Anda di halaman 1dari 677

Covid-19, Perubahan Iklim dan

Akses Rakyat terhadap Keadilan

Prosiding Konferensi Nasional Hak Asasi Manusia,


Kebudayaan dan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan
Indonesia pada Masa Pandemi COVID-19: Tantangan
untuk Keilmuan Hukum dan Sosial
Volume 4
UU No 28 tahun 2014 tentang Hak Cipta
Fungsi dan sifat hak cipta Pasal 4
Hak Cipta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf
a merupakan hak eksklusif yang terdiri atas hak moral
dan hak ekonomi.
Pembatasan Pelindungan Pasal 26
Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23,
Pasal 24, dan Pasal 25 tidak berlaku terhadap:
i Penggunaan kutipan singkat Ciptaan dan/atau
produk Hak Terkait untuk pelaporan peristiwa aktual
yang ditujukan hanya untuk keperluan penyediaan
informasi aktual;
ii Penggandaan Ciptaan dan/atau produk Hak Terkait
hanya untuk kepentingan penelitian ilmu
pengetahuan;
iii Penggandaan Ciptaan dan/atau produk Hak Terkait
hanya untuk keperluan pengajaran, kecuali
pertunjukan dan Fonogram yang telah dilakukan
Pengumuman sebagai bahan ajar; dan
iv Penggunaan untuk kepentingan pendidikan dan
pengembangan ilmu pengetahuan yang
memungkinkan suatu Ciptaan dan/atau produk Hak
Terkait dapat digunakan tanpa izin Pelaku
Pertunjukan, Produser Fonogram, atau Lembaga
Penyiaran.

Sanksi Pelanggaran Pasal 113


1. Setiap Orang yang dengan tanpa hak melakukan
pelanggaran hak ekonomi sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 9 ayat (1) huruf i untuk Penggunaan
Secara Komersial dipidana dengan pidana penjara
paling lama 1 (satu) tahun dan/atau pidana denda
paling banyak Rp100.000.000 (seratus juta rupiah).
2. Setiap Orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa
izin Pencipta atau pemegang Hak Cipta melakukan
pelanggaran hak ekonomi Pencipta sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf c, huruf d,
huruf f, dan/atau huruf h untuk Penggunaan Secara
Komersial dipidana dengan pidana penjara paling
lama 3 (tiga) tahun dan/atau pidana denda paling
banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
Covid-19, Perubahan Iklim dan
Akses Rakyat terhadap Keadilan

Prosiding Konferensi Nasional Hak Asasi Manusia,


Kebudayaan dan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan
Indonesia pada Masa Pandemi COVID-19: Tantangan
untuk Keilmuan Hukum dan Sosial
Volume 4

Myrna A. Safitri; Firman; Arasy Pradana A Azis;


Sukma Impian Riverningtyas; I Putu Sastra Wibawa;
Hasbi Assidiq; Muhammad Anwar; Siti Nurhaliza Bachril;
Ayu Fitriyani; Elizabeth Arden Madonna; Refki Saputra;
Safira Salsabila; Rizky Karo Karo; Morita Christallago;
Gracielle Serenata Imanuella Tambunan; Rio Christiawan;
Arif Awaludin; Irwan Kurniawan Soetijono; Andin Martiasari;
Veri Kurniawan; Gangga Santi Dewi; Bambang Eko Turisno;
Amiek Soemarmi; Maryanti; Muh. Jamil; Haris Retno
Susmiyati; Herdiansyah Hamzah; Malik;
Mega Dwi Yulyandini; Andreas Tedy Mulyono

Penerbit

CV. MEDIA SAINS INDONESIA


Melong Asih Regency B40 - Cijerah
Kota Bandung - Jawa Barat
www.penerbit.medsan.co.id
Covid-19, Perubahan Iklim dan
Akses Rakyat terhadap Keadilan

Prosiding Konferensi Nasional Hak Asasi Manusia, Kebudayaan dan


Tujuan Pembangunan Berkelanjutan Indonesia pada Masa Pandemi
COVID-19: Tantangan untuk Keilmuan Hukum dan Sosial
Volume 4

Myrna A. Safitri; Firman; Arasy Pradana A Azis;


Sukma Impian Riverningtyas; I Putu Sastra Wibawa;
Hasbi Assidiq; Muhammad Anwar; Siti Nurhaliza Bachril;
Ayu Fitriyani; Elizabeth Arden Madonna; Refki Saputra;
Safira Salsabila; Rizky Karo Karo; Morita Christallago;
Gracielle Serenata Imanuella Tambunan; Rio Christiawan;
Arif Awaludin; Irwan Kurniawan Soetijono; Andin Martiasari; Veri
Kurniawan; Gangga Santi Dewi; Bambang Eko Turisno; Amiek
Soemarmi; Maryanti; Muh. Jamil; Haris Retno Susmiyati;
Herdiansyah Hamzah; Malik;
Mega Dwi Yulyandini; Andreas Tedy Mulyono

Desain Cover :
Rintho Rante Rerung
Tata Letak :
Harini Fajar Ningrum
Proofreader :
Rintho Rante Rerung
Ukuran :
A5: 15,5 x 23 cm
Halaman :
xx, 649
ISBN :
978-623-6882-72-6
Terbitan:
Desember, 2020

Hak Cipta 2020, Pada Penulis


Isi diluar tanggung jawab penerbit
Hak cipta dilindungi Undang-Undang. Dilarang keras menerjemahkan,
memfotokopi, atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari Penerbit atau Penulis.
PENERBIT MEDIA SAINS INDONESIA
(CV. MEDIA SAINS INDONESIA)
Melong Asih Regency B40 - Cijerah
Kota Bandung - Jawa Barat
www.penerbit.medsan.co.id
Covid-19, Perubahan Iklim dan Akses Rakyat Terhadap
Keadilan - Prosiding Konferensi Nasional Hak Asasi Manusia,
Kebudayaan dan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan
Indonesia pada Masa Pandemi Covid-19: Tantangan untuk
Keilmuan Hukum dan Sosial, Vol. 4/Penyunting: Myrna A.
Safitri, Asep Yunan Firdaus, Agung Wibowo, Jakarta: Media
Sains Indonesia, 2020.

xx, 649 hlm.: ill. [15,5 cm x 23 cm]

Panitia Pengarah:
Dekan Fakultas Hukum Universitas Pancasila
Para Wakil Dekan Fakultas Hukum Universitas Pancasila
Dr. Myrna A. Safitri, S.H., M.Si.
Dr. Kunthi Tridewiyanti, S.H., M.A.
Dr. M. Ilham Hermawan. S.H., M.H.
Dr. Herlambang P. Wiratraman, S.H., M.A.
Dr. Widodo Dwi Putro, S.H., M.H.
Ning Adiasih, S.H., M.H.
Asep Yunan Firdaus, S.H., M.H.
Agung Wibowo, S.S., M.A.

Panitia Pelaksana:
Penanggungjawab: Pimpinan Fakultas Hukum Universitas
Pancasila
Ketua: Lisda Sjamsumardian, S.H., M.H.
Sekretaris: Cipta Indralestari Rachman, S.H., M.H.
Anggota:
Dr. Ricca Anggraeni, S.H., M.H.
Suryanto Siyo, S.H., M.H.
Abdul Haris, S.H.
Claudia Ramdhani Fauzia, S.H., LL.M.
Paiman, S.H.
Irwan Eko Putranto
Wildan Muttaqien Ruspiadi
Abdul Kadir, S.H.
Indri Anggraeni, S.Ikom.
Patmiyanto
Sri Sumarni

ISBN (978-623-6882-72-6)
KATA PENGANTAR

Dekan Fakultas Hukum Universitas Pancasila

Prof. Dr. Eddy Pratomo, S.H., M.A.

Hak Asasi Manusia, Sustainable Development Goals


dan tantangan pencapaiannya pada situasi Pandemi
Covid-19

SDGs, komitmen global dan nasional

Pandemi Covid-19 tidak hanya berpengaruh pada


persoalan domestik, tetapi juga pada komitmen negara-
negara terhadap pencapaian Tujuan Pembangunan
Berkelanjutan/Sustainable Development Goals (SDGs).
SDGs, sebagaimana kita ketahui, adalah cetak biru
pembangunan masa depan untuk mewujudkan
kehidupan yang lebih baik dan lebih berkelanjutan.
Sasaran perbaikan diarahkan untuk membenahi
sejumlah klaster masalah pembangunan, baik dalam
dimensi ekonomi, lingkungan, sosial dan hukum.

Melalui SDGs negara-negara berkomitmen menghadirkan


dunia tanpa kemiskinan, tanpa kelaparan, dan
terjaminnya kehidupan yang sehat dan sejahtera bagi
penduduk pada semua usia. Pendidikan inklusif dan
berkualitas diupayakan. Demikian pula kesetaraan
gender dan pemberdayaan perempuan.

i
Pembangunan di sektor ekonomi didorong menyediakan
pekerjaan yang layak dan mengupayakan pertumbuhan
ekonomi yang inklusif dan berkelanjutan. Diupayakan
pula penyediaan infrastruktur tangguh dengan industri
inklusif, berkelanjutan dan mendorong inovasi, serta
berkurangnya kesenjangan intra dan antar negara.

Dalam aspek lingkungan, pengelolaan dan penyediaan air


bersih dan sanitasi yang layak, akses pada energi bersih,
menjadikan kota dan pemukiman inklusif, aman, tangguh
dan berkelanjutan, serta konsumsi dan produksi
berkelanjutan dan bertanggung jawab menjadi beberapa
tujuan. Juga dilakukan tindakan cepat menangani
perubahan iklim, melestarikan dan memanfaatkan secara
berkelanjutan sumber daya kelautan dan samudera,
melindungi, merestorasi, dan meningkatkan pemanfaatan
berkelanjutan ekosistem daratan, mengelola hutan secara
lestari, menghentikan penggurunan, memulihkan
degradasi lahan, serta menghentikan kehilangan
keanekaragaman hayati.

Persoalan hukum dan keadilan menjadi agenda penting


pula dalam SDGs dimana diperlukan aksi untuk
menguatkan masyarakat yang inklusif dan damai untuk
pembangunan berkelanjutan, menyediakan akses
keadilan untuk semua, dan membangun kelembagaan
hukum dan pemerintahan yang efektif, akuntabel, dan
inklusif di semua tingkatan.

ii
Seluruh agenda SDGs ini disadari harus didukung oleh
kemitraan global yang adil untuk pembangunan
berkelanjutan

Tahun 2030 menjadi target waktu yang disepakati negara-


negara untuk mewujudkan target-target itu. September
2019 lalu, pada SDGs Summit, para pemimpin dunia
menyerukan mobilisasi aksi bersama mengejar target-
target SDGs pada 10 tahun ke depan. A decade of Action
membungkus seruan itu. Sekjen PBB meminta agara
mobilisasi aksi itu dilakukan pada tiga tingkatan: (1) Aksi
Global untuk menjamin kepemimpinan yang lebih tegas,
lebih banyak sumber daya, dan solusi yang lebih cerdas
untuk Tujuan Pembangunan Berkelanjutan; (2) Aksi
Lokal berupa kebijakan, anggaran, lembaga, dan regulasi
di semua level pemerintahan; (3) Aksi Masyarakat
(People Action), yang dapat dilakukan oleh pemuda,
masyarakat sipil, media, sektor swasta, serikat pekerja,
akademisi, dan pemangku kepentingan lainnya, untuk
menghasilkan gerakan mendorong transformasi yang
dibutuhkan.

SDGs pada masa Pandemi

Sepuluh tahun menuju 2030, bukan waktu yang lama.


Tantangan pencapaian target SDGs semakin bertambah
ketika Pandemi Covid-19 mendera kita. Untuk itu
diperlukan kecepatan melakukan penyesuaian.

iii
Bagaimanapun, Pandemi ini berimbas pada berbagai
sektor. Urusan lapangan pekerjaan terutama bagi sektor
informal, misalnya, menjadi ancaman serius. Kelompok-
kelompok miskin mungkin akan bertambah dengan
hadirnya kelompok rentan-miskin yang kini benar-benar
tergelincir jatuh menjadi miskin. Ancaman pada
ketersediaan pangan yang disuarakan FAO beberapa lalu
juga menjadi alarm penting bagi kita. Jalur distribusi yang
terganggu akibat PSBB berimbas pada ketersediaan
pangan terutama di perkotaan.

Di dunia pendidikan, sebagaimana kami alami dengan


pembelajaran daring membawa sejumlah masalah dan
menuntut penyesuaian dari seluruh sivitas akademika.
Memastikan bahwa mahasiswa mendapat pendidikan
berkualitas adalah tantangan utama. Bagaimanapun, hak
mahasiswa atas pendidikan tetap harus dipenuhi meski
dengan berbagai kendala teknologi yang dihadapi.
Demikian pula, para dosen dituntut mampu memfasilitasi
proses belajar jarak jauh dan pengabdian masyarakat
dengan menggunakan teknologi daring.

Respon Hukum dan Kebijakan

Pada 2017 telah terbit Perpres Nomor 59 Tentang


Pelaksanaan Pencapaian Tujuan Pembangunan
Berkelanjutan yang memuat target nasional SDGs dalam
kaitan dengan RPJMN 2015-2020. Tentu Perpres ini perlu
disesuaikan. Yang pertama untuk mengaitkannya dengan
iv
RPJMN 2020-2024, dan untuk menyesuaikan dengan
tantangan pada masa dan pasca Pandemi Covid-19 ini.
Kementerian PPN/Bappenas menyatakan bahwa Pandemi
Covid-19 mendorong penyesuaian strategi dan upaya
mencapai target SDGs. Saat ini tengah disusun draf
Rencana Aksi Nasional (RAN) 2020–2024 untuk
pencapaian SDGs, dengan menempatkan pada konteks
pemulihan pasca Pandemi Covid-19.

Sementara itu, Pemerintah dan pemerintah daerah juga


telah membuat sejumlah regulasi terkait dengan
pemulihan ekonomi, refocussing anggaran, PSBB,
transportasi dan sebagainya. Bagaimana ini semua
dipandang dari sudut pandang pencapaian SDGs adalah
agenda yang belum dilakukan.

Pada sisi yang lain terdapat perkembangan pembentukan


hukum yang kontroversial dan sedikit banyak berimbas
pada SDGs seperti halnya UU mengenai Minerba. Hal ini
berkait dengan tujuan membangun energi bersih dan
pengendalian perubahan iklim.

Mengukuhkan SDGs sebagai kerangka pembangunan


pasca Pandemi Covid-19

Pandemi Covid-19 pada akhirnya menuntut cara baru


memandang dan melaksanakan pembangunan. Meski
target-target global dan nasional SDGs akan sulit dicapai
karena Pandemi ini, tetapi peristiwa ini sekaligus
mengingatkan bahwa kerangka SDGs dapat menjadi
v
acuan untuk semua upaya pemulihan kehidupan pasca
Pandemi. Ke-17 Tujuan dalam SDGs masih relevan untuk
tujuan itu.

Pembangunan ekstraktif, eksklusif dan tidak


memerhatikan akses terhadap keadilan, tidak dapat
dipertahankan. Komunitas Ilmu Hukum tentu berperan
penting karena seluruh tujuan SDGs terkait dengan aspek
hukum dan kebijakan, tidak sekedar Tujuan 16.
Persoalan Hak Asasi Manusia, lingkungan, kebudayaan,
ekonomi dan sosial dalam kebijakan pemulihan pasca
Pandemi penting dibahas. Rencana Bappenas menyusun
Rencana Aksi Nasional (RAN) SDGs 2020–2024 perlu
mempertimbangkan hal-hal tersebut yang sebagian
dibahas dalam Konferensi ini. Karena itu, adalah
momentum yang tepat bagi kita semua untuk
mendiskusikan bersama dalam Konferensi ini dan
menyampaikan usulan kepada Pemerintah.

Akhirnya, semua upaya yang disampaikan di atas


memerlukan kerja sama antar disiplin. Ilmu Hukum perlu
bersama-sama dengan disiplin lain membahas dan
membangun riset yang solid terkait hal ini. Konferensi ini
menjadi ajang akademik yang penting untuk
mendiskusikan peran strategi hukum dan kontribusi
akademisi dan praktisi dalam merespon Pandemi Covid-
19 yang berpijak pada Hak Asasi Manusia dan
mendukung pencapaian SDGs.

vi
SEKAPUR SIRIH EDITOR

Konferensi Nasional Online bertema Hak Asasi Manusia,


Kebudayaan dan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan
Indonesia pada Masa Pandemi Covid-19: Tantangan
Untuk Keilmuan Hukum dan Sosial diselenggarakan oleh
Fakultas Hukum Universitas Pancasila bersama dengan
Pusat Studi Pancasila Universitas Pancasila, Asosiasi
Filsafat Hukum Indonesia, Kaukus Indonesia untuk
Kebebasan Akademik, Asosiasi Pengajar Hukum Adat,
Epistema Institute dan Perkumpulan HuMa pada tanggal
27-28 Juni 2020. Tujuannya untuk mendiskusikan
persoalan hak asasi manusia dan kebudayaan selama
Pandemi Covid-19, serta implikasinya pada pemenuhan
target Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable
Development Goals, SDGs) di Indonesia. Lebih umum lagi,
Konferensi ini juga membahas bagaimana keilmuan
hukum dan sosial mampu menjawab masalah ini. Selain
itu juga didiskusikan peran Pancasila, sebagai sumber
falsafah dan Cita Hukum Nasional, dan untuk menjawab
dinamika sosial, ekonomi, politik, dan lingkungan hidup.
Konferensi ini diselenggarakan untuk menyediakan forum
berbagi pandangan dan temuan hasil penelitian dari para
akademisi, mahasiswa, peneliti, aktivis sosial dan pelaku
kebijakan. Diskusi dipandu oleh semangat

vii
mengedepankan dialog antar disiplin dimana ilmu hukum
penting berkolaborasi dengan ilmu lain.

Prosiding ini berisikan makalah yang dipresentasikan


pada Panel 4 dan Panel 5 yang masing-masing bertema:
“Penegakan Hukum Lingkungan dan Tantangan
Menyeimbangkan Akses Terhadap Keadilan dan
Perlindungan Lingkungan” (Panel 4) dan “Hukum Rakyat
dan Perubahan Iklim” (Panel 5). Diskusi di dalam panel
membahas peran hukum nasional dalam percepatan
perubahan bentang alam; dialektik antar sistem hukum
dalam menghadapi dualisme kepentingan investasi dan
konservasi sumber daya alam; penegakan hukum dan
akses terhadap keadilan bagi masyarakat; pandangan
antroposentrisme dan biosentrisme dalam memitigasi
perubahan iklim; serta kerangka hukum yang berkeadilan
bagi masyarakat termarjinalkan.

Kami mengucapkan terima kasih kepada seluruh


pembicara tamu dan pemakalah yang telah
mendinamisasi diskusi dalam pabel ini. Prosiding ini
berhasil menghimpun 16 makalah yang yang
dipresentasikan dalam Konferensi.

viii
RANGKUMAN HASIL KONFERENSI

I. Konteks masalah

Zoonosis, termasuk yang kini menjadi Pandemi


COVID-19, ditemukan muncul dari pusat-pusat
produksi, yang bekerja atas dasar logika kapitalisme
antroposentrik, dan cenderung menafikan
keseimbangan ekosistem. Kegiatan produksi
semacam itu menyebabkan perubahan dan
kerusakan bentang alam. Pada akhirnya juga
mengganggu kebudayaan agraris masyarakat. Hal
ini memicu berbagai kerentanan sosial, ekonomi dan
kesehatan.

Pada sisi yang lain, sistem agro-ekologi sebagaimana


dipraktikkan banyak komunitas, menempatkan
keseimbangan sebagai hal esensial dalam
memanfaatkan dan merawat alam. Dibungkus oleh
nilai-nilai kearifan lingkungan dalam hukum adat,
keseimbangan antara keadilan sosial dan
lingkungan menjadi ruh dalam sistem hukum adat.

II. Dampak multi dimensi COVID-19

Pandemi COVID-19 di Indonesia menimbulkan


berbagai permasalahan yang langsung atau tidak
berkaitan dengan hak-hak sipil, ekonomi dan sosial
budaya dari warga negara. Persoalan kesehatan
ix
mewarnai kebijakan dan diskursus publik.
Ketahanan ekonomi nasional, daerah, desa dan
rumah tangga mengalami gangguan. Sejumlah
regulasi dan kebijakan diaktivasi dan dibentuk
untuk mengendalikan COVID-19, termasuk
mengatasi berbagai aspek ikutannya. Hal ini antara
lain mengenai dunia pendidikan, pelaksanaan
ibadah, ritual sosial dan kebudayaan, hak
berkumpul dan berpindah, serta kegiatan usaha di
sektor formal dan informal.

Kelompok-kelompok terdampak COVID-19


menyebar dari tenaga kesehatan, anak-anak hingga
lansia, penyandang disabilitas, pekerja sektor
formal, informal dan pekerja migran, petani, warga
miskin dan nyaris miskin, serta perempuan.
Sementara itu, ditemukan pula persoalan dalam
akses, partisipasi, kontrol dan manfaat yang
dirasakan masyarakat adat, di bidang budaya benda
dan non benda, pada masa Pandemi COVID-19 dan
normal baru.

Pada masa Pandemi ini, terjadi juga pengerdilan


ruang sipil, melalui serangan kepada kebebasan
berpendapat, kebebasan akademik, kebebasan pers,
kebebasan media dan sejumlah persoalan
kebebasan sipil lainnya. Pembungkaman ekspresi

x
terjadi termasuk menguatnya pelembagaan
diskriminasi dalam penegakan hukum.

Sekalipun instrumen hukum Hak Asasi Manusia


(HAM) telah lengkap, namun terjadi inkonsistensi
dalam bentuk pengabaian atau bahkan tindakan
pelanggaran terhadap instrumen HAM, seperti
tekanan, intimidasi, pembubaran diskusi,
peretasan, persekusi dan bahkan ancaman
pemenjaraan di berbagai kasus. Digital rights,
sebagai karakter baru komunikasi dan akses
informasi pun lemah seiring dengan tiadanya hukum
yang melindungi data pribadi. Otoritas justru
mengeraskan mata rantai impunitas dalam
pertanggungjawaban hukumnya. Melemahnya
perlindungan kebebasan sipil dan HAM
mengindikasikan realitas 'everyday
authoritarianism'.

Pandemi COVID-19 menuntut cara baru


memandang dan melaksanakan pembangunan
dalam seluruh dimensi, termasuk dalam aspek
hukum, politik, sosial-ekonomi-kebudayaan dan
lingkungan hidup. Negara-negara demokrasi
sekalipun memerlukan penyesuaian baru terkait
dengan persoalan kebebasan individu dan kelompok
dengan kesehatan masyarakat. Etika
antroposentrisme dalam pembangunan perlu

xi
ditinjau ulang dimana ekosentrisme yang
mendukung keseimbangan keadilan sosial dan
lingkungan, menjadi alternatif.

III. HAM dan SDGs sebagai kerangka pemulihan pasca


Pandemi COVID-19

Kerangka Hak Asasi Manusia disarankan tetap


menjadi acuan dalam berbagai pembentukan dan
pelaksanaan regulasi dan kebijakan penanganan
dan pemulihan pasca Pandemi COVID-19. Eliminasi
diskriminasi ras dan etnis, termasuk terhadap
masyarakat adat dan kelompok rentan lain perlu
terus dilakukan. Di samping itu, jaminan
perlindungan kebebasan berpendapat, serta
kebebasan beragama dan berkeyakinan tetap
diberikan.

Kondisi kedaruratan perlu ditanggapi hati-hati agar


tidak menjadi ancaman bagi perlindungan dan
pemenuhan HAM dan demokrasi. Kebebasan
berpendapat, akses terhadap informasi dan teknologi
yang benar dan dapat dipertanggungjawabkan, serta
kebebasan akademik adalah elemen penting
demokrasi.

Perpres Nomor 59 Tahun 2017 Tentang Pelaksanaan


Pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan
yang memuat target nasional SDGs dalam kaitan
dengan RPJMN 2015-2020 perlu ditinjau ulang.
xii
Pandemi COVID-19 mendorong penyesuaian strategi
dan upaya mencapai target SDGs. Saat ini tengah
disusun draf Rencana Aksi Nasional (RAN) 2020–
2024 untuk pencapaian SDGs, dengan
menempatkan pada konteks pemulihan pasca
Pandemi COVID-19. Persoalan HAM dalam berbagai
dimensinya, aspek lingkungan, kebudayaan,
ekonomi dan sosial, dalam kebijakan pemulihan
pasca Pandemi penting masuk ke dalam Rencana
Aksi tersebut.

SDGs secara keseluruhan perlu menjadi acuan


untuk semua upaya pemulihan kehidupan pasca
Pandemi dimana ke-17 Tujuan dalam SDGs masih
relevan untuk hal itu.

IV. Pancasila dan Negara Hukum Indonesia

Keberadaan hukum negara, hukum agama, hukum


adat dan hukum rakyat, sebagai fakta pluralisme
hukum di Indonesia, perlu dilihat peran
komplementarinya. Tidak hanya pada persoalan
konflik dan kontestasi hukum. Semua sistem hukum
semestinya memberikan ruang-ruang keadilan
sosial-ekologi, bagi masyarakat dan spesies lain.
Adagium “Salus populi suprema lex esto”, dalam
bahasa yang berbeda juga dikenal dalam hukum
agama dan hukum adat. Keselamatan,

xiii
kesejahteraan manusia adalah tujuan utama
hukum.

Namun demikian, adagium tersebut masih kental


diwarnai falsafah antroposentrik. Falsafah ini
memicu ekstraksi sumber daya alam, yang berujung
pada terganggunya keseimbangan ekosistem dan
perubahan iklim.

Keadilan lingkungan menjadi bagian yang sama


penting dengan keadilan sosial. Keadilan lingkungan
dalam dimensi Pancasila adalah pengembangan misi
berbangsa dan bernegara, bersifat kosmopolitan dan
lintas generasi. Indonesia sebagai negara yang
berketuhanan memandang bahwa manusia selalu
bergantung pada alam (lingkungan). Oleh sebab itu
alam pun juga memiliki hak yang sama untuk tidak
dirusak dan dicemari oleh perbuatan manusia yang
“tidak adil dan tidak beradab” terhadap alam.
Keadilan dan adab terhadap alam juga menjadi nilai
penting Pancasila

Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945, sebagai


landasan ideal dan konstitusional sudah seharusnya
menjiwai, dan menyemangati perumusan legal policy
dalam pembangunan hukum.

Dalam perspektif Pancasila, pembangunan Hak


Asasi Manusia disesuaikan dengan karakteristik
negara yaitu kekeluargaan, berkepastian dan
xiv
berkeadilan, religius national state. Selain itu,
hukum juga sarana perubahan masyarakat dan
cermin budaya masyarakat.

Diperlukan pembentukan dan perubahan peraturan


perundang-undangan di tingkat nasional dan daerah
terkait pengakuan dan perlindungan masyarakat
adat dan hak-haknya di segala bidang dengan
perspektif HAM, keadilan gender dan pembangunan
hukum yang berkelanjutan.

Evaluasi yang serius dan konsisten oleh pemerintah


dan lembaga legislatif terhadap produk-produk
hukum lingkungan juga penting. Termasuk terhadap
perizinan atau keputusan administratif lainnya.
Insentif diberikan kepada pelaku kegiatan/usaha
yang tidak merusak lingkungan dan sebaliknya
diberikan sanksi dan disinsentif kepada pelaku
kegiatan/usaha yang merusak lingkungan.

Penegakan hukum lingkungan sudah mengalami


banyak kemajuan. Bukti-bukti saintifik digunakan
dalam proses peradilan. Namun demikian masih
diperlukan banyak judicial activism dimana
penemuan-penemuan hukum oleh hakim perlu
terus dilakukan menghadapi kasus lingkungan yang
makin kompleks. Belum ada mekanisme yang jelas
untuk memastikan biaya kerugian dan pemulihan
lingkungan benar-benar dapat digunakan untuk
xv
aksi pemulihan lingkungan secara cepat.
Kelambatan dalam eksekusi dapat memperparah
kerusakan sehingga biaya pemulihan juga akan
bertambah.

Hal lain dari penegakan hukum adalah ketiadaan


mekanisme eksekusi pada putusan-putusan yang
berkekuatan hukum tetap, khususnya pada kasus-
kasus perdata, termasuk yang diajukan dengan
Citizen Law Suit.

Degradasi prinsip-prinsip Negara Hukum harus


diakhiri. Hukum tidak bisa semena-mena
dipraktikkan, sehingga menjadi karakter 'autocratic
legalism', yang pula melegitimasi klaim dan
propaganda kebenaran dari tafsir tunggal terhadap
hukum.

V. Kolaborasi Inter dan Transdisiplin

Ilmu Hukum bersama-sama dengan disiplin ilmu lain


perlu digunakan untuk membahas dan membangun riset
dan rekomendasi kebijakan yang solid terkait masalah
hak asasi manusia, kebudayaan dan pembangunan
berkelanjutan.

Lain daripada itu, perlu didorong metodologi riset dalam


ilmu hukum, termasuk hukum adat, yang lebih beragam.
Di antaranya dengan pendekatan sosiolegal.

xvi
Tantangan lain kepada komunitas hukum adalah
kemampuan melakukan kajian cepat terhadap berbagai
masalah hukum dan kemasyarakatan dengan
rekomendasi-rekomendasi kebijakan yang dapat
dilaksanakan. Di sinilah, para akademisi dan peneliti
perlu membangun kerja sama riset transdisiplin dengan
praktisi termasuk riset aksi bersama warga masyarakat.

Produksi pengetahuan secara terus-menerus, kritis dan


berkualitas memerlukan dukungan pada kebebasan
akademik. Perguruan tinggi perlu mendukung dan
melindungi tradisi akademik yang baik dimana kebebasan
akademik menjadi salah satu prasyarat.

[Rangkuman ini disusun berdasarkan materi dalam


keynote speech, materi 33 invited speakers, 184 panelis
dan diskusi dalam masing-masing panel]

xvii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ......................................................... i


SEKAPUR SIRIH EDITOR ............................................. vii
RANGKUMAN HASIL KONFERENSI ............................... ix
DAFTAR ISI .............................................................. xviii
KAPITALISME PEMBUKA KOTAK PANDORA? ................. 1
Pidato Kunci Noer Fauzi Rachman
1 Hukum, Kesejahteraan Hewan dan Zoonosis: Aspek
Hukum yang Terlupakan dalam Penanggulangan
Covid-19 di Indonesia ............................................ 43
Myrna A. Safitri, Firman
2 Mencegah Pandemi dengan Insentif Karbon Biru
(Pengelolaan Mangrove Berbasis Perhutanan Sosial
Berorientasi Penyimpanan dan/atau Penyerapan
Karbon) ................................................................. 81
Arasy Pradana A Azis, Sukma Impian Riverningtyas
3 Simbiosis Hukum Negara dan Hukum Adat
Menghadirkan Akses Keadilan Saat Pandemi Covid-
19 di Bali ............................................................. 117
I Putu Sastra Wibawa
4 Pemenuhan Ruang Terbuka Hijau: Perlindungan Hak
Atas Lingkungan Hidup yang Baik Bagi Masyarakat
Perkotaan Pasca Covid-19 .................................... 143
Hasbi Assidiq, Muhammad Anwar, Siti Nurhaliza
Bachril
5 Kesadaran Hukum Mahasiswa di D.K.I. Jakarta
terhadap Penggunaan Sampah Plastik Sekali Pakai
Selama Masa Pembatasan Sosial Berskala Besar
Ditinjau Berdasarkan Peraturan Daerah Provinsi DKI
xviii
Jakarta Nomor 3 Tahun 2013 Tentang Pengelolaan
Sampah ............................................................... 173
Ayu Fitriyani
6 Menimbang Mekanisme Koordinasi Penegakan
Hukum Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup
yang Berkelanjutan.............................................. 223
Elizabeth Arden Madonna, Refki Saputra, Safira
Salsabila
7 Memperbaiki HAM dan Lingkungan di Masa Covid-19
Perspektif Keadilan Bermartabat (Studi Kasus
Karhutla Kalimantan Tengah) .............................. 271
Rizky Karo Karo, Morita Christallago, Gracielle
Serenata Imanuella Tambunan
8 Penyimpangan Pelaksanaan Penilaian Usaha
Perkebunan Provinsi Kalimantan Tengah Tahun
2019 .................................................................... 319
Rio Christiawan
9 Pendekatan Zemiologi untuk Menilai Bahaya Sosial
Akibat Eksplorasi Geothermal di Baturaden Jawa
Tengah ................................................................ 355
Arif Awaludin
10 Strategi Adaptasi Nelayan dalam Menghadapi
Perubahan Ekologis di Pantai Cemara
Banyuwangi ......................................................... 393
Irwan Kurniawan Soetijono, Andin Martiasari, Veri
Kurniawan
11 Model Kebijakan Penanggulangan Bencana Banjir
Akibat Reklamasi di Kota Palembang ................... 425
Gangga Santi Dewi, Bambang Eko Turisno, Amiek
Soemarmi

xix
12 Keterkaitan Demokrasi Terhadap Pembangunan
Berkelanjutan Pada Sektor Pertambangan di
Indonesia ............................................................. 453
Maryanti
13 Status Hukum Penggunaan Kawasan Hutan
Konservasi Taman Hutan Raya Bukti Soeharto Untuk
Jalan Pengangkutan Pertambangan Batubara ...... 489
Muh. Jamil, Haris Retno Susmiyati, Herdiansyah
Hamzah
14 Konservasi Adat dan Perlindungan Lingkungan dalam
Kerangka Otonomi Khusus Papua ........................ 529
Malik
15 Eksistensi Masyarakat Hukum Adat dan Warisan
Kearifan Lokal dalam Pelestarian Hutan ............... 551
Mega Dwi Yulyandini
16 Eksistensi Sistem Hukum Lingkungan Hidup
Nasional: Amanat Rakyat Atau Politik Global? ...... 601
Andreas Tedy Mulyono

xx
Kapitalisme Pembuka Kotak Pandora?
Terganggunya Kebudayaan Agraris Tradisional dan
Penyebaran Zoonosis

Pidato Kunci Noer Fauzi Rachman


Pengajar Psikologi Komunitas,
Fakultas Psikologi Universitas Padjajaran
Noer.fauzi.rachman@unpad.ac.id

Gambar 1. Lukisan Pandora opening her box (James Gillray,


1809). James Gillray (1756-1815) adalah pembuat karikatur
dan penatawajah barang cetakan yang terkenal atas satir sosial
dan politik yang dibuatnya kisaran 1792 hingga 1810. Banyak
karyanya dikoleksi di the National Portrait Gallery at London.
Sumber:
https://commons.wikimedia.org/wiki/File:Pandora_opening_her_box_
by_James_Gillray.jpg (akses 25/06/2020)

1
“...
Selamatlah rakyatnya, Selamatlah putranya,
Pulaunya, lautnya, semuanya.
Majulah Negerinya, Majulah pandunya,
Untuk Indonesia Raya.
...”
(Bait ketiga, stanza ketiga, Lirik Lagu Kebangsaan Indonesia
Raya dimuat dalam lampiran Undang-undang No. 24/2009
tentang Bendera, Bahasa dan Lambang Negara, serta Lagu
Kebangsaan).

PEMBUKA

Zeus adalah dewa penguasa Dunia. Karena mencuri api


dari surga, dan kemudian api itu diberikan pada manusia,
Zeus menghukum Promotheus secara brutal,
mengikatnya di tebing dan membiarkan burung-buruh
memakan tubuhnya. Zeus kemudian memerintahkan
Hephaestus, dewa kerajinan tangan, untuk menciptakan
seorang perempuan pertama yang cantik di dunia dari
tanah liat, dinamai Pandora, yang secara harfiah berarti
hadiah yang melimpah, lalu memberinya nyawa dan
suara. Para dewa memberkahinya banyak dengan
keistimewaan: Aphrodite (dewi cinta) memberinya
kecantikan dan pesona-pesona lain, dewa-dewi Horae
(para penguasa waktu) meletakkan mahkota dari
rangkaian bunga seputih salju yang harum semerbak di
kepalanya. Apollo memberinya kemampuan musik,

2
Hermes memberinya kecakapan membujuk, dan Athena
memberkatinya dengan segala gaun-gaun indah dengan
perhiasan yang berkilau, dan sebagainya.

Pandora diberikan untuk Epimetheus, saudara


Promotheus, yang dihukum oleh Zeus tadi. Meski
Promotheus telah memperingatkan Epimetheus
(saudaranya) agar tidak menerima hadiah dari Zeus,
Epimetheus mengabaikan nasihat itu dan menerima
Pandora. Pandora diberi juga Zeus sebuah sebuah kotak
dengan pesan tidak boleh dibuka dalam keadaan apa pun.
Terdorong oleh suara-suara godaan dari semua yang dari
dalam toples, dan hasrat nya untuk membuat Pandora
membuka kotak itu. Akibatnya tak terkira semua
malapetaka buruk keluar kotak dan menyebar ke seluruh
bumi. Dia buru-buru menutup tutupnya, tetapi seluruh
isi toples telah terbang keluar, kecuali untuk hal masih
ada satu terletak di bagian bawah kotak, dan yang satu
itu adalah harapan.1

Metafora mitos Yunani tentang Pandora di atas saya pakai


disini untuk memaknai suatu wabah pandemi dari suatu
penyakit yang dinamai Covid-19, yang sedang melanda
sebagian besar umat manusia sekarang ini (Morens,
Daszak, Taubenger, 2020; Azim, dkk. 2020). Covid-19

1 Sumber cerita: Menelaos Stephanines dan Yannis Stephanides (1989) Banjir


Besar Deukalion Jakarta: Grafiti Press), halaman 1-6; dan Anonimous (1997)
“Pandora”, in Ensiklopedia Mythica
https://pantheon.org/articles/p/pandora.html (diakses 22 Juni 2020).

3
adalah nama yang diberikan oleh Organisasi Kesehatan
Dunia (WHO). Covid adalah singkatan dari corona virus
desease, penyakit yang disebabkan virus corona jenis
khusus yang dinamakan SARS-CoV-2, dan angka 19 dari
saat penyakitnya mulai mewabah 2 di bulan Desember
2019 di Wuhan, Cina.

Setelah menyajikan metafora cerita mitologi Pandora itu,


naskah ini akan menjelaskan etiologi dari Covid-19, dan
berlanjut dengan saya mengedepankan pendekatan
Structural One Heath yang dimotori Robert Wallace dkk
(2016, 2020) bahwa Covid-19 yang bermula dari letusan
(outbreak) Wuhan, Cina, dan wabah dari pathogen
zoonosis lainnya, menyebar oleh penularan antar manusia
yang menyertai rantai komoditas global (global commodity
chains) -- satu karakteristik utama dari bekerjanya
kapitalisme global dewasa ini. Structural One Health
adalah bidang baru, yang meneliti dampak sirkuit modal
global dan konteks fundamental lainnya, termasuk
sejarah budaya yang mendalam, terhadap agroekonomi
regional dan dinamika penyakit terkait lintas spesies
(Wallace, dkk. 2015).

Bagian berikutnya dari artikel ini menunjukkan


bagaimana pengalaman hidup dalam pandemi Covid-19

2 wabah n penyakit menular yang berjangkit dengan cepat, menyerang sejumlah


besar orang di daerah yang luas (seperti wabah cacar, disentri, kolera); epidemi.
wabah » me.wa.bah v menjadi wabah; merata di mana-mana; menular.
https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/wabah;
https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/mewabah.

4
ini memberi petunjuk penting bagaimana kapitalisme
membentuk kombinasi kerentanan ekonomis, ekologis,
dan epidemiologis secara sekaligus, sebagaimana
dikemukakan oleh John Bellamy Foster and Intan
Suwandi (2020).

Naskah ini, pengembangan dari artikel saya sebelumnya


(Fauzi, 2020). Saya mulai menerangkan karakteristik dan
asal-usul dari virus ini mulai dari keluarnya dari inang
dan primary reservoir-nya, berubah menjadi patogen
zoonosis SARS-CoV-2 yang bisa transfer antar manusia,
kemudian menyebar, terutama dalam kondisi konsentrasi
manusia yang kondusif, serta mobilitas manusia
pembawa penyakit, hingga menjadi pandemi yang
mengglobal.

Mulanya adalah pada tanggal 31 Desember 2019, 27


kasus radang paru-paru pneumonia dengan etiologi yang
tidak diketahui diidentifikasi di Kota Wuhan, provinsi
Hubei di Cina.Kota Wuhan adalah kota terpadat di Cina
tengah dengan jumlah penduduk melebihi 11 juta. Semua
kasus terkait dengan Pasar Grosir Makanan Laut Huanan
Wuhan, yang memperdagangkan ikan dan berbagai
spesies hewan hidup termasuk unggas, kelelawar,
marmut, dan ular. Separuh lebih dari mereka yang
terinfeksi Covid-19 adalah laki-laki dengan usia rata-rata
56 tahun (Lu, Stratton, Tang, 2020). Penyebabnya
berhasil diidentifikasi dari sampel usap tenggorokan yang
dilakukan oleh Pusat Pengendalian dan Pencegahan

5
Penyakit Cina (CCDC) pada 7 Januari 2020, dan
kemudian dinamai Covid-19 oleh Organisasi Kesehatan
Dunia (WHO) (WHO, 2020). SARS-CoV-2 sangat mudah
berpindah dari satu manusia ke manusia lain, melalui
butir-butir cairan dari mulut dan hidung (droplet), dan
menyebabkan para penderita Covid-19 mengalami gejala
klinis pneumonia (radang paru-paru): batuk kering, sesak
nafas, demam, dan ada gambaran (infiltrate) akibat
adanya dahak (mucus) di paru-paru. Sebagian besar
pasien yang terinfeksi Covid-19 di Wuhan itu menderita
gejala sulit bernapas akibat terjadinya penumpukan
cairan di dalam kantong paru (edema paru), pneumonia
berat, dan sindrom gangguan pernapasan akut. Mereka
mengalami komplikasi fatal termasuk kegagalan organ,
syok septik (keadaan kegawatdaruratan yang disebabkan
peradangan di seluruh tubuh) (Sohrabi, dkk, 2020).

Virus penyebab covid-19 disebut Severe Acute Respiratory


Syndrome Coronavirus 2 disingkat SARS-CoV-2 adalah
spesies yang tergolong genus betacoronavirus (Beta-CoV),
keluarga besar Coronaviridae. Selain SARS-CoV-2, ada
enam spesies virus dalam keluarga besar ini yang
diketahui menginfeksi manusia, yakni virus yang diberi
kode 229E, NL63, OC43, HKU1, MERS-CoV, dan SARS-
CoV.

BAGAIMANA SARS-COV-2 BISA KELUAR DARI


KELELAWAR SEBAGAI INANG UTAMANYA MENJADI
PATHOGEN ZOONOSIS

6
Virus-virus sesungguhnya mulai dipelajari sebagai asal-
muasal kehidupan. Ia berada di antara benda mati dan
mahluk hidup. Virus-virus memiliki reputasi buruk
karena menginfeksi manusia ini bisa membanyak dengan
fasilitasi protein yang menghidupinya, dan membuatnya
bisa “berkembang biak”. Dalam kasus Covid-19, virus ini
begitu cepat membanyak sedemikian rupa sehingga bisa
membuat penderitanya menjadi pilek saja, atau hingga
gangguan penafasan yang akut. Ketika berkomplikasi
dengan daya tahan tubuh yang lemah, atau penyakit lain
yang telah diidap sebelumnya, bisa sampai
mengakibatkan gangguan organ yang vital, termasuk
kegagalan fungsi organ paru-paru, yang bisa
mengakibatkan kematian.

Karena virus bukan mahluk hidup, ia musti meminjam


mahluk hidup lain, untuk bisa memiliki siklus hidup
hingga melipangandakan dirinya. Coronavirus berukuran
sangat kecil (diameter 65-125 nanometer) memiliki materi
inti satu untaian RNA ukuran panjangnya 26-32 kbs.
Virus SARS CoV-2 termasuk Coronavirus dari subfamily
Orthocoronaviridae family Coronaviridae, Ordo
Nidovirales, dan bisa menginfeksi binatang vertebrata
burung, musang, hingga mamalia. Sebenarnya, maksud
virus ini berpindah ke manusia sama saja dengan
maksudnya berpindahnya ke hewan lainnya, yakni
mencari kehidupan yang dapat menghidupinya. Para

7
peneliti etiologi, 3 ilmu mengenai asal-usul penyakit,
berhasil menemukan bahwa primary reservoir, tuan
rumah pertama, dari Virus SARS CoV-2 adalah kelelawar.
Kemudian mereka menemukan bahwa sampel yang
berasal dari musang yang memperlihatkan hasil deteksi
RNA positif, sehingga diduga musang adalah tuan rumah
kedua. Genom adalah keseluruhan informasi genetik yang
dimiliki organisme. Telah diketahui lebih dari 80 persen
Genom dari SARSCoV2 identik dengan coronavirus yang
lalu (SARS-like bat CoV). Menurut pohon evolusi, SARS2
berada dekat dengan kelompok coronavirus SARS CoV.

Dalam artikelnya, Muhammad Adnan Shereen et al (2020)


menerangkan siklus hidup SARS CoV2 mulai dari saat
masuk sel tuan rumahnya mulai dengan protein S
mengikat pada reseptor cellular ACE2 (lihat Gambar 1).

3 Etiologi/eti·o·lo·gi/ /étiologi/ n 1 cabang biologi tentang penyebab


penyakit; 2 bagian ilmu penyakit tanaman, khususnya mengenai penyebab
utama penyakit, kodrat, sifat, dan ciri-ciri patogen serta hubungannya dengan
tanaman inangnya; 3 cabang ilmu kedokteran tentang sebab dan asal penyakit.
https://kbbi.web.id/etiologi (diakses 13 Juni 2020).

8
Gambar 1: Siklus hidup SARS-CoV-2 dalam sel inang

Setelah mengikat reseptor, protein S melakukan fasilitasi


fusi dari amplop virus dengan sel membran melalui jalan
endosom. SARS -COV2 melepaskan RNA ke sel tuan
rumah. Lalu Genome RNA diterjemahkan pada viral
replicase polyprotein dan mengalirkan produk kecil
dengan viral proteinase. Polymerase kemudian
memproduksi suatu seri dari mRNA sub genomik dengan
menghentikan transkripsi dan akhirnya menerjemahkan
menjadi protein virus yang relevan. Selanjutnya protein
virus dan genom RNA digabungkan pada virion dalam ER
dan Golgi lalu dikirim melalui vesikula dan dilepaskan
keluar dari sel. ACE2, angiotensin-converting enzyme 2;
ER, endoplasmic reticulum; ERGIC, ER–Golgi intermediate
compartment. Mutasi N501T pada protein SARS-CoV2
mungkin meningkatkan secara bermakna kemampuan
mengikat untuk ACE2 (Shereen, dkk., 2020).

9
Transmisi macam-macam mikroba-mikroba dari inang-
inang utama (primary reservoirs)-nya ke binatang-
binatang inang lainnya, lalu ke manusia adalah proses
yang lazim terjadi. Apalagi dalam masyarakat yang hidup
dalam kebudayaan “tradisional agraris”, yang sebagian
makanannya masih didapat dari berburu binatang liar.
Yang menjadi masalah kesehatan publik adalah ketika
suatu mikroba itu pindah ke manusia menjadi pathogen
zoonosis dan pada gilirannya pindah antar manusia,
menyebar luas menjadi wabah. WHO (1959) sudah
semenjak dahulu meneliti mengenai penyakit zoonotik
adalah penyakit yang secara alami dapat menular
dari hewan vertebrata ke manusia (atau sebaliknya)
(WHO, 1959). Selain virus, pathogen zoonosis bisa
dilakukan oleh bakteri, jamur, serta parasite seperti
protozoal dan cacing. Taylor, dkk. (2001) berani
memperkirakan lebih dari 60% penyakit infeksi pada
manusia tergolong zoonosis. Hal ini menimbul
kewaspadaan ahli-ahli kesehatan publik di berbagai
negara di Asia, termasuk Indonesia terhadap penyakit
infeksi yang baru muncul (EID, emerging infectious
disease) serta penyakit infeksi yang muncul kembali (re-
emerging infectious disease), di mana mayoritas penyakit-
penyakit tersebut merupakan zoonosis.4

4 Untuk keterangan dasar mengenai zoonosis lihat I Wayan Suardana (2016) Buku
Ajar Zoonosis, Penyakit Menular Hewan ke Manusia. Yogyakarta: Kanisius; dan

10
Kate E. Jones, dkk. (2008) mengkonfirmasi banyaknya
penyakin infeksi disebabkan zoonosis, melalui analisis
atas 335 insiden penyakit EID antara tahun 1940 dan
2004, dan menunjukkan pola-pola global yang tidak
sembarang (acak). EID telah meningkat secara signifikan
dari waktu ke waktu, dengan puncaknya (pada 1980-an)
bersamaan dengan pandemi HIV. Peristiwa EID
didominasi oleh zoonosis (60,3% EID): sebagian besar
(71,8%) berasal dari satwa liar (misalnya, virus
pernapasan akut parah, virus Ebola), dan meningkat
secara signifikan dari waktu ke waktu. 54,3% kejadian
EID disebabkan oleh bakteri atau rickettsia, yang
mencerminkan sejumlah besar mikroba yang resistan
terhadap obat. Asal-usul EID secara signifikan berkorelasi
dengan faktor sosial-ekonomi, lingkungan dan ekologi,
dan memberikan dasar untuk mengidentifikasi daerah-
daerah di mana EID baru kemungkinan besar berasal
(penyakit yang muncul pada wilayah 'hotspot'). Di banyak
kota di Cina, seperti juga di banyak belahan bumi tropis
dan sub-tropis, makanan dari binatang liar semakin
menjadi bagian sektor ekonomi formal. Ketika produksi
peternakan industrial babi, unggas, dan sejenisnya
meluas membuka hutan-hutan primer, para pemburu
binatang liar untuk dijual, dengan motif peroleh
pendapatan/keuntungan, bergerak masuk lebih dalam ke

Dyah Ayu Widiasih dan Setyawan Budiharta (2013) Epidemiologi


Zoonosis di Indonesia. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

11
sumber utama habitat populasi hewan liar, termasuk
hewan liar yang menjadi inang dari patogen-patogen baru
(Wallace 2009).

Gambar 2. Kover buku yang menjadi rujukan belajar-


mengajar mengenai pathogen zoonosis

Sumber: I Wayan Suardana (2016) Buku Ajar Zoonosis, Penyakit


Menular Hewan ke Manusia. Yogyakarta: Kanisius; dan Dyah Ayu
Widiasih dan Setyawan Budiharta (2013) Epidemiologi
Zoonosis di Indonesia. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

12
Gambar 3: Jumlah insiden penyakit yang baru muncul
(emerging infectious desease, EID) dan sebaran
geografisnya. Insiden EID dikalkulasi per-dekade sehubungan
dengan, (a) tipe patogen, (b), tipe transmisi, (c), resistansi
terhadap obat dan (d), mode transmisi.

Sumber: Kate E. Jones, Nikkita G. Patel, Marc A.


Levy, Adam Storeygard, Deborah Balk, John L. Gittleman,
and Peter Daszak (2008) “Global trends in emerging infectious
diseases”, Nature 451:990-994.

13
Tiap-tiap wabah karena pathogen zoonosis senantiasa
merupakan gejala yang tidak terduga dan menyebabkan
malapetaka kesehatan publik yang parah bagi manusia
(dan bisa juga hewan). Biasanya mekanisme umumnya
ditelusuri melalui pertumbuhan populasi manusia serta
komoditisasi hewan melalui perdagangan, demikian
menurut Corrie Brown (2004). Suatu pathogen zoonosis
menyebar jadi wabah melalui konsentrasi manusia yang
saling kontak fisik. Pada kasus pandemi Flu 1918-1919,
konsentrasi dan mobililitas lintas benua dari para tentara
dari negara-negara yang terlibat Perang Dunia Pertama
1914-1918. Pandemi Flu 1918 adalah pandemi paling
parah dalam sejarah manusia. Penyebabnya virus H1N1
dengan gen asal burung. Meskipun tidak ada konsensus
universal mengenai dari mana lokasi virus berasal, ia
menyebar ke seluruh dunia selama 1918-1919.
Diperkirakan sepertiga populasi dunia terinfeksi virus ini.
Jumlah kematian setidaknya 50 juta di seluruh dunia.
Tidak adanya antibiotik dan vaksin penangkal virus ini
menyebabkan korban berjatuhan di berbagai penjuru
dunia. Virus ini turut memicu pneumonia yang
menyerang paru-paru, sehingga rata-rata korban
meninggal disebabkan oleh kegagalan pernapasan
(Taubenberger 2006: 91).5

5 Taubenberger, J.K. (2006)“The Origin and Virulence of the 1918 “Spanish”


Influenza Virus” Proc Am Philos Soc 150(1): 86–112. Dengan mendasarkan pada
penelitian terbaru dalam sejarah, virologi, epidemiologi, psikologi, dan ekonomi,
Laura Spinney menceritakan sebuah bencana (cathastrophe) yang mengubah
umat manusia selama beberapa dekade selanjutnya, dan terus membuat

14
Saat ini, pathogen zoonosis bisa kemudian menyebar
melintasi benua jadi pandemi, terutama karena mobilitas
manusia pembawanya dalam rantai komoditas global,
hingga penyakit yang tadinya gejala lokal itu segera
menyebar menjadi wabah pandemi. Di kalangan ahli
epidemiologi, yang meneliti mucul dan meluasnya jenis-
jenis berbagai penyakit-penyakit baru yang berasal dari
pathogen zoonosis, kelelawar menjadi salah satu fokus
utama karena fungsinya sebagai primary reservoir.

Para peneliti wabah epidemi Ebola di Afrika Barat


menyoroti tren berulang munculnya pathogen zoonosis
berbasis virus yang kemungkinan datang dari kelelawar.
Ini menyebabkan yang telah menyebabkan ahli-ahli
epidemiologi bertanya "Apakah kelelawar memang special
reservoir untuk pathogen zoonosis yang muncul?" Brook
and Dobson (2015) mengumpulkan bukti dari penelitian
satu dekade terakhir hingga bisa menggambarkan
karakteristik yang memungkinkan kelelawar berfungsi

akibatnya terasa hingga hari ini. Dalam prosesnya dia menunjukkan bahwa Flu
Spanyol sama pentingnya - jika tidak lebih - seperti dua perang dunia dalam
membentuk dunia modern; dalam memporak-porandakan, dan sering
mengubah secara permanen, politik global, hubungan ras, struktur keluarga, dan
pemikiran lintas kedokteran, agama, dan seni. Lihat Laura Spinney (2017) Pale
Rider: The Spanish Flu of 1918 and How It Changed the World. New York: Public
Affairs. Menurut studi ahli statistic kependudukan Sidharth Candra (2013)
“Mortality from the influenza pandemic of 1918-1919 in Indonesia”, Population
Studies 67(2): 185–193, wabah demam kuning (Geelkoorts) menyebar Juni
sampai September 1918, terjangkit di hampir seluruh pulau Jawa, korbannya
diperkirakan 4,26-4,37 juta jiwa. Keterangan lebih jauh mengenai apa yang
ebrlangsung di Jawa, lihat Priyanto Wibowo et al (2009) Yang Terlupakan:
Sejarah Pandemi Influenza 1918 di Hindia Belanda. Jakarta: Departemen Sejarah
Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia.

15
sebagai special reservoir demikian. Mereka menunjukkan
mekanisme khusus fisiologi kelelawar yang telah
berevolusi untuk mengurangi stres oksidatif yang terjadi
selama aktivitas yang sulit secara metabolik, seperti
terbang. Lebih jauh mereka bisa menggambarkan
bagaimana mekanisme tersebut mungkin telah
menghasilkan efek tertentu (namanya: pleiotropic effect)
yang bertanggung jawab untuk mitigasi tumor dan kontrol
patogen pada kelelawar yang berfungsi sebagai inang.
Sinergisme ini memungkinkan toleransi 'khusus' patogen
intraseluler pada kelelawar sebagai inang utama. Secara
paradoks, hal ini dapat membuat mereka lebih rentan
terhadap penyakit-penyakit khusus akibat imun
berlebihan, seperti yang dinamakan seperti 'white nose
syndrome (sindrom hidung putih)' (Brook & Dobson,
2015).

Untuk memastikan apakah kelelawar adalah inang


utamanya SARS-CoV-2, Muhammad Adnan et al
(2020:91-98) menunjukkan bahwa secara filogenetik ada
kesejajaran antara sindrom pernafasan yang akut yang
dialami penderita virus SARS-CoV-2 ini, dengan sindrom
pernapasan akut yang disebabkan oleh virus lainnya dari
kelelawar. Setelah analisis genom yang hati-hati, mereka
menyimpulkan, seperti juga mengkofirmasi penelitian

16
WHO disebut di muka, dan lainnya, bahwa kelelawar
adalah reservoir primer, inang pertama dari virus ini.6

Gambar 4: Transmisi potensial dari SARS-CoV2.


Sumber: Tauseef Ahmad, Muhammad Khan M, Haroon, Taha
Hussein Musa, Saima Nasir, Jin Hui, D. Katterine Bonilla-Aldana,
dan Alfonso J. Rodriguez-Morales (2020) “COVID-19: Zoonotic
aspects”. Travel Med Infect Dis 2020:101607.

6 Tauseef Ahmad, Muhammad Khan M, Haroon, Taha Hussein Musa, Saima


Nasir, Jin Hui, D. Katterine Bonilla-Aldana, dan Alfonso J. Rodriguez-
Morales “COVID-19: Zoonotic aspects”. Travel Med Infect Dis 2020:101607. Juga,
AJ Rodriguez-Morales AJ, Bonilla-Aldana DK, Balbin-Ramon GJ, Paniz-Mondolfi
A, Rabaan A, Sah R. (2020) “History is repeating itself, a probable zoonotic
spillover as a cause of an epidemic: the case of 2019 novel Coronavirus”. Inf Med
2020;28:3–5. Karya Muhammad Adnan Shereen, Suliman Khan, Abeer Kazmi,
Nadia Bashir, and Rabeea Siddique (2020) “COVID-19 infection: Origin,
transmission, and characteristics of human coronaviruses”, Journal of Advanced
Research 24 (2020) 91–98, mendasarkan diri pula pada penelitian-penelitian
lain mengenai dugaan binatang-binatang yang menjadi inang dari virus SARS-
CoV-2 ini.

