KEMAS 10 (2) (2015) 122-128

Jurnal Kesehatan Masyarakat


http://journal.unnes.ac.id/nju/index.php/kemas

FAKTOR-FAKTOR TERJADINYA TUBERKULOSIS

Ardhitya Sejati, Liena Sofiana

Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Ahmad Dahlan

Info Artikel Abstrak


Sejarah Artikel: Kualitas pengobatan tuberkulosis di DIY berdasarkan laporan P2M, meskipun dari ta-
Diterima 2 September 2014 hun ke tahun terus meningkat namun, tetap masih rendah, yaitu angka kesembuhan
Disetujui 25 Oktober 2014 baru mencapai 84,07% (target 85%). Cakupan penemuan tuberkulosis di Puskesmas
Dipublikasikan Januari
Depok 3 dirasa masih rendah pada tahun 2011 terdapat 23 kasus, tahun 2012 19 kasus,
Keywords: sedangkan pada tahun 2013 terdapat 25 kasus. Penelitian ini bertujuan untuk mengeta-
Tuberculosis; hui faktor-faktor apa saja yang berhubungan dengan kejadian tuberkulosis di Puskesmas
residential density; Depok 3 Kabupaten Sleman. Jenis penelitian ini adalah analitik observasional dengan
smoking habit; pendekatan sampel case control yang dilakukan pada tahun 2014. Sampel penelitian ini
economic status. adalah 60 responden, dengan kasus sebanyak 20 responden, dan kontrol sebanyak 40
responden (perbandingan 1:2). Analisis data dengan menggunakan uji chi-square dan
Fisher’s exact test. Hasil menunjukkan tidak ada hubungan kepadatan hunian rumah (p
value 0,422, OR 2,250), kebiasaan merokok (p value 1,000, OR 1,000) dan status ekonomi
(p value 1,000, OR 1,123) dengan tuberkulosis di Puskesmas Depok 3 Kabupaten Sle-
man. Kesimpulannya tidak ada hubungan kepadatan hunian, kebiasaan merokok, dan
status ekonomi dengan tuberkulosis.

FATORS RELATED WITH TUBERCULOSIS

Abstract
The quality of tuberculosis treatment in the DIY province based on the report of P2M,
although from year to year keep increasing but still low, the cure rate has reached
84.07% (target of 85%). Tubeculosis detection coverage in Depok 3 primer health centre
(puskesmas) is still low, it’s seen that in 2011 there were 23 cases, 19 cases in 2012, whereas
in 2013 there were 25 cases. This study aims to determine what factors that have connection
with the incidence of tuberculosis in Depok 3 Primer Health Care of Sleman distric. This
research is an observational analytic sample case control in 2014. The study’s sample
were 60 respondents, with as many as 20 cases of respondents, and control as many as
40 respondents (ratio 1:2). Data analysis using chi-square test and Fisher’s exact test. The
result there was no relationship between the density of residential (p value 0,422, OR 2,250),
smoking habits (p value 1,000, OR 1,000), occupation and economic status (p value 1,000,
OR 1,123) with the occurrence of tuberculosis in Depok 3 Primer Primer Health Care of
Sleman distric. Conclution there was no relationship between the density of residential,
smoking habits, occupation, and economic status with tuberculosis.

© 2015 Universitas Negeri Semarang



Alamat korespondensi: ISSN 1858-1196
Jalan.Prof. Dr. Soepomo, SH, Janturan, Warungboto, Umbulharjo, Yogyakarta
(Kampus 3), Telp. 085292200039
E-mail: Ardhisejati@yahoo.co.id
KEMAS 10 (2) (2015) 122-128

