Anda di halaman 1dari 13

MAKNA TEOLOGI KEMATIAN UMAT HINDU DI BALI

(KAJIAN TEKS YAMA PURWANA TATTWA)


I Made Pasek Subawa
Institut Hindu Dharma Negeri Denpasar
E-mail : paseksubawa@ihdn.ac.id

ABSTRACT
Death is something that will definitely happen but it is uncertain when it will come. For
Hindus death is the process of the soul's journey to Paramatman. So that the journey of the Atma
does not have obstacles it needs to be assisted by carrying out the death ceremony, hereinafter
referred to as Pitra Yad. Pitra yadnya implementation is one way to break away from the tri ties
of citizens in order to achieve happiness now and happiness to come. The meaning of the death
ceremony according to the Yama Purwana Tattwa Text is to accelerate the process of the union
of souls with paramatman. Through this understanding of theology of death it is hoped that
Hindus can choose the desired form of death ceremony according to their preferred character,
and even write a will to their families about the desired form of death ceremony in accordance
with their beliefs, even though in essence the titles of Brahma, Vishnu, Shiva or Mahadeva are
designations for The almighty God, namely Brahman himself.

Keywords: Theology of Death, The Text of Yama Purwana Tattwa

I. PENDAHULUAN
Manusia adalah mahluk bereksistensi stula sarira-nya dikembalikan kepada asalnya
dalam kehidupan. Dalam keadaan tersebut, yaitu menjadi panca maha bhuta.
manusia akan selalu diselimuti akan kehidupan Oleh karena itu, pelaksanaan upacara
yang nantinya akan menunggu kematian. Hal pengabenan sebagai salah satu bentuk
ini dikarenakan bilamana manusia hidup, penghormatan kepada arwah leluhur wajib
bahwa kematian adalah pasti. Di dalam ajaran hukumnya bagi setiap umat Hindu.
Hindu, kehidupan di dunia ini adalah untuk Penghormatan kepada para leluhur sepertinya
memperbaiki kualitas hidup sebelumnya dan bukanlah hal yang berlebihan karena berkat
mendapat kehidupan yang lebih baik jasanya memberikan pemeliharaan serta
setelahnya. Sehingga prosesi kematian sebagai perawatan sejak dalam kandungan sampai
tahapan akhir kehidupan manusia dalam ajaran dewasa, menyebabkan manusia mampu berdiri
Hindu dibuatkan sebuah ritual yang disebut sendiri dan menikmati kehidupan ini. Belaian
dengan istilah ngaben. Upacara pengabenan kasih orang tua selalu menyelimuti anak-
yang diyakini bisa mempercepat proses anaknya ketika mereka kedinginan, demikian
pembebasan suksma sarira (badan halus) dari pula tetesan keringat dan deraian air mata selalu
stula sarira (badan kasar). Sang suksma sarira menyirami anak-anaknya ketika mereka
yang hadir sebagai jiwatman (pemberi hidup) kepanasan. Berdasarkan atas kenyataan tersebut
pada setiap mahluk diharapkan dapat bersatu maka tidaklah salah jika disebutkan
kembali dengan sang paramatma, sedangkan pelaksanaan upacara pengabenan merupakan

85
Volume 3, No. 2, September 2019 ISSN : 2580-7544

bagian dari pitra yadnya didasari oleh pitra rna dimaksudkan supaya roh yang sudah menyatu
(hutang jasa kepada leluhur). dengan Bhattara Guru (di-sthana-kan di rong
Pelaksanaan upacara yang meriah tiga), tidak kembali menjelma (Ida Pedanda
sering menimbulkan pertanyaan bahkan Mpu Mahabhirudaksa) dalam (Titib, 2006:
dianggap sebagai salah satu bentuk pemborosan 259).
belaka, sehingga timbulah pertanyaan- Sejalan dengan itu Herts (dalam
pertanyaan, apakah dengan melaksanakan Koentjaraningrat, 1985.29), mengungkapkan
upacara pitra yadnya yang meriah bisa bahwa upacara kematian tidak lain dari pada
menyebabkan arwah leluhur masuk svarga?, upacara inisiasi. Pernyataan ini sejalan dengan
selanjutnya bagaimana dengan keluarga yang paparan Teks Yama Purwana Tattwa mengingat
ditinggalkan?, apakah tidak lebih baik jika prosesi penyucian melingkupi keseluruhan
biaya tersebut, digunakan untuk kepentingan prosesi upacara kematian yang dimulai dari
pemeliharaan keluarga yang ditinggalkan. penyucian terhadap jasad yang mau diaben
Berkenaan dengan pertanyaan-pertanyaan sampai pada penyucian atmanya. Penyucian
tersebut lebih lanjut diuraikan dalam Teks Yama terhadap jasad yang mau diaben meliputi
Purwana Tattwa yang memuat dengan jelas penyucian secara sekala (nyata) dan niskala
tentang tatacara pelaksanaan upacara pitra (tidak nyata). Penyucian mayat secara sekala
yadnya mulai dari tingkat yang sangat (nyata) disebut nusang sawa. Adapun prosesi
sederhana sampai yang meriah. Melalui teks penyucian mayat (nusang sawa) menurut Teks
Yama Purwana Tattwa masyarakat diberikan Yama Purwana Tattwa adalah sebagai berikut:
pilihan dalam pelaksanaan upacara pitra Iti tingkah nusang sawa; 1) pabresihan, 2)
yadnya dapat disesuaikan dengan kemampuan pengerekaan, 3) pangulungan, 4) rurub
yang melaksanakan sehingga tidak membebani kajang, 5) kreb sinom, 6) lis senjattha, 7)
kehidupan keluarga yang ditinggalkan. tirtha panglukatan, 8) tirtha pengentas, 9)
tirtha hning 10) tirtha pengentas, 11) pajati
II. PEMBAHASAN Tingkah; 1, sisig 2, ambuh 3, toya anyar 4,
ngenahang kamben pengulungan 5, lengis
2.1 Makna Penyucian Mayat (Nusang Sawa)
6, ptat swah bunga, mameka, boreh, minyak
Menurut Teks Yama Purwana Tattwa. kumkuman, byakaonan, matirtha,
Umat Hindu meyakini melalui ngenahang rurub kajang, mabakti,
pelaksanaan upacara pitra yadnya, maka sang ngenahang pangrekaan, raris matirtha
atma akan dapat meninggalkan badan pengentas tur gulung, magnah ring petine.
wadagnya dengan tenang sehingga dapat
mencapai kebahagiaan yang abadi disisi Dewa Terjemahannya:
Brahma, seperti yang dijelaskan dalam teks Pelaksanaan penyucian mayat
Yama Purwana Tattwa. Selanjutnya Teks Yama (nusangsawa); 1. pabresihan, 2. pangrekan,
Purwana Tattwa menjelaskan bahwa; agar 3. pangulungan, 4. rurub kajang, 5. kereb
perjalanan Sang Atma menuju Paramatma sinom, 6. elis sanjata 5, 7 tirta panglukatan,
8. tirta pinunas, 9. tirta suci, 10. tirta
menjadi lancar hendaknya dibantu dengan
pangentas, 11 pejati.
melaksanakan upacara pengabenan dan Pelaksanaan selanjutnya 1 sisig, 2 ambuh, 3
memukur atau nyekah yang diakhiri dengan air bersih, 4 kain pembungkus, 5 minyak
pelaksanaan upacara nuntun dewa hyang atau wangi, 6 sisir, petat dan bunga, bercermin
men-sthana-kan roh yang baru disucikan di diolesi bedak harum, minyak kumkuman,
sanggah kemulan. Upacara Nuntun Dewa byakaon, diperciki air suci, diisi rurub
Hyang menurut Lontar Leburgangsa disebut kajang, sembahyangkan, diisi pangrekan,
Nilapati (Wiana, 1998: 87). Upacara ini