17
Mekanisme utama pembentukan Pandemi Covid-19

Selain penjelasan asal usul penyakit (etiologi), diperlukan


pula penjelasan penjelasan epidemiologi, yang
menjelaskan cara bagaimana penyakit itu berjangkit
tersebar luas. 7 Pada 30 Januari 2020, Organisasi
Kesehatan Dunia (WHO) meminta pemerintah Cina
menjadikan wabah outbreak Covid-19 di Wuhan itu
melakukan serangkaian penanganan yang belum pernah
dilakukan sebelumnya, dan memperingatkan “ekspor
kasus ini secara internasional lebih lanjut dapat terjadi di
negara mana pun.” Dengan demikian, “semua negara
harus siap untuk karatina, termasuk pengawasan aktif,
deteksi dini, isolasi dan manajemen kasus, pelacakan
kontak dan pencegahan penyebaran selanjutnya infeksi
dari virus 2019-nCoVection, dan untuk berbagi data
lengkap dengan WHO (WHO, 2020). Selanjutnya, sebuah
Misi Bersama WHO-Cina bekerja, dan membuat laporan
“Report of the WHO-China Joint Mission on Coronavirus
Disease 2019 (COVID-19) – 16-24 February 2020”,
menyebutkan Covid-19 menjadi ancaman global.8

7 Epidemiologi/epi·de·mi·o·lo·gi/ /épidémiologi/ n ilmu tentang penyebaran


penyakit menular pada manusia dan faktor yang dapat mempengaruhi
penyebaran itu. https://kbbi.web.id/epidemiologi (akses 13 Juni 2020)
8 WHO (2020) “Report of the WHO-China Joint Mission on Coronavirus Disease
2019 (COVID-19) – 16-24 February 2020” https://www.who.int/docs/default-
source/coronaviruse/who-china-joint-mission-on-covid-19-final-report.pdf
menyebutkan bahwa berdasarkan data yang dipakai bahwa Covid-19 ini
memiliki risiko kematian kasus sekitar 1%. Angka resiko kematian ini akan
membuatnya berkali-kali lebih parah daripada influenza musiman biasa,

18
Sebuah studi awal yang dilakukan pada Januari 2020,
terhadap 41 pasien yang positif infeksi virus yang
kemudian diberi nama SARS-CoV-2. 32% dirawat di Unit
Perawatan Intensif (ICU). Rata-rata usia mereka 49 tahun,
dan setengah dari mereka telah mengidap penyakit lain,
termasuk diabetes 20%, penyakit kardiovaskular 15%,
dan hipertensi 15%. Gejala mereka terutama demam 98%,
batuk 76%, dan lemas kecapekan 44%. Covid-19
menambah komplikasi parahnya keadaan pasien
tersebut, termasuk dengan sindrom gangguan
pernapasan 29%, RNAaemia 15%, gangguan jantung akut
12%, dan infeksi sekunder lainnya. Dari total pasien yang
terinfeksi, persentasi kematian atas ke 41 pasien itu
adalah 15% (Chen, dkk., 2020).

menempatkannya di suatu tempat antara pandemi influenza 1957 (0,6%) dan


pandemi influenza 1918 (2%).

19
Gambar 5: Pola perkembangan penyakit untuk COVID-19
di Cina
Catatan: ukuran relatif kotak untuk keparahan penyakit dan
hasil mencerminkan proporsi kasus yang dilaporkan pada 20
Februari 2020. Ukuran panah menunjukkan proporsi kasus
yang pulih atau meninggal. Definisi penyakit dijelaskan di atas.
Kasus sedang memiliki bentuk pneumonia ringan.
Sumber:https://www.who.int/docs/default-source/coronaviruse
/who-china-joint-mission-on-covid-19-final-report.pdf halaman 13.
(akses pada 17 Mei 2020)

Menurut Robert Walace (2020), pengalaman Wuhan di


awal wabah menunjukkan rasio kematian akibat Covid-19
dari total penderita kisaran 2–4%, sedangkan di luar
Wuhan, kemungkinan kematian sampai 1% bahkan
kurang, namun terlihat lonjakan di sana sini, termasuk
Italia dan Amerika Serikat. Rasionya, jika dibandingkan,
tak seperti SARS (10%), Influenza tahun 1918 (5–20%), flu
burung H5N1 (60%), atau Ebola (90%). Namun, yang jelas
virus baru ini melebihi flu musiman (0,1%).

Covid-19 yang bermula dari letusan (outbreak) Wuhan,


Cina, dan wabah dari pathogen zoonosis lainnya,
menyebar oleh penularan antar manusia yang menyertai
20
rantai komoditas (commodity chains) yang membentuk
sirkuit global. Rantai komoditas (commodity chain)
mengacu pada jaringan kerja dan proses produksi yang
hasil akhirnya adalah komoditas jadi. Sirkuit rantai
komoditas (global commodity chains) ini merupakan satu
karakteristik dari bekerjanya kapitalisme global dewasa
ini.9 Kapitalisme lah yang menjadi vektor utama penyakit
baru yang berasal dari pathogen zoonosis.

“Sejumlah patogen muncul langsung dari pusat produksi.


Bakteri bawaan makanan seperti Salmonella dan
Campylobacter muncul. Yang lain banyak, seperti Covid
berasal dari wilayah perluasan (frontier) produksi raksasa
untuk akumulasi modal. Memang, setidaknya 60 persen
dari patogen manusia baru muncul dengan menular dari
hewan liar ke komunitas manusia, dan beberapa sukses
menyebar ke seluruh dunia. ... Dengan ekspansi yang
mengglobal, industri pertanian berfungsi sebagai

9 Pendekatan studi rantai-rantai komoditas ini berkembang dengan cepat, dari


Global Commodity Chain (GCC), kemudian Global Value Chains (GVC), sejalan
dengan upaya untuk menjelaskan struktur sosial dan organisasi ekonomi global
dan dinamika dengan memeriksa rantai komoditas dari produk tertentu.
Pendekatan GCC pertama kali muncul pada pertengahan 1980-an dari penelitian
World Systems yang dirumuskan ulang pada awal 1990-an. Salah satu kritik awal
yang menghadapi pendekatan GCC adalah fokus eksklusifnya pada kondisi
internal dan keterkaitan organisasi, kurang perhatian sistemik terhadap efek
institusi domestik dan kapasitas internal terhadap pembangunan ekonomi.
Kritik lain menunjuk pada ruang lingkup sempit pencarian GCC. Ekspansi besar-
besaran dalam literatur mengenai commodity chains dekade terakhir ini — tidak
hanya dalam volume tetapi juga dalam kedalaman dan ruang lingkup —
mencakup tiga tema: tata kelola GVC, "peningkatan," dan konstruksi sosial rantai
nilai global. Perkembangan ringkas studi rantai komoditas ini dapat dilihat pada
Joomkoo Lee (2020) “Global Commodity Chains and Global Value Chain”, The
Oxford Research Encyclopedia The International Studies Encyclopedia. Robert A.
Denemark (Ed.). NY: Wiley-Blackwell. Pp.2987-3006.

21
pendorong maupun penghubung melalui mana patogen-
patogen itu berasal, bermigrasi dari reservoir yang paling
jauh di pedalaman hutan ke pusat-pusat penduduk yang
paling ramai secara internasional.” (Wallace, dkk., 2020).

Covid-19 hanya butuh dua minggu untuk bergerak ke luar


China, secara simultan mengikuti rantai pasokan utama,
sepanjang rute perjalanan perdagangan, dan perjalanan
udara ke kantong-kantong industri dan pengusaha di
kota-kota Asia Timur, Timur Tengah, dan Eropa, Amerika
Utara, dan Brazil dan lanjut. ke sebagian besar Afrika dan
sebagian besar Amerika Latin, sedemikian rupa sampai
pada 3 Maret, telah mencapai 72 negara. “Virus ini
bergeraknya melalui sirkuit-sirkuit modal dan manusia-
manusia yang bekerja di dalamnya”, demikian Kim Moodi
(2020). Benarlah apa yang empat tahun lalu disinyalir
oleh Yossi Sheffi (2015) The Power of Resilience, How the
Best Companies Manage the Unexpected, bahwa
“(K)eterkaitan ekonomi global yang terus tumbuh
membuatnya semakin rentan terhadap penularan.
Peristiwa-peristiwa penularan, termasuk masalah medis
dan finansial, dapat menyebar melalui jaringan manusia
yang seringkali sangat berkorelasi dengan jaringan rantai
pasokan.” (Yossi Sheffi 2015).

Kota Wuhan ini sangat padat dengan 11 juta orang, kota


ke-9 terpadat di Cina, dengan penyediaan infrastruktur
transprtasi mobilitas manusia secara masal berlangsung
cepat sekali. Sebagai salah satu pusat ekonomi yang

22
menghubungkan Cina Utara, Selatan, Timur dan Barat,
transportasi jalur kereta api dan pesawat terbang melalui
bandara internasional utama, sangat aktif selama Tahun
Baru Cina (Imlek), telah memungkinkan virus meluas ke
seluruh Cina. Selanjutnya, melalui rantai pasokan
komoditas dan orang-orang yang bekerja di dalamnya,
serta mobilitas orang bulak-balik dari dan ke Wuhan tiap
hari, wabah covid-19 pun menyebar melintas benua
menjadi pandemi.

Wuhan adalah salah satu pusat interaksi dan konektifitas


ekonomi kapitalisme dunia yang membentuk rantai
komoditas yang meluas. Dalam dua atau tiga dekade
terakhir, perampingan sistem produksi, pengiriman tepat
waktu, dan, baru-baru ini, "kompetisi berbasis waktu,"
bersama dengan perbaikan infrastruktur transportasi dan
distribusi, telah mempercepat kecepatan transmisi
komoditi (barang-barang jualan). Satu studi dari Indeed,
Dun and Bradstreet (2020) menyebutkan bahwa 51.000
perusahaan di seluruh dunia memiliki satu atau lebih
pemasok langsung di Wuhan, sementara 938 perusahaan
dari 1000 daftar Fortune memiliki satu atau dua pemasok
tingkat di wilayah Wuhan (Moody, 2020).

Lebih dari sebagai ancaman, Covid-19 telah menjadi


global game changer yang telah menjadi memporak-
porandakan hampir semua aturan main dengan cepat dan
drastic. Ini adalah perubahan revolusioner, dengan
kekuatan pengubahnya adalah serangan Covid-19, a non

23
human nature, yang menakutkan. Hingga, banyak banyak
orang hidup dalam situasi melindungi diri dari serangan,
yang disini saya pakai istilah Jerome Binde (2000):
Belenggu kedaruratan (the tyranny of emergency), suatu
situasi darurat yang diisi oleh rasa terkejut, shock, panik,
kuatir, dan lainnya sehingga membentuk reaksi-reaksi
praktis melindungi diri, yang berjangka pendek, dan
cenderung membentuk gejala rabun jauh sementara
(temporary myopia), sehingga tidak tahu apa yang akan
berlangsung dan bingunh apa yang sebaiknya dilakukan.
Jenis perasaan yang terbentuk secara khas mudah
terbentuk menghadapi Covid-19 ini adalah meluasnya
rasa curiga hingga prasangka terhadap orang yang
mengidap penyakit itu, atau terhadap mereka potensial
diperkirakan akan menularkan penyakit itu. Yang
memprihatinkan adalah cara bersikap yang kurang
memberi jalan bagi pemikiran strategis, termasuk dalam
menghadapi efek-efek dari Covid-19 dan berbagai
pengaturan pencegahan penularan.

Dalam logika kedaruratan, segala sesuatu diabdikan


untuk memperoleh hasil segera, dan untuk kelangsungan
hidup mereka yang ditolong. “Darurat (emergency) adalah
cara respons langsung yang tidak menyisakan waktu
untuk analisis, perkiraan, atau pencegahan. Ini adalah
refleks perlindungan langsung, ketimbang pencarian yang
bijaksana untuk solusi jangka panjang. Gejala the tyranny
of emergency ini mengabaikan fakta bahwa situasi yang

24
dihadapi harus diletakkan dalam perspektif dan bahwa
peristiwa di masa depan perlu diantisipasi.” (Binde, 2000).
Dalam pengaturan segala sesuatu berdasar kemanjuran
jangka pendek, perkiraan jangka panjang apa pun
dibilang buang-buang waktu, sementara setiap
pendekatan bertahap yang konstruktif untuk itu pun
dibilang sebagai spekulasi murni. Akibatnya,
berkembanglah yang disebut Jerome Binde (2000) itu
sebagai “rabun jauh sementara" (temporal myopia). Rabun
jauh sementara ini adalah gejala disfungsi yang lebih
mendalam, yang memengaruhi kemampuan kita untuk
bisa mempersepsi dengan jelas tentang masa depan dalam
rangka mencapai tujuan-tujuan kolektif (Binde, 2000).
Jadi, ini bukan hanya tanda gangguan persepsi jarak fisik,
tapi juga skala geografis. Kita tidak sanggup menlihat
sebab-musabab dan ramifikasi makro strukturalnya.

Tentu, penularan Covid-19 harus dicegah agar tidak


semakin banyak orang yang jadi penderita dan sakit.
Early detection, early response, atau “Deteksi dini dan
tangani segera” (dedi tangse) harus menjadi pegangan
bersama, seperti dianjurkan Larry Brilliant, dokter
kesehatan masyarakat yang pernah berhasil mengatasi
epidemi cacar di India (Brillian, n.d.). Yang sudah terkena
harus segera ditangani secara medis. Segala usaha
pemerintah, petugas medis hingga para relawan kerja di
garis depan sepenuh tenaga dan hatinya untuk
menyelamatkan. Cara-cara layanan kesehatan pun akan

25
berubah, termasuk yang baru-baru ini dicoba: layanan
kesehatan virtual (Webster 2020). Pemerintah pun
mengatur pencegahan penularan Covid-19, termasuk
melalui karantina orang yang potensial terkena virus
(orang dalam pemantauan), anjuran-anjuran kebersihan
(cuci tangan sesering mungkin, dst), bekerja dari rumah,
pembatasan pertemuan skala besar, menyediakan
sarpras medis, obat-obatan, dan alat pemeriksaan secara
masal, memastikan ketersediaan pangan dan
memperbesar paket-paket bantuan sosial, social safety
net, untuk membantu orang miskin agar tidak kelaparan,
dan mencegah terjadinya penjarahan makanan di gudang-
gudang makanan dan toko-toko (food riot), hingga
penyebarluasan “protokol-protokol kesehatan” pencegah
penularan.

Semakin cepat kita mengetahui siapa yang terkena dan


mengidap covid-19, semakin baik. Karena itu, harus
diperbanyak faslitas yang memudahkan warga
memeriksakan diri, baik dengan rapid test pemeriksaan
antibodi dalam darah, hingga pemeriksaan swab test yang
mengambil contoh cairan dari pangkal tenggorokan untuk
memastikan ada tidaknya virus itu. Lebih dari itu, adalah
tindakan menanggapi temuan, musti segera mengikuti
standar dan protokol penanganan penderita covid-19.
Sarana dan pra-sarana medis khusus perlu disiapkan,
dan petugas-petugas medis musti sigap dan dilindungi
dengan alat perlindungan diri yang cukup. Pemerintah

26
mengantur cara bagaimana sarana dan prasarana medis
tersedia secara maksimal, termasuk dengan pemanfaatan
penggunaan fasilitas lain untuk dijadikan rumah sakit
khusus covid-19.

Pencegahan juga diberlakukan secara massal, seperti


menjaga jarak fisik, termasuk melalui pembatasan
pertemuan skala besar (PPSB). Sayangnya, anjuran social
distancing yang bermaksud baik, namun salah kaprah
dalam menggunakan istilah. Setiap mahasiswa psikologi
sosial belajar teori jarak sosial dari Emori S. Bogardus
(1925, 1933) bahwa semakin besar jarak sosial (social
distance) menunjukkan kehendak untuk berjauhan
secara sosial, dan berarti pula prasangka terhadapnya
makin membesar pula. Bukan jarak sosial yang harus
diperbesar. Bahkan dalam situasi begini, jarak sosial
antar kelompok musti semakin dekat, saling tolong
menolong, dan bergotong-royong mengatasi masalah
bersama. Memperbesar jarak sosial akan berakibat tak
disangka, memperbesar prasangka. Lebih tepatnya adalah
adalah mengatur physical distancing untuk memutus
mata rantai penularan virus. Ini memerlukan perilaku
baru untuk waspadai jarak fisik, kebersihan,
pemberantasan kuman dengan disinfectan, dsb. Jangan
memperbesar egoisme, dan hidup bersikap merasa bener
sendiri dan tertutup (group think), sebagaimana
cenderung dibentuk oleh algoritma media sosial (enclave
algorithm) yang terus menerus menjustifikasi posisi,

27
keyakinan dan pertentangan terhadap “pihak lawan” yang
ditandingi (Lim, 2017).

Perubahan revolusioner yang diakibatkan Covid-19 ini


tidak terbayangkan sebelumnya, baik dimensi waktu
perubahannya (kecepatan, percepatan dan durasi),
maupun cakupan dan skala perubahan yang
berlangsung, serta cara bagaimana hal-hal itu saling
berhubungan satu sama lain. Perhatikan perubahannya
mulai dari kebiasaan dan tingkah laku perorangan,
hubungan interpersonal, interaksi orang di dalam
kelompok, hubungan antar kelompok, kerja dalam
organisasi, sistem produksi, distribusi dan konsumsi
komoditas, pengatuan sosial, budaya dan lingkungan
alam, pengaturan pemerintahan dan masyarakat, hingga
sampai hubungan internasional, di lebih 213 negara di
dunia (saat ini).

Banyak dari kita hidup sekarang ini dalam situasi darurat


untuk menyelamatkan diri dari serangan covid-19. Satu
kunci penyelesaian dari wabah pandemi ini ada di tangan
ahli epidemiologi yang bekerja di labolatorium pembuatan
vaksin khusus untuk menghadapi SARS-CoV-2, lalu
industri akan melipatgandakan vaksin itu, serta
pemerintah nasional dan dengan kerjama internasional
akan mengatur pemberian vaksin secara massal, sehingga
tubuh tiap-tiap manusia Indonesia bisa membentuk
antibodi yang cukup memadai untuk menangkal serangan
covid-19. Selain itu tentunya, saat ini pusat-pusat

28
labolatorim di berbagai belahan dunia, termasuk juga
ahli-ahli Indonesia, juga sedang membuat obat-obat anti-
virus. Petugas-petugas medis berjuang mengobati pasien-
pasien di rumah sakit, termasuk mengatasi simptom
demam, batuk, dll., memperkuat daya tahan, mengatasi
komplikasi disfungsi organ-organ, dsb. Kesemuanya
untuk memulihkannya menjadi sembuh dan mencegah
kematian.

KESIMPULAN DAN PENUTUP

“Virus mengubah hubungan sosial terutama ketika


mereka membahayakan. Mereka menerima perhatian
ekstra dan memotivasi tindakan sosial ketika mereka
menunjukkan kemampuan untuk membunuh, atau
membahayakan kehidupan manusia dan hewan,”
demikian tulis Celia Lowe (2017), yang meneliti secara
etnografis bagaimana flu burung melanda orang-orang
Indonesia, dan menyebut dirinya sebagai viral
ethnographer (etnografer yang subjek penelitiannya
adalah virus). Persepsi bahwa virus itu membahayakan
sehingga membentuk rasa takut dan kuatir telah
menggerakkan semua orang melakukan berbagai cara
agar tidak tertular. Sewaktu menulis kalimat-kalimat itu,
Celia Lowe tentu belum membayangkan kecepatan,
percepatan, durasi, skala dan cakupan serangan covid-19
ini hingga bisa menggerakkan suatu perubahan yang
drastis, cepat, dan meluas ini. Saya telah menganjurkan
agar sebagian kita memahami situasi sekarang ini dengan

29
pendekatan lintasdisiplin, multi-situs, dan multi-skala,
menggunakan imajinasi ruang-waktu dengan berangkat
dari pandangan dasar bahwa Covid-19 dan wabah lain
yang disebabkan patogen zoononis lainnya, adalah
perlawanan balik dari alam atas cara-cara produksi
komersial pembukaan hutan secara besar-besaran, yang
membuat patogen zoonosis keluar dari inang utama
(primary reservoir)nya sampai pada tubuh manusia.

Dunia sekarang telah dicirikan oleh kesenjangan


kekayaan yang dahsyat, belum pernah terjadi di masa
sebelumnya. Kesenjangan kekayaan ini bukan sekedar
memperburuk efek wabah, melainkan juga dapat
merupakan pencipta kondisi yang membuat mekanisme-
mekanisme pembentukan wabah pandemi Covid-19
sekarang ini. (Spinney, 2020; Turchin, 2020). Covid-19
telah menunjukkan apa yang sebelumnya belum pernah
disadari, yakni kerentanan-kerentanan ekonomi, ekologis,
dan epidemiologis, yang saling terkait, disusunkan oleh
kapitalisme. "COVID-19 has accentuated as never before
the interlinked ecological, epidemiological, and economic
vulnerabilities imposed by capitalism" seperti ditegaskan
oleh John Bellamy Foster and Intan Suwandi 2020).
Mereka menggunakan istilah catastrophe capitalism. Pada
titik ini kita bisa menarik pelajar lebih jauh dari kasus
Covid-19 ini. Saya perlu mengutip uraian Rob Wallace
(2020) lebih panjang:

30
“Kapital menjadi ujung tombak perampasan tanah
hutan primer dan lahan petani kecil di seluruh dunia.
Investasi ini mendorong deforestasi dan
menyebabkan munculnya penyakit. Kompleksitas
dan keberagaman fungsional yang direpresentasikan
dari lahan yang luas ini dibabat sedemikian rupa
sehingga patogen-patogen yang tadinya dikurung
menyebar ke dalam peternakan lokal dan komunitas
manusia. Singkatnya, pusat-pusat kapital, seperti
London, New York, dan Hong Kong harus dilihat
sebagai sarang penyakit yang utama.

Tidak ada kapital yang bebas dari patogen. Bahkan


di tempat paling terpencil sekalipun. Ebola, Zika,
virus Corona, flu kuning, varian dari avian influenza,
dan flu babi adalah beberapa patogen yang keluar
dari pedalaman terpencil menuju pinggiran urban,
ibukota, dan akhirnya jejaring global. Dari kelelawar
buah di Kongo membunuh orang-orang di Miami
dalam beberapa minggu saja.

Planet Bumi sebagian besar adalah planet pertanian,


baik dalam biomassa maupun lahan yang
digunakan. Agribisnis menyasar pasar pangan.
Hampir seluruh proyek neoliberal diorganisasikan
untuk mendukung upaya korporasi-korporasi yang

31
berlokasi di negara-negara industri maju untuk
merampas tanah dan sumber daya negara-negara
lebih lemah. Hasilnya, banyak patogen baru yang
sebelumnya dijaga oleh ekologi hutan yang berevolusi
panjang, kini keluar mengancam seluruh dunia.

Modal-modal perkebunan yang menggantikan ekologi


alamiah seolah menawarkan sarana yang tepat, yang
melaluinya patogen dapat berevolusi menjadi fenotip
paling berbahaya dan mematikan. Anda tidak bisa
mendesain sistem yang lebih baik dari perkebunan
berskala modal raksasa untuk membiakkan
penyakit-penyakit mematikan ini.

….

Berkembangnya monokultur genetik dari binatang-


binatang domestik menghilangkan imun yang
mampu memperlambat transmisi virus. Tingkat
populasi dan kepadatan yang lebih besar
menyediakan tingkat transmisi yang lebih besar pula.
Kondisi yang padat itu menekan respons imun.
Jumlah yang tinggi, sebagai bagian dari produksi
industrial, menyediakan pembaruan kerentanan
terus-menerus — bahan bakar bagi evolusi virus.
Dengan kata lain, bisnis perkebunan sangat
mengutamakan profit, bahwa menyeleksi virus yang

32
membunuh milyaran orang dipandang sebagai risiko
sepadan.”

Saya ingin menutup artikel ini dengan mengajak kita


melihat ‘tyrany of emergency’ sebagai masalah. Apakah
kita bisa keluar dari kemelut ‘tyrany of emergency’ yang
membelenggu kegiatan berpikir dan logika kita? Jerome
Binde mengingatkan: “(A)pa yang harus dilakukan adalah
membalikkan logika darurat, yang mengatur pembenaran
diri atas kebijakan saat ini; bukanlah masalah darurat
yang mencegah perumusan rencana jangka panjang,
tetapi tidak memadainya rencana yang menjadikan kita
terjebak dalam ‘tyrany of emergency’” (Binde, 2000).
Rencana strategis kita defektif bila gagal melihat sebab-
sebab struktural dari wabah pandemi ini, dan
menempatkannya dalam hubungan dialektis dengan
kesadaran yang terbentuk, dan juga pada momen lain ikut
membentuknya.

Saat ini kita disituasikan bahwa wabah pandemi covid-19


ini adalah sesuatu serangan yang datang, kita sendiri
menjadi (calon) korbannya yang harus membuat tameng
perlindungan dari serangan. Sementara, kita tidak
melihat kerentanan ekonomis, ekologis, dan epidemiologis
yang berlangsung akibat kapitalisme dan yang
memfasilitasinya, di kepulauan Nusantara, terutama
sehubungan pembukaan hutan besar-besaran sebagai
sutau dengan reorganisasi ruang untuk keperluan
konsesi-konsesi pertambangan, kehutanan, dan

33
perkebunan serta lainnya, untuk produksi komoditi
global. Yang sering dibicarakan adalah kerentanan
ekonomi dan ekologi hingga krisis sosial ekologi meluas,
sebagai konsekuensi dari pembentukan konsesi tersebut.
Hal-hal ini telah pernah saya uraikan dalam naskah-
naskah saya sebelum ini, (Rachman, 2013, 2015). Dengan
pandemi Covid-19 ini menjadi terlihat bahwa ada resiko
bencana lainnya, yakni berjangkitnya (otbreak) wabah
penyakit hingga dapat menjadi epidemi bahkan pandemi.
Sesungguhnya, saat ini adalah kesempatan baik untuk
kita bisa melihat cara bagaimana kerentanan ekonomi,
ekologi, dan epidemiologis terbentuk secara sekaligus
sebagai konsekuensi dari pembentukan konsesi-konsesi
penguasaan tanah, sumber daya alam dan wilayah,
perluasan cara-cara produksi kapitalisme, dan sirkuit
global rantai-rantai komoditas.

Adalah suatu doktrin neoliberal bahwa pasar memiliki


kehendak sendiri dan ekspansinya dalam mengkodifikasi
alam, manusia dan uang sedemikian rupa tidak dapat
ditahan. Padahal seperti dalam rumusan Karl Polanyi
(1944) The Great Transformation: The Political and
Economic Origins of Our Time, bahwa selama ini dinamika
masyarakat modern diatur oleh suatu gerakan ganda
(double movement): pasar yang terus ekspansi meluaskan
diri, tetapi gerakan (pasar) ini bertemu dengan suatu
gerakan tandingan (countermovement) menghadang
ekspansi ini agar jalan ke arah yang berbeda. Kalau

34
dahulu gerakan tanding datang dengan gerakan-gerakan
masyarakat, maka saat ini kekuatan gerakan tanding itu
berasal dari suatu virus, a non-human nature.

Semua orang sekarang ini mengutamakan keselamatan.


Menkopolhukan, dan Kapolri pun menggunakan prinsip
“keselamatan rakyat hukum tertinggi” (Salus populi
suprema lex esto). Saya ingin menutup naskah ini dengan
mengajak kita melihat “keselamatan” itu dalam perspektif
yang lebih reflektif, melihat ke belakang untuk maju ke
depan, melalui panduan yang diberikan oleh Hendro
Sangkoyo (dalam Rachman, 2017):

“Keselamatan rakyat, pada skala orang per orang maupun


rombongan, tidak pernah kita urus sebagai syarat yang
harus dipenuhi dan dijaga baik oleh para pengurus negara
dan alat-alatnya. Hilangnya nyawa, ingatan, tanah
halaman, harta benda, nafkah, kesempatan, kehormatan
milik rakyat lebih banyak diakibatkan oleh proses
penyelenggaraan negara selama tiga puluh tahun terakhir
ini adalah bukti tak terbantahkan bahwa selama ini
keselamatan rakyat tidak kita persyaratkan sebagai
agenda pengurusan masyarakat dan wilayah.” (Rachman,
2017)

Dalam soal keselamatan dan kesejahteraan ini, covid-19,


dan berbagai pengaturan baru untuk menghadapinya,
berakibat berbeda-beda pada berbagai golongan sosial
ekonomi, bergantung pada kelas sosial, umur, jenis
pekerjaan, gender, latar pendidikan, posisi geografis,

35
hingga karakteristik fisik dan mental yang khusus.
Umumnya buat rakyat yang paling miskin, efek
langsungnya bisa katastrofik, hingga mengalami
kelaparan.

Karenanya, mengutamakan “keselamatan rakyat” sebagai


syarat perlu diletakkan bersama-sama dengan syarat
perbaikan kesejahteraan rakyat. Dua syarat berikutnya
adalah pemulihan fungsi-fungsi faal termasuk layanan
ekologis dari alam sebagai ruang hidup rakyat, dan
peningkatan produktivitas rakyat, yang menjamin
konsumsi yang cukup dan bergizi untuk rakyat (Hendro
Sangkoyo dalam Rachman 2017).

Quo vadis?

Bandung, 28 Juni 2020

DAFTAR PUSTAKA

Ahmad, T, Khan M, Haroon, Musa, T. H., Nasir, S, Hui, J.,


Katterine Bonilla-Aldana, D, & Rodriguez-Morales, A.
J. “COVID-19: Zoonotic aspects”. Travel Med Infect Dis
2020:101607.
Azim, D, Kumar, S., Nasim, S., Bin Arif, T., & Nanjiani, D.
(2020) “COVID-19 as a psychological contagion: A new
Pandora’s box to close?” Infection Control & Hospital
Epidemiology 1–2, https://doi.org/
10.1017/ice.2020.127.
Binde, J. (2000) "Toward an ethics of the future." Public
Culture 12 (1): 51- 72
Bogardus, E. S. (1925). “Measuring social distances”.
Journal of Applied Sociology, 9, 299- 308. Bogardus,

36
E.S. (1933). “A social distance scale”. Sociology and
Social Research, 17, 265-271.
Brilliant, L. (n.d.), TED Prize wish: Help stop the next
pandemic. Larry Brilliant helps detect pandemics
Brook, C. E & Dobson, A. P. (2015) “Bats as ‘special’
reservoirs for emerging zoonotic pathogens” Trends in
Microbiology, 23(3): 172-180.
Corrie Brown (2004) "Emerging Zoonoses and Pathogens
of Public Health Significance—An Overview", Rev. sci.
tech. (OIE). 23(2): 435–442.
Denemark, R. A., (Ed.). NY: Wiley-Blackwell. Pp.2987-
3006.
Foster, J. B. & Suwandi, I. (2020) “COVID-19 and
Catastrophe Capitalism. Commodity Chains and
Ecological-Epidemiological- Economic Crises”,
Monthly Review 72(2):1-20.
H. Lu, C.W. Stratton, Y. Tang (2020) “Outbreak of
pneumonia of unknown etiology in wuhan China: the
mystery and the miracle” J. Med. Virol. p. 25678.
https://www.ted.com/participate/ted-prize/prize-
winning-wishes/instedd (akses pada 19 April 2020)
https://www.who.int/dg/speeches/detail/who-director-
general-s-remarks-at-the-media-briefing-on-2019-
ncov-on-11-february-2020
https://www.youtube.com/watch?v=MNhiHf84P9c
Kate E. Jones, Nikkita G. Patel, Marc A.
Levy, Adam Storeygard, Deborah Balk, John L.
Gittleman, and Peter Daszak (2008) “Global trends in
emerging infectious diseases”, Nature 451:990-994.
L.H. Taylor, S.N Latham, dan M.E. Woolhouse (2001). "Risk
factors for human disease emergence". Philos Trans R
Soc Lond B Biol Sci. 356(1411):983–989.
Lee, J. (2020) “Global Commodity Chains and Global Value
Chain”, The Oxford Research Encyclopedia The
International Studies Encyclopedia.

37
Lim, M. (2017): “Freedom to hate: social media, algorithmic
enclaves, and the rise of tribal nationalism in
Indonesia”, Critical Asian Studies 49(3): 411-427.
Lowe, C. (2017) “Viral Ethnography: Metaphors for
Writing” RCC Perspectives, No. 1, Troubling Species:
Care and Belonging in a Relational World, pp. 91-96.
Moody, K. (2020) ”How 'Just-in-time' capitalism spread
COVID-19: Trade route transmission and international
solidarity Spectre, April 8, 2020).
https://spectrejournal.com/how-just-in-time-
capitalism-spread-covid-
19/?fbclid=IwAR2vamNtY6mcuvcAl4dGl-
RNpVCkHDC-zhJn9I94F-JrUd2RBnyf-0nTSss.
(Diakses 6 Mei 2020).
Morens, D. M., Daszak, P. & Taubenberger, J. K. (2020)
“Escaping Pandora's Box — Another Novel
Coronavirus”, The New England Journal of Medicine
382(14): 1293-1295.
Nanshan Chen, Min Zhou, Xuan Dong, Jieming Qu,
Fengyun Gong, Yang Han, Yang Qiu, Jingli Wang, Ying
Liu, Yuan Wei, Jia’an Xia, Ting Yu, Xinxin Zhang, Li
Zhang (2020) “Epidemiological and clinical
characteristics of 99 cases of 2019 novel coronavirus
pneumonia in Wçuhan, China: a descriptive study.”
Lancet 2020; (published online Jan 30.)
http://dx.doi.org/10.1016/S0140-6736(20)30211-7
Polanyi, K. (2001, 1944) The Great Transformation: The
Political and Economic Origins of Our Time. Boston:
Beacon Press.
R.G. Wallace (2009) ““Breeding influenza: The political
virology of offshore farming.” Antipode 41:916– 51.
Rachman, N. F. (2013) “Rantai Penjelas Konflik-konflik
Agraria yang Kronis, Sistemik, dan Meluas”. Bhumi,
Jurnal Ilmiah Pertanahan PPPM – STPN 37(12): 1-14,
http://jurnalbhumi.stpn.ac.id/JB/article/view/148/
135 (akses terakhir pada 14/5/2020)

38
Rachman, N. F. (2015) “Memahami Reorganisasi Ruang
Melalui Perspektif Politik Agraria”. Bhumi, Jurnal
Ilmiah Pertanahan. Yogyakarta: Sekolah Tinggi
Pertanahan Nasional – STPN 1(1):33-44,
http://jurnalbhumi.stpn.ac.id/JB/article/view/39/5
1 (akses terakhir pada 14/5/2020).
Rachman, N.F. (2017) Panggilan Tanah Air. Cetakan
ketiga. Yogyakarta: Insist Press
Rachman, N. F. (2020) “COVID-19, Pemberontakan
Mikroba dan Kemelut ‘the Tyranny of Emergency’”
https://www.mongabay.co.id/2020/05/21/covid-19-
pemberontakan-mikroba-dan-kemelut-the-tyranny-
of-emergency/ (diakses pada 22 Juni 2020).
Rodriguez-Morales, A. J, Bonilla-Aldana, D. K., Balbin-
Ramon, G. J., Paniz-Mondolfi, A., Rabaan, A., Sah, R.
(2020) “History is repeating itself, a probable zoonotic
spillover as a cause of an epidemic: the case of 2019
novel Coronavirus”. Inf Med 2020; 28:3–5.
Sheffi, Yossi (2015) The Power of Resilience: How the Best
Companies Manage the Unexpected. Cambridge, MA:
The MIT Press,
Shereen, M. A., Khan, S., Kazmi, A., Bashir, N. & Siddique,
R. (2020) “COVID-19 infection: Origin, transmission,
and characteristics of human coronaviruses”, Journal
of Advanced Research 24 (2020) 91–98.
Sohrabi, Catrin, Zaid Alsafi, Niamh O'Neill, Mehdi Khan,
Ahmed Kerwan, Ahmed Al-Jabir, Christos Iosifidis, &
Riaz Agha. (2020) “World Health Organization declares
global emergency: A review of the 2019 novel
coronavirus (COVID-19)” International Journal of
Surgery 76 (2020) 71–76
Spinney, L. (2017) Pale Rider: The Spanish Flu of 1918 and
How It Changed the World. New York: Public Affairs.
Candra, S. (2013) “Mortality from the influenza
pandemic of 1918-1919 in Indonesia”, Population
Studies 67(2): 185–193,

39
Spinney, L. (2020) “Inequality doesn't just make
pandemics worse, it could cause them” Guardian 12
April 2020.
https://www.theguardian.com/commentisfree/2020
/apr/12/inequality-pandemic-lockdown (diakses 6
Mei 2020).
Suardana, I. W., (2016) Buku Ajar Zoonosis, Penyakit
Menular Hewan ke Manusia. Yogyakarta: Kanisius.
Taubenberger, J.K. (2006) “The Origin and Virulence of the
1918 “Spanish” Influenza Virus” Proc Am Philos Soc
150(1): 86–112
Turchin, P. (2020) “Coronavirus and Our Age of Discord”
http://peterturchin.com/cliodynamica/coronavirus-
and-our-age-of-discord (diakses 6 Mei 2020).
Wallace, R. (2016) Big Farms Make Big Flu: Dispatches on
Influenza, Agribusiness, and the Nature of Science. NY:
Monthly Review Press.
Wallace, R. (2020) “Capitalist agriculture and Covid-19: A
deadly combination”, Climate and Capitalism 11 Maret
2020
https://climateandcapitalism.com/2020/03/11/capi
talist-agriculture-and-covid-19-a-deadly-
combination/ (diakses 6 Mei 2020).
Wallace, R. G., Bergmann, L., Kock, R., Gilbert, M.,
Hogerwerf, L., Wallace, R., & Holmberg, M. (2015) “The
dawn of Structural One Health: A new science tracking
disease emergence along circuits of capital.” Social
Science & Medicine 129: 68–77.
Wallace, R., Liebman, A., Chaves, L. F., & Wallace, R.
(2020) “COVID-19 and Circuits of Capital”. Monthly
Review 01 April 2020.
https://monthlyreview.org/2020/04/01/covid-19-
and-circuits-of-capital/ (diakses 6 Mei 2020).
Webster, P. (2020) “Virtual health care in the era of
COVID-19” Lancet. 11-17 April; 395(10231).

40
WHO (1959). “Join WHO/FAO Expert Committee on
zoonosis: Second Report”, WHO Technical Report
Series. 169:1–83.
WHO (2020) Director-General’s Remarks at the Media
Briefing on 2019-nCoV on 11 February 2020
WHO (2020), “Report of the WHO-China Joint Mission on
Coronavirus Disease 2019 (COVID-19) – 16-24
February 2020” https://www.who.int/docs/default-
source/coronaviruse/who-china-joint-mission-on-
covid-19-final-report.pdf
WHO (2020), Statement on the second meeting of the
International Health Regulations (2005) Emergency
Committee regarding the outbreak of novel
coronavirus (2019-nCoV). https://www.who.int/
news-room/detail/30-01-2020-statement-on-the-
second-meeting-of-the-international-health-
regulations-(2005)-emergency-committee-regarding-
the-outbreak-of-novel-coronavirus-(2019-ncov)
(akses 22 juni 2020).
Wibowo, P., dkk. (2009) Yang Terlupakan: Sejarah
Pandemi Influenza 1918 di Hindia Belanda. Jakarta:
Departemen Sejarah Fakultas Ilmu Pengetahuan
Budaya Universitas Indonesia.
Widiasih, D. A., & Budiharta, S. (2013) Epidemiologi
Zoonosis di Indonesia. Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press.
Disklaimer:
Sebagian isinya pernah dimuat dalam “Covid-19,
Pemberontakan Mikroba, dan Kemelut 'the Tyranny of
Emergency'. 21 May 2020. Mongabai, Situs Berita
Lingkungan.
https://www.mongabay.co.id/2020/05/21/covid-19-
pemberontakan-mikroba-dan-kemelut-the-tyranny-of-
emergency/ dan “Keluar dari Kemelut The Tyranny of
Emergency Pandemi Covid-19”, Jurnal Kasyaf Nomor
2/2020, Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas
Padjadjaran.

41
42
1
Hukum, Kesejahteraan Hewan dan
Zoonosis: Aspek Hukum yang
Terlupakan dalam
Penanggulangan Covid-19 di
Indonesia

Myrna A. Safitri
Fakultas Hukum Universitas Pancasila
myrnaasnawati@univpancasila.ac.id
Firman
Fakultas Hukum Universitas Pancasila
firman6815@gmail.com

Abstrak

Pandemi COVID-19 yang menulari warga dunia saat ini


berasal dari virus Korona (SARS-CoV-2). Awalnya virus ini
ditularkan dari hewan kepada manusia, lalu terjadi
transmisi antar manusia. Penyakit ini disebut sebagai
zoonosis. Meskipun demikian, diskursus Covid-19
umumnya tentang penularan zoonosis dari hewan kepada
manusia. Belum banyak diperhatikan potensi penularan
dari manusia kepada hewan. Di Amerika Serikat
diberitakan seekor harimau di sebuah kebun binatang
terinfeksi virus Korona. Di Hong Kong ditemukan
kematian anjing yang diduga terpapar virus ini. Di Jerman

43
HUKUM, KESEJAHTERAAN HEWAN DAN ZOONOSIS: ASPEK HUKUM YANG
TERLUPAKAN DALAM PENANGGULANGAN COVID-19 DI INDONESIA

seekor bayi Orangutan mati di tengah Pandemi Covid-19


dan masih diselidiki kaitannya dengan virus Korona.
Pembahasan mengenai kerawanan terpaparnya hewan
dengan virus Korona signifikan dilakukan mengingat saat
ini kebijakan relaksasi Pembatasan Sosial Berskala Besar
(PSBB) sedang dilakukan di Indonesia. Sayangnya,
kekhawatiran terhadap hal ini masih disuarakan oleh
media massa. Hampir tidak ditemukan ada studi,
terutama Ilmu Hukum, yang menjelaskannya. Artikel ini
memaparkan temuan awal penelitian kami yang
menyelidiki pengendalian zoonosis dalam kerangka
hukum terkait dengan kesejahteraan hewan (animal
welfare). Kami menemukan kompetisi etika
antroposentrisme dan ekosentrisme dalam norma-norma
kesejahteraan hewan dan pengendalian zoonosis.

Kata Kunci: antroposentrisme, Covid-19 Indonesia,


kesejahteraan hewan, zoonosis

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Pandemi COVID-19 yang melanda dunia saat ini bermula


dari wabah yang terjadi di kota Wuhan, Provinsi Hubei,
Tiongkok pada Desember 2019 yang lalu. Penyakit ini
diyakini berasal dari virus Korona, SARS-CoV-2, yang
awalnya ditularkan dari hewan kepada manusia,

44
HUKUM, KESEJAHTERAAN HEWAN DAN ZOONOSIS: ASPEK HUKUM YANG
TERLUPAKAN DALAM PENANGGULANGAN COVID-19 DI INDONESIA

kemudian berkembang lebih cepat ketika terjadi transmisi


antar manusia.

Penyakit yang berasal dari virus Korona dan virus-virus


lain yang ditularkan melalui hewan disebut sebagai
zoonosis. Organisasi Kesehatan Dunia (World Health
Organization, WHO) mengartikan zoonosis sebagai
penyakit atau infeksi yang secara alamiah ditularkan dari
hewan kepada manusia. Zoonosis dapat disebabkan oleh
bakteri, virus, atau parasit.1

Mackenzie dan Smith mengatakan bahwa SARS-COV-2


adalah virus zoonosis ketiga yang berdampak besar pada
kesehatan manusia di dunia, setelah SARS-Co-V dan
MERS-CoV. Ketiganya menyerang fungsi pernafasan
(Mackenzie & Smith, 2020). Data pada 31 Juli 2020
menyebutkan terdapat 17,3 juta kasus penderita Covid-
19 di dunia, dengan kematian berjumlah 673 ribu.
Amerika Serikat berada pada peringkat atas dengan
jumlah kasus 4,58 juta dan kematian akibat Covid-19
berjumlah 154 ribu dan yang sembuh berjumlah 2,24 juta
orang. Indonesia berada pada peringkat ke-24. Terdapat
103 ribuan orang terinfeksi, dengan jumlah penderita
yang pulih 65.907 orang dan kematian berjumlah 5.131
orang. 2

1https://www.who.int/topics/zoonoses/en/#:~:text=A%20zoonosis%20is%20

any%20disease,zoonotic%20infections%20in%20nature, diakses 13-6-2020.


2https://www.google.com/search?client=safari&rls=en&q=covid-

19+update+global+statistics&ie=UTF-8&oe=UTF-8, diakses 13-6-2020.

45
HUKUM, KESEJAHTERAAN HEWAN DAN ZOONOSIS: ASPEK HUKUM YANG
TERLUPAKAN DALAM PENANGGULANGAN COVID-19 DI INDONESIA

Kajian-kajian mengenai Covid-19 pada umumnya


mengaitkan kemunculan zoonosis dengan terganggunya
fungsi ekosistem secara umum, dan habitat satwa
khususnya. Hal ini menyebabkan berkurangnya
kemampuan alami ekosistem untuk membatasi transfer
penyakit dari hewan kepada manusia. Oleh sebab itu
maka kebijakan dan aksi konservasi alam dan satwa
menjadi keniscayaan (Everard, Johnston, Santillo &
Staddon, 2020; . Fletcher, Büscher, Massarella & Koot,
2020).

Perusakan dan pembukaan hutan dan perubahan


bentang alam terbukti memberikan pengaruh besar pada
gangguan habitat dan populasi satwa liar. Kumalasari,
dkk, misalnya, menyebutkan bahwa kerusakan ekosistem
karst di wilayah Malang Selatan, Jawa Timur, mengancam
kehidupan kelelawar (Kumalasari, 2020). Sebagaimana
diketahui, kelelawar adalah salah satu vektor zoonosis.
Studi lain yang dilakukan di Lampung oleh Nurlaela, dkk
(2019), menyimpulkan bahwa pembukaan dan alih fungsi
hutan berkorelasi positif dengan jumlah penyakit rabies
yang ditemukan. Disebutkan oleh kelompok peneliti ini
bahwa di wilayah dimana hutan berubah menjadi
perkebunan, permukiman, lahan terbuka dan lahan
pertanian ditemukan peningkatan jumlah penderita
rabies.

Diskursus Covid-19 saat ini banyak diwarnai tentang


penularan zoonosis pada manusia oleh hewan. Selain

46
HUKUM, KESEJAHTERAAN HEWAN DAN ZOONOSIS: ASPEK HUKUM YANG
TERLUPAKAN DALAM PENANGGULANGAN COVID-19 DI INDONESIA

persoalan kerusakan lingkungan yang memberikan


gangguan pada ruang hidup satwa liar, diskursus tentang
perburuan dan perdagangan satwa liar juga turut
mengemuka. Perburuan tak terkendali ditambah dengan
perdagangan satwa yang kurang mendapat pengawasan
ditengarai membuka banyak kesempatan manusia
berinteraksi dengan satwa tersebut. Padahal, satwa-satwa
liar merupakan inang dari berbagai macam virus (Humane
Society International, 2020).

Satu hal yang belum banyak mendapat perhatian dari


kajian-kajian terkait Covid-19 adalah potensi penularan
virus Korona dari manusia kepada hewan. Di Bronx,
Amerika Serikat, misalnya, diberitakan seekor harimau di
sebuah kebun binatang terinfeksi virus Korona.3 Di Hong
Kong terdapat anjing yang mati karena terpapar visus ini.
Sementara itu di Leipzig, Jerman, seekor bayi Orangutan
mati di tengah Pandemi Covid-19. 4 Meski tengah
dilakukan penyelidikan apakah kematian karena tertular
virus Korona, hal ini penting menjadi perhatian karena
Orangutan (Pongo) termasuk satwa yang rentan terpapar
penyakit dari manusia.

Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit Amerika


Serikat (Centers for Disease Control and Prevention)

3 https://www.bbc.com/indonesia/dunia-52178462, diakses 14-6-2020.


4 https://www.suara.com/tekno/2020/05/20/110000/bayi-orangutan-diduga-
mati-karena-virus-corona, diakses 14-6-2020.

47
HUKUM, KESEJAHTERAAN HEWAN DAN ZOONOSIS: ASPEK HUKUM YANG
TERLUPAKAN DALAM PENANGGULANGAN COVID-19 DI INDONESIA

menyatakan pihaknya sedang menyelidiki potensi


penularan virus Korona dari manusia kepada hewan,
tetapi ada indikasi kuat bahwa pada situasi tertentu
penularan ini dapat terjadi. Situasi yang dimaksud adalah
jika terdapat kontak erat dari penderita Covid-19 dengan
hewan-hewan itu.5

Meskipun demikian, para ahli di dunia sepakat bahwa


penularan balik dari hewan-hewan itu kepada manusia
adalah hipotesis yang lemah.

Bagi Indonesia, pembahasan mengenai kerawanan


terpaparnya hewan-hewan ini dengan virus Korona
signifikan dilakukan mengingat saat ini kebijakan
relaksasi Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB)
sedang dilakukan. Mobilitas orang akan lebih meningkat.
Tempat-tempat wisata bersiap untuk dikunjungi lagi. Saat
ini, kebun binatang masih ditutup, tetapi dalam waktu
dekat akan dibuka pula. Di DKI Jakarta, misalnya, kebun
binatang akan dibuka pada pekan ketiga Juni 2020.6

Taman-taman wisata alam juga dibuka. Di sinilah potensi


interaksi manusia dan hewan akan kembali ‘normal’.
Pertanyaannya seberapa amankah hal ini terhadap
penularan virus Korona?

5 https://www.cdc.gov/coronavirus/2019-ncov/daily-life-
coping/animals.html?CDC_AA_refVal=https%3A%2F%2Fwww.cdc.gov%2Fcor
onavirus%2F2019-ncov%2Fprepare%2Fanimals.html, diakses 30 Juli 2020.
6 https://www.jpnn.com/news/psbb-jakarta-berikut-jadwal-pembukaan-mal-
pantai-kebun-binatang-dan-lainnya?page=4, diakses 14-6-2020.

48
HUKUM, KESEJAHTERAAN HEWAN DAN ZOONOSIS: ASPEK HUKUM YANG
TERLUPAKAN DALAM PENANGGULANGAN COVID-19 DI INDONESIA

Sayangnya, kekhawatiran terhadap hal ini masih banyak


disuarakan oleh media massa. Belum ditemukan ada
studi, terlebih di bidang hukum, yang lebih utuh
menjelaskan hal ini. Perhatian para ahli masih terfokus
pada persoalan kesehatan masyarakat, ekonomi, politik,
pendidikan, kebebasan beribadah dan sebagainya.

Singkatnya, pandemi Covid-19 masih didekati dengan


pandangan antroposentrik dimana manusia adalah pusat
dan fokus perhatian. Padahal, sebagaimana disebutkan di
atas, dampak penyakit Covid-19 ini tidak hanya menimpa
manusia tetapi juga pada hewan.

Diskursus Covid-19 di Indonesia pada umumnya terhenti


pada faktor zoonosis dalam penyebaran virus Korona.
Belum atau hampir tidak disentuh kaitan zoonosis dengan
kesejahteraan hewan (animal welfare). Kesejahteraan
hewan bukan sekedar aspek sains tetapi juga merambah
pada filsafat moral. Bagaimana etik terhadap hewan perlu
dilakukan. Persoalan kesehatan hewan menjadi salah
satu fokus dari studi dan kebijakan terkait kesejahteraan
hewan.

Mengutip Brambell dan Webster, Archive, Golab dan


Scarfe menyebutkan kesejahteraan hewan yang ideal
terpenuhi jika hewan-hewan dalam keadaan bebas dari
kelaparan, haus, ketidaknyamanan, luka, penyakit,
ketakutan, keterancaman dan gangguan lain yang

49
HUKUM, KESEJAHTERAAN HEWAN DAN ZOONOSIS: ASPEK HUKUM YANG
TERLUPAKAN DALAM PENANGGULANGAN COVID-19 DI INDONESIA

menyebabkan mereka tidak bisa mengekspresikan


perilaku alaminya (Golab, & Scarfe, n.d.).

Peraturan perundang-undangan terkait dengan


perlindungan dan kesejahteraan hewan sudah dimiliki
Indonesia. Pada tingkat undang-undang, misalnya ada
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009 Tentang
Peternakan dan Kesehatan Hewan, Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1990 Tentang Konservasi Sumber Daya
Alam Hayati dan Ekosistemnya, dan Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup. Selain itu, Kitab Undang-
Undang Hukum Pidana (KUHP) mengatur secara terbatas
tentang hak hewan dalam kaitan dengan delik penyiksaan
hewan (Pasal 302). Lalu, dalam Rancangan KUHP,
persoalan perlindungan hewan ini juga termasuk yang
dibahas. Hal ini tidak terlepas dari data bahwa kejahatan
terkait satwa liar menduduki tiga besar kejahatan dengan
transaksi yang besar di Indonesia. Di atasnya terdapat
kejahatan narkotika dan perdagangan orang.7

Terkait dengan pengendalian zoonosis sendiri, Indonesia


memiliki sejumlah perangkat regulasi di bawah bidang
hukum peternakan dan kesejahteraan hewan. Undang-
Undang Nomor 18 Tahun 2009 Tentang Peternakan dan

7 https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5b10a19554e54/upaya-
perlindungan-terhadap-satwa-liar-dalam-ruu-kuhp-belum-maksimal/ diakses
14-6-2020.

50
HUKUM, KESEJAHTERAAN HEWAN DAN ZOONOSIS: ASPEK HUKUM YANG
TERLUPAKAN DALAM PENANGGULANGAN COVID-19 DI INDONESIA

Kesehatan Hewan, Peraturan Pemerintah Nomor 95


Tahun 2012 Tentang Kesehatan Masyarakat Veteriner dan
Kesejahteran Hewan, dan Peraturan Presiden Nomor 30
Tahun 2011 Tentang Pengendalian Zoonosis berada di
dalam kelompok ini. Sayangnya, belum ditemukan
analisis hukum terkait peraturan-peraturan ini dalam
penjelasan mengenai Covid-19 di Indonesia. Selain itu,
tidak ditemukan pula analisis yang menunjukkan
bagaimana peraturan pada rezim ini memasukkan unsur
perlindungan yang lebih menyeluruh pada kesejahteraan
hewan.

Dengan latar belakang dan argumentasi di atas, penelitian


kami ini dilakukan untuk membahas secara khusus
persoalan pengendalian zoonosis dalam kerangka hukum
yang ada. Kami tertarik menelisik dialektika pengaruh
etika antroposentrisme dan ekosentrisme dalam
peraturan-peraturan tersebut dan selanjutnya akan
menyimpulkan apakah kecenderungan ini hanya masalah
dalam rezim hukum kesejahteraan hewan atau menjadi
masalah pula dari corak hukum lingkungan Indonesia
secara umum.

Rumusan Masalah

Penelitian ini melakukan penyelidikan pada tiga masalah


berikut:

51
HUKUM, KESEJAHTERAAN HEWAN DAN ZOONOSIS: ASPEK HUKUM YANG
TERLUPAKAN DALAM PENANGGULANGAN COVID-19 DI INDONESIA

a. Bagaimana kerangka hukum nasional terkait


kesejahteraan hewan (animal welfare) dan
pengendalian zoonosis?
b. Apa kekuatan dan kelemahan dari kerangka hukum
yang disebutkan pada masalah nomor 1 terhadap
transmisi virus Korona pada hewan?
c. Bagaimana pengaruh etika antroposentrisme atau
ekosentrisme terhadap norma-norma hukum terkait
pengendalian zoonosis dan kesejahteraan hewan?

Tujuan

Tujuan dari penelitian ini adalah:

a. Menganalisis keberadaan produk hukum terkait


pengendalian zoonosis dan kesejahteraan hewan
dalam upaya penanggulangan Covid-19.
b. Menyelidiki teori etika lingkungan yang
memengaruhi hukum kesejahteraan hewan dan
pengendalian zoonosis.
c. Mengisi gap dalam kajian mengenai Covid-19 secara
umum dan kajian ilmu hukum mengenai Covid-19
dengan memasukkan aspek perlindungan terhadap
kesejahteraan hewan.

Metode Penelitian

Pendekatan

Penelitian ini adalah penelitian hukum yuridis-normatif


yang melihat koherensi dan konsistensi antara norma-

52
HUKUM, KESEJAHTERAAN HEWAN DAN ZOONOSIS: ASPEK HUKUM YANG
TERLUPAKAN DALAM PENANGGULANGAN COVID-19 DI INDONESIA

norma dari berbagai peraturan perundang-undangan


terkait dengan pengendalian zoonosis dan kesejahteraan
hewan. Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan
peraturan perundang-undangan (statutory approach).
Selain itu, penelitian ini juga menggunakan pendekatan
konsep (conceptual approach) terutama untuk menyelidiki
filosofi seperti apa yang sangat kuat memengaruhi norma-
norma hukum terkait dengan pengendalian zoonosis di
Indonesia.

Metode Pengumpulan Data

Penelitian ini menggunakan bahan-bahan hukum sebagai


berikut:

Bahan Hukum Primer berupa peraturan perundang-


undangan di tingkat nasional yang berkaitan dengan
perlindungan satwa liar dan pengedalian zoonosis.
Meliputi Undang-Undang Dasar 1945, Ketetapan Majelis
Permusyawaratan Rakyat Nomor IX/MPR/2001 Tentang
Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam,
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang
Perlindungan dan Pengelolan Lingkungan Hidup, dan
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009 Tentang
Peternakan dan Kesehatan Hewan. Juga dikumpulkan
dan dianalisis peraturan perundang-undangan yang lebih
rendah baik dalam bentuk Peraturan Pemerintah,
Peraturan Presiden dan Peraturan Menteri.

53
HUKUM, KESEJAHTERAAN HEWAN DAN ZOONOSIS: ASPEK HUKUM YANG
TERLUPAKAN DALAM PENANGGULANGAN COVID-19 DI INDONESIA

Bahan Hukum Sekunder berupa buku-buku, ensiklopedi


dan artikel jurnal terkait dengan hukum lingkungan dan
filsafat dan etika hukum lingkungan. Lebih khusus
dipelajari juga artikel jurnal terkait dengan hukum dan
kebijakan perlindungan satwa liar dan pengendalian
zoonosis.

Bahan Hukum Tersier merupakan bahan-bahan non


hukum yang mendukung pendalaman pemahaman
terhadap masalah. Di dalamnya memuat pemberitaan
media massa online dan artikel jurnal terkait dengan
zoonosis, virus Korona, Covid-19, dan perlindungan
satwa.

Teknik Analisa Data

Analisis dilakukan secara eksplanatoris yang mencari


hubungan antara norma-norma hukum dalam peraturan
perundang-undangan yang dianalisis dengan doktrin
antroposentrisme, ekosentrisme dan filsafat moral lain
dalam konsep animal welfare.

PEMBAHASAN

Kerangka Hukum Nasional Terkait dengan


Kesejahteraan Hewan dan Pengendalian Zoonosis

Pada bagian pendahuluan, telah dijelaskan bahwa


kerangka hukum nasional terkait dengan kesejahteraan
hewan dan pengendalian zoonosis dapat ditemukan dalam
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009 Tentang

54
HUKUM, KESEJAHTERAAN HEWAN DAN ZOONOSIS: ASPEK HUKUM YANG
TERLUPAKAN DALAM PENANGGULANGAN COVID-19 DI INDONESIA

Peternakan dan Kesehatan Hewan, Peraturan Pemerintah


Nomor 95 Tahun 2012 Tentang Kesehatan Masyarakat
Veteriner dan Kesejahteran Hewan, dan Peraturan
Presiden Nomor 30 Tahun 2011 Tentang Pengendalian
Zoonosis. Selain itu, ada pula Keputusan Menteri
Pertanian Nomor 237/KPTS/PK.400/M/3/2019
mengenai penetapan zoonosis prioritas. Bagian ini
membahas sejumlah norma yang relevan dari berbagai
peraturan tersebut.

Pembahasan kami mulai dengan kategori hewan.

