Anda di halaman 1dari 34

DEFINISI DEPRESI

Depresi adalah gangguan mood (kondisi emosional) berkepanjangan yang mewarnai seluruh
proses mental (berpikir, berperasaan dan berperilaku) seseorang dan kesulitan untuk
berkomunikasi dengan orang lain seolah ada penghalang yang tampak atau timbul tanpa alasan
yang jelas. Depresi dapat diartikan sebagai suatu reaksi yang berlebihan terhadap suatu kejadian
yang menjadi pemicunya. Depresi juga dapat diartikan suatu jenis alam perasaan atau emosi
yang disertai komponen psikologik : rasa susah, murung, sedih, putus asa dan tidak bahagia,
serta komponen somatik: anoreksia, konstipasi, kulit lembab (rasa dingin), tekanan darah dan
denyut nadi sedikit menurun.

Depresi biasanya terjadi saat stress yang dialami oleh seseorang tidak kunjung reda.
Depresi yang dialami ini berkolerasi dengan kejadian dramatis yang baru saja terjadi atau
menimpa seseorang. Pada umumnya, mood yang secara dominan muncul adalah perasaan tidak
berdaya dan kehilangan harapan.

Depresi adalah kata yang memiliki banyak nuansa arti. Sebagian besar diantara kita
pernah merasa sedih atau jengkel, menjalani kehidupan yang penuh masalah, merasa kecewa,
kehilangan dan frustasi, yang dengan mudah menimbulkan ketidakbahagiaan dan keputusasaan.

PENYEBAB DEPRESI

1. Faktor genetik

Seseorang yang dalam keluarganya diketahui menderita depresi berat memiliki resiko
lebih besar menderita gangguan depresi daripada masyarakat pada umumnya. Gen berpengaruh
dalam terjadinya depresi, tetapi ada banyak gen di dalam tubuh kita dan tidak ada
seorangpun penelit i yang mengetahui secara pasti bagaimana gen bekerja. Dan tidak
ada bukti langsung bahwa ada penyakit depresi yang disebabkan oleh faktor keturunan.

2. Susunan kimia otak dan tubuh

Beberapa bahan kimia di dalam otak dan tubuh memegang peranan yang besar
dalam mengendalikan emosi kita. Pada orang yang depresi ditemukan adanya perubahan
dalam jumlah bahan kimia tersebut. Hormon adenalin yang memegang peranan utama
dalam mengendalikan otak dan aktivitas tubuh, tampaknya berkurang pada mereka yang
mengalami depresi. Pada wanita, perubahan hormon dihubungkan dengan kelahiran anak
dan menopause juga dapat meningkatkan risiko terjadinya depresi.

3. Susunan kimia otak dan tubuh

Beberapa bahan kimia di dalam otak dan tubuh memegang peranan yang besar
dalam mengendalikan emosi kita. Pada orang yang depresi ditemukan adanya perubahan
dalam jumlah bahan kimia tersebut. Hormon adenalin yang memegang peranan utama
dalam mengendalikan otak dan aktivitas tubuh, tampaknya berkurang pada mereka yang
mengalami depresi. Pada wanita, perubahan hormon dihubungkan dengan kelahiran anak
dan menopause juga dapat meningkatkan risiko terjadinya depresi.

4. Faktor usia

Berbagai penelitian mengungkapkan bahwa golongan usia muda yaitu remaja dan
orang dewasa lebih banyak terkena depresi. Hal ini dapat terjadi karena pada usia tersebut
terdapat tahap-tahap serta tugas perkembangan yang penting, yaitu peralihan dari masa
anak-anak kemasa remaja, remaja ke dewasa, masa sekolah ke masa kuliah atau bekerja,
serta masa pubertas hingga ke pernikahan. Namun sekarang ini usia rata-rata penderita
depresi semakin menurun, yang menunjukkan bahwa remaja dan anak-anak semakin banyak
yang terkena depresi. Survei masyarakat terakhir melaporkan adanya prevalensi yang tinggi
dari gejala-gejala depresi pada golongan usia dewasa muda yaitu 18- 44 tahun.

5. Gender

Wanita dua kali lebih sering terdiagnosis menderita depresi daripada pria. Bukan berarti
wanita lebih mudah terserang depresi, bisa saja karena wanita lebih sering mengakui adanya
depresi daripada pria. Dan dokter lebih dapat mengenali depresi pada wanita.
Bagaimanapun, tekanan pada wanita yang mengarahkan pada depresi. Misalnya, seorang
diri dirumah dengan anak-anak kecil lebih jarang ditemui pada pria daripada wanita. Ada
juga perubahan hormonal dalam siklus menstruasi yang berhubungan dengan kehamilan
dan kelahiran dan juga menopause yang membuat wanita lebih rentan menjadi depresi atau
menjadi pemicu penyakit depresi.
6. Gaya hidup

Banyak kebiasaan dan gaya hidup tidak sehat berdampak pada penyakit misalnya
penyakit jantung juga dapat memicu kecemasan dan depresi. Tingginya tingkat stress dan
kecemasan digabung dengan makanan yang tidak sehat dan kebiasaan tidur serta tidak
olahraga untuk jangka waktu yang lama dapat menjadi faktor beberapa orang yang
mengalami depresi penelitian menunjukkan bahwa kecemasan dan depresi berhubungan
dengan gaya hidup yang tidak sehat pada pasien berisiko penyakit jantung. Gaya hidup yang
tidak sehat misalnya tidur tidak teratur, makan tidak teratur, pengawet dan pewarna buatan,
kurang berolahraga, merokok, dan minum-minuman keras.

7. Penyakit fisik

Penyakit fisik dapat menyebabkan depresi. Perasaan terkejut karena mengetahui kita
memiliki penyakit serius dapat mengarahkan pada hilangnya kepercayaan diri dan
penghargaan diri, juga depresi. Alasan terjadinya depresi cukup kompleks. Misalnya,
depresi sering terjadi setelah serangan jantung, mungkin karena seseorang merasa mereka
baru saja mengalami kejadian yang dapat menyebabkan kematian atau karena mereka tiba-
tiba menjadi orang yang tidak berdaya. Pada individu lanjut usia, penyakit fisik adalah
penyebab yang paling umum terjadinya depresi.

8. Obat-obatan

Beberapa obat-obatan untuk pengobatan dapat menyebabkan depresi. Namun bukan


berarti obat tersebut menyebabkan depresi, dan menghentikan pengobatan dapat lebih
berbahaya daripada depresi.

9. Obat-obatan terlarang

Marijuana/Ganja, Heroin/ Putauw, Kokain, Ekstasi dan Sabu-sabu.

10. Sinar matahari

Kebanyakan dari kita merasa lebih baik dibawah sinar matahari daripada mendung,
tetapi hal ini sangat berpengaruh pada beberapa individu. Mereka baik-baik saja ketika musim
panas tetapi menjadi depresi ketika musim dingin. Mereka disebut menderita seasonal
affective disorder (SAD).

11. Kepribadian

Aspek-aspek kepribadian ikut pula mempengaruhi tinggi rendahnya depresi yang


dialami serta kerentanan terhadap depresi. Ada individu-individu yang lebih negative,
pesimis, juga tipe kepribadian.

PROSES TERJADINYA DEPRESI

Depresi disebabkan oleh banyak faktor antara lain : faktor heriditer dan genetik, faktor
konstitusi, faktor kepribadian pramorbid, faktor fisik, faktor psikobiologi, faktor neurologik, faktor
biokimia dalam tubuh, faktor keseimbangan elektrolit dan sebagai□nya.

Depresi biasanya dicetuskan oleh trauma fisik seperti penyakit infeksi,


pembedah□an,kecelakaan, persalinan dan sebagainya, serta fator psikik seperti kehilangan kasih
sayang atau harga diri dan akibat kerja keras.