86
MAKNA TEOLOGI KEMATIAN UMAT HINDU...(I Made Pasek Subawa, 85-97)
lalu diperciki tirta pangetas dan dibungkus mayat bermakna agar dalam penjelmaannya
ditaruh dalam peti (YPT-13b). yang akan datang sad ripunya lebih terkendali,
dan giginya menjadi lebih kuat. 4) Pembersihan
Teks Yama Purwana Tattwa di atas kuku dengan pisau temutik atau silet bermakna
menjelaskan bahwa prosesi menyucikan mayat agar panca budindra dan panca karmendrya
(nusang sawa) wajib dilaksanakan baik secara yang melekat pada diri orang yang meninggal
sekala (nyata) maupun secara niskala (tidak jadi berkurang, selain itu kebersihan fisiknya
nyata). Secara sekala prosesi menyucikan selalu terjaga. 5) memasang bunga melati pada
mayat meliputi: 1) dimandikan dengan air lobang hidung mayat bermakna agar ia
bersih, 2) dibersihkan giginya (mesisig), 3) senantiasa mencium bau harum apalagi
dikeramasi (ambuh), 4) disirami air kembang harumnya bumi, dengan demikian pikirannya
(kumkuman), 5) dipakaikan busana (pakaian) lebih terkonsentrasi ke hal-hal yang bersifat
yang baru selengkapnya, dipakaikan sisir petat spiritual, dan jika lahir nanti diharapkan
(sisir yang terbuat dari bambu yang giginya membawa nama harum seharum bunga melati.
longgar dengan harapan rambutnya tidak 6) Minyak wangi seperti halnya bau yang
kusut), selanjutnya disisir rapi, dibedakin, ditebarkan oleh minyak tersebut bermakna
dicerminin, diisi minyak wangi, 6) dipindahkan sebagai petunjuk agar pada kelahirannya yang
ke pepaga (tempat tidur khusus yang disiapkan akan datang dapat menebarkan bau harum di
untuk mayat) yang sudah diisi tikar halus. Teks dunia ini. 8) Anget-angetan yang dalam
Yama Purwana Tattwa juga menegaskan keseharian diolah sebagai parem dan digunakan
bahwa: isin galeng sawane don bingin, don sebagai obat, misalnya kalau kena flu, batuk
kroya wnang don dapdap, yang terjemahannya dan penyakit-penyakit ringan lainnya. Dalam
pada saat memandikan mayat (nusang sawa) hal ini anget-angetan bermakna sebagai obat
hendaknya dipakaikan bantal kepala yang atau penyembuh penyakit-penyakit ringan,
isinya daun beringin atau daun kroya, bilamana sehingga ketika menghadap Sang Hyang Yama
tidak ada boleh diganti dengan daun dapdap badan wadagnya dalam keadaan sehat walafiat
(YPT-5b). lahir dan bathin. 9) Daun terung yang
Sarana upacara yang digunakan pada disemburkan oleh keturunannya pada kelamin
saat ngeringkes mayat juga mempunyai makna mayat bermakna sebagai lambang kelahiran.
simbolik tertentu yaitu: 1) cermin yang 10) Umbi sekapa atau gadung (umbi tumbuhan
diletakkan pada mata mayat saat ngeringkes melata) yang digunakan untuk menggosok
bermakna agar arwah yang meninggal selalu badan mayat ketika dimandikan, bermakna agar
bercermin pada dirinya dengan memperhatikan pada kelahirannya yang akan datang kulitnya
perbuatan-perbuatannya di masa lampau, menjadi putih gading seperti umbi sekapa
apakah cenderung ke subha karma atau ke tersebut (Sastra, 2005: 59). Memasang tali itik-
asubha karma, selanjutnya bisa dijadikan acuan itik; pada saat memasang diusahakan berbentuk
kemana ia akan mengarah pada kehidupannya angka delapan yaitu terdiri dari dua angka nol.
yang akan datang, sesudah itu kalau ia harus Hal ini memiliki makna agar raga sarira (stula
menjelma kembali agar matanya menjadi lebih sarira) badan wadag maupun suksma sarira
tajam mengamati jalan yang akan ditelusuri (roh) tetap utuh, sehingga jika menitis nanti
sehingga tidak tersesat. 2) Daun intaran yang masih dalam satu kesatuan (Sastra, 2005: 58).
diletakkan pada kedua alis mata mayat Setelah penyucian secara sekala dengan
bermakna agar dalam penjelmaan nanti alisnya sarana dan prasarananya, prosesi
menjadi indah dan tidak tidak cacat (Sastra, selanjutnya adalah menyucikan mayat
2005: 62). 3) Baja yang diletakkan pada gigi (nusang sawa) dengan menggunakan