Hewan menurut peraturan perundang-undangan yang


disebutkan di atas, terbagi ke dalam beberapa kategori
yaitu hewan, hewan peliharaan, ternak dan satwa liar.
Hewan diartikan sebagai “binatang atau satwa yang
seluruh atau sebagian dari siklus hidupnya berada di
darat, air, dan/atau udara, baik yang dipelihara maupun
yang di habitatnya”. 8 Sementara itu, hewan peliharaan
merupakan hewan yang kehidupannya, untuk sebagian
atau seluruhnya, bergantung pada manusia untuk
maksud tertentu.9 Selain hewan peliharaan, dikenal pula
ternak, yaitu hewan peliharaan yang produknya
diperuntukan sebagai penghasil pangan, bahan baku
industri, jasa, dan/atau hasil ikutannya yang terkait
dengan pertanian. 10 Kemudian ada satwa liar yang

8 Pasal 1 Angka 3 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009.


9 Pasal 1 Angka 4 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009.
10 Pasal 1 Angka 5 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009.

55
HUKUM, KESEJAHTERAAN HEWAN DAN ZOONOSIS: ASPEK HUKUM YANG
TERLUPAKAN DALAM PENANGGULANGAN COVID-19 DI INDONESIA

meliputi semua binatang yang hidup di darat, air,


dan/atau udara yang masih mempunyai sifat liar, baik
yang hidup bebas maupun yang dipelihara oleh
manusia.11

Data dan informasi mengenai hewan yang terpapar virus


Korona saat ini menunjukkan bahwa penularan banyak
ditemukan pada satwa liar dan hewan peliharaan. Famili
kucing seperti singa, harimau, kucing dan anjing adalah
yang saat ini paling banyak ditemukan positif tertular
virus ini.12

Belum ada kasus penularan kepada hewan ternak.


Namun prinsip kehati-hatian tetap perlu dikedepankan
mengingat hewan ternak adalah kategori hewan yang juga
sering kontak erat dengan manusia.

Persoalan penularan virus Korona kepada hewan ini erat


kaitan dengan konsep kesejahteraan hewan (animal
welfare). Kesejahteraan hewan adalah konsep filosofis
yang membahas mengenai perlakukan adil kepada hewan.
Pembahasan lebih lanjut diberikan pada bagian 3.

Kesejahteraan hewan menurut Undang-Undang Nomor 18


Tahun 2009 adalah “Segala urusan yang berhubungan
dengan keadaan fisik dan mental hewan menurut ukuran
perilaku alami hewan yang perlu diterapkan dan

11 Pasal 1 Angka 6 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009.


12 Berdasarkan daftar yang dibuat Departemen Pertanian Amerika Serikat,
https://www.aphis.usda.gov/aphis/ourfocus/animalhealth/sa_one_health/sar
s-cov-2-animals-us, diakses 30 Juli 2020.

56
HUKUM, KESEJAHTERAAN HEWAN DAN ZOONOSIS: ASPEK HUKUM YANG
TERLUPAKAN DALAM PENANGGULANGAN COVID-19 DI INDONESIA

ditegakkan untuk melindungi hewan dari perlakuan


setiap orang yang tidak layak terhadap hewan yang
dimanfaatkan manusia.13

Ruang lingkup kesejahteraan hewan menurut Undang-


Undang Nomor 18 Tahun 2009 mencakup tindakan yang
berkaitan dengan penangkapan dan penanganan,
penempatan dan pengandangan, pemeliharaan dan
perawatan, pengangkutan, pemotongan dan pembunuhan
serta perlakuan dan pengayoman yang wajar terhadap
hewan.14

Lebih rinci, Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009


menyebutkan bahwa dalam rangka menjamin
kesejahteraan hewan maka:

a. Penangkapan dan penanganan satwa dari


habitatnya harus sesuai dengan ketentuan
peraturan perundangan-undangan di bidang
konservasi.
b. Penempatan dan pengandangan hewan dilakukan
dengan sebaik-baiknya sehingga memungkinkan
hewan dapat mengekspresikan perilaku alaminya.
c. Pemeliharaan, pengamanan, perawatan, dan
pengayoman hewan dilakukan dengan sebaik-
baiknya sehingga hewan bebas dari rasa lapar dan

13 Pasal 1 Angka 42 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009.


14 Pasal 66 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009.

57
HUKUM, KESEJAHTERAAN HEWAN DAN ZOONOSIS: ASPEK HUKUM YANG
TERLUPAKAN DALAM PENANGGULANGAN COVID-19 DI INDONESIA

haus, rasa sakit, penganiayaan dan


penyalahgunaan, serta rasa takut dan tertekan.
d. Pengangkutan hewan dilakukan dengan sebaik-
baiknya sehingga hewan bebas dari rasa takut dan
tertekan serta bebas dari penganiayaan.
e. Penggunaan dan pemanfaatan hewan dilakukan
dengan sebaik-baiknya sehingga hewan bebas dari
penganiayaan dan penyalahgunaan.
f. Pemotongan dan pembunuhan hewan dilakukan
dengan sebaik-baiknya sehingga hewan bebas dari
rasa sakit, rasa takut dan tertekan, penganiyaan,
dan penyalahgunaan.
g. Perlakuan terhadap hewan harus dihindari dari
tindakan penganiayaan dan penyalahgunaan.15

Prinsip-prinsip dalam kesejahteraan hewan menurut


Peraturan Pemeritah Nomor 95 Tahun 2012 Tentang
Kesehatan Masyarakat Veteriner dan Kesejahteraan
Hewan, kesejahteraan hewan meliputi lima prinsip
sebagai berikut:

a. Bebas dari rasa lapar dan haus


b. Bebas dari rasa sakit, cidera, dan penyakit
c. Bebas dari ketidaknyamanan, penganiayaan, dan
penyalahgunaan
d. Bebas dari rasa takut dan tertekan
e. Bebas untuk mengekspresikan perilaku alaminya

15 Pasal 66 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009.

58
HUKUM, KESEJAHTERAAN HEWAN DAN ZOONOSIS: ASPEK HUKUM YANG
TERLUPAKAN DALAM PENANGGULANGAN COVID-19 DI INDONESIA

Kebebasan itu diterapkan pada kegiatan-kegiatan


penangkapan dan penanganan, penempatan dan
pengandangan, pemeliharaan dan perawatan,
pengangkutan, penggunaan dan pemanfaatan, perlakuan
dan pengayoman yang wajar terhadap hewan,
pemotongan dan pembunuhan serta praktik kedokteran
perbandingan.

Ditilik dari pengaturan tersebut maka memastikan bahwa


hewan terlindungi dari potensi penularan virus Korona
sejatinya adalah bagian dari kebijakan kesejahteraan
hewan. Pemeliharaan, pengamanan, perawatan, dan
pengayoman hewan harus dilakukan dengan menjamin
hewan terhindar dari penyakit, termasuk yang berasal
dari virus Korona.

Memastikan prinsip kesejahteraan hewan bekerja untuk


hal ini penting mengingat Pemerintah Indonesia pada
bulan Juni 2020 yang lalu telah mengambil kebijakan
membuka kembali 13 kawasan wisata alam. Kawasan-
kawasan itu meliputi kawasan wisata bahari, kawasan
konservasi perairan, kawasan wisata petualangan, taman
nasional, taman wisata alam, taman hutan raya, suaka
margasatwa, dan geopark. Selain itu juga dibuka kawasan
pariwisata non-kawasan konservasi seperti kebun raya,

59
HUKUM, KESEJAHTERAAN HEWAN DAN ZOONOSIS: ASPEK HUKUM YANG
TERLUPAKAN DALAM PENANGGULANGAN COVID-19 DI INDONESIA

kebun binatang, taman safari, desa wisata, dan kawasan


wisata alam yang dikelola oleh masyarakat.16

Dengan dibukanya kawasan wisata alam itu maka dapat


dipastikan ada peningkatan interaksi antara manusia
dengan hewan. Pertanyaannya adalah bagaimana prinsip
perlindungan hewan dari penyakit sebagai bagian dari
hukum kesejahteraan hewan di Indonesia dapat
diterapkan?

Hal ini terlihat tidak muncul dalam diskursus


penanganan Covid-19. Dalam penjelasan yang diberikan
oleh Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19
terkait pembukaan kawasan wisata alam, hal yang
diutamakan adalah soal pencegahan transimisi virus
antar manusia.

Hal-hal yang dianjurkan Gugus Tugas ini misalnya adalah


penggunaan partisi di tempat pembelian tiket,
disenfektasi, pengecekan suhu tubuh pengunjung,
penyediaan fasilitas cuci tangan, dan menjaga jarak.

Satu-satunya himbauan yang dapat dikaitkan dengan


perlindungan kesejahteraan hewan adalah pengunaan
masker. Namun demikian, masih dipertanyakan apakah
hal ini memang ditujukan untuk melindungi hewan atau

16https://nasional.kompas.com/read/2020/06/23/18384871/kawasan-wisata-

alam-akan-dibuka-gugus-tugas-minta-pengelola-gunakan-partisi?page=all
diakses 30 Juni 2020.

60
HUKUM, KESEJAHTERAAN HEWAN DAN ZOONOSIS: ASPEK HUKUM YANG
TERLUPAKAN DALAM PENANGGULANGAN COVID-19 DI INDONESIA

lebih untuk menghindari penyebaran virus antar


pengunjung dan petugas.

Norma-norma hukum terkait dengan kesejahteraan


hewan jelas memberikan perlindungan terhadap
tertularnya hewan dari penyakit. Namun demikian, kita
juga mengetahui bahwa Covid-19 adalah salah satu jenis
zoonosis.

Pada bagian pendahuluan telah disampaikan bahwa WHO


mendefinisikan zoonosis sebagai penyakit atau infeksi
yang ditularkan dari hewan kepada manusia. Bagaimana
dengan definisi zoonosis menurut hukum Indonesia?

Kembali dengan menggunakan Undang-Undang Nomor 18


Tahun 2009, zoonosis diartikan sebagai penyakit yang
dapat menular dari hewan kepada manusia atau
sebaliknya. 17 Dengan demikian, hukum di Indonesia
memilih definisi yang lebih luas terhadap zoonosis
daripada definisi WHO. Dengan menyebut frasa ‘atau
sebaliknya’, Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009
memandang bahwa zoonosis juga dapat ditularkan dari
manusia kepada hewan.

Pada titik inilah maka fenomena penularan virus Korona


dari manusia kepada hewan, berdasarkan hukum
Indonesia, menjadi sah untuk masuk ke dalam ruang
lingkup zoonosis.

17 Pasal 1 Angka 37 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009.

61
HUKUM, KESEJAHTERAAN HEWAN DAN ZOONOSIS: ASPEK HUKUM YANG
TERLUPAKAN DALAM PENANGGULANGAN COVID-19 DI INDONESIA

Menurut Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009 dan


Peraturan Pemerintah Nomor 95 Tahun 2012
pengendalian zoonosis merupakan bagian dari kegiatan
dalam lingkup kesehatan masyarakat veteriner.
Pengendalian zoonosis dilakukan melalui penetapan
zoonosis prioritas, manajemen risiko, kesiagaan darurat,
pemberantasan zoonosis dan partisipasi masyarakat.18

Keputusan Menteri Pertanian Nomor


237/KPTS/PK.400/M/3/2019 yang mengatur
pengendalian zoonosis melakukan identifikasi terhadap
15 jenis zoonosis yang memerlukan prioritas untuk
dikendalikan dan ditanggulangi. Kelima belas jenis
zoonosis prioritas itu adalah Avian influenza, Rabies,
Anthraks, Brucellosis, Leptospirosis, Japanese B.
encephalitis, Bovine tubercollosis, Salmonellosis,
Schistosomiasis, Q fever, Campylobacteriosis,
Trichinellosis, Paratuberculosis, Toksoplasmosis dan
cysticersosis/taeniasis.

Berdasarkan penetapan zoonosis prioritas, Menteri


Pertanian menetapkan manajemen risiko zoonosis sesuai
dengan status di setiap daerah. Tabel 1 di bawah ini
menunjukkan bentuk-bentuk manajemen risiko
dimaksud.

18 Pasal 59 Peraturan Pemerintah Nomor 95 Tahun 2012.

62
HUKUM, KESEJAHTERAAN HEWAN DAN ZOONOSIS: ASPEK HUKUM YANG
TERLUPAKAN DALAM PENANGGULANGAN COVID-19 DI INDONESIA

Tabel 1
Manajemen Risiko Zoonosis

Daerah Wabah Daerah Penyangga


dan Tertular

Penutupan daerah wabah -

Penjaminan kesehatan dan Penjaminan kesehatan dan

kebersihan hewan rentan kebersihan hewan rentan

serta lingkungan serta lingkungan

Penjaminan kebersihan Penjaminan kebersihan

kandang dan peralatan kandang dan peralatan

- Pengisolasian atau
pengobatan hewan terduga
sakit
Pemusnahan hewan sakit Pemusnahan hewan sakit

Pengendalian vektor Pengendalian vektor

Pengendalian populasi Pengendalian populasi

hewan rentan hewan rentan

Pembatasan keluarnya -
hewan

Penghentian produksi dan Pembatasan perpindahan

peredaran produk hewan hewan dan peredaran


produk hewan
Vaksinasi hewan rentan Vaksinasi hewan rentan

63
HUKUM, KESEJAHTERAAN HEWAN DAN ZOONOSIS: ASPEK HUKUM YANG
TERLUPAKAN DALAM PENANGGULANGAN COVID-19 DI INDONESIA

Kesiagaan dini Kesiagaan dini

Komunikasi, informasi dan Komunikasi, informasi, dan

edukasi masyarakat edukasi masyarakat.

Sumber: PP Nomor 95 Tahun 2012.

Pengaturan tentang pengendalian zoonosis selanjutnya


tertuang dalam Peraturan Presiden Nomor 30 Tahun 2011
Tentang Pengendalian Zoonosis. Peraturan ini percaya
bahwa Indonesia masih menghadapi permasalahan
penyakit hewan yang secara alami dapat menular ke
manusia, atau sebaliknya. Dalam kondisi tertentu
berpotensi penyakit ini menjadi wabah atau pandemi yang
perlu dikendalikan.

Dalam konsiderans menimbangnya, Peraturan Presiden


ini juga menyebutkan bahwa ancaman zoonosis di
Indonesia dan dunia cenderung terus meningkat. Hal ini
berimplikasi pada aspek sosial, ekonomi, keamanan, dan
kesejahteraan rakyat. Kemudian dinyatakan bahwa untuk
percepatan pengendalian zoonosis diperlukan langkah-
langkah komprehensif dan terpadu dari pemerintah
pusat, pemerintah daerah, dunia usaha, organisasi
profesi, lembaga non pemerintah, perguruan tinggi, dan
lembaga internasional serta seluruh lapisan masyarakat
serta pihak- pihak terkait lainnya.

Ditambahkan pula oleh Peraturan ini bahwa guna


mengantisipasi dan menanggulangi situasi kedaruratan

64
HUKUM, KESEJAHTERAAN HEWAN DAN ZOONOSIS: ASPEK HUKUM YANG
TERLUPAKAN DALAM PENANGGULANGAN COVID-19 DI INDONESIA

akibat wabah zoonosis, perlu diambil langkah-langkah


operasional dari berbagai sektor yang cepat dalam satu
sistem komando pengendalian nasional yang terintegrasi.

Pengendalian zoonosis adalah tanggung jawab pemerintah


pusat dan pemerintah daerah. Guna pengendalian
zoonosis dibentuk kelembagaan sebagai wadah
koordinasi. Kelembagaan itu berupa Komisi Nasional,
Komisi Provinsi dan Komisi Kabupaten/Kota untuk
pengendalian zoonosis.19

Menarik untuk melihat bahwa dalam kaitan dengan


pengendalian Covid-19, perangkat regulasi yang ada tidak
mengaitkan dengan rezim kesehatan dan kesejahteraan
hewan.

Terkait dengan penanganan Covid-19, terdapat sejumlah


produk hukum yang ditetapkan. Di tingkat nasional,
produk-produk hukum itu membentang dari Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu), Peraturan
Pemerintah, Peraturan Presiden, Keputusan Presiden dan
Peraturan Menteri. Sementara itu di daerah juga dibentuk
peraturan-peraturan kepala daerah.

Ditilik dari materi yang diatur dalam produk hukum


tersebut maka terlihat bahwa urusan penanganan Covid-
19 berkaitan dengan aspek ekonomi dan keuangan negara
sebagaimana terdapat dalam Perpu Nomor 1 Tahun

19 Pasal 7 Peraturan Presiden Nomor 30 Tahun 2011.

65
HUKUM, KESEJAHTERAAN HEWAN DAN ZOONOSIS: ASPEK HUKUM YANG
TERLUPAKAN DALAM PENANGGULANGAN COVID-19 DI INDONESIA

2020.20 Selain itu hal ini juga tercermin dalam Peraturan


Presiden Nomor 82 Tahun 2020 Tentang Komite
Penanganan Corona Virus Diseases 2019 (Covid-19) dan
Pemulihan Ekonomi Nasional.

Pengaturan mengenai penanganan Covid-19 juga


dikaitkan dengan kesehatan dan kebencanaan. Peraturan
Pemerintah Nomor 21 Tahun 2020 Tentang Pembatasan
Sosial Berskala Besar dalam rangka Percepatan
Penanganan Corona Virus Disease 2019 (Covid-19)
merupakan pelaksanaan dari rezim hukum kesehatan
(Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1984 Tentang Wabah
Penyakit Menular), kesehatatan masyarakat (Undang-
Undang Nomor 6 Tahun 2018 Tentang Kekarantiaan
Kesehatan) dan kebencanaan (Undang-Undang Nomor 24
Tahun 2007 Tentang Penanggulangan Bencana).

Skala prioritas penanganan Covid-19 saat ini adalah


kesehatan dan ekonomi. Pengaruh keduanya saling
berkelindan. Dari sisi ini dapat difahami bahwa muatan
produk hukum yang dibuat untuk merespon pandemi
Covid-19 lebih banyak pada aspek kesehatan,
kebencanaan dan ekonomi.

Kendati demikian, ketika dalam perkembangannya Covid-


19 juga menyangkut penularan dari manusia kepada

20 Perpu Nomor 1 Tahun 2020 Tentang Tentang Kebijakan Keuangan Negara dan
Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Coroa Virus Disease
2019 (Covid-19) dan/atau dalam rangka menghadapi ancaman yang
membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan

66
HUKUM, KESEJAHTERAAN HEWAN DAN ZOONOSIS: ASPEK HUKUM YANG
TERLUPAKAN DALAM PENANGGULANGAN COVID-19 DI INDONESIA

hewan dan Indonesia sendiri telah mempunyai perangkat


hukum yang lengkap mengenai kesejahteraan hewan dan
pengendalian zoonisis, maka pada masa selanjutnya perlu
difikirkan agar hal ini juga menjadi bagian dari kebijakan
penanganan Covid-19.

Kekuatan dan Kelemahan Norma Hukum terhadap


Transmisi Virus Korona

Setelah menjelaskan mengenai pengaturan kesejahteraan


hewan dan pengendalian zoonosis maka pada bagian ini
didiskusikan bagaimana kekuatan dan kelemahan
norma-norma hukum tersebut terhadap upaya
pencegahan penularan virus Korona dari manusia kepada
hewan.

Yang pertama perlu disampaikan bahwa hukum terkait


kesehatan hewan di Indonesia percaya bahwa penularan
zoonosis itu juga dapat terjadi dari manusia kepada
hewan. Sebagaimana dijelaskan di bagian 1, definisi
zoonosis yang digunakan dalam Undang-Undang Nomor
18 Tahun 2009 dan peraturan turunannya memuat
definisi zoonosis yang lebih luas daripada definisi yang
digunakan WHO.

Dengan definisi seperti ini maka produk hukum


kesehatan hewan di Indonesia sesungguhnya sudah
antisipatif terhadap potensi penularan virus dari manusia
kepada hewan. Tidak diperlukan norma hukum baru jika
peristiwa tersebut terjadi di Indonesia.

67
HUKUM, KESEJAHTERAAN HEWAN DAN ZOONOSIS: ASPEK HUKUM YANG
TERLUPAKAN DALAM PENANGGULANGAN COVID-19 DI INDONESIA

Kendati demikian, materi muatan selanjutnya dari produk


hukum yang ada tidak mengatur upaya pencegahan
penularan penyakit dari manusia kepada hewan.
Manajemen risiko zoonosis yang diatur dalam Peraturan
Pemerintah Nomor 95 Tahun 2012 misalnya, tidak sama
sekali mengatur hal-hal yang bisa menyelamatkan hewan
dari potensi penularan penyakit. Sebagaimana dapat
dilihat pada tabel 1, tampak bahwa hewan di sini
diartikan sebagai subyek penyebaran penyakit, daripada
sebagai obyek tertular penyakit, terutama dari manusia.

Pada sisi ini terlihat ada ketidaksinambungan antara


norma pengendalian zoonosis dengan norma
kesejahteraan hewan. Telah disebutkan sebelumnya
bahwa salah satu prinsip dalam kesejahteraan hewan
adalah menjamin hewan terbebas dari penyakit.

Dengan sifat norma hukum seperti ini maka upaya


perlindungan hewan dari potensi penularan virus Korona
menjadi lemah. Satu-satunya kekuatan hanya ada pada
definisi zoonosis yang memungkinkan terjadinya
transmisi dari manusia kepada hewan.

Hal lain, sekalipun Covid-19 adalah zoonosis, Pemerintah


Indonesia belum menetapkan sebagai zoonosis prioritas.
Dengan demikian semua perangkat regulasi terkait
pengendalian dan penanggulangan zoonosis belum bisa
diterapkan.

68
HUKUM, KESEJAHTERAAN HEWAN DAN ZOONOSIS: ASPEK HUKUM YANG
TERLUPAKAN DALAM PENANGGULANGAN COVID-19 DI INDONESIA

Covid-19 yang masuk ke Indonesia memang karena


transmisi antar manusia. Berbeda dengan zoonosis lain
seperti Flu Burung atau Avian Influenza. Karena hal inilah
maka patut diduga pemerintah lebih mengedepankan
aspek kesehatan masyarakat daripada kesehatan
hewannya. Di Indonesia belum ada laporan tentang
penularan Covid-19 dari hewan kepada manusia atau
sebaliknya.

Kondisi ini tidak dapat ditanggapi sebagai hal biasa.


Mengingat di negara-negara lain penularan virus Korona
dari manusia kepada hewan telah terjadi, maka tidak
tertutup kemungkinan hal serupa dapat terjadi di
Indonesia.

Kecenderungan norma hukum sebagaimana dijelaskan di


atas menerminkan kuatnya etika antroposentrisme.
Definisi zoonosis dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun
2009 dan norma terkait kesejahteraan hewan mencoba
memuat aspek perlindungan pada hewan. Namun
pengaturan selanjutnya dalam pengendalian zoonosis
lebih memihak kepada kepentingan manusia.

Di sinilah penting melihat keberadaan norma-norma


hukum itu dengan soal etika yang melatarinya. Bagian di
bawah ini akan menjelaskan lebih lanjut.

Etika Lingkungan yang Berpengaruh

Pembahasan pada bagian ketiga ini mencakup penjelasan


mengenai teori etika lingkungan secara umum dan

69
HUKUM, KESEJAHTERAAN HEWAN DAN ZOONOSIS: ASPEK HUKUM YANG
TERLUPAKAN DALAM PENANGGULANGAN COVID-19 DI INDONESIA

penggunan perspektif teoretik etika lingkungan itu untuk


menjelaskan masalah kesejahteraan hewan dan
pengendalian zoonosis.

Sekilas tentang Teori Etika Lingkungan

Teori yang digunakan untuk memandu analisis dalam


penelitian ini adalah teori-teori dalam etika lingkungan,
khususnya antroposentrisme, ekosentrisme dan keadilan
dalam konsep kesejahteraan hewan (animal welfare).

Etika Lingkungan menurut Sonny Keraf adalah salah satu


hal penting yang harus dirujuk dalam pengambilan
keputusan pejabat publik di bidang lingkungan hidup.
Etika adalah proses reflektif dan kritis yang dilalui
pemerintah untuk menentukan pilihan kebijakan dan
tindakan (Keraf, 2010). Peraturan perundang-undangan
adalah salah satu hasil dari pengambilan keputusan.
Norma-norma yang dirumuskan dalam peraturan
perundang-undangan serta nilai-nilai filosofis di baliknya
adalah pilihan kebijakan. Karena itu maka etika
lingkungan sangat berpengaruh pada rumusan norma-
norma tersebut.

Terdapat berbagai teori mengenai etika lingkungan. Yang


banyak dibahas dan relevan dengan penelitian ini adalah
etika antroposentrisme dan ekosentrisme.
Antroposentrisme menempatkan manusia dan kebutuhan
manusia sebagai hal yang utama, lebih tinggi dan lebih
bernilai daripada spesies lain (Keraf, 2010; Kopnina,

70
HUKUM, KESEJAHTERAAN HEWAN DAN ZOONOSIS: ASPEK HUKUM YANG
TERLUPAKAN DALAM PENANGGULANGAN COVID-19 DI INDONESIA

Washington, Taylor, Piccolo, 2018). Etika


Antroposentrisme lazim melekat pada filosofi Barat
terhadap alam. Beberapa ahli mengatakan bahwa hal ini
juga terkait dengan nilai filosofis yang digunakan untuk
menjelaskan relasi manusia dengan alam dalam Kitab
Suci (Simkins, 2014).

Antroposentrisme tidak berwajah tunggal. Ben Mylius


memilahnya menjadi tiga tipe. Yang pertama disebutnya
sebagai antroposentrisme secara persepsi (perceptual
anthropocentrism). Hal ini terwujud ketika paradigma
dibangun atas dasar data dan informasi, langsung atau
tidak, diterima dan dikumpulkan semata-mata
menggunakan indera tubuh manusia. Kebenaran yang
dihasilkan oleh data itu ditentukan oleh sensor inderawi
spesies Homo sapiens. Yang kedua, sebuah paradigma
juga bersifat antroposentris secara deskriptif jika cara
berfikir dimulai dengan, berfokus, merujuk atau
disesuaikan dengan kondisis Homo sapiens. Terakhir,
secara normatif, antroposentrisme itu terbagi dua yaitu
antroposentrisme normatif yang pasif dan yang aktif.
Dalam arti pasif, antroposentrisme hanya membatasi
penyelidikan dengan cara yang mengistimewakan Homo
sapiens; sedangkan dalam arti aktif, antroposentrisme
normatif terwujud dengan hadirnya pernyataan atau
perintah yang menunjukkan keunggulan Homo sapiens
dalam posisinya berhadapan dengan spesies lain di alam
semesta (Mylius, 2018).

71
HUKUM, KESEJAHTERAAN HEWAN DAN ZOONOSIS: ASPEK HUKUM YANG
TERLUPAKAN DALAM PENANGGULANGAN COVID-19 DI INDONESIA

Tantangan utama pada antroposentrisme adalah


biosentrisme atau terkadang zoosentrisme. Biosentrisme
memandang semua makhluk hidup, biotik dan abiotik di
dalam sistem kehidupan mempunyai nilai yang sama dan
membentuk satu keutuhan. Sementara itu zoosentrisme
menempatkan hewan sebagai yang utama.

Ekosentrisme melampaui biosentrisme dan zoosentrisme


tetapi juga tidak sepenuhnya menyetujui
antroposentrisme. Ekosentrisme menyediakan payung
bagi keadilan semua komponen lingkungan hidup.
Kehidupan difahami oleh ekosentrisme sebagai
ketergantungan proses hayati, geologis dan geomorfologi
seluruh spesies, dimana keanekaragaman hayati bersifat
intrinsik di dalamnya (Washington, Taylor, Kopnina, Cryer
& and Piccolo, 2017).

Etika Lingkungan dalam Kesejahteraan Hewan dan


Pengendalian Zoonosis

Sebagaimana disebutkan pada bagian pendahuluan,


persoalan Covid-19 penting dibahas dalam kerangka
hukum kesejahteraan hewan. Persoalan teoretik yang
penting dibahas adalah filsafat moral apa yang
memengaruhi konsep animal welfare.

Hewan, sebagaimana manusia, memerlukan


kesejahteraan dimana kesejahteraan itu menurut Broom
bukan sesuatu yang terberi (given). Kesejahteraan
diupayakan. Karena itu kesejahteraan bisa hadir dalam

72
HUKUM, KESEJAHTERAAN HEWAN DAN ZOONOSIS: ASPEK HUKUM YANG
TERLUPAKAN DALAM PENANGGULANGAN COVID-19 DI INDONESIA

bentuk terbaik atau terburuknya. Kesejahteraan


hewanpun dapat diukur (Broom, 1991).

Salah satu cara mengukur kesejahteraan hewan adalah


dengan menilai terpenuhinya kebutuhan hewan. Golab
dan Scarfe, sebagaimana dikutip pada bagian awal artikel
ini menyebutkan kebutuhan itu meliputi keadaan bebas
dari kelaparan, haus, ketidaknyamanan, luka, penyakit,
ketakutan, keterancaman dan gangguan lain yang
menyebabkan mereka tidak bisa mengekspresikan
perilaku alaminya (Golab & Scarfe, n.d.). Pendapat Golab
dan Scarfe ini sejalan dengan norma kesejahteraan hewan
dalam hukum nasional Indonesia.

Ihwal filsafat moral dari kesejahteraan hewan ini, ada


yang memandangnya sebagai turunan dari filsafat
utilitarian. Bagaimanapun dalam konsepnya,
kesejahteraan hewan ini terus berkaitan dengan
kebutuhan dan interaksinya dengan manusia.

Hal ini dipandang berbeda oleh penganjur konsep hak


hewan (animal rights). Yang terakhir ini lebih condong
kepada bio atau zoosentrisme. Hak-hak hewan itu melekat
tanpa harus memedulikan hubungannya dengan
manusia.21

21 Tulisan bagus yang menjelaskan tentang filosofi animal rights dan


perkembangannya dalam gerakan penyayang hewan di Indonesia dibuat oleh
Resolute, P. 2016. Humanizing the Non-Human Animal: the Framing Analysis of

73
HUKUM, KESEJAHTERAAN HEWAN DAN ZOONOSIS: ASPEK HUKUM YANG
TERLUPAKAN DALAM PENANGGULANGAN COVID-19 DI INDONESIA

Manakah etika lingkungan yang paling memengaruhi


konsep animal welfare tentu mengundang banyak
perdebatan. Sebagian mengelompokkan animal welfare
sebagai wujud antroposentrisme. Tetapi, ada hal yang
membedakan pula dengan antroposentrisme. Dengan
demikian, ekosentrisme menjadi penting dikaji kaitannya
dengan konsep kesejahteraan hewan ini.

Ditilik dari norma hukum terkait kesejahteraan hewan di


Indonesia maka konsep dan prinsip-prinsip yang
digunakan cukup kuat menggambarkan etika
ekosentrisme. Artinya, pengaturan untuk perlindungan
kesejahteraan hewan ini tidak semata untuk hewan
tersebut sebagaimana dianut oleh bio atau zoosentrisme
tetapi menempatkan dalam interaksi hewan dan makhluk
hidup yang lain terutama manusia. Diskusi terhadap hal
ini dapat dilihat kembali dalam bagian 1.

Serupa dengan itu, terhadap pengendalian zoonosis,


norma hukum yang ada mencoba menempatkan zoonosis
dalam faham ekosentrisme. Bukan antroposentris. Hal ini
terlihat dengan cara hukum mengartikan bahwa zoonosis
adalah penyakit yang dapat menular dari hewan kepada
manusia atau sebaliknya.

Namun, seperti telah dibahas pada bagian-bagian


sebelumnya, norma-norma pengendalian dan

Dogs’ Rights Movement in Indonesia. MASYARAKAT: Jurnal Sosiologi


21(2):149-172.

74
HUKUM, KESEJAHTERAAN HEWAN DAN ZOONOSIS: ASPEK HUKUM YANG
TERLUPAKAN DALAM PENANGGULANGAN COVID-19 DI INDONESIA

penanggulangan zoonosis kemudian kehilangan


keterhubungannya dengan norma hukum mengenai
kesejahteraan hewan. Akibatnya, pengaturan mengenai
zoonisis kemudian menjadi sangat antroposentrik.

Ketidakkoherenan norma hukum seperti ini menjadi salah


satu penyebab mengapa pengendalian zoonosis di
Indonesia terkesan antroposentrik.

Apakah hal ini menjadi kebijakan yang disengaja atau


tidak bukan menjadi bagian dalam penelitian kami.
Temuan penelitian ini hanya sampai pada ihwal norma
hukum yang tidak koheren.

PENUTUP

Kesimpulan

Studi mengenai penularan virus Korona dari manusia


kepada hewan belum banyak dilakukan, meskipun data
menunjukkan terpaparnya beberapa hewan dengan virus
Korona akibat interaksi dengan manusia. Bagi Indonesia,
studi semacam ini penting karena kebijakan relaksasi
Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) sedang
dilakukan dan tempat-tempat wisata alam kembali
dibuka.

Kebijakan mengenai Covid-19 di Indonesia lebih banyak


ditempatkan pada urusan kesehatan masyarakat,
kebencanaan dan ekonomi. Belum atau hampir tidak

75
HUKUM, KESEJAHTERAAN HEWAN DAN ZOONOSIS: ASPEK HUKUM YANG
TERLUPAKAN DALAM PENANGGULANGAN COVID-19 DI INDONESIA

disentuh kaitannya dengan zoonosis dan kesejahteraan


hewan (animal welfare).

Kerangka hukum nasional terkait dengan kesejahteraan


hewan dan pengendalian zoonosis relatif lengkap.
Terdapat produk hukum mulai dari tingkat Undang-
Undang hingga Keputusan Menteri.

Ditilik dari norma-norma hukum yang ada maka upaya


memastikan bahwa hewan terlindungi dari potensi
penularan virus Korona sejatinya adalah bagian dari
kebijakan kesejahteraan hewan.

Kesejahteraan hewan didasarkan pada lima prinsip untuk


menjadikan hewan bebas dari rasa lapar dan haus, bebas
dari rasa sakit, cidera, dan penyakit, bebas dari
ketidaknyamanan, penganiayaan, dan penyalahgunaan,
bebas dari rasa takut dan tertekan dan bebas untuk
mengekspresikan perilaku alaminya.

Covid-19 adalah salah satu jenis zoonosis. Indonesia


menggunakan definisi zoonosis lebih luas daripada WHO.
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009 menyebutkan
bahwa zoonosis diartikan sebagai penyakit yang dapat
menular dari hewan kepada manusia atau sebaliknya.
Dengan definisi ini maka hukum Indonesia memandang
bahwa zoonosis juga dapat ditularkan dari manusia
kepada hewan. Karena norma ini maka fenomena
penularan virus Korona dari manusia kepada hewan

76
HUKUM, KESEJAHTERAAN HEWAN DAN ZOONOSIS: ASPEK HUKUM YANG
TERLUPAKAN DALAM PENANGGULANGAN COVID-19 DI INDONESIA

menjadi beralasan secara hukum untuk masuk ke dalam


ruang lingkup zoonosis.

Untuk mengantisipasi penularan Covid-19 dari manusia


kepada hewan maka mengintegrasikan hukum terkait
kesejahteraan hewan dan pengendalian zoonosis ke dalam
kebijakan penanganan Covid-19 perlu difikirkan. Produk
hukum kesehatan hewan sudah antisipatif terhadap
potensi penularan virus dari manusia kepada hewan.
Tidak diperlukan norma hukum baru jika peristiwa
tersebut terjadi di Indonesia. Hal ini menjadi salah satu
kekuatan dari norma hukum yang ada.

Sayangnya, materi muatan selanjutnya dari produk


hukum yang ada tidak mengatur lebih rinci mengenai
upaya pencegahan penularan penyakit dari manusia
kepada hewan. Manajemen risiko zoonosis tidak sama
sekali mengatur hal-hal yang bisa menyelamatkan hewan
dari potensi penularan penyakit.

Ada ketidaksinambungan antara norma pengendalian


zoonosis dengan norma kesejahteraan hewan. Dengan
sifat norma hukum seperti ini maka upaya perlindungan
hewan dari potensi penularan virus Korona akhirnya
menjadi lemah. Satu-satunya kekuatan hanya ada pada
definisi zoonosis yang memungkinkan terjadinya
transmisi dari manusia kepada hewan.

Kecenderungan norma hukum ini menerminkan kuatnya


etika antroposentrisme daripada etika ekosentrisme

77
HUKUM, KESEJAHTERAAN HEWAN DAN ZOONOSIS: ASPEK HUKUM YANG
TERLUPAKAN DALAM PENANGGULANGAN COVID-19 DI INDONESIA

Definisi zoonosis dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun


2009 dan norma terkait kesejahteraan hewan mencoba
memuat aspek perlindungan pada hewan. Namun
pengaturan selanjutnya dalam pengendalian zoonosis
lebih memihak kepada kepentingan manusia.

Norma-norma pengendalian dan penanggulangan


zoonosis kemudian kehilangan keterhubungannya
dengan norma hukum mengenai kesejahteraan hewan.
Akibatnya, pengaturan mengenai zoonisis menjadi sangat
antroposentrik. Ketidakkoherenan norma hukum itu
menyebabkan pengendalian zoonosis di Indonesia
terkesan antroposentrik meski di awal mencoba terbuka
pada etika ekosentrisme.

Saran

a. Antisipasi terhadap penularan virus Korona dari


manusia kepada hewan perlu dilakukan. Meski
belum ada kejadian terjadi di Indonesia tetapi
bercermin dari pengalaman di berbagai negara
lain, hal itu telah terjadi.
b. Penyelarasan norma pengendalian dan
penanggulangan zoonosis dengan norma hukum
mengenai kesejahteraan hewan perlu dilakukan.
c. Perlu didorong kajian hukum interdisipliner,
bekerja sama dengan disiplin kesehatan hewan
dan kesehatan masyarakat untuk memberikan
sumbang saran bagi perbaikan kebijakan.

78
HUKUM, KESEJAHTERAAN HEWAN DAN ZOONOSIS: ASPEK HUKUM YANG
TERLUPAKAN DALAM PENANGGULANGAN COVID-19 DI INDONESIA

DAFTAR PUSTAKA

Bergmann, I. M. (2019), “Interspecies Sustainability to


Ensure Animal Protection: Lessons from the
Thoroughbred Racing Industry.” Sustainability 11:
5539.
Björnegran, A. (2017), “Challenges and Possibilities for
Accommodating Wild Animals in the Realm of Justice.”
Tesis Master. Uppsala Universitet.
Broom, D. M. (2017), “Animal welfare: concepts and
measurement”. Journal of Animal Science, 69: 4167-
4175.
Everard, M., Johnston, P., Santillo, D. & Staddon, C.
(2020), “The Role of Ecosystems in Mitigation and
Management of Covid-19 and Other Zoonoses”.
Environmental Science and Policy. 111:7-17.
Fletcher, R. Büscher, B., Massarella, K. & Koot, S., (2020),
“Close the Tap!': COVID-19 and the Need for Convivial
Conservation.” Journal of Australian Political Economy
85:200-211.
Golab, G. C. & Scarfe, D. A. (n.d.). Animal Welfare-From
Philosophy to Regulation: Assessing Animal Welfare
and its Impacts on the Veterinary Profession and
Animal Industries. Proceeding of International
Association for Aquatic Animal Medicine.
https://www.vin.com/apputil/content/defaultadv1.as
px?id=3865186&pid=11257&print=1 diakses 15-6-
2020.
Health, K. (2011), “The classical definition of a pandemic
is not elusive.” Bulletin World Health Organization. Jul
1 89(7): 540-541.
Humane Society International (2020), Wildlife Markets and
COVID-19. Washington, D.C.
Jeffries, B. (2020), The Loss of Nature and the Rise of
Pandemics: Protecting Human and Planetary Health.
Gland, Switzerland: WWF International.

79
HUKUM, KESEJAHTERAAN HEWAN DAN ZOONOSIS: ASPEK HUKUM YANG
TERLUPAKAN DALAM PENANGGULANGAN COVID-19 DI INDONESIA

Keraf, S. A. (2010), Etika Lingkungan Hidup, Jakarta:


Penerbit Buku Kompas.
Kopnina, H., Washington, H., Taylor, B. & Piccolo, J. J.
(2018), “Anthropocentrism: More than Just a
Misunderstood Problem”. Journal of Agricultural
Environmental Ethics 31: 109–127.
Kumalasari, M. L. F. (2020), Diversitas Kelelawar di
Kawasan Karst Malang Selatan serta potensinya
sebagai Vektor Zoonosis. Sidoarjo: Zifatama Jawara.
Lela, N. L., Muhtarudin, Bakri, S., Suwandi, J. F. (2019),
Pengaruh Deforestasi Ekosistem Hutan menjadi
Perairan Terestial terhadap Prevalensi Serangan
Rabies: Studi di Provinsi Lampung. Makalah dalam
Seminar Nasional Biologi 4, UIN Sunan Gunung Djati,
Bandung, 25 April.
Mackenzie, J. S. & Smith, D. W. (2020), “COVID-19: a
novel zoonotic disease caused by a coronavirus from
China: what we know and what we don’t,” Microbiology
Australia 41: 45-50.
Mylius, B. (2018), “Three Types of Anthropocentrism.”
Environmental Philosophy 15 (2):159-194.
Resolute, P. (2016), “Humanizing the Non-Human Animal:
the Framing Analysis of Dogs’ Rights Movement in
Indonesia.” MASYARAKAT: Jurnal Sosiologi 21(2):149-
172.
Simkins, R.A. (2014), “The Bible and anthropocentrism:
Putting humans in their place.” Dialect Anthropology
38: 397–413.
Washington H, Taylor, B, Kopnina, H, Cryer, P. & Piccolo
J. J. (2017), “Why ecocentrism is the key pathway to
sustainability.” The Ecological Citizen 1: 35–41.
World Health Organization. Tanpa Tahun. Coronavirus.
https://www.who.int/health-
topics/coronavirus#tab=tab_1, diakses 15-6-2020.

80
2
Mencegah Pandemi dengan
Insentif Karbon Biru (Pengelolaan
Mangrove Berbasis Perhutanan
Sosial Berorientasi Penyimpanan
dan/atau Penyerapan Karbon)

Arasy Pradana A Azis, Sukma Impian Riverningtyas


Mata Garuda LPDP
arasyaziz@gmail.com

Abstrak

Mangrove merupakan ekosistem yang mengalami


ancaman deforestasi dan degradasi serius. Akibatnya,
risiko penularan penyakit infeksi zoonosis seperti COVID-
19 pun turut meningkat. Diketahui, mangrove merupakan
habitat bagi satwa liar yang menjadi inang virus sejenis
corona. Selain akibat kepemilikan lahan yang tak adil dan
tekanan populasi, masyarakat sekitar ekosistem
mangrove dapat menjadi pelaku deforestasi akibat
tekanan ekonomi. Di saat bersamaan, skema
perlindungan ekosistem mangrove saat ini belum
memberikan keadilan ekonomi yang sepadan. Salah satu
bentuk jasa lingkungan yang dapat dimanfaatkan untuk
mengisi gap ini adalah melalui kegiatan penyimpanan

81
MENCEGAH PANDEMI DENGAN INSENTIF KARBON BIRU (PENGELOLAAN MANGROVE
BERBASIS PERHUTANAN SOSIAL BERORIENTASI PENYIMPANAN DAN/ATAU
PENYERAPAN KARBON)

dan/atau penyerapan karbon biru. Makalah ini kemudian


hendak menelusuri kemungkinan model penyerapan
dan/atau penyimpanan karbon yang dapat dijajaki dalam
upaya konservasi mangrove di Indonesia, dengan
berorientasi pada tercapainya keadilan ekonomi bagi
masyarakat sekitarnya. Untuk memberikan dampak
langsung kepada masyarakat, kebijakan pengelolaan
mangrove dapat meniru skema perhutanan sosial yang
telah diterapkan pada ekosistem gambut. Kebijakan
tersebut diketahui telah mengakomodasi kegiatan
penyimpanan dan/atau penyerapan karbon sebagai salah
satu jasa lingkungan yang dapat dikomodifikasi
masyarakat. Adapun keuntungannya dapat diperoleh dari
kompensasi/imbal jasa lingkungan. Guna
memaksimalkan nilai ekonominya, masyarakat dapat
menjalankan kerja sama antar-Badan Usaha Milik Desa
yang berada pada satu kesatuan ekosistem mangrove.
Namun dalam pelaksanaannya, sejumlah hambatan yang
mungkin timbul perlu diperhatikan.

Kata Kunci: mangrove, zoonosis, karbon biru,


perhutanan sosial, BUM Desa

82
MENCEGAH PANDEMI DENGAN INSENTIF KARBON BIRU (PENGELOLAAN MANGROVE
BERBASIS PERHUTANAN SOSIAL BERORIENTASI PENYIMPANAN DAN/ATAU
PENYERAPAN KARBON)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Saat ini, pandemi COVID-19 menjadi perhatian utama


masyarakat dunia. Hingga 14 Juni 2020, tercatat lebih
dari 7,8 miliar penduduk di seluruh belahan dunia telah
terpapar COVID-19, dengan 432.394 di antaranya
meninggal dunia. Indonesia sendiri menyumbang 37.420
kasus COVID-19, dengan 2.091 korban jiwa
(Worldometer, n.d.). Pandemi ini sendiri diduga dimulai
dari sebuah pasar ikan di Wuhan, Tiongkok, pada
pertengahan Desember 2019. Para ilmuwan berasumsi
bahwa kemungkinan besar virus penyebab COVID-19
berasal dari kelelawar. Namun sebelum menginfeksi
manusia, virus ini ditransmisikan melalui hewan lain.
Pola serupa juga menjadi asal mula bagi wabah SARS
pada tahun 2002, yang notabene juga disebabkan
Coronavirus dari tipe lain (Readfearn, n.d.).

Para peneliti di Indonesia pun pernah menemukan virus


jenis corona pada kelelawar lokal. Pada tahun 2013, Wenti
Dwi Febriani, dkk, melakukan pengambilan sampel
terhadap 95 ekor kelelawar pemakan buah (Pteropus
alecto) di kawasan hutan mangrove Olibuu, Gorontalo
(Febriani, 2018). Semua sampel tersebut kemudian diuji
dengan tes PCR dan pengurutan DNA. Akhirnya
ditemukan bahwa 24 dari 95 sampel yang diambil

83
MENCEGAH PANDEMI DENGAN INSENTIF KARBON BIRU (PENGELOLAAN MANGROVE
BERBASIS PERHUTANAN SOSIAL BERORIENTASI PENYIMPANAN DAN/ATAU
PENYERAPAN KARBON)

terinidikasi positif membawa Coronavirus kelelawar


(Febriani, 2018).

Sebagaimana telah digambarkan, kelelawar buah sebagai


salah satu inang Coronavirus di antaranya menjadikan
ekosistem mangrove sebagai habitat (Febriani, 2018).
Aswin Rahadian dkk (2019), mengutip data Satu Peta
Mangrove Nasional pada tahun 2017, mencatat bahwa
luas kawasan hutan mangrove mencapai 3.361.261
hektar di seluruh Indonesia.

Masalahnya, kawasan mangrove tersebut juga mengalami


ancaman deforestasi dan degradasi yang serius. CIFOR,
mengutip FAO dan Campbell & Brown, menyatakan
bahwa Indonesia terus kehilangan 40 persen kawasan
mangrovenya dalam tiga dekade terakhir. Dengan ini,
Indonesia memegang rekor sebagai negara dengan
kerusakan mangrove tercepat di dunia. Deforestasi ini
disebabkan oleh konversi kawasan mangrove menjadi
tambak, penebangan liar, serta degradasi akibat
tumpahan minyak dan polusi (CIFOR, n.d.).

Selain berdampak pada lingkungan, deforestasi dan


degradasi seperti ini juga meningkatkan ancaman
penularan penyakit infeksi zoonosis, selayaknya COVID-
19. Telah digambarkan sebelumnya bahwa kawasan
mangrove menjadi habitat bagi kelelawar pemakan buah
yang notabene merupakan inang bagi virus jenis corona.
Laporan Nathan D Wolfe dkk, menyatakan bahwa

84
MENCEGAH PANDEMI DENGAN INSENTIF KARBON BIRU (PENGELOLAAN MANGROVE
BERBASIS PERHUTANAN SOSIAL BERORIENTASI PENYIMPANAN DAN/ATAU
PENYERAPAN KARBON)

peningkatan risiko kontak antara manusia dengan


patogen zoonosis disebabkan oleh setidaknya tiga faktor,
yaitu keanekaragaman mikroba pada suatu ‘kolam
zoonotis’, efek perubahan lingkungan hidup terhadap
prevalensi patogen pada suatu populasi margasatwa, dan
frekuensi interaksi antara manusia atau peliharaannya
dengan inang penyakit zoonosis (Wolfe, 2005). Deforestasi,
khususnya di hutan hujan tropis, dinilai telah
meningkatkan kontak dimaksud antara kehidupan liar
dan pemburunya (Wolfe, 2005).

Berkaca dari fakta-fakta tersebut, antisipasi atas


kemungkinan berkembangnya wabah baru akibat
deforestasi kawasan mangrove menjadi kebutuhan yang
mendesak. Masalahnya, upaya konservasi mangrove yang
bersifat top-down dan sempit masih menjadi pendekatan
arus utama yang digunakan pemerintah. Sekalipun
masyarakat dilibatkan, manfaat ekonomi yang didapatkan
masih sangat terbatas. Yang seharusnya menjadi garda
terdepan perlindungan ekosistem mangrove, masyarakat
lokal malah dapat menjadi pelaku deforestasi dan
degradasi hutan karena faktor kebutuhan ekonomi
tersebut, ditambah kepemilikan lahan yang tidak adil, dan
tekanan populasi Gibson, McKean & Ostrom, 2000).

Sebagai contoh, di kabupaten Kotawaringin Timur,


5.469,7 hektar kawasan mangrove yang tersebar di
kecamatan Pulau Hanaut dan kecamatan Teluk Sampit

85
MENCEGAH PANDEMI DENGAN INSENTIF KARBON BIRU (PENGELOLAAN MANGROVE
BERBASIS PERHUTANAN SOSIAL BERORIENTASI PENYIMPANAN DAN/ATAU
PENYERAPAN KARBON)

telah ditetapkan sebagai kawasan hutan lindung. 1 Atas


penetapan itu, kawasan mangrove dapat dimanfaatkan
untuk pemanfaatan kawasan, pemanfaatan jasa
lingkungan, dan pemungutan hasil hutan bukan kayu,
dengan pemberian izin. 2 Di sisi lain, masyarakat yang
melakukan penebangan pohon di dalam hutan secara
tidak sah, dapat dipidana dengan pidana pejara satu
sampai lima tahun, dan denda Rp. 500 juta hingga Rp. 2,5
miliar.3

Yang problematis, kawasan hutan lindung di kecamatan


Pulau Hanaut sendiri tumpang tindih dengan kawasan
permukiman masyarakat. Sebagai contoh, di kawasan
desa Satiruk, khususnya pada wilayah yang disebut
Satiruk Laut. Wilayah tersebut sejak awal didirikan
dengan membabat kawasan mangrove, pada kisaran awal
abad 20 (Dika, dkk., 2019). Akibatnya, masyarakat hidup
dalam potensi konflik dengan pemangku kepentingan
terkait, khususnya pemerintah dan aparatnya. Sekalipun,
laporan William Fernando Dika, dkk. telah menguraikan
bahwa:

1 Peraturan Daerah Nomor 5 Tahun 2015 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah
Kabupaten Kotawaringin Timur Tahun 2015-2035 (Kabupaten Kotawaringin
Timur, 2015), Pasal 26 huruf b.
2 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (Republik Indonesia,

1999), Pasal 26.


3 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan

Perusakan Hutan, (Republik Indonesia, 2013), Pasal 82 ayat (1) jo. Pasal 12 huruf
c.

86
MENCEGAH PANDEMI DENGAN INSENTIF KARBON BIRU (PENGELOLAAN MANGROVE
BERBASIS PERHUTANAN SOSIAL BERORIENTASI PENYIMPANAN DAN/ATAU
PENYERAPAN KARBON)

(s)aat ini, masyarakat Desa Satiruk telah meredam


perambahan mangrove untuk kepentingan pribadi,
terutama pembangunan permukiman baru.
Masyarakat menyadari bahwa hutan mangrove
merupakan kawasan yang perlu dilestarikan karena
membawa manfaat jangka panjang, seperti menahan
abrasi pantai (Dika, dkk., 2019).

Meski diklaim tak lagi merambah kawasan hutan


mangrove, masyarakat setempat masih belum
mendapatkan manfaat langsung dari iktikad tersebut.
Secara umum, tingkat pendapatan kotor keluarga
setempat terentang pada kisaran Rp. 1,05 juta hingga Rp.
9 juta per bulan, dengan latar belakang profesi dominan
berupa petani dan nelayan. Keterbatasan infrastruktur
diketahui menjadi penghambat utama masyarakat dalam
melakukan diversifikasi ekonomi. Desa Satiruk hanya
dapat dicapai dengan kendaraan roda dua dengan jalan
rusak parah dan perahu klotok sewa, tanpa trayek umum
(Dika, dkk, 2019).

Berkaca dari situasi desa Satiruk tersebut,


pengembangan ekonomi masyarakat berdasarkan
prinsip-prinsip dasar pengelolaan hutan lindung tentu
sulit dijalankan. Sebagai contoh, masyarakat sebenarnya
dapat memanfaatkan kawasan hutan mangrove melalui
jasa lingkungan, berupa pemanfaatan untuk wisata alam,
pemanfaatan air, dan pemanfaatan keindahan dan

87
MENCEGAH PANDEMI DENGAN INSENTIF KARBON BIRU (PENGELOLAAN MANGROVE
BERBASIS PERHUTANAN SOSIAL BERORIENTASI PENYIMPANAN DAN/ATAU
PENYERAPAN KARBON)

kenyamanan. 4 Namun, keunggulan ini tentu sulit


dipraktikkan di tengah keterbatasan infrastuktur untuk
mencapai Satiruk.

Padahal, keadilan ekonomi merupakan salah satu kunci


bagi masyarakat untuk mematuhi hukum. Pramudji,
dengan mengutip Narayan (dalam Bengen), menguraikan
bahwa salah satu karakteristik utama pengelolaan
sumber daya alam berbasis masyarakat adalah jika
manfaat yang dirasakan masyarakat lebih besar daripada
harga yang harus dibayarkan (Pramudji, 2020).

Salah satu model pengelolaan yang belum banyak dijajaki


adalah menggunakan model ekonomi berbasis
penyerapan dan/atau penyimpanan karbon pada
kawasan mangrove. Mangrove sendiri telah lama dikenal
sebagai salah satu ekosistem yang kaya akan kandungan
karbon biru (blue carbon). Diskusi mengenai
pengintegrasian konservasi mangrove dalam kerangka
kebijakan REDD/REDD+ pun telah lama mengemuka
(Herr, dkk., 2012).

Makalah ini kemudian hendak menelusuri kemungkinan


model bisnis penyerapan dan/atau penyimpanan karbon
yang dapat dijajaki masyarakat dalam upaya konservasi
mangrove di Indonesia, dengan berorientasi pada
tercapainya keadilan ekonomi bagi masyarakat

4 UU 41/1999, Penjelasan Pasal 26 ayat (1).

88
MENCEGAH PANDEMI DENGAN INSENTIF KARBON BIRU (PENGELOLAAN MANGROVE
BERBASIS PERHUTANAN SOSIAL BERORIENTASI PENYIMPANAN DAN/ATAU
PENYERAPAN KARBON)

sekitarnya. Salah satunya, dengan bercermin pada


kerangka kebijakan perlindungan lingkungan berbasis
perhutanan sosial yang telah terlebih dahulu dijalankan
oleh pemerintah, khususnya pada ekosistem gambut.
Kebijakan tersebut diketahui telah mengakomodasi
kegiatan penyimpanan dan/atau penyerapan karbon
sebagai salah satu jasa lingkungan yang dapat diakses
masyarakat.

Dengan orientasi tersebut, maka makalah ini bertujuan


untuk menganalisis bagaimana tujuan perlindungan
lingkungan dan pemenuhan kebutuhan ekonomi dapat
dicapai serentak. Pertama, makalah ini akan
mengidentifikasi nilai penting perlindungan ekosistem
mangrove, yaitu perannya dalam pencegahan penyebaran
virus korona dan penyimpanan serta penyerapan karbon
biru sebagai upaya pengendalian perubahan iklim. Kedua,
analisis metode perlindungan ekosistem mangrove yang
menguntungkan masyarakat kawasan pesisir, yaitu
melalui pemanfaatan jasa lingkungan, akan dijelaskan.
Terakhir, makalah ini akan mengidentifikasi hambatan
yang ditemukan dalam aspek hukum terhadap
perlindungan ekosistem mangrove dengan model yang
telah dirancang.

Metode Penelitian

Penelitian ini disusun sebagai sebuah penelitian kualitatif


dengan pendekatan utama yuridis normatif. Bahan

89
MENCEGAH PANDEMI DENGAN INSENTIF KARBON BIRU (PENGELOLAAN MANGROVE
BERBASIS PERHUTANAN SOSIAL BERORIENTASI PENYIMPANAN DAN/ATAU
PENYERAPAN KARBON)

hukum primer (peraturan perundang-undangan),


sekunder (literatur dan bahan hukum dan nonhukum),
serta tersier dikumpulkan dengan metode penelusuran
pustaka melalui perpustakaan pribadi, perpustakaan
publik, dan internet. Analisis data menggunakan
pendekatan utama sosiolegal, yaitu “kajian terhadap
hukum dengan menggunakan pendekatan ilmu hukum
maupun ilmu-ilmu sosial” (Irianto, 2012).

PEMBAHASAN

Nilai Penting Ekosistem Mangrove

Pencegahan Penyebaran Virus

Secara umum, virus adalah entitas biologi yang ada di


semua ekosistem (Curtis, 2005) Virus mempengaruhi
keberagaman dan evolusi inangnya melalui transfer gen
horisontal, seleksi untuk resistensi dan manipulasi
bakteri metabolisme. Pada ekosistem mangrove, banjir
dari air laut yang berselang-seling, serta alih fungsi lahan
yang terjadi di lingkungan mangrove dapat menghasilkan
keragaman genetik dan fungsional dari komunitas virus di
tanah mangrove (Min, dkk., 2019).

Mangrove juga berperan sebagai habitat satwa liar yang


berperan dalam transmisi virus. Salah satu penelitian
terdahulu menyebutkan bahwa mangrove adalah habitat
dari kelelawar buah yang telah dikenal sebagai
penampung alami dari potensi virus menular, seperti

90
MENCEGAH PANDEMI DENGAN INSENTIF KARBON BIRU (PENGELOLAAN MANGROVE
BERBASIS PERHUTANAN SOSIAL BERORIENTASI PENYIMPANAN DAN/ATAU
PENYERAPAN KARBON)

Lyssavirus, Coronavirus, virus Ebola, dan virus Nipah


(Febriani, 2018). Diketahui bahwa ancaman munculnya
penyakit pandemi difasilitasi oleh interaksi dari
kehidupan margasatwa dan manusia (Febriani, 2018).
Interaksi yang menimbulkan ancaman perpindahan
patogen dari margasatwa ke manusia diantaranya adalah
proses gangguan habitat yang diakibatkan oleh
penebangan hutan, pembukaan jalur transportasi, dan
konsumsi satwa liar. Oleh karena itu, perlindungan
terhadap ekosistem mangrove akan berkontribusi
terhadap pencegahan munculnya penyakit zoonosis yang
disebarkan oleh satwa liar penghuni mangrove.