Pendahuluan beberapa faktor. Faktor pertama tuberkulosis


adalah faktor umur karena insiden tertinggi
Perhatian aktivis sedunia dikejutkan penyakit tuberkulosis adalah pada usia
oleh deklarasi “kedaruratan global” (the global dewasa muda di Indonesia diperkirakan 75%
emergency) tuberculosis pada tahun 1993 dari penderita tuberkulosis adalah pada kelompok
WHO, karena sebagian besar negara-negara di usia produktif. Faktor yang kedua adalah
dunia tidak berhasil mengendalikan penyakit jenis kelamin yang lebih banyak menyerang
tuberkulosis. Hal ini disebabkan oleh angka laki-laki daripada wanita, karena sebagian
kesembuhan penderita yang berdampak pada besar mempunyai kebiasaan merokok. Faktor
tingginya penularan. Penyakit tuberkulosis ketiga adalah kebiasaan merokok yang dapat
sudah ada sejak ribuan tahun sebelum masehi. menurunkan daya tahan tubuh, sehingga
Menurut hasil penelitian, penyakit tuberkulosis mudah untuk terserang penyakit terutama pada
sudah ada sejak zaman Mesir kuno yang laki-laki yang mempunyai kebiasaan merokok
dibuktikan dengan penemuan pada mumi. (Alsagaf, 2005).
Pada tahun 1882, ilmuwan Robert Koch Faktor keempat adalah kepadatan hunian
berhasil menemukan kuman tuberkulosis, yang yang merupakan faktor lingkungan terutama
merupakan penyebab penyakit ini. Kuman ini pada penderita tuberkulosis yaitu kuman M.
berbentuk batang (basil) yang dikenal dengan tuberculosis dapat masuk pada rumah yang
nama “Mycobacterium tuberculosis”. memiliki bangunan yang gelap dan tidak ada
Tuberkulosis merupakan penyakit kronik, sinar matahari yang masuk. Faktor kelima
menular, yang disebabkan oleh Mycobacterium adalah pekerjaan yang merupakan faktor risiko
tuberculosis, yang ditandai dengan jaringan kontak langsung dengan penderita. Risiko
granulasi nekrotik (perkijauan) sebagai respons penularan tuberkulosis pada suatu pekerjaan
terhadap kuman tersebut. Penyakit ini menular adalah seorang tenaga kesehatan yang secara
dengan cepat pada orang yang rentan dan daya kontak langsung dengan pasien walaupun
tahan tubuh lemah. Diperkirakan seorang masih ada beberapa pekerjaan yang dapat
penderita tuberkulosis kepada 1 dari 10 orang menjadi faktor risiko yaitu seorang tenaga
di sekitarnya. Tuberkulosis adalah penyakit pabrik (Luthfi, 2012). Faktor keenam adalah
yang mengganggu sumberdaya manusia dan status ekonomi yang merupakan faktor utama
umumnya menyerang kelompok masyarakat dalam keluarga masih banyak rendahnya suatu
dengan golongan sosial ekonomi rendah. pendapatan yang rendah dapat menularkan
Indonesia memiliki beban penyakit pada penderita tuberkulosis karena pendapatan
tuberkulosis yang tinggi. Indonesia merupakan yang kecil membuat orang tidak dapat layak
negara pertama diantara High Burden Country memenuhi syarat-syarat kesehatan (Manalu,
(HBC) di wilayah WHO South-East Asian yang 2010).
mampu mencapai target global tuberkulosis Berdasarkan profil kesehatan DIY,
untuk deteksi kasus dan keberhasilan prevalensi tuberkulosis tahun 2011 sebesar
pengobatan pada tahun 2006. Pada tahun 2009, 168,13 dengan angka penemuan kasus (CDR)
tercatat sejumlah 294.732 kasus tuberkulosis 49,8%, sedangkan jumlah prevalensi tahun
telah ditemukan dan diobati (data awal Mei 2012 sebesar 70,65 dengan angka penemuan
2010) dan lebih dari 169.213 diantaranya kasus (CDR) 40,38%. Terbanyak di Kabupaten
terdeteksi BTA (+). Dengan demikian, case Sleman sebanyak 717 kasus. Tahun 2011,
notification rate untuk TB BTA (+) adalah 73 di Kabupaten Sleman prevalensi penyakit
per 100.000 (case detection date 73%). Rerata tuberkulosis sebesar 45,83 dengan kasus Basil
pencapaian angka keberhasilan pengobatan Tahan Asam (BTA) (+) 247 kasus, sedangkan
selama 4 tahun terakhir adalah sekitar 90% pada tahun 2012 prevalensi penyakit
dan pada kohort tahun 2008 mencapai 91%. tuberkulosis sebesar 24,13 dengan kasus BTA
Pencapaian target global tersebut merupakan (+) 173 kasus. Kabupaten Sleman menempati
tonggak pencapaian program pengendalian TB urutan pertama dari 5 kabupaten/kota yang ada
nasional yang utama. di DIY. Oleh sebab itu penyakit tuberkulosis
Kejadian tuberkulosis dipengaruhi oleh paru di Kabupaten Sleman masih merupakan