87
Volume 3, No. 2, September 2019 ISSN : 2580-7544

berbagai tirtha. Adapu beberapa tirtha 2003: 134). Sehubungan dengan hal tersebut,
yang dipergunakan dalam pelaksanaan selanjutnya dijelaskan beberapa makna banten
upacara pengabenan menurut Teks Yama yang dipergunakan dalam pelaksanaan upacara
Purwana Tattwa yaitu: kematian menurut Teks Yama Purwana Tattwa
Di pemuhunan; 1, ngentas sawa 2, matoya sebagai berikut:
panembak 3, ngenahang kajang 4, matirtha
panglukatan 5, tirtha pinunas 6, tirtha hning 2.2.1 Makna Dyuskamaligi
7, tirtha pangentas 8, ngenahang adegang
Dyuskamaligi adalah satu soroh sesajen
9, pengutangan pisang jati 10, ngenjutin.
yang digunakan pada saat melaksanakan
Terjemahannya: upacara ngaben. Menurut Teks Yama Purwana
Di tempat pembakaran; 1. ngentas mayat, 2. Tattwa, dyuskamaligi digunakan dalam
diperciki tirtha penembak, 3. menaruh pelaksanaan Upacara Pengabenan Swastha
kajang, 4. diperciki tirtha panglukatan, 5. Gheni, seperti dejelaskan dalam teks di bawah
tirhta pinunas, 6. tirtha suci, 7. tirtha ini:
pangentas, 8. menaruh adegan, 9. tumuli ayabin bubur pirata, ketupat pesor,
pangutangan pisang jati, 10. mulai saji punjungan putih kuning, dyus kamaligi,
pembakaran (YPT-8a). anyut ikang puspa lingga ikang kampuhnia,
prasida sahika kramanya.
Memperhatikan struktur atau rangkaian
upacara penyucian mayat (nusang sawa) dan Terjemahannya:
Kemudian dihaturkan bubur pirata, ketupat
sarana-sarana yang dipergunakan dalam prosesi
pesor, sesajen punjungan putih, dyus
penyucian tersebut menyiratkan betapa
kamaligi, setelah itu buanglah puspa lingga
pentingnya kesucian itu bagi umat Hindu baik itu sampai pembungkusnya kesungai atau
semasih hidup maupun sesudah mati. Dalam kelaut, begitulah rangkaian pelaksanaannya
setiap tahapan mengandung makna bahwa (YPT-3a).
manusia harus selalu berada dalam keadaan
suci, tinggal di tempat yang disucikan dan Teks Yama Purwana Tattwa
senantiasa berusaha untuk menjaga menjelaskan, bagi orang yang memilih
kesuciannya lahir dan bathin. Kesucian adalah melaksanakan Upacara Pengabenan Swastha
persyaratan utama bagi umat Hindu dalam Gheni, setelah selesai pembakaran, abu tulang
usahanya untuk memutuskan tali reinkarnasi disirami air dan tirtha penyeeb, selanjutnya
(kelahiran yang berulang-ulang) sehingga tulang-tulangnya dipungut, direka, digilas pada
akhirnya dapat lebur dengan sang pencipta yang batu atau sasenden, setelah halus dimasukkan
disebut Moksa. kedalam puspa lingga, setelah dipakaikan
busana dihaturkan sesajen yang salah satunya
2.2 Makna Ritual adalah dyuskamaligi, selanjutnya dianyud ke
Pelaksanaan upacara kematian menurut laut. Cara membuat sesajen dyuskamaligi
Teks Yama Purwana Tattwa menggunakan adalah sebagai berikut: ditanding di atas nyiru
bermacam-macam bentuk bebanten atau atau tempeh, di atasnya diisi taledan (biasanya
sesajen. Sesajen dibuat dengan dari rontal), terus dimasukan: pebresihan
mempergunakan sarana tertentu, antara lain: payasan1, 1 soroh sancak panda, tiga keleng
bunga, buah-buahan, daun tertentu misalnya tebu yang panjangnya kira-kira 15 senti
sirih serta makanan seperti nasi dan lauk pauk, dicelupkan ke pewarna kuning diikat dengan
jajan dan sebagainya, disamping sarana yang benang putih, 1 soroh samuhan, 1 tanding
sangat penting lainnya seperti api dan air (Titib, solasan, 1 takir isuh-isuh, 1 takir beras kuning,

88
MAKNA TEOLOGI KEMATIAN UMAT HINDU...(I Made Pasek Subawa, 85-97)
1 lepekan diisi kertas bertuliskan padma, di buah, merah putih, satu tanding nasi diisi
atasnya ditaruh sebuah penek hamong (penek lauk terasi, satu tanding nasi berisi lauk siput,
yang di atasnya ditusuki bawang jahe). Makna satu tanding nasi berisi lauk cendana, dua
sesajen dyuskamaligi adalah sebagai terhadap buah lauk nasi berisi lauk padang lepas, satu
pelos nasi berisi lauk glagah, ketupat berisi
atma yang di-aben.
telur asin, blayag sebanyak 6 buah berisi
pesan telegis, satu mangkok nasi berisi lauk
2.2.2 Makna Banten Panjang Matah dan telengis digantung disisinya, sate calon
Panjang Lebeng balong katupang, balung gending, nasi
Banten panjang matah subeng ditaruh pada ceper diisi lauk piling-
demikian pula panjang lebeng adalah piling, nasi bantal berisi lauk terasi, jajan
merupakan sesajen yang penggunaannya yang berbentuk barong yang disebut balung
khusus pada saat melaksanakan upacara cili, adalah telinga, kaki, hidung, semua
pengabenan. Dalam melaksanakan upacara dimasak.
pengabenanpun tidak semuanya menggunakan
banten panjang matah demikian juga panjang Iti, nga, panjang matah. Lwirnya, bras acatu,
nyuh, taluh pada mabungkul, gegtungan
lebeng. Teks Yama Purwana Tattwa
base tampelan, byu kayu a ijas maiket
menyuratkan, banten panjang matah demikian
benang selem, pis 5 keteng, lelampadan
juga panjang lebeng akan dipergunakan jika genep, mawadah kojong, timbul, nangka, sra
memilih melaksanakan upacara pengabenan barak, isen, jahe, kunyit mawadah kojong,
madhya, uttama serta upacara mati matanem. bakaran rangkep, panak kladi 1, akah nyane
Adapun bentuk banten panjang matah kari, jinah 5 keteng bolong, katipat nasi
demikian juga panjang lebeng menurut Teks matah magantung, taluh matah, katipat lepet
Yama Purwana Tattwa adalah sebagai berikut: matah , taluh bebek malablab 1, otot,
Iti, nga, panjang lebeng. Lwirnya, raka, woh- dagdag, jali-jali, godem, tbu mawadah ceper,
wohan rangkep, banten agalah, bras sewarnna mewadah cepr busung,
nasimatempelos abesik mabe lanjang base, padang lepas, glagah, ambengan, pada 3,
tipat akelan, jaja uli abug, makaput ambu katik apesel, muncuk lidi, muncuk dapdap 3
pada malalima, barak putih, nasi atanding pesel, jinah mapesel dadi bsik, bnang tri
mabe sra, nasi atanding mabe kakul, nasi datu, mwah jejahitan, ktan, injin, kamben,
atanding mabe candana, nasi dwang gulung sate matah sewarna sate jajaringan, balung
mabe padang lepas, nasi atempelos mabe gending, balung gantung. Ika ngaran
glagah, ben katipate taluh bakasem, blayag panjang matah.
akelan mabe pesan telengis, nasi takilan
magantung disisine, sate calon balung Terjemahannya:
katupang, balung gending, nasi subeng Ini yang disebut panjang matah, antara lain;
mawadah ceper mabe piling-piling, nasi beras satu catu, kelapa, telur masing-masing
bantal mabe sra, jaja mapinda barong, satu butir, gagetungan, srih tampelan, satu
balung cili, nga, kuping, kikil, cunguh, sami tandan pisang kayu diikat dengan benang
lebeng, ika nga, panjang lebeng. hitam, uang kepeng 5, lelampedan
selengkapnya ditaruh didalam kojong, buah
Terjemahannya: tiwul, buah nangka, terasi mentah lengkuas,
Ini yang disebut panjang lebeng jahe, kunir, ditaruh didalam kojong, Bakaran
perlengkapan: buah-buahan selengkapnya, selengkapnya, satu batang anak pohon keladi
banten agalah, satu tanding nasi yang masih berisi akar, uang kepeng 5,
matempelos, berisi lauk lanjang base (sirih), digantungkan ketupat nasi yang masih
ketupat sebanyak 6 buah, jajan uli, abug mentah, ketupat yang direbus, otot, dagdag,
dibungkus dengan ambu masing-masing 5 jail-jali, gudem, tebu ditaruh pada ceper,