Depresi merupakan reaksi yang normal bila berlangsung dalam waktu yang pendek dengan
adanya faktor pencetus yang jelas, lama dan dalamnya depresi sesuai dengan faktor pencetusnya.
Depresi merupakan gejala psikotik bila keluhan yang bersangkutan tidak sesuai lagi dengan realitas,
tidak dapat menilai realitas dan tidak dapat dimengerti oleh orang lain.
Penyebab depresi terbagi menjadi beberapa aspek menurut Beck yaitu :
1. Aspek Yang Dimanifestasikan Secara Emosional

a) Perasaan kesal atau patah hati (dejected mood); perasaan ini menggambarkan keadaan
sedih, bosan dan kesepian yang dialami individu. Keadaan ini bervariasi dari kesedihan
sesaat hingga kesedihan yang terus - menerus.

b) Perasaan negatif terhadap diri sendiri ; perasaan ini mungkin berhubungan dengan
perasaan sedih yang dijelaskan di atas, hanya bedanya perasaan ini khusus ditujukan
kepada diri sendiri.
c) Hilangnya keterlibatan emosional dalam melakukan pekerjaan atau hubungan dengan
orang lain ; keadaan ini biasanya disertai dengan hilangnya kepuasan diatas. Hal ini
dimanifestasikan dalam aktivitas tertentu, kurangnya perhatian atau rasa keterlibatan
emosi terhadap orang lain.
d) Kecenderungan untuk menangis diluar kemauan ; gejala ini banyak dialami oleh
penderita depresi, khususnya wanita. Bahkan mereka yang tidak pernah menangis
selama bertahun-tahun dapat bercucuran air mata atau merasa ingin menangis tetapi
tidak dapat menangis.
e) Hilangnya respon terhadap humor ; dalam hal ini penderita tidak kehilangan
kemampuan untuk mempersepsi lelucon, namun kesulitannya terletak pada kemampuan
penderita untuk merespon humor tersebut dengan cara yang wajar. Penderita tidak
terhibur, tertawa atau puas apabila mendengar lelucon.

2. Aspek depresi yang dimanifestasikan secara kognitif

a) Rendahnya evaluasi diri ; hal ini tampak dari bagaimana penderita memandang dirinya.
Biasanya mereka menganggap rendah ciri - ciri yang sebenarnya penting, seperti
kemampuan prestasi, intelegensi, kesehatan, kekuatan, daya tarik, popularitas, dan
sumber keuangannya.
b) Citra tubuh yang terdistorsi ; hal ini lebih sering terjadi pada wanita. Mereka merasa
dirinya jelek dan tidak menarik.
c) Harapan yang negatif ; penderita mengharapkan hal - hal yang terburuk dan menolak
uasaha terapi yang dilakukan.
d) Menyalahkan dan mengkritik diri sendiri ; hal ini muncul dalam bentuk anggapan
penderita bahwa dirinya sebagai penyebab segala kesalahan dan cenderung mengkritik
dirinya untuk segala kekurangannya.
e) Keragu-raguan dalam mengambil keputusan ; ini merupakan karakteristik depresi yang
biasanya menjengkelkan orang lain ataupun diri penderita. Penderita sulit untuk
mengambil keputusan, memilih alternatif yang ada, dan mengubah keputusan.

12. Aspek yang dimanifestasikan secara motivasional

Meliputi pengalaman yang disadari penderita, yaitu tentang usaha, dorongan, dan
keinginan. Ciri utamanya adalah sifat regresif motivasi penderita, penderita tampaknya
menarik diri dari aktifitas yang menuntut adanya suatu tanggung jawab, inisiatif bertindak
atau adanya energi yang kuat.

13. Aspek depresi yang muncul sebagai gangguan fisik

Meliputi kehilangan nafsu makan, gangguan tidur, kehilangan libido, dan kelelahan
yang sangat. Individu mengalami depresi jika individu mengalami gajala-gejala rasa, seperti
sedih, pesimis, membenci diri sendiri, kehilangan energi, kehilangan konsentrasi, dan
kehilangan motivasi. Selain itu individu juga kehilangan nafsu makan, berat badan
menurun, insomnia, kehilangan libido, dan selalu ingin menghindari orang lain.

Dengan demikian, dapat ditarik kesimpulan bahwa aspek depresi adalah gejala depresi
yang dapat dimanifestasikan secara emosional, kognitif, motivasional, fisik dan pencernaan,
raut wajah sedih, retardasi, dan agitasi. Gejala yang dimanifestasikan secara emosional terdiri
dari perasaan kesal atau patah hati, perasaan negatif terhadap dirinya, hilangnya rasa puas,
hilangnya keterlibatan emosional,kecenderungan untuk menangis diluar kemauan, dan
hilangnya respon terhadap humor. Sedangkan gejala yang dimanifestasikan secara kognitif
meliputi sikap menyimpang penderita, baik terhadap diri, pengalaman, dan masa depannya.
Gejala yang dimanifestasikan secara motivasional meliputi pengalaman yang disadari
penderita, yaitu tentang usaha, dorongan, dan keinginan , sedangkan gejala yang muncul
sebagai gangguan fisik apabila terjadi gangguan saraf otonom dan hipotalamus.

GEJALA-GEJALA DEPRESI

Sebelum mengenali gejala depresi, ada baiknya kita mengenal arti dari gejala. Gejala adalah
sekumpulan peristiwa, perilaku atau perasaan yang sering (namun tidak selalu) muncul pada waktu
yang bersamaan. Gejala depresi adalah kumpulan dari perilaku dan perasaan yang secara spesifik
dapat dikelompokkan sebagai depresi.
Individu yang terkena depresi pada umumnya menunjukkan gejala fisik, gejala psikis, dan
gejala sosial yang khas, seperti murung, sedih berkepanjangan, sensitif, mudah marah dan
tersinggung, hilang semangat kerja, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya konsentrasi, dan
menurunnya daya tahan, seperti berikut ini.
1. Gejala Fisik

a. Kelakuan yang aneh pada waktu tidur

b. Kelesuan – apatis – omong kosong

c. Hilangnya nafsu makan

d. Kehilangan nafsu seks

e. Penyakit-penyakit fisik yang ringan


2. Gejala Psikis

a. Kehilangan rasa percaya diri

Orang yang mengalami depresi cenderung memandang segala sesuatu dari


sisi negatif, termasuk menilai diri sendiri. Mereka senang sekali membandingkan
antara dirinya dengan orang lain. Orang lain dinilai lebih sukses, pandai, beruntung,
kaya, lebih berpendidikan, lebih berpengalaman, lebih diperhatikan oleh atasan, dan
pikiran negatif lainnya.
b. Sensitif

Orang yang mengalami depresi senang sekali mengaitkan segala sesuatu


dengan dirinya. Perasaannya sensitif sekali, sehingga sering peristiwa yang netral
jadi dipandang dari sudut pandang yang berbeda oleh mereka, bahkan disalahartikan.
Akibatnya, mereka mudah tersinggung, mudah marah, perasa, curiga akan maksud
orang lain, mudah sedih, murung, lebih suka menyendiri.

c. Merasa diri tidak berguna

Perasaan ini muncul karena mereka merasa menjadi orang yang gagal
terutama di bidang atau lingkungan yang mereka kuasai.
d. Perasaan bersalah

Mereka memandang suatu kejadian yang menimpa dirinya sebagai suatu hukuman
atau akibat dari kegagalan mereka melaksanakan tanggung jawab yang seharusnya
dikerjakan. Banyak pula yang merasa dirinya menjadi beban bagi orang lain dan
menyalahkan diri mereka atas situasi tersebut.
d. Perasaan terbebani

Banyak orang yang menyalahkan orang lain atas kesusahan yang dialaminya.
Mereka merasa terbeban berat karena merasa terlalu dibebani tanggung jawab yang
berat.
3. Gejala Sosial

Masalah depresi yang berawal dari diri sendiri pada akhirnya mempengaruhi
lingkungan dan pekerjaan atau aktivitas rutin lainnya. Lingkungan tentu akan bereaksi
terhadap perilaku orang yang depresi tersebut yang pada umumnya negatif. Problem sosial
yang terjadi biasanya berkisar pada masalah interaksi dengan rekan kerja, atasan, atau
bawahan. Masalah ini tidak hanya berbentuk konflik, namun masalah lainnya juga seperti
perasaan minder, malu, cemas jika berada di antara kelompok dan merasa tidak nyaman
untuk berkomunikasi secara normal. Mereka merasa tidak mampu untuk bersikap terbuka
dan secara aktif menjalin hubungan dengan lingkungan sekalipun ada kesempatan.

CIRI-CIRI PENDERITA DEPRESI

Ada beberapa ciri kepribadian orang-orang tertentu yang mudah terkena depresi bila
dihadapkan pada situasi yang sulit, yaitu:
1. Individu yang sangat perasa dan tidak percaya diri.

