Anda di halaman 1dari 5

NAMA KELOMPOK :

ANANDA
ANGGIE IMELDA AMELIA
MUHAMMAD DIZAN
MUHAMMAD FAJAR JULIANTO
PRILY ABE KHARISMAYU
RAHMAD WAHYUDI ARDI

PELENGSERAN GUS DUR OLEH MPR MELALUI SIDANG ISTIMEWA


YANG DIANGGAP INKONSTITUSIONAL ATAU CACAT HUKUM

Senin, 23 Juli 2001, Pukul 01.10

Dini hari itu, tepat 18 tahun silam menjadi catatan sejarah untuk kedua kalinya Presiden
RI mengeluarkan dekret (setelah Bung Karno pada 5 Juli 1959) di Istana Merdeka, Jakarta Pusat.
Saat hari masih gelap, Gus Dur mengeluarkan dekret yang pada akhirnya justru membuat dirinya
terguling dari kursi Presiden ke-4 RI.

Ada tiga poin besar dalam dekret yang dikeluarkan Gus Dur, yaitu ;

- Pertama, membekukan DPR-MPR.


- Kedua, mengembalikan kedaulatan ke tangan rakyat dan mengambil tindakan serta
menyusun badan untuk penyelenggaraan pemilihan umum dalam waktu setahun.
- ketiga, menyelamatkan gerakan reformasi total dari hambatan unsur-unsur Orde Baru
dengan cara membekukan Partai Golongan Karya (Golkar) sambil menunggu keputusan
Mahkamah Agung.

"Untuk itu, kami memerintahkan seluruh jajaran TNI dan Polri untuk mengamankan langkah
penyelamatan Negara Kesatuan Republik Indonesia dan menyerukan seluruh rakyat Indonesia
tetap tenang serta menjalankan kehidupan sosial ekonomi seperti biasa," kata Juru Bicara
Kepresidenan Yahya C Staquf yang malam itu disuruh membaca isi dekrit.

Pemberlakuan dekret langsung ditanggapi keras lawan-lawan politik Gus Dur. Megawati
Soekarnoputri yang saat itu menjabat sebagai Wakil Presiden juga tidak sependapat dengan
langkah yang diambil cucu pendiri ormas Islam terbesar, Nahdlatul Ulama (NU) itu.
Pimpinan parlemen langsung melakukan perlawanan dengan menggelar konferensi pers. Amien
Rais yang saat itu menjabat sebagai Ketua MPR mengajak seluruh masyarakat memboikot isi
dekret. Sementara sidang istimewa MPR yang semula akan digelar pada 1 Agustus 2001
dipercepat menjadi hari itu juga atau Senin pagi.

Di MPR, pasca dekrit Presiden, Amien Rais dan pimpinan MPR lainnya mengadakan
konferensi pers pada pukul 02.45. Amien menyatakan menolak Dekrit presiden dan meminta
masyarakat tetap bekerja seperti biasa. Pukul 03.00, Ketua DPR, Akbar Tandjung mengirim
surat kepada Ketua MA untuk meminta fatwa sehubungan dengan dekrit presiden yang baru
saja diterbitkan.

Senin pagi, pukul 08.00 23 Juli 2001, MPR menggelar Sidang Istimewa dengan tiga acara.
Yaitu pidato Ketua MPR Amien Rais, pemberhentian KH. Abdurrahman Wahid sebagai
presiden dan pengangkatan Megawati Soekarnoputri sebagai Presiden. Ketiga hal ini
merupakan kesepakatan yang dicapai para pimpinan MPR dalam rapat mereka, setelah
keluarnya dekrit.

Dukungan TNI-Polri terhadap SI MPR memang tidak main-main dengan jaminan keamanan
yang mereka berikan. Dukungan TNI-Polri inilah yang membuat Gus Dur semakin lemah
posisinya di pemerintahan.

Sidang istimewa digelar untuk memakzulkan Gus Dur dari kursi presiden, meski tidak diikuti
Fraksi PKB dan PDKB. Sidang istimewa juga dilakukan untuk mengangkat Megawati sebagai
Presiden ke-5 RI sekaligus memilih Hamzah Haz yang kala itu menjabat Ketum PPP sebagai
Wakil Presiden melalui voting.