123
Ardhitya Sejati & Liena Sofiana / Faktor-Faktor Terjadinya Tuberkulosis

masalah kesehatan yang diprioritaskan oleh 60 responden, antara sampel kasus dan sampel
Dinas Kesehatan Kabupaten Sleman. Hal ini kontrol sampelnya dicocokkan telebih dahulu
dikarenakan penyakit tuberkulosis masih atau matching berdasarkan umur dan jenis
ditemukan di beberapa Puskesmas. Dari semua kelamin.
puskesmas yang ada di Kabupaten Sleman, Variabel penelitian ini adalah kepadatan
Puskesmas Depok 3 mempunyai penderita hunian rumah, kebiasaan merokok, status
tuberkulosis paru yang terbanyak yaitu 25 ekonomi, dan kejadian tubekulosis. Alat
orang. Puskesmas Depok 3 memiliki 1 wilayah dalam penelitian ini adalah check list. Checlist
kerja yang terdiri atas 20 pedukuhan. untuk mengetahui faktor-faktor terjadinya
Kualitas pengobatan tuberkulosis tuberkulosis di Puskesmas Depok 3 Kabupaten
di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) Sleman. Alat penelitian lain yang digunakan
berdasarkan laporan Pemberantasan Penyakit adalah roll meter untuk mengukur luas meter
Menular (P2M), meskipun dari tahun ke tahun untuk mengetahui kepadatan hunian rumah.
terus meningkat, namun tetap masih rendah Analisis data meliputi analisis univariat
yaitu angka kesembuhan baru mencapai dan bivariat. Analisis univariat yaitu secara
84,07% (target 85%). Penderita tuberkulosis deskriptif dengan menggunakan tabel distribusi
yang tidak sembuh atau penderita yang frekuensi. Analisis bivariat yaitu secara analitik
tidak memperoleh pengobatan karena belum untuk mengetahui hubungan antara dua
ditemukan, merupakan sumber penularan variabel dengan uji chi square dan fisher’s exact
yang mengancam pencapaian derajat kesehatan test untuk melihat besarnya risiko dengan odds
mengingat penyakit tuberkulosis disamping rasio (OR).
bisa menimbulkan kematian yang tinggi juga
menjadi timbulnya berbagai penyakit yang Hasil dan Pembahasan
fatal lain seperti HIV/AIDS, penyakit paru
obstruktif, dan lain sebagainya. Sementara Hasil analisis univariat didapatkan
itu kematian dan kesakitan akibat penyakit dengan menghitung distribusi frekuensi
infeksi saluran pernafasan, menjadi penyebab sebaran jenis kelamin dan umur berdasarkan
kematian terbesar dan memiliki kecenderungan proses maching yang disajikan dalam tabel 1.
peningkatan. Penyakit tuberkulosis memegang
peran penting kasus kesakitan dan kematian
Tabel 1. Distribusi Frekuensi Responden
penyakit saluran pernafasan tersebut dan
Menurut Jenis Kelamin dan Umur di Wilayah
bertanggungjawab terhadap kecenderungan
Kerja Puskesmas Depok 3 Tahun 2014
peningkatannya mengingat sifat penularan
dan perilaku masyarakat. Lingkup penyebab Responden
Variabel
masalah penyakit tuberkulosis di Puskesmas Jumlah Persentase
Depok 3 ini atas beberapa faktor seperti tingkat Jenis Kelamin
sosial ekonomi masyarakat, tingginya tingkat Laki-laki
36 60
kebiasaan merokok, kepadatan hunian, dan Perempuan
24 40
pekerjaan. Umur
21-30
Metode 21 35
31-40
9 15
41-50
Penelitian ini merupakan penelitian studi 6 10
51-60
observasional dengan menggunakan rancangan 21 35
≥60
penelitian kasus kontrol. Responden dalam 3 5
penelitian ini adalah orang yang melakukan Total 60 100
pemeriksaan di Puskesmas Depok 3 dengan Sumber : data primer
menggunakan tehnik total sampling yang
berjumlah 20, yang didapatkan berdasarkan Tabel 1 menunjukkan bahwa responden
pemeriksaan dokter dengan uji sputum, jumlah jenis kelamin laki-laki cenderung lebih
dengan perbandingan 1:2, sehingga didapatkan banyak dari pada jenis kelamin perempuan