Penyimpanan dan Penyerapan Karbon Biru

Insentif lain dari perlindungan ekosistem mangrove


terkandung dalam tingginya potensi penyerapan
dan/atau penyimpanan karbon biru. Karbon biru adalah
istilah untuk karbon yang disimpan, diserap, atau
dikeluarkan oleh vegatasi laut pada ekosistem pesisir
seperti mangrove, padang lamun, dan padang alga.
Mitigasi perubahan iklim harus dilakukan dengan
mempertahankan layanan penyerapan dan/atau
penyimpanan karbon biru ekosistem tersebut. Namun,
telah diketahui bahwa ekosistem pesisir ini merupakan
ekosistem yang sangat terancam oleh deforestasi dan
degradasi. Sebanyak 340.000 sampai 980.000 hektar
ekosistem ini diperkirakan rusak setiap tahun (Barakalla

91
MENCEGAH PANDEMI DENGAN INSENTIF KARBON BIRU (PENGELOLAAN MANGROVE
BERBASIS PERHUTANAN SOSIAL BERORIENTASI PENYIMPANAN DAN/ATAU
PENYERAPAN KARBON)

& Megawanto, 2017). Di kawasan Asia Tenggara, ancaman


terbesar hilangnya ekosistem pesisir seperti mangrove
adalah alih fungsi lahan ke kolam budidaya, yang secara
ekonomi hanya bermanfaat dalam kurun waktu 5 sampai
10 tahun (Richards & Friess, 2016).

Mangrove adalah salah satu ekosistem paling produktif


dan penting secara ekologis di Bumi. Mangrove bahkan
dianggap sebagai salah satu yang paling efisien dari
semua ekosistem darat dan pesisir dalam hal
memperbaiki kadar karbon dioksida di atmosfer dan
menyimpan karbon ini dalam biomassa dan sedimen
(Donato, dkk., 2011). Sebagai komponen siklus karbon
yang relevan secara global, hutan mangrove menyerap
sekitar 24 juta metrik ton karbon setiap tahun (Alongi,
2012). Mangrove tidak hanya menyimpan karbon dalam
biomassa di atas permukaan tanah (pada kayu dan daun)
tetapi juga dalam biomassa di bawah permukaan tanah
(pada akar dan struktur akar halus). Sebagian besar
karbon mangrove disimpan di tanah dan kolam bawah
tanah yang cukup besar yang terbentuk dari akar mati
(Alongi, dkk, 2003). Meskipun mangrove hanya mencakup
0,5 persen dari wilayah pesisir bumi, mangrove
menyumbang 10–15 persen dari penyimpanan karbon
sedimen pantai dan 10–11 persen dari total input karbon
terestrial ke lautan. Di Indonesia sendiri, terdapat sekitar
3,2 juta hektar hutan mangrove, yaitu 22,4 persen dari
total mangrove dunia (Giri, dkk., 2011). Kontribusi hutan
92
MENCEGAH PANDEMI DENGAN INSENTIF KARBON BIRU (PENGELOLAAN MANGROVE
BERBASIS PERHUTANAN SOSIAL BERORIENTASI PENYIMPANAN DAN/ATAU
PENYERAPAN KARBON)

mangrove terhadap penyerapan karbon merupakan cara


penting untuk mengimbangi emisi gas rumah kaca yang
menyebabkan perubahan iklim global.

Insentif Karbon Biru bagi Masyarakat Pesisir

Perhutanan Sosial

Sebagai salah satu ekosistem yang kaya akan kandungan


karbon biru, diskusi mengenai pengintegrasian
konservasi mangrove dalam kerangka kebijakan
REDD/REDD+ telah lama mengemuka (Herr, 2012). Di
Indonesia sendiri, contoh kebijakan pemberdayaan
ekonomi masyarakat dengan mengakomodasi jasa
penyimpanan dan/atau penyerapan karbon, dan spesifik
disusun untuk ekosistem tertentu, sejatinya telah ada.
Dengan demikian, model bisnis masyarakat dengan
memanfaatkan jasa penyimpanan dan/atau penyerapan
karbon dari ekosistem mangrove tidak mustahil untuk
disusun.

Pada tahun 2019, Kementerian Lingkungan Hidup dan


Kehutanan menetapkan kebijakan perhutanan sosial
pada ekosistem gambut. Kebijakan ini dilatari
pertimbangan untuk mengurangi kemiskinan,
pengangguran dan ketimpangan
pengelolaan/pemanfaatan kawasan hutan. Untuk itu,
masyarakat diberi akses legal untuk dapat
mengelola/memanfaatkan hutan, dalam bentuk

93
MENCEGAH PANDEMI DENGAN INSENTIF KARBON BIRU (PENGELOLAAN MANGROVE
BERBASIS PERHUTANAN SOSIAL BERORIENTASI PENYIMPANAN DAN/ATAU
PENYERAPAN KARBON)

perhutanan sosial, khususnya pada ekosistem gambut.5


Dalam kerangka kebijakan perhutanan sosial pada
ekosistem gambut, salah satu bentuk jasa lingkungan
yang diakui dan dapat dimanfaatkan masyarakat adalah
penyerapan dan/atau penyimpanan karbon.

Perhutanan sosial yang dimaksud adalah sistem


pengelolaan hutan lestari yang dilaksanakan dalam
kawasan hutan negara, hutan hak atau hutan adat yang
dilaksanakan oleh masyarakat setempat atau masyarakat
hukum adat sebagai pelaku utama untuk meningkatkan
kesejahteraannya, keseimbangan lingkungan dan
dinamika sosial budaya dalam bentuk hutan desa, hutan
kemasyarakatan, hutan tanaman rakyat, hutan rakyat,
hutan adat, dan kemitraan kehutanan.6

Jasa penyerapan dan/atau penyimpanan karbon


dimungkinkan dalam kesemua skema perhutanan sosial,
baik melalui Hak Pengelolaan Hutan Desa (HPHD), Izin
Usaha Pemanfaatan Hutan Kemasyarakatan (IUP Hkm),
kemitraan kehutanan, maupun hutan adat.

HPHD adalah hak pengelolaan pada kawasan hutan


lindung atau hutan produksi yang diberikan kepada
lembaga desa.7 IUPHKm adalah izin usaha yang diberikan

5 Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor


P.37/MENLHK/SETJEN/KUM.1/7/2019 Tahun 2019 tentang Perhutanan Sosial
Pada Ekosistem Gambut (Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, 2019),
Bagian Menimbang huruf b.
6 Ibid., Pasal 1 angka 1.
7 Ibid., Pasal 1 angka 6.

94
MENCEGAH PANDEMI DENGAN INSENTIF KARBON BIRU (PENGELOLAAN MANGROVE
BERBASIS PERHUTANAN SOSIAL BERORIENTASI PENYIMPANAN DAN/ATAU
PENYERAPAN KARBON)

kepada kelompok atau gabungan kelompok masyarakat


setempat untuk memanfaatkan hutan pada kawasan
hutan lindung dan atau kawasan hutan produksi.8

Kemitraan kehutanan adalah kerja sama antara


masyarakat setempat dengan pengelola hutan, pemegang
izin usaha pemanfaatan hutan/jasa hutan, izin pinjam
pakai kawasan hutan atau pemegang izin usaha industri
primer hasil hutan.9 Sedangkan hutan adat adalah hutan
yang berada di dalam wilayah masyarakat hukum adat.10

Pemanfaatan ekosistem gambut dapat dilakukan pada


fungsi budidaya ekosistem gambut dan fungsi lindung
ekosistem gambut. 11 HPHD, IUPHkm, kemitraan
kehutanan, maupun hutan adat pada hutan produksi
dan/atau hutan lindung dengan fungsi lindung ekosistem
gambut dapat dimanfaatkan untuk kegiatan pemanfataan
jasa lingkungan.12 Kegiatan pemanfaatan jasa lingkungan
pada hutan produksi dan/atau hutan lindung dengan
fungsi lindung ekosistem gambut berupa kegiatan wisata
terbatas, perdagangan karbon, penelitian, pendidikan dan
kegiatan ilmu pengetahuan.13

8 Ibid., Pasal 1 angka 7.


9 Ibid., Pasal 1 angka 8.
10 Ibid., Pasal 1 angka 9.
11 Ibid., Pasal 7 ayat (1).
12 Ibid., Pasal 9 ayat (1) huruf b jo. Pasal 16 ayat (1) huruf b jo. Pasal 20 ayat (1)

huruf b jo. Pasal 25 ayat (1) huruf b.


13 Ibid., Pasal 14 ayat (2) jo. Pasal 18 jo. Pasal 21 jo. Pasal 26.

95
MENCEGAH PANDEMI DENGAN INSENTIF KARBON BIRU (PENGELOLAAN MANGROVE
BERBASIS PERHUTANAN SOSIAL BERORIENTASI PENYIMPANAN DAN/ATAU
PENYERAPAN KARBON)

Imbal Jasa Lingkungan

Skema perhutanan sosial ini jauh lebih sederhana


daripada rezim Izin Usaha Pemanfaatan Penyerapan
Karbon dan/atau Penyimpanan Karbon (IUP RAP-
KARBON dan/atau IUP PAN-KARBON). Permohonan IUP
RAP-KARBON dan/atau IUP PAN-KARBON pada area
yang tidak dibebani izin memang dapat diajukan oleh
perorangan, koperasi, Badan Usaha Milik Negara (BUMN)
atau Badan Usaha Milik Daerah (BUMD), atau Badan
Usaha Milik Swasta Indonesia, baik berebentuk Perseroan
Terbatas, CV, atau Firma. 14 Namun demikian,
keuntungan ekonomis yang dimungkinkan dari aktivitas
ini hanya dapat dinikmati oleh segelintir pihak, dalam hal
ini pemegang pengelola hutan produksi (BUMN) atau
pemegang Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu -
Hutan Alam (IUPHHK–HA), Izin Usaha Pemanfaatan Hasil
Hutan Kayu – Restorasi Ekosistem (IUPHHK-RE), atau Izin
Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu - Hutan Tanaman
Industri (IUPHHK–HTI). Hanya kelompok inilah yang
dapat menjadi pengembang proyek dalam penyerapan
dan/atau penyimpanan karbon.15

14 Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P.8/MENLHK-


II/2015 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Menteri
Kehutanan Nomor P.36/Menhut-Ii/2009 tentang Tata Cara Perizinan Usaha
Pemanfaatan Penyerapan dan/atau Penyimpanan Karbon pada Hutan Produksi
dan Hutan Lindung, Permen LHK (Kementerian Lingkungan Hidup dan
Kehutanan, 2015), Pasal 7 ayat (1).
15 Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.36/MENHUT-II/2009 Tahun 2009

tentang Tata Cara Perizinan Usaha Pemanfaatan Penyerapan dan/atau

96
MENCEGAH PANDEMI DENGAN INSENTIF KARBON BIRU (PENGELOLAAN MANGROVE
BERBASIS PERHUTANAN SOSIAL BERORIENTASI PENYIMPANAN DAN/ATAU
PENYERAPAN KARBON)

Hasil kegiatan pengembangan proyek berupa komoditas


karbon, yang dapat dipasarkan pada pasar karbon
sukarela di dalam negeri atau di internasional. Apabila
pasar karbon sukarela dalam negeri belum terbentuk,
pengembang proyek dapat memasarkan pada pasar
karbon suka rela internasional. 16 Pendapatan dari
penjualan kredit karbon yang telah disertifikasi dan
dibayar berdasarkan Emission Reduction Purchase
Agrement (ERPA), kemudian menjadi Nilai Jual Jasa
Lingkungan (NJ2L) RAP-KARBON dan/atau PAN-
KARBON.17

NJ2L tersebut kemudian didistribusikan dengan proporsi


20 persen untuk pemerintah, 20 persen untuk
masyarakat, dan 60 persen untuk pengembang. 18 Dana
untuk masyarakat setempat kemudian dikelola melalui
trust fund yang dikelola dengan prinsip tata kelola yang
baik (governance) oleh masyarakat setempat bersama
pemerintah desa dan pengembangan proyek difasilitasi
oleh penyuluh kehutanan setempat untuk kegiatan
pengamanan areal hutan proyek pengembangan RAP-
KARBON dan/atau PAN-KARBON dalam rangka
mencegah kebocoran (leakeage).19

Penyimpanan Karbon pada Hutan Produksi dan Hutan Lindung (Kementerian


Lingkungan Hidup dan Kehutanan, 2009), Pasal 14 ayat (1).
16 Ibid., Pasal 14 ayat (4) dan (5).
17 Ibid., Pasal 17 ayat (1).
18 Ibid., Lampiran III.
19 Ibid., Pasal 17 ayat (4).

97
MENCEGAH PANDEMI DENGAN INSENTIF KARBON BIRU (PENGELOLAAN MANGROVE
BERBASIS PERHUTANAN SOSIAL BERORIENTASI PENYIMPANAN DAN/ATAU
PENYERAPAN KARBON)

Lalu, dari mana keuntungan atas kegiatan penyerapan


dan/atau penyimpanan karbon melalui skema
perhutanan sosial diperoleh? Dalam hal ini, pemerintah
telah memiliki kebijakan mengenai instrumen ekonomi
lingkungan hidup. Salah satu skema yang dimungkinkan
adalah kompensasi/imbal jasa lingkungan hidup
antardaerah.

Kompensasi ini adalah pengalihan sejumlah uang


dan/atau sesuatu yang dapat dinilai dengan uang antara
pemanfaat jasa lingkungan hidup dengan penyedia jasa
lingkungan hidup melalui perjanjian terikat berbasis
kinerja untuk meningkatkan jasa lingkungan hidup.20

Kompensasi/imbal jasa lingkungan hidup antardaerah


diberikan oleh pemanfaat jasa lingkungan hidup atas
manfaat dan/atau akses terhadap jasa lingkungan hidup
yang dikelola dan/atau dipulihkan oleh penyedia jasa
lingkungan hidup, salah satunya meliputi penyerapan
dan/atau penyimpanan karbon.21

Bentuk kompensasi/imbal jasa lingkungan hidup


antardaerah meliputi uang atau sesuatu lainnya yang
dapat dinilai dengan uang. Nilainya paling sedikit
ditentukan dengan mempertimbangkan biaya upaya

20 Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2017 tentang Instrumen Ekonomi


Lingkungan Hidup (Republik Indonesia, 2017), Pasal 1 angka 11.
21 Ibid., Pasal 10 ayat (1) dan (2) huruf c.

98
MENCEGAH PANDEMI DENGAN INSENTIF KARBON BIRU (PENGELOLAAN MANGROVE
BERBASIS PERHUTANAN SOSIAL BERORIENTASI PENYIMPANAN DAN/ATAU
PENYERAPAN KARBON)

pelestarian fungsi lingkungan hidup, biaya pemberdayaan


masyarakat, dan biaya pelaksanaan kerjasama. 22

Kompensasi/imbal jasa lingkungan hidup antardaerah


diberikan dengan ketentuan:23

a. penyedia jasa lingkungan hidup memiliki bukti


pemilikan/penguasaan lahan;
b. penyedia jasa lingkungan hidup memiliki
kewenangan untuk menyediakan, menghasilkan,
dan/atau meningkatkan jasa lingkungan hidup;
c. perhitungan jasa lingkungan hidup dan
kompensasi/imbal jasa terukur; dan
d. rincian kompensasi/imbal jasa termuat dalam
dokumen rencana kerja dan anggaran pemerintah
pusat dan/atau pemerintah daerah sesuai
ketentuan peraturan perundang- undangan.

Kompensasi/imbal jasa lingkungan hidup antardaerah


yang diberikan wajib digunakan untuk kepentingan
pemulihan lingkungan hidup, konservasi, pengayaan
keanekaragaman hayati, peningkatan kapasitas
masyarakat dalam pelestarian fungsi lingkungan hidup,
pengembangan energi terbarukan, pengembangan
perekonomian berbasis keberlanjutan, pengembangan
infrastruktur pendukungnya, dan/atau kegiatan lainnya
sesuai dengan perkembangan dan kebutuhan penyediaan

22 Ibid., Pasal 11 ayat (1) dan (2).


23 Ibid., Pasal 12 ayat (1).

99
MENCEGAH PANDEMI DENGAN INSENTIF KARBON BIRU (PENGELOLAAN MANGROVE
BERBASIS PERHUTANAN SOSIAL BERORIENTASI PENYIMPANAN DAN/ATAU
PENYERAPAN KARBON)

jasa lingkungan hidup yang disepakati antara pemanfaat


jasa lingkungan hidup dan penyedia jasa lingkungan
hidup. 24

Sumber dana pelaksanaan kompensasi/imbal jasa


lingkungan hidup antardaerah bersumber dari anggaran
pendapatan dan belanja negara, anggaran pendapatan
dan belanja daerah, dan/atau dana lainnya yang sah dan
tidak mengikat sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan. 25 Dengan skema ini, maka
masyarakat sekitar ekosistem mangrove dapat
memperoleh keuntungan ekonomis dari perlindungan
lingkungan yang telah mereka upayakan.

Desain Kelembagaan

Lalu, siapa yang harus melakukan pengelolaan


penyimpanan dan/atau penyerapan karbon tersebut?
Pada dasarnya, setiap skema perhutanan sosial telah
memiliki subjek penguasaannya masing-masing. Semisal,
hutan desa dikelola secara langsung oleh lembaga desa.
Sementara IUPHkm dan kemitraan kehutanan
dilaksanakan oleh kelompok masyarakat atau gabungan
kelompok masyarakat.

Di luar pilihan-pilihan normatif tersebut, salah satu


bentuk kelembagaan pengelolaan imbal jasa

24 Ibid., Pasal 12 ayat (3).


25 Ibid., Pasal 13 ayat (2).

100
MENCEGAH PANDEMI DENGAN INSENTIF KARBON BIRU (PENGELOLAAN MANGROVE
BERBASIS PERHUTANAN SOSIAL BERORIENTASI PENYIMPANAN DAN/ATAU
PENYERAPAN KARBON)

penyimpanan dan/atau penyerapan karbon ekosistem


mangrove yang patut dijajaki adalah Badan Usaha Milik
Desa (BUM Desa). Dapat dikatakan, BUM Desa
merupakan irisan antar kelembagaan desa yang diwakili
pemerintah desa dan masyarakat desa. Selain berfungsi
intermediasi, BUM Desa juga merupakan pranata yang
didesain untuk memaksimalkan potensi ekonomi desa.

BUM Desa, adalah badan usaha yang seluruh atau


sebagian besar modalnya dimiliki oleh desa melalui
penyertaan secara langsung yang berasal dari kekayaan
desa yang dipisahkan guna mengelola aset, jasa
pelayanan, dan usaha lainnya untuk sebesar-besarnya
kesejahteraan masyarakat desa. 26 BUM Desa dapat
didirikan berdasarkan peraturan desa tentang pendirian
BUM Desa, dengan mempertimbangkan:27

a. inisiatif pemerintah desa dan/atau masyarakat desa;


b. potensi usaha ekonomi desa;
c. sumberdaya alam di desa;
d. sumberdaya manusia yang mampu mengelola BUM
Desa; dan
e. penyertaan modal dari pemerintah desa dalam
bentuk pembiayaan dan kekayaan desa yang

26 Peraturan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi


Nomor 4 Tahun 2015 tentang Pendirian, Pengurusan dan Pengelolaan, dan
Pembubaran Badan Usaha Milik Desa (Kementerian Desa, Pembangunan Daerah
Tertinggal, dan Transmigrasi, 2015), Pasal 1 angka 1
27 Ibid., Pasal 4.

101
MENCEGAH PANDEMI DENGAN INSENTIF KARBON BIRU (PENGELOLAAN MANGROVE
BERBASIS PERHUTANAN SOSIAL BERORIENTASI PENYIMPANAN DAN/ATAU
PENYERAPAN KARBON)

diserahkan untuk dikelola sebagai bagian dari usaha


BUM Desa.
BUM Desa dapat terdiri dari unit-unit usaha yang
berbadan hukum. Unit usaha yang berbadan hukum
tersebut dapat berupa lembaga bisnis yang kepemilikan
sahamnya berasal dari BUM Desa dan masyarakat.
Apabila BUM Desa tidak mempunyai unit-unit usaha yang
berbadan hukum, bentuk organisasi BUM Desa
didasarkan pada peraturan desa tentang pendirian BUM
Desa.28 BUM Desa dapat membentuk unit usaha meliputi
PT sebagai persekutuan modal, dibentuk berdasarkan
perjanjian, dan melakukan kegiatan usaha dengan modal
yang sebagian besar dimiliki oleh BUM Desa. Bentuk
lainnya adalah Lembaga Keuangan Mikro dengan andil
BUM Desa sebesar 60 persen.29
Modal awal BUM Desa bersumber dari APB Desa. Modal
BUM Desa kemudian terdiri atas:30
a. Penyertaan modal Desa, yang terdiri atas:
1. Hibah dari pihak swasta, lembaga sosial
ekonomi kemasyarakatan dan/atau lembaga
donor yang disalurkan melalui mekanisme APB
Desa;
2. Bantuan pemerintah, pemerintah daerah
provinsi, dan pemerintah daerah

28 Ibid., Pasal 7.
29 Ibid., Pasal 8.
30 Ibid., Pasal 17-18.

102
MENCEGAH PANDEMI DENGAN INSENTIF KARBON BIRU (PENGELOLAAN MANGROVE
BERBASIS PERHUTANAN SOSIAL BERORIENTASI PENYIMPANAN DAN/ATAU
PENYERAPAN KARBON)

kabupaten/kota yang disalurkan melalui


mekanisme APB Desa;
3. Kerjasama usaha dari pihak swasta, lembaga
sosial ekonomi kemasyarakatan dan/atau
lembaga donor yang dipastikan sebagai
kekayaan kolektif desa dan disalurkan melalui
mekanisme APB Desa;
4. Aset desa yang diserahkan kepada APB Desa
sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang- undangan tentang aset desa.
b. Penyertaan modal masyarakat desa, yang berasal
dari tabungan masyarakat dan atau simpanan
masyarakat.

Keunggulan kelembagaan BUM Desa sendiri terletak pada


dimungkinkannya pembentukan konsorsium BUM Desa
dalam satu kawasan, melalui kerja sama dua BUM Desa
atau lebih. Kerjasama ini dapat dilakukan dalam satu
kecamatan atau antar kecamatan dalam satu
kabupaten/kota, dengan persetujuan masing-masing
pemerintah desa.31 Dengan skema konsorsium ini, kerja
sama desa-desa yang berada pada satu kawasan
ekosistem mangrove dapat dimaksimalkan. Setiap desa
dapat membagi manfaat dari jasa penyimpanan dan
penyerapan karbon, tanpa meninggalkan sifat kawasan
mangrove sebagai satu kesatuan ekosistem dan sosial.

31 Ibid., Pasal 28

103
MENCEGAH PANDEMI DENGAN INSENTIF KARBON BIRU (PENGELOLAAN MANGROVE
BERBASIS PERHUTANAN SOSIAL BERORIENTASI PENYIMPANAN DAN/ATAU
PENYERAPAN KARBON)

Hambatan

Korupsi

Imbal jasa lingkungan dirancang untuk memberi


penghargaan kepada mereka yang menjaga kualitas
ekosistem (penyedia layanan ekosistem) melalui
pembayaran dari mereka yang mendapat manfaat dari
layanan yang dihasilkan dalam ekosistem tertentu
(penerima layanan ekosistem). Mereka yang bertanggung
jawab untuk menyediakan layanan ekosistem biasanya
memiliki hak untuk menggunakan lahan dan
mengelolanya dengan cara yang memaksimalkan
pemberian layanan yang diminta oleh penerima manfaat.
Pada implementasinya, sistem ini tidak sempurna. Telah
banyak ditemukan masalah terkait pembagian manfaat
yang tidak adil pada sistem serupa. Salah satunya akibat
korupsi dan manipulasi dari pihak tertentu. Sebagai
contoh, pada sebuah penelitian tentang imbal jasa
lingkungan di lingkungan hutan produksi di taman
nasional Ba Vi di Vietnam, ditemukan bahwa semua
imbalan atas jasa lingkungan dikuasai oleh elit lokal yang
memiliki koneksi ke kuasa politik dan akhirnya
memonopoli akses ke taman nasional, memaksa
masyarakat adat untuk pindah dari sana (Phuc, 2012).

Pada contoh lainnya, masyarakat yang bertanggung jawab


untuk menyediakan layanan ekosistem mungkin memiliki
pengalaman dan pemahaman yang terbatas tentang

104
MENCEGAH PANDEMI DENGAN INSENTIF KARBON BIRU (PENGELOLAAN MANGROVE
BERBASIS PERHUTANAN SOSIAL BERORIENTASI PENYIMPANAN DAN/ATAU
PENYERAPAN KARBON)

mekanisme imbal jasa ini. Selain itu, tidak jarang


ditemukan masyarakat yang memiliki sedikit peluang
untuk mencari nasihat hukum yang kompeten dan
terjangkau. Beberapa masyarakat penyedia jasa
ekosistem bahkan dapat dikeluarkan dari rencana aliran
pembayaran imbalan karena ketidakmampuan mereka
untuk mengimbangi negosiasi yang relevan. Alih-alih,
pembayaran dapat diarahkan ke elemen masyarakat yang
sudah kaya yang lebih mudah untuk diajak bekerja,
seperti yang terjadi pada sistem imbal jasa lingkungan di
Kosta Rika. Di sana, skema imbal jasa lingkungan
dianggap sebagai subsidi tidak langsung dari negara
untuk perusahaan agribisnis terkemuka (Lansing, 2013).

Pada skema yang ditawarkan di makalah ini, walaupun


pada dasarnya kawasan mangrove yang akan dijadikan
objek termasuk pada kawasan lindung, yang mana tidak
dapat dikuasai oleh pihak tertentu, perhatian tetap harus
diberikan pada aspek keadilan pembagian imbalan ke
masyarakat lokal.

Pendanaan

Dalam skema imbal jasa lingkungan penyerapan


dan/atau penyimpanan karbon biru, aspek pendanaan
memiliki peran yang sangat penting karena berkaitan
dengan keberlangsungan sistem pembayaran atas
manfaat yang berkelanjutan. Aspek ini terdiri dari alokasi
dana dan pencairannya. Pendanaan dapat berasal dari

105
MENCEGAH PANDEMI DENGAN INSENTIF KARBON BIRU (PENGELOLAAN MANGROVE
BERBASIS PERHUTANAN SOSIAL BERORIENTASI PENYIMPANAN DAN/ATAU
PENYERAPAN KARBON)

nonpemerintah seperti perusahaan pembeli kredit karbon,


atau dari pemerintah (Engel, dkk, 2008). Di negara
berkembang, diketahui bahwa pelaksanaan mekanisme
imbal jasa lingkungan seringkali terhambat tata kelola
sumberdaya pemerintah yang lemah, dan biaya transaksi
tinggi (Engel, dkk, 2008).. Akibatnya, pendanaan yang
berasal dari pemerintah pada umumnya tidak
berlangsung lama, dan sebaliknya, pencairannya lambat.
Padahal, agar imbal jasa lingkungan dapat mencapai
tujuannya—yaitu mengurangi kemiskinan pedesaan
dengan membantu masyarakat melindungi hutan
mangrove dan meningkatkan mata pencaharian lokal—
diperlukan jangka waktu pengimplementasian yang
panjang dan berkelanjutan.

Hambatan tambahan dalam aliran keuangan disebabkan


oleh inefisiensi dalam organisasi perantara, kurangnya
kapasitas daya serap, dan kurangnya kesiapan dari
proyek imbal jasa lingkungan yang sudah matang.
Pendanaan imbal jasa lingkungan perlu
mempertimbangkan tingkat dukungan politis dan
pemangku kepentingan yang diperlukan untuk
keberhasilan implementasinya, waktu yang diperlukan
untuk konsultasi, dan juga proses pembangunan
konsensus. Ditambah rantai birokrasi yang panjang, dan
kurangnya program yang siap menerima investasi,
keterlambatan pencairan dana dapat terjadi (Angelsen,
dkk, 2012).
106
MENCEGAH PANDEMI DENGAN INSENTIF KARBON BIRU (PENGELOLAAN MANGROVE
BERBASIS PERHUTANAN SOSIAL BERORIENTASI PENYIMPANAN DAN/ATAU
PENYERAPAN KARBON)

Tumpang Tindih Kewenangan

Masalah lain yang mungkin membayangi penerapan


skema perhutanan sosial berorientasi penyerapan
dan/atau penyimpanan karbon pada kawasan mangrove
adalah rumitnya jejaring pemangku kepentingan di
dalamnya. Di luar masyarakat sendiri, setidaknya
pemangku kepentingan tersebut dapat dibagi ke dalam
tiga lapis, yaitu pemerintah pusat, pemerintah provinsi,
dan pemerintah kabupaten/kota. Pada level pemerintah
pusat, wewenang terkait pengelolaan kawasan mangrove
tersebar di beberapa kementerian.

Pada dasarnya, regulator utama di bidang lingkungan


hidup dan kehutanan adalah Kementerian Lingkungan
Hidup dan Lingkungan Hidup. Salah satu wewenang
kementerian ini adalah perumusan dan penetapan
kebijakan di bidang penyelenggaraan pemantapan
kawasan hutan dan lingkungan hidup secara
berkelanjutan, pengelolaan konservasi sumber daya alam
dan ekosistemnya, peningkatan daya dukung daerah
aliran sungai dan hutan lindung, pengelolaan hutan
produksi lestari, peningkatan daya saing industri primer
hasil hutan, peningkatan kualitas fungsi lingkungan,
pengendalian pencemaran dan kerusakan lingkungan,
pengendalian dampak perubahan iklim, pengendalian
kebakaran hutan dan lahan, perhutanan sosial dan
kemitraan lingkungan, serta penurunan gangguan,

107
MENCEGAH PANDEMI DENGAN INSENTIF KARBON BIRU (PENGELOLAAN MANGROVE
BERBASIS PERHUTANAN SOSIAL BERORIENTASI PENYIMPANAN DAN/ATAU
PENYERAPAN KARBON)

ancaman, dan pelanggaran hukum bidang lingkungan


hidup dan kehutanan. Kementerian Lingkungan Hidup
dan Kehutanan juga berwenang melaksanakan kebijakan
tersebut.32

Namun demikian, harus diingat bahwa pengelolaan


kawasan mangrove juga tunduk pada UU 27/2007
tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau
Kecil dan perubahannya. Undang-undang tersebut juga
mengatur mengenai konservasi wilayah pesisir dan pulau-
pulau kecil, yang diselenggarakan untuk menjaga
kelestarian ekosistem pesisir dan pulau-pulau kecil,
termasuk mangrove, melindungi alur migrasi ikan dan
biota laut lain, melindungi habitat biota laut, dan
melindungi situs budaya tradisional. 33 Penetapan
kawasan konservasi di wilayah pesisir dan pulau-pulau
kecil kemudian dituangkan dalam Peraturan Menteri
Kelautan dan Perikanan. Dalam hal ini, menteri juga
menetapkan kategori kawasan konservasi, kawasan
konservasi nasional, pola dan tata cara pengelolaan
kawasan konservasi, dan hal lain yang dianggap penting
dalam pencapaian tujuan tersebut.34

32 Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2015 tentang Kementerian Lingkungan


Hidup dan Kehutanan (Republik Indonesia, 2015), Pasal 3 huruf a dan b
33 Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan

Pulau-pulau Kecil (Republik Indonesia, 2007), Pasal 28 ayat (1) dan


penjelasannya.
34 Ibid., Pasal 28 ayat (4) dan (6).

108
MENCEGAH PANDEMI DENGAN INSENTIF KARBON BIRU (PENGELOLAAN MANGROVE
BERBASIS PERHUTANAN SOSIAL BERORIENTASI PENYIMPANAN DAN/ATAU
PENYERAPAN KARBON)

Tumpang tindih kewenangan atas kawasan hutan


mangrove ini berpotensi menyebabkan timbulnya
kebijakan yang tumpang tindih pula. Di satu sisi, terdapat
kebijakan yang berorientasi pada upaya konservasi.
Namun di saat bersamaan, kebijakan yang bersifat
eksploitatif dan mengenyampingkan fungsi lindung dari
mengrove itu sendiri bisa saja terbit. Akibatnya, timbul
inkonsistensi dalam kebijakan.

Selain itu, proposal pelibatan BUM Desa sebagai fasilitator


dan pengelola kompensasi/imbal jasa lingkungan hidup
berkonsekuensi pada keterlibatan Kementerian Desa,
Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi. Di
luar kebijakan khusus mengenai BUM Desa yang telah
diuraikan sebelumnya, Kementerian Desa, Pembangunan
Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi juga memiliki
kebijakan mengenai pendampingan desa. Pada level
kementerian, pendampingan desa dilakukan oleh unit
kerja yang menangani bidang pembangunan dan
pemberdayaan masyarakat desa. 35 Pengembangan BUM
Desa sendiri didampingi oleh pendamping lokal desa dan
pendamping desa, yang rekrutemnnya dilakukan oleh
unit tersebut.36

35 Peraturan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi


Nomor 18 Tahun 2019 tentang Pedoman Umum Pendampingan Masyarakat Desa
(Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi, 2019),
Pasal 6 ayat (2).
36 Ibid., Pasal 18 ayat (2) dan Pasal 19 ayat (2) jo. Pasal 11 ayat (2).

109
MENCEGAH PANDEMI DENGAN INSENTIF KARBON BIRU (PENGELOLAAN MANGROVE
BERBASIS PERHUTANAN SOSIAL BERORIENTASI PENYIMPANAN DAN/ATAU
PENYERAPAN KARBON)

Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan


Transmigrasi, bersama gubernur dan bupati/walikota
kemudian melakukan pembinaan dan pengawasan yang
meliputi:37

a. mengelola tenaga pendamping profesional;


b. memberikan bimbingan, supervisi, dan konsultasi
pendampingan masyarakat desa;
c. melakukan peningkatan kapasitas kepada para
pendamping;
d. memberikan penghargaan atas prestasi yang
dilaksanakan pendamping;
e. memfasilitasi dan melakukan penelitian untuk
pengembangan dan peningkatan pendampingan
masyarakat desa; dan
f. melaksanakan pembinaan, pemantauan, dan
evaluasi tenaga pendamping profesional, dan/atau
pejabat fungsional yang menangani urusan terkait
pemberdayaan masyarakat dan desa.

PENUTUP

Kesimpulan

Makalah ini membantu menawarkan solusi lain dari isu


pembangunan berkelanjutan di tengah wabah virus
korona. Dalam pembangunan yang sering tidak berpihak
terhadap masyarakat lokal, sistem imbal jasa lingkungan

37 Ibid., Pasal 28 ayat (1).

110
MENCEGAH PANDEMI DENGAN INSENTIF KARBON BIRU (PENGELOLAAN MANGROVE
BERBASIS PERHUTANAN SOSIAL BERORIENTASI PENYIMPANAN DAN/ATAU
PENYERAPAN KARBON)

dapat dimaksimalkan untuk membantu dua masalah


sekaligus; meningkatkan kemampuan ekonomi
masyarakat lokal; dan menjaga habitat margasatwa
penampung virus untuk menekan penyebaran penyakit
zoonosis. Mangrove, sebagai penyimpan dan penyerap
karbon biru terbaik, serta habitat bagi kelelawar buah,
telah lama diabaikan keberagaman fungsinya.

Oleh karena itu, pengelolaan ekosistem mangrove


berbasis perhutanan sosial berorientasi penyimpanan
dan/atau penyerapan karbon menjadi penting untuk
diatur dan diaplikasikan di Indonesia, negara dengan
kawasan mangrove terbanyak di dunia. Selain menyadari
pentingnya skema tersebut, makalah ini juga mengulas
hambatan yang pernah muncul dalam penerapan skema
serupa pada proyek-proyek perlindungan ekosistem
lainnya.

Saran

Kajian mendalam tentang implementasi skema imbal jasa


lingkungan di tingkat tapak perlu dilakukan. Penelitian
selanjutnya dapat berfokus pada metode monitoring dan
evaluasi untuk meringankan hambatan yang dipaparkan
pada makalah ini. Diperlukan kolaborasi yang baik
antarsetiap pemangku kepentingan, sehingga manfaat
dari skema penyimpanan dan/atau penyerapan karbon
dapat dirasakan oleh masyarakat pesisir, khususnya yang
hidup di sekitar ekosistem mangrove.

111
MENCEGAH PANDEMI DENGAN INSENTIF KARBON BIRU (PENGELOLAAN MANGROVE
BERBASIS PERHUTANAN SOSIAL BERORIENTASI PENYIMPANAN DAN/ATAU
PENYERAPAN KARBON)

DAFTAR PUSTAKA

Alongi, D., (2012), “Carbon Sequestration in Mangrove


Forest. Carbon Management.” Vol. 3. No. 3.
Alongi, D., dkk. (2003), “Nutrient Partitioning and Storage
in Arid-Zone Forests of the Mangroves Rhizophora
stylosa and Avicennia marina.” Trees. Vol. 17. No. 1.
Angelsen, A., dkk. (2012), Analysing REDD+: Challenges
and Choices. Bogor: CIFOR.
Barakalla & Megawanto, R. (2017), Sains dan Kebijakan
Karbon Biru: Referensi Khusus untuk Kabupaten
Kaimana Papua Barat. Jakarta: Conservation
International Indonesia.
CIFOR (n.d.), “Mangrove Indonesia: Berkas Fakta:
Kekayaan Nasional Dalam Ancaman.”
https://forestsnews.cifor.org/31191/mangrove-
indonesia-berkas-fakta-kekayaan-nasional-dalam-
ancaman?fnl=. Diakses pada Minggu, 14 Juni 2020,
pukul 12.24 WIB.
Dika, W. F., dkk. (2019), Profil Desa Peduli Gambut: Desa
Satiruk, Kecamatan Pulau Hanaut, Kabupaten
Kotawaringin Timur, Provinsi Kalimantan Tengah.
Jakarta: Badan Restorasi Gambut, Kemitraan,
Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif, dan Epistema
Institute.
Donato, D. dkk., (2011), “Mangroves Among the Most
Carbon‐ Rich Forests in the Tropics.” Nature
Geoscience. Vol. 4.
Engel, S., dkk. (2008), Designing Payments for
Environmental Services in Theory and Practice: An
Overview of the Issues. Ecological Economics. Vol. 65.
Febriani, W. Dwi, dkk. (2018), “Bat Coronavirus of
Pteropus alecto from Gorontalo Province, Indonesia.”
The International Journal of Tropical Veterinary and
Biomedical Research Fakultas Kedokteran Hewan
Universitas Syiah Kuala. Vol. 3. No. 2.

112
MENCEGAH PANDEMI DENGAN INSENTIF KARBON BIRU (PENGELOLAAN MANGROVE
BERBASIS PERHUTANAN SOSIAL BERORIENTASI PENYIMPANAN DAN/ATAU
PENYERAPAN KARBON)

Gibson, C. McKean, M. A. & Ostrom, E. (2000), People and


Forests: Communities, Institutions, and Governance.
London: The MIT Press.
Giri, C., dkk. (2011), Status and Distribution of Mangrove
Forests of The World Using Earth Observation Satellite
Data. Global Ecological Biogeography. Vol. 20.
Herr, D. dkk. (2012), Blue Carbon Policy Framework 2.0:
Based on the Discussions of the International Blue
Carbon Policy Working Group. Arlington: IUCN.
Indonesia. Peraturan Pemerintah tentang Instrumen
Ekonomi Lingkungan Hidup. PP 46/2017.
Indonesia. Peraturan Presiden tentang Kementerian
Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Perpres 16/2015.
Indonesia. Undang-Undang tentang Kehutanan. UU
41/1999.
Indonesia. Undang-Undang tentang Pencegahan dan
Pemberantasan Perusakan Hutan. UU 18/2013.
Indonesia. Undang-Undang tentang Pengelolaan Wilayah
Pesisir dan Pulau-pulau Kecil.
Irianto, S. (2012), “Memperkenalkan Kajian Sosio-legal
dan Implikasi Metodologisnya,” dalam Bedner, A. W.,
dkk. (Eds.). Kajian Sosio-Legal: Seri Unsrur-unsur
Penyusun Bangunan Negara Hukum, (Jakarta:
Universitas Indonesia, Universitas Leiden, Universitas
Groningen).
Kabupaten Kotawaringin Timur. Peraturan Daerah tentang
Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Kotawaringin
Timur Tahun 2015-2035. Perda 5/2015.
Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan
Transmigrasi. Peraturan Menteri Desa, Pembangunan
Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi tentang
Pendirian, Pengurusan dan Pengelolaan, dan
Pembubaran Badan Usaha Milik Desa. Permendes
PDTT 4/2015.

113
MENCEGAH PANDEMI DENGAN INSENTIF KARBON BIRU (PENGELOLAAN MANGROVE
BERBASIS PERHUTANAN SOSIAL BERORIENTASI PENYIMPANAN DAN/ATAU
PENYERAPAN KARBON)

Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan


Transmigrasi. Peraturan Menteri Desa, Pembangunan
Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi tentang Pedoman
Umum Pendampingan Masyarakat Desa. Permendes
PDTT 18/2019.
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
Peraturan Menteri Kehutanan tentang Tata Cara
Perizinan Usaha Pemanfaatan Penyerapan dan/atau
Penyimpanan Karbon pada Hutan Produksi dan Hutan
Lindung. Permenhut P.36/MENHUT-II/2009 Tahun
2009.
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan
Tentang Perhutanan Sosial Pada Ekosistem Gambut.
Permen LHK P.37/MENLHK/SETJEN
/KUM.1/7/2019 Tahun 2019.
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan
tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Menteri
Kehutanan Nomor P.36/Menhut-Ii/2009 tentang Tata
Cara Perizinan Usaha Pemanfaatan Penyerapan
dan/atau Penyimpanan Karbon pada Hutan Produksi
dan Hutan Lindung. Permen LHK P.8/MENLHK-
II/2015.
Lansing, D. (2013), Understanding Linkages Between
Ecosystem Service Payments, Forest Plantations, and
Export Agriculture. Geoforum. Vol. 47.
Min, J., dkk., (2019), “Diversities and Potential
Biogeochemical Impacts of Mangrove Soil Viruses,
Microbiome.” Vol 7. No. 58.
Phuc, X. T., dkk. (2012), “The Prospects for Payment for
Ecosystem Services (PES) in Vietnam: A Look at Three
Payment Schemes.” Human Ecology. Vol. 40.
Pramudji, (2020), “Eksploitasi Hutan Mangrove di
Indonesia: Dampakdan Upaya Untuk
Penanggulangannya.” Jurnal Oseana Lembaga Ilmu
Pengetahuan Indonesia. Vo. 27. No. 3.

114
MENCEGAH PANDEMI DENGAN INSENTIF KARBON BIRU (PENGELOLAAN MANGROVE
BERBASIS PERHUTANAN SOSIAL BERORIENTASI PENYIMPANAN DAN/ATAU
PENYERAPAN KARBON)

Rahadian, A., dkk. (2019), “Tinjauan Historis Data dan


Informasi Luas Mangrove Indonesia.” Jurnal Media
Konservasi Fakultas Kehutanan Insititut Pertanian
Bogor. Vol. 24. No. 2.
Readfearn, G. (n.d.), “How Did Coronavirus Start and
Where Did It Come From? Was It Really Wuhan’s
Animal Market?” https://www.theguardian.com
/world/2020/apr/28/how-did-the-coronavirus-start-
where-did-it-come-from-how-did-it-spread-humans-
was-it-really-bats-pangolins-wuhan-animal-market.
Diakses pada Minggu, 14 Juni 2020, pukul 11.36
WIB.
Richards & Friess, D. (2016). “Rates and Drivers of
Mangrove Deforestation in Southeast Asia, 2000‐
2012.” Proceedings of the National Academy of Sciences
of the United States of America. Vol. 113.
Suttle, C. (2005) “Viruses in the Sea.” Nature. Vol. 437.
Wolfe, N. dkk. (2005), “Bushmeat Hunting, Deforestation,
and Prediction of Zoonotic Disease.” Emerging Infectious
Disease. Vo. 11. No. 12.
Worldometer. “COVID-19 Coronavirus Pandemic:
Indonesia.” https://www.worldometers.info/
coronavirus/country/indonesia/. Diakses pada
Minggu, 14 Juni 2020, pukul 11.15 WIB.

115
116
3
Simbiosis Hukum Negara dan
Hukum Adat Menghadirkan Akses
Keadilan Saat Pandemi Covid-19 di
Bali

I Putu Sastra Wibawa


Fakultas Hukum, Universitas Hindu Indonesia
sastra@unhi.ac.id

Abstrak

Akses keadilan tidak hanya dibutuhkan manusia tetapi


dibutuhkan juga oleh lingkungan alam di sekitar
manusia. Hubungan harmonis antara manusia dan
lingkungan sangat dibutuhkan pada saat pandemi Covid-
19 mewabah. Perlu langkah yang luar biasa dan tidak
biasa yang ditempuh oleh Pemerintah dan didukung oleh
masyarakat itu sendiri. Khususnya di Bali antara
Pemerintah, Lembaga Keagamaan dan Desa Adat menjalin
sinergi dan saling menguatkan dalam bentuk
mengeluarkan Keputusan Bersama. Pertanyaannya,
bagaimanakah bentuk sinergi itu beserta penerapan di
lapangan?. Metode penelitian yang digunakan adalah
penelitian sosio-legal. Data didapatkan dari bahan hukum
primer dan sekunder kemudian ditambah dengan data

117
SIMBIOSIS HUKUM NEGARA DAN HUKUM ADAT MENGHADIRKAN AKSES KEADILAN
SAAT PANDEMI COVID-19 DI BALI

lapangan yang dianalisis secara naratif deskriptif. Temuan


penelitian menunjukkan adanya simbiosis sistem hukum
antara Pemerintah, Parisadha Hindu Dharma Indonesia
Provinsi Bali dan Desa Adat di Bali dalam menghadapi
Covid-19 di Bali. Simbiosis hukum itu secara teori sesuai
dengan prinsip pluralism hukum.

Kata Kunci: simbiosis, hukum negara, hukum adat,


Covid-19

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Sejak 15 Maret 2020 sebagai awal ditemukannya pasien


positif Covid-19 di Bali sampai dengan 21 Juli 2020 1 ,
terdapat 2.856 Orang yang terkonfirmasi positif Covid-19
dimana rinciannya (2.834 orang WNI dan 22 orang WNA),
kemudian pasien dalam perawatan sejumlah 700 orang
(696 orang WNI dan 4 orang WNA), selanjutnya pasien
yang sembuh sebanyak 2.110 orang (2.094 WNI dan 16
orang WNA), sedangkan untuk kasus kematian sampai
saat ini terkonfirmasi sejumlah 46 orang (44 orang WNI
dan 2 orang WNA). Pandemi Covid-19 di Bali digolongkan
sebagai kasus yang luar biasa, bahkan masyarakat Bali
sendiri terdapat sebutan grubug agung2 (penyakit besar)

1 Data website https://infocorona.baliprov.go.id/ diakses tanggal 27 Juli 2020.


2 Menarik untuk dilihat data yang pada situs
https://www.aboutbali.beritabali.com/read/2020/03/25/202002160005/virus
-corona-dan-jejak-sejarah-sakit-grubug-di-bali tertanggal 25 Maret 2020

118
SIMBIOSIS HUKUM NEGARA DAN HUKUM ADAT MENGHADIRKAN AKSES KEADILAN
SAAT PANDEMI COVID-19 DI BALI

untuk menyebutkan pandemi Covid-19 yang saat ini


melanda Bali.

Kejadian luar biasa yang dialami masyarakat Bali saat ini


tergolong kejadian yang luar biasa. Hal ini didasari atas
selain semakin hari semakin bertambahnya pasien yang
terkonfirmasi positif Covid-19 juga dilatarbelakangi
terpukulnya masyarakat Bali di bidang ekonomi. Betapa
tidak, Bali yang selama ini mengandalkan industri
pariwisata massa sebagai pendongkrak berputarnya roda
perekonomian sangat terpukul akibat mewabahnya
pandemi Covid-19 di Bali. Tidak maksimalnya opersional
hotel, restoran dan tempat wisata bahkan sampai tutup
dan terjadi gelombang dirumahkannya tenaga kerja
didalamnya menjadi titik tolak lesunya ekonomi di Bali.

Untuk menanggulangi kejadian luar biasa wabah pandemi


Covid-19 di Bali, Pemerintah Provinsi Bali melakukan
langkah yang juga diluar kebiasaan dan tidak biasa.
Langkah yang tidak biasa dimaksud adalah dengan

disebutkan Sejarah mencatat di Bali pernah beberapa kali terjadi grugug agung di
Bali, Tahun 1521 Saka atau 1599 Masehi, Bali diserang wabah penyakit lepra. Tiga
tahun kemudian yakni tahun 1524 Saka atau 1602 Masehi, penyakit lepra juga
kembali menghantam Bali. Di Badung sekitar tahun 1850 menewaskan sekitar
4.000 orang. Sekitar tahun 1868, penyakit kolera dan disentri yang masuk dari
Buleleng menelan korban jiwa sedikitnya 2.000 orang. Pada tahun 1871, penyakit
cacar menyerang wilayah Bali Selatan. Kali ini korbannya terbilang cukup tinggi
yakni sekitar 15.000-18.000 orang meninggal. Setahun berikutnya, yakni 1873-
1874 penyebaran penyakit cacar berlanjut ke Mengwi. Sekitar 3.000 orang
disebutkan meninggal dalam satu bulannya. Sementara di Desa Sempidi, salah
satu desa di wilayah kekuasaan Mengwi, sekitar 700 dari 1000 penduduknya
dikabarkan meninggal dunia akibat serangan cacar mematikan itu. Di Gianyar,
epidemi malaria dan disentri dari tahun 1933 sampai tahun 1934. Diakses 21 Juli
2020.

119
SIMBIOSIS HUKUM NEGARA DAN HUKUM ADAT MENGHADIRKAN AKSES KEADILAN
SAAT PANDEMI COVID-19 DI BALI

berusaha menyeimbangkan kembali unsur sekala


niskala3 lingkungan dalam menghadapi Covid-19 di Bali.
Upaya tidak biasa dan luar biasa ditempuh tersebut mulai
dari himbauan melaksanakan upacara ritual keagamaan
dan adat terkait menjaga keseimbangan alam dan
lingkungan, himbauan pembatasan kegiatan sampai
dengan upaya melakukan sinergi antara Pemerintah
Provinsi Bali, Lembaga Keagaamaan Hindu di Bali dan
Desa Adat di Bali.

Upaya tidak biasa dan luar biasa tersebut dimulai dengan


dikeluarkan beberapa instrumen hukum yang dalam
pembentukan dan pelaksanaanya terdapat sinergi antara
Pemerintah Provinsi Bali, Lembaga Keagaamaan Hindu di
Bali dan Desa Adat di Bali dalam upaya penanganan
pandemi Covid-19 di Bali. Sinergi antara Pemerintah
Provinsi Bali, Lembaga Keagaamaan Hindu di Bali dan
Desa Adat di Bali dalam tulisan ini disebut sebagai
simbiosis hukum, dimana hukum yang dibuat bersama-
sama Pemerintah Provinsi Bali, Lembaga Keagaamaan
Hindu di Bali dan Desa Adat di Bali saling menguatkan
dan melengkapi dalam menghadapi pandemi Covid-19 di
Bali. Berdasarkan latar belakang masalah tersebut,

3 Upaya sekala (tindakan nyata atau kasat mata) dengan mengeluarkan dan
menerapkan kebijakan hukum bersama antara Pemerintah Provinsi, Parisadha
Hindu Dharma Indonesia, dan Desa adat di Bali sedangkan upaya niskala
(tindakan tidak nyata atau tidak kasat mata) dengan melakukan kegiatan ritual
keagamaan menurut keyakinan umat Hindu yang ditujukan kepada Tuhan Yang
Maha Esa dan pemuliaan terhadap lingkungan alam sekitar dalam penanganan
Covid-19 di Bali.

120
SIMBIOSIS HUKUM NEGARA DAN HUKUM ADAT MENGHADIRKAN AKSES KEADILAN
SAAT PANDEMI COVID-19 DI BALI

diangkat satu permasalahan pokok yang akan menjadi


dasar pembahasan yakni, bagaimanakan bentuk
simbiosis hukum yang terjadi antara Pemerintah Provinsi
Bali, Lembaga Keagaamaan Hindu di Bali dan Desa Adat
di Bali dalam penanganan Covid-19 di Bali.

Rumusan Masalah

Permasalahan yang diangkat memuat tentang bentuk dan


penerapan simbiosis hukum negara dan hukum adat
dalam penanganan Covid -19 di Bali.

Tujuan

Untuk mengetahui dan mengkaji tentang bagaimanakah


bentuk dan penerapan simbiosis hukum negara dan
hukum adat dalam penanganan Covid -19 di Bali?

Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif,


tergolong ke dalam tipe penelitian sosio-legal, dimana
mengkaji hukum tidak hanya dari sisi mengkaji norma,
namun juga mengkaji hukum dari sisi pelaksanaannya di
lapangan yang tidak hanya dilihat dari sisi penegakan
hukum saja namun dengan bidang diluar hukum.
Pengumpulan data dilakukan dengan mengumpulkan
bahan hukum primer dan sekunder, kemudian digunakan
pendekatan peraturan perundang-undangan, pendekatan
konseptual, dan pendekatan kasus. Data yang didapatkan

121
SIMBIOSIS HUKUM NEGARA DAN HUKUM ADAT MENGHADIRKAN AKSES KEADILAN
SAAT PANDEMI COVID-19 DI BALI

kemudian dianalisis secara naratif deskriptif dan diakhiri


dengan penarikan kesimpulan.

PEMBAHASAN

Pandemi Covid-19 di Bali tidak hanya berdampak pada


bidang kesehatan dengan bertambahnya setiap hari
pasien yang positif terpapar Covid-19, namun juga Covid-
19 berdampak pada ekonomi dan pariwisata, bahkan 96%
hotel di Bali tutup sementara (Yuniti, dkk., 2020) akibat
pandemi Covid-19 tersebut. Terkait dengan hal tersebut
hak kesehatan masyarakat lebih utama dibandingkan
yang lainnya (Nurhalimah, 2020), namun walaupun
demikian harus juga terdapat peran negara dalam
memberikan jaminan hak ekonomi untuk mencapai
kesejahteraan khususnya pekerja informal yang
mengalami pemutusan hubungan kerja baik permanen
maupun sementara akibat pandemi Covid-19 di Bali
(Mardiya & Nurwati, 2020). Upaya luar biasa harus
ditempuh pemerintah untuk dapat menyeimbangkan
antara kesehatan dan kesejahteraan di saat Covid-19 di
Bali.

Salah satu langkah yang tidak biasa yang ditempuh oleh


Pemerintah Provinsi Bali dalam menangani Covid-19
adalah dengan mengeluarkan beberapa kebijakan hukum
baik atas nama Pemerintah Provinsi Bali sendiri maupun
kebijakan yang dikeluarkan bersama-sama antara
Pemerintah Provinsi Bali, Parisadha Hindu Dharma

122
SIMBIOSIS HUKUM NEGARA DAN HUKUM ADAT MENGHADIRKAN AKSES KEADILAN
SAAT PANDEMI COVID-19 DI BALI

Indonesia, dan Desa adat di Bali. Kebersamaan secara


gotong royong dalam mengeluarkan kebijakan hukum
tersebut dapat dikategorikan sebagai bentuk simbiosis
hukum antara Pemerintah Provinsi Bali, Lembaga
Keagaamaan Hindu di Bali dan Desa Adat di Bali dalam
penanganan Covid-19 di Bali. Tidak hanya berhenti pada
saat mengeluarkan kebijakan saja, melainkan sampai
pada penerapan kebijakan tersebut dilakukan bersama-
sama.

Saling bekerjasama, saling menguatkan antara


Pemerintah Provinsi Bali, Parisadha Hindu Dharma
Indonesia, dan Desa adat di Bali dapat dilihat baik dari
tataran pembentukan dan penerapan hukum. Instrumen
hukum yang bersama-sama dikeluarkan dan digolongkan
sebagai langkah yang tidak biasa dan luar biasa di Bali
setidaknya ada 3 (tiga) yang menjadi contoh dalam
penelitian ini, antara lain:

a. Keputusan Bersama Parisadha Hindu Dharma


Indonesia Provinsi Bali Dan Majelis Desa Adat
Provinsi Bali Nomor: 020/PHDI-Bali/III/2020 dan
Nomor: 04/SK/MDA-Prov. Bali/III/2020 Tentang
Ketentuan Pelaksanaan Kegiatan Panca Yadnya
Dan/Atau Kegiatan Adat Dalam Status Pandemi Covi
19 Di Bali tertanggal 28 Maret 2020.
b. Keputusan Bersama Gubernur Bali Dan Majelis
Desa Adat Provinsi Bali Nomor:
472/1571/PPDA/DPMA Nomor: 05/SK/MDA-Prov

123
SIMBIOSIS HUKUM NEGARA DAN HUKUM ADAT MENGHADIRKAN AKSES KEADILAN
SAAT PANDEMI COVID-19 DI BALI

Bali/III/2020 Tentang Pembentukan Satuan Tugas


Gotong Royong Pencegahan Covid-19 Berbasis Desa
Adat Di Bali tertanggal 28 Maret 2020.
c. Keputusan Bersama Parisadha Hindu Dharma
Indonesia Provinsi Bali Dan Majelis Desa Adat
Provinsi Bali Nomor: 026/PHDI-Bali/IV/2020
Nomor: 06/SK/MDA-Prov.Bali/IV/2020 Tentang
Pelaksanaan Nunas Ica Dan Pengeneng-ngening
Dalam Situasi Gering Agung Covid-19 tertanggal 8
April 2020.

Namun, untuk dapat efektif setidaknya sistem hukum


yang ada harus berjalan dengan baik pula. Meminjam
pemikiran Friedman yang menyatakan bahwa sistem
hukum itu terdiri dari: struktur hukum (legal structure),
substansi hukum (legal substance) dan budaya hukum
(legal culture) (Awaluddin, 2020). Jika ditelusuri sistem
hukum yang bekerja dalam Keputusan Bersama tersebut,
maka unsur struktur hukum yang harus bekerja dengan
baik dalam menerapkan aturan dalam Keputusan
Bersama itu yakni, Gubernur Bali (Pemerintah Provinsi
Bali), Parisadha Hindu Dharma Indonesia Provinsi Bali,
dan Majelis Desa Adat Provinsi Bali. Pemerintah Provinsi
Bali sebagai pimpinan pada Provinsi Bali berperan sebagai
wakil negara dalam usaha memberikan perlindungan dan
memberikan pelayanan kepada masyarakat yang ada di
Bali dalam menghadapi Covid-19. Parisadha Hindu
Dharma Indonesia Provinsi Bali sebagai struktur hukum

124
SIMBIOSIS HUKUM NEGARA DAN HUKUM ADAT MENGHADIRKAN AKSES KEADILAN
SAAT PANDEMI COVID-19 DI BALI

bertindak sebagai lembaga umat Hindu di Provinsi Bali


yang berperan dalam kegiatan keagamaan yang ditempuh
dalam penanganan Covid-19. Sedangkan Majelis Desa
Adat Provinsi Bali sebagai wadah persatuan 1.493 desa
adat di Bali yang bertugas mengkordinasikan kepada
seluruh desa adat di Bali terkait dengan sistem bersama
yang secara gotong-royong berbasis desa adat dalam
menangani Covid-19 di Bali.