89
Volume 3, No. 2, September 2019 ISSN : 2580-7544

beras berwarna ditempatkan pada ceper lainnya agak berbeda, akan tetapi jika
janur, padang lepas, glagah, alang-alang, diperhatikan dari jaja/kue cacalan yang dipakai
masing-masing 3, katik satu ikat, pucuk lidi, rata-rata melukiskan isi sebuah pulau yang
pucuk dapdap, 3 ikat uang diikat manjadi layak ditempati manusia (pulau yang subur)
satu tridatu, serta jeahitan, beras ketan, beras
seperti pengharapan manusia agar dapat
hitam, kain, sate mentah, berbagai jenis,
mencapai kemakmuran dalam hidupnya.
jejaringan, balung gending, balung gantung,
itulah yang disebut panjang mentah Surayin dalam bukunya Seri I Upakara
(YPT14b-15b). Yajna, Melangkah Ke Arah Persiapan Upakara-
Upacara Yajna menyebutkan: unsur-unsur
Banten panjang matah demikian juga Pulagembal terdiri dari:
panjang lebeng merupakan sesajen yang a. Empas mimi menggambarkan isi lautan
dibawa sebagai bekal oleh atma perjalanannya b. Gelar gemulung menggambarkan gerak air,
dalam perjalanannya menuju sunia loka. Ketika c. Ancak, bingin, padanglepas, ambengan,
lahir ke dunia manusia ditemani oleh memiliki menggambarkan pepohonan.
108 nyama bajang. Dalam perjalanannya untuk d. Kladi, ubi melambangkan umbi-umbian.
kembali kepada Sang Pencipta satu persatu e. Tingkih, kelongkang menggambarkan buah-
saudara-saudaranya itu datang menghampiri buahan.
Sang Atma, selanjutnya diajak ngobrol. Sebagai f. Marga dua, tiga, empat melambangkan
ucapan terima kasih karena telah menemani jalan sebagai sarana transportasi.
dalam perjalanan maka kepadanya diberikan g. Gunung, Lingga, Taman, Penganggo,
oleh-oleh sesuai dengan kesukaannya, yaitu isi Penampangsarad, Lelipi, Lulut emas, lulut
banten panjang matah dan panjang lebeng perak, ante, dan lain-lain melambangkan isi
tersebut. Lebih lanjut Ida Pedanda Panji Sogata dunia ini (Surayin, 2005: 59).
mengatakan bahwa, makna banten panjang
matah dan panjang lebeng dalam pelaksanaan Selanjutnya sorohan pulagembal terdiri
upacara pengabenan adalah agar Sang Atma dari: peras, soda, dapetan, pengiring,
memperoleh keselamatan dalam perjalanannya pengambeyan, pengapit, penyeneng, udel,
menuju Sang Pencipta. kurenan, bulakan, pancoran, ungang, tagog,
. ancak, bingin, pengebek, dan buah jerimpen,
2.2.3 Makna Pulagembal selanjutnya dilengkapi dengan sebuah taman,
Banten Pulagembal sering juga disebut tegteg, tempeh mesrombong, paso
Pragembal. Penggunaan banten Pulagembal mesrombong, dan pepletikan. (Surayin,
dalam pelaksanaan upacara ngaben juga tidak 2005:105)
setiap saat. Banten Pulagembal dipergunakan Memperhatikan nama-nama kue
jika melaksanakan upacara pengabenan cacalan yang digunakan dalam tetandingan
madhya, uttama serta upacara penguburan pulagembal, demikian juga tatakan
uttama. Pulagembal berasal dari dua kata yaitu tetandingannya, maupun sorohan yang
pula yang dalam kaitannya dengan pengertian mengikutinya dapat digambarkan bahwa
ini diartikan Pulau. Sedangkan gembal berarti pulagembal merupakan lukisan atau minimalis
kecil, dengan demikian Pulagembal diartikan sebuah pulau, yang layak ditempati oleh
sebagai pulau yang kecil. Banten Pulagembal manusia sehingga dianggap layak untuk
ini terdiri dari dua bagian, bagian bawah disebut dipersembahkan kehadapan Ida Sang Hyang
tatakan pulagembal, selanjutnya barulah diisi Widhi. Sehingga pada saatnya nanti manusia
tandingan pulagembalnya. Di Bali bentuk jajan melepaskan diri dari kenikmatan dunia, dalam
pulagembal antara satu daerah dengan daerah hubungannya dengan upacara pengabenan