124
KEMAS 10 (2) (2015) 122-128

terdiri dari 36 laki-laki dan 24 perempuan, Sebagian responden yang memiliki kebiasaan
sedangkan umur yang terbanyak berkisar pada tidak merokok kemungkinan besar adalah
umur 21-30 tahun dan 51-60 tahun dengan perokok pasif. Responden yang memiliki status
jumlah yang sama yaitu 21 responden dan ekonomi rendah dapat mengurangi daya tahan
yang paling sedikit berkisar antara ≥ 60 yaitu tubuh seseorang menjadi lemah, sehingga
3 responden. mudah terserang penyakit salah satunya
Berdasarkan hasil analisis univariat penyakit tuberkulosis.
didapatkan dengan menghitung distribusi Analisis bivariat merupakan analisis
frekuensi variabel kepadatan hunian rumah, untuk mengetahui hubungan variabel bebas
kebiasaan merokok, dan status ekonomi. Hasil dan variabel terikat. Uji statistik yang digunakan
analisis univariat dapat dilihat pada tabel 2. untuk mengetahui hubungan dua variabel ini
adalah uji chi square dan uji Fisher’s exact test.
Tabel 2. Distribusi Frekuensi Berdasarkan Berdasarkan hasil analis statistik uji Chi
Karakteristik Variabel Square antara variabel kepadatan hunian rumah
Responden dengan terjadinya tuberculosis, kebiasaan
Variabel merokok dengan terjadinya tuberkulosis, dan
n %
Kepadatan hunian status ekonomi dengan terjadinya tuberkulosis
rumah menggunakan uji analisis statistik uji Chi
8 13,3 Square dan Fisher’s Square Test semuanya
Padat
Tidak padat 52 86,6 menunjukkan tidak adanya hubungan
Kebiasaan merokok tuberkulosis di Puskesmas Depok 3 Kabupaten
Merokok 27 45 Sleman. Hal ini dapat dilihat dari nilai p value
Tidak 33 55 > 0,05.
Status Ekonomi
Berdasarkan hasil penelitian variabel
Rendah 19 31,6
Tinggi 41 68,3 kepadatan hunian rumah memperoleh nilai P
Total 60 100 value 0,422 < 0,05 berarti tidak ada hubungan
Sumber : data primer antara kepadatan hunian rumah dengan
terjadinya tuberkulosis di Puskesmas Depok
Tabel 2 menunjukkan bahwa sebagian 3 Kabupaten Sleman. Tidak terbuktinya
besar responden memiliki rumah yang tidak kepadatan hunian rumah dengan terjadinya
padat penghuninya, sehingga kecil kemungkinan tuberkulosis dikarenakan karena dari hasil
untuk terjadinya penyakit tuberkulosis. observasi diperoleh data bahwa rata- rata

Tabel 3. Hasis Analisis Bivariat Antara Variabel Kepadatan Hunian Rumah, Kebiasaan Merokok,
Pekerjaan, dan Status Ekonomi di Puskesmas Depok 3 Sleman Yogyakarta Tahun 2014
Kejadian Tuberkulosis
Total P
Variabel Kasus Kontrol OR CI
Value
N % N % N %
Kepadatan hunian
rumah
Padat 4 20 4 10 8 13,3
2,250 0,499-10,143 0,422
Tidak Padat 16 80 36 90 52 86,6
Kebiasaan merokok
Merokok 9 45 18 45 27 45
1,000 0,340-2,942 1,000
Tidak Merokok 11 55 22 55 33 55
Status Ekonomi
Tinggi 6 30 13 32,5 19 31,6
1,123 0,351-3,594 1,000
Rendah 14 70 27 67,5 41 68,3
Total 20 100 40 100 60 100
Sumber : data primer