Selanjutnya, unsur substansi hukum yang tergantung di


dalam Keputusan Bersama tersebut, antara lain: Pertama,
pada Keputusan Bersama Parisadha Hindu Dharma
Indonesia Provinsi Bali dan Majelis Desa Adat Provinsi Bali
Nomor: 020/PHDI-Bali/III/2020 dan
Nomor:04/SK/MDA-Prov.Bali/III/2020 Tentang
Ketentuan Pelaksanaan Kegiatan Panca Yadnya
Dan/Atau Kegiatan Adat Dalam Status Pandemi Covid-19
Di Bali tertanggal 28 Maret 2020 terdapat substansi yang
menonjol terkait pembatasan kegiatan ritual keagamaan
Hindu di Bali dan/atau kegiatan adat di Bali selama
pandemi Covid-19 di Bali. Pembatasan dimaksud baik
dilakukan baik secara tempat pelaksanaan ruang publik/
tempat umum, fasilitas desa adat, tempat ibadah,
maupun rumah masing-masing, maupun jumlah
maksimal yang hadir jika ritual keagamaan Hindu dan
kegiatan adat tersebut harus tetap berjalan dengan
batasan maksimal 25 (dua puluh lima) orang, disamping
tentunya penerapan protokol kesehatan yang ketat.

125
SIMBIOSIS HUKUM NEGARA DAN HUKUM ADAT MENGHADIRKAN AKSES KEADILAN
SAAT PANDEMI COVID-19 DI BALI

Kedua, Keputusan Bersama Gubernur Bali Dan Majelis


Desa Adat Provinsi Bali Nomor: 472/1571/PPDA/DPMA
Nomor: 05/SK/MDA-Prov Bali/III/2020 Tentang
Pembentukan Satuan Tugas Gotong Royong Pencegahan
Covid-19 Berbasis Desa Adat Di Bali tertanggal 28 Maret
2020. Substansi hukum yang menonjol disini adalah
masing-masing desa adat di Bali yang berjumlah 1.493
desa adat secara gotong-royong membentuk satuan tugas
gotong royong pencegahan Covid-19 berbasis desa adat.
Desa adat diberikan ruang dan tantangan yang besar
dalam penanganan Covid-19 di Bali, baik dari sisi sumber
daya manusia yang ada di desa adat di optimalkan dalam
satuan tugas gotong royong tersebut, sampai pada
penggunaan dana Bantuan Keuangan Khusus maksimal
150 Juta dari total 300 Juta yang diberikan oleh
Pemerintah Provinsi Bali dapat digunakan dalam
penanganan Covid-19 kepada masing-masing desa adat di
Bali yang berjumlah 1.493 desa adat.

Ketiga, Keputusan Bersama Parisadha Hindu Dharma


Indonesia Provinsi Bali Dan Majelis Desa Adat Provinsi
Bali Nomor: 026/PHDI-Bali/IV/2020 Nomor:
06/SK/MDA-Prov.Bali/IV/2020 Tentang Pelaksanaan
Nunas Ica Dan Pengeneng-ngening Dalam Situasi Gering
Agung Covid-19 tertanggal 8 April 2020. Substansi yang
menonjol pada Keputusan Bersama ini adalah dengan
himbauan kepada masyarakat Hindu di Bali untuk
melakukan persembahyangan bersama dengan sesajen

126
SIMBIOSIS HUKUM NEGARA DAN HUKUM ADAT MENGHADIRKAN AKSES KEADILAN
SAAT PANDEMI COVID-19 DI BALI

yang disarankan untuk nunas ica (memohon berkah


keselamatan) kehadapan Tuhan Yang Maha Esa. Ketiga
Keputusan Bersama tersebut berbentuk tertulis, sehingga
dapat menjamin kepastian hukum kepada masyarakat
(Usman, 2014).

Unsur budaya hukum masyarakat (legal culture) juga


harus berjalan dengan baik. Maksud dari berjalan dengan
baik ini adalah munculnya kesadaran hukum masyarakat
sebagai bagian dari suatu sistem hukum(Barkatullah,
2012). Kesadaran hukum masyarakat harus terus
ditanamkan agar kepatuhan hukum masyarakat dapat
tercapai (Rosana, 2014). Kesadaran hukum masyarakat di
Bali dalam mentaati Keputusan Bersama antara
Pemerintah Provinsi Bali, Parisadha Hindu Dharma
Indonesia Provinsi Bali dan Majelis Desa Adat harus terus
digalakkan dan dipupuk. Keputusan Bersama sebagai
hukum dapat berperan dalam mengubah dan
mengarahkan perilaku atau pola-pola tingkah laku
pemegang peran, dalam hal ini adalah warga masyarakat.
Apabila perubahan perilaku ini dapat dilaksanakan maka
hukum dalam bekerjanya dapat berfungsi sebagai sarana
untuk merekayasa masyarakat (Suteki, 2017). Sehingga
dengan kata lain, dengan adanya Keputusan Bersama
antara Pemerintah Provinsi Bali, Parisadha Hindu
Dharma Indonesia Provinsi Bali dan Majelis Desa Adat di
Bali menjadi alat untuk merekayasa masyarakat di Bali

127
SIMBIOSIS HUKUM NEGARA DAN HUKUM ADAT MENGHADIRKAN AKSES KEADILAN
SAAT PANDEMI COVID-19 DI BALI

untuk menjalankan protokol kesehatan dalam


menghadapi Covid-19 di Bali.

Menarik disini dianalisis selain adanya peran negara


dalam hal ini diwakilkan oleh Pemerintah Provinsi Bali
yang secara bersama-sama dengan Parisadha Hindu
Dharma Indonesia Provinsi Bali dan Majelis Desa Adat di
Bali adalah dengan diberikannya kesempatan dan
tantangan kepada desa adat di Bali yang berjumlah 1.493
desa adat untuk membentuk Satuan Tugas Gotong
Royong Berbasis Desa Adat untuk menangani Covid-19 di
Bali. Desa adat masih eksis dan mendapat pengakuan dan
perlindungan di Indonesia merupakan bagian dari
penerapan amanat konsitusi Indonesia. Pengakuan dan
perlindungan kepada masyarakat adat sebagai bentuk
kepedulian negara sesuai amanat konsitusi (Maladi,
2011). Ada beberapa pertanyaan yang akan menjadi
analisis selanjutnya terkait dengan peran desa adat di Bali
dalam penanganan Covid-19. Pertama, menganai dasar
hukum kewenangan desa adat dalam penanganan Covid-
19 di Bali. Kedua, mengenai bentuk penerapan peran desa
adat dalam penanganan Covid-19 di Bali.

Terkait dengan dasar kewenangan desa adat di Bali dalam


penanganan Covid-19 selain amanat Konstitusi dalam
Pasal 18 B ayat (2) terkait dengan adanya pengakuan dan
perlindungan Negara terhadap Kesatuan Masyarakat
Hukum Adat atau Desa Adat yang masih hidup contohnya
di Bali termasuk pula hak tradisionalnya untuk mengurus

128
SIMBIOSIS HUKUM NEGARA DAN HUKUM ADAT MENGHADIRKAN AKSES KEADILAN
SAAT PANDEMI COVID-19 DI BALI

rumah tangga dan wilayahnya sendiri, kemudian


diperkuat dalam Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 6 Tahun 20114 tentang Desa yang juga
menguatkan eksistensi desa adat termasuk hak
tradisionalnya untuk mengurus rumah tangga dan
wilayahnya sendiri serta kewenangan skala lokalnya.
Sedangkan di Bali telah terbit Peraturan Daerah Provinsi
Bali Nomor 4 Tahun 2019 tentang Desa Adat di Bali, yang
secara khusus sebagai bentuk pengakuan dan
perlindungan sekaligus tanda penetapan 1.493 desa adat
di Bali sebagai subyek hukum yang berkedudukan di
wilayah Provinsi Bali.

Pasal 22 Perda Desa Adat di Bali disebutkan terdapat 13


(tiga belas) tugas desa adat di Bali, dimana yang menjadi
dasar hukum desa adat di Bali berperan dalam
penanganan Covid-19 terkait dengan tugas mengatur,
mengurus, dan mengayomi penyelenggaraan
parahyangan, pawongan, dan palemahan desa adat.
Penyelenggaraan pawongan yang dimaksud adalah
melakukan perlindungan terhadap masyarakat yang
bertempat tinggal di wilayah desa adat termasuk upaya
dalam penanganan Covid-19. Tugas lainnya yang terkait
dalam memelihara dan mengembangkan sistem dan
pelaksanaan hukum adat. Artinya desa adat di Bali
diberikan kewenangan untuk membuat hukum adat
termasuk pelaksanaannya yang berlaku di wilayah desa
adat masing-masing dengan tidak bertentangan dengan

129
SIMBIOSIS HUKUM NEGARA DAN HUKUM ADAT MENGHADIRKAN AKSES KEADILAN
SAAT PANDEMI COVID-19 DI BALI

peraturan perundang-undangan yang berlaku.


Selanjutnya, pada pasal 24 desa adat di Bali memliki
kewenangan Desa Adat berdasarkan hak asal usul yang
berjumlah 12 (dua belas) kewenangan, namun yang
terkait dengan kewenangan desa adat dalam penanganan
Covid-19 di Bali meliputi pembentukan Awig-Awig,
Pararem, dan peraturan adat lainnya. Desa adat diberikan
kewenangan berdasarkan hak asal-usulnya untuk
membentuk hukum adat dalam penanganan Covid-19
berbasis desa adat di Bali. Desa adat sejak lahir diberikan
kewenangan untuk membentuk hukum adat ( Adharinalti,
2012). Selain itu, desa adat berdasarkan kondisi tempat,
waktu dan keadaan (desa, kala, patra) dapat membuat
aturan hukum adat yang mengikat baik kepada krama
adat, krama tamiu, maupun tamiu (Wibawa, Martha &
Diana, 2020).

Selain dasar Keputusan Bersama antara Pemerintah


Provinsi Bali, Parisadha Hindu Dharma Indonesia Provinsi
Bali dan Majelis Desa Adat di Bali juga menjadi dasar
kewenangan desa adat dalam penanganan Covid-19 di
Bali, ada juga hukum adat dalam bentuk perarem tentang
Pencegahan dan Pengendalian Gering Agung atau Wabah
Covid-19 di Tingkat Desa Adat di Bali. Perarem tersebut
secara formal setelah disampaikan kepada Gubernur Bali
dan secara formal dikembalikan lagi untuk mulai
diterapkan pada tanggal 9 Juli 2020. Hukum adat dibuat
berangkat dari kesadaran hukum masyarakat yang patuh

130
SIMBIOSIS HUKUM NEGARA DAN HUKUM ADAT MENGHADIRKAN AKSES KEADILAN
SAAT PANDEMI COVID-19 DI BALI

terhadap hukum tidak tertulis (Sulastiyono & Pradhani,


2018).

Selanjutnya, terkait dengan penerapan peranan desa adat


di Bali dalam menangani Covid-19 di Bali, dapat dilihat
dari beberapa contoh penerapan hukum adat dalam
bentuk perarem yang telah diterapkan oleh beberapa
contoh desa adat di Bali. Pertama, pararem yang
dibuat Desa Adat Intaran, Kota Denpasar yang
berfungsi dalam penanganan pandemi Covid-19 berlaku
bagi seluruh karma adat, krama tamiu dan tamiu. Perarem
wajib menggunakan masker bagi krama, krama tamiu dan
tamiu di lingkungan Desa Adat Intaran yang keluar
rumah. Jika tidak ditaati, maka terdapat sanksi yang
diberikan.Bagi krama tamiu dan tamiu sanksinya akan
disuruh balik ke daerah asal dan tidak diperkenankan
beraktivitas di wilayah Desa Adat Intaran. Kemudian bagi
krama adat sendiri akan dikenakan sanksi sosial dan
denda. Sanksi berupa denda yakni dikenakan 5 (lima) Kg
beras, sementara sanksi sosialnya diberikan tugas untuk
membersihkan pura atau kuburan selama tiga hari
berturut-turut. Selain itu, pararem tersebut juga
mengatur para pedagang, warung dan toko di
lingkungan Desa Adat Intaran. Saat melayani pelanggan,
para pedagang, pemilik warung atau toko juga wajib
menggunakan masker. Pararem Desa Adat Intaran ini
akan berlaku sejak 1 Mei 2020. Kedua, di Desa Adat Mas,
Kabupaten Gianyar, misalnya, membuat aturan semua

131
SIMBIOSIS HUKUM NEGARA DAN HUKUM ADAT MENGHADIRKAN AKSES KEADILAN
SAAT PANDEMI COVID-19 DI BALI

orang keluar rumah harus pakai masker. Jika melanggar,


dikenai sanksi denda 1 kg beras. Ketiga, di Desa Adat
Nyuhkuning, Kecamatan Ubud, menjatuhkan sanksi
berupa wajib nyampat (bersih-bersih) di balai pertemuan
desa jika nekat tak pakai masker. Penjatuhan sanksi adat
dan sanksi sosial tersebut memberikan efek jera dalam
kehidupan sosial sehari-hari masyarakat di Bali (Wijaya,
2019).

Selain dalam bentuk substansi hukum, dengan peran


desa adat membentuk perarem atau hukum adat yang
mewajibkan pelaksanaan protokol kesehatan di wilayah
desa adat masing-masing di Bali. Peran yang tidak kalah
pentingnya adalah keberadaan pecalang sebagai ujung
tombak dalam Satuan Tugas Gotong Royong Berbasis
Desa Adat di Bali. Pecalang merupakan organisasi
keamanan tradisional yang dimiliki desa adat dalam
menegakkan aturan hukum adat termasuk perarem
penanganan Covid-19 di desa adat.

Sebagai contoh dapat dilihat pada ilustrasi gambar di


bawah ini, dimana terdapat posko Satgas Gotong Royong
Penanganan Covid-19 Berbasis Desa Adat dan
Pemberikan sanksi sosial berupa push up yang diberikan
kepada warga yang tidak memakai masker di wilayah desa
adat.

132
SIMBIOSIS HUKUM NEGARA DAN HUKUM ADAT MENGHADIRKAN AKSES KEADILAN
SAAT PANDEMI COVID-19 DI BALI

Gambar 1. Posko Satgas Gotong Royong Berbasis Desa Adat


dalam Penanganan Covid-19

(Sumber: Internet, 2020)

Gambar 2 Pemberian Sanksi Sosial Push Up oleh Pecalang


kepada Warga yang Tidak Memakai Masker

(Sumber: Internet, 2020)

Selain upaya secara sekala (nyata) dalam bentuk Keputusan


Bersama antara Pemerintah Provinsi Bali, Parisadha Hindu
Dharma Indonesia dan Majelis Desa Adat di Bali. Baik dari sisi

133
SIMBIOSIS HUKUM NEGARA DAN HUKUM ADAT MENGHADIRKAN AKSES KEADILAN
SAAT PANDEMI COVID-19 DI BALI

peran struktur hukum, dan substansi hukum juga dilakukan upaya


secara niskala (melalui persembahan sesajen melalui ritual
keagamaan Hindu) di Bali. Cara yang ditempuh selain dengan
melakukan persembahnyangan baik secara bersama-sama secara
terbatas atau ditempat ibadah di masing-masing rumah
masyarakat Bali, juga dilakukan upaya menghaturkan sesajen
berbetuk manusia sebagai simbol upaya pengembalian
keseimbangan dengan alam. Bali dalam kehidupan sehari-hari
terbiasa memuliakan simbol-simbol dalam menjaga keharmonisan
dengan alam (Suyoga, 2020). Pemberian sesajen merupakan upaya
mengembalikan unsur negatif ke alam (Suparman, 2017). Sesajen
dalam bentuk orang merupakan bentuk simbolisasi unsur negatif
dapat merasuki sesajen simbol manusia ini tidak ke manusia itu
sendiri. Sebagai contoh sesajen dan surat himbauan dari
pemerintah untuk menghaturkan sesajen ada pada gambar di
bawah ini.

134
SIMBIOSIS HUKUM NEGARA DAN HUKUM ADAT MENGHADIRKAN AKSES KEADILAN
SAAT PANDEMI COVID-19 DI BALI

Gambar 3. Surat Himbauan Menghaturkan Sesajen Sebagai


Penolak Covid-19

(Sumber: Internet 2020)

Gambar 4. Contoh Sesajen Berbentuk Manusia sebagai


Penangkal Covid-19 di Bali

(Sumber: Internet 2020)

Saling menguatkan dan saling mendukungnya sistem


hukum negara dan sistem hukum adat seperti uraian di

135
SIMBIOSIS HUKUM NEGARA DAN HUKUM ADAT MENGHADIRKAN AKSES KEADILAN
SAAT PANDEMI COVID-19 DI BALI

atas tersebut merupakan suatu langkah untuk


menghadirkan tujuan hukum sebenarnya, yakni
terciptanya nilai keadilan, nilai kemanfaatan dan nilai
kepastian hukum di masyarakat (Muslih, 2013). Kesemua
unsur tersebut secara ideal harus hadir ditengah-tengah
masyarakat. Jangan sampai unsur kepastian hukum
lebih menonjol daripada yang lainnya karena sifatnya
yang tertulis dan pasti (Priyono, 2018). Instrumen hukum
yang terkait langsung dengan penanganan Covid-19 di
Indonesia secara umum dan di Bali secara khusus baik
dibuat oleh organ negara maupun pemerintah daerah
termasuk didalamnya Keputusan Bersama antara
Pemerintah Provinsi Bali, Parisadha Hindu Dharma
Indonesia Provinsi Bali dan Majelis Desa Adat di Bali
jangan hanya ditempatkan sebagai hukum di atas kertas
saja namun juga dapat ditempatkan sebagai hukum yang
berperan baik pada penerapan di masyarakat untuk
menghadirkan rasa keadilan dan kemanfaatan bagi
masyarakat.

Menarik juga untuk dianalisa bahwasannya 3 (tiga)


bentuk Keputusan Bersama antara Pemerintah Provinsi
Bali, Parisadha Hindu Dharma Indonesia Provinsi Bali dan
Majelis Desa Adat di Bali yang telah diuraikan sebelumnya
didalamnya mengandung nilai-nilai simbiosis hukum,
yakni antara hukum negara dan hukum adat saling
menguatkan dan mendukung dalam penanganan Covid-
19 di Bali. Jangan, sampai justru hukum negara menjadi

136
SIMBIOSIS HUKUM NEGARA DAN HUKUM ADAT MENGHADIRKAN AKSES KEADILAN
SAAT PANDEMI COVID-19 DI BALI

beban masyarakat adat (Syamsudin, 2008). Selain itu, di


dalam 3 (tiga) bentuk Keputusan Bersama antara
Pemerintah Provinsi Bali, Parisadha Hindu Dharma
Indonesia Provinsi Bali dan Majelis Desa Adat di Bali
terdapat interaksi hukum antara hukum negara dan
hukum adat, dimana diharapkan interaksi hukum adat
dan hukum negara tersebut saling mempunyai sifat
keterbukaan dan menguatkan (Sulaiman, 2016).

Interaksi hukum antara hukum negara dan hukum adat


yang tertuang dalam 3 (tiga) bentuk Keputusan Bersama
antara Pemerintah Provinsi Bali, Parisadha Hindu
Dharma Indonesia Provinsi Bali dan Majelis Desa Adat di
Bali dari sudut pandang prinsip hukum, termasuk ke
dalam penerapan prinsip pluralisme hukum. Jika
digolongkan termasuk pluralisme hukum negara/
pluralisme hukum lemah (Wibawa, 2020) karena negara
dalam hal ini Pemerintah Provinsi memiliki peranan yang
lebih besar dibandingkan yang lainnya baik dari sisi
sumber daya manusia, keuangan maupun instrumen
hukumnya. Jika digambarkan, bentuk pluralisme hukum
dari 3 (tiga) bentuk Keputusan Bersama antara
Pemerintah Provinsi Bali, Parisadha Hindu Dharma
Indonesia Provinsi Bali dan Majelis Desa Adat di Bali
berbentuk layang-layang.

Meminjam pendapat menski tentang teori pluralisme


hukum berbentuk layang-layang (Menski, 2014). Maka,
pertama, sudut atas layang-layang diwakilkan dari nilai-

137
SIMBIOSIS HUKUM NEGARA DAN HUKUM ADAT MENGHADIRKAN AKSES KEADILAN
SAAT PANDEMI COVID-19 DI BALI

nilai ajaran Agama Hindu dan kearifan lokal. Kedia, sudut


sisi kiri diwakilkan peran hukum negara dalam hal ini
Pemerintah Provinsi Bali mengeluarkan surat himbauan
dan keputusan bersama dalam penanganan Covid-19 di
Bali. Ketiga, sudut sisi kanan diwakilkan peran hukum
adat dalam hal ini diwakili oleh struktur desa adat dan
hukum adat yang berperan dalam penanganan Covid-19
di Bali. Serta, keempat, sudut bawah layang-layang
diwakilkan atas upaya penghormatan terhadap nilai-nilai
hak asasi manusia, khususnya hak dalam bidang
ekonomi dan hak dalam bidang kesehatan. Maka, jika
keempat sudut tersebut dapat berjalan secara seimbang
maka tujuan dari terciptanya hukum itu dapat tercapai.
Selain itu, dengan munculnya Satgas Gotong Royong
Berbasis Desa Adat di Bali semakin menunjunkkan
bahwasannya terdapat sisi terang Covid-19, dengan
semakin meingkatkan kegiatan gotong royong atau
sebutan lainnya munculnya kesadaran kolektif atas
bencana bersama pandemi Covid-19 di Bali (Sari, 2020).

PENUTUP

Kesimpulan

Simpulan yang dapat disampaikan dalam penelitian ini


antara lain: 1) Penanganan Covid-19 di Bali ditempuh
dengan cara yang tidak biasa dengan melakukan upaya
hukum, maupun secara magis-religius dengan cara ritual
keagaamaan dan menghaturkan sesajen, 2) terdapat

138
SIMBIOSIS HUKUM NEGARA DAN HUKUM ADAT MENGHADIRKAN AKSES KEADILAN
SAAT PANDEMI COVID-19 DI BALI

instrumen hukum yang tertuang dalam 3 (tiga) bentuk


Keputusan Bersama antara Pemerintah Provinsi Bali,
Parisadha Hindu Dharma Indonesia Provinsi Bali dan
Majelis Desa Adat di Bali berfungsi sebagai upaya hukum
yang mengandung nilai-nilai pluralisme hukum didalanya
dalam penanganan Covid-19 di Bali, dan 3) terdapat
interaksi sistem hukum negara dan sistem hukum adat
yang saling mendukung dan menguatkan yang terdapat
dalam 3 (tiga) bentuk Keputusan Bersama antara
Pemerintah Provinsi Bali, Parisadha Hindu Dharma
Indonesia Provinsi Bali dan Majelis Desa Adat di Bali
dalam penanganan Covid-19 di Bali.

Saran

Rekomendasi yang dapat diberikan agar Pemerintah


Provinsi Bali, Parisadha Hindu Dharma Indonesia Provinsi
Bali dan Majelis Desa Adat di Bali tetap berperan secara
aktif dan penuh baik dari sisi struktur hukum maupun
substansi hukumnya dalam upaya penanganan Covid-19
di Bali, dan salah satu hal yang sangat penting agar
masyarakat memiliki kesadaran hukum yang kuat untuk
patuh terhadap instrumen hukum negara maupun
instrumen hukum adat untuk bersama-sama menghadapi
Covid-19 di Bali.

UCAPAN TERIMA KASIH

Ucapan terimakasih diucapkan kepada pimpinan


Universitas Hindu Indonesia yang memberikan izin untuk

139
SIMBIOSIS HUKUM NEGARA DAN HUKUM ADAT MENGHADIRKAN AKSES KEADILAN
SAAT PANDEMI COVID-19 DI BALI

mengikuti Konfrensi Hukum dan Hak Asasi Manusia.


Selanjutnya, ucapan terima kasih pula diucapkan kepada
panitia penyelenggara Konfrensi yang memberikan
kesempatan penulis ikut serta dalam konfrensi dan karya
ini dapat diterbitkan.

DAFTAR PUSTAKA

Adharinalti (2012), "Eksistensi Hukum Adat dalam


Penyelenggaraan Pemerintahan Desa di Bali". Jurnal
Rechtsvinding..
Awaluddin, S,. (2020), "Pendidikan dan Instrumen
Hukumnya dalam Pembangunan Budaya Hukum".
TAHKIM.
Barkatullah, A. H., (2012), "Budaya Hukum Masyarakat
dalam Persfektif Sistem Hukum". Jurnal Refleksi
Hukum.
Hermawan, U. A., (2014), "Kesadaran Hukum Masyarakat
dan Pemerintah sebagai Faktor Tegaknya Negara
Hukum di Indonesia". Jurnal Wawasan Yuridika
Maladi, Y., (2011), "Eksistensi Hukum Adat dalam
Konstitusi Negara Pasca Amandemen UUD 1945".
Jurnal Hukum & Pembangunan.
Menski, W., (2014), "Remembering and Applying Legal
Pluralism: Law As Kite Flying". Concepts Of Law:
Comparative, Jurisprudential, And Social Science
Perspectives.
Muslih, M., (2013), "Negara Hukum Indonesia dalam
Perspektif Teori Hukum Gustav Radbruch (Tiga Nilai
Dasar Hukum)". Legalitas.
Nurhalimah, S., (2020), "Covid-19 dan Hak Masyarakat
Atas Kesehatan". SALAM: Jurnal Sosial Dan Budaya
Syar-I .
Nurwati, R. A. M. & Nunung, R., (2020), "Dampak Pandemi
Covid-19 terhadap Peningkatan Angka Pengangguran

140
SIMBIOSIS HUKUM NEGARA DAN HUKUM ADAT MENGHADIRKAN AKSES KEADILAN
SAAT PANDEMI COVID-19 DI BALI

Di Indonesia".
Priyono, E. A., (2018), "Aspek Keadilan dalam Kontrak
Bisnis di Indonesia (Kajian Pada Perjanjian
Waralaba)". Law Reform.
Rosana, E., (2014), "Kepatuhan Hukum sebagai
Kesadaran Hukum Masyarakat". Jurnal Tapis: Jurnal
Teropong Aspirasi Politik Islam.
Sari, Y. I., (2020), "Sisi Terang Pandemi COVID-19". Jurnal
Ilmiah Hubungan Internasional .
Sulaiman, S. (2016), "Interaksi Hukum Negara dan
Hukum Adat dalam Penanggulangan Trawl di
Indonesia". Litigasi.
Sulastriyono & Pradhani, S. I., (2018), "Pemikiran Hukum
Adat Djojodigoeno dan Relevansinya Kini". Mimbar
Hukum, Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada.
Suparman, I. N., (2017), "Pendidikan Keberagamaan
dalam Upacara Caru Rsi Gana di Pura Kawitan Dalem
Penyarikan". Widya Genitri : Jurnal Ilmiah Pendidikan,
Agama Dan Kebudayaan Hindu.
Suteki (2017), "Implikasi Kebijakan Formulasi
Penggunaan Alokasi Dana Bagi Hasil Cukai Tembakau
Terhadap Program Pembinaan Lingkungan Sosial".
Law Reform 13 (2).
Suyoga, I. P. G., (2020), "Ngubeng: Praksis Pemanfaatan
Ruang Sosio-Religius Hindu di Kala Pandemik Covid-
19". Dharmasmrti: Jurnal Ilmu Agama Dan
Kebudayaan.
Syamsudin, S. (2008), "Beban Masyarakat Adat
Menghadapi Hukum Negara". Jurnal Hukum Ius Quia
Iustum.
Wibawa, I. P. S., (2020), "Perlindungan dan Pelestarian
Bendega Sebagai Organisasi Tradisional Nelayan Di
Bali". Dharmasmrti: Jurnal Ilmu Agama Dan
Kebudayaan.
Wibawa, I, P. S. & Martha, I. W. & Diana, I. K. D., (2020),
"Menakar Kewenangan dan Tata Hubungan

141
SIMBIOSIS HUKUM NEGARA DAN HUKUM ADAT MENGHADIRKAN AKSES KEADILAN
SAAT PANDEMI COVID-19 DI BALI

Kelembagaan Antara Majelis Desa Adat dengan Desa


Adat di Bali". Vidya Wertta : Media Komunikasi
Universitas Hindu Indonesia
Wijaya, P. M. K. (2019), "Pemberian Sanksi Adat depada
Pelaku Pencurian Pratima di Bali". Acta Comitas.
Yuniti, I, G. A. D., Sasmita, N., Komara, L. L., Purba, J. H.,
& Pandawani, I. N. P., (2020), "The Impact Of Covid-19
On Community Life In The Province Of Bali ,
Indonesia". International Journal Of Psychosocial
Rehabilitation.

142
4
Pemenuhan Ruang Terbuka Hijau:
Perlindungan Hak Atas
Lingkungan Hidup yang Baik Bagi
Masyarakat Perkotaan Pasca
Covid-19

Hasbi Assidiq, Muhammad Anwar, Siti Nurhaliza Bachril


Environmental Law Forum
assidiqhasbi97@gmail.com

Abstrak

Pandemi Coronavirus Disease 2019 (COVID-19) memaksa


masyarakat untuk kembali memikirkan hubungan
manusia dengan lingkungan. Pembatasan sosial di
berbagai daerah setidaknya mengurangi interaksi sosial
secara langsung antar masyarakat. Hal ini semakin
meningkatkan urgensitas kebutuhan masyarakat
perkotaan atas lingkungan hidup yang baik dan sehat,
dikarenakan hal ini merupakan hak konstitusional warga
negara. Salah satu upaya pemenuhan hak ini adalah
pengelolaan tata ruang yang harmoni dan seimbang.
Ruang Terbuka Hijau merupakan salah satu instrumen
hukum yang bertujuan mewujudkan hal tersebut. Sejalan
dengan amanah UU No. 26 tahun 2007 tentang Penataan

143
PEMENUHAN RUANG TERBUKA HIJAU: PERLINDUNGAN HAK ATAS LINGKUNGAN
HIDUP YANG BAIK BAGI MASYARAKAT PERKOTAAN PASCA COVID-19

Ruang, setiap kota diwajibkan mengalokasikan minimal


30% lahan dari keseluruhan wilayahnya untuk dijadikan
sebagai Ruang Terbuka Hijau. Tulisan ini merupakan
kajian normatif untuk menganalisa upaya perlindungan
hak atas lingkungan hidup secara khusus bagi
masyarakat perkotaan dalam skema Ruang Terbuka Hijau
dan berbagai instrumen yang lain serta tantangan yang
akan dihadapi pasca pandemi COVID-19. Kajian ini
menjadi penting untuk menjamin kehadiran negara untuk
memenuhi hak konstitusional warganya atas lingkungan
hidup yang baik dan sehat di masa dan pasca pandemi
COVID 19

Kata Kunci: Ruang Terbuka Hijau; hak atas


lingkungan; pandemi COVID-19

PENDAHULUAN

Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) awal mulanya


merebak di Kota Wuhan, China pada Desember 2019 lalu.
Per tanggal 24 Juni 2020, virus ini telah menjangkiti 213
negara di seluruh dunia, tidak terkecuali Indonesia. 71
Dalam upaya memutus mata rantai penyebaran virus ini,
Pemerintah Indonesia memberlakukan berbagai
kebijakan, salah satunya adalah Pembatasan Sosial
Berskala Besar (PSBB) yang regulasinya disahkan akhir

71 https://www.worldometers.info/coronavirus/ diakses pada 24 Juni 2020

144
PEMENUHAN RUANG TERBUKA HIJAU: PERLINDUNGAN HAK ATAS LINGKUNGAN
HIDUP YANG BAIK BAGI MASYARAKAT PERKOTAAN PASCA COVID-19

Maret 2020. Kebijakan ini memaksa masyarakat untuk


mengurangi aktivitas di ruang publik. Setelah beberapa
bulan kebijakan ini diberlakukan, pemerintah kemudian
membuka wacana untuk merelaksasi kebijakan dengan
menawarkan gagasan tatanan kehidupan baru atau “New
Normal”, kebijakan ini menurut Presiden Joko Widodo
dilakukan agar aktivitas sosial kembali berjalan normal
atau tetap produktif tetapi dengan tetap meberlakukan
protokol kesehatan secara disiplin agar aman dari COVID-
19.72

Penularan COVID-19 diperkirakan berasal dari Kelelawar


(Andersen, Rambaut, Lipkin, 2020). Namun, hal ini bukan
berarti bahwa jika kita ingin memutus penyebaran
COVID-19 kita harus membasmi satwa ini. Menurut
pandangan Peter Alagona, seorang sejarawan lingkungan
yang fokus pada spesies langka dan keanekaragaman
hayati, hal yang perlu menjadi perhatian adalah
pemahaman bahwa kelelawar ini merupakan satwa yang
memiliki fungsi ekologis untuk membantu proses
penyerbukan 500 spesies tanaman dan kotorannya dapat
digunakan sebagai pupuk alami. Sebagai satu-satunya
mamalia yang dapat terbang, kelelawar menyimpan virus
yang bisa menjadi penyakit bagi mamalia lain ketika
berpindah antar spesies. Penyakit ini termasuk

72 https://mediaindonesia.com/read/detail/315929-presiden-penerapan-new-
normal-melihat-data-epidemologi diakses pada 24 Juni 2020

145
PEMENUHAN RUANG TERBUKA HIJAU: PERLINDUNGAN HAK ATAS LINGKUNGAN
HIDUP YANG BAIK BAGI MASYARAKAT PERKOTAAN PASCA COVID-19

setidaknya 200 jenis Virus Corona, beberapa diantaranya


yang menyebabkan gangguan pernapasan seperti SARS
dan Mers. Secara umum virus ini tersembunyi di tubuh
kelelawar dan ekosistem tanpa menular kepada manusia.
Namun, karena manusia melakukan aktivitas yang
menganggu habitat kelelawar, resiko transmisi virus
tersebut menjadi meningkat.73

Berkaca dari fenomena Pandemi COVID-19, sudah


selayaknya manusia kembali memikirkan relasi antara
manusia dan lingkungan. Habitat satwa yang lestari akan
memberikan berbagai manfaat ekologis yang dapat
diperoleh manusia. Lingkungan hidup yang baik dan
sehat memiliki dua dimensi, yakni pertama, secara
intrinsik berdimensi ekologis bagi kelestarian lingkungan
hidup dan makhluk hidup yang ada di dalamnya dan
kedua, secara khusus berdimensi Hak Asasi Manusia
(HAM) yang secara konstitusional merupakan hak warga
negara atas lingkungan hidup yang baik dan sehat yang
wajib dipenuhi oleh negara.74

Dalam upaya memenuhi hak tersebut, Pemerintah


Indonesia dengan beradasar pada konstitusi diberikan
mandat untuk menguasai seluruh Sumber Daya Alam
(SDA) yang ada di Indonesia untuk dipergunakan bagi

73 https://theconversation.com/jangan-salahkan-kelelawar-atas-merebaknya-
coronavirus-135204 diakses pada 24 Juni 2020

74 Pasal 28 H Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

146
PEMENUHAN RUANG TERBUKA HIJAU: PERLINDUNGAN HAK ATAS LINGKUNGAN
HIDUP YANG BAIK BAGI MASYARAKAT PERKOTAAN PASCA COVID-19

sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.75 Hak menguasai


negara ini merupakan dasar pengelolaan SDA di
Indonesia, dengan batasan bahwa pengelolaan SDA yang
merupakan wujud pelaksanaan perekonomian nasional
harus dijalankan dengan prinsip kebersamaan, efisiensi
berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan,
kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan
kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.76

Hak menguasai negara tersebut kemudian termanifestasi


ke dalam beberapa undang-undang, salah satunya yang
berhubungan dengan tata ruang untuk memastikan
bahwa pengelolaan SDA tetap dijalankan sesuai dengan
kondisi lingkungan, yakni Undang-Undang No 26 tahun
2007 tentang Penataan Ruang. Di dalam regulasi ini, agar
pengelolaan SDA atau arah pembangunan tetap dalam
prinsip berwawasan lingkungan dan berkelanjutan atau
setidaknya mencegah terjadinya kerusakan lingkungan
yang semakin masif akibat pembangunan yang dilakukan,
setiap kota wajib mengalokasikan 30% dari luas
wilayahnya untuk pemenuhan Ruang Terbuka Hijau
(RTH).77

75 Pasal 33 Ayat 3 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

76 Pasal 33 Ayat 4 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

77 Pasal 29 ayat 2 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007

147
PEMENUHAN RUANG TERBUKA HIJAU: PERLINDUNGAN HAK ATAS LINGKUNGAN
HIDUP YANG BAIK BAGI MASYARAKAT PERKOTAAN PASCA COVID-19

RTH merupakan area memanjang/jalur dan/atau


mengelompok, yang penggunaannya lebih bersifat
terbuka, tempat tumbuh tanaman, baik yang tumbuh
secara alamiah maupun yang sengaja ditanam. 78

Keberadaan RTH dalam suatu perkotaan memberikan


dampak yang sangat signifikan dalam kehidupan manusia
dan kelestarian lingkungan. RTH merupakan instrumen
untuk menjaga ekosistem suatu wilayah agar tetap lestari
dan dapat menunjang kehidupan manusia (Afrihatmoko,
2013). Pengalokasian 30% dari luas wilayah perkotaan
bertujuan untuk sterilisasi dari pembangunan yang dapat
mengancam keseimbangan wilayah tersebut.

Artikel ini akan menganalisa upaya pemerintah dalam


pemenuhan RTH dan instrumen hukum lain dalam
menjamin hak atas lingkungan hidup yang baik bagi
masyarakat kota. Selanjutnya, akan dianalisa terkait
dengan tantangan pemenuhan RTH di masa mendatang
pasca pandemi. Artikel ini akan terdiri dari tiga bagian.
Pada bagian pertama akan terlebih dahulu dibahas terkait
dengan hak atas lingkungan bagi masyarakat perkotaan
dengan berbagai regulasi maupun kebijakan yang dibuat
untuk memenuhi hak tersebut. Bagian kedua membahas
secara khusus mengenai regulasi dan kebijakan
pemenuhan RTH dan tantangan pemenuhannya. Bagian

78 Pasal 1 ayat 1 Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor: 05/Prt/M/2008


Tentang Pedoman Penyediaan Dan Pemanfaatan Ruang Terbuka Hijau Di
Kawasan Perkotaan.

148
PEMENUHAN RUANG TERBUKA HIJAU: PERLINDUNGAN HAK ATAS LINGKUNGAN
HIDUP YANG BAIK BAGI MASYARAKAT PERKOTAAN PASCA COVID-19

terakhir akan dibahas terkait dengan tantangan


pemenuhan RTH di masa dan pasca Pandemi COVID-19.

Artikel ini merupakan kajian normatif sebagai bagian dari


publikasi riset yang kami lakukan dengan pendekatan
kualitatif, yakni dengan menganalisa berbagai regulasi
yang dibuat untuk menjamin terpenuhinya hak atas
lingkungan hidup yang baik dan sehat khususnya bagi
masyarakat perkotaan. Keseluruhan data kemudian
dianalisa menggunakan metode kesesuaian norma antara
regulasi yang satu dengan regulasi yang lain. Hasil
analisia kemudian digunakan untuk merumuskan
rekomendasi kebijakan yang perlu diambil dalam
menjawab tantangan yang dihadapi.

PEMBAHASAN

Hak atas Lingkungan Hidup bagi Masyarakat Kota

Hak atas lingkungan hidup merupakan bagian tak


terpisahkan dari hak asasi manusia yang dijamin oleh
konstitusi. Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia (UUD NRI) 1945 secara eksplisit merumuskan 2
Pasal khusus yang berkaitan dengan lingkungan hidup,
yakni pasal 28 H Ayat (1) : “Setiap orang berhak hidup
sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan
mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta
berhak memperoleh pelayanan kesehatan.” dan Pasal 33
Ayat (4) : “Perekonomian nasional diselenggarakan
berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip

149
PEMENUHAN RUANG TERBUKA HIJAU: PERLINDUNGAN HAK ATAS LINGKUNGAN
HIDUP YANG BAIK BAGI MASYARAKAT PERKOTAAN PASCA COVID-19

kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan,


berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan
menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi
nasional”.

Menurut Jimly Asshiddiqie, Pasal 28 H pada konsitusi


UUD NRI 1945 dapat dikategorikan sebagai konsitutusi
hijau. Artinya, segala kebijakan dan tindakan
pemerintahan dan pembangunan haruslah tunduk pada
ketentuan mengenai hak asasi manusia atas lingkungan
hidup yang baik dan sehat. Tidak boleh ada lagi kebijakan
yang tertuang dalam bentuk UU maupun peraturan di
bawahnya yang bertentangan dengan ketentuan
konstitusi yang pro lingkungan ini (Syarif, 2014).

Selain itu, konstitusi juga memberi mandat hak


menguasai negara untuk bisa mengelola seluruh SDA
yang terdapat di Indonesia dengan tujuan agar bisa
mewujudkan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. 79

Pengelolaan SDA sebagai bagian dari perwujudan


perekonomian nasional dibatasi dengan prinsip-prinsip
yang diatur dalam Pasal 33 Ayat (4).

Hak asasi manusia atas lingkungan hidup (the right to


environment) sangat berkaitan erat dengan hak atas
pembangunan (the right to development). Pembahasan hak
atas lingkungan hidup tidak bersifat tunggal secara

79 Pasal 33 ayat 3 UUD NRI 1945

150
PEMENUHAN RUANG TERBUKA HIJAU: PERLINDUNGAN HAK ATAS LINGKUNGAN
HIDUP YANG BAIK BAGI MASYARAKAT PERKOTAAN PASCA COVID-19

subtantif saja, tetapi terdapat hak-hak derivatif mengenai


sejauh mana kualitas hak atas lingkungan hidup dapat
terpenuhi secara prosedural melalui access to information,
public participation in decision-making dan access to justice
(Usman, 2018).

Hal ini bisa menjadi jembatan dalam memahami relasi


antara Pasal 28 H Ayat (1) dan Pasal 33 Ayat (4). Bahwa
perekonomian nasional yang akan mendorong
terpenuhinya hak atas pembangunan mesti dijalankan
dalam berbagai prinsip. Secara khusus, terdapat 3 prinsip
yang berkaitan dengan lingkungan hidup, yakni prinsip
keberlanjutan, berwawasan lingkungan, dan
keseimbangan kemajuan. Sehingga, pembangunan
nasional yang dijalankan tetap dalam koridor pemenuhan
HAM, secara khusus hak atas lingkungan hidup.

Selanjutnya, ketentuan dalam konstitusi ini


diterjemahkan ke dalam berbagai peraturan perundang-
undangan. Secara khusus di dalam artikel ini akan
dipertajam pembahasan pada aspek hak atas lingkungan
hidup bagi masyarakat perkotaan. Dalam hal ini, kami
akan menganalisa 2 Undang-Undang (UU) utama, yakni
UU No. 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang (UU
Penataan Ruang) dan UU No. 32 tahun 2009 tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU
PPLH) serta berbagai instrumen turunannya yang dapat
memenuhi hak atas lingkungan hidup yang baik bagi
masyarakat perkotaan.

151
PEMENUHAN RUANG TERBUKA HIJAU: PERLINDUNGAN HAK ATAS LINGKUNGAN
HIDUP YANG BAIK BAGI MASYARAKAT PERKOTAAN PASCA COVID-19

UU Penataan Ruang.

UU ini lahir untuk mewujudkan tata kelola ruang yang


harmonis dengan lingkungan alam dan lingkungan
buatan, yang mampu mewujudkan keterpaduan
penggunaan sumber daya alam dan sumber daya buatan
serta dapat memberikan perlindungan terhadap fungsi
ruang dan pencegahan dampak negatif terhadap
lingkungan hidup akibat pemanfaatan ruang.80

Tata ruang menjadi sangat penting dalam pembangunan.


Hal ini karena tata ruang sebagai salah satu instrumen
untuk menjamin kelestarian lingkungan hidup atau
setidaknya mencegah terjadinya pencemaran dan
kerusakan yang terjadi akibat pembangunan yang
dilakukan. Seseorang tidak bisa serta melakukan
pembangunan dalam suatu kawasan atau wilayah tanpa
memperhatikan rencana tata ruang wilayah (RTRW) pada
kawasan tersebut. Selain itu sebagai jaminan pelestarian
lingkungan, di dalam RTRW ditetapkan sebagawa
kawasan hutan paling sedikit 30% dari luas daerah aliran
sungai.81

Secara khusus wilayah kota/ kabupaten juga diberikan


kewenangan untuk mengatur penyelenggaraan penataan
ruang untuk daerahnya, termasuk dalam membuat

80 Pasal 3 UU Penataan Ruang

81 Pasal 17 ayat 5 UU Penataan Ruang

152
PEMENUHAN RUANG TERBUKA HIJAU: PERLINDUNGAN HAK ATAS LINGKUNGAN
HIDUP YANG BAIK BAGI MASYARAKAT PERKOTAAN PASCA COVID-19

RTRW. 82 RTRW inilah yang selanjutnya menjadi dasar


dalam melakukan pemanfaatan dan pengendalian ruang
di wilayah kota. 83

Wilayah kota dibebani kewenangan tambahan yakni


mengatur secara khusus rencana penyediaan dan
pemanfaatan Ruang Terbuka Hijau (RTH).84 Proporsi RTH
ini sekurang-kurangnya 30% dari luas wilayah kota.
Pemenuhan RTH merupakan instrumen yang menjadi
bagian dari instrumen perencanaan tata ruang wilayah
kota, sehingga hal ini menjadi kewajiban pemerintah
daerah, secara otonom untuk mengalokasikan 30% dari
luas wilayahnya untuk disterilkan dari pembangunan
yang dapat mengancam keseimbangan wilayah.

UU PPLH

Dasar pemikiran yang mengilhami lahirnya UU PPLH


sebagai umbrella act atau payung hukum terkait dengan
peraturan perundang-undangan di bidang lingkungan
hidup ialah bahwa regulasi ini merupakan wujud
tanggung jawab negara dalam memenuhi hak asasi dan
konstitusional warga negara terkait pemenuhan hak atas
lingkungan hidup yang baik dan sehat serta pelaksanaan

82 Pasal 11 UU Penataan Ruang

83 Pasal 26 ayat 2 UU Penataan Ruang

84 Pasal 28 poin a UU Penataan Ruang

153
PEMENUHAN RUANG TERBUKA HIJAU: PERLINDUNGAN HAK ATAS LINGKUNGAN
HIDUP YANG BAIK BAGI MASYARAKAT PERKOTAAN PASCA COVID-19

perekonomian nasional yang berwawasan lingkungan


hidup (Sembiring, dkk., 2014).

Dalam mewujudkan tujuan UU PPLH, terdapat berbagai


instrumen yang saling berkaitan, diantaranya: (a)
Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan
Hidup (RPPLH); (b) Kajian Lingkungan Hidup Strategis
(KLHS); (c) Baku Mutu Lingkungan Hidup (BMLH); (d)
Analisis mengenai dampak Lingkungan Hidup (AMDAL) /
Upaya Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Upaya
Pemantauan Lingkungan (UKL-UPL); (e) Izin Lingkungan.

a. RPPLH merupakan perencanaan tertulis yang


memuat potensi, masalah lingkungan hidup, serta
upaya perlindungan dan pengelolaan lingkungan
hidup dalam kurun waktu tertentu. Dalam
pembentukannya, RPPLH ini berjenjang mulai dari
RPPLH Nasional dalam bentuk Peraturan
Pemerintah, RPPLH Provinsi dalam bentuk
Peraturan daerah Provinsi, dan RPPLH
Kabupaten/Kota dibentuk dalam Peraturan
Daerah/Kabupaten Kota. RPPLH mesti memenuhi
komponen dari proses yang dinamis dan interaktif
untuk Pengelolaan SDA dan perlindungan
lingkungan hidup yakni : Inventarisasi; Evaluasi;
Perencanaan; Pengelolaan; dan Pemantauan (Syarif,
2014).
b. KLHS merupakan rangkaian analisis yang
sistematis, menyeluruh dan partisipatif untuk

154
PEMENUHAN RUANG TERBUKA HIJAU: PERLINDUNGAN HAK ATAS LINGKUNGAN
HIDUP YANG BAIK BAGI MASYARAKAT PERKOTAAN PASCA COVID-19

memastikan prinsip pembangunan berkelanjutan


telah menjadi dasar dan terintegrasi dalam
pembangunan suatu wilayah (Syarif, 2014). KLHS
bersifat khusus bagi masing-masing RTRW, artinya
karena setiap wilayah mempunyai karakteristik
lingkungan yang berbeda maka diperluakan kajian
khusus tersendiri. RTRW harus diintegrasikan
sesuai dengan KLHS dengan cara:
1) Penyusunan dokumen KLHS untuk menjadi
masukan bagi RTRW atau KRP tata ruang,
2) Melebur proses KLHS dengan proses
penyusunan RTRW atau KRP tata ruang
(Setyabudi, n.d.).
c. BMLH merupakan ukuran batas atau kadar
makhluk hidup, zat, energi atau komponen yang ada
atau harus ada dan/atau unsur pencemar yang
ditenggang keberadaannya dalam suatu sumber
daya tertentu sebagai unsur lingkungan hidup.
BMLH ini merupakan penentu dalam menetapkan
pencemaran berdasarkan peraturan hukum (Syarif,
2014).
d. AMDAL merupakan kajian mengenai dampak
penting suatu usaha dan/atau kegiatan yang
direncakanan pada lingkungan hidup yang
diperlukan bagi proses pengambilan keputusan
tentang penyelenggaraan usaha dan/atau kegiatan.
Sementara UKL-UPL merupakan pengelolaan dan

155
PEMENUHAN RUANG TERBUKA HIJAU: PERLINDUNGAN HAK ATAS LINGKUNGAN
HIDUP YANG BAIK BAGI MASYARAKAT PERKOTAAN PASCA COVID-19

pemantauan terhadap usaha dan/atau kegiatan


yang tidak berdampak penting terhadap lingkungan
hidup yang diperlukan bagi proses pengambilan
keputusan tentang penyelenggaraan usaha
dan/atau kegiatan (Syarif, 2014).
e. Izin Lingkungan merupakan izin yang diberikan
kepada setiap orang yang melakukan usaha
dan/atau kegiatan yang wajib amdal atau UKL-UPL
dalam rangka perlindungan dan pengelolaan
lingkungan hidup sebagai prasyarat untuk
memperoleh izin usaha dan/atau kegiatan.85

Ruang Terbuka Hijau

Regulasi

Secara normatif, pemenuhan RTH di kawasan perkotaan


terbagi atas RTH Publik sebanyak 20% dan RTH Privat
sebanyak 10%. UUPPLH mengamanatkan dalam aspek
penataan ruang, terlebih dahulu harus memuat KLHS. Di
dalam upaya pemenuhan RTH, dibutuhkan suatu
perencanaan tata ruang yang matang. Perencanaan tata
ruang adalah suatu proses untuk menentukan struktur
ruang dan pola ruang yang meliputi penyusunan dan
penetapan rencana tata ruang. Perencanaan tata ruang di
wilayah perkotaan tertuang di dalam dan menghasilkan
suatu RTRW.

85 Pasal 1 Angka 35 UU PPLH

156
PEMENUHAN RUANG TERBUKA HIJAU: PERLINDUNGAN HAK ATAS LINGKUNGAN
HIDUP YANG BAIK BAGI MASYARAKAT PERKOTAAN PASCA COVID-19

Pemerintah Daerah (Pemda) melalui suatu perencanaan


pembangunan daerah mengakomodir rencana
pemenuhan RTH di wilayah kotanya mengingat
pemenuhan RTH termasuk ke dalam Urusan
Pemerintahan Wajib. Dokumen perencanaan
pembangunan daerah terdiri atas :86

a. Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah


(RPJPD), disusun dengan berpedoman pada Rencana
Pembangunan Jangka Panjang Daerah Nasional
(RPJPN) dan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW);
b. Rencana Pembangunan Jangka Menengan Daerah
(RPJMD); dan
c. Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD).

Daerah melalui perangkat daerahnya menyusun Rencana


Strategis (Renstra) dengan berpedoman pada RPJMD.
Renstra memuat tujuan, sasaran, program, dan kegiatan
pembangunan dalam rangka pelaksanaan Urusan
Pemerintahan Wajib dan/atau Urusan Pemerintahan
Pilihan sesuai dengan tugas dan fungsi setiap Perangkat
Daerah.

Tantangan

UU Penataan Ruang mengamanatkan secara tegas bahwa


kawasan perkotaan harus memuat rencana tata ruang
penyediaan dan pemanfaatan RTH dengan luas minimal

86 Pasal 263 Ayat (1) UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah

157
PEMENUHAN RUANG TERBUKA HIJAU: PERLINDUNGAN HAK ATAS LINGKUNGAN
HIDUP YANG BAIK BAGI MASYARAKAT PERKOTAAN PASCA COVID-19

30% dari luas wilayah kota. Sayangnya, sejumlah data


menunjukkan kecenderungan terjadinya penurunan
kuantitas ruang publik, terutama RTH pada 30 tahun
terakhir dengan sangat signifikan. Di kota besar seperti
Jakarta, Surabaya, Medan dan Bandung, luas RTH telah
berkurang dari 35% pada awal tahun 1970-an menjadi
kurang dari 10% pada tahun 2010. RTH yang ada
sebagian besar telah dikonversi menjadi infrastruktur
perkotaan seperti jaringan jalan, gedung-gedung
perkantoran, pusat perbelanjaan dan kawasan
permukiman baru (Siahaan, 2010).

Umumnya beberapa permasalahan RTH di kawasan


perkotaan meliputi gejala yakni: (a) Pembangunan kota
yang cenderung meminimalkan RTH; (b) Alih fungsi lahan-
lahan yang berfungsi lindung menjadi bangunan
perkotaan, perdagangan, industri maupun pemukiman;
dan (c) Kurangnya dukungan kebijakan terhadap
keberadaan RTH (Moniaga, 2010). Ketersediaan RTH di
kawasan perkotaan secara langsung atau tidak
dipengaruhi oleh kegiatan pembangunan. Hal ini juga
diperparah dengan buruknya perilaku sosial sebagian
masyarakat yang cenderung kontra-produktif dan
destruktif terhadap upaya perlindungan lingkungan
hidup termasuk dalam pemenuhan RTH. Berikut
merupaka uraian tantangan pemenuhan RTH dalam
berbagai aspek yakni:

158
PEMENUHAN RUANG TERBUKA HIJAU: PERLINDUNGAN HAK ATAS LINGKUNGAN
HIDUP YANG BAIK BAGI MASYARAKAT PERKOTAAN PASCA COVID-19

a. Aspek Fisik

Dari aspek fisik, tantangan pemenuhan RTH


berkaitan erat dengan ketersediaan dan kestabilan
lahan. Sub-optimalisasi ketersediaan RTH
menghadapi isu utama yang berkaitan dengan
kenyataan masih kurang memadainya proporsi
wilayah yang dialokasikan untuk ruang terbuka
maupun rendahnya rasio jumlah ruang terbuka per
kapita yang tersedia (Dwiyanto, 2009). Selain
permasalahan terbatasnya ketersediaan lahan,
tantangan lain yang menjadi momok yang
memperparah krisis lahan dalam pemenuhan RTH di
wilayah kota adalah isu alih fungsi lahan.
Pelanggaran alih fungsi lahan di kawasan perkotaan
dapat terjadi karena terbatasnya lahan sebagai
dampak dari pesatnya pembangunan, laju
pertumbuhan penduduk dan urbanisasi (Sholihah &
Sabarisman, 2018).

Pemda masih menganggap bahwa pemenuhan RTH


bukan merupakan kewajiban utama oleh
pemerintah. Dibanding dengan kebijakan lain,
seperti memberikan kemudahan investasi maupun
pembangunan yang secara nyata akan dirasakan
langsung manfaatnya oleh masyarakat. Pemerintah
daerah perlu menginternalisasi nilai bahwa
pemenuhan RTH akan berdampak jangka panjang

159
PEMENUHAN RUANG TERBUKA HIJAU: PERLINDUNGAN HAK ATAS LINGKUNGAN
HIDUP YANG BAIK BAGI MASYARAKAT PERKOTAAN PASCA COVID-19

terhadap kualitas lingkungan hidup bagi


masyarakatnya.

b. Aspek Kelembagaan

Belum adanya kelembagaan yang bersifat permanen,


yang memisahkan fungsi regulator dan fungsi
operator dalam pengelolaan RTH masih menjadi
tantangan yang bersifat klise. Di samping itu,
kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) yang tersedia
juga harus ditingkatkan untuk dapat memelihara
dan mengelola RTH secara lebih professional
(Dwiyanto, 2009).

c. Aspek Sosial

Tantangan yang dihadapi yakni seputar masih


rendahnya pengetahuan dan kesadaran masyarakat
terhadap pengelolaan lingkungan hidup terutama
dalam hal RTH. Persepsi masyarakat terhadap
pengelolaan RTH masih menganggap tanggungjawab
sepenuhnya ada pada pemerintah. Di sisi lain,
secara sosial, tingginya tingkat kriminalitas dan
konflik horizontal di antara kelompok masyarakat
perkotaan secara tidak langsung juga dapat
disebabkan oleh kurangnya ruang-ruang kota yang
dapat menyalurkan kebutuhan interaksi sosial
untuk pelepas ketegangan yang dialami oleh
masyarakat perkotaan. Rendahnya kualitas
lingkungan perumahan dan penyediaan ruang

160
PEMENUHAN RUANG TERBUKA HIJAU: PERLINDUNGAN HAK ATAS LINGKUNGAN
HIDUP YANG BAIK BAGI MASYARAKAT PERKOTAAN PASCA COVID-19

terbuka publik secara psikologis telah menyebabkan


kondisi mental dan kualitas sosial masyarakat yang
makin buruk dan tertekan (Dwiyanto, 2009).

Pandemi COVID-19

Pemerintah perlu memahami betul bahwa munculnya


pandemi Coronavirus Disease 2019 (COVID-19)
merupakan alarm bagi umat manusia secara umum
bahwa terjadi toxic relationship atau hubungan yang
buruk antara manusia dan lingkungan. Pada tahun 2019
luasan deforestasi mencapai 462.458 hektare (KLHK,
2020). Dalam kurun waktu 2011-2016 total deforestasi
Indonesia 9.184.631 hektare (Austin, Schwantes, Gu,
Kasibhatla, 2019). Deforestasi ini akhirnya berakibat pada
hilangnya habitat berbagai macam keanekaragaman
hayati termasuk satwa liar yang kemungkinan besar di
dalam dirinya terdapat virus pelindung diri. Jika terjadi
interaksi antara manusia dengan satwa liar yang
habitatnya telah hilang, bukan hal yang mustahil
manusia akan terpapar oleh virus tersebut, seperti yang
terjadi pada fenomena COVID-19 yang perkirakan berasal
dari Kelelawar (Andersen, 2020).