Pemakzulan Gus Dur sebenarnya telah lama disuarakan tokoh politik yang berseberangan dengan
kiai NU itu. Desakan itu diserukan seiring dengan embusan isu kasus dana Yayasan Dana Bina
Sejahtera Karyawan Badan Urusan Logistik (Yanatera Bulog) dan Bantuan Sultan Brunei.
Namun tudingan itu tak pernah terbukti.

Selain itu, lawan politik Gus Dur juga menggunakan alasan penggantian Kapolri dari Jenderal
Bimantoro kepada Jenderal Chairudin Ismail secara sepihak untuk mempercepat pelaksanaan
sidang istimewa MPR. Sebab, keputusan Gus Dur dinilai pelanggaran berat karena tidak
melibatkan DPR/MPR dalam pengangkatan Kapolri.
Empat Hal Mengapa Sidang Istimewa Penjatuhan Gus Dur Cacat Hukum

Jika ditinjau dari sudut pandang hukum, Sidang Istimewa MPR yang menjatuhkan Presiden
ke-4 RI KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) jelas cacat hukum alias inkonstitusional. Paling
tidak bisa dilihat dari empat hal.

Pertama, Sidang Istimewa itu semula diputuskan oleh sebuah sidang paripurna MPR
yang diputuskan oleh pimpinan MPR dan Fraksi-fraksi. Padahal, menurut Tata Tertib MPR
sebagaimana dimuat di dalam Tap No. II/MPR/2000, sidang paripurna itu merupakan bagian
dari sidang umum atau sidang Istimewa.

Kedua, rencana Sidang Istimewa itu semula ditetapkan karena Presiden dianggap
telah melanggar haluan negara dengan melantik Chaerudin Ismail sebagai pelaksana Tugas
Kapolri. Artinya, dengan mengangkat Chaerudin Ismail dalam jabatan itu, Presiden
melanggar Tap MPR No. VII/MPR /2000. Jika siding Istimewa akan diselenggarakan karena
Presiden melanggar haluan negara maka seharusnya ia didahului dengan memorandum I dan
memorandum II, bukan langsung menyelenggarakan Sidang Istimewa. Dalam kasus yang
dikaitkan dengan pengangkatan Pelaksana Tugas Kapolri itu, ternyata Sidang Istimewa
diadakan tanpa didahului oleh keluarnya memorandum I maupun II oleh DPR. Memorandum
I dan II yang ada ketika itu adalah dalam kasus lain yakni kasus dana Bulog dan bantuan dana
dari Sultan Brunei yang jadwal Sidang Istimewanya masih harus menunggu tanggal 1
Agustus 2001.

Ketiga, untuk mengambil keputusan dalam menjatuhkan Presiden, menurut Pasal 87


Tap MPR No.II/MPR/200, semua Fraksi harus hadir. Tetapi, dalam kenyataannya pada
sidang Istimewa tanggal, 23 Juli itu,Fraksi PKB dan Fraksi PDKB menyatakan tidak hadir
secara resmi. Memang pada waktu itu ada Matori Abdul Djalil dan Astrid Susanto, tetapi
kehadiran Matori jelas dinyatakan sebagai Wakil Ketua MPR dan bukan mewakili Fraksi
karena fraksinya secara resmi menyatakan tidak hadir. Sedangkan kehadiran Astrid seperti
diumumkan kepada publik adalah sebagai peninjau.