125
Ardhitya Sejati & Liena Sofiana / Faktor-Faktor Terjadinya Tuberkulosis

kepadatan hunian rumah 45m2, hal ini masih kepada anggota keluarga yang lain. Persyaratan
memenuhi syarat kesehatan artinya luas rumah kepadatan hunian untuk seluruh rumah
masih sebanding dengan jumlah penghuninya, biasanya dinyatakan dalam m2/orang. Luas
sehingga tidak menyebabkan overcrowded dan minimum per orang sangat relatif tergantung
kemungkinan kecil untuk terkena tuberkulosis. dari kualitas bangunan dan fasilitas yang
Rumah yang cukup luas dan tidak tersedia.Untuk rumah sederhana luasnya
padat, kemungkinan tidak terdapat kuman minimum 10 m2/orang, untuk kamar tidur
M. tuberculosis yang masuk ke dalam rumah. diperlukan luas lantai minimum 3 m2/orang.
Responden yang memiliki rumah dengan Kamar tidur sebaiknya tidak dihuni lebih dari
padat penghuninya akan berisiko tertularnya 2 orang, kecuali untuk suami isteri dan anak
penyakit tuberkulosis karena sirkulasi udara dibawah 2 tahun yang biasanya masih sangat
yang padat penghuninya berpengaruh memerlukan kehadiran orang tuanya. Apabila
terhadap kelembaban rumah sehingga kuman ada anggota keluarga yang menderita penyakit
M. tuberculosis berterbangan di dalam rumah pernafasan sebaiknya tidak tidur sekamar
yang padat penghuninya. Sesuai dengan hasil dengan anggota keluarga yang lain.
penelitian yang menyatakan bahwa kepadatan Pada variabel kebiasaan merokok,
hunian rumah bukan merupakan faktor risiko memperoleh nilai p value 1,000 dan CI 0,340-
kejadian tuberkulosis paru atau tidak ada 2,942 berarti secara statistik tidak ada hubungan
hubungan antara kepadatan hunian rumah antara kebiasaan merokok dengan kejadian
dengan kejadian tuberkulosis paru (Fatimah, tuberkulosis di Puskesmas Depok 3 Kabupaten
2008). Sama halnya dengan hasil penelitian Sleman. Nilai OR 1,000, artinya merokok bukan
Rosiana (2013), bahwa kepadatan hunian tidak faktor risiko kejadian tuberkulosis. Hal ini dapat
ada hubungannya dengan kejadian TB paru terjadi karena jumlah responden yang merokok
di wilayah kerja Puskesmas Kedungmundu lebih sedikit dibandingkan dengan responden
Semarang, hal ini dikarenakan subjek kasus yang tidak merokok. Hal ini disebabkan
maupun pembanding mempunyai peluang responden yang telah diteliti pernah merokok
yang sama untuk terpapar dan menderita TB dan setelah terkena tuberkulosis responden
paru. tersebut berhenti dan tidak merokok kembali.
Nilai OR 2,250, artinya ada kemaknaan Kondisi rumah yang sebagian besar tidak
secara biologis bahwa orang yang tinggal di padat ini menyebabkan sulit untuk terkena
rumah yang padat penghuni berisiko 2,250 kali keterpaparan rokok, sehingga rokok dapat
lebih besar terkena tuberkulosis dibandingkan menyebar dengan mudah di pemukiman
orang yang tinggal dirumah yang tidak padat tersebut. Sesuai dengan hasil penelitian yang
penghuni. Penelitian lain yang dilakukan menyatakan bahwa status kebiasaan merokok
oleh Prasetyowati (2009) menunjukkan setiap hari tidak memiliki hubungan dengan
bahwa ada pengaruh kepadatan penghuni kejadian tuberkulosis dewasa di Kecamatan
terhadap terjadinya infeksi pada TB dengan Semarang Utara (Widyaswari, 2011).
besar risiko untuk terjadinya adalah 4,653 Berbeda dengan penelitian Sarwani dan
kali dibandingkan dengan yang kepadatan Nurlaela (2012), bahwa kebiasaan merokok
penghuni yang memenuhi persyaratan. berhubungan dengan kejadian TB paru
Luas lantai bangunan rumah sehat harus (p=0,022). Data menyebutkan dari 34 kasus
cukup untuk penghuni di dalamnya, artinya ada 17 orang diantaranya memiliki kebiasaan
luas lantai bangunan rumah tersebut harus merokok, gambaran perilaku merokok pada
disesuaikan dengan jumlah penghuninya kelompok kasus menunjukkan semuanya
agar tidak menyebabkan overload. Luas merokok lebih dari 10 batang per hari, bahkan
bangunan yang tidak sebanding dengan ada hampir 40% yang merokok lebih dari 20
jumlah penghuninya akan menyebabkan batang per hari. Orang yang merokok akan
overcrowded. Hal ini tidak sehat, sebab lebih berisiko terkena tuberkulosis disebabkan
disamping menyebabkan kurangnya konsumsi karena merokok dapat menggangu efektifitas
oksigen juga bila salah satu anggota keluarga sebagian mekanisme pertahanan respirasi.
terkena penyakit infeksi, akan mudah menular Merokok dalam rumah merupakan faKtor