Dampak penyebaran COVID-19 menyentuh hampir


seluruh aspek kehidupan masyarakat. Awalnya hanya
aspek kesehatan, namun akibat pemberlakuan kebijakan
Physical Distancing dan Work From Home yang berdampak
pada berkurangnya interaksi fisik antara individu di

161
PEMENUHAN RUANG TERBUKA HIJAU: PERLINDUNGAN HAK ATAS LINGKUNGAN
HIDUP YANG BAIK BAGI MASYARAKAT PERKOTAAN PASCA COVID-19

ruang publik, terjadi efek domino terhadap sektor lain


seperti ekonomi, sosial dan politik yang terlihat dari
meningkatnya pengangguran dan kemiskinan, kerawanan
pangan, kekerasan dalam rumah tangga, gangguan
keamanan dan potensi konflik sosial.87

Dalam menghadapi COVID-19 ini menurut keterangan


Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan
Kebudayaan (Menko PMK), Muhadjir Effendy, pemerintah
menetapkan 3 statregi yang menjadi ujung tombak dalam
penanganan COVID-19, yakni : (a) sektor kesehatan yang
menjadi tanggung jawab Kementerian Kesehatan dan
Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB); (b)
Sektor sosial kemasyarakatan yang menjadi tanggung
jawab Kementerian Sosial, Kementerian Desa,
Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi yang
bertugas untuk mempersiapkan jaringan pengaman
social; dan (c) Sektor Ekonomi yang menjadi tanggung
jawab kementerian koordinator Perekonomian, dan
kementerian di bawahnya. Selain itu Presiden Joko
Widodo juga memerintahkan agar Pemerintah daerah
melakukan refocusing dan realokasi khusus Anggaran

87 https://theconversation.com/analisis-cenderung-top-down-pemerintah-
belum-manfaatkan-gotong-royong-untuk-atasi-pandemi-139224 diakses pada
25 Juni 2020

162
PEMENUHAN RUANG TERBUKA HIJAU: PERLINDUNGAN HAK ATAS LINGKUNGAN
HIDUP YANG BAIK BAGI MASYARAKAT PERKOTAAN PASCA COVID-19

Pendapatan Belanja Daerah (APBD) untuk ketiga sektor


tersebut.88

Selain hal di atas, pemerintah dengan dalih kegentingan


yang memaksa juga telah menetapkan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang Undang (PERPPU) No. 1
Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan
Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi
Coronavirus Disease 2019 (COVID-19) dan/atau dalam
rangka menghadapi Ancaman yang membahayakan
Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem
Keuangan. PERPPU ini juga telah mendapat persetujuan
dari Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan kemudian
ditetapkan menjadi Undang-Undang No. 2 Tahun 2020
(Juliani, 2020).

Tantangan Pemenuhan RTH di masa Pandemi

Di masa Pandemi COVID-19 Tantangan pemenuhan RTH


lebih berat, dikarenakan berbagai faktor yang lebih lanjut
dijelaskan di bawah ini:

a. Fokus Prioritas Kebijakan Pemerintah.

UU No. 2 Tahun 2020 telah menetapkan prioritas


kebijakan pemerintah untuk mempercepatan
penanganan COVID-19 (refocusing kegiatan dan
realokasi anggaran) pada sektor kesehatan, ekonomi

88 https://setkab.go.id/3-strategi-pemerintah-hadapi-covid-19-penanganan-
kesehatan-jaring-pengaman-sosial-dan-ekonomi/ diakses pada 25 Juni 2020

163
PEMENUHAN RUANG TERBUKA HIJAU: PERLINDUNGAN HAK ATAS LINGKUNGAN
HIDUP YANG BAIK BAGI MASYARAKAT PERKOTAAN PASCA COVID-19

dan sosial melalui berbagai kebijakan relaksasi yang


berkaitan dengan pelaksanaan Anggaran
Pendapatan Belanja Negara (APBN), khususnya
dengan melakukan peningkatan belanja untuk
kesehatan, pengeluaran untuk jaring pengamanan
sosial (social safety net) dan pemulihan
perekonomian serta memperkuat kewenangan
berbagai lembaga dalam sektor keuangan (Juliani,
2020).

Kebijakan ini pada dasarnya tidak keliru, mengingat


keselamatan warga negara adalah hukum yang
tertinggi “Salus populi suprema lex esto”. 89

Namun, praktis kebijakan ini akan berdampak pada


berkurangnya fokus pada kebijakan pemerintah
dalam sektor yang lain, termasuk sektor lingkungan
seperti pemenuhan RTH. Padahal pemenuhan RTH
membutuhkan alokasi anggaran, baik itu untuk
meningkatkan pembebasan lahan ataupun untuk
meningkatkan perawatan RTH, sehingga dapat
meningkatkan kuantitas dan kualitas RTH.

b. Pengawasan RTH yang Berkurang

Pandemi telah memaksa masyarakat untuk


mengurangi aktivitas di ruang publik yang mana
berdampak pada terbatasnya pengawasan

89 https://mkri.id/index.php?page=web.Berita&id=16326 diakses pada 25 Juni


2020

164
PEMENUHAN RUANG TERBUKA HIJAU: PERLINDUNGAN HAK ATAS LINGKUNGAN
HIDUP YANG BAIK BAGI MASYARAKAT PERKOTAAN PASCA COVID-19

pemerintah daerah terhadap pelaksanaan RTH dan


perawatan atau peningkatan kualitas RTH. Hal ini
meningkatkan risiko terjadinya alih fungsi lahan
yang telah ditetapkan menjadi kawasan RTH.

c. Melemahnya Penegakan Hukum Terhadap Pihak


yang Melakukan Pembangunan di Kawasan RTH.

Pembatasan sosial yang terjadi juga berdampak pada


melemahnya penegakan hukum terhadap pihak
yang melakukan alih fungsi lahan pada kawasan
RTH. Penegakan hukum membutuhkan proses yang
panjang dan membutuhkan profesionalisme penegak
hukum untuk bisa memproses suatu pelanggaran
maupun kejahatan hukum lingkungan. Tanpa
penegakan hukum, norma yang ada dalam undang-
undang menjadi utopis, karena tidak secara nyata
dapat di implementasikan di lapangan.

Pasca Pandemi

Lalu, pasca pandemi tantangan yang akan dihadapi


diantaranya:

a. Eksploitasi SDA yang Semakin Masif untuk Mengejar


Ketertinggalan Ekonomi di Masa Pandemi

Eksploitasi terhadap SDA di masa mendatang di


perkirakan akan semakin masif, bukan lagi sekedar
memenuhi kebutuhan manusia, melainkan untuk
memenuhi kepentingan kelompok tertentu yang

165
PEMENUHAN RUANG TERBUKA HIJAU: PERLINDUNGAN HAK ATAS LINGKUNGAN
HIDUP YANG BAIK BAGI MASYARAKAT PERKOTAAN PASCA COVID-19

hendak memperoleh keuntungan sebanyak-


banyaknya. Hal ini dapat kita lihat dari regulasi yang
telah di sahkan oleh pemerintah yakni UU Mineral
dan Batu Bara (Minerba) dan saat ini yang masih
terus didorong yakni Rancangan Undang-Undang
(RUU) Cipta kerja yang dinilai berbagai kalangan
akan memperburuk tata kelola SDA di Indonesia.
Hal ini boleh jadi merupakan upaya untuk mengejar
ketertinggalan peningkatan ekonomi yang saat ini
sedang mandek akibat Pandemi COVID-19.

b. Alih Fungsi Lahan RTH

Meningkatnya jumlah penduduk yang terjadi di


perkotaan atau akan mendorong alih fungsi lahan
yang semakin massif, untuk memenuhi kebutuhan
lahan bagi penduduk baru. Alih fungsi lahan ini
akan mengancam kuantitas dan kualitas RTH di
suatu kawasan. Jika pemerintah tidak melakukan
perencanaan penganggaran RTH yang memadai
khususnya dalam kebijakan pembebasan lahan,
maka hal ini akan berdampak pada semakin
berkurangnya lahan RTH setiap tahun, dan
membuat alokasi pemenuhan 30 % wilayah di suatu
kota sebagai kawasan RTH menjadi norma yang
utopis.

166
PEMENUHAN RUANG TERBUKA HIJAU: PERLINDUNGAN HAK ATAS LINGKUNGAN
HIDUP YANG BAIK BAGI MASYARAKAT PERKOTAAN PASCA COVID-19

c. Krisis Iklim Semakin Parah

Saat ini dunia menghadapi tantangan perubahan


iklim yang semakin nyata yang dapat kita lihat dari
semakin tidak menentunya cuaca dan musim juga
semakin seringnya terjadi cuaca ekstrem yang
berdampak pada terjadinya bencana ekologis. Hal
tersebut harusnya menjadi perhatian besar bagi
pemerintah. Dalam melakukan pembangunan,
pemerintah wajib menjadikan prinsip kelestarian
lingkungan dan berkelanjutan sebagai dasar
pengambilan kebijakan pembangunan.

PENUTUP

Kesimpulan

Pemenuhan RTH merupakan salah satu kewajiban


pemerintah untuk mewujudkan hak atas lingkungan
hidup yang baik dan sehat khususnya bagi masyarakat
perkotaan. Hal tersebut merupakan bagian dari hak
konstisional yang wajib dipenuhi oleh pemerintah. Di
tengah fenomena Pandemi COVID-19 yang memaksa
masyarakat untuk mengurangi aktivitas di ruang publik
sebagai upaya untuk menekan dan memutus mata rantai
penyebaran virus, Pemerintah Indonesia mengeluarkan
kebijakan untuk memprioritaskan 3 sektor utama, yakni
kesehatan, ekonomi, dan sosial.

Kebijakan tersebut berimplikasi terhadap semakin tidak


ditempatkannya pemenuhan RTH sebagai agenda

167
PEMENUHAN RUANG TERBUKA HIJAU: PERLINDUNGAN HAK ATAS LINGKUNGAN
HIDUP YANG BAIK BAGI MASYARAKAT PERKOTAAN PASCA COVID-19

prioritas pemerintah saat ini. Padahal, keberadaan RTH


sangat penting untuk menjamin kualitas kehidupan
masyarakat perkotaan yang mana sejalan dengan
pemenuhan hak konstitusional warga negara yakni hak
atas lingkungan hidup yang baik dan sehat. Selain itu,
perkembangan kehidupan masyarakat kota yang dinamis
akan berdampak pada alih fungsi lahan RTH, sehingga
dibutuhkan upaya yang lebih untuk meningkatkan
kuantitas dan kualitas RTH dengan minimal 30% dari luas
keseluruhan wilayah kota sesuai ketentuan UU Penataan
Ruang dan untuk itu membutuhkan anggaran untuk
pembebasan lahan dan perawatannya.

Saran

a. Pemerintah perlu memprioritaskan lingkungan


hidup dalam melaksanakan pembangunan.
b. Penegakan hukum yang tegas kepada para pihak
yang mengabaikan tanggung jawab dan perannya
dalam pemenuhan RTH.
c. Akademisi perlu melakukan kajian mendalam terkait
dengan nilai ekologis suatu kawasan sehingga alih
fungsi lahan yang terjadi dapat ditekan dengan
berdasarkan dalil ilmiah yang akuntabel.

UCAPAN TERIMA KASIH

Ucapan terima kasih kepada kawan-kawan di


Environment Law Forum (ELF) dan para relawan yang
telah melaksanakan riset Pemenuhan RTH di Kota

168
PEMENUHAN RUANG TERBUKA HIJAU: PERLINDUNGAN HAK ATAS LINGKUNGAN
HIDUP YANG BAIK BAGI MASYARAKAT PERKOTAAN PASCA COVID-19

Makassar pada tahun 2019, juga kepada Pemerintah Kota


Makassar yang menyediakan data untuk memenuhi
kebutuhan riset. Terakhir, kepada Pembina ELF, Dr.
Maskun S.H. M.H yang selalu mendukung kegiatan ELF
dalam melaksanakan kampanye lingkungan hidup.

DAFTAR PUSTAKA

Afrihatmoko, F. (2013), “Analisis Hubungan Antara Ruang


Terbuka Hijau (RTH) dan Indeks Kenyamanan (Studi
Kasus: Kota Yogyakarta)” (Institut Pertanian Bogor).
Andersen, K. G., Rambaut, A., Lipkin, W.I., dkk. (2020),
“The proximal origin of SARS-CoV-2” Nat
Med 26, 450–452, DOI: https://doi.org/10.1038/
s41591-020-0820-9, hlm. 451.
Austin, K. G., Schwantes, A., Gu, Y., Kasibhatla, P. S.
(2019), “What causes deforestation in Indonesia?.”
Environmental Research Letters. 14(2).
Dwiyanto, A. (2009), “Kuantitas dan Kualitas Ruang
Terbuka Hijau di Permukiman Perkotaan”. Jurnal
Teknik 30 (2).
https://mediaindonesia.com/read/detail/315929-
presiden-penerapan-new-normal-melihat-data-
epidemologi diakses pada 24 Juni 2020.
https://mkri.id/index.php?page=web.Berita&id=16326
diakses pada 25 Juni 2020.
https://setkab.go.id/3-strategi-pemerintah-hadapi-
covid-19-penanganan-kesehatan-jaring-pengaman-
sosial-dan-ekonomi/ diakses pada 25 Juni 2020.
https://theconversation.com/analisis-cenderung-top-
down-pemerintah-belum-manfaatkan-gotong-royong-
untuk-atasi-pandemi-139224 diakses pada 25 Juni
2020.

169
PEMENUHAN RUANG TERBUKA HIJAU: PERLINDUNGAN HAK ATAS LINGKUNGAN
HIDUP YANG BAIK BAGI MASYARAKAT PERKOTAAN PASCA COVID-19

https://theconversation.com/jangan-salahkan-
kelelawar-atas-merebaknya-coronavirus-135204
diakses pada 24 Juni 2020.
https://www.worldometers.info/coronavirus/ diakses
pada 24 Juni 2020.
Juliani, H. (2020), “Analisis Yuridis Kebijakan Keuangan
Negara dalam Penanganan Pandemi Covid-19 Melalui
Peraturan Pemerintah Pengganti UndangUndang
Nomor 1 Tahun 2020 “Administrative Law &
Governance Journal 3 (2).
KLHK, (2020), Statistik Bidang Planologi Kehutanan dan
Tata Lingkungan tahun 2019, (Jakarta: KLHK).
Moniaga, I. L. (2010), “Ruang Terbuka Hijau (RTH)
Perkotaan”. Jurnal Tekno, 8 (54).
Sembiring, R., dkk, (2014), Anotasi Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup, Edisi Pertama,
(Jakarta: Indonesian Center for Environmental Law).
Setyabudi, B. (n. d.) Pertimbangan-Pertimbangan dalam
Penerapan Kajian Lingkungan Hidup Strategis Untuk
Kebijakan, Rencana, dan Program Penataan Ruang.
Sholihah, I. & Sabarisman, M. (2018), “Pemenuhan
Kesejahteraan Sosial Melalui Optimalisasi Ruang
Terbuka Hijau di Kawasaan Perkotaan dalam
Perspektif Hukum dan Kebijakan”. Jurnal Sosio
Informa 4 (1).
Siahaan, J. (2010), “Ruang Publik: Antara Harapan dan
Kenyataan”. Bulletin Tata Ruang Online Edisi Juli –
Agustus. http://tataruang. atr-bpn. go. id/ Bulletin/
index. asp?mod =_ fullart&idart=265.
Syarif, L. M, dkk. (2014), Hukum Lingkungan Teori,
Legislasi, Studi Kasus, (Jakarta: USAID-Kemitraan
Partnership: The Asia Foundation)
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945

170
PEMENUHAN RUANG TERBUKA HIJAU: PERLINDUNGAN HAK ATAS LINGKUNGAN
HIDUP YANG BAIK BAGI MASYARAKAT PERKOTAAN PASCA COVID-19

Undang-Undang Nomor 23Tahun 2014 tentang


Pemerintah Daerah
Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan
Ruang
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
Usman, A. S. (2018), “Lingkungan Hidup Sebagai Subjek
Hukum: Redefenisi Relasi Hak Asasi Manusia Dan
Hak Asasi Lingkungan Hidup Dalam Perspektif Negara
Hukum”, Legality, ISSN:2549-4600, Vol. 26, No. 1,
Maret 2018-Agustus.

171
172
5
Kesadaran Hukum Mahasiswa di
D.K.I. Jakarta terhadap
Penggunaan Sampah Plastik
Sekali Pakai Selama Masa
Pembatasan Sosial Berskala Besar
Ditinjau Berdasarkan Peraturan
Daerah Provinsi DKI Jakarta
Nomor 3 Tahun 2013 Tentang
Pengelolaan Sampah

Ayu Fitriyani
Fakultas Hukum Universitas Pancasila
ayyfitriyani28@yahoo.com

Abstrak

Pada Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) akibat


pandemi Covid-19, mahasiswa cenderung melakukan
aktivitas Study Frome Home. Hal ini dinilai mendorong
meningkatnya sampah plastik sekali pakai terutama
akibat pembelian barang dan makanan/minuman secara
online. Sementara itu, pengelolaan tentang sampah sudah
diatur dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 dan
di D.K.I. Jakarta terdapat pula Peraturan Daerah

173
KESADARAN HUKUM MAHASISWA DI D.K.I. JAKARTA TERHADAP PENGGUNAAN
SAMPAH PLASTIK SEKALI PAKAI SELAMA MASA PEMBATASAN SOSIAL BERSKALA
BESAR DITINJAU BERDASARKAN PERATURAN DAERAH PROVINSI DKI JAKARTA
NOMOR 3 TAHUN 2013 TENTANG PENGELOLAAN SAMPAH

mengenai hal ini. Penelitian ini bertujuan mengetahui


kesesuaian pengaturan tentang pengelolaan sampah di
tingkat nasional dan di daerah. Demikian pula
mengetahui pengetahuan dan praktik perilaku mahasiswa
terhadap pengelolaan sampah plastik selama masa PSBB
di Jakarta. Metode yang digunakan dalam penelitian ini
adalah yuridis-empiris. Pengumpulan data empiris
dilakukan dengan cara menyebarkan kuesioner secara
online kepada 150 mahasiwa yang berdomisili di D.K.I
Jakarta. Kesimpulan yang didapat ialah, bahwa
sesungguhnya peraturan perundang-undangan tentang
pengelolaan sampah memiliki substansi yang sangat baik
dan berwawasan lingkungan, namun penerapan dalam
kehidupan sehari-hari masih terdapat masalah. Dari sisi
pengetahuan, mahasiswa mengerti tentang pengelolaan
sampah plastik yang benar. Namun dalam perilaku
umumnya tidak menerapkan. Terkait dengan pemilahan
sampah misalnya, tidak dilakukan dengan baik. Salah
satu sebab karena pemerintah daerah tidak menyiapkan
fasilitas pendukung. Persoalan kesadaran hukum
karenanya berkaitan juga dengan tanggung jawab
pemerintah untuk mendukung masyarakat berperilaku
sesuai yang diperintahkan.

Kata Kunci: sampah plastik, mahasiswa, Covid-19,


D.K.I Jakarta

174
KESADARAN HUKUM MAHASISWA DI D.K.I. JAKARTA TERHADAP PENGGUNAAN
SAMPAH PLASTIK SEKALI PAKAI SELAMA MASA PEMBATASAN SOSIAL BERSKALA
BESAR DITINJAU BERDASARKAN PERATURAN DAERAH PROVINSI DKI JAKARTA
NOMOR 3 TAHUN 2013 TENTANG PENGELOLAAN SAMPAH

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Saat ini dunia sedang dilanda oleh musibah yang


berimbas pada kesehatan seluruh umat manusia, yaitu
Corona Virus Disease 2019 (Covid-19). Covid-19 ialah
sebuah penyakit yang menular dan disebabkan oleh jenis
virus Korona yang baru ditemukan pertama kalinya di
daerah Wuhan, Tiongkok, bulan Desember 2019 lalu
(Yasmin, 2020). Hingga saat ini, penyebaran Covid-19
makin meluas, tidak hanya di Indonesia, namun ke
seluruh bagian dunia termasuk benua Eropa, Amerika,
Australia dan juga Asia. Covid-19 dinyatakan menjadi
sebuah pandemi, yaitu suatu wabah penyakit yang telah
menyebar ke beberapa negara atau benua dan
menjangkiti banyak orang (WHO, 2007).

Berdasarkan data sementara dari Worldometers, pada


tanggal 15 Juni 2020, jumlah total kasus positif Covid-19
di seluruh dunia telah menyentuh angka 7.981.570
pasien. Sejauh ini, pandemi virus tersebut telah menelan
korban sebanyak 435.159 jiwa. Di sisi lain, total jumlah
pasien Covid-19 yang berhasil sembuh yaitu sebanyak
4.103.335 orang. Adapun kasus aktif saat ini adalah
sebanyak 3.443.076 (3,4 juta) terdiri dari 3.388.965 (3,4
juta) kasus kondisi ringan dan 54,111 kondisi serius
(Mukaromah, 2020). Di Indonesia sendiri sampai tanggal
15 Juni 2020 angka yang telah terkonfirmasi postif Covid-

175
KESADARAN HUKUM MAHASISWA DI D.K.I. JAKARTA TERHADAP PENGGUNAAN
SAMPAH PLASTIK SEKALI PAKAI SELAMA MASA PEMBATASAN SOSIAL BERSKALA
BESAR DITINJAU BERDASARKAN PERATURAN DAERAH PROVINSI DKI JAKARTA
NOMOR 3 TAHUN 2013 TENTANG PENGELOLAAN SAMPAH

19 menembus angka 38.277 pasien. Pasien yang berhasil


sembuh telah mencapai 14.531 orang. Sedangkan, total
pasien positif Covid-19 yang meninggal di Indonesia
mencapai 2.134 jiwa (Fatoni, 2020).

Berdasarkan data dari Suku Dinas Kesehatan D.K.I.


Jakarta, diketahui pada tanggal 15 Juni 2020 jumlah
pasien yang positif Covid-19 ialah sebanyak 8.978 orang,
dinyatakan sembuh 4.089 dan meninggal sebanyak 555
orang (Fatoni, 2020). Adapun data sementara pada
tanggal 14 Juni 2020, jumlah pasien Orang Dalam
Pemantauan (ODP) ialah sebanyak 49.737 orang dan
Pasien Dalam Pengawasan (PDP) ada sebanyak 13.656
orang (Dzulfaroh, 2020).

Berdasarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia


Nomor 11 Tahun 2020 tentang Penetapan Kedaruratan
Kesehatan Masyarakat Corona Virus Disease 2019 (Covid-
19) menetapkan bahwa, Covid-19 sebagai jenis penyakit
yang menimbulkan kedaruratan kesehatan masyarakat.
Dilihat dari jumlah kasus dan jumlah kematian yang
sudah cukup besar akibat wabah yang terjadi, maupun
penyebaran yang secara cepat pada beberapa wilayah dan
adanya keterkaitan terhadap kejadian serupa di negara
lainnya, maka Pemerintah mengeluarkan Peraturan
Pemerintah (PP) Nomor 21 Tahun 2020 Tentang
Pembatasan Sosial Berskala Besar Dalam Rangka
Percepatan Penanganan Corona Virus Disease 2019. PP

176
KESADARAN HUKUM MAHASISWA DI D.K.I. JAKARTA TERHADAP PENGGUNAAN
SAMPAH PLASTIK SEKALI PAKAI SELAMA MASA PEMBATASAN SOSIAL BERSKALA
BESAR DITINJAU BERDASARKAN PERATURAN DAERAH PROVINSI DKI JAKARTA
NOMOR 3 TAHUN 2013 TENTANG PENGELOLAAN SAMPAH

tersebut mengatur Pembatasan Sosial Berskala Besar


(PSBB) secara nasional dan diikuti dengan peraturan
daerah pada masing-masing wilayahnya yaitu meliputi,
peliburan sekolah dan tempat kerja, pembatasan kegiatan
keagamaan, maupun pembatasan kegiatan di tempat atau
fasilitas umum. PSBB merupakan pembatasan kegiatan
tertentu penduduk dalam suatu wilayah yang diduga
terinfeksi penyakit yang mana sebagai himbauan untuk
mencegah kemungkinan penyebaran penyakit atau
kontaminasi.1

Untuk menindaklanjuti ketentuan PSBB, Gubernur D.K.I.


Jakarta menerbitkan Peraturan Gubernur Nomor 33
Tahun 2020 Tentang Pelaksanaan Pembatasan Sosial
Berskala Besar Dalam Penanganan Corona Virus Disease
2019 (Covid-19) di Provinsi Daerah Khusus Ibukota
Jakarta. Salah satu tujuannya adalah untuk membatasi
kegiatan tertentu dan pergerakan orang atau barang
dalam menekan penyebaran Covid-19. Akibat ketentuan
PSBB tersebut, warga D.K.I. Jakarta harus melakukan
segala aktivitas peribadahan dirumah, penutupan pusat
perbelanjaan, menyarankan pada setiap konsumen
restoran untuk tidak makan pada tempatnya, hingga
sebagian besar lembaga dan lembaga pendidikan
memberlakukan kebijakan Work From Home, yaitu sebuah

1
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 Tentang Kekarantinaan Kesehatan,
Pasal 1 angka 11 (Republik Indonesia, 2018).

177
KESADARAN HUKUM MAHASISWA DI D.K.I. JAKARTA TERHADAP PENGGUNAAN
SAMPAH PLASTIK SEKALI PAKAI SELAMA MASA PEMBATASAN SOSIAL BERSKALA
BESAR DITINJAU BERDASARKAN PERATURAN DAERAH PROVINSI DKI JAKARTA
NOMOR 3 TAHUN 2013 TENTANG PENGELOLAAN SAMPAH

istilah untuk bekerja dari rumah dan Study From Home,


yang digunakan untuk sebagian besar mahasiswa atau
pelajar dalam melakukan aktivitas perkuliahan dan
belajar di rumah. Kondisi PSBB menyebabkan
penggunaan layanan belanja online dengan sistem pesan-
antar meningkat. Masyarakat lebih mudah untuk
membeli makanan maupun barang-barang bagi
kebutuhan sehari-hari (Yuswohady, 2020). Kegiatan
tersebut diduga mempengaruhi peningkatan produksi
sampah rumah tangga, khususnya produksi sampah
plastik sekali pakai.

Mahasiswa adalah salah satu kelompok masyarakat yang


banyak menggunakan layanan perdagangan online.
Mahasiswa adalah bagian dari generasi Millenial. Populasi
penduduk di Indonesia pada tahun 2020 lebih di dominasi
oleh generasi Millenial, dengan jumlah yang berkisar 35%
dari populasi yang ada. Di wilayah D.K.I, Jakarta,
penggunaan aplikasi belanja online pada generasi
Millenial sebanyak 93,6%, dan pada layanan aplikasi Food
Delivery penggunaannya sebanyak 77,6% (Alvara Sttategic
Research, 2019). Dari hal tersebut dapat disimpulkan
bahwa generasi ini memang lebih menyukai hal-hal yang
bersifat praktis. Maka dari itu pernyataan mengenai dapat
meningkatnya penumpukan kemasan sampah berjenis
sampah plastik sekali pakai dapat dimungkinkan, melihat
perilaku mahasiswa yang menggemari penggunaan

178
KESADARAN HUKUM MAHASISWA DI D.K.I. JAKARTA TERHADAP PENGGUNAAN
SAMPAH PLASTIK SEKALI PAKAI SELAMA MASA PEMBATASAN SOSIAL BERSKALA
BESAR DITINJAU BERDASARKAN PERATURAN DAERAH PROVINSI DKI JAKARTA
NOMOR 3 TAHUN 2013 TENTANG PENGELOLAAN SAMPAH

pemesanan barang dan makanan/minuman online


dengan sistem pesan-antar.

Menurut Kepala Dinas Lingkungan Hidup, Andono Warih,


tonase sampah di D.KI. Jakarta menurun selama masa
pandemi Covid-19 rata-rata sebanyak 620 ton/hari
(Nugraha & Mukti, 2020). Sampah pada nyatanya
memang berkurang, tetapi yang perlu digaris bawahi ialah
adanya pergeseran sumber sampah yang sebelumnya
disumbangkan oleh sejumlah tempat umum seperti
mall/supermarket, tempat hiburan, sekolah-sekolah,
tempat ibadah dan tempat wisata, menjadi bersumber
pada sampah-sampah dari rumah tangga.

Sebagai perbandingan pada saat kondisi normal sebelum


adanya Covid-19 yang melanda ini, tingkat produksi
sampah D.K.I. Jakarta mencapai 9.500-10.000 ton/hari.
Sampah yang dikirim ke Tempat Pembuangan Sampah
Terpadu (TPST) Bantargebang sekitar 7.500-7.800
ton/hari. Jika nyatanya sampah berkurang 620 ton/hari,
maka jumlah sisa sampah yang ada masih berkisar 7.000-
7.180 ton/hari. Dimana jumlah timbulan sampah
tersebut masih sangat besar, sementara semua zona TPST
Bantargebang sudah penuh (Tito, 2020).

Sampah plastik sekali pakai adalah salah satu jenis


sampah rumah tangga yang diduga makin tinggi
volumenya selama PSBB. Sampah plastik ini sulit terurai.
Sampah plastik berpotensi terurai menjadi partikel-

179
KESADARAN HUKUM MAHASISWA DI D.K.I. JAKARTA TERHADAP PENGGUNAAN
SAMPAH PLASTIK SEKALI PAKAI SELAMA MASA PEMBATASAN SOSIAL BERSKALA
BESAR DITINJAU BERDASARKAN PERATURAN DAERAH PROVINSI DKI JAKARTA
NOMOR 3 TAHUN 2013 TENTANG PENGELOLAAN SAMPAH

partikel kecil, yang disebut sebagai mikroplastik.


Ukurannya sebesar 0,3 hingga 5 milimeter. Namun,
partikel kecil inilah yang justru berbahaya, karena dapat
berpeluang masuk ke dalam tubuh makhluk hidup,
termasuk manusia. Dampak yang dapat ditimbulkan
diantaranya yaitu kanker, stroke, serta penyakit
pernapasan (Allbi & Fikrie, 2019).

Sampah plastik sendiri merupakan bagian dari jenis


sampah berupa sampah anorganik atau kering. Sampah
jenis ini adalah sampah yang tidak dapat terdegradasi
secara alami. Selain sampah plastik, juga ada sampah
anorganik lain seperti halnya logam, besi, kaleng, karet,
botol dan kaca (Tiara, 2018).

Menurut data Asosiasi Industri Olefin Aromatik dan


Plastik Indonesia (INAPLAS), 65 persen konsumsi plastik
nasional masih didominasi oleh plastik kemasan. Dari
total permintaan plastik kemasan, sekitar 60 persen
diserap oleh industri makanan dan minuman. Industri
minuman di Indonesia tumbuh 22,74 persen pada awal
tahun 2019. Ketika industri terus bertumbuh, maka
volume sampah plastik pun akan meningkat.
Diperkirakan pada 2050 mendatang, akan ada 12 miliar
ton sampah plastik di dunia. World Economic Forum
memprediksi lebih dari 32 persen sampah plastik
dimungkinkan tidak akan tertangani, hingga menjadi

180
KESADARAN HUKUM MAHASISWA DI D.K.I. JAKARTA TERHADAP PENGGUNAAN
SAMPAH PLASTIK SEKALI PAKAI SELAMA MASA PEMBATASAN SOSIAL BERSKALA
BESAR DITINJAU BERDASARKAN PERATURAN DAERAH PROVINSI DKI JAKARTA
NOMOR 3 TAHUN 2013 TENTANG PENGELOLAAN SAMPAH

sampah yang berujung mengotori daratan dan lautan


(Tiara, 2018).

Pemerintah telah menerbitkan Undang-Undang Nomor 18


Tahun 2008 Tentang Pengelolaan Sampah. Di dalamnya
tidak mengatur secara eksplisit dan bab khusus mengenai
aturan penggunaan sampah plastik sekali pakai. Namun
pada prinsipnya, undang-undang tersebut mengatur
mengenai Pengelolaan Sampah yang terdiri dari
pengurangan sampah dan penanganan sampah.
Pengurangan sampah meliputi kegiatan pembatasan
sampah, daur ulang sampah dan pemanfaatan sampah2.

Sampah menurut undang-undang tersebut meliputi,


sampah rumah tangga, sampah sejenis sampah rumah
tangga dan sampah spesifik. 3 Sampah rumah tangga
berasal dari kegiatan sehari-hari dalam lingkup
permukiman rumah tangga, tidak termasuk tinja dan
sampah spesifik. Adapun sampah sejenis sampah rumah
tangga yaitu, berasal dari kawasan komersial, kawasan
industri, kawasan khusus, fasilitas sosial, fasilitas umum,
dan/atau fasilitas lainnya. Sampah spesifik terdiri dari

2
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 Tentang Pengelolaan Sampah, Pasal
20 ayat (1), (Republik Indonesia, 2008).
3
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 Tentang Pengelolaan Sampah, Pasal
2 ayat (1), (Republik Indonesia, 2008).

181
KESADARAN HUKUM MAHASISWA DI D.K.I. JAKARTA TERHADAP PENGGUNAAN
SAMPAH PLASTIK SEKALI PAKAI SELAMA MASA PEMBATASAN SOSIAL BERSKALA
BESAR DITINJAU BERDASARKAN PERATURAN DAERAH PROVINSI DKI JAKARTA
NOMOR 3 TAHUN 2013 TENTANG PENGELOLAAN SAMPAH

jenis sampah-sampah yang mengandung bahan limbah


berbahaya dan beracun.4

Walaupun sampah plastik tidak diatur secara khusus,


tetapi UU Pengelolaan Sampah mencakup segala
pencegahan maupun pembatasan dalam pengelolaan
sampah, termasuk di dalamnya sampah plastik.
Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 81 Tahun 2012 Tentang
Pengelolaan Sampah Rumah Tangga dan Sampah Sejenis
Sampah Rumah Tangga juga mengatur mengenai
pengurangan dan penanganan sampah. Peraturan itu
secara khusus meminta agar para produsen dapat
melakukan suatu pembatasan timbulan sampah dengan
cara menghasilkan produk dengan kemasan yang mudah
untuk diuraikan5.

D.K.I. Jakarta memiliki Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun


2013 Tentang Pengelolaan Sampah. Peraturan tersebut
mewajibkan warga masyarakat untuk melakukan
pengurangan sampah dengan cara menggunakan sedikit
mungkin kemasan/produk yang dapat menimbulkan
sampah berlebih. Diwajibkan pula untuk menggunakan

4
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 Tentang Pengelolaan Sampah, Pasal
2 – Pasal 4, (Republik Indonesia, 2008).
5
Peraturan Pemerintah Nomor 81 Tahun 2012 Tentang Pengelolaan Sampah
Rumah Tangga dan Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga, Pasal 12 – 13,
(Republik Indonesia, 2012).

182
KESADARAN HUKUM MAHASISWA DI D.K.I. JAKARTA TERHADAP PENGGUNAAN
SAMPAH PLASTIK SEKALI PAKAI SELAMA MASA PEMBATASAN SOSIAL BERSKALA
BESAR DITINJAU BERDASARKAN PERATURAN DAERAH PROVINSI DKI JAKARTA
NOMOR 3 TAHUN 2013 TENTANG PENGELOLAAN SAMPAH

kemasan/produk yang dapat di daur ulang dan


menggunakan kemasan/produk yang ramah lingkungan6.

Pengurangan sampah pada dasarnya menggunakan


prinsip 3R yaitu Reduce, Reuse dan Recycle. 7 Prinsip
tersebut telah lama disampaikan kepada masyarakat
luas. Mahasiswa sebagai bagian dalam masyarakat
hukum dan masyarakat generasi Millenial seyogyanya
memiliki kemudahan akses terhadap informasi. Oleh
sebab itu mahasiswa diasumsikan telah mendapat
informasi mengenai prinsip 3R tersebut. Namun demikian
belum diketahui secara lebih detil bagaimana mahasiswa
memahami penerapan prinsip tersebut pada masa PSBB
ini.

Berdasarkan pada pertimbangan di atas, peneliti tertarik


mempelajari kesadaran hukum mahasiswa dalam
pengelolaan sampah plastik sekali pakai dalam masa
PSBB. Kesadaran hukum adalah salah satu aspek penting
membangun budaya hukum. Lawrence M. Friedman,
menyatakan bahwa efektifitas hukum tergantung dari tiga
unsur sistem hukum yaitu, struktur hukum, substansi
hukum dan budaya hukum8. Ketiga sistem tersebut harus

6
Peraturan Daerah Provinsi DKI Jakarta Nomor 3 Tahun 2013 Tentang
Pengelolaan Sampah, Pasal 20 ayat (1), (Republik Indonesia, 2013).
7
Peraturan Daerah Provinsi DKI Jakarta Nomor 3 Tahun 2013 Tentang
Pengelolaan Sampah, Pasal 1 butir 10, (Republik Indonesia, 2013).
8
Lawrence M. Friedman, Sistem Hukum: Perspektif Ilmu Sosial. (Bandung:
Penerbit Nusamedia, 2009).

183
KESADARAN HUKUM MAHASISWA DI D.K.I. JAKARTA TERHADAP PENGGUNAAN
SAMPAH PLASTIK SEKALI PAKAI SELAMA MASA PEMBATASAN SOSIAL BERSKALA
BESAR DITINJAU BERDASARKAN PERATURAN DAERAH PROVINSI DKI JAKARTA
NOMOR 3 TAHUN 2013 TENTANG PENGELOLAAN SAMPAH

saling berkaitan dan berjalan beriringan satu sama lain.


Seringkali budaya hukum pada masyarakat menjadi
faktor yang lebih dominan dalam menentukan efektifitas
hukum.

Oleh karenanya, dalam penelitian ini penulis tertarik


untuk mencari data dan informasi terkait pengetahuan
mahasiswa terhadap pengurangan sampah plastik sekali
pakai dan bagaimana pemahaman mahasiswa terhadap
pengelolaan sampah plastik sebagaimana diatur oleh
Peraturan Daerah Provinsi DKI Jakarta mengenai
pengelolaan sampah.

Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut, permasalahan yang


dikaji dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

a. Bagaimana peraturan perundang-undangan


Nasional mengatur mengenai Pengelolaan Sampah?
b. Bagaimana pengaturan pengelolaan sampah
menurut Peraturan Daerah Provinsi DKI Jakarta
Nomor 3 Tahun 2013 tentang Pengelolaan Sampah?
c. Bagaimana pengetahuan dan praktik penggunaan
sampah plastik oleh mahasiswa di D.K.I. Jakarta
selama masa PSBB dan kesadaran mereka menaati
Peraturan Daerah Provinsi DKI Jakarta Nomor 3
Tahun 2013 tentang Pengelolaan Sampah?

184
KESADARAN HUKUM MAHASISWA DI D.K.I. JAKARTA TERHADAP PENGGUNAAN
SAMPAH PLASTIK SEKALI PAKAI SELAMA MASA PEMBATASAN SOSIAL BERSKALA
BESAR DITINJAU BERDASARKAN PERATURAN DAERAH PROVINSI DKI JAKARTA
NOMOR 3 TAHUN 2013 TENTANG PENGELOLAAN SAMPAH

Tujuan

Adapun tujuan dari penelitian ini, yaitu:

a. Untuk mengetahui kesesuaian pengaturan tentang


pengelolaan sampah di tingkat nasional dan daerah,
khususnya di D.K.I. Jakarta.
b. Untuk mengetahui praktik pengelolaan sampah
plastik sekali pakai oleh mahasiswa di D.K.I. Jakarta
selama masa PSBB.
c. Mengetahui kesadaran hukum mahasiswa dalam
menaati Peraturan Daerah Provinsi DKI Jakarta
Nomor 3 Tahun 2013 tentang Pengelolaan Sampah.

Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan


jenis penelitian yuridis-empiris. Peneliti melihat
kesesuaian atau ketidaksesuain antara peraturan
perundang-undangan yang berlaku dengan perilaku
masyarakat. Dengan kata lain, penelitian ini mengkaji
ketentuan hukum yang berlaku serta apa yang terjadi
dalam kenyataan di masyarakat (Arikunto, 2002).

Metode pengumpulan data dilakukan dengan cara


menyebarkan kuesioner online secara tertutup terhadap
150 mahasiswa dengan tingkat pendidikan sarjana
pertama (S1) di D.K.I Jakarta sejak tanggal 10 April 2020
sampai dengan tanggal 22 Mei 2020, dengan
menggunakan teknik pengambilan sample, yaitu Simple

185
KESADARAN HUKUM MAHASISWA DI D.K.I. JAKARTA TERHADAP PENGGUNAAN
SAMPAH PLASTIK SEKALI PAKAI SELAMA MASA PEMBATASAN SOSIAL BERSKALA
BESAR DITINJAU BERDASARKAN PERATURAN DAERAH PROVINSI DKI JAKARTA
NOMOR 3 TAHUN 2013 TENTANG PENGELOLAAN SAMPAH

Random Sampling, merupakan suatu jenis pengambilan


sampel dari populasi dilakukan secara acak tanpa
memperhatikan strata yang ada dalam populasi tersebut
(Sugiyono, 2015). Teknik tersebut dilakukan karena
populasi dianggap homogen.

PEMBAHASAN DAN HASIL

Pengaturan Hukum Nasional Terkait Pengelolaan


Sampah

Pengertian pengelolaan sampah menurut Undang-Undang


Nomor 18 Tahun 2008 Tentang Pengelolaan Sampah ialah
suatu kegiatan yang sistematis, menyeluruh dan
berkesinambungan dengan meliputi pengurangan dan
penanganan sampah9. Dalam ruang lingkupnya, sampah
yang dikelola oleh Undang-Undang Pengelolaan Sampah
terdiri atas, sampah rumah tangga, sampah sejenis
sampah rumah tangga dan sampah spesifik 10 . Sampah
yang dikelola tersebut memiliki pengertian sebagai
berikut:

a. Sampah Rumah Tangga merupakan sampah yang


berasal dari kegiatan sehari-hari dalam rumah
tangga, tidak termasuk tinja dan sampah spesifik11.

9
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 Tentang Pengelolaan Sampah, Pasal
1 butir 5, (Republik Indonesia, 2008)
10
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 Tentang Pengelolaan Sampah, Pasal
2 ayat (1), (Republik Indonesia, 2008).
11
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 Tentang Pengelolaan Sampah, Pasal
2 ayat (2), (Republik Indonesia, 2008).

186
KESADARAN HUKUM MAHASISWA DI D.K.I. JAKARTA TERHADAP PENGGUNAAN
SAMPAH PLASTIK SEKALI PAKAI SELAMA MASA PEMBATASAN SOSIAL BERSKALA
BESAR DITINJAU BERDASARKAN PERATURAN DAERAH PROVINSI DKI JAKARTA
NOMOR 3 TAHUN 2013 TENTANG PENGELOLAAN SAMPAH

b. Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga merupakan


jenis sampah yang berasal dari kawasa komersial,
kawasan industri, kawasan khusus, fasilitas sosial,
fasilitas umum, dan/atau fasilitas lainnya12.
c. Sampah Spesifik meliputi sampah yang mengandung
bahan berbahaya dan beracun, sampah yang
mengandung limbah berbahaya dan beracun,
sampah yang timbul akibat bencana, puing
bongkaran bangunan, sampah yang secara teknologi
belum dapat diolah, maupun sampah yang timbul
secara tidak periodik13.

Dalam penyelenggaraannya, pengelolaan sampah rumah


tangga dan sampah sejenis sampah rumah tangga terdiri
atas pengurangan sampah dan penanganan sampah 14 .
Pengurangan sampah merupakan suatu rangkaian
kegiatan yang meliputi15:

a. Pembatasan timbulan sampah;


b. Pendaur ulang sampah; dan/atau
c. Pemanfataan kembali sampah.

12
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 Tentang Pengelolaan Sampah, Pasal
2 ayat (3), (Republik Indonesia, 2008).
13
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 Tentang Pengelolaan Sampah, Pasal
2 ayat (4), (Republik Indonesia, 2008).
14
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 Tentang Pengelolaan Sampah, Pasal
19, (Republik Indonesia, 2008).
15
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 Tentang Pengelolaan Sampah, Pasal
20 ayat (1), (Republik Indonesia, 2008).

187
KESADARAN HUKUM MAHASISWA DI D.K.I. JAKARTA TERHADAP PENGGUNAAN
SAMPAH PLASTIK SEKALI PAKAI SELAMA MASA PEMBATASAN SOSIAL BERSKALA
BESAR DITINJAU BERDASARKAN PERATURAN DAERAH PROVINSI DKI JAKARTA
NOMOR 3 TAHUN 2013 TENTANG PENGELOLAAN SAMPAH

Perlu diketahui pengurangan sampah dilakukan oleh


Warga Negara Indonesia, Pemerintah dan pemerintah
daerah, pelaku usaha, maupun segenap masyarakat.
Masing-masing memiliki tanggung jawab dalam
melakukan kegiatan pengurangan sampah tersebut 16 .
Adapun penanganan sampah merupakan suatu kegiatan
yang meliputi17:

a. Pemilahan dalam bentuk pengelompokan dan


pemisahan sampah sesuai dengan jenis, jumlah,
dan/atau sifat sampah;
b. Pengumpulan dalam bentuk pengambilan dan
pemindahan sampah dari sumber sampah ke tempat
penampungan sementara atau tempat pengolahan
sampah terpadu;
c. Pengangkutan dalam bentuk membawa sampah dari
sumber dan/atau dari tempat penampungan
sampah sementara atau dari tempat pengolahan
sampah terpadu menuju ke tempat pemrosesan
akhir;
d. Pengolahan dalam bentuk mengubah karakteristik,
komposisi, dan jumlah sampah; dan/atau
e. Pemrosesan akhir sampah dalam bentuk
pengembalian sampah dan/atau residu hasil

16
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 Tentang Pengelolaan Sampah, Pasal
20 ayat (2), ayat (3), dan ayat (4), (Republik Indonesia, 2008).
17
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 Tentang Pengelolaan Sampah, Pasal
22 ayat (1),(Republik Indonesia, 2008).

188
KESADARAN HUKUM MAHASISWA DI D.K.I. JAKARTA TERHADAP PENGGUNAAN
SAMPAH PLASTIK SEKALI PAKAI SELAMA MASA PEMBATASAN SOSIAL BERSKALA
BESAR DITINJAU BERDASARKAN PERATURAN DAERAH PROVINSI DKI JAKARTA
NOMOR 3 TAHUN 2013 TENTANG PENGELOLAAN SAMPAH

pengolahan sebelumnya ke media lingkungan secara


aman.

Pengaturan Hukum Terkait Pengelolaan Sampah di


DKI Jakarta

Daerah Khusus Ibukota Jakarta dalam pengelolaan


sampahnya memiliki Peraturan Daerah Provinsi D.K.I.
Jakarta Nomor 3 Tahun 2013 Tentang Pengelolaan
Sampah. Penjelasan Umum Peraturan Daerah Provinsi
D.K.I. Jakarta Tentang Pengelolaan Sampah mengatakan
bahwa aturan ini melaksanakan prinsip pengelolaan
sampah dengan cara Reduce (mengurangi volume), Reuse
(menggunakan kembali), dan Recycle (mendaur ulang)
atau dapat disingkat menjadi 3R18. 3R merupakan suatu
kegiatan pengurangan sampah dengan cara mengurangi,
memakai atau memanfaatkan kembali dan mendaur
ulang19.

Seperti halnya pada Undang-Undang Nomor 18 Tahun


2008, secara singkat penyelenggaraan pengelolaan
sampah dalam Peraturan Daerah ini pun ditujukan pada
jenis sampah rumah tangga, sampah sejenis sampah
rumah tangga, dan sampah spesifik. Pengelolaan sampah
rumah tangga dan sampah sejenis sampah rumah tangga

18
Peraturan Daerah Provinsi DKI Jakarta Nomor 3 Tahun 2013 Tentang
Pengelolaan Sampah, Penjelasan Umum, (Republik Indonesia, 2013).
19
Peraturan Daerah Provinsi DKI Jakarta Nomor 3 Tahun 2013 Tentang
Pengelolaan Sampah, Pasal 1 butir 10, (Republik Indonesia, 2013).

189
KESADARAN HUKUM MAHASISWA DI D.K.I. JAKARTA TERHADAP PENGGUNAAN
SAMPAH PLASTIK SEKALI PAKAI SELAMA MASA PEMBATASAN SOSIAL BERSKALA
BESAR DITINJAU BERDASARKAN PERATURAN DAERAH PROVINSI DKI JAKARTA
NOMOR 3 TAHUN 2013 TENTANG PENGELOLAAN SAMPAH

harus menerapkan Standar Pelayanan Minimum (SPM)


sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan 20 . Begitu pun untuk sampah spesifik diatur
melalui ketentuan peraturan perundang-undangan yang
ada21.

Menurut Peraturan Daerah ini, sebelum sampah diangkut


ke TPST atau pun TPA dilakukan pengelolaan sampah
dengan cara, pengurangan sampah dan penanganan
sampah. Pertama, pengurangan sampah merupakan
suatu kegiatan yang dilakukan dengan melakukan22:

a. Pembatasan timbulan sampah;


b. Pendaur ulang sampah; dan/atau
c. Pemanfaatan kembali sampah.

Pengurangan sampah tersebut dilakukan dengan cara


menggunakan bahan-bahan yang dapat diguna ulang,
yang dapat didaur ulang dan/atau bahan yang mudah
untuk diuraikan oleh proses alam 23 , sesuai dengan
prinsip 3R. Dalam pengurangan sampah ini pun, diatur
mengenai kewajiban setiap orang dalam hal

20
Peraturan Daerah Provinsi DKI Jakarta Nomor 3 Tahun 2013 Tentang
Pengelolaan Sampah, Pasal 17 ayat (2), (Republik Indonesia, 2013).
21
Peraturan Daerah Provinsi DKI Jakarta Nomor 3 Tahun 2013 Tentang
Pengelolaan Sampah, Pasal 17 ayat (3), (Republik Indonesia, 2013).
22
Peraturan Daerah Provinsi DKI Jakarta Nomor 3 Tahun 2013 Tentang
Pengelolaan Sampah, Pasal 19 ayat (1), (Republik Indonesia, 2013).
23
Peraturan Daerah Provinsi DKI Jakarta Nomor 3 Tahun 2013 Tentang
Pengelolaan Sampah, Pasal 19 ayat (2), (Republik Indonesia, 2013).

190
KESADARAN HUKUM MAHASISWA DI D.K.I. JAKARTA TERHADAP PENGGUNAAN
SAMPAH PLASTIK SEKALI PAKAI SELAMA MASA PEMBATASAN SOSIAL BERSKALA
BESAR DITINJAU BERDASARKAN PERATURAN DAERAH PROVINSI DKI JAKARTA
NOMOR 3 TAHUN 2013 TENTANG PENGELOLAAN SAMPAH

melaksanakan pengurangan sampah, yang harus


dilakukan dengan cara24:

a. Menggunakan sedikit mungkin kemasan dan/atau


produk yang menimbulkan sampah;
b. Menggunakan kemasan dan/atau produk yang
dapat dimanfaatkan kembali dan/atau mudah
terurai secara alam;
c. Menggunakan kemasan dan/atau produk yang
ramah lingkungan; dan
d. Memanfaatkan kembali sampah secara aman bagi
kesehatan dan lingkungan.

Dalam pengurangan sampah tersebut, para pelaku usaha


maupun penanggung jawab dan pengelola pusat
perbelanjaan, toko modern dan juga pasar harus
menggunakan kantong belanja dengan jenis yang ramah
lingkungan25.

Kedua, selain dilakukannya pengurangan sampah, juga


dilakukan kegiatan pengelolaan sampah dengan cara
penanganan sampah. Penanganan sampah sendiri dalam
Peraturan Daerah ini meliputi:

24
Peraturan Daerah Provinsi DKI Jakarta Nomor 3 Tahun 2013 Tentang
Pengelolaan Sampah, Pasal 20 ayat (1), (Republik Indonesia, 2013).
25
Peraturan Daerah Provinsi DKI Jakarta Nomor 3 Tahun 2013 Tentang
Pengelolaan Sampah, Pasal 21, (Republik Indonesia, 2013).

191
KESADARAN HUKUM MAHASISWA DI D.K.I. JAKARTA TERHADAP PENGGUNAAN
SAMPAH PLASTIK SEKALI PAKAI SELAMA MASA PEMBATASAN SOSIAL BERSKALA
BESAR DITINJAU BERDASARKAN PERATURAN DAERAH PROVINSI DKI JAKARTA
NOMOR 3 TAHUN 2013 TENTANG PENGELOLAAN SAMPAH

Pemilahan Sampah

Secara ringkas, pemilahan sampah merupakan suatu


kegiatan pengelompokan sampah pada wadah sampah
yang sesuai dengan jenis sampahnya 26 . Setiap rumah
tangga wajib menyediakan wadah sampah untuk kegiatan
pemilahan tersebut. Wadah yang dimaksud ialah sebuah
kantong yang terbuat dari bahan yang dapat didaur ulang.
Namun, jika rumah tangga tidak mampu dalam
menyediakan wadah tersebut, maka wadah wajib
disediakan oleh Pemerintah Daerah. Kawasan
permukiman, kawasan komersial, kawasan industri,
penanggung jawab/ pengelola kawasan tersebut haruslah
menyediakan wadah bagi terlaksananya kegiatan
pemilahan sampah 27 . Berikut kriteria warna dan jenis
sampah dalam pemilahan wadah yaitu meliputi28:

a. Wadah yang berwarna hijau untuk sampah organik,


seperti halnya daun, sisa makanan seperti sayur-
sayuran dan buah-buahan.
b. Wadah yang berwarna kuning untuk sampah
anorganik, seperti halnya, plastik, kertas, botol, dan
lain-lain.

26
Peraturan Daerah Provinsi DKI Jakarta Nomor 3 Tahun 2013 Tentang
Pengelolaan Sampah, Pasal 24 ayat (1), (Republik Indonesia, 2013).
27
Peraturan Daerah Provinsi DKI Jakarta Nomor 3 Tahun 2013 Tentang
Pengelolaan Sampah, Pasal 25 ayat (1) – ayat (5), (Republik Indonesia, 2013).
28
Peraturan Daerah Provinsi DKI Jakarta Nomor 3 Tahun 2013 Tentang
Pengelolaan Sampah, Pasal 24 ayat (2), (Republik Indonesia, 2013).

192
KESADARAN HUKUM MAHASISWA DI D.K.I. JAKARTA TERHADAP PENGGUNAAN
SAMPAH PLASTIK SEKALI PAKAI SELAMA MASA PEMBATASAN SOSIAL BERSKALA
BESAR DITINJAU BERDASARKAN PERATURAN DAERAH PROVINSI DKI JAKARTA
NOMOR 3 TAHUN 2013 TENTANG PENGELOLAAN SAMPAH

c. Wadah warna merah yaitu untuk sampah yang


mengandung bahan berbahaya dan beracun rumah
tangga seperti, baterai, alat-alat elektronik, dan lain
sebagainya.

Pengumpulan Sampah

Pengumpulan sampah merupakan suatu kegiatan


pemindahan sampah dari berbagai sumber sampah yang
ada, seperti sampah rumah tangga, kawasan
permukiman, fasilitas umum, jalan, dan lain sebagainya.
Pengumpulan sampah ini dilakukan sejak pemindahan
sampah dari wadah sampah ke TPS, TPS 3R dan/atau
TPST sampai ke TPA dengan tetap memperhatikan jenis
sampahnya. Pasal 28 Peraturan Daerah D.K.I. Jakarta ini
menyebutkan bahwa pengumpulan sampah rumah
tangga dilakukan dengan pola individual langsung, pola
operasional individual tidak langsung ataupun pola
operasional komunal langsung29.

Pengangkutan Sampah

Secara singkat, pengangkutan sampah khususnya pada


sampah rumah tangga dilakukan dengan cara tidak
langsung dan langsung. Cara tidak langsung dalam
pengangkutan sampah di wilayah permukiman ke
TPS/TPS 3R menjadi tanggung jawab Pengelola Sampah

29
Peraturan Daerah Provinsi DKI Jakarta Nomor 3 Tahun 2013 Tentang
Pengelolaan Sampah, Pasal 27 – Pasal 28, (Republik Indonesia, 2013).

193
KESADARAN HUKUM MAHASISWA DI D.K.I. JAKARTA TERHADAP PENGGUNAAN
SAMPAH PLASTIK SEKALI PAKAI SELAMA MASA PEMBATASAN SOSIAL BERSKALA
BESAR DITINJAU BERDASARKAN PERATURAN DAERAH PROVINSI DKI JAKARTA
NOMOR 3 TAHUN 2013 TENTANG PENGELOLAAN SAMPAH

Tingkat RW. Sedangkan pengangkutan sampah secara


langsung ke TPST atau TPA menjadi tanggung jawab
Pemerintah Daerah dan dapat bekerjasama dengan badan
usaha di bidang kebersihan30.

Pengolahan Sampah

Pengolahan sampah merupakan suatu proses pengelolaan


sampah yang dilakukan pada TPS 3R, TPST ataupun TPS
dengan cara mengubah karakteristik, komposisi dan
volume sampah dengan memanfaatkan teknologi yang
ramah lingkungan31.

Pemrosesan Akhir Sampah

Pada tahap pengelolaan sampah ini, tahap pemrosesan


akhir merupakan langkah yang dilakukan di TPA untuk
mengembalikan sampah maupun residu sampah sebelum
disalurkan atau dikembalikan ke media lingkungan
secara aman32.

30
Peraturan Daerah Provinsi DKI Jakarta Nomor 3 Tahun 2013 Tentang
Pengelolaan Sampah, Pasal 35, (Republik Indonesia, 2013).
31
Peraturan Daerah Provinsi DKI Jakarta Nomor 3 Tahun 2013 Tentang
Pengelolaan Sampah, Pasal 40, (Republik Indonesia, 2013).
32
Peraturan Daerah Provinsi DKI Jakarta Nomor 3 Tahun 2013 Tentang
Pengelolaan Sampah, Pasal 48, (Republik Indonesia, 2013).

194
KESADARAN HUKUM MAHASISWA DI D.K.I. JAKARTA TERHADAP PENGGUNAAN
SAMPAH PLASTIK SEKALI PAKAI SELAMA MASA PEMBATASAN SOSIAL BERSKALA
BESAR DITINJAU BERDASARKAN PERATURAN DAERAH PROVINSI DKI JAKARTA
NOMOR 3 TAHUN 2013 TENTANG PENGELOLAAN SAMPAH

Hak dan Kewajiban Masyarakat Dalam Pengelolaan


Sampah

Hak dan kewajiban masyarakat pada Undang-Undang


Nomor 18 Tahun 2008 Tentang Pengelolaan Sampah.
Dalam undang-undang tersebut, menyatakan bahwa hak
setiap warga masyarakat ialah33:

a. mendapatkan pelayanan dalam pengelolaan sampah


secara baik dan berwawasan lingkungan dari
Pemerintah, pemerintah daerah, dan/atau pihak
lain yang diberi tanggung jawab untuk itu;
b. berpartisipasi dalam proses pengambilan
keputusan, penyelenggaraan, dan pengawasan di
bidang pengelolaan sampah;
c. memperoleh informasi yang benar, akurat, dan tepat
waktu mengenai penyelenggaraan pengelolaan
sampah;
d. mendapatkan pelindungan dan kompensasi karena
dampak negatif dari kegiatan tempat pemrosesan
akhir sampah; dan
e. memperoleh pembinaan agar dapat melaksanakan
pengelolaan sampah secara baik dan berwawasan
lingkungan.

33
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 Tentang Pengelolaan Sampah, Pasal
11 ayat (1), (Republik Indonesia, 2008).

195
KESADARAN HUKUM MAHASISWA DI D.K.I. JAKARTA TERHADAP PENGGUNAAN
SAMPAH PLASTIK SEKALI PAKAI SELAMA MASA PEMBATASAN SOSIAL BERSKALA
BESAR DITINJAU BERDASARKAN PERATURAN DAERAH PROVINSI DKI JAKARTA
NOMOR 3 TAHUN 2013 TENTANG PENGELOLAAN SAMPAH

Sedangkan kewajiban yang harus dilakukan oleh setiap


warga masyarakat adalah mengurangi dan menangani
sampah dengan cara yang berwawasan lingkungan 34 .
Pengelola kawasan permukiman, para pelaku usaha serta
produsen diwajibkan untuk menyediakan fasilitas
pemilahan sampah ataupun mengelola kemasan/barang
yang sulit terurai. Salah satu cara ialah dengan
mencatumkan label/tanda yang berhubungan dengan
pengurangan dan penanganan sampah pada setiap
kemasan35.