90
MAKNA TEOLOGI KEMATIAN UMAT HINDU...(I Made Pasek Subawa, 85-97)
diharapkan roh dapat melepaskan badan menggunakan banten pamrasan. Bentuk
kasarnya dengan ikhlas sehingga perjalanannya banten yang dipergunakan sangat sederhana,
ke sunia loka tidak terganggu. disesuaikan dengan tingkatan upacara yang
dilaksanakan, pada intinya adalah menyerahkan
2.2.4 Makna Bebangkit uang kepeng yang sudah diikat dengan benang
Banten Bebangkit adalah sebuah banten putih, selanjutnya dibungkus dengan daun
yang terdiri dari tiga bagian yaitu: tadah dadap, kepada yang diperas yaitu cucu-
pebangkit ireng (hitam), tadah pebangkit putih cucunya. Banten pemerasan ini bermakna
dan balen pebangkit yang bentuknya hampir sebagai pengalihan status atau kedudukan
sama dengan taman hanya saja tiangnya dapat seseorang secara sekala niskala. Misalnya si
dibuat dari bambu atau lainnya bahkan ada Pitung adalah putra si A, selanjutnya diperas
kalanya bertingkat seperti meru tergantung pada oleh si B, maka melalui pelaksanaan upacara
tingkatannya. Pada balen pebangkit ditempeli pemerasan statusnya sudah dipatenkan dan
beberapa jenis jajan sesamuhan. Baik bentuk, diyakini secara sekala maupun niskala menjadi
nama serta jumlah dari pada jajan-jajan tersebut putranya si B. Hindu memaknai kehadiran
agak berbeda-beda di beberapa tempat, tetapi keturunan baik anak demikian juga cucu yang
selalu ada jajan yang disebut: bulan, matanai suputra merupakan berkah dan anugrah yang
(matahari), marga (jalan), dan lawang (pintu), sangat utama, karena diyakini melalui bantuan
walaupun mungkin bentuknya ada yang mereka, leluhurnya akan terbebas dari neraka.
berbeda-beda. Keempat jajan tersebut ditempel Pelaksanaan upacara pemerasan pada
pada keempat dinding dan balen pebangkit dan upacara pengabenan merupakan aktualisasi
diletakkan sedemikian rupa sehingga bulan dari ilustrasi ceritera sang Jaratkaru. Sang
berlawanan arah dengan matahari, marga Jaratkaru adalah seorang pertapa yang sangat
berlawanan arah dengan lawang (Mas Putra, tekun. Sejak kecil ia bertapa dan hidup sebagai
1982: 54-55). seorang brahmacari. Sesudah tamat akan
Kalau diperhatikan dari bentuk, nama segala mantra, ia diperbolehkan masuk sampai
serta jumlah jajan cacalan yang dipergunakan ke segala tempat, akhirnya dia melakukan
demikian juga tetandingan serta sarana perjalanan yang sangat jauh sampai ke
upakara lain yang menyertainya, bebangkit Ayatanasthana yaitu perbatasan antara svarga
melambangkan alam semesta, yaitu wujud dan neraka. Disana ia mendapatkan leluhurnya
dunia sebagai makro kosmos. Sejalan dengan tergantung dengan muka tertelungkup, kaki
tujuan pelaksanaan upacara kematian diikat, sedangkan di bawahnya jurang yang
(pengabenan) menurut agama Hindu roh sangat dalam merupakan jalan ke neraka.
dibekali isi makrokosmos untuk Seekor tikus tinggal di dalam bambu di tepi
dipersembahkan, dengan harapan kemelekatan jurang itu, setiap hari mengerat ruas batang
arwahnya akan benda-benda duniawi semakain bambu.
berkurang, dan suatu saat nanti bisa sirna Hal itu dilihat oleh sang Jaratkaru,
sehingga tercapailah tujuan agama Hindu yang berlinang-linang air matanya menyaksikan
disebut Moksa. leluhurnya kurus kering bagaikan daun kering
ditiup angin karena tidak pernah makan. Sang
2.2.5 Makna Banten Pemrasan Jaratkaru bertanya; hal apakah yang
Penggunaan banten pamrasan dalam menyebabkan tuanku sekalian tergantung pada
pelaksanaan upacara kematian bukanlah hal bambu yang mau putus ini? Sedangkan di
asing, hampir sebagian dari sekian banyaknya bawahnya jurang yang menganga?, hamba
bentuk upacara kematian yang dilaksanakan