126
KEMAS 10 (2) (2015) 122-128

risiko untuk terkena kejadian TB paru BTA pada masyarakat di Puskesmas Purwodadi
positif, polusi udara dalam ruangan dari asap I bahwasannya bahwa ada hubungan antara
rokok dapat meningkatkan risiko terinfeksi pendapatan dengan kesembuhan penderita
kuman M. tuberculosis. TB paru di Puskesmas Purwodadi I Kabupaten
Pada variabel status ekonomi Grobogan (Murtatiningsih, 2010).
memperoleh nilai p value 1,000 < 0,05 dan CI
0,351-3,594 berarti tidak ada hubungan antara Penutup
status ekonomi dengan kejadian tuberkulosis
di Puskesmas Depok 3 Kabupaten Sleman. Kesimpulan dari hasil penelitian ini
Namun nilai OR 1,123, artinya orang dengan dapat dikatakan ketiga faktor yaitu kepadatan
pendapatan keluarga di bawah UMR berisiko hunian rumah, kebiasaan merokok dan status
1,123 kali lebih besar terkena tuberkulosis ekonomi secara statistic tidak ada hubungan
dibandingkan orang dengan pendapatan yang signifikan dengan kejadian tuberkulosis
keluarga diatas UMR. Hal ini berarti variabel di Puskesmas 3 Depok Kabupaten Sleman.
status ekonomi tidak bermakna secara statistik
namun bermakna secara biologi. Hasil Ucapan Terimakasih
penelitian ini tidak sesuai dengan teori yang
ada. Tidak terbuktinya variabel status ekonomi Ucapan terimakasih disampaikan
dengan terjadinya tuberkulosis di Puskesmas kepada Puskesmas 3 Depok Kabupaten
Depok 3 Kabupaten Sleman dikarenakan P\ Sleman Yogyakarta beserta jajarannya atas
pendapatan merupakan salah satu indikator keterlaksanaannya penelitian ini.Terimakasih
untuk mengukur tingkat kesejahteraan juga diberikan kepada masyarakat di wilayah
masyarakat sebagai hasil pembangunan. kerja Puskesmas 3 Depok Kabupaten Sleman
Perubahan pendapatan akan yang menjadi sampel dalam penelitian ini.
mempengaruhi pengeluaran. Dengan
demikian, orang yang berpendapatan di bawah Daftar Pustaka
UMR dipandang sebagai ketidakmampuan dari
sisi ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar Alsagafi, H; Mukty, H.A. 2005. Dasar-Sasar
makanan dan bukan makanan yang diukur Ilmu Penyakit Paru, Surabaya: Airlangga
dari sisi pengeluaran. Jadi, penduduk dengan University Press.
status ekonomi rendah adalah penduduk yang Fatimah, Siti, 2008. Faktor Kesehatan Lingkungan
memiliki rata-rata pengeluaran per kapita per Rumah Yang Berhubungan Dengan
bulan di bawah UMR. Namun, orang yang Kejadian Tuberkulosis Di Kabupaten Cilacap
mempunyai status ekonominya rendah mampu (Kecamatan : Sidareja, Cipari, Kedungreja,
melakukan pengobatannya di Puskesmas Patimuan, Gandrungmangu, Bantarsari)
Tahun 2008. Jurnal Keperawatan Soedirman
Depok 3. Orang yang mempunyai ekonomi di
(The Soedirman Journal of Nursing), 2 (3).
bawah UMR, maka pemenuhan gizi berkurang Luthfi. 2012. Tuberkulosis Nosokomial, Jurnal
dan tidak terpenuhinya gizi makanan. Hal ini Tuberkulosis Indonesia, 8 : 30-31.
menyebabkan daya tahan tubuh seseorang Manalu, Helper Sahat P. 2010. Faktor-Faktor Yang
menjadi lemah, sehingga mudah terserang Mempengaruhi Kejadian Tuberkulosis dan
penyakit salah satunya penyakit tuberkulosis. Upaya Penanggulangannya, Jurnal Ekologi
Sesuai dengan hasil penelitian yang menyatakan Kesehatan 9 (4) : 1340 – 1346.
bahwa tidak ada hubungan antara status Murtatiningsih dan Wahyono. 2010. Faktor-Faktor
ekonomi dengan kejadian tuberkulosis anak Yang Berhubungan Dengan Kesembuhan
sehingga tidak masuk dalam kandidat perancu Penderita Tuberkulosis Paru. KEMAS 6 (1):
44-50
(Yulistyaningrum, 2010). Sejalan dengan hasil
Prasetyowati, I dan Wahyuni, C.U. 2009. Hubungan
penelitian yang menyatakan bahwa hubungan antara Pencahayaan Rumah, Kepadatan
antara tingkat ekonomi tidak bermakna atau Penguhi dan Kelembaban dan Risiko
tidak ada hubungan antara status ekonomi Terjadinya Infeksi TB Anak SD di Kabupaten
dengan kejadian tuberculosis (Setiarni, 2011). Jember. Jurnal Kedokteran Indonesia, 1 (1) :
Berbeda dengan hasil penelitian yang dilakukan 88-93.