2. Merasa diawasi.

3. Cenderung menjadi korban keraguan berat.

4. Cenderung mendramatisir.

5. Jikadihadapkan situasi yang sulit dimana perasaan mereka tak


dipertimbangkan, mereka akan sedih, tidak puas, dan depresi.
6. Kepribadian histeris.

Antara orang yang normal dan orang yang mengalami depresi dapat dibedakan satu sama lain
melalui tingkah laku mereka atau ciri-ciri kepribadiannya. Ciri-ciri penderita depresi adalah sebagai
berikut:
1. Mood dalam keadaan tertekan, berbeban berat, merasa sedih yang berkepanjangan, dan
adanya perasaan kosong atau hampa.
2. Minat untuk melakukan aktivitas menjadi kurang dan tidak ada semangat dalam
melakukan apapun. Padahal biasanya minat beraktivitas sangat tinggi dan bersemangat.
3. Berat badan bertambah atau menurun sebanyak 5% dari berat badan semula (normal).
4. Pola tidur berubah. Bisa juga menderita kesulitan tidur atau insomnia, bahkan
sebaliknya yaitu merasa kebanyakan tidur.
5. Kondisi tubuh jadi cepat merasa lelah dan merasa tidak berenergi.

6. Adanya perasaan menjadi orang yang tak berguna dan tak berharga. Cenderung untuk
meremehkan diri sendiri dan putus asa.
7. Sulit berkonsentrasi dan menjadi lamban dalam berpikir.

8. Muncul keinginan untuk bunuh diri.


2.4. Patofisiologi

2.4.1. Teori Biologi


Telah dipikirkan selama berabad-abad bahwa setidaknya beberapa bentuk depresi
disebabkan oleh atau dipelihara oleh gangguan fungsi otak, dan sejak tahun 1960-an, telah
dimungkinkan untuk mempelajari proses neurobiologis tertentu yang terkait dengan etiologi
dan patogenesis gangguan mood. Beberapa penelitian telah menginformasikan penelitian di
bidang ini. Pertama, heritabilitas gangguan suasana perasaan telah menyarankan bahwa
dasar-dasar neurobiologi depresi mungkin terkait dengan gen tertentu. Kedua, pemahaman
yang lebih rinci tentang neurobiologi respons stres telah menginformasikan model stres-
diatesis interaktif dari kerentanan. Ketiga, penemuan generasi pertama penatalaksanaan
"somatik" (yaitu, ECT dan antidepresan TCA dan MAOI) pada tahun 1940-an dan 1950-an
menunjukkan target neurobiologis yang berpotensi reversibel untuk intervensi. Metodologi
untuk mempelajari neurobiologi gangguan suasana perasaan telah berkembang lebih canggih,
penelitian yang menggunakan indikator tidak langsung dari fungsi otak, seperti kadar
metabolit monoamine atau kortisolurin, plasma, atau CSF, sebagian besar telah digantikan
oleh penelitian yang dipandu secara translasi dari transkrip gen dan proteomik. Demikian
juga, pengukuran kasar fungsi regional otak , seperti rekaman potensi yang ditimbulkan atau
pola aktivitas electroencephalographic (EEG) saat bangun dan tidur, sebagian besar telah
memberikan cara untuk strategi neuroimaging yang memungkinkan aktivitas daerah atau
sirkuit saraf tertentu untuk diperiksa saat istirahat dan selama tantangan provokatif.(Sadock,
2017)
Perubahan dalam aktivitas saraf dan dalam efisiensi pemrosesan informasi dalam
masing-masing dari sebelas daerah otak yang ditunjukkan di sini dapat menyebabkan gejala
episode depresi besar. Fungsionalitas di setiap wilayah otak secara hipotesis dikaitkan dengan
konstelasi gejala yang berbeda. PFC, korteks prefrontal; BF, otak depan basal; S, striatum;
NA, nucleus accumbens; T, talamus; Hy, hipotalamus; A, amygdala; H, hippocampus; NT,
pusat neurotransmitter batang otak; SC, sumsum tulang belakang; C, serebelum.(Stahl, 2013)
(Sadock, 2017)
Gambar 4. Gejala depresi dan sirkuit di otak.(Stahl, 2013)(Sadock, 2017)