91
Volume 3, No. 2, September 2019 ISSN : 2580-7544

ingin menolong tuanku dengan seperempat atau Purwana Tattwa, semua bentuk upacara
sebagian tapaku untuk dapat tuanku ke svarga. pengabenan menggunakan sesajen yang
Mendengar semua itu leluhurnya disebut bubur pirata dan tarpana, baik itu
menjadi senang dan menjawab, saya tergantung Swastha Gheni, Pitra Yadnya, Nistha, Madhya,
disini karena garis keturunan saya terputus, demikian juga Uttama. Cara pembuatan bubur
itulah sebabnya saya terpisah dari leluhur dan pirata adalah sebagai berikut: beras dicuci
tergantung disini. Ada seorang keturunan saya bersih, selanjutnya dimasak menjadi bubur
bernama Jaratkaru, sejak kecil dia hidup dengan air cendana, diisi susu, diaduk-aduk
sebagai pertapa dan menjadi brahmacari sampai lembut. Selanjutnya disajikan di atas
sehingga putuslah keturunan kami, dan daun medori kalau tidak ada biasanya diganti
beginilah keadaan kami bagaikan seorang dengan daun dapdap. Dibuat berbentuk bundar,
pendosa. Jika engkau belas kasihan kepada diisi sambal maje keling, rumput (padang
kami, pintalah kasihnya sang wiku Jaratkaru lepas), ujung ilalang. Bubur Pirata merupakan
agar ia suka berketurunan supaya dapat pulang simbol persembahan Sang Atma kepada Dewa
ke leluhur dan katakan juga padanya bahwa Yama putra Dewa Surya yang menguasai hidup
saya menderita disini. dan mati semua mahluk (Titib, 2006: 460).
Sang Jaratkaru menjawab; saya inilah
Jaratkaru keturunanmu, jika itu yang menjadi 2.2.7 Makna beberapa Sarana Upakara
jalanmu, sekarang saya akan pulang untuk 1) Daun Beringin,
mencari istri yang namanya sama dengan saya Dalam melaksanakan upacara kegamaan,
sehingga bisa sejalan dan sesudah itu jadi daun beringin sering sekali menyertainya
pertapa lagi. Selanjutnya sang Jaratkaru pulang sebagai sarana inti. Ketika pelaksanaan
kedunia, mencari istri sampai bertemu dengan upacara agama dipimpin oleh seorang
sang Jaratkaru putri Nagini, berputra sang Pandita sesajen yang ditempatkan di Surya
Astika, begitu sang Astika lahir para ada yang disebut Dewa-Dewi. Untuk
leluhurnyapun bebas dari derita, melayang ke membuat Dewa-Dewi daun beringin
svarga untuk mengenyam hasil tapanya merupakan salah satu sarana inti, demikian
(Zoetmulder, 2005:50). juga dalam pembuatan banten saraswati
Berdasarkan ilustrasi ceritra ini maka pemakaian daun beringin juga merupakan
pada pelaksanaan upacara kematian salah satu sarana inti. Selanjutnya menurut
dilaksanakan upacara pemerasan sebagai Yama Purwana Tattwa, bantal kepala mayat
pengesahan status bahwa orang yang diaben terbuat dari daun beringin, demikian juga
sudah memiliki cucu yang diyakini doanya kamben Adeg Sekah. Untuk memahami
dapat membantu arwah leluhurnya agar tidak makna daun beringin dapat dilihat pada
digantung di bambu petung. Ilustrasi ceritera Bhagawadgita :
ini pula yang menjadi dasar keyakinan umat Aswatthah sarwawrksanam
Hindu, maka pada pelaksanaan upacara Dewarsinam ca naradah
kematian (pengabenan) selalu dilaksanakan Gandarwanam citraratah,
Siddhanam kapilo munih
upacara pemerasan terhadap cucu-cucunya
Terjemahannya :
2.2.6 Makna Bubur Pirata: Diantara segala pepohonan Aku adalah
Bubur Pirata adalah sesajen yang Aswattha, dan diantara para Rsi Illahi Aku
penggunaannya juga sangat khusus yaitu adalah Narada, diantara para Gandharwa
sebagai persembahan kepada atma yang mau Aku adalah Citraratha, dan diantara para
diaben atau dikubur. Dalam uraian Teks Yama orang sempurna Aku adalah Kapila Murni.
(Masniwara, 1997:339).
92
MAKNA TEOLOGI KEMATIAN UMAT HINDU...(I Made Pasek Subawa, 85-97)
5) Wadah atau bade adalah simbolik kendaraan
Sri Kresna dalam kapasitasnya sebagai yang dinaiki oleh arwah ketika menuju alam
Tuhan yang Maha Esa memberikan sunia loka. Bentuk wadah sangat ditentukan
penjelasan kepada Arjuna bahwa Beliau oleh kedudukan seseorang dalam strata
adalah raja atau penguasa dari seluruh unsur kemasyarakatannya.
alam semesta ini. Diantara pepohonan 6) Petulangan adalah tempat pembakaran
Beliau adalah Asawattha. Aswattha adalah mayat atau pengawak dari yang di aben,
nama daun beringin dalam bahasa petulangan ini biasanya disesuaikan dengan
Sansekerta, sedangkan di Indonesia kedudukan orang yang meninggal serta
Aswattha disebut beringin. Atas dasar bentuk serta tingkatan upacara yang
pernyataan tersebut umat Hindu meyakini dipilihnya (Pulasari, 2007: 36-39).
bahwa daun beringin merupakan 7) Makna sekarura, Sekarura terbuat dari beras
perwujudan Tuhan Yang Maha Esa, kuning sebagai lambang menebar
sehingga sering dijadikan sarana inti dalam kebijaksanaan, bunga jepun sebagai
pembiatan sesajen. lambang perasaan yang tulus, uang kepeng
2) Angenan, kata angenan berasal dari kata sebagai unsur panca datu. Sekarura ini
angen yang berarti jiwa atau bathin, dengan biasanya ditebarkan pada waktu
demikian angenan adalah lambang jiwa pemberangkatan mayat ke kuburan,
orang yang meninggal, agar tidak lagi dibarengi dengan menggoyang ubes-ubes
memikirkan kenikmatan dunia, akan tetapi dari burung cendrawasih yang diyakini
terfokus akan perjalanannya. sebagai burungnya para Dewata sehingga di
3) Kajang adalah kain kapan yang ditulisi Bali disebut Manuk Dewata.
dengan tulisan wijaksara sebagai Memperhatikan puja yang tersurat dalam
manifestasi dari para Dewa. Kain putih Dewa Puja Pitra Siwa yang berbunyi;
sebagai perlambang badan kasar atau Ongkarane namah; Pakulun sang Ayam-
pengawak arang yang meninggal, ayam, iki tadah sajinira beras saslulan ring
sedangkan tulisan wija aksara sebagai dalan; aja sira amigrahani anangkaleni
perlambang atma, dengan demikian kajang atmane si anu, Ongkara, Ongkara, Ongkara
adalah wahana yang dinaiki arwah ketika (Tim Penyusun, 2001: 126). Menebar
mau menghadap sang Pitara (Brahman). sekarura bermakna sebagai laban kepada
Kajang bermacam-macam sifatnya, ada sang Manuk Dewata sebagai pengantar
yang dari pendeta seperti yang tersebut di arwah kesunia loka. Adapun maksud
atas, ada juga yang dari keluarga sebagai memberikan laban kepada penjaga jalan
lambang kasih sayang, (Wiana, 2004: 53- agar dia tidak yang mengganggu arwah
55). Makna kajang dalam upacara orang yang meninggal selama dalam
pengabenan adalah sebagai pengganti jasad perjalanan. Dalam aktualisasinya penebaran
orang yang meninggal. sekarura dilakukan ketika mayat
4) Kereb sari adalah simbolis saput atau diberangkatkan ke kuburan, di depan rumah
selendang orang yang meninggal, sedangkan diputar tiga kali sebagai pertanda perpisahan
kereb sinom adalah simbolis dari pada dengan keluarga, di prapatan jalan diputar
umpalnya. tiga kali sebagai tanda perpisahan dengan
5) Damar kurung adalah simbolik matahari warga masyarakat, di gerbang kuburan juga
yang akan menerangi jalan yang akan diputar tiga kali sebagai permohonan ijin
dilewati sang atma. kepada penjaga kuburan. Perputaran itu
biasanya dari kanan mengarah ke kiri