127
Ardhitya Sejati & Liena Sofiana / Faktor-Faktor Terjadinya Tuberkulosis

Rosiana, A.M,. 2013. Hubungan Antara Kondisi Kabupaten Ketapang Kalimantan Barat,
Fisik Rumah dengan Kejadian Tuberkulosis Jurnal KESMAS, 5 :162-232.
Paru. Unnes Journal of Public Health, 2 (1): Widyaswari, Risa Nugraheni. 2011. Hubungan
1-8. Antara Jenis Kepribadian, Riwayat Diabetes
Sarwani, D., Nurlaela, S. 2012. Merokok dan Mellitus Dan Riwayat Paparan Merokok
Tuberkulosis (Studi Kasus di RS Margono Dengan Kejadian Tuberkulosis Dewasa Di
Soekarjo Purwokerto). Prosiding Seminar Wilayah Kecamatan Semarang Utara Tahun
Nasional Kesehatan, Jurusan Kesehatan 2011, Jurnal Kesehatan Masyarakat, 1 (2) :
Masyarakat FKIK UNSOED Purwokerto. 446 – 453.
Setiarni, Sri Marisya. 2011. Hubungan Antara Yulistyaningrum. 2010. Hubungan Riwayat
Tingkat Pengetahuan, Status Ekonomi Kontak Penderita Tuberculosis Paru (TB)
Dan Kebiasaan Merokok Dengan Kejadian Dengan Kejadian Tuberkulosis Anak di
Tuberkulosis Paru Pada Orang Dewasa Balai Pengobatan Penyakit Paru-Paru (BP4)
Di Wilayah Kerja Puskesmas Tuan-Tuan Purwokerto, Jurnal KESMAS, 4 : 43-47

128

Anda mungkin juga menyukai