Tanda-tanda, gejala, dan pengalaman subjektif yang terkait dengan depresi telah lama
terkait disfungsi proses sistem saraf pusat dasar (SSP). Sehubungan dengan fungsi kortikal,
depresi melibatkan beberapa gangguan pemrosesan informasi. Kebanyakan orang yang
depresi secara otomatis menafsirkan pengalaman dari perspektif negatif, dan aksesnya ke
memori negatif. Keadaan depresi yang lebih parah, kognisi dan keterampilan pemecahan
masalah semakin lengkapi dengan konsentrasi yang buruk dan menurunnya kemampuan
untuk menggunakan pemikiran abstrak. Sebuah monolog virtual pikiran dan gambar negatif
tampaknya berjalan dengan autopilot, dan, tidak seperti keadaan normal kesedihan, ventilasi
ke orang kepercayaan memiliki sedikit efek yang menguntungkan. Pada kasus yang lebih
ekstrim, delusi atau halusinasi, atau keduanya, benar-benar mendistorsi pengujian realitas.
Perubahan neurokognitif ini menunjukkan disfungsi yang melibatkan hipokampus,
korteksprefrontal(PFC), amigdala dan struktur limbik lainnya.
Karakteristik depresi berdasarkan biologis lainnya melibatkan penurunan minat dan
hilangnya reaktivitas suasana hati: Aktivitas yang spontan, tujuan yang disutradarai menurun,
dan peristiwa yang seharusnya meningkatkan suasana perasaan memiliki sedikit atau tidak
berpengaruh sama sekali. Satu berkorelasi kehilangan minat adalah penurunan arti penting
penguatan. Bahkan fungsi dasar seperti nafsu makandan libido berkurang dalam depresi
berat. Anhedonia dan penurunan titik perilaku nafsu makan untuk disfungsi sirkuit saraf yang
terlibat dalam antisipasi dan penyempurnaan penghargaan, yang melibatkan thalamus,
hipotalamus, nukleus akumbens, anterior cingulate, dan PFC.(Sadock, 2017)(Marwick K. ,
2013)
Tingkat depresi yang lebih berat dan persisten, termasuk yang diklasifikasikan
sebagai gangguan depresi mayor, berhubungan dengan gangguan neurobiologis yang luas,
yang pada gilirannya terkait dengan setidaknya beberapa perbedaan yang diamati dalam
presentasi klinis dan respons terhadap perawatan khusus. Beberapa gangguan lebih baik
dipahami sebagai sifat, yang mungkin diwariskan atau diperoleh, sedangkan yang lain jelas
tergantung pada tingkatan dan dapat dipulihkan dengan pengobatan atau remisi spontan.
Beberapa kelainan yang bergantung pada tingkatan terkait dengan gangguan depresi mayor,
yang terjadi lebih sering pada pasien yang lebih tua dengan gejala yang lebih berat, termasuk
peningkatan tidur faseRapid Eye Movements (REM), pemeliharaan tidur yang buruk,
hiperkortisolisme, gangguan imunitas seluler, penurunan aliran darah otak anterior dan
metabolisme glukosa, dan peningkatan metabolisme glukosa di amigdala. Bersama-sama,
perubahan ini tampaknya mencerminkan efek progresif dari respons jangka pendek adaptif
terhadap stres berkelanjutan. Begitu bermanifestasi dalam bentuk ini, episode depresi berat
atau depresi melankolis cenderung lebih lama, lebih melumpuhkan, lebih mudah kambuh,
dan lebih mungkin mendapat manfaat dari farmakoterapi atau ECT (vis-à-vis nonspesifik atau
intervensi psikoterapi).(Sadock, 2017)(Friedman, 2014)
Hipotesis di neurotropik dari tingkat depresi dinyatakan bahwa depresi dapat
disebabkan oleh turunnya sintesis protein yang terlibat dalam neurogenesis dan plastisitas
sinaptik.Salah satu mekanisme kandidat yang telah diusulkan sebagai tempat kemungkinan
cacat dalam transduksi sinyal dari reseptor monoamina dalam depresi adalah gen target untuk
faktor neurotropik yang diturunkan dari otak (BDNF). Biasanya, BDNF menopang
kelangsungan hidup neuron otak, tetapi di bawah tekanan, gen untuk BDNF dapat ditekan.
Stres dapat menurunkan level 5HT dan dapat meningkat secara akut, kemudian secara kronis
berkurang, baik NE dan DA. Perubahan neurotransmiter monoamine bersama dengan jumlah
BDNF yang kurang dapat menyebabkan atrofi dan kemungkinan apoptosis neuron yang
rentan di hippocampus dan area otak lainnya seperti prefrontal cortex. Konsep tentang atrofi
hippocampal yang telah dilaporkan berkaitan dengan stres kronis dan depresi mayor dan
berbagai gangguan kecemasan, terutama PTSD. Untungnya, beberapa kehilangan neuronal
ini bisa reversibel. Yaitu, pemulihan transduksi sinyal transduksi yang berhubungan dengan
monoamine oleh antidepresan dapat meningkatkan BDNF dan faktor trofik lainnya dan
berpotensi mengembalikan sinapsis yang hilang. Di beberapa area otak seperti hippocampus,
tidak hanya dapat sinaps berpotensi dipulihkan, tetapi ada kemungkinan bahwa beberapa
neuron yang hilang bahkan mungkin digantikan oleh neurogenesis.(Stahl, 2013)
Neuron dari daerah hipokampus dan amygdala biasanya menekan aksis hipotalamus-
hipofisis-adrenal, jadi jika stres menyebabkan neuron hippokampus dan amigdala menjadi
atrofi, dengan hilangnya input penghambatan ke hipotalamus, ini dapat menyebabkan untuk
overaktivitas sumbu HPA. Pada depresi, kelainan pada aksis HPA telah lama dilaporkan,
termasuk peningkatan kadar glukokortikoid dan ketidakpekaan sumbu HPA terhadap
penghambatan umpan balik. Beberapa bukti menunjukkan bahwa glukokortikoid pada tingkat
tinggi bahkan bisa menjadi racun bagi neuron dan berkontribusi pada atrofi mereka di bawah
tekanan kronis. Pengobatan antidepresan baru dalam pengujian yang menargetkan reseptor
corticotropin-releasing factor 1 (CRF-1), reseptor vasopresin 1B, dan reseptor
glukokortikoid, dalam upaya untuk menghentikan dan bahkan membalikkan kelainan HPA
ini pada depresi dan stres lainnya. terkait penyakit kejiwaan.(Stahl, 2013).
Peningkatan aktivitas HPA adalah ciri respons stres mamalia dan salah satu hubungan
paling jelas antara depresi dan biologi stres kronis. Hiperkortisolemia pada depresi
menunjukkan satu atau lebih gangguan sentral berikut: penurunan tonus 5-HT penghambatan;
peningkatan drive dari NE, ACh, atau CRH; atau penurunan inhibisi umpan balik dari
hippocampus.
Bukti peningkatan aktivitas HPA terlihat pada 20 hingga 40 persen pasien rawat jalan
yang depresi dan 40 hingga 60 persen pasien rawat inap yang depresi. Pasien yang lebih tua,
terutama mereka dengan gangguan depresi yang sangat berulang atau psikotik, adalah yang
paling mungkin untuk menunjukkan peningkatan aktivitas HPA. Meskipun hypercortisolism
adalah salah satu korelasi biologis terbaik dari melankolis atau depresi endogen, hampir tidak
ada kelainan spesifik. Misalnya, periode singkat kelaparan atau beberapa minggu kurang
tidur secara parsial dapat menyebabkan hiperkortisolisme pada orang yang sehat.(Sadock,
2017)
Subkelompok pasien depresi yang lebih besar (20 hingga 30 persen) menunjukkan
respons TSH yang tumpul terhadap tantangan TRH. Jenis respons ini biasanya menunjukkan
hipertiroidisme, namun beberapa pasien depresi memiliki peningkatan hormon tiroid yang
signifikan secara klinis. Respons TSH yang tumpul pada orang eutiroid dapat diakibatkan
oleh penurunan regulasi hipofisis akibat peningkatan TRH ―drive.‖ Karena neuron
yang mengandung TRH telah diidentifikasi dalam berbagai daerah kortikal, kelainan ini
mungkin memiliki asal suprahypothalamic. Peningkatan sekresi TRH sentral, pada
gilirannya, dapat dihasilkan dari respon homeostasis terhadap penurunan neurotransmisi
noradrenergik. Manfaat terapeutik terapi ajuvan dengan 1-triiodothyronine (T3) atau hormon
tiroid lainnya dapat dimediasi oleh peredam respon homeostasis yang gagal ini. Kelainan ini
mungkin paling umum pada individu yang memiliki kemampuan untuk mengubah tiroksin
menjadi T3. Implikasi terapeutik utama dari respons TSH yang tumpul adalah bukti
peningkatan risiko
kambuh meskipun terapi antidepresan preventif. Dari catatan, tidak seperti tes penekanan
deksametason (DST), respons TSH tumpul terhadap TRH sering tidak menormalkan dengan
pengobatan yang efektif.(Sadock, 2017)

2.4.2. Teori kognitif

Teori belajar telah lama menjadi cabang psikologi perilaku. Aaron Beck, menemukan
bahwa teori psikoanalitik tidak cukup menjelaskan mimpi pasien depresi, mengembangkan
teori depresi berdasarkan mendidik pasien tentang pemikiran negatifnya, atau kognisi. Beck
dan rekannya kemudian berhasil menguji CBT, sebuah perawatan yang dibangun di atas teori
ini, dalam uji klinis. Model kognitif didasarkan pada pengakuan bahwa orang tidak objektif;
sebaliknya, persepsi idiosinkratik individu tentang peristiwa memengaruhi emosi dan
perilakunya. Individu yang depresi merasakan realitas dengan cara tertekan yang subjektif.
Pembahasan yang rumit tentang teori kognitif ada, dan penjelasan kognitif telah diperpanjang
dari asal depresif awal mereka ke berbagai psikopatologi. Brad Alford dan Beck berpendapat
bahwa teori kognitif memberikan paradigma yang komprehensif dan koheren untuk
psikopatologi.
Observasi awal Beck tentang depresi besar memiliki arti-penting dan kesederhanaan
yang patut diulang. Dia mencatat bahwa pasien yang depresi cenderung memiliki pikiran
miring dan negatif tentang :
1) diri mereka sendiri,

2) lingkungan mereka, dan

3) masa depan, suatu klaster yang ia disebut trias kognitif.