93
Volume 3, No. 2, September 2019 ISSN : 2580-7544

(prasawya) (bertentangan dengan jarum bentuk-bentuk upacara kematian. Rangkaian


jam), di jalan sebagai tanda perpisahan pelaksanaa upacara kematian menurut Teks
dengan warga masyarakat, sedangkan di Yama Purwana Tattwa diuraikan sebagai
kuburan sebagai pertanda pisahan antara berikut :
alam sekala dengan niskala Kunang upakarania magseng dulurin
(Wiana,2004:31). Ada juga yang daksina 1, canang 7 tanding, jinah 225, bras
mengemukakan bahwa putaran prasawya catur warna mawadah tembekur, gnahakena
ring dadaning sawa, gesengan kabeh, ring
adalah putaran dari bawah ke atas, yakni
sampuning basmi ika sawa, arengnia supit
perjalanan sang roh dari bhur loka ke swah
kadi cara pinipis ring watu yadyapi sasenden
loka, atau peningkatan diri yang lebih kasar pada wenang rayu wadahin nyuh gading,
menuju ke alam yang lebih halus. adegakna puspa lingga tumuli ayabin bubur
8) Makna Uang Kepeng (Pis Bolong) pirata, ketupat pesor, saji punjungan putih
Penggunaan uang kepeng dalam kuning, dyus kamaligi, anyut ikang puspa
pelaksanaan upacara keagamaan bagi umat lingga ikang kampuhnia, prasida sahika
Hindu bukan hal baru. Fungsi uang kepeng kramanya.
dalam pelaksanaan upacara keagamaan baik Kunang wekasan wenang sakama-kama
dalam Rsi Yadnya, Dewa Yadnya, Bhuta amreteka sawa karyaning angatma wedana,
Yadnya, Manusa Yadnya, apalagi Pitra nga, nyekah, memukur, kunang yan sampun
sah kadadia sama amanggih rahayu Sang
Yadnya. Dalam Resi yadnya uang kepeng
Pitara, iccha pada bhatara lumingga ring
dipakai sebagai sarana persembahan
jagat.
(sesari), yang saat ini diisi hanya beberapa
keping sebagai simbolis selanjutnya dipakai Terjemahannya:
uang rupiah sebagai gantinya mengingat Adapun upacara pembakaran (ngaben);
uang kepeng saat ini tidak lagi berfungsi setibanya dikuburan diperciki tirta
sebagai alat pembayaran yang sah. Dalam pangentas, pada waktu proses pembakaran
pelaksanaan upacara Dewa yadnya fungsi berjalan disertai daksina satu buah, canang
uang kepeng juga tidak kalah pentingnya, 7, uang 225 kepeng, beras empat warna
misalnya dalam sarana persembahyangan ditempatkan pada tembekur, ditaruh pada
(sebagai sarin kewangen) khususnya untuk dada mayat, semuanya dibakar. Setelah
mayat itu habis terbakar, kemudian arangnya
kewangen pedagingan. Hampir setiap ada
diambil dengan menggunakan sepit, juga bisa
prosesi upacara menggunakan uang kepeng,
dilakukan seperti menggiling diatas sasenden
mulai dari ngeringkes sawa (mayat) atau batu, baru ditempatkan pada bungkak
membuat bekal bagi orang yang akan nyuh gading ( kelapa gading yang muda),
diaben, untuk sesari pada kewangen, dibuatkan puspa lingga. Kemudian
daksina, penuntunan, kalung periuk tempat dihaturkan bubur pirata, ketupat pesor,
tirthanya Ida Pedanda dan lain sebagainya. sesajen punjungan putih, dyus kamaligi,
setelah itu buanglah puspa lingga itu sampai
pembungkusnya kesungai atau kelaut,
2.3 Makna Teologis begitulah rangkaian pelaksanaannya.
Makna Teologis yang tersurat dalam Selanjutnya sewaktu-waktu dapat
dilaksanakan upacara Atma Wedana yaitu
Teks Yama Purwana Tattwa adalah ketika Sang
Nyekah/Mamukur. Apabila ini sudah
Hyang Yama Dipati menganugrahkan
terlaksanakan Sang Atma sama-sama
wejangan suksma kepada Sang Pandita mendapat kebahagiaan, dan para Dewata
Antapan Ender, tentang tatacara mengupacarai merasa senang berada didunia ini (YPT 2b –
atma orang yang meninggal, sehingga lahirlah 3a).

94
MAKNA TEOLOGI KEMATIAN UMAT HINDU...(I Made Pasek Subawa, 85-97)
Melalui teks di atas dijelaskan bahwa disisi Dewa Wisnu, jika Upacara Pengabenan
makna pelaksanaan upacara kematian adalah Uttama yang dipilih untuk dilaksanakan maka
agar sang atma memperoleh kebahagiaan yang sang atma akan memperoleh kebahagiaan yang
abadi disisi Dewa Brahma yaitu manifestasi Ida abadi disisi Dewa Mahadewa.
Sang Hyang Widhi sebagai pencipta. Dengan Melalui penjelasan teks di atas dapat
demikian jelaslah bahwa makna upacara dipahami bahwa umat Hindu mengagungkan
kematian adalah mengembalikan sang atma Ida Sang Hyang Widhi dalam berbagai
kepada sang paramatma (sumbernya). manifestasinya. Ida Sang Hyang Widhi, dipuja
Selanjutnya Teks Yama Purwana Tattwa dalam berbagai bentuk sehingga ada penamaan
menguraikan lima (5) bentuk upacara yang berbeda-beda sesuai dengan fungsinya.
pengabenan, dimana masing-masing bentuk Memuja Tuhan dalam berbagai bentuk atau
upacara pengabenan tersebut mempunyai karakter sesuai dengan kemampuan seseorang
makna sendiri-sendiri seperti dijelaskan dalam melukiskannya merupakan ciri khas bagi umat
teks-teks di bawah ini: Hindu yang disebut Adikara.
kewala wwang mati bner tan wnang Pada pembukaan Teks Yama Purwana
mapendem, mangde magseng juga, saika Tattwa sudah menjelaskan bahwa Ida Sang
supacarania, prasida Sang Atma molih Hyang Widhi atau Tuhan itu adalah Esa adanya,
ring Bhatara Brahma, apitwi tan pabia,
seperti yang dijelaskan dalam Teks berikut ini:
swastha ring Sang Hyang Aghni sida
Iki sastra Yama Purwana Tattwa, sdeng
amanggih rahayu Sang Hyang Atma.
Bhatari Durgga ring gaganantara tumon
atma sasar ring kawah agheni, apalih
Terjemahannya:
warna Bhatari marupa Sang HyangYama
Hanya orang yang mati secara wajar tidak
Dipati, angamel ala-ayuning atma, waneh
boleh dikuburkan, agar dibakar saja,
Yani ring Loka, tumdhun ring Wanti Pura,
disertai dengan upacara supaya roh orang
mandadi Bhatari Uma Dewi, ri sdeng nira
tersebut mendapat tempat disisi Dewa
melinggih ring Setragung mraga Bhatari
Brahma. Walaupun tanpa biaya, dengan
Durgha Dewi. Wasitakna Padanda Atap
jalan upacara swasta gheni. Atma akan
Ender, jumujug ring linggih Bhatari, dadi
berhasil mendapat kebahagian yang abadi
kagyat Bhatari, mangkrak-mingkrik kadi
(YPT- 2b). singha lodra, ling ira, wwang paran iki
dating tan pararapan, mangke dak tugel
Melalui teks di atas dapat dipahami gulunta, ridas tinugel gulunya sang
bahwa jika upacara pengabenan swastha jumujug linggih Bhatari, saksana dating
gheni, yang dipilih untuk dilksanakan maka Bhatara Brahma, tka lesu gleng Bhatari.
atma orang yang diaben akan mendapat
kebahagiaan yang abadi disisi Dewa Brahma, Terjemahannya:
jika Pitra yadnya yang dipilih untuk Ini sastra Yama Purwana Tattwa, pada
dilaksanakan maka sang atma akan waktu Dewi Durgha berada di awang-
memperoleh kebahagiaan yang abadi disisi awang menjumpai roh manusia yang
sedang menderita di kawah api. Disitu
Dewa Siwa, jika Upacara Pengabenan Nistha
Dewi Durgha berubah menjadi Sang
yang dipilih untuk dilaksanakan maka sang Hyang Yama Dipati yang mengetahui baik
atma akan memperoleh kebahagiaan yang dan buruknya atma (roh). Setelah Beliau
abadi disisi Dewa Siwa, jika Upacara bosan di Yama Loka, kemudian Beliau
Pengabenan Madhya atau Pranawa yang turun ke Wantipura berwujud Dewa
dipilih untuk dilaksanakan maka sang atma Umadewi. Pada waktu beliau bersemayam
akan memperoleh kebahagiaan yang abadi di Kuburan, beliau berwujud Dewi