Keempat, dari sudut keanggotaan MPR yang bersidang itu cacat karena dihadiri oleh
orang-orang yang seharusnya tidak lagi berhak menjadi anggota MPR yakni Laksamana
Sukardi dan Kwik Kian Gie. Kedua orang itu seharusnya telah kehilangan status sebagai
anggota MPR/DPR karena sejak bulan Oktober 1999 telah diangkat menjadi Menteri
Menurut UU No.4 Tahun 1999, keanggotaan MPR/DPR tidak dapat dirangkap dengan
jabatan Menteri. Sehingga begitu yang bersangkutan menerima jabatan Menteri maka
seharusnya ia berhenti dari anggota DPR/MPR. Inilah yang dilakukan oleh Mahadi
Sinambela, Alwi Shihab, dan Chofifah Indar Parawansa yang langsung minta berhenti dari
keanggotaan DPR/MPR begitu mereka diangkat menjadi Menteri. Jika mau berpegangan
pada UU, sidang MPR yang diikuti oleh orang yang sebenarnya sudah tidak berhak
seharusnya tidak sah dan dinyatakan inkonstitusional. (A. Khoirul Anam, diolah dari berbagai
sumber).

Dari peristiwa pemakzulan Gus Dur ini dapat kita lihat bahwa lembaga MPR mempunyai
wewenang yang sangat mutlak, bisa kita lihat dari wewenang MPR yang bisa
memberhentikan presiden tanpa harus ada proses penyelidikan, dengan meminta surat fatwa
dari MA saja sudah bisa memberhentikan presiden melalui sidang istimewa MPR. Pada masa
ini tidak ada proses memeriksa, mengadili, dan memutuskan dengan seadil-adilnya yang
dilakukan oleh MPR karena belum ada aturan yang mengatur tentang proses ini, pada masa
ini juga belum ada lembaga yang melaukan proses itu, MA hanya bisa memberi fatwa nya
kepada MPR jika MPR meminta fatwa dari MA.  

Era reformasi mendorong amandemen UUD 1945, dan mengadopsi MK ke dalam


amandemen konstitusi yang dilakukan oleh MPR pada tahun 2001, yang dirumuskan dalam
ketentuan pasal 24 ayat (2), pasal 24C, dan pasal 7B Undang-undang Dasar 1945 hasil
Perubahan Ketiga yang disahkan pada 9 November 2001.

Abdul Manan dalam Dinamika Politik Hukum di Indonesia (2018) menerangkan setidaknya


ada dua kondisi sosial politik yang mendorong lahirnya MK. Pertama, karena pergantian
pimpinan pemerintahan, yakni presiden, tidak pernah terjadi secara mulus melalui proses
konstitusional yang baik.

Kedua, era Reformasi yang melahirkan sejumlah lembaga negara baru rawan terjadi
perselisihan antarlembaga, sehingga perlu dibentuk lembaga negara yang independen untuk
menyelesaikan sengketa tersebut.

Jimly Asshiddiqie, yang menjadi Ketua MK pertama, dalam Setengah Abad Jimly


Asshiddiqie: Konstitusi dan Semangat Kebangsaan (2006), mengatakan bahwa kehadiran MK
sangat penting karena proses legislasi yang terjadi di DPR adalah proses politik.

Hal ini tak jarang membuat proses pembentukan perundang-undangan tidak ditentukan oleh
norma-norma konstitusi, melainkan ditentukan oleh kekuatan mayoritas yang memaksakan
diri untuk menyetujui undang-undnag tersebut.

“Bahkan tidak jarang undang-undang menyimpang dari UUD 1945. Karena itu dalam negara
yang demokratis perlu sebuah mekanisme untuk menguji dan mengecek produk-produk yang
dihasilkan DPR, apakah produk itu secara konstitusional bisa dibenarkan atau tidak,”
ungkapnya.

Setelah disahkannya Perubahan Ketiga UUD 1945, sembari menunggu pembentukan MK,
MPR menetapkan Mahkamah Agung (MA) untuk menjalankan fungsi MK untuk sementara
sebagaimana diatur dalam Pasal III Aturan Peralihan UUD 1945 hasil Perubahan Keempat.
DPR dan pemerintah kemudian membuat rancangan undang-undang mengenai MK.

Dan setelah melalui pembahasan mendalam, DPR dan pemerintah menyetujui secara bersama
UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi pada 13 Agustus 2003 dan
disahkan oleh Presiden. Kemudian pada 16 Agustus 2003 MK resmi dibentuk.

Anda mungkin juga menyukai