Teori kognitif telah mengeksplorasi bentuk serta isi karakteristik berpikir pasien
depresi. Tidak hanya kognisi yang condong ke negatif dan pesimis, tetapi jenis distorsi
tertentu terjadi. Orang yang depresi cenderung terlibat dalam "semua atau tidak sama sekali,"
pemikiran dikotomi: Jika segala sesuatu tidak sepenuhnya satu arah, maka mereka harus
menjadi lawan. Individu yang depresi membuat kesimpulan yang tidak berdasarkan akal
sehat (negatif) tentang peristiwa, secara selektif mendeskripsikan detail negatif di luar
konteks, generalisasi berlebihan (menyimpulkan aturan negatif dari satu kejadian),
memperbesar (negatif) dan meminimalkan (yang positif), dan mengambil peristiwa pribadi
yang mungkin tidak secara langsung tentang mereka.
Terapi kognitif, penatalaksanaan yang mengikuti dari pendekatan ini, termasuk
diskusi Socrates dan evaluasi pikiran pasien, menimbang bukti yang mendukung dan
bertentangan dengan pemikiran tersebut. Pasien secara aktif menguji hipotesis berdasarkan
pemikiran otomatis (―Saya akan gagal pada apa pun yang saya lakukan‖) dengan mencoba
berbagai perilaku yang dipilih sebagai pekerjaan rumah. Ketika pasien belajar untuk
mengenali sifat irasional dari pemikiran depresif, dia dapat menantang dan bukan sekadar
memercayainya dan dapat mulai memadamkan pemikiran tersebut, menggantikan pemikiran
irasional otomatis dengan tanggapan rasional. Hasil penelitian berulang kali menunjukkan
bahwa pendekatan ini berkhasiat dalam mengobati gangguan mood dan sindrom kejiwaan
lainnya.(Sadock, 2017), (Friedman, 2014)
Memang, individu yang depresi sering melaporkan pemikiran negatif tentang diri
mereka sendiri: "Saya pecundang," "Semua yang saya lakukan salah," "Saya lemah dan
rusak." Lingkungan tampak bermusuhan dan luar biasa: "Bahkan jika saya merasa mampu—
yang tidak saya lakukan — tidak mungkin saya bisa mengatasi apa yang harus saya lakukan
‖; ―Teman-teman saya akan bereaksi buruk jika saya mencoba berbicara‖; ―Dia akan
menolak saya.‖ Akhirnya, bukan hanya hal-hal yang terlihat suram di masa sekarang, tetapi
tidak ada prospek yang melegakan di masa depan: ―Tidak akan pernah menjadi lebih
baik.‖ Ketiga aspek dari perspektif negatif ini bertemu untuk menyediakan secara
meyakinkan, pandangan dunia yang suram dan putus asa. Pandangan ini membantu
menjelaskan mengapa pasien
depresi tidak melihat jalan keluar dari kesengsaraan dan memikirkan untuk bunuh diri. Model
kognitif, yang dikembangkan oleh Aaron Beck di University of Pennsylvania, berhipotesis
bahwa berpikir sepanjang garis negatif (misalnya, berpikir bahwa seseorang tidak berdaya,
tidak layak, atau tidak berguna) adalah ciri khas depresi klinis. Akibatnya, depresi
didefinisikan ulang dalam hal trias kognitif, yang menurut pasien menganggap diri mereka
tidak berdaya, menafsirkan sebagian besar peristiwa yang tidak menguntungkan vis-à-vis the
self, dan percaya masa depan menjadi putus asa. Dalam formulasi terbaru dalam psikologi
akademis, kognisi ini dikatakan dicirikan oleh gaya atribusi negatif yang bersifat global,
internal, dan stabil dan yang ada dalam bentuk skema mental laten yang menghasilkan
interpretasi bias dari peristiwa kehidupan. Karena model kognitif didasarkan pada
pengamatan retrospektif dari orang yang sudah depresi, hampir tidak mungkin untuk
membuktikan bahwa atribusi kausal seperti skemata mental negatif mendahului dan, oleh
karena itu, predisposisi untuk depresi klinis; mereka dapat dengan mudah dianggap sebagai
manifestasi subklinis depresi. Kepentingan teoritis dari model kognitif terletak pada jembatan
konseptual yang disediakan antara model depresi egopsikologis dan perilaku. Hal ini juga
menyebabkan sistem psikoterapi baru dan diterima secara luas yang mencoba untuk
mengubah gaya atribusi negatif, untuk meringankan keadaan depresi, dan, akhirnya, untuk
membentengi pasien dari penyimpangan di masa depan menjadi berpikir negatif, putus asa,
dan depresi.(Sadock, 2017).(Friedman, 2014)

2.4.3. Teori interpersonal

Teori interpersonal berasal dari era setelah Perang Dunia II, ketika muncul sebagai
respons sesat terhadap penekanan psikoanalisis yang lebih intrapsikis. Teori psikoanalitik
menekankan pentingnya pengalaman hidup awal, dan banyak terapis pada waktu itu melihat
struktur psikis pasien sebagai dasarnya dibentuk pada akhir masa remaja. Psikiater seperti
Adolf Meyer, Harry Stack Sullivan, Erich Fromm, dan Frieda Fromm-Reichmann menantang
teori saat ini dengan menekankan pengaruh dampak nyata dari peristiwa kehidupan saat ini
pada psikopatologi pasien mereka, yang berfokus pada pertemuan lingkungan dan
interpersonal daripada intrapsychic yang mendasarinya. drive dan struktur.
Sullivan menciptakan istilah "interpersonal" sebagai rubrik untuk mempertimbangkan
pengalaman hidup saat ini. Dia meneliti komunikasi di bidang sosial, pandangan yang lebih
"eksternal" daripada psikoanalisis tradisional.
Para peneliti mengembangkan sejumlah data terkait tentang masalah interpersonal
yang terkait dengan depresi. Sebagai contoh, penelitian menunjukkan bahwa dukungan
antarpribadi melindungi seseorang terhadap depresi: Memiliki orang yang dapat dipercaya
untuk berbicara mengurangi risiko mengembangkan episode depresi. Pemicu utama
kehidupan, termasuk kematian orang lain yang signifikan, perjuangan dalam hubungan
penting, dan pergolakan seperti perubahan status perkawinan, perumahan, status pekerjaan,
atau kesehatan fisik telah terbukti meningkatkan risiko episode depresi pada individu yang
rentan. Selain itu, onset episode depresif menyebabkan kerusakan dalam hubungan dan
fungsi sosial.
John Bowlby mendalilkan bahwa orang-orang memiliki dorongan insting yang
evolusioner untuk membentuk ikatan emosional. Bukti binatang sekarang mendukung teori
ini. Komponen dasar dari sifat manusia ini menjamin kelangsungan hidup bayi: Anak-anak
harus memiliki orang tua terdekat atau tersedia untuk makan dan perlindungan. Ketika anak-
anak berkembang, mereka mulai mengeksplorasi lingkungan mereka, secara bertahap
bergerak keluar dari "basis aman" dari sosok lampiran mereka. Gangguan dalam hubungan
pengasuhan awal ini dapat menyebabkan kerentanan gaya lampiran. Misalnya, kehilangan ibu
seseorang di dekade pertama kehidupan telah terbukti menjadi faktor risiko untuk depresi
berikutnya. Anak-anak dengan keterikatan masa kecil yang tidak aman mungkin tidak belajar
untuk meminta bantuan dari orang lain. Ketika individu yang rentan menghadapi stressor atau
merasa tidak adanya atau tidak memadainya dukungan interpersonal selama masa stres,
mereka mungkin tidak berdaya untuk merespons secara efektif dan rentan untuk
mengembangkan gejala. Lebih jauh lagi, individu dengan gaya keterikatan yang tidak aman
mungkin mengalami kesulitan dalam mengembangkan hubungan yang nyaman di mana
mereka dapat mengandalkan dukungan pada saat dibutuhkan.(Sadock, 2017),(Friedman,
2014)

2.4.4. Teori Psikoanalitik

Fitur umum untuk banyak teori psikoanalitik depresi termasuk perasaan kerentanan
narsistik yang indah yang berasal dari berbagai sumber, termasuk kehilangan awal atau
pengalaman dengan orang tua dirasakan sebagai traumatis unempathic, frustasi, atau
menolak. Rasa tidak berdaya atau ketidakmampuan dalam kaitannya dengan pengalaman-
pengalaman ini, disertai fantasi kerusakan atau pengebirian, dapat berkontribusi pada
kerentanan ini. Kerusakan yang dihasilkan dalam regulasi self-esteem adalah umum untuk
semua pasien yang depresi, yang rentan terhadap citra diri yang tidak mudah dicintai, rusak,
atau tidak memadai.
Pasien depresi merasa bahwa mereka gagal memenuhi ambisi mereka atau nilai moral
mereka dalam ego ideal, mekanisme intrapsik yang memicu rasa bersalah dalam depresi.
Banyak psikoanalis yang berhipotesis bahwa agresi yang diakibatkannya terhadap orangtua
yang frustasi, atau terhadap diri sendiri sebagai rusak, berkontribusi secara meyakinkan
terhadap kecenderungan terhadap depresi. Pada pasien yang depresi, agresi sebagian besar
diarahkan sendiri. Rasa bersalah (sadar atau tidak sadar) atau rasa malu secara teoretis
dihasilkan dari perasaan gagal yang dirasakan pasien, dengan perasaan diri yang berkurang.
Kesulitan dalam pengaturan harga diri berkontribusi pada representasi diri menjadi "buruk"
atau memalukan di luar kendali, memperparah masalah asli dalam lingkaran setan.(Sadock,
2017)(Friedman, 2014)
 Respon terhadap kehilangan / Kemarahan ke Dalam