95
Volume 3, No. 2, September 2019 ISSN : 2580-7544

Durghadewi. Kemudian disebutkan ini sangat berbeda dengan Hindu dan Buddha
Pendeta Antap Ender mendatangi tempat di India.
Dewi Durgha, disitu beliau tercengang dan Berdasarkan atas paparan tersebut di
menjerit bagaikan singa yang garang, lalu atas jelaslah bahwa Teologis Kematian Umat
beliau berkata; manusia apa ini datang
Hindu di Bali Menurut Teks Yama Purwana
dengan tiba-tiba. Sekarang akan kupenggal
Tattwa adalah bersatunya Jiwatman dengan
lehermu, hampir saja leher orang itu
dipenggal oleh Bhatari Durgha, segera Paramatma melalui berbagai jalan yang sudah
Dewa Brahma datang menghadap, seketika ditetapkan dalam Yama Purwana Tattwa. Jalan
itu kemarahan Dewi Durgha menjadi reda. manapun yang ditempuh pada akihirnya ia akan
(YPT -1b) tiba pada tempat yang sama, yaitu Ida Sang
Hyang Widhi, karena pada hakikatnya Hindu
Teks di atas menjelaskan bahwa Dewi meyakini Tuhan itu satu adanya, akan tetapi
Durgadewi adalah manifestasi Ida Sang Hyang manifestasinyalah yang berbeda-beda.
Widhi sebagai penguasa kuburan, Sang Hyang Selanjutnya melalui pelaksanaan upacara
Yama Dipati adalah manifestasi Ida Sang kematian diyakini; 1) keluarga yang
Hyang Widhi sebagai penguasa atma (roh), ditinggalkan dapat membayar hutangnya
Dewi Umadewi adalah manifestasi Ida Sang kepada leluhur, 2) atma leluhur bisa sampai
Hyang Widhi ketika bersemayam di Wantipura, tempat yang dituju (Tuhan Yang Maha Esa), 3)
Dewa Brahma adalah manifestasi Ida Sang dengan demikian alam semesta akan menjadi
Hyang Widhi sebagai pencipta alam semesta tenang sehingga para dewa akan merasa
beserta segala isinya. nyaman disana.
Lebih jauh jika memperhatikan prosesi
ngaskara yang tersurat dalam Teks Yama III. PENUTUP
Purwana Tattwa, demikian juga gambar Makna Upacara Kematian Menurut
ulantaganya, jelas Teks Yama Purwana Tattwa Teks Yama Purwana Tattwa adalah untuk
merupakan tuntunan praktis pelaksanaan mempercepat proses bersatunya Jiwatman
upacara kematian bagi umat Hindu dengan dengan Paramatma (atma sebagai unsur
karakter Siwaisme, sebab bagi umat Hindu yang pemberi kehidupan dengan Ida Sang Hyang
berkarakter Buddhisme, upacara pangaskaraan Widhi sebagai pencipta). Melalui kumpulan
adalah upacara padiksaan terhadap sang atma, Weda Puja Pitra Siwa dijelaskan bahwa atma
yang rangkaian pelaksanaannya adalah sebagai akan tiba pada beberapa tempat sesuai dengan
berikut: mayat dibersihkan/disucikan seperti bentuk upacara pengabenan yang dilaksanakan
prosesi nusang sawa, dipakaikan pakaian yaitu : Brahma Loka, Wisnu Loka, Siwa Loka,
lengkap, atmanya dipangggil dengan puja serta Mahadewa Loka, akan tetapi manggala
uttapi, selanjutnya dilaksanakan upacara diksa. Teks Yama Purwana Tattwa dengan jelas
Setelah upacara pengabenan berakhir menguraikan bahwa Ida Sang Hyang Widhi
dilanjutkan dengan Upacara Nuntun Dewa pada hakikatnya adalah Esa, akan tetapi sesuai
Hyang, tidak ada upacara ngerorasin atau dengan tempat, waktu serta kedaaan Beliau
nyekah. Selanjutnya gambar ulantaga bagi akan merubah dirinya sehingga orang-orang
umat Hindu dengan karakter Buddhisme adalah bijaksana akan menyebut Beliau dengan nama
berupa gambar ulat, sedangkan bagi umat yang berbeda pula.
Hindu dengan karakter Siwaisme adalah kupu- Melalui prosesi pengaskaraan serta
kupu. Demikianlah Hindu dan Buddha di surat (gambar) ulantaga dapat dipahami bahwa
Indonesia pada hakikatnya adalah satu, paham Teks Yama Purwana Tattwa adalah tuntunan
pelaksanaan upacara kematian bagi umat Hindu

96
MAKNA TEOLOGI KEMATIAN UMAT HINDU...(I Made Pasek Subawa, 85-97)
dengan karakteristik Siwaistis. Dengan
demikian teologi kematian umat Hindu di Bali
kajian Yama Purwana Tattwa adalah bersatunya
jiwatman dengan paramatman. Walaupun
banyak arah yang dapat ditempuh oleh atma
dalam perjalanannya menuju Paramatma, akan
tetapi pada hakikatnya Ida Sang Hyang Widhi
itu Esa adanya.

DAFTAR PUSTAKA

Koentjaraningrat. 1985. Ritus Peralihan di


Indonesia. Jakarta :Balai Pustaka.
Mas, Putra, 1982. Upakara Yadnya. Denpasar.
Masniwara, I Wayan, 1997. Srimad Bhagawad
Gita Dalam Bahasa Inggris dan
Indonesia. Surabaya : Paramita.
Pulasari, Jero Mangku, 2007. Pengastawa Pitra
yadnya Lan Gambar-Gambar. Surabaya
: Paramita.
Sastra, I Gede Sara, 2005. Tuntunan Praktis
Urutan Upacara Memandikan Mayat
(Nyiramang Layon). Surabaya : Paramita.
Surayin, Ida Ayu Putu, 2005. Pitra Yajna (Seri
V Upakara Yajna), Surabaya, Paramita.
Titib, I Made, 2003. Teologi dan Simbul-Simbul
Dalam Agama Hindu. Surabaya :
Paramita.
Titib, I Made, 2006. Persepsi Umat Hindu di
Bali Terhadap Sorga, Neraka Moksa
Dalam Swargarohana Parwa, Perspektif
Kajian Budaya. Denpasar : Paramita
Surabaya.
Wiana, I Ketut, 1998. Berbhakti Pada Leluhur,
Upacara Pitra yadnya dan Upacara
Nuntun Dewa Hyang. Paramita :
Surabaya.
Wiana, I Ketut, 2004, Air dan Fungsi Sarana
Persembahyangan, Paramita, Surabaya.
Zoetmulder, P.J, 2005. Adiparwa Bahasa Jawa
Kuno dan Indonesia. Surabaya :
Paramita.

97

Anda mungkin juga menyukai