Adapun, hak dan kewajiban masyarakat pada Peraturan


Daerah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 3
Tahun 2013 Tentang Pengelolaan Sampah, mengatur
mengenai hak masyarakat, yaitu36:

a. mendapatkan lingkungan yang bersih, indah,


nyaman dan sehat;
b. mendapatkan pelayanan kebersihan secara baik dan
berwawasan lingkungan dari Pemerintah Daerah
dan/atau pengelola kawasan permukiman, kawasan
komersial, kawasan industri dan kawasan khusus;

34
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 Tentang Pengelolaan Sampah, Pasal
12 ayat (1), (Republik Indonesia, 2008).
35
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 Tentang Pengelolaan Sampah, Pasal
13 – Pasal 15, (Republik Indonesia, 2008).
36
Peraturan Daerah Provinsi DKI Jakarta Nomor 3 Tahun 2013 Tentang
Pengelolaan Sampah, Pasal 10, (Republik Indonesia, 2013).

196
KESADARAN HUKUM MAHASISWA DI D.K.I. JAKARTA TERHADAP PENGGUNAAN
SAMPAH PLASTIK SEKALI PAKAI SELAMA MASA PEMBATASAN SOSIAL BERSKALA
BESAR DITINJAU BERDASARKAN PERATURAN DAERAH PROVINSI DKI JAKARTA
NOMOR 3 TAHUN 2013 TENTANG PENGELOLAAN SAMPAH

c. berpartisipasi dalam proses pengambilan


keputusan, penyelenggaraan dan pengawasan
pengelolaan sampah;
d. memperoleh data dan informasi yang benar dan
akurat serta tepat waktu mengenai penyelenggaraan
pengelolaan sampah;
e. mendapatkan perlindungan dan kompensasi karena
dampak negatif dari kegiatan pengolahan sampah di
TPA; dan memperoleh pembinaan pengelolaan
sampah yang baik dan berwawasan lingkungan.

Sedangkan kewajiban masyarakat yang harus dijalankan,


yaitu37:

a. memelihara kebersihan di lingkungannya;


b. mengurangi dan menangani sampah;
c. membuang sampah pada tempatnya menurut jenis
pewadahannya dan sesuai jadwal yang ditentukan;
dan
d. tidak melanggar ketentuan peraturan perundang-
undangan.

37
Peraturan Daerah Provinsi DKI Jakarta Nomor 3 Tahun 2013 Tentang
Pengelolaan Sampah, Pasal 11, (Republik Indonesia, 2013).

197
KESADARAN HUKUM MAHASISWA DI D.K.I. JAKARTA TERHADAP PENGGUNAAN
SAMPAH PLASTIK SEKALI PAKAI SELAMA MASA PEMBATASAN SOSIAL BERSKALA
BESAR DITINJAU BERDASARKAN PERATURAN DAERAH PROVINSI DKI JAKARTA
NOMOR 3 TAHUN 2013 TENTANG PENGELOLAAN SAMPAH

Peran Pemerintah dan Pemerintah Daerah dalam


Pengelolaan Sampah

Dalam Undang-Undang Tentang Pengelolaan Sampah,


Pemerintah bersama dengan Pemerintahan Daerah
memiliki tugas yaitu38:

a. menumbuhkembangkan dan meningkatkan


kesadaran masyarakat dalam pengelolaan sampah;
b. melakukan penelitian, pengembangan teknologi
pengurangan, dan penanganan sampah;
c. memfasilitasi, mengembangkan, dan melaksanakan
upaya pengurangan, penanganan, dan pemanfaatan
sampah;
d. melaksanakan pengelolaan sampah dan
memfasilitasi penyediaan prasarana dan sarana
pengelolaan sampah;
e. mendorong dan memfasilitasi pengembangan
manfaat hasil pengolahan sampah;
f. memfasilitasi penerapan teknologi spesifik lokal yang
berkembang pada masyarakat setempat untuk
mengurangi dan menangani sampah; dan
g. melakukan koordinasi antarlembaga pemerintah,
masyarakat, dan dunia usaha agar terdapat
keterpaduan dalam pengelolaan sampah.

38
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 Tentang Pengelolaan Sampah, Pasal
6, (Republik Indonesia, 2008).

198
KESADARAN HUKUM MAHASISWA DI D.K.I. JAKARTA TERHADAP PENGGUNAAN
SAMPAH PLASTIK SEKALI PAKAI SELAMA MASA PEMBATASAN SOSIAL BERSKALA
BESAR DITINJAU BERDASARKAN PERATURAN DAERAH PROVINSI DKI JAKARTA
NOMOR 3 TAHUN 2013 TENTANG PENGELOLAAN SAMPAH

Adapun, Peraturan Daerah Provinsi DKI Jakarta Tentang


Pengelolaan Sampah mengatur kewenangan Pemerintah
Daerah secara khusus yaitu39:

a. merumuskan dan menetapkan kebijakan dan


strategi pengelolaan sampah berdasarkan kebijakan
nasional;
b. melakukan kerjasama antar daerah, kemitraan dan
jejaring dalam pengelolaan sampah;
c. menetapkan lokasi TPS, TPS 3R, TPST dan TPA di
dalam Rencana Detail Tata Ruang (RDTR);
d. melakukan pemantauan dan evaluasi secara berkala
terhadap TPS, TPS 3R dan TPST;
e. melakukan pemantauan dan evaluasi terhadap TPA
setelah TPA dinyatakan ditutup secara berkala setiap
6 (enam) bulan sekali selama 20 (dua puluh) tahun;
f. memfasilitasi dan menyelesaikan perselisihan dalam
pengelolaan sampah;
g. melakukan pembinaan dan pengawasan pengelolaan
sampah; dan menyusun dan menyelenggarakan
sistem tanggap darurat pengelolaan sampah sesuai
dengan kewenangannya.

39
Peraturan Daerah Provinsi DKI Jakarta Nomor 3 Tahun 2013 Tentang
Pengelolaan Sampah, Pasal 5, (Republik Indonesia, 2013).

199
KESADARAN HUKUM MAHASISWA DI D.K.I. JAKARTA TERHADAP PENGGUNAAN
SAMPAH PLASTIK SEKALI PAKAI SELAMA MASA PEMBATASAN SOSIAL BERSKALA
BESAR DITINJAU BERDASARKAN PERATURAN DAERAH PROVINSI DKI JAKARTA
NOMOR 3 TAHUN 2013 TENTANG PENGELOLAAN SAMPAH

Tingkat Pengetahuan dan Praktik Mahasiswa di D.K.I.


Jakarta terhadap Pengelolaan Sampah selama masa
PSBB

Dalam tingkatan pengetahuan mengenai pengelolaan


sampahnya, berdasarkan data yang diperoleh sebanyak
90% mahasiswa mengetahui mengenai prinsip
pengelolaan sampah dengan cara Reduce (mengurangi
volume), Reuse (menggunakan kembali), dan Recycle
(mendaur ulang). Hanya 10% mahasiswa ada yang tidak
memahami prinsip tersebut.

Di antara yang tidak mengetahui mengenai 3R, sebanyak


6,7% adalah mahasiswa perempuan, persentase tersebut
diperoleh berdasarkan perhitungan 7 banding mahasiswi
yang berpartisipasi dikalikan 100%, dan sebanyak 17%
mahasiswa laki-laki yang tidak mengetahui 3R,
berdasarkan perhitungan 8 banding 47 mahasiswa laki-
laki tersebut dikalikan 100%. Berdasarkan Program Studi
sebanyak 10,4% mahasiswa yang tidak mengetahui 3R

200
KESADARAN HUKUM MAHASISWA DI D.K.I. JAKARTA TERHADAP PENGGUNAAN
SAMPAH PLASTIK SEKALI PAKAI SELAMA MASA PEMBATASAN SOSIAL BERSKALA
BESAR DITINJAU BERDASARKAN PERATURAN DAERAH PROVINSI DKI JAKARTA
NOMOR 3 TAHUN 2013 TENTANG PENGELOLAAN SAMPAH

berasal dari Prodi Ilmu Sosial, yang dihitung berdasarkan


125 jumlah populasi mahasiwa Program Studi Ilmu Sosial
dan sebanyak 8% berasal dari Prodi Ilmu Alam
berdasarkan jumlah populasi mahasiswa yang berjumlah
25 dalam Program Studi Ilmu Alam tersebut.

Sejalan dengan pernyataan tersebut, hasil penelitian


menunjukkan bahwa mahasiswa pun mengetahui akan
dampak buruk yang terjadi apabila sampah plastik terus-
menerus digunakan. Sebanyak 98% mengetahui adanya
dampak buruk tersebut, dan 2% lainnya mengaku tidak
mengetahuinya.

Di antara yang tidak mengetahui mengenai dampak buruk


penggunaan sampah plastik itu, sebanyak 0,1% adalah
mahasiswa perempuan dan sebanyak 4,2% adalah
mahasiswa laki-laki. Berdasarkan program studinya,
sebanyak 2,4% mahasiswa Program Studi Ilmu Sosial
yang tidak mengetahui dampak buruk terhadap
penggunaan sampah plastik, dan hal baiknya adalah

201
KESADARAN HUKUM MAHASISWA DI D.K.I. JAKARTA TERHADAP PENGGUNAAN
SAMPAH PLASTIK SEKALI PAKAI SELAMA MASA PEMBATASAN SOSIAL BERSKALA
BESAR DITINJAU BERDASARKAN PERATURAN DAERAH PROVINSI DKI JAKARTA
NOMOR 3 TAHUN 2013 TENTANG PENGELOLAAN SAMPAH

sebanyak 0% mahasiswa Program Studi Ilmu Alam yang


tidak mengetahui hal tersebut.

Adapun hasil kuesioner lainnya, membuktikan bahwa


sebanyak 44,7% dari mahasiswa mendapatkan informasi
mengenai sampah dari media massa online, seperti halnya
berita-berita yang mudah untuk didapatkan secara online
maupun berbagai video online yang beredar di internet.

Media informasi yang sangat membantu mahasiwa dalam


mendapatkan informasi mengenai pengelolaan sampah
yaitu lewat Sosial Media seperti halnya Instagram,
Facebook, Twitter, dan lain sebagainya. Media sosial
memiliki presentase sebanyak 33,3% Adapun media
informasi lainnya seperti Media Cetak dan Elektronik
memiliki presentase 10% dan sisanya ada yang memilih
informasi melalui peraturan perundang-undangan, materi
perkuliahan, diskusi dengan teman, dan lain sebagainya.

Hal yang dijelaskan diatas nyatanya tidak sejalan dengan


perilaku mahasiswa dalam penggunaan sampah plastik.
Sebanyak 49,3% mahasiswa mengatakan sering

202
KESADARAN HUKUM MAHASISWA DI D.K.I. JAKARTA TERHADAP PENGGUNAAN
SAMPAH PLASTIK SEKALI PAKAI SELAMA MASA PEMBATASAN SOSIAL BERSKALA
BESAR DITINJAU BERDASARKAN PERATURAN DAERAH PROVINSI DKI JAKARTA
NOMOR 3 TAHUN 2013 TENTANG PENGELOLAAN SAMPAH

menggunakan kemasan yang tidak mudah terurai seperti


plastik, kaleng, botol, dan styrofoam ketika membeli
barang ataupun makanan/minuman dengan kemasan.
Sebanyak 38,7% mahasiswa mengaku “kadang-kadang”
dan 11,3% menyatakan “selalu” melakukan hal tersebut.

Tanggapan diatas diperkuat dengan jawaban terhadap


pertanyaan mengenai pengguaan plastik sebagai wadah
ketika berbelanja bukan online. Sebanyak 40% mengaku
masih sering membiarkan menggunakan wadah plastik
ketika berbelanja di warung atau pedagang kaki lima. Hal
ini diperkuat dengan pengakuan 48,7% mahasiswa bahwa
saat berkunjung/membeli sesuatu pada
supermarket/minimarket yang ada, mereka terkadang
masih menggunakan wadah non-plastik sebagai kantung
belanja.

203
KESADARAN HUKUM MAHASISWA DI D.K.I. JAKARTA TERHADAP PENGGUNAAN
SAMPAH PLASTIK SEKALI PAKAI SELAMA MASA PEMBATASAN SOSIAL BERSKALA
BESAR DITINJAU BERDASARKAN PERATURAN DAERAH PROVINSI DKI JAKARTA
NOMOR 3 TAHUN 2013 TENTANG PENGELOLAAN SAMPAH

Pada masa PSBB berlangsung, asumsi awal pada


penelitian ini ialah pembelian barang dan
makanan/minuman secara online akan meningkat.
Menariknya, data yang didapatkan dari penelitian ini
mengatakan bahwa sebanyak 57,3% mahasiswa
menyatakan mengurangi pembelian tersebut. Sebanyak
22% menyatakan terjadi peningkatan dalam pembelian,
dan 20,7% menyatakan tetap. Jika ditelaah lebih dalam,
jumlah mahasiswa yang menyatakan mengurangi
pembeliaan secara online tersebut tidak berpengaruh
secara signifikan, karena presentase yang memilih

204
KESADARAN HUKUM MAHASISWA DI D.K.I. JAKARTA TERHADAP PENGGUNAAN
SAMPAH PLASTIK SEKALI PAKAI SELAMA MASA PEMBATASAN SOSIAL BERSKALA
BESAR DITINJAU BERDASARKAN PERATURAN DAERAH PROVINSI DKI JAKARTA
NOMOR 3 TAHUN 2013 TENTANG PENGELOLAAN SAMPAH

meningkat maupun tetap juga tidak sedikit bahkan


hampir berimbang (42,7%).

Selama masa PSBB, 77,3% mahasiswa mengatakan


melakukan pengurangan penggunaan sampah plastik.
Hanya 22,7% menyatakan tidak melakukan pengurangan
sampah plastik.

Namun data juga menunjukan perilaku lain yang pada


akhirnya membuat pernyataan pengurangan sampah
plastik yang dilakukan mahasiswa tersebut tidak dapat
dipertahankan. Sebelum PSBB berlangsung, mahasiswa
tidak melakukan pemilahan sampah plastik dirumah.
Dibuktikan dengan pengakuan 47,3% mahasiswa

205
KESADARAN HUKUM MAHASISWA DI D.K.I. JAKARTA TERHADAP PENGGUNAAN
SAMPAH PLASTIK SEKALI PAKAI SELAMA MASA PEMBATASAN SOSIAL BERSKALA
BESAR DITINJAU BERDASARKAN PERATURAN DAERAH PROVINSI DKI JAKARTA
NOMOR 3 TAHUN 2013 TENTANG PENGELOLAAN SAMPAH

menyatakan tidak pernah melakukan pemilahan tersebut.


Sebanyak 35,3% menyatakan terkadang melakukan
pemilahan, 13,3% memilih sering dan 4% memilih selalu
melakukan pemilahan tersebut.

Pada masa PSBB, perilaku cenderung sama, bahkan lebih


tinggi jumlah mahasiswa yang tidak pernah melakukan
pemilahan sampah plastik selama pandemi ini
berlangsung. Sebanyak 52% mengaku bahwa mereka
tidak pernah melakukan pemilahan sampah plastik di
rumah, 30% mengatakan terkadang melakukannya,
11,3% menyatakan bahwa sering melakukan pemilahan
tersebut dan 6,7% menyatakan selalu melakukan hal
tersebut.

206
KESADARAN HUKUM MAHASISWA DI D.K.I. JAKARTA TERHADAP PENGGUNAAN
SAMPAH PLASTIK SEKALI PAKAI SELAMA MASA PEMBATASAN SOSIAL BERSKALA
BESAR DITINJAU BERDASARKAN PERATURAN DAERAH PROVINSI DKI JAKARTA
NOMOR 3 TAHUN 2013 TENTANG PENGELOLAAN SAMPAH

Berikut adalah tabel yang akan membedakan perilaku


pemilahan sampah sebelum dan saat Pandemi :

Perilaku dalam Pemilahan Sebelum Setelah


Sampah PSBB PSBB

Tidak Pernah 47,3% 52%

Kadang-kadang 35,3% 30%

Sering 13,3% 11,3%

Selalu 4% 6,7%

Kesadaran Hukum Mahasiswa Terhadap Peraturan


Daerah Provinsi DKI Jakarta Nomor 3 Tahun 2013
Tentang Pengelolaan Sampah

Sebanyak 71,3% mahasiswa dalam penelitian ini


mengaku mengetahui adanya Peraturan Daerah DKI

207
KESADARAN HUKUM MAHASISWA DI D.K.I. JAKARTA TERHADAP PENGGUNAAN
SAMPAH PLASTIK SEKALI PAKAI SELAMA MASA PEMBATASAN SOSIAL BERSKALA
BESAR DITINJAU BERDASARKAN PERATURAN DAERAH PROVINSI DKI JAKARTA
NOMOR 3 TAHUN 2013 TENTANG PENGELOLAAN SAMPAH

Jakarta Tentang Pengelolaan Sampah ini. Sebanyak 28,7


menyatakan bahwa tidak mengetahuinya.

Adapun yang tidak mengetahui adanya Peraturan Daerah


DKI Jakarta Nomor 3 Tahun 2013 tersebut ialah sebanyak
28,2% adalah mahasiswa perempuan, persentase tersebut
diperoleh berdasarkan perhitungan 29 banding 103
mahasiswa perempuan yang berpartisipasi dikalikan
100%, dan sebanyak 29% mahasiswa laki-laki yang tidak
mengetahui, dengan berdasarkan perhitungan 14 banding
47 mahasiswa laki-laki tersebut dikalikan 100%.
Sedangkan, berdasarkan Program Studinya, sebanyak
27,2% mahasiswa yang tidak mengetahui peraturan
daerah tersebut, berasal dari Prodi Ilmu Sosial, yang
dihitung berdasarkan 125 dari jumlah populasi mahasiwa
Program Studi Ilmu Sosial dan sebanyak 40% berasal dari
Prodi Ilmu Alam dengan jumlah perhitungan populasi
sebanyak 25 mahasiswa dalam Program Studi Ilmu Alam
tersebut.

208
KESADARAN HUKUM MAHASISWA DI D.K.I. JAKARTA TERHADAP PENGGUNAAN
SAMPAH PLASTIK SEKALI PAKAI SELAMA MASA PEMBATASAN SOSIAL BERSKALA
BESAR DITINJAU BERDASARKAN PERATURAN DAERAH PROVINSI DKI JAKARTA
NOMOR 3 TAHUN 2013 TENTANG PENGELOLAAN SAMPAH

Peraturan Daerah DKI Jakarta Tentang Pengelolaan


Sampah juga mengatur mengenai kewajiban yang harus
dilaksanakan oleh masyarakat, yaitu sebagai berikut40 :

a. memelihara kebersihan di lingkungannya;


b. mengurangi dan menangani sampah;
c. membuang sampah pada tempatnya menurut jenis
pewadahannya dan sesuai jadwal yang ditentukan;
dan
d. tidak melanggar ketentuan peraturan perundang-
undangan.

Pada poin huruf b, yang menyatakan bahwa masyarakat


harus mengurangi dan menangani sampah, entah pada
sampah yang terdapat pada rumah tangga, sampah pada
kawasan industri, maupun pada kawasan pariwisata
sekali pun. Namun hal tersebut tidak sejalan dengan data
penelitian ini dimana banyak dari mahasiswa tidak benar-
benar menjalani kewajibannya dengan mengurangi dan
menangani sampah, khususnya pada sampah plastik
sekali pakai.

40
Peraturan Daerah Provinsi DKI Jakarta Nomor 3 Tahun 2013 Tentang
Pengelolaan Sampah, Pasal 11, (Republik Indonesia, 2013).

209
KESADARAN HUKUM MAHASISWA DI D.K.I. JAKARTA TERHADAP PENGGUNAAN
SAMPAH PLASTIK SEKALI PAKAI SELAMA MASA PEMBATASAN SOSIAL BERSKALA
BESAR DITINJAU BERDASARKAN PERATURAN DAERAH PROVINSI DKI JAKARTA
NOMOR 3 TAHUN 2013 TENTANG PENGELOLAAN SAMPAH

210
KESADARAN HUKUM MAHASISWA DI D.K.I. JAKARTA TERHADAP PENGGUNAAN
SAMPAH PLASTIK SEKALI PAKAI SELAMA MASA PEMBATASAN SOSIAL BERSKALA
BESAR DITINJAU BERDASARKAN PERATURAN DAERAH PROVINSI DKI JAKARTA
NOMOR 3 TAHUN 2013 TENTANG PENGELOLAAN SAMPAH

Peraturan Daerah Provinsi DKI Jakarta Nomor 3 Tahun


2013 juga mengatur mengenai pengurangan sampah.
Sebelum sampah diangkut ke TPST ataupun TPA,
diharuskan untuk melakukan pengelolaan sampah
dengan cara pengurangan sampah dan penanganan

211
KESADARAN HUKUM MAHASISWA DI D.K.I. JAKARTA TERHADAP PENGGUNAAN
SAMPAH PLASTIK SEKALI PAKAI SELAMA MASA PEMBATASAN SOSIAL BERSKALA
BESAR DITINJAU BERDASARKAN PERATURAN DAERAH PROVINSI DKI JAKARTA
NOMOR 3 TAHUN 2013 TENTANG PENGELOLAAN SAMPAH

sampah. Pengurangan sampah merupakan suatu


kegiatan yang dilakukan dengan melakukan41:

a. pembatasan timbulan sampah;


b. pendaur ulang sampah; dan/atau
c. pemanfaatan kembali sampah.

Pengurangan sampah tersebut dilakukan dengan cara


menggunakan bahan-bahan yang dapat diguna ulang,
yang dapat didaur ulang dan/atau bahan yang mudah
untuk diuraikan oleh proses alam 42 , sesuai dengan
prinsip 3R. Dalam pengurangan sampah ini pun, diatur
mengenai kewajiban setiap orang dalam hal
melaksanakan pengurangan sampah, yang harus
dilakukan dengan cara43:

a. menggunakan sedikit mungkin kemasan dan/atau


produk yang menimbulkan sampah;
b. menggunakan kemasan dan/atau produk yang
dapat dimanfaatkan kembali dan/atau mudah
terurai secara alam;
c. menggunakan kemasan dan/atau produk yang
ramah lingkungan; dan

41
Peraturan Daerah Provinsi DKI Jakarta Nomor 3 Tahun 2013 Tentang
Pengelolaan Sampah, Pasal 19 ayat (1), (Republik Indonesia, 2013).
42
Peraturan Daerah Provinsi DKI Jakarta Nomor 3 Tahun 2013 Tentang
Pengelolaan Sampah, Pasal 19 ayat (2), (Republik Indonesia, 2013).
43
Peraturan Daerah Provinsi DKI Jakarta Nomor 3 Tahun 2013 Tentang
Pengelolaan Sampah, Pasal 20 ayat (1), (Republik Indonesia, 2013).

212
KESADARAN HUKUM MAHASISWA DI D.K.I. JAKARTA TERHADAP PENGGUNAAN
SAMPAH PLASTIK SEKALI PAKAI SELAMA MASA PEMBATASAN SOSIAL BERSKALA
BESAR DITINJAU BERDASARKAN PERATURAN DAERAH PROVINSI DKI JAKARTA
NOMOR 3 TAHUN 2013 TENTANG PENGELOLAAN SAMPAH

d. memanfaatkan kembali sampah secara aman bagi


kesehatan dan lingkungan.

Penelitian ini membuktikan bahwa pengurangan sampah


tersebut tidak berjalan dengan cukup baik pada
mahasiswa di DKI Jakarta. Sebanyak 58,7% mahasiswa
terkadang melakukan pengurangan terhadap sampah
plastik, 17,3% mengaku melaksanakan pengurangan
tersebut, 16% sama sekali tidak melaksanakannya, dan
hanya 8% mahasiwa yang benar-benar selalu
melaksanakan pengurangan sampah plastik tersebut.

Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa pengurangan


sampah khususnya pada plastik belum dilaksanakan
dengan baik oleh mahasiswa/i generasi millenial khusus
pada Provinsi DKI Jakarta ini.

Selain pengurangan sampah, Peraturan Daerah Provinsi


DKI Jakarta mengatur mengenai pemilahan sampah.
Pemilahan sampah pada dasarnya masuk ke dalam
kegiatan pengelolaan sampah dengan cara
penanganannya. Secara singkat, pemilahan sampah

213
KESADARAN HUKUM MAHASISWA DI D.K.I. JAKARTA TERHADAP PENGGUNAAN
SAMPAH PLASTIK SEKALI PAKAI SELAMA MASA PEMBATASAN SOSIAL BERSKALA
BESAR DITINJAU BERDASARKAN PERATURAN DAERAH PROVINSI DKI JAKARTA
NOMOR 3 TAHUN 2013 TENTANG PENGELOLAAN SAMPAH

merupakan suatu kegiatan pengelompokan sampah pada


wadah sampah yang sesuai dengan jenis sampahnya44.

Namun dari data yang dikumpulkan, sebanyak 42,7%


mengaku tidak pernah melakukan pemilahan sampah,
terlebih khususnya pada sampah plastik sekali pakai.
Sebanyak 48% menyatakan terkadang melakukan
pemilahan sampah. Jadi dapat dikatakan bahwa
kesadaran terhadap pemilahan sampah tidak berjalan
dengan semestinya.

Dalam penyelenggaraan pengelolaan sampah tentu


pemerintah daerah memiliki peran dan tanggung jawab
yaitu45 :

44
Peraturan Daerah Provinsi DKI Jakarta Nomor 3 Tahun 2013 Tentang
Pengelolaan Sampah, Pasal 24 ayat (1), (Republik Indonesia, 2013).
45
Peraturan Daerah Provinsi DKI Jakarta Nomor 3 Tahun 2013 Tentang
Pengelolaan Sampah, Pasal 4, (Republik Indonesia, 2013).

214
KESADARAN HUKUM MAHASISWA DI D.K.I. JAKARTA TERHADAP PENGGUNAAN
SAMPAH PLASTIK SEKALI PAKAI SELAMA MASA PEMBATASAN SOSIAL BERSKALA
BESAR DITINJAU BERDASARKAN PERATURAN DAERAH PROVINSI DKI JAKARTA
NOMOR 3 TAHUN 2013 TENTANG PENGELOLAAN SAMPAH

a. menumbuhkembangkan dan meningkatkan


kesadaran masyarakat dan pelaku usaha dalam
pengelolaan sampah;
b. mengalokasikan dana untuk pengelolaan sampah;
c. melakukan penelitian, pengembangan teknologi
pengurangan dan penanganan sampah;
d. melaksanakan, memfasilitasi, dan mengembangkan
upaya pengurangan dan penanganan sampah;
e. memanfaatkan, memfasilitasi, dan mengembangkan
hasil pengolahan sampah;
f. mengelola sampah dan memfasilitasi penyediaan
prasarana dan sarana pengolahan sampah;
g. memanfaatkan dan memfasilitasi penerapan
teknologi pengolahan sampah yang berkembang
pada masyarakat untuk mengurangi dan/atau
menangani sampah; dan
h. mengoordinasikan antar lembaga pemerintah,
masyarakat, dan pelaku usaha agar terdapat
keterpaduan dalam pengelolaan sampah.

Huruf d yang menyatakan bahwa pemerintah daerah


memiliki tugas untuk melaksanakan, memfasilitasi, dan
mengembangkan upaya pengurangan dan penanganan
sampah. Namun ketika mahasiswa ditanyakan mengenai
pendapat dan saran terhadap permasalahan sampah
plastik, banyak dari mereka yang mengatakan bahwa
seharusnya Pemerintah Daerah D.K.I. Jakarta

215
KESADARAN HUKUM MAHASISWA DI D.K.I. JAKARTA TERHADAP PENGGUNAAN
SAMPAH PLASTIK SEKALI PAKAI SELAMA MASA PEMBATASAN SOSIAL BERSKALA
BESAR DITINJAU BERDASARKAN PERATURAN DAERAH PROVINSI DKI JAKARTA
NOMOR 3 TAHUN 2013 TENTANG PENGELOLAAN SAMPAH

memberikan fasilitas berupa wadah pemilahan sampah di


kawasan rumah tangga. Mereka menyadari bahwa
fasilitas tersebut belum tersedia dengan baik. Akhirnya
menjadikan masyarakat tidak melakukan pengelolaan
sampah yang sudah diatur sedemikian rupa oleh
Peraturan Daerah Provinsi DKI Jakarta Tentang
Pengelolaan Sampah tersebut.

Yang masih menjadi problematik adalah pada saat


pengangkutan. Sampah-sampah tersebut tetap tercampur
menjadi satu dengan jenis-jenis sampah seperti sampah
plastik, sampah B3 (bahan berbahaya dan beracun), dan
sampah organik lainnya.

Kemudian, sebanyak 69,3% mahasiswa sangat setuju jika


Pemerintah Provinsi D.K.I. Jakarta menyediakan wadah
pemilahan sampah pada setiap lingkungan
pemukiman/rumah tangga. Hal ini mendukung
masyarakat untuk dapat menjalankan kewajiban dalam
Peraturan Daerah terkait pemilahan sampah plastik
dengan baik. Kesadaran hukum mahasiswa yang masih

216
KESADARAN HUKUM MAHASISWA DI D.K.I. JAKARTA TERHADAP PENGGUNAAN
SAMPAH PLASTIK SEKALI PAKAI SELAMA MASA PEMBATASAN SOSIAL BERSKALA
BESAR DITINJAU BERDASARKAN PERATURAN DAERAH PROVINSI DKI JAKARTA
NOMOR 3 TAHUN 2013 TENTANG PENGELOLAAN SAMPAH

terbilang rendah dalam pengelolaan sampah dan sampah


plastik sekali pakai menunjukkan Peraturan Daerah
Provinsi D.K.I. Jakarta Nomor 3 Tahun 2013 Tentang
Pengelolaan Sampah terlihat belum efektif, walaupun
peraturan daerah tersebut sudah dijalankan dengan
cukup lama.

PENUTUP

Kesimpulan

Pada bagian akhir ini, penulis menyimpulkan sebagai


berikut:

a. Pengelolaan sampah secara nasional diatur oleh


Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 Tentang
Pengelolaan Sampah. Undang-Undang ini bertujuan
untuk meningkatkan kesehatan masyarakat dan
kualitas lingkungan serta menjadikan sampah
sebagai sumber daya. Pengelolaan sampah adalah
suatu kegiatan yang sistematis, menyeluruh dan
berkesinambungan dengan meliputi pengurangan
dan penanganan sampah. Sampah terdiri atas,
sampah rumah tangga, sampah sejenis sampah
rumah tangga dan sampah spesifik, Dalam
penyelenggaraannya, pengelolaan sampah rumah
tangga dan sampah sejenis sampah rumah tangga
terdiri atas pengurangan sampah dan penanganan
sampah. Pengurangan sampah merupakan suatu

217
KESADARAN HUKUM MAHASISWA DI D.K.I. JAKARTA TERHADAP PENGGUNAAN
SAMPAH PLASTIK SEKALI PAKAI SELAMA MASA PEMBATASAN SOSIAL BERSKALA
BESAR DITINJAU BERDASARKAN PERATURAN DAERAH PROVINSI DKI JAKARTA
NOMOR 3 TAHUN 2013 TENTANG PENGELOLAAN SAMPAH

rangkaian kegiatan yang meliputi pembatasan


timbulan sampah, pendaur ulang sampah, dan/atau
pemanfataan kembali sampah.
b. Pemerintah D.K.I. Jakarta dalam Peratuan Daerah
Provinsi D.K.I. Jakarta Nomor 3 Tahun 2013 pun
mengatur hal serupa dengan peraturan pengelolaan
sampah secara nasional. Namun, terlebih khusus
Peraturan Daerah ini mengatur mengenai kewajiban
dan peran serta masyarakat maupun pelaku usaha
dalam mengurangi sampah dengan berwawasan
lingkungan dan lebih mengedepankan prinsip
Reduce, Reuse, Recycle (3R). Peraturan nasional
maupun Peraturan Daerah D.K.I Jakarta tidak
mengatur penggunaan sampah plastik sekali pakai
secara eksplisit.
c. Mayoritas mahasiswa mengetahui prinsip
pengelolaan sampah dengan cara 3R. Walaupun
mahasiswa mendapat pengetahuan yang cukup
akan hal tersebut, tetapi perilakunya terhadap
pengelolaan sampah tidak sejalan dengan
pengetahuannya. Mahasiswa masih menggunakan
kemasan yang tidak mudah terurai seperti plastik,
kaleng, botol, dan styrofoam ketika membeli barang
ataupun makanan/minuman dengan kemasan.
Adapun perilaku terhadap pemilahan sampah
sebelum PSBB, hanya sedikit yang melakukannya.

218
KESADARAN HUKUM MAHASISWA DI D.K.I. JAKARTA TERHADAP PENGGUNAAN
SAMPAH PLASTIK SEKALI PAKAI SELAMA MASA PEMBATASAN SOSIAL BERSKALA
BESAR DITINJAU BERDASARKAN PERATURAN DAERAH PROVINSI DKI JAKARTA
NOMOR 3 TAHUN 2013 TENTANG PENGELOLAAN SAMPAH

Pada masa PSBB, perilaku tidak melakukan


pemilahan sampah makin meningkat. Salah satu
sebab karena tidak adanya fasilitasi pemilahan di
lingkungan tempat tinggal. Jadi, dapat disimpulkan
bahwa terdapat kesenjangan antara pengetahuan
mengenai pengelolaan sampah terlebih khususnya
dengan prinsip 3R dengan perilaku mahasiswa.

Saran

Berdasarkan hasil penelitian ini, penulis memberikan


saran-saran berikut yang diharapkan dapat berguna
dalam efektifitas penerapan hukum di kemudian hari:

a. Diperlukan sosialisasi terus-menerus secara


langsung ataupun media online terhadap bahaya
sampah plastik pada lingkungan hidup, ataupun
pada kesehatan manusia. Masyarakat secara luas
perlu memahami bagaimana cara pengurangan
sampah plastik dan bagaimana cara pengelolaan
sampah sesuai dengan prinsip Reduce, Reuse,
Recycle (3R).
b. Pemerintah harus berani mengambil tindakan bagi
masyarakat/pelaku usaha, dengan sanksi seperti
halnya dikenakan denda yang tinggi jika masih
menggunakan atau memproduksi kemasan dan
sanksi pidana jika tidak melakukan pengelolaan
yang baik terhadap sampah-sampah berjenis plastik

219
KESADARAN HUKUM MAHASISWA DI D.K.I. JAKARTA TERHADAP PENGGUNAAN
SAMPAH PLASTIK SEKALI PAKAI SELAMA MASA PEMBATASAN SOSIAL BERSKALA
BESAR DITINJAU BERDASARKAN PERATURAN DAERAH PROVINSI DKI JAKARTA
NOMOR 3 TAHUN 2013 TENTANG PENGELOLAAN SAMPAH

ataupun sampah jenis lain yang berbahaya bagi


lingkungan dan kesehatan.
c. Pemerintah Provinsi D.K.I Jakarta diharapkan
menyediakan wadah-wadah penampungan untuk
pemilahan sampah di kawasan pemukiman
penduduk/rumah tangga sebelum pada akhirnya
diangkut oleh petugas kebersihan yang bertugas. Hal
ini agar masyarakat dapat melakukan pemilahan
sampahnya sendiri di lingkungannya.

UCAPAN TERIMA KASIH

Puji syukur Penulis ucapkan kehadirat Allah SWT Tuhan


semesta alam yang dengan Nikmat, Rahmat, dan Ridho-
Nya, sehingga Penulis dapat menyelesaikan penelitian ini.
Tak lupa penulis mengucapkan shalawat serta salam
kepada junjungan Nabi Besar Muhammad SAW dan para
pengikutnya hingga akhir zaman. Penulis juga
berterimakasih kepada kedua orang tua dan kepada
dosen-dosen Fakultas Hukum Universitas Pancasila yang
telah membantu dan mendoakan yang terbaik bagi
Penulis.

DAFTAR PUSTAKA

Allbi, H. & Fikrie, M. (2019), “Begini Dampak Sampah


Plastik Bagi Lingkungan dan Kesehatan Manusia.”
Kumparan, November 12.
Alvara Strategic Research, (2019), “Perilaku dan Preferensi
Konsumen Millennial Indonesia terhadap Aplikasi E-
Commerce 2019,” Jurnal Alvara: 1-58.

220
KESADARAN HUKUM MAHASISWA DI D.K.I. JAKARTA TERHADAP PENGGUNAAN
SAMPAH PLASTIK SEKALI PAKAI SELAMA MASA PEMBATASAN SOSIAL BERSKALA
BESAR DITINJAU BERDASARKAN PERATURAN DAERAH PROVINSI DKI JAKARTA
NOMOR 3 TAHUN 2013 TENTANG PENGELOLAAN SAMPAH

Arikunto, S. (2002), Prosedur Penelitian Suatu


Pendekatan Praktek. (Jakarta: Rineka Cipta).
Asshiddiqie, J. (2017), Pengantar Ilmu Hukum Tata
Negara. (Depok: PT. Raja Grafindo Persada)
Dzulfaroh, A. N. (2020), “Update 14 Juni: 10 Provinsi
dengan Kasus Tertinggi Virus Corona.” Kompas, Juni
15.
Fatoni, M. (2020), “UPDATE Sebaran Virus Corona di
Indonesia hingga Senin 15 Juni 2020 Pagi Data Kasus
di 34 Provinsi.” Tribunnews, Juni 15.
Friedman, L. M. (2009), Sistem Hukum: Perspektif Ilmu
Sosial. (Bandung: Penerbit Nusamedia).
Harlina, I. & Samosir, T. (2016), Bahan Kuliah Pengantar
Hukum Indonesia. (Jakarta: Fakultas Hukum
Universitas Pancasila).
Indonesia. Peraturan Daerah Provinsi DKI Jakarta tentang
Pengelolaan Sampah, Perda No. 3 Tahun 2013, LN No.
401 Tahun 2013.
Indonesia. Peraturan Pemerintah tentang Pengelolaan
Sampah Rumah Tangga dan Sampah Sejenis Sampah
Rumah Tangga, PP No. 81 Tahun 2012, LN No. 188
Tahun 2012.
Indonesia. Undang-Undang tentang Kekarantinaan
Kesehatan, UU No. 6 Tahun 2018, LN No. 128 Tahun
2018.
Indonesia. Undang-Undang tentang Pengelolaan Sampah,
UU No. 18 Tahun 2008, LN No. 22 Tahun 2008.
Mukaromah, V. F. (2020), “Update Virus Corona Dunia 15
Juni: 7,98 Juta Terinfeksi Perancis dan Spanyol Akan
Buka Perbatasan.” Kompas, Juni 15.
Nugraha, B. & Mukti, F. G. (2020), “Kebijakan WFH
Sampah di Jakarta Berkurang 620 Ton Per Hari.”
Vivanews, April 9.
Sugiyono (2015), Metode Penelitian Pendidikan

221
KESADARAN HUKUM MAHASISWA DI D.K.I. JAKARTA TERHADAP PENGGUNAAN
SAMPAH PLASTIK SEKALI PAKAI SELAMA MASA PEMBATASAN SOSIAL BERSKALA
BESAR DITINJAU BERDASARKAN PERATURAN DAERAH PROVINSI DKI JAKARTA
NOMOR 3 TAHUN 2013 TENTANG PENGELOLAAN SAMPAH

Pendekatan Kuantitatif Kualitatif dan R&D. (Bandung:


Penerbit Alfabet).
Tiara, D. R. (2018), “Pengertian Sampah Plastik,” Jurnal
Poltekkes Jogja: 1-20.
Tito (2020), “Sampah DKI Berkurang Sementara Akibat
Virus Corona.” Bisnistoday, Mei 4.
World Heatlh Organization (WHO), (2007), “Pencegahan
dan Pengendalian Infeksi Saluran Pernapasan Akut
(ISPA) yang Cenderung Menjadi Epidemi dan Pandemi
di Fasilitas Pelayanan Kesehatan,” Jurnal WHO: 1-58.
Yasmin, P. (2020), “Asal Usul Virus Corona Berasal, dari
Mana Sebenarnya?.” Detiknews, April 6.

222
6
Menimbang Mekanisme Koordinasi
Penegakan Hukum Sumber Daya
Alam dan Lingkungan Hidup yang
Berkelanjutan

Elizabeth Arden Madonna, Refki Saputra,


Safira Salsabila
Yayasan Auriga Nusantara
info@auriga.or.id

Abstrak

Maraknya kejahatan sumber daya alam dan lingkungan


hidup (SDA LH) di Indonesia menimbulkan kerusakan
yang masif pada aspek sosial, ekonomi, maupun
lingkungan itu sendiri. Upaya penegakan hukum yang
dilakukan belum mampu mengurangi kuantitas
kejahatan. Salah satu persoalan yang mengemuka adalah
terkait ruang lingkup dan kewenangan penegakan hukum
kejahatan SDA LH yang terbagi di sejumlah institusi
negara. Pendekatan sektoral dalam penegakan hukum
SDA LH menjadi kurang relevan mengingat fungsi
lingkungan yang memiliki keterkaitan antar sektor.
Kondisi ini melatarbelakangi lahirnya beberapa inisiasi
kerja sama penegakan hukum sektor SDA LH, dengan

223
MENIMBANG MEKANISME KOORDINASI PENEGAKAN HUKUM SUMBER DAYA ALAM
DAN LINGKUNGAN HIDUP YANG BERKELANJUTAN

mengupayakan penanganan perkara berbasis multi rezim


hukum guna mendorong pertanggungjawaban hukum
yang lebih komprehensif. Penelitian ini ditujukan untuk
mengeksplorasi tantangan dan peluang koordinasi antar
lembaga penegak hukum, secara umum untuk kemudian
menawarkan gagasan model koordinasi penegakan
hukum SDA LH yang berkelanjutan. Hasil analisis penulis
menunjukkan bahwasannya skala prioritas dalam
pelaksanaan tugas dan fungsi masing-masing lembaga
serta ketersediaan anggaran sangat mempengaruhi
pelaksanaan koordinasi antar lembaga. Selain itu,
mekanisme penyidikan bersama (joint investigation)
dengan ketersediaan media pertukaran informasi dan
data yang menjamin kemudahan dan kerahasiaan perlu
didorong untuk memaksimalkan penerapan multi rezim
hukum dalam penanganan perkara SDA LH.

Kata Kunci: kejahatan SDA LH, multi rezim hukum,


koordinasi antar lembaga

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Kerusakan lingkungan akibat eksploitasi sumber daya


alam yang berlebihan mengindikasikan adanya sejumlah
kejahatan yang melingkupinya. Masalah ini menjadi
sangat mendesak untuk ditangani, mengingat kejahatan
di sektor sumber daya alam dan lingkungan hidup (SDA-

224
MENIMBANG MEKANISME KOORDINASI PENEGAKAN HUKUM SUMBER DAYA ALAM
DAN LINGKUNGAN HIDUP YANG BERKELANJUTAN

LH) berbeda dari kejahatan lainnya dan memiliki dampak


yang sangat luas pada kualitas hidup yang bergantung
terhadapnya.

Berbagai upaya untuk mengurangi dampak termasuk


dengan membangun tata kelola yang baik, dianggap tidak
memadai tanpa penegakan hukum yang secara efektif
dapat mengendalikan dan mencegah ekses negatif
eksploitasi sumber daya alam dan lingkungan hidup (KPK,
2018). Dalam rentang waktu 2002-2015, Kementerian
Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mencatat, dari
sejumlah 70 kasus pidana lingkungan hidup yang
disidangkan, 43 persen terdakwa divonis bebas, 40 persen
hanya hukuman percobaan, 2 persen lepas dari tuntuan
hukum (onslag van gewijsde) dan 2 persen tuntutan
ditolak. Hanya 13 persen pelaku dihukum penjara dan
denda.1

Melalui kerangka kebijakan Reducing Emissions from


Deforestation and Forest Degradation (REDD+) tahun
2013, dibentuk pola penanganan perkara SDA LH dengan
pendekatan multi rezim hukum (multidoor). Penanganan
perkara diarahkan secara kolaboratif dengan melibatkan
Kejaksaan, Kepolisian, Kementerian Lingkungan Hidup,

1 Ria, “4 Masalah yang Dihadapi Penyidik Kasus Lingkungan Hidup”,


Hukumonline.com, Mei 17, 2016,
https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt573a6ea417e97/4-masalah-
yang-dihadapi-penyidikkasus-lingkungan-hidup/. Diakses pada 5 Desember
2019.

225
MENIMBANG MEKANISME KOORDINASI PENEGAKAN HUKUM SUMBER DAYA ALAM
DAN LINGKUNGAN HIDUP YANG BERKELANJUTAN

Kementerian Kehutanan, Kementerian Keuangan, dan


Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan
(PPATK). Namun, dalam hal implementasi, pendekatan
multidoor tidak dipraktikkan secara keseluruhan oleh
semua institusi yang terlibat. Dalam rentang tahun 2012-
2014, Kepolisian menangani sebanyak 3.213 kasus
(pembalakan liar, tambang ilegal dan perkebunan),
sementara KLHK pada tahun 2014 – 2015 menangani
sebanyak 113 kasus. Dari sejumlah kasus yang ditangani
tersebut, hanya sebagian kecil saja menggunakan
pendekatan multidoor. (Situmorang, 2012)

Hal ini mengindikasikan potret penegakan hukum SDA


LH di Indonesia yang sangat sektoral. Jika disimak data 5
(lima) tahun terkahir (2015-2020), penegakan hukum
yang cukup berjalan signifikan dilakukan oleh
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutatanan (KLHK)
dan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP).
Sedikitnya terdapat 1041 kasus yang ditangani oleh KLHK
yang mencakup pembalakan liar, peredaran ilegal
tanaman dan satwa liar, kebakaran hutan dan lahan,
perambahan, serta pencemaran lingkungan dan
kerusakan lingkungan. 2 Kemudian, dalam periode yang
sama, Direktorat Jenderal PSDKP-KKP telah memproses
hukum 849 kasus Tindak Pidana Kelautan dan Perikanan
(TPKP). Sebanyak 700 kasus telah memiliki kekuatan

2 http://gakkum.menlhk.go.id/kinerja/penegakan. Diakases pada 28 Juli 2020.

226
MENIMBANG MEKANISME KOORDINASI PENEGAKAN HUKUM SUMBER DAYA ALAM
DAN LINGKUNGAN HIDUP YANG BERKELANJUTAN

hukum tetap (inkracht). 3 Jika ditelisik lebih dalam,


sejumlah angka penegakan hukum tersebut belum
berdampak pada pemulihan kerugan negara dan
lingkungan. Dari kasus-kasus yang selama ini terungkap
ke publik, belum banyak penegakan hukum yang mampu
menjerat pelaku kejahatan hingga ke penikmat utama
dari harta hasil kejahatan. Tidak banyak juga upaya
paksa yang dilakukan untuk memastikan seluruh harta
yang merupakan aset dan instrumen kejahatan untuk
dirampas (KPK, 2018). Sementara, disektor perkebunan
dan pertambangan, belum terdapat upaya penegakan
hukum pidana terhadap pelanggaran hukum yang dapat
dilihat. Padahal persoalan tumpang tindih peruntukan,
manipulasi informasi perizinan dan eksploitasi sumber
daya alam kerap ditemukan (KPK, 2018).

Sektoralitas penegakan hukum SDA LH tersebut menjadi


salah satu faktor yang menyebabkan masifnya kerusakan
lingkungan, konflik sosial di wilayah operasi perusahaan
kommoditas SDA. Ambil contoh misalnya kasus korupsi
mantan Gubernur Sulawesi Tenggara, Nur Alam yang
ditangani oleh KPK. Sejumlah bukti persidangan
menunjukkan indikasi adanya manipulasi proses
perizinan pertambangan nikel. Dalam putusan, Nur Alam

3 Fika Nurul Ulya, "Pencuri Ikan Makin Masif, KKP Percepat Proses Penyidikan
Pelaku", https://money.kompas.com/read/2020/05/05/211800126/pencuri-
ikan-makin-masif-kkp-percepat-proses-penyidikan-pelaku. Diakses pada 28 Juli
2020.

227
MENIMBANG MEKANISME KOORDINASI PENEGAKAN HUKUM SUMBER DAYA ALAM
DAN LINGKUNGAN HIDUP YANG BERKELANJUTAN

terbukti melakukan perbuatan memperkaya diri hingga


lebih dari Rp 2,7 miliar serta memperkaya PT Billy
Indonesia senilai Rp 1,5 triliun. 4 Artinya, izin yang
diberikan oleh Nur Alam harus dipandang ilegal. Oleh
karena itu, aktivitas usaha dari proses perizinan yang
korup tersebut tentu harus dipandang tidak sah, dan
hasilnya harus dianggap ilegal. Tidak saja dalam konteks
tindak pidana korupsi, sejumlah aturan sektoral SDA LH
berpotensi besar juga dilanggar oleh pelaku bisnis
ekstraksi sumber daya alam tersebut. Namun, hingga saat
ini belum ada upaya yang nyata mendorong penegakan
hukum terhadap korporasi yang meraup untung dari
proses perizinan ilegal yang ia lakukan bersama-sama Nur
Alam.

Jika sedari awal koordinasi antar-lembaga penegak


hukum dapat terjalin dengan baik, maka penegakan
hukum dapat lebih optimal dengan menjerat semua pihak
yang terlibat dalam praktik-praktik ilegal. Mengingat,
adanya koordinasi dalam penegakan hukum
memungkinakan terjadinya saling berbagi informasi,
keahlian dan pendanaan yang bisa saling melengkapi.
Walaupun dalam hal pelaksanaannya, koordinasi antar-
lembaga cukup sulit untuk dilakukan karena masing-
masing institusi memiliki prioritas serta kultur atau cara
kerja yang berbeda-beda. Namun demikain, peluang

4 Putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta Nomor 16/Pid.Sus-TPK/2018/PT.DKI.

228
MENIMBANG MEKANISME KOORDINASI PENEGAKAN HUKUM SUMBER DAYA ALAM
DAN LINGKUNGAN HIDUP YANG BERKELANJUTAN

untuk mengoptimalkan koordinasi antar lembaga dalam


penegakan hukum sangat besar.

Dalam beberapa praktik koordinasi antar-lembaga yang


berjalan dalam lingkup dan waktu yang terbatas dapat
disimak beberapa keberhasilan. Berbekal dari sejumlah
model koordinasi yang pernah (dan masih) ada, baik
dalam dan luar negeri, dapat dipetik sejumlah pelajaran
yang berharga untuk memformulasi model yang lebih
solid dan berkelanjutan, khususnya terhadap penegakan
hukum di sektor SDA LH.

Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan


sebelumnya, pertanyaan penelitian yang dapat
dirumuskan adalah sebagai berikut:

a. Apa saja faktor yang mendorong dan menghambat


koordinasi penegakan hukum, baik di dalam dan
diluar negeri?
b. Bagaimana model koordinasi antar-lembaga
penegakan hukum SDA LH yang lebih optimal dan
berkelanjutan di Indonesia?

Tujuan

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

a. Menggali pengalaman inisiatif mekanisme koordinasi


antar-lembaga dalam penegakan hukum yang

229
MENIMBANG MEKANISME KOORDINASI PENEGAKAN HUKUM SUMBER DAYA ALAM
DAN LINGKUNGAN HIDUP YANG BERKELANJUTAN

pernah (dan masih) eksis, baik di dalam dan luar


negeri.
b. Merumuskan mekanisme koordinasi antar-lembaga
yang lebih optimal dan berkelanjutan dalam
penegakan hukum SDA LH.

Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan kaidah-kaidah penelitian


sebagai berikut:

Pendekatan yang digunakan dalam penelitian bersifat


kualitatif, dengan berfokus pada penelusuran informasi
secara mendalam dari berbagai sumber.

Metode Pengumpulan Data dilakukan dengan melakukan


studi pustaka (Desk Study) terkait dengan teori tentang
koordinasi antar lembaga dan praktiknya dalam hal
penegakan hukum, baik di dalam dan luar negeri. Selain
itu juga dilakukan wawancara semi terstruktur (semi-
structured) secara daring (online) di lembaga penegak
hukum (Kepolisian dan Kejaksaan) serta
Kementerian/Lembaga (K/L) terkait, khususnya terhadap
Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) sektor SDA LH.

Teknik Analisa Data menggunakan model purposive


dengan menentukan terlebih dahulu lembaga-lembaga
yang dituju, namun informasi yang diberikan di satu
lembaga kemudian dibandingkan dengan informasi dari
lembaga lainnya serta beberapa teori dan praktik di
negara lain (triangulasi) untuk memastikan validitasnya.

230
MENIMBANG MEKANISME KOORDINASI PENEGAKAN HUKUM SUMBER DAYA ALAM
DAN LINGKUNGAN HIDUP YANG BERKELANJUTAN

PEMBAHASAN

Koordinasi Antar Lembaga

Penegakan hukum terhadap kejahatan di sektor SDA LH


ditangani oleh sejumlah lembaga negara. Selain kepolisian
dan kejaksaan, sejumlah Kementerian/Lembaga (K/L)
tercatat memiliki kewenangan dalam melakukan
penegakan hukum di sektor SDA. Diantaranya adalah
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK),
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM),
Kementerian Pertanian, Kementerian Kelautan dan
Perikanan (KKP), Kementerian Agraria dan Tata
Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN). Selain
itu, ada sejumlah K/L yang dapat dilibatkan dalam kontek
SDA LH, yakni Kementerian Keuangan, Pusat Pelaporan
dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) dan Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK). Dalam hal ini, penegakan
hukum di lingkungan K/L dilakukan oleh penyidik
pegawai negeri sipil (PPNS).5

Berangkat dari pemikiran penanganan perkara secara


multidoor, sejumlah K/L yang berbeda secara tugas pokok
dan fungsi (tupoksi) diharapkan dapat bekerja secara
kolaboratif untuk memaksimalkan pengenaan sanksi

5 Pasal 1 ayat (1) Peraturan Pemerintah nomor 43 tahun 2012. Menurut Pasal 1
angka 5, PPNS didefinisikan sebagai pegawai negeri sipil dalam suatu
kementerian yang ditunjuk oleh peraturan perundang-undangan selaku
Penyidik dan mempunyai wewenang untuk melakukan penyidikan tindak
pidana dalam lingkup undang-undang yang menjadi dasar hukumnya masing-
masing.

231
MENIMBANG MEKANISME KOORDINASI PENEGAKAN HUKUM SUMBER DAYA ALAM
DAN LINGKUNGAN HIDUP YANG BERKELANJUTAN

hukum terhadap suatu kejahatan SDA LH. Dalam hal ini


misalnya terhadap pelaku kejahatan kehutanan seperti
pembalakan liar, selain dijerat dengan pasal perusakan
hutan 6 , juga dapat dikenakan ketentuan tentang
perpajakan,7 korupsi8 hingga pencucian uang9 tergantung
adanya bukti permulaan yang mengarah kepada sejumlah
perbuatan tersebut. Dalam konteks ini, koordinasi antar-
lembaga dibutuhkan untuk saling bertukar informasi dan
menentukan strategi bersama menghadapi satu kejadian
tindak pidana. Adanya koordinasi akan menghemat waktu
dan tenaga dan tentunya proses penegakan hukum bisa
berjalan lebih optimal ketimbang bekerja sendiri-sendiri.

Kerja koordinatif itu sendiri pada intinya adalah suatu


usaha kerja sama antara badan, instansi, unit dalam
pelaksanaan tugas-tugas tertentu sedemikian rupa,
sehingga terdapat saling mengisi, saling membantu dan
saling melengkapi (Hasibuan, 2008). Hal mana, karakter
terlihat dari suatu koordinasi tampak pada adanya
kesatuan tindakan dalam rangka mencapai tujuan
bersama (Siagian, 1982). Jika prinsip-prinsip koordinasi

6 UU No. 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan


Hutan.
7 UU No. 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajaran
sebagaimana telah diubah beberapa kali dan diubah terakhir dengan UU No. 16
Tahun 2009.
8 UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pencegahan dan
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
9 UU No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana
Pencucian Uang

232
MENIMBANG MEKANISME KOORDINASI PENEGAKAN HUKUM SUMBER DAYA ALAM
DAN LINGKUNGAN HIDUP YANG BERKELANJUTAN

tersebut bekerja, maka dapat dipastikan terjadi suatu


kolaborasi antar lembaga yang dilaksanakan pada kasus-
kasus dan kegiatan operasi tertentu. Dengan demikian,
dengan berkoordinasi, akan berkontribusi pada
pencapaian masing-masing lembaga dalam penanganan
kasus-kasus tersebut. (Santon dalam Kaiser, 2011)

Berbagi data dan informasi merupakan suatu langkah


yang selalu dilakukan dalam berkoordinasi. Dianggap
sebagai hal yang paling substansial, berbagi data dan
informasi menjadi hal yang juga krusial dalam koordinasi.
Para ahli kelembagaan dan ekonom berpendapat bahwa
pemusatan kewenangan adalah hal yang sangat penting
untuk mengkoordinasikan informasi yang tersebar pada
berbagai lembaga (Hayek, 1945). Kenneth Arrow, seorang
Guru Besar dalam keilmuan sosial berpendapat, bahwa
menyalurkan informasi internal kepada sumber yang
terpusat untuk kemudian disebarkan kepada lembaga-
lembaga negara yang membutuhkan akan lebih efisien
karena data dan informasi hanya perlu dikirim ke satu
tempat, tanpa harus mengirim informasi yang sama ke
banyak lembaga (Arrow, 1974).

Tantangan lainnya adalah terkait level kewenangan.


Dalam suatu birokrasi pemerintahan, pengambilan
keputusan erat kaitannya dengan level kewenangan.
Mengingat bentuk koordinasi tidak hanya dilakukan
secara horizontal ke lembaga lain, salah satu kunci sukses
dalam memastikan berjalannya koordinasi adalah sejauh

233
MENIMBANG MEKANISME KOORDINASI PENEGAKAN HUKUM SUMBER DAYA ALAM
DAN LINGKUNGAN HIDUP YANG BERKELANJUTAN

mana koordinasi internal secara vertikal juga berjalan.


Tentu sebelum dimulainya koordinasi antar lembaga,
penting terlebih dahulu memastikan komitmen internal.
Hal ini penting dilakukan karena koordinasi dalam suatu
birokrasi melibatkan level kewenangan, maka seluruh
unsur dalam lembaga tersebut akan terlibat dan turut
serta memastikan keberhasilan koordinasi. Dengan
begitu, koordinasi akan menjadi kunci untuk mengurai
kerumitan birokrasi yang kemudian akan memudahkan
dan mempersingkat waktu dalam pengambilan keputusan
(Olson & Marcella, 2018).