Pemahaman psikoanalitik klasik tentang depresi dinyatakan oleh Karl Abraham, Freud,
dan Sandor Rado dan menekankan reaksi pasien yang depresi terhadap kehilangan objek,
dalam kenyataan atau dalam fantasi. Dalam formulasi-formulasi ini, respons yang sangat
besar terhadap kehilangan diyakini terjadi sebagian karena kerugian saat ini memicu
kerugian sebelumnya, kehilangan masa kanak-kanak, juga baik dari alam fantasi atau
realitas. Para penulis ini mencatat hubungan objek ambivalen atau bermusuhan pasien
yang lemah, bersama dengan lampiran objek yang ditandai oleh ketergantungan
berlebihan, ditandai dengan penekanan pada kebutuhan kepuasan dalam hubungan
emosional. Depresi besar hanya terjadi setelah ikatan ke objek hancur. Dalam Mourning
and Melancholia, Freud menyoroti cara di mana pasien depresi secara irasional
menyerang diri mereka sendiri. Dalam formulasinya, ini terjadi karena aspek objek
ambivalen menjadi terinternalisasi, atau dimasukkan, ke dalam rasa diri pasien, dan
permusuhan yang diarahkan ke objek justru diarahkan pada diri. Keadaan ini berfungsi
untuk mempertahankan hubungan dengan orang lain (objek) dalam kenyataan.
 Merasa bersalah (Guilt)

Melanie Klein mendalilkan bahwa pasien yang depresi takut bahwa mereka tidak dapat
melindungi "yang lain" yang diidealkan, atau yang baik, yang diinternalisasi dari
kerusakan, impuls yang penuh kemarahan. Meskipun menekankan sisi yang berbeda dari
depresi mayor, pandangan ini bertepatan dengan fokus Freud pada penghancuran ikatan
objek pada depresi mayor. Akibatnya, karakteristik pasien depresi yaitu rasa bersalah,
penghambatan, dan berkembangnya superego yang menghukum. Namun, tidak semua
depresi ditandai oleh rasa bersalah yang berlebihan, dan deskripsi Klein hanya berlaku
untuk subset pasien ini. Klein juga menyoroti bahaya bahwa pasien yang depresi
memprediksikan ―kemenangan‖ atas orang tua atau saudara kandung melalui kesuksesan
hidup apa pun: Keberhasilan dialami sebagai penghinaan yang agresif terhadap orang
yang dicintai atau sebagai perusakan kepada orang lain. Klein berteori bahwa idealisasi
dan devaluasi adalah "pertahanan manik" melawan rasa bersalah dan rasa kehilangan
yang dialami dalam depresi.
 Penurunan dalam Regulasi Self-Esteem

Ciri umum pasien dengan depresi berat adalah hilangnya harga diri. Namun kehilangan
harga diri dapat terjadi tanpa adanya depresi. Edward Bibring tidak setuju dengan
formulasi Klein yang menekankan pentingnya superego hukuman dan berpendapat
bahwa konflik tentang agresi dan kehilangan objek adalah penentu sekunder dalam
depresi. Dia memandang depresi sebagai akibat dari perasaan tidak berdaya, gangguan
harga diri, dan kemarahan yang diarahkan sendiri yang dipicu oleh kegagalan untuk
hidup sesuai dengan aspirasi narsistik dari setiap fase perkembangan.Brenner
menyatakan bahwa fantasi-fantasi ini disertai dengan agresi reaktif terhadap orang-orang
yang disalahkan atas pengaruh menyakitkan, dengan konsekuensi rasa bersalah.Banyak
psikoanalis kontemporer memperkuat model-model ini dalam pemahaman mereka
tentang depresi, sementara mengakui pentingnya regulasi harga diri yang lemah. Edith
Jacobson menekankan pengembangan representasi diri dan objek pada pasien depresi.
Dia mencatat kekecewaan pasien depresi dengan angka orang tua, yang mengakibatkan
devaluasi dan degradasi citra mereka dan representasi diri, terutama ketika pemisahan
yang matang belum tercapai.
 Kekurangan dari Caregiver Awal

Psikoanalis telah memberikan pribadi, wajah intrapsikik ke pengamatan epidemiologi


terkenal tentang hubungan antara depresi orangtua (terutama ibu) dan depresi berikutnya
pada anak-anak. Hans Kohut menggambarkan depresi terkait dengan pengalaman
kekosongan mendalam pada pasien yang orang tuanya tidak dapat berempati dengan
pengalaman afektif awal mereka. Begitulah yang terjadi, karena banyak orang tua dari
pasien yang depresi itu sendiri mengalami depresi. Pasien-pasien ini mendambakan
hubungan kompensasi (hubungan "selfobject", pengalaman mirroring, dan hubungan
idealisasi), membuat mereka rentan terhadap kekecewaan, karena hubungan nyata tidak
dapat memenuhi fantasi kompensasi ini.(Sadock, 2017)(Friedman, 2014)

Gambar 5. Ringkasan pengobatan lini pertama untuk depresi (NICE Guidelines


2009).(Marwick K. , 2013)

Gangguan depresi mayor biasanya merupakan gangguan episode depresi berulang


daripada satu episode. Beberapa pilihan pengobatan tersedia untuk menangani pasien dengan
gangguan depresi mayor dan daftar perawatan terus berkembang.
Depresi adalah self-limiting, dan tanpa pengobatan episode depresi pertama umumnya
akan membaik dalam waktu 6 bulan sampai 1 tahun. Namun, jalannya depresi sering kronis
dan kambuh dan sekitar 80% pasien mengalami episode depresi lebih lanjut, dengan risiko
episode masa depan meningkat dengan setiap kekambuhan. Depresi adalah salah satu faktor
risiko paling penting pada kejadian bunuh diri; tingkat bunuh diri lebih dari 20 kali lebih
besar pada pasien dengan depresi dibandingkan dengan mereka pada populasi
umum.(Sadock, 2017),(Marwick K. , 2013).

TERAPI DEPRESI
1. Terapi non farmakologi

1.1 Psikoterapi.

Psikoterapi merupakan terapi yang digunakan untuk menghilangkan


atau mengurangi keluhan-keluhan dan mencegah kambuhnya gangguan
psikologik atau pola perilaku maladaptif (Depkes, 2007). Teknik
psikoterapi tersusun seperti teori terapi tingkah laku, terapi interpersonal,
dan terapi untuk pemecahan sebuah masalah. Dalam fase akut terapi
efektif dan dapat menunda terjadinya kekambuhan selama menjalani terapi
lanjutan pada depresi ringan atau sedang. Pasien dengan menderita depresi
mayor parah dan atau dengan psikotik tidak direkomendasikan untuk
menggunakan psikoterapi. Psikoterapi merupakan terapi pilihan utama
untuk pasien dengan menderita depresi ringan atau sedang (Teter et al.
2007).

1.2 Electro Convulsive Therapy (ECT).


Elektro Convulsive Therapy adalah terapi dengan melewatkan arus
listrik ke otak. Metode terapi semacam ini sering digunakan pada kasus
depresi mayor berat atau mempunyai risiko bunuh diri yang besar dan
respon terapi dengan obat antidepresan kurang baik. Pada penderita dengan
risiko bunuh diri, ECT menjadi sangat penting karena ECT akan
menurunkan risiko bunuh diri dan dengan ECT lama rawat di rumah sakit
menjadi lebih pendek (Depkes, 2007).
Terapi ECT terdiri dari 6 – 12 treatmen dan tergantung dengan tingkat
keparahan pasien. Terapi ini dilakukan 2 atau 3 kali seminggu, dan
sebaiknya terapi ECT dilakukan oleh psikiater yang berpengalaman
(Mann. 2005). Electro Convulsive Therapy akan dikombinasikan pada
pasien yang menderita epilepsi, TBC mille, gangguan infrak jantung, dan
tekanan darah tinggi intra karsial (Depkes 2007).
2. Terapi farmakologi

Antidepresan dapat meningkatkan tingkat berfunginya otak, dan fungsi


neurotransmitter, walaupun memiliki efek tunda dan membutuhkan beberapa
minggu (rata-rata 2-8 minggu) penanganan sebelum suatu manfaat terapeutik
dicapai (Nevid dkk 2005). Adanya efek samping ketika mengkonsumsi obat
antidepresan seperti pengelihatan kabur, mulut kering, konstipasi, kesulitan buang
air kecil, mengantuk, berat badan bertambah, dan mungkin disfungsi seksual
(Durand & Barlow 2006).
Neuron noradrenergik dan serotoninergik merupakan target terapi dari
semua perawatan antidepresan. Bekerja pada mekanisme kontrol konsentrasi
sinaptik ekstraseluler dari 5-HT dan NA. Penyumbatan 5-HT dan transportasi
neuron NA dengan cara reuptake inhibitor (antidepresan trisiklik, SSRI, dan
noradrenalin reuptake inhibitor) meningkatkan konsentrasi amina sinaptik, yang
mengaktifkan reseptor post synaptik (Durand & Barlow 2006).

Obat Antidepresan

1. Antidepresan Trisiklik (TCA)

Antidepresan Trisiklik (TCA) bekerja dengan menghambat reuptake serotonin


dan norepinefrin secara tidak selektif di dalam otak (Kando et al.,2005).
Antidepresan Trisiklik hanya memberikan sedikit efek pada orang normal atau
orang yang tidak depresi. Sama dengan sebagian besar antidepresan, efek pada gangguan
depresi dapat dideteksi setelah 2 – 4 minggu setelah pemberian obat. Antidepresan
Trisiklik dapat meningkatkan pikiran, memperbaiki kewaspadaan mental, meningkatkan
aktifitas fisik dan mengurangi angka kesakitan depresi utama sampai 50-70% pasien
(Stringer 2008).
Antidepresan Trisiklik telah dipakai dengan efektif untuk mengobati depresi
unipolar. Antidepresan trisiklik diberikan pada waktu malam hari untuk mengurangi efek
sedasi yang ditimbulkanya. Sewaktu menghentikan antidepresan trisiklik, secara bertahap
dosis obat harus dikurangi secara perlahan untuk menghindari gejala putus obat seperti
mual, muntah, ansietas, dan akatisia (Stringer 2008).
Obat – obat yang termasuk antidepresan trisiklik antara lain amitriptilin dengan
dosis lazim 100-300 mg/hari, klomipramin 100-250 mg/hari, imipramin 100-300 mg/hari,
desipramin 100-300 mg/hari, nortriptilin 75-200 mg/hari,
maproptilin 75-200 mg/hari (Mann 2005).
Mekanisme aksi obat dikenal dengan pusat amina biogenik. Secara umum, amina
tersier lebih kuat dalam menghalangi reuptake NA, blokade transportasi amina terjadi
setelah terapi diberikan. Penurunan gejala belum terlihat jelas sampai 10-15 hari setelah
terapi diberikan (Buchmans et al. 2007)
Antidepresan trisiklik diabsorbsi dan dimetabolisme oleh enzim mikrosomal
hepatik secara baik melalui pemberian oral. Antidepresan trisiklik terikat kuat pada
protein plasma (80 – 95%) dan sangat liposoluble. Sebagai akibat peningkatan protein
yang tinggi, maka volume distribusi cenderung sangat besar. Trisiklik dimetabolisme oleh
2 jalur utama, transformasi inti trisiklik dan perubahan rantai samping alifatik (Buchmans
et al. 2007).
Efek samping yang umum dari antidepresan trisiklik adalah sedasi, hipotensi
ortostatik, dan gejala-gejala antikolergenik, seperti berkurangnya saliva, retensi urin,
konstipasi, dan bertambahnya denyut jantung (Buchmans et al. 2007).
2. Antidepresan tetrasiklik

Antidepresan golongan tetrasiklik contohnya mirtazapin dan maprotolin.


Mirtazapin bekerja sebagai antagonis pada autoreseptor dan heteroreseptor
adrenergik L1 di presinaptik, sehingga pengeluaran norefinefrin dan serotonin di
dalam otak dapat dipicu. Efikasi mirtazapin mirip dengan TCA dan SSRI (Mann,
2005). Maprotilin bekerja sebagai inhibitor reuptake norepinefrin dengan efek
penghambatan yang lemah terhadap reuptake serotonin (Kando et al. 2005).

Dosis lazim untuk mirtazapin adalah 30-60 mg/hari dan untuk maprotilin 75-200
mg/hari (Mann, 2005). Efek samping dari jenis antidepresan ini mirip dengan golongan
trisiklik yaitu sedasi, mulut kering, konstipasi, pandangan buram, retensi urin, takikardi,
kerusakan konduksi kardiak (Unutzer 2007).
Contoh lain dari golongan tetrasiklik adalah amoksapin yang digunakan dengan
dosis lazim 100-400 mg/hari (Karasau et al 2000). Amoksapin merupakan metabolit
antipsikosis membuat obat ini cocok bagi pasien psikosis dengan depresi. Obat ini juga
menunjukan efek sedasi dan antimuskarinik seperti antidepresan trisiklik (Gunawan
2008).
3. Inhibitor Monoamin Oksidase (MAO)

Monoamin oksidase merupakan suatu sistem enzim kompleks yang terdistribusi


luas dalam tubuh, berperan dalam dekomposisi amina biogenik, seperti norepinefrin,
epinefrin, dompamin, serotonin. MAOI menghambat sistem enzim ini, sehingga
menyebabkan peningkatan konsentrasi amin endogen (Stringer 2008).
Ada dua tipe MAO yang telah teridentifikasi, yaitu MAO-A dan MAO-B. Kedua
enzim ini memiliki substart yang berbeda serta perbedaan dalam sensitivitas terhadap
inhibitor. MAO-A cenderung memiliki aktifitas deaminasi epinefrin, norepinefrin, dan
serotonin, sedangkan MAO-B memetabolisme benzilamin dan fenetilamin. Dompamin
dan tiramin dimetabolisme oleh kedua isoenzim. Pada jaringan saraf, sistem enzim ini
mengatur dekomposisi metabolik katekolamin dan serotonin. MAOI hepatik
menginaktivasi monoamin yang bersikulasi atau yang masuk melalui saluran cerna ke
dalam sirkulasi portal misalnya tiramin (Stringer 2008).
MAO-A cenderung memiliki aktivitas deaminasi epinefrin, norepinefrin, dan
serotonin, sedangkan MAO-B memetabolisme benzilamin dan fenetilamin. Dompamin
dan tiramin dimetabolisme oleh kedua isoenzim. Semua MAOI nonselektif yang
digunakan sebagai antidepresan merupakan inhibitor ireversibel, sehingga dibutuhkan
sampai 2 minggu untuk mengembalikan metabolisme amin normal setelah penghentian
obat. Penghambat MAO dipakai untuk depresi ringan, reaktif, atipikal atau ansietas
kronik, hipersomnia, dan ketakutan (Buchmans et al, 2007).
Obat yang termasuk dalam antidepresan MAOI adalah fenelzin dengan dosis
lazim 30-90 mg/hari, tranilsipromin 20-60 mg/hari, isokarboksazid 20-60 mg/hari dan
seleginin 20-40 mg/hari. Obat-obat tersebut merupakan agen ireversible, sedangkan obat
yang termasuk agen reversibel contohnya adalah moklobemid dengan dosis lazim 300-
400 mg/hari (Mann 2005).
Informasi mengenai farmakokinetik MAOI terbatas. MAOI tampaknya
terabsorpsi baik setelah pemberian oral. Kadar puncak tranilsipromin dan fenelzin
mencapai kadar puncaknya masing-masing dalam 2 dan 3 jam. Tetapi, inhibisi MAO
maksimal terjadi dalam 5 sampai 10 hari (Buchmansn et al, 2007).
Metabolisme MAOI dari kelompok hidrazin (fenelzin, isokarboksazid)
diperkirakan menghasilkan metabolit aktif. Inaktivasi terjadi terutama melalui asetilasi.
Efek klinik fenelzin dapat berlanjut sampai 2 minggu setelah penghentian terapi. Setelah
penghentian tranilsipromin, aktivitas MAO kembali dalam 3 sampai 5 hari (dapat sampai
10 hari). Fenelzin dan isokarboksazid dieksresikan melalui urin sebagai besar dalam
bentuk metabolitnya (Buchmans et al,2007).
Efek samping yang paling serius adalah krisis hipertensi, suatu kondisi yang
mengancam jiwa, yang dapat terjadi jika pasien yang mengkonsumsi MAOI menelan
makanan dan cairan yang mengandung tiramin atau obat-obatan lain terutama reisiklik.
Gejelanya adalah sakit kepala pada oksipital, hipertensi, mual, muntah, menggigil,
berkeringat, gelisah, kaku kuduk, dilatasi pupil, demam dan konstipasi. Efek samping ini
sering terjadi namun lebih ringan dari pada yang disebabkan oleh antidepresan trisiklik
(Kando et al, 2005).
4. Selectif Serotonin Reuptake Inhibitor (SSRI)

Selectif serotonin reuptake inhibitor (SSRI) merupakan golongan obat yang secara
spesifik menghambat reuptake serotonin dan norepinefrin di dalam otak. SSRI memiliki
efikasi yang setara dengan trisiklik pada penderita depresi mayor, dapat diberikan kepada
pasien depresi yang tidak berespon terhadap TCA. Untuk kasus depresi mayor yang
pernah atau depresi melankolis, efikasi TCA lebih tinggi dari pada SSRI, namun untuk
kasus depresi bipolar, SSRI lebih tinggi efikasinya dari pada trisiklik karena trisiklik
dapat memicu terjadinya mania atau hipomania (Kando et al, 2005).
Antidepresan yang termasuk golongan SSRI antara lain fluoksetin dosis lazim 20-
40 mh/hari, paroksetin 20-40 mg/hari, sertralin 50-150 mg/hari,
fluvoksamin 100-250 mg/hari, citalopram 20-40 mg/hari, escitalopram 10-20 mg/hari.
Diantara antidepresan SSRI, metabolit aktif fluosektin mempunyai waktu paro yang
paling panjang, sehingga dapat digunakan hanya satu kali sehari (Mann 2005).
Penghambat ambilan kembali serotonin seperti misalnya fluoxetin dan sertralin
mewakili kelas antidepresan yang paling berhasil digunakan saat ini.
Efek terjadi di transpoter serotonin, meningkatkan ekstraseluler 5-HT dengan cara
menghambat reuptake nya kedalam sel presinaptik (Buchmans et al. 2007).
Fluoxetin adalah prototip dari kelas SSRI, efektif dalam pengobatan depresi
karena memiliki sedikit efek pada absorbsi noradrenalin dan menyebabkan sedikit efek
samping antimuskarinik dan kardiotoksik. Cara kerja obat tidak sepenuhnya dipahami,
diperlukan waktu beberapa minggu untuk mencapai efek klinis. Fluoxetin mudah diserap
dari saluran pencernaan setelah pemberian oral dengan konsentrasi plasma puncak setelah
6-8 jam. Ketika obat melintasi hati efek pertama adalah secara ekstensif dimetambolisme
menjadi desmethyl norfluoxetin, metabolisme utama yang lain adalah
ptrifluoromethylphenol yang diproduksi oleh odealkylation N-fluoxetin (Buchmans et al.
2007).
Efek samping yang sering ditimbulkan oleh SSRI yaitu beberapa gejala– gejala
gastrointestinal seperti nausea, muntah, dan diare. Juga menyebabkan disfungsi seksual
pada pria maupun wanita, sakit kepala, insomnia, dan fatigue, efek samping ini bersifat
sementara dan ringan (Kando et al. 2005).
5. Antidepresan Golongan Serotonin-Norepinefrin Reuptake Inhibitor (SNRI)
Antidepresan golongan serotonin-norepinefrin Reuptake Inhibitor (SNRI)
misalnya vanlafaksin, duloksetin, dan milnasipran bekerja dengan jalan menggembok
transporter monoamin secara lebih selektif dari pada antidepresan trisiklik, tidak
menimbulkan efek konduksi jantung sebagaimana yang tidak ditimbulkan oleh
antidepresan trisiklik. Aksi ganda antidepresi ini mempunyai efikasi yang lebih tinggi jika
dibandingkan dengan SSRI dan TCA dalam mengatasi remisi pada depresi yang parah
(Kando et al. 2005).
Dosis lazim vanlavaksin 75-225 mg/hari, duloksetin 30-90 mg/hari, milnasipran
100-200 mg/hari (Mann 2005). Beberapa efek samping yang umum terjadi karena
pemakaian obat jenis ini adalah kenaiakan berat badan, mulut kering, dan konstipasi.
Venlavaxine merupakan turunan phenyethylamine, mempengaruhi blokade selektif
serotonin reuptake dan noradrenalin. Selain itu,
menghambat lemah reuptake dompamin dan memiliki beberapa afinitas untuk reseptor
muskarinik, histaminergik, dan in vitro (Kando et al. 2005).
Efek samping yang paling sering termasuk yang ringan seperti mual, insomnia,
sakit kepala, mulut kering, pusing, sembelit, berkeringat dan gugup. Venlavaxine tidak
digunakan pada pasien penderita gangguan hati atau gangguan ginjal. Venlavaxine
diserap dengan baik melalui saluran pencernaan setelah pemberian oral dan mengalami
metabolisme akstensif untuk mengaktifkan metabolit O-desmethyl. Venlavaxine memiliki
protein plasma yang rendah, serta memiliki waktu paruh eliminasi sekitar 5 jam
(Buchmans et al, 2007).
6. Noradrenaline reuptake inhibitor

Noradrenaline reuptake inhibitor adalah senyawa yang mengikatkan noradrenaline


ekstraseluler dalam system saraf pusat dengan menghambat reuptake-nya ke dalam sinaps
melalui transport noradrenalin (Buchmans et al,2007).
Reboxetine adalah satu-satunya wakil dari noradrenalin reuptake inhibitor, aman
dikombinasi dengan SSRI. Reboxetine adalah inhibitor selektif dan kuat dari reuptake
noradrenalin dan juga memiliki efek pada serotonin reuptake yang lemah. Reboxetine
diserab dengan baik melalui saluran pencernaan dengan kadar plasma puncak setelah 2
jam yang dimetabolisme di CY3A4 in vivo oleh sitokrom. Jadi anti jamur azol seperti
ketokonazol atau macrolide, antibiotik erytromisin tidak boleh diberikan bersama dengan
reboxetine (Kando et al. 2005).
7. Antidepresan golongan aminoketon

Antidepresan golongan aminoketon tidak memiliki efek yang cukup besar dalam
reuptake norepinefrin dan serotonin. Satu-satunya antidepresan aminoketon yang
dipasarkan adalah bupropion, mempunyai mekanisme aksi obat yang unik. Bupropion
tidak memiliki efek yang cukup besar dalam reuptake norepinefrin dan serotonin (Kando
et al. 2005). Bupropion memiliki struktur kimia mirip amfetamin. Seperti amfetamin,
bupropion diduga bekerja lewat efek dopaminergik (Gunawan 2008).
Bupoprion mengeblok norepinefrin, namun efek pengeblokan ini lebih poten pada
reuptake dompamin. Bupropion tidak beraksi secara langsung pada sistem serotonin
(Mann, 2005). Secara umum bupropion mempunyai efikasi yang mirip dengan TCA dan
SSRI. Buropion digunakan sebagai terapi alternatif atau sebagai terapi tambahan pada
pasien yang tidak berespon terhadap SSRI. Dosis lazim bupropion adalah 150-300
mg/hari (Mann, 2005).
Efek samping yang disebabkan oleh bupropion yaitu nausea, pusing, tremor,
insomnia, muntah, konstipasi, mulut kering, dan terjadinya reaksi pada kulit. Terjadinya
kejang berkaitan dengan dosis dan dapat meningkatkan dengan adanya faktor
predisposing seperti adanya sejarah trauma kepala, dan tumor otak (Kando et al. 2005).
8. Antidepresan triazolopiridin

Antidepresan triazolopiridin, contohnya trazodon dan nefazodon mempunyai aksi


ganda terhadap saraf-saraf serotonergik yaitu sebagai antagonis 5-HT2 dan sebagai
penghambat reuptake 5-HT2, serta meningkatkan neurotransmisi 5-HT. Obat-obatan ini
tidak mempunyai afinitas terhadap reseptor histaminergik dan kolinergik. Trazodon
digunakan sebagai antidepresan yang dipakai untuk efek samping sekunder (misalnya
pusing dan sedasi) dan peningkatan availabilitas alternatif yang lebih ditoleransi (Kando
et al. 2005).
Dosis lazim untuk trazodon adalah 200-600 mg/hari dan untuk nefazodon 300-600
mg/hari (Mann, 2005). Trazodon dan nefazodon mempunyai efek antikolinergik dan efek
agonis serotonin yang minimal, tetapi dapat menyebabkan hipotensi ortostatik. Efek
samping yang sering ditimbulkan oleh trazodone yaitu sedasi, kelambanan kognitif, dan
pusing. Nefazodon sebaiknya tidak diberikan kepada pasien yang menderita penyakit
hati. Efek samping yang sering disebabkan oleh nefazodon yaitu sakit kepala, pusing
(Kando et al. 2005).

Anda mungkin juga menyukai