Dalam praktik pemerintahan, tentunya persoalan yang


muncul terkait koordinasi seringkali ditemukan. National
Institute of Juctice Amerika Serikat memaparkan
beberapa kendala yang umum terjadi dalam koordinasi
antar lembaga negara, yaitu (Strom & Eyermen, 2008):

a. Struktur Kelembagaan

Dalam suatu lembaga pemerintahan, tak jarang


ditemui perbedaan struktur dan kewenangan
masing-masing lembaga. Hal ini menyebabkan alur
birokrasinya-pun berbeda. Besar atau kecilnya
suatu lembaga juga sangat berpengaruh pada alur
birokrasi. Semakin besar suatu kementerian atau
lembaga, maka memiliki semakin banyak divisi
sehingga suatu isu bisa saja ditangani pada tataran
kepemimpinan yang lebih rendah. Dalam hal

234
MENIMBANG MEKANISME KOORDINASI PENEGAKAN HUKUM SUMBER DAYA ALAM
DAN LINGKUNGAN HIDUP YANG BERKELANJUTAN

penegakan hukum SDA LH di Indonesia misalnya,


kelembagaan penegakan hukum langsung dikepalai
oleh pejabat di level eselon I atau Direktorat
Jenderal. Tetapi, di Kementerian atau Lembaga yang
lain, isu penegakan hukum berada di tataran
Direktorat (Eselon II) atau mungkin di bawahnya.
Hal ini akan menjadi hambatan di lapangan (namun
tidak selalu) tatkala dalam suatu kesempatan
pertemuaan koordinatif yang mana pejabat yang
diutus harus memberikan keputusan tertentu.
Namun, karena perbedaan level jabatan, makan
keputusan tidak bisa diambil seketika, melainkan
harus dikonsultasikan kepada pejabat diatasnya.

b. Kepemimpinan

Masing-masing lembaga negara mempunyai visi atau


capaian yang berbeda-beda. Bekerjasama dengan
lembaga lain dalam konteks ini dapat diartikan
bekerja untuk kepentingan yang lain, yang dapat
mengganggu fokus untuk mencapai tujuan dari
lembaga. Berdasarkan riset pada praktek-praktek
koordinasi selama ini yang dilakukan oleh
Government Accountability Office (GAO) Pemerintah
Federal Amerika Serikat, keberhasilan misi lembaga
adalah hal yang sangat penting bagi masing-masing
lembaga. Oleh karena itu, mereka akan sangat
memperhitungkan peluang apa yang bisa mereka
dapat atau bahkan hilang untuk mencapai misi

235
MENIMBANG MEKANISME KOORDINASI PENEGAKAN HUKUM SUMBER DAYA ALAM
DAN LINGKUNGAN HIDUP YANG BERKELANJUTAN

lembaga (GA)/GGS, 2000). Kondisi ini tidak akan


teratasi jika tidak ada yang menjadi penengah.
Maka, keberadaan suatu pihak yang dapat
menjalankan fungsi koordinator, yakni dalam hal
mempimpin dan mengarahkan lembaga-lembaga
negara untuk berkolaborasi untuk mencapai tujuan
bersama dari kegiatan koordinasi juga sangatlah
penting (Santon, 2011). Keberadaan koordinator juga
akan sangat berperan sebagai penengah ketika ada
konflik sekaligus menjadi mediator untuk
menyelesaikan konflik tersebut.

Jody Freeman dan Jim Rossi (2012), dalam sebuah


penelitian tentang Koordinasi antar Lembaga Negara
dalam Harvard Law Review yang berjudul “Agency
Coordination in Shared Regulatory Space” mencoba
merumuskan upaya-upaya yang efektif untuk
menciptakan interaksi antar lembaga negara yang
berkelanjutan, yaitu:

a. Membuat dokumen yang berisi arah dan tujuan


koordinasi. Dokumen ini akan menjadi panduan bagi
para pihak untuk memahami tujuan koordinasi,
sehingga mereka memahami hal-hal apa saja yang
perlu mereka lakukan. Dokumen ini juga berguna
sebagai panduan jalannya koordinasi.
b. Membuat kebijakan dan prosedur untuk
memfasilitasi koordinasi antar lembaga negara.
Kebijakan koordinasi bisa mengatur hal-hal teknis

236
MENIMBANG MEKANISME KOORDINASI PENEGAKAN HUKUM SUMBER DAYA ALAM
DAN LINGKUNGAN HIDUP YANG BERKELANJUTAN

dan prosedural terkait koordinasi. Misal prosedur


tentang berbagi data dan informasi. Didalam
dokumen dapat dirinci tentang bagaimana teknis
pelaksanaanya, informasi apa saja yang bisa dan
tidak bisa dibocorkan ke publik, dan bagaimana
teknis penyimpanan data dan informasi. Kebijakan
juga perlu mengatur tentang hal-hal apa saja yang
perlu dilakukan jika terjadi konflik dalam
koordinasi.

Pembentukan kebijakan yang tepat dalam suatu


mekanisme koordinasi antar lembaga negara bisa menjadi
alat yang dapat meredam terjadinya konflik
berkepanjangan. Selain itu juga sebagi alat yang dapat
digunakan untuk melanggengkan kegiatan koordinasi
antar lembaga negara.

Praktek Koordinasi antar Lembaga di beberapa negara

Koordinasi antar lembaga merupakan sebuah tantangan


besar dalam pemerintahan. Mengingat, masing-masing
lembaga memiliki kewenangan yang sama besar dan cuma
dibedakan pada lingkup wilayah kerja. Beranjak dari hal
tersebut, boleh jadi tidak ada satu pun koordinasi antar
lembaga yang tercipta secara alamiah oleh masing-masing
lembaga negara di dunia. Dalam praktiknya, koordinasi
pertama-tama perlu diinisiasi lalu dilakukan secara terus-
menerus, kemudian dievaluasi, karena koordinasi
mempunyai banyak hambatan. Maka dari itu, penting

237
MENIMBANG MEKANISME KOORDINASI PENEGAKAN HUKUM SUMBER DAYA ALAM
DAN LINGKUNGAN HIDUP YANG BERKELANJUTAN

untuk meninjau praktik-praktik baik koordinasi antar


lembaga negara di dunia yang sudah lama
mengimplementasikan bentuk-bentuk koordinasi antar
lembaga negara yang terbilang berhasil mememlihara
koordinasi antar lembaga negaranya.

Amerika Serikat

Amerika Serikat terbilang tanggap dalam membangun


koordinasi antar lembaganya untuk menangani suatu
permasalahan. Koordinasi sudah terinternalisasi dengan
baik dalam tubuh birokrasi pemerintahan. Dimana,
mekanisme koordinasi akan secara otomatis terbentuk
tatkala ada suatu persoalan yang harus diselesaikan
lintas sektor.

Dalam isu pertahanan misalnya, Pemerintah Amerika


membentuk sebuah Komando yang disebut Southern
Command (Southcomm) yang beranggotakan perwakilan
dari 15 lembaga negara yang bekerja paruh waktu dan
penuh waktu. Misi dari pembentukan Komando ini adalah
untuk melakukan operasi militer spektrum penuh antar
lembaga secara bekerjasama untuk mendukung
keamanaan regional. Wilayah yang menjadi fokus
Southcomm adalah menangani kejahatan terorganisir
internasional dan untuk memberikan bantuan humaniter.
Southcomm dibentuk dengan sebuah dokumen strategi
yang akan memaparkan hal-hal yang menjadi tanggung
jawab dari masing-masing lembaga (Jenkins, 2019).

238
MENIMBANG MEKANISME KOORDINASI PENEGAKAN HUKUM SUMBER DAYA ALAM
DAN LINGKUNGAN HIDUP YANG BERKELANJUTAN

Dalam Komando ini masing-masing anggota diberikan


pelatihan untuk menyamakan kapasitas anggota.
Pelatihan yang diberikan disesuaikan dengan tanggung
jawab atau kerja masing-masing lembaga.

Komunikasi juga menjadi salah satu kegiatan yang


dilakukan oleh lembaga-lembaga yang terlibat dalam
Southcomm. Dalam komunikasi tersebut lembaga-
lembaga negara berbagi data dan infrormasi. Komunikasi
antar lembaga juga dilakukan pada saat membuat
keputusan. Dalam membentuk koordinasi, Pemerintah
Pusat berperan sacara aktif untuk membentuk suatu
organisasi terstruktur yang mempunyai visi dan misi.
Dalam misi organisasi ini, Pemerintah menjelaskan secara
rinci pembagia kerja untuk masing-masing lembaga.

Kerajaan Britania Raya

Britania Raya adalah sebuah negara dengan sistem


pemerintahan monarki konstitusi yang terdiri dari 3
kerajaan bagian, yaitu Kerjaan Inggris, Kerajaan Wales
dan Kerajaan Skotlandia. Kerajaan Britania dipimpin oleh
seorang Raja/Ratu. Sementara pemerintahannya
dipimpin oleh Perdana Menteri yang dapat menunjuk para
menteri. Dalam menjalankan tugasnya, Kementerian
dibantu oleh sejumlah institusi atau agency. Dimana
dalam satu sektor, terdapat lebih dari satu agency yang
menangani permasalahan yang saling berkaitan.

239
MENIMBANG MEKANISME KOORDINASI PENEGAKAN HUKUM SUMBER DAYA ALAM
DAN LINGKUNGAN HIDUP YANG BERKELANJUTAN

Dalam hal penegakan hukum lingkungan seperti


penanganan limbah misalnya, pemerintah Britania
menempatkan sejumlah agency karena harus
diselesaikan secara cepat. Hal ini mengingat karakter dari
kejahatan lingkungan berupa pembuangan limbah yang
jika tidak ditangani dengan segera akan menghilangkan
barang bukti. Agar koordinasi antar lembaga dapat
berjalan optimal, Pemerintah Britania Raya membentuk
lembaga koordinasi yang akan mempertemukan dan
memadukan lembaga negara pada tingkat strategis, taktis
dan operasional.10

Salah satu lembaga koordinatif yang dibentuk untuk


menangani permasalahan kejahatan limbah serius yang
terorganisir adalah The Joint Unit for Waste Crime (JUWC).
Lembaga ini akan mengoordinasikan lembaga-lembaga
penegak hukum, lembaga pembentuk peraturan
lingkungan dan lembaga nasional yang mengurusi urusan
kejahatan pada isu kejahatan limbah yang berada di
seluruh Britania Raya. Termasuk didalamnya adalah
Lembaga Lingkungan di tingkat pusat, Lembaga Sumber
Daya Alam di kerajaan bagian Wales, Lembaga
Perlindungan Lingkungan di kerjaan bagian Skotland,
Kepolisian dan Lembaga Kejahatan Nasional. Adapun
kewenangannya mencakup sejumlah tindakan inspeksi

10 Civil Emergencies: Command, Control and Coordination.


https://www.app.college.police.uk/app-content/civil-emergencies/civil-
contingencies/command-control-and-coordination/. Diakses pada 2 Juli 2020.

240
MENIMBANG MEKANISME KOORDINASI PENEGAKAN HUKUM SUMBER DAYA ALAM
DAN LINGKUNGAN HIDUP YANG BERKELANJUTAN

lapangan, penahanan dan melakukan penuntutan.


Lembaga ini resmi dibentuk pada bulan Januari 2020 atas
rekomendasi dari hasil kajian independen terhadap
kejahatan limbah serius dan terorganisir yang
dipublikasikan pada November 2018.11 Dimana, terdapat
sejumlah kejahatan pembuangan limbah berbahaya baik
pada wilayah milik pribadi maupun wilayah
penampungan sampah untuk diekspor keluar negeri yang
marak terjadi di wilayah Britania Raya.

Selain dalam bentuk Joint Unit, Pemerintah Kerajaan


Britania Raya juga menggunakan metode pembentukan
satuan kerja untuk suatu isu yang lebih spesifik. Misalnya
isu terkait kehutanan dan degradasi lingkungan. Satuan
Kerja tersebut adalah Global Resource Initiatibe Taskforce.
Satuan Kerja ini terdiri dari perwakilan pelaku usaha
pada sektor komoditas seperti usaha sawit, seperti
perwakilan dari organisasi-organisasi lingkungan dan
perwakilan dari pemerintah. Satuan kerja tersebut aktif
dalam melakukan pertemuan-pertemuan untuk
melaporkan perkembangan upaya menurunkan laju
deforestasi (Global Resource Initiative Taskforce, 2020).
Salah satu tujuan dari dibentuknya satuan kerja ini
adalah untuk melibatkan partisipasi publik, khususnya

11 “Clock is Ticking for Waste Criminals as New Taskforce Launched”, Press


Release, Januari 16, 2020. https://www.gov.uk/government/news/clock-is-
ticking-for-waste-criminals-as-new-taskforce-launched. Diakses pada 27 April
2020. Diakses pada 11 April 2020.

241
MENIMBANG MEKANISME KOORDINASI PENEGAKAN HUKUM SUMBER DAYA ALAM
DAN LINGKUNGAN HIDUP YANG BERKELANJUTAN

pelaku-pelaku usaha yang sangat erat kaitannya dengan


lingkungan dan pegiat lingkungan, dalam upaya-upaya
yang dilakukan oleh Pemerintah.

Dari praktik koordinasi antar lembaga di Britania Raya


tersebut, pemerintah cenderung memformulasikan suatu
lembaga ad hoc yang terdiri dari perwakilan-perwakilan
institusi. Tujuannya adalah untuk menghilangkan
tembok pembatas antar institusi. Lembaga koordinatif
tersebut mengambil alih komando, sehingga Pemerintah
dapat bekerja secara efektif dan efisien dalam menangani
suatu isu. Pemerintah juga menggandeng organisasi-
organisasi swadaya yang terlibat dalam isu-isu yang
sedang dikerjakan, misal isu lingkungan, untuk
bekerjasama dalam menyelesaikan suatu perkara.

Argentina

Argentina adalah salah satu negara yang menerapkan


suatu strategi koordinasi tanpa membentuk kelembagaan
khusus dalam menangani suatu isu yang melibatkan
kewenangan banyak lembaga. Misalnya, dalam hal
pengentasan korupsi, Pemerintah Argentina tidak
mempunyai suatu peraturan khusus untuk membentuk
suatu lembaga yang diberi wewenang untuk melakukan
koordinasi antar lembaga. Pemerintah Argentina
membentuk sebuah strategi nasional yang bertujuan
untuk membentuk koordinasi antar lembaga yang
mempunyai kewenangan dan lembaga negara yang

242
MENIMBANG MEKANISME KOORDINASI PENEGAKAN HUKUM SUMBER DAYA ALAM
DAN LINGKUNGAN HIDUP YANG BERKELANJUTAN

bekerja pada isu korupsi. Strategi nasional ini bukanlah


sebuah peraturan formal layaknya peraturan perundang-
undangan. Melainkan, hanya sebuah kebijakan yang
dibentuk oleh kekuasaan eksekutif untuk memperkuat
koordinasi antar lembaga negara pada ranah pemerintah
eksekutif dalam hal pencegahan dan penuntutan kasus-
kasus korupsi (Jenkins, 2019).

Karakter informal dari pembentukan strategi nasional ini


terlihat dari ketiadaan dasar hukum bagi setiap leembaga
negara yang tergabung dalam strategi nasional dalam hal
berbagi informasi. Hingga saat ini, belum ada aturan
tentang tata-cara untuk mebagikan informasi antar
penegak hukum, lembaga pajak, unit pencucian uang,
serta lembaga yang menangani masalah terorisme.

Meskipun demikian, beberapa lembaga negara tersebut


membuat sebuah mekanisme koordinasi secara bilateral,
yakni dengan membuat perjanjian (MoU) kolaborasi untuk
memfasilitasi pertukaran informasi. Lamanya perjanjian
tersebut tergantung dari komitmen masing-masing
lembaga. Lembaga-lembaga yang melakukan perjanjian
bilateral saling memperkuat kapasitas monitoring dengan
memberikan kewenangan untuk mengakses database
masing-masing.

Khusus dalam bidang penegakan hukum, institusi


Kejaksaan membentuk sebuah agensi yang disebut
Kantor Kriminalitas Ekonomi dan Pencucian Uang atau

243
MENIMBANG MEKANISME KOORDINASI PENEGAKAN HUKUM SUMBER DAYA ALAM
DAN LINGKUNGAN HIDUP YANG BERKELANJUTAN

‘Procuraduría de Criminalidad Económica y Lavado de


Activos’ (PROCELAC) yang khusus menangani masalah
pencucian uang. PROCELAC menggunakan tim
multidisiplin dan asisten teknis untuk kasus-kasus yang
rumit. PROCELAC juga mempunyai kewenang untuk
memimpin lembaga-lembaga negara untuk investigasi dan
menuntut tersangka kriminal.

Praktik koordinasi penegakan hukum di Indonesia

Tim Pemburu Koruptor

Tim Pemburu Tipikor dibentuk pada tahun 2004, 12

sebagai manifestasi dari program 100 hari Presiden Susilo


Bambang Yudhoyono dan Wakil Presiden Jusuf Kalla.
Kewenangan tim ini adalah menghimpun fakta maupun
informasi terkait keberadaan terpidana dan tersangka
tipikor, khususnya pelacakan terhadap tersangka/
terdakwa serta aset hasil tindak pidana korupsi baik di
dalam maupun di luar negeri.

Berdasarkan Keputusan Menteri Koordinator Bidang


Politik, Hukum, dan Keamanan Nomor: Kep-
54/Menko/Polhukam/12/2004 tentang Tim Terpadu
Pencari Terpidana dan Tersangka Tindak Pidana Korupsi
sebagai landasan hukum pembentukannya, tim ini terdiri

12 Keputusan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Nomor


: Kep-54/Menko/Polhukam/12/2004 tentang Tim Terpadu Pencari Terpidana
dan Tersangka Tindak Pidana Korupsi. Tim ini terdiri dari perwakilan
Kementerian Hukum dan HAM, Kejaksaan Agung, Kementerian Luar Negeri,
serta PPATK, dan dikomandoi oleh Wakil Jaksa Agung

244
MENIMBANG MEKANISME KOORDINASI PENEGAKAN HUKUM SUMBER DAYA ALAM
DAN LINGKUNGAN HIDUP YANG BERKELANJUTAN

dari perwakilan Kementerian Hukum dan HAM,


Kejaksaan Agung, Kementerian Luar Negeri, serta PPATK,
dan dikomandoi oleh Wakil Jaksa Agung.

Dalam pelaksanaan tugas, tim pemburu tipikor


menggunakan skema joint investigation untuk mendorong
optimalisasi penanganan perkara. Tim akan berkoordinasi
dengan pihak terkait, seperti Ditjen Imigrasi
Kemenkumham, Kemenlu, serta Dukcapil Kemendagri
untuk melengkapi data yang dibutuhkan guna melakukan
pemburuan terhadap tersangka, terdakwa maupun
terpidana korupsi. Dalam hal dibutuhkannya Mutual
Legal Assistance (MLA) dari Indonesia, unit Jampidsus
akan berkoordinasi dengan Biro Hukum Kejaksaan Agung
untuk meneruskan permohonan MLA tersebut kepada
Kemenkumham selaku Central Authority.

Perburuan juga dilakukan terhadap aset yang diduga


berasal dari hasil korupsi. Dalam hal ini, tim
berkoordinasi dengan Pusat Pelaporan dan Analisis
Transaksi Keuangan (PPATK) untuk menelusuri aset
tersangka. Sementara, di Kejaksaan sendiri, terdapat unit
Pusat Pemulihan Aset (PPA) yang telah tergabung dengan
Asosiasi lembaga pemulihan aset serupa (Carin, n.d.) di
banyak negara untuk mengirimkan notifikasi kepada
lembaga tersebut di negara tujuan agar melakukan
pengecekan terhadap aset dimaksud. Setelah keberadaan
aset dapat dipastikan, permohonan MLA kemudian
dikirimkan ke negara tujuan. Meski unit PPA tidak

245
MENIMBANG MEKANISME KOORDINASI PENEGAKAN HUKUM SUMBER DAYA ALAM
DAN LINGKUNGAN HIDUP YANG BERKELANJUTAN

tergabung dalam Tim Pemburu Koruptor, namun upaya-


upaya non formal seperti ini penting untuk dilakukan
guna menjamin keberadaan aset tersangka serta
mempercepat upaya pemulihan aset.

Dalam perjalanannya, tidak banyak capaian yang


ditorehkan oleh tim ini untuk menangkap buronan
tipikor. Indonesia Corruption Watch (ICW) mencatat
hanya empat dari 16 buronan yang berhasil ditangkap
pasca delapan tahun pembentukan tim. 13 Terkait
penyelamatan kerugian negara akibat tipikor dalam kasus
Hendra Rahardja, New South Wales Supreme Court
melalui putusannya telah memerintahkan untuk
mengalihkan aset yang bersangkutan sebesar USD
398.478.87 kepada Pemerintah RI. Pada 8 Desember
2009, telah dilakukan penyerahan aset secara simbolis
dari Pemerintah Australia kepada Tim Terpadu dan
Kemenkumham selaku Central Authority.14

Sejak 2017, Tim Pemburu Koruptor sudah tidak lagi


beroperasi akibat habisnya masa tugas tim. Saat ini
terdapat wacana dari Kemenkopolhukam untuk
mengaktifkan kembali Tim ini, pasca masuknya buron
terpidana kasus Bank Bali, Djoko Sugiarto Tjandra ke

13 Alfian Putra Abdi, “Jangan Berharap Banyak dari Tim Pemburu Koruptor ala
Mahfud”, tirto.id, 15 Juli 2020, https://tirto.id/jangan-berharap-banyak-dari-
tim-pemburu-koruptor-ala-mahfud-fQTs. Diakses pada 22 Juli 2020.
14 “Tim Terpadu Pencari Terpidana dan Tersangka Tindak Pidana Korupsi.”
https://www.kejaksaan.go.id/unit_kejaksaan.php?idu=2&sm=3. Diakses pada
13 Februari 2020.

246
MENIMBANG MEKANISME KOORDINASI PENEGAKAN HUKUM SUMBER DAYA ALAM
DAN LINGKUNGAN HIDUP YANG BERKELANJUTAN

Indonesia tanpa terdeteksi. Kedepannya, KPK juga


diproyeksikan akan terlibat dalam tim ini dalam hal
koordinasi dan supervisi.15

Di sisi lain, meski ruang lingkup tugas tim berada di


dalam dan luar negeri, namun pada praktiknya tugas tim
pemburu koruptor lebih menitikberatkan pada pencarian
buronan di luar negeri. Hal ini dikarenakan pencarian
buronan di dalam negeri cenderung lebih mudah,
sehingga dapat dilaksanakan oleh masing-masing
instansi penegak hukum secara mandiri.16

Secara teknis, koordinasi dalam melakukan pemburan


aset dan koruptor, dilakukan melalui sejumlah rapat
koordinasi sesuai dengan kebutuhan kasus. Dalam hal
permintaan data dan informasi dilakukan melalui surat-
menyurat antar pimpinan lembaga. Sayangnya, hingga
saat ini, belum terdapat platform khusus pertukaran data
untuk menunjang pelaksanaan tugas tim.

15 Achmad Hamudi Assegaf, “Tim Pemburu Koruptor Tindak Akan Tumpang


Tindih dengan KPK,” https://nasional.tempo.co/read/1366081/tim-pemburu-
koruptor-dinilai-tak-akan-tumpang-tindih-dengan-kpk/full&view=ok Diakses
pada 22 Juli 2020.
16 Dalam konteks Kejaksaan, upaya pelacakan tersangka di dalam negeri
dilaksanakan oleh Tim Tangkap Buron (Tim Tabur) yang dibentuk berdasarkan
surat perintah khusus. Keberadaan tim ini bersifat kasuistis, dan diisi oleh lintas
unit kejaksaan sesuai kebutuhan. Pelaksanaan tugas tim ini didukung oleh
Adhyaksa Monitoring Center (AMC), yang juga banyak dimanfaatkan oleh
Kejaksaan Tinggi dan Negeri yang ada di daerah. Adhyaksa Monitoring Centre
(AMC) merupakan Kasubdit di bawah Jamintel yang meiliki alat khsusus untuk
melakukan dekeksi atau pelacakan orang. Di unit ini juga memiliki alat untuk
melakukan penyadapan.

247
MENIMBANG MEKANISME KOORDINASI PENEGAKAN HUKUM SUMBER DAYA ALAM
DAN LINGKUNGAN HIDUP YANG BERKELANJUTAN

Sejauh ini, aspek koordinasi di dalam negeri dengan


institusi lain tidak lagi menjadi kendala oleh Tim Pemburu
Tipikor. Keberadaan Stategi Nasional (Stranas) sebagai
instrumen debottlenecking dipandang efektif untuk
meminimalisir ego sektoral kelembagaan. Namun
demikian, pelaksanaan tugas tim masih terhambat oleh
perbedaan mekanisme MLA Indonesia dengan negara-
negara tujuan. Persoalan anggaran juga sempat
mengemuka saat Kejaksaan Agung luput mengalokasikan
anggaran untuk kebutuhan operasional tim tahun 2018.17
Minimnya willingness dari pihak-pihak yang menjadi
perwakilan institusi juga masih menjadi persoalan, meski
secara kelembagaan koordinasi telah dilakukan.

Satgas Pemberantasan Penangkapan Ikan Secara Ilegal


(Satgas 115)

Tingginya indikasi kejahatan perikanan yang diikuti oleh


tindak pidana lain seperti tindak pidana pencucian uang
hingga penghindaran pajak, pemerintah membentuk
Satuan Tugas 115. 18 Melalui integrasi tersebut,

17 Angga Yudha Pratama, “Perpres Ganjar Tim Pemburu Koruptor Tangkap


Buronan Kelas Kakap.” Merahputih.com. Mei 31, 2018.
https://merahputih.com/post/read/perpres-ganjal-tim-pemburu-koruptor-
tangkap-buronan-kelas-kakap. Diakses pada 14 Februari 2020
18 Peraturan Presiden Republik Indonesia No. 115 Tahun 2015 tentang Satuan
Tugas Pemberantasan Penangkapan Ikan Secara Illegal (Illegal Fishing). Unsur-
unsur Satgas terdiri dari perwakilan Kementerian Kelautan dan Perikanan,
Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut, Kepolisian Negara Republik
Indonesia, Kejaksaan Agung Republik Indonesia, Badan Keamanan Laut, BPKP,
Kementerian Keuangan, Kementerian Luar Negeri, Kementerian Perhubungan,
serta PPATK

248
MENIMBANG MEKANISME KOORDINASI PENEGAKAN HUKUM SUMBER DAYA ALAM
DAN LINGKUNGAN HIDUP YANG BERKELANJUTAN

penanganan perkara dilakukan dengan pendekatan


multidoors yang menggunakan multi rezim hukum oleh
multi institusi penegak hukum.

Terdapat tiga institusi dengan kewenangan penyidikan


yang terlibat dalam Satgas 115, yakni Kepolisian, TNI
Angkatan Laut, dan Kementerian Kelautan dan
Perikanan. Dalam hal implementasi, anggota satgas
kerap melakukan penyidikan bersama (joint investigation)
dan berbagi barang bukti dalam penyidikan. Sebagai
contoh, di Ambon, KKP melakukan penyidikan kejahatan
penangkapan ikan secara ilegal dan melihat indikasi
kejahatan tindak pidana perdagangan orang (TPPO) pada
kasus yang sama. Penyidik KKP kemudian menginfokan
penyidik Kepolisian, untuk menindaklanjuti temuan
tersebut.

Skema joint investigation juga dilakukan dengan institusi


penegak hukum luar negeri seperti Interpol dan
Australian Fisheries Management Authoritiy (AFMA),
seperti dalam kasus STS 50 yang terjadi di Batam.
Kerjasama dengan luar negeri ini menjadi penting karena
mayoritas beneficial ownership dari kasus illegal fishing
berada di luar negeri.

Untuk mengoptimalkan penanganan perkara, Satgas 115


membangun platform berbagi data yakni Puskodal 11519,

19 “Berantas Illegal Fishing, Menteri Susi Resmikan Puskodal Satgas 115 di


Natuna”.

249
MENIMBANG MEKANISME KOORDINASI PENEGAKAN HUKUM SUMBER DAYA ALAM
DAN LINGKUNGAN HIDUP YANG BERKELANJUTAN

yang menggabungkan database KKP, Bakamla, dan TNI


AL. Platform ini menjadi penting untuk melengkapi data
masing-masing institusi yang masih terbatas. Sementara
dalam konteks anggaran, operasional Satgas 115
seluruhnya dialokasikan oleh KKP. Hal ini mendorong
efektifitas kerja tim, mengingat seluruh kebutuhan untuk
menjalankan tugas dan fungsi dibekali dengan alokasi
anggaran yang optimal.

Meski demikian, masih terdapat beberapa tantangan yang


dihadapi oleh Satgas dalam pelaksanaan tugas.
Perbedaan penafsiran terkait ketentuan hukum antar
instansi penegak hukum terhadap substansi regulasi. Di
sisi lain, penguatan peran Kejaksaan khususnya Jaksa
peneliti untuk memberikan pemahaman mengenai
regulasi yang baru juga dipandang penting untuk
mengoptimalkan penanganan perkara.

Dalam konteks yang lebih strategis, permasalahan


restrukturisasi yang saat ini sedang berjalan menyusul
berakhirnya masa berlaku SK Tim Satgas pada 2019 lalu
juga mengemuka. Melalui restrukturisasi ini, diharapkan
kerjasama Satgas ke depan tidak hanya terbatas pada
institusi penegak hukum dalam negeri, namun juga luar
negeri untuk mengoptimalkan penanganan perkara TPPU
dan TPPO yang kerap menyertai kejahatan illegal fishing.

https://news.kkp.go.id/index.php/berantas-illegal-fishing-menteri-susi-
resmikan-puskodal-satgas-151-di-natuna/. Diakses pada 25 Juni 2020.

250
MENIMBANG MEKANISME KOORDINASI PENEGAKAN HUKUM SUMBER DAYA ALAM
DAN LINGKUNGAN HIDUP YANG BERKELANJUTAN

Penegakan Hukum SDA - Multidoor

Tingginya angka kejahatan SDA LH yang memiliki dimensi


pelanggaran hukum diluar SDA LH, seperti korupsi,
pajak, pencucian uang menjadi landasan terbentuknya
model penegakan hukum SDA LH secara terintegrasi
denga skema multidoor. 20 Pembentukkannya dilakukan
melalui MoU antar lembaga yang beranggotakan sejumlah
penegakan hukum seperti Polri, Kejaksaan, dan K/L
terkait seperti Kementerian Lingkungan Hidup,
Kementerian Kehutanan, Kementerian Keuangan dan
PPATK.

Inisiasi penanganan kasus SDA LH melalui multidoor


dapat dilakukan oleh setiap institusi penegak hukum
sedini mungkin dalam tahapan penanganan perkara.
Dalam proses penyelidikan maupun penyidikan, rapat
informal antara penyidik dan penuntut umum dapat
dilakukan untuk mempercepat proses penanganan
kasus. 21 Adapun pola koordinasi dalam penanganan
perkara multidoor dilakukan dengan dua cara, yakni pola
koordinasi vertikal dan horizontal. Koordinasi vertikal
diselenggarakan melalui Rapat Koordinasi Pengawasan

20 Pendekatan yang dilakukan dalam konsep multidoor adalah menekankan pada


penggunaan multi rezim hukum untuk menjerat para pelaku perusakan
lingkungan dan mengoptimalkan pengembalian kerugian negara akibat
kejahatan yang dilakukan.

21 Hal ini sejalan dengan ketentuan pada SEJA Nomor SE-004/A/JA/02/2009.

251
MENIMBANG MEKANISME KOORDINASI PENEGAKAN HUKUM SUMBER DAYA ALAM
DAN LINGKUNGAN HIDUP YANG BERKELANJUTAN

dan Teknis yang dihadiri oleh Penyidik polri, PPNS, dan


penuntut umum dari level penegak hukum yang
menangani perkara serta pimpinan yang dapat mengambil
kebijakan dalam penanganan perkara. Rapat koordinasi
pengawasan membahas perkembangan penanganan
seluruh perkara yang ada, termasuk pembagian tanggung
jawab dan jangka waktu penanganan masing-masing
kasus. Hasil investigasi lapangan penyidik Polri dan PPNS
kemudian dilaporkan ke rakor tingkat direktur, untuk
diputuskan apakah temuan dapat ditingkatkan menjadi
penyelidikan atau penyidikan.

Koordinasi secara horizontal dilakukan dalam proses


penyelidikan maupun penyidikan, melalui rapat informal
antara penyidik dan penuntut umum yang dilakukan
untuk mempercepat proses penanganan kasus. 22 Di
tingkat pusat, rakor apgakum ini diadakan berdasarkan
kebutuhan penanganan perkara, maupun secara periodik
setiap tiga bulan. Untuk tingkat daerah, rakor dapat
dilaksanakan sesuai dengan kebutuhan penanganan
perkara.

Adapun skema koordinasi multidoor dapat digambarkan


melalui bagan berikut:

22 Hal ini sejalan dengan ketentuan pada SEJA Nomor SE-004/A/JA/02/2009.

252
MENIMBANG MEKANISME KOORDINASI PENEGAKAN HUKUM SUMBER DAYA ALAM
DAN LINGKUNGAN HIDUP YANG BERKELANJUTAN

Dalam hal penanganan kasus secara multidoor, kerjasama


antar lembaga dititikberatkan pada fase awal penanganan
kasus. Masing-masing penyidik dalam hal ini saling
memberikan info terkait indikasi terdapatnya tindak
pidana lain dalam kasus yang sedang ditangani dalam
proses gelar perkara. Penyidikan kemudian dilakukan
secara terpisah (parallel investigation), mengingat tindak
lanjut penanganan kasus dikembalikan pada kebijakan
masing-masing institusi.

Sebagai contoh, penanganan perkara limbah di Sungai


Citarum, dimana KLHK melibatkan Kementerian
ATR/BPN dalam penyelidikan kasus. Namun, belakangan
Kementerian ATR/BPN mengedepankan penerapan
hukum administrasi sehingga penanganan kasus dari

253
MENIMBANG MEKANISME KOORDINASI PENEGAKAN HUKUM SUMBER DAYA ALAM
DAN LINGKUNGAN HIDUP YANG BERKELANJUTAN

konteks pidana tidak dilanjutkan. Sulitnya pembuktian


terkait pemenuhan delik atau unsur “perubahan fungsi”
dan rendahnya willingness aparat PPNS di daerah menjadi
polemik dalam mendorong pemidanaan terhadap
pelanggaran pidana tata ruang.

Meski Kepolisian juga menjadi pihak dalam MoU


Multidoor, peran penyidik polri untuk mendorong
peanganan perkara secara multidoor tersebut dirasa
belum terlalu signifikan. Kerjasama dengan Direktoray
Tindak Pidana Tertentu (Dittipidter) Bareskrim Polri
dilakukan melalui fasilitasi dan pembiayaan ahli terhadap
kasus yang sudah dilimpahkan ke pengadilan. Pola
penyidikan bersama jarang dilakukan dengan Tipidter,
karena apabila penyidikan sudah dilakukan oleh
kepolisian maka KLHK akan menarik diri.

Unit kepolisian lain yang juga terlibat dalam multdoor


adalah Biro Koordinasi dan Pengawasan (Korwas) PPNS.
Meski diproyeksikan akan mampu mendeteksi dan
mendorong keterlibatan multi institusi untuk penanganan
perkara, pada praktiknya koordinasi dengan korwas
hanya dilakukan pada ranah penangkapan dan
penahanan, gelar perkara, dan rapat koordinasi. Dalam
hal mendorong penerapan multidoor, Korwas dinilai belum
terlihat. Di sisi lain, peran Jaksa Peneliti untuk
memberikan arahan dalam pemberkasan dirasa cukup
efektif untuk mendorong penanganan kasus, dikaitkan
dengan limitasi waktu penanganan kejahatan SDA yang

254
MENIMBANG MEKANISME KOORDINASI PENEGAKAN HUKUM SUMBER DAYA ALAM
DAN LINGKUNGAN HIDUP YANG BERKELANJUTAN

hanya 90 hari. Selain itu, dalam agenda rapat koordinasi,


Jaksa Peneliti juga penting untuk memberikan arahan
terkait pemberkasan. Dengan demikian, berkas yang
diajukan oleh penyidik tidak membutuhkan waktu lama
untuk dinyatakan lengkap (P-19).

Pelaksanaan rapat koordinasi multidoor dilakukan secara


kasuistis untuk menyamakan persepsi Multidoor dan
penanganan barang bukti. Pada umumnya, dalam satu
kasus hanya terdapat satu barang bukti yang akan
digunakan oleh multi instansi, sehingga dibutuhkan
mekanisme khusus untuk penggunaaan barang bukti
secara bersama.

Hingga saat ini, belum terdapat aturan yang lebih teknis


di masing-masing lembaga terkait implementasi multidoor.
Platform khusus untuk berbagi data antar institusi juga
belum dibangun, dan lebih mengedepankan pertukaran
informasi secara manual. Di sisi lain, alokasi anggaran
untuk penanganan perkara dengan pendekatan multidoor
diserahkan pada kebijakan masing-masing kementerian
terkait. KLHK tidak secara spesifik menganggarkan
kebutuhan untuk pelaksanaan multidoor, karena
disamakan dengan pelaksanaan tugas dan fungsi. Meski
demikian, alokasi anggaran untuk penanganan kasus
cukup proporsional mengingat urusan penegakan hukum
menjadi kewenangan eselon I. Hal ini berbeda dengan
kementerian terkait lainnya yang menempatkan urusan
penegakan hukum pada level eselon II bahkan III, dan

255
MENIMBANG MEKANISME KOORDINASI PENEGAKAN HUKUM SUMBER DAYA ALAM
DAN LINGKUNGAN HIDUP YANG BERKELANJUTAN

berdampak pada alokasi anggaran. Dengan demikian


dapat disimpulkan bahwa penegakan hukum belum
menjadi prioritas dalam pelaksanaan tugas dan fungsi
lembaga. Berdasarkan hal tersebut, dapat dipahami
bahwa politik anggaran masing-masing instansi yang
terlibat belum mencerminkan dukungan penuh untuk
pelaksanaan penanganan kasus dengan pendekatan
multidoor. Di sisi lain, kebijakan pimpinan mengenai
tindak lanjut penanganan kasus untuk dilakukan secara
administratif atau dengan pendekatan pidana juga
menjadi polemik tersendiri yang menghambat
pelaksanaan multidoor.

Saat ini, implementasi multidoor dilakukan tidak hanya


oleh pihak-pihak yang menandatangani MoU namun juga
pihak lain, seperti Kementerian ATR BPN. Terkait hal ini,
sempat ada usulan untuk membuat MoU baru agar
keterlibatan ATR BPN dalam kerangka multidoor juga
memiliki dasar hukum. Namun belakangan disepakati
untuk memprioritaskan penanganan perkara secara
bersama-sama dan meninjau efektifitas kerja sama
tersebut.

256
MENIMBANG MEKANISME KOORDINASI PENEGAKAN HUKUM SUMBER DAYA ALAM
DAN LINGKUNGAN HIDUP YANG BERKELANJUTAN

Sistem Database Penanganan Perkara Tindak Pidana


Secara Terpadu Berbasis Teknologi Informasi (SPPT TI)

Hasil evaluasi RPJMN 2010-2014 oleh Bappenas mencatat


beberapa isu pembangunan hukum, termasuk tidak
efektifnya komunikasi dan koordinasi Mahkumjakpol 23
dalam sistem peradilan pidana di Indonesia. Hal ini
memunculkan gagasan untuk melakukan automasi
koordinasi penegakan hukum, yang menjadi cikal bakal
lahirnya Sistem Database Penanganan Perkara Tindak
Pidana Secara Terpadu Berbasis Teknologi Informasi
(SPPT TI). Pada Januari 2016, Nota Kesepahaman terkait
SPPT TI ditandatangani oleh Jaksa Agung, Kapolri,
Menkumham, Ketua MA RI, Menkopolhukam,
Menkominfo, Menteri PPN, dan Kepala BSSN RI, dan
ditindaklanjuti oleh penandatanganan pedoman kerja
oleh pejabat eselon I masing-masing instansi pada 2017.
Keberadaan SPPT TI ini diharapkan mampu menciptakan
koordinasi antar lembaga yang lebih sinergis dan efisien.
Adapun struktur organisasi dalam kerangka SPPT TI
dapat digambarkan sebagai berikut:

23 Mahkamah Agung, Kemenkumham, Kejaksaan, Kepolisian.

257
MENIMBANG MEKANISME KOORDINASI PENEGAKAN HUKUM SUMBER DAYA ALAM
DAN LINGKUNGAN HIDUP YANG BERKELANJUTAN

Tim Pengarah [Eselon 1 dan Eselon 2 Tiap – Tiap Komponen]

Pokja Probita 1. Alur Proses


2. Jenis Dokumen
(Proses Bisnis dan Data)
3. Elemen Data

Pokja Dutekam Komponen Utama didukung


(Dukungan Teknis & 1. Aplikasi Client
Keamanan) 2. Aplikasi Puskarda Komponen Pendukung

Pokja Puskarda 1. Pengembangan Dashboard


(Pusat Pertukaran Data) 2. Uji Fungsi Dashboard

Tim pengarah terdiri dari pejabat eselon 1 dan 2 masing-


masing K/L yang menjadi pihak dalam SPPT TI, dan
bertugas untuk merumuskan serta mengendalikan arah
pengembangan SPPT TI. Pelaksanaan tugas dan fungsi
dalam skema koordinasi SPPT TI ditunjang dengan
keberadaan tiga kelompok kerja, yakni pertama kelompok
kerja proses bisnis dan data (probita) yang merumuskan
alur proses, jenis dokumen dan elemen data yang
dipertukarkan. Kedua, pokja dukungan teknis dan
keamanan (dutekam) yang bertugas untuk memastikan
keamanan sistem aplikasi client dan puskarda termasuk
melalui enkripsi data. Ketiga pokja pusat pertukaran data
(puskarda) yang bertugas untuk melakukan
pengembangan serta uji fungsi dashboard SPPT TI.
Keberadaan pokja puskarda ini mengubah arsitektur
SPPT TI yang pada awalnya didesain point to point, dengan
skema pengiriman kepada puskarda oleh instansi
pengirim, untuk kemudian diteruskan ke instansi

258
MENIMBANG MEKANISME KOORDINASI PENEGAKAN HUKUM SUMBER DAYA ALAM
DAN LINGKUNGAN HIDUP YANG BERKELANJUTAN

penerima. Dengan demikian, puskarda menjadi kotak pos


dalam SPPT TI, yang hanya akan menyimpan info
mengenai tanggal dan nomor dokumen yang dikirimkan.
Informasi lainnya langsung diteruskan tanpa disimpan
oleh sistem puskarda.

Kejaksaan RI dalam hal ini diwakili oleh Pusdaskrimti


sebagai unit yang mengelola database penanganan
perkara. Mengingat saat ini pertukaran data di SPPT TI
masih terbatas pada tindak pidana umum, maka yang
bertugas menjadi wali data adalah unit di Jampidum.
Dengan demikian, diperlukan koordinasi di internal
Kejaksaan antara Pusdaskrimti dengan Jampidum
apabila terdapat kendala teknis dalam pertukaran data.
Pola yang sama ditemui di Kepolisian, dimana Biro
Pembinaan Operasi selaku wali data berkoordinasi
dengan Pusiknas selaku unit pengelola database
penanganan perkara yang akan memvalidasi format
bakuan data SPPT TI dan mengirimkannya ke Puskarda.
Di sisi lain, keberadaan K/L non teknis seperti Bappenas
dan Kemenkopolhukam memiliki peran krusial dalam
pengembangan SPPT TI. Bappenas bertugas untuk
mengoordinasikan perencanaan dan penganggaran,
melakukan monitoring dan evaluasi, assesmen mutu
data, menyusun grand design SPPT TI 2020-2024, serta
mengupayakan dukungan mitra pembangunan untuk
kebutuhan konsultan. Kemenkopolhukam juga memiliki

259
MENIMBANG MEKANISME KOORDINASI PENEGAKAN HUKUM SUMBER DAYA ALAM
DAN LINGKUNGAN HIDUP YANG BERKELANJUTAN

peran strategis untuk mengoordinasikan pengembangan


dan implementasi SPPT TI.

Saat ini, skema pertukaran data pada SPPT TI masih


berupa versi ringkas dan masih dalam tahap
pengembangan untuk memuat versi yang lebih lengkap
sebagaimana tertera dalam Grand Design SPPT TI 2020-
2024. Meski salah satu tujuan besar SPPT TI adalah case
tracking system yang dapat dipublikasikan kepada
masyarakat guna mendorong transparansi penanganan
perkara, akses terhadap dashboard saat ini masih
terbatas di Deputi 3 Kemenkopolhukam. Hal ini
dikarenakan mutu data yang dipertukarkan masih
rendah, sehingga perlu disempurnakan sebelum
kedepannya akan diakses oleh publik secara luas. Dengan
demikian, keberadaan SPPT TI untuk mendorong
percepatan upaya penegakan hukum masih belum
dirasakan manfaatnya hingga saat ini.

Di sisi lain, pengembangan jenis kejahatan yang


diakomodir dalam SPPT TI pada tahun 2020-2024
diarahkan pada kejahatan narkotika, korupsi, dan pidana
anak. Pemilihan kejahatan-kejahatan tersebut didasarkan
pada pertimbangan keselarasan dengan arah
pembangunan hukum dalam RPJMN 2020-2024 yang
menitikberatkan pada tiga jenis kejahatan tersebut.
Namun demikian, masih terdapat beberapa isu yang perlu
didiskusikan, termasuk mengenai proses bisnis
pertukaran data apabila penyidikan dan penuntutan

260
MENIMBANG MEKANISME KOORDINASI PENEGAKAN HUKUM SUMBER DAYA ALAM
DAN LINGKUNGAN HIDUP YANG BERKELANJUTAN

dilakukan oleh satu instansi (misal Kejaksaan pada tindak


pidana korupsi). Pada hakikatnya peluang pengembangan
SPPT TI, termasuk untuk kejahatan sektor SDA terbuka
lebar. Dengan catatan perlu kesiapan database, user,
sistem, dan sumber daya manusia pada masing-masing
instansi yang terlibat dalam penegakan hukum SDA LH.

Dalam konteks anggaran, sejak RPJMN 2014-2019 hingga


saat ini RPJMN 2020-2024, SPPT TI terus didorong
sebagai prioritas nasional pemerintah bidang hukum. Hal
ini berdampak pada politik anggaran, dimana masing-
masing instansi yang berkontribusi dalam pencapaian
program diberikan alokasi anggaran prioritas yang
proporsional dengan kebutuhan SPPT TI. Namun
demikian, masih terdapat beberapa K/L yang tidak
melakukan tagging prioritas nasional terhadap kegiatan
yang mendukung SPPT TI, termasuk Pusiknas Polri.
Dengan demikian, program yang dilakukan dalam
kerangka SPPT TI dialokasikan hanya dari belanja modal.

Hal yang sama juga terjadi di Kemenkominfo pada tahun


2019 dan berdampak pada realokasi anggaran.
Permasalahan lainnya adalah anggaran untuk pengadaan
konsultan yang hingga saat ini masih mengandalkan
bantuan dari mitra pembangunan. Padahal pengadaan
konsultan menjadi hal krusial, sebagai pihak yang
menyiapkan timeline kerja serta menyusun agenda
pertemuan koordinasi antar stakeholder untuk
menggantikan fungsi sekretariat yang tidak dimiliki oleh

261
MENIMBANG MEKANISME KOORDINASI PENEGAKAN HUKUM SUMBER DAYA ALAM
DAN LINGKUNGAN HIDUP YANG BERKELANJUTAN

model koordinasi SPPT TI. Permasalahan lainnya adalah


minimnya alokasi anggaran untuk kebutuhan koordinatif
oleh aparat penegak hukum. Padahal, secara garis besar
telah terdapat pembagian yang jelas terkait alokasi
anggaran untuk kegiatan koordinasi sebagaimana
berikut:

Koordinasi
Koordinasi yang berkaitan dengan proses bisnis dan data didukung oleh APH dan Polhukam
Probita sebagai koordinator

Koordinasi yang berkaitan dengan dukungan teknis dan keamanan di dukung oleh anggaran
Dutekam Kominfo dan BSSN

Puskarda Koordinasi yang berkaitan dengan pusat pertukaran data di dukung oleh anggaran
Kominfo dan Polhukam

Implementasi Sosialisasi dan implementasi wilayah didukung oleh anggaran Polhukam dan APH

Koordinasi khusus yang berkaitan dengan K/L masing-masing, proses internal atau
K/L permasalahan spesifik didukung oleh masing-masing APH

Kegiatan monitoring dan evaluasi dilaksanakan secara kolaborasi bergantung pada kesediaan
Monev komponen untuk memfasilitasi. Monev sebagai tusi Bappenas dilakukan melalui anggaran Bappenas.

Perencanaan Kegiatan perencanaan penganggaran K/L dilaksanakan melalui anggaran Bappenas, termasuk
Penganggaran & koordinasi lintas direktorat sektor di Bappenas. Selain itu aktifitas pengendalian seperti asesmen dan
Pengendalian koordinasi lainnya dikordinasikan Bappenas dan dukungan mitra pembangunan.

Selain permasalahan anggaran, kendala lainnya dalam


SPPT TI adalah minimnya atensi dari masing-masing K/L.
Minimnya jumlah SDM yang kompeten untuk melakukan
penginputan, pengelolaan, serta perencanaan dan
manajemen proyek SPPT TI masih menjadi problem
krusial. Ego sektoral kelembagaan juga masih
mengemuka, khususnya terkait list dokumen yang akan
dipertukarkan. Terkait hal ini, peran Kemenkopolhukam
sebagai leading sector perlu dieskalasikan, mengingat saat
ini koordinasi justru banyak didorong oleh pokja dan tim
pengarah. Dalam konteks teknis, permasalahan yang

262
MENIMBANG MEKANISME KOORDINASI PENEGAKAN HUKUM SUMBER DAYA ALAM
DAN LINGKUNGAN HIDUP YANG BERKELANJUTAN

mengemuka adalah rendahnya mutu data akibat proses


pengumpulan data yang belum membudaya. Selain itu,
perubahan kriteria validasi data di Puskarda belum
disosialisasikan secara sempurna, sehingga data banyak
tertolak.

Tantangan dalam pelaksanaan SPPT TI adalah ide


digitalisasi proses yang masih terhambat dengan regulasi
pada KUHAP sebagai dasar hukum acara penanganan
perkara pidana. Dengan demikian, pertukaran data yang
dilaksanakan baru sebatas antara lain nomor surat,
tanggal, pejabat penandatangan. Namun, dokumen fisik
yang menjadi bagian penting dalam penanganan perkara
tidak dipertukarkan secara digital, sehingga petugas di
lapangan masih menunggu dokumen fisiknya. Isu
regulasi ini juga membatasi pertukaran data hanya pada
dokumen yang sudah selesai, sehingga penyidikan
bersama yang menekankan pada berbagi alat bukti serta
dokumen on going lainnya tidak dapat dilakukan.
Tantagan lainnya adalah pengembangan sistem informasi
penyidikan yang dinamis, dikaitkan dengan kesiapan
sarana dan prasarana yang ada di masing-masing K/L.

PENUTUP

Kesimpulan

Koordinasi antar lembaga negara adalah kunci


keberhasilan dalam menangani perkara SDA LH yang
bersifat lintas sektor. Selain karena kewenangan yang bisa

263
MENIMBANG MEKANISME KOORDINASI PENEGAKAN HUKUM SUMBER DAYA ALAM
DAN LINGKUNGAN HIDUP YANG BERKELANJUTAN

diselaraskan, adanya koordinasi dapat memfasilitasi


proses berbagi data, informasi dan pengetahuan antar
lembaga negara. Sehingga bisa menjadi cara efektif untuk
meningkatkan kapasitas kementerian dan lembaga
negara lain.

Meskipun penerapan koordinasi antar lembaga dalam


upaya penegakan hukum di Indonesia bukanlah hal baru,
masih terdapat banyak aspek yang menghambat
pelaksanaannya. Minimnya ketersediaan anggaran akibat
perbedaan prioritas pelaksanaan tugas dan fungsi
menjadi poin krusial yang harus segera dipecahkan.
Perbedaan kebijakan masing-masing instansi dalam
konteks tindak lanjut penanganan perkara juga menjadi
problem untuk mendorong penanganan perkara yang
terintegrasi.

Selain itu juga terdapat kendala yang berpotensi


menghentikan jalannya proses koordinasi, yakni konflik
antar lembaga yang berkepanjangan. Oleh karena itu,
dibutuhkan subjek yang menjadi koordinator untuk
menengahi konflik dan menjadi penengan dalam
penyelesaian konflik. Adanya basis kesepakatan misalnya
melalui Memorandum of Understanding (MoU) setidaknya
mampu untuk memitigasi konflik.

Selain itu, adanya MoU dapat memperjelas tugas dan


fungsi serta tanggung jawab masing-masing lembaga.
Kemudian, MoU juga dapat memperjelas tata cara

264
MENIMBANG MEKANISME KOORDINASI PENEGAKAN HUKUM SUMBER DAYA ALAM
DAN LINGKUNGAN HIDUP YANG BERKELANJUTAN

pembagian atau pengaturan tentang yurisdiksi dan


kewenangan. Hal ini sangat penting mengingat masing-
masing lembaga negara mempunyai kepentingan masing-
masing dan kewenangan yang mungkin tumpang tindih
dengan kewenangan lembaga negara lainnya yang terlibat
dalam koordinasi.

Saran

Berkaca dari pengalaman sejumlah model koordinasi


antar lembaga, dapat direkomendasikan beberapa hal
yang dapat mendorong koordinasi antar lembaga dalam
penanganan perkara SDA LH yang berkelanjutan, antara
lain:

a. Dasar hukum

Mengingat lembaga-lembaga yang melakukan


penegakan hukum terhadap kejahatan SDA LH
bernaung di bawah Presiden, maka untuk menjamin
berjalannya koordinasi, penting untuk membentuk
dasar hukum yang dikeluarkan langsung oleh
Presiden baik berupa Peraturan Pemerintah maupun
Peraturan Presiden. Hal ini akan meminimalisir
permasalahan ego kelembagaan yang seringkali
muncul dalam koordinasi, karena pada dasarnya
kepentingan yang disasar oleh sejumlah lembaga
tersebut adalah kepentingan politik penegakan
hukum Presiden.

265
MENIMBANG MEKANISME KOORDINASI PENEGAKAN HUKUM SUMBER DAYA ALAM
DAN LINGKUNGAN HIDUP YANG BERKELANJUTAN

b. Anggaran

Penempatan alokasi anggaran untuk penanganan


kejahatan SDA LH yang terintegrasi pada satu pos
anggaran khusus perlu dipertimbangkan. Jika tidak
memungkinkan diletakkan dalam suatu organisasi
yang bersifat ad hoc, maka dapat ditempatkan di
salah satu institusi yang permanen yang memang
sudah memiliki pengalaman yang matang dalam
penegakan hukum SDA LH serta memiliki struktur
kelembagaan yang kuat. Dengan demikian, politik
anggaran penanganan kasus SDA LH secara
terintegrasi diharapkan dapat dialokasikan secara
proporsional, termasuk mengakomodir pembiayaan
koordinasi antar instansi penegak hukum.

c. Mekanisme koordinasi

Dalam hal mendorong pertanggungjawaban pidana


dari kejahatan SDA LH yang lebih komprehensif,
penanganan kejahatan SDA LH harus dilakukan
dengan metode joint investigation. Inisiasi masing-
masing instansi penegak hukum untuk melihat
indikasi tindak pidana lain dalam kejahatan SDA LH
menjadi motor utama yang akan menggerakkan
skema kooordinasi. Pelaksanaan pertemuan ruitn
yang bersifat informal, berdasarkan kebutuhan
kasus untuk menyamakan persepsi dan
menjabarkan pola penggunaan barang bukti oleh

266
MENIMBANG MEKANISME KOORDINASI PENEGAKAN HUKUM SUMBER DAYA ALAM
DAN LINGKUNGAN HIDUP YANG BERKELANJUTAN

multi instansi perlu terus didorong untuk


mengoptimalkan koordinasi.

d. Pertukaran data

Guna memfasilitasi dan mengefektifkan inisiasi


penegak hukum dalam melihat indikasi tindak
pidana lain, diperlukan sebuah platform pertukaran
data. Platform ini akan berfungsi sebagai sistem
notifikasi, yang akan memberikan tanda peringatan
(alert) apabila terdapat kejahatan lain yang
mengikuti kejahatan SDA LH. Selain itu, pertukaran
informasi dan data lain yang terkait dengan
penanganan kasus juga akan dipertukarkan melalui
platform ini.

e. Kepemimpinan

Keterlibatan multi instansi dalam mekanisme


koordinasi rentan memunculkan ego kelembagaan,
yang kemudian berdampak pada kurang efektifnya
pelaksanaan koordinasi. Untuk itu, dibutuhkan
keberadaan pemimpin (leading sector) untuk
menjembatani komunikasi dan kepentingan masing-
masing instansi yang terlibat. Untuk menunjang
tugas koordinator, dibutuhkan sekretariat untuk
menyusun rencana tugas dan memastikan
kelancaran implementasi koordinasi.

267
MENIMBANG MEKANISME KOORDINASI PENEGAKAN HUKUM SUMBER DAYA ALAM
DAN LINGKUNGAN HIDUP YANG BERKELANJUTAN

UCAPAN TERIMA KASIH

Penelitian ini merupakan salah satu aktivitas yang


dilakukan dalam Program Peningkatan Kapasitas dan
Koordinasi Penegakan Hukum Sumber Daya Alam dan
Lingkungan Hidup yang dilakukan bersama-sama dengan
Komisi Pemberantasan Korupsi Republik Indonesia atas
dukungan pendanaan secara penuh dari Pemerintah
Kerajaan Norwegia melalui Royal Norwegian Embassy,
Jakarta.

Penulis dalam hal ini mengucapkan terima kasih kepada


para pihak yang membantu menyediakan informasi dalam
proses penelitian ini, yakni Kejaksaan, Kepolisian,
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan,
Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kementerian
Pertanian, Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan
Pertanahan Nasional, Kementerian Energi dan Sumber
Daya Mineral, Kementerian Keuangan, Pusat Pelaporan
dan Analisis Transaksi Keuangan, Kementerian
Koordinator Politik Hukum dan Keamanan, Kementerian
Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas.

DAFTAR PUSTAKA

Arrow, K. J. (1974), The “Limits of Organization.”, (New


York: Norton).
Freeman, J. & Rossi, J. (2012), “Agency Coordination in
Shared Regulatory Space.” Harvard Law Review, no. 5
vol. 125.

268
MENIMBANG MEKANISME KOORDINASI PENEGAKAN HUKUM SUMBER DAYA ALAM
DAN LINGKUNGAN HIDUP YANG BERKELANJUTAN

Hasibuan, M. S. P. (2008), “Manajemen: Dasar,


Pengertian, dan Masalah”, Edisi Revisi. Cetakan
Ketujuan. (Bumi Aksara: Jakarta).
Hayek, A. (1945), “The Use of Knowledge in Society.” The
American Economic Review, no. 4 vol. xxxv.
Kaiser, F. M. (2011), “Interagency Collaborative
Arrangements and Activities: Types, Rationales,
Considerations.” Congressional Research Service.
Jenkins, M. (2019), Interagency coordination mechanisms:
Improving the effectiveness of national anti-corruption
efforts. Transparency International Anti Corruption
Helpdesk Answer.
Olson, W. J., & Marcella, G. (2018), Affairs of State: The
Interagency and National Security, Report. Strategic
Studies Institute, US Army War College.
Peraturan Pemerintah nomor 43 tahun 2012 tentang Tata
Cara Koordinasi Pengawasan dan Pembinaan Teknis
Terhadap Kepolisian khusus Penyidik Pegawai Negeri
Sipil dan Bentuk Bentuk Pengamanan Swakarsa.
Santon, T. H. (2007), “Improving Collaboration by Federal
Agencies: An Essential Priority for the Next
Administration, (National Academy of Public
Administration: Washington DC).
SEJA Nomor SE-004/A/JA/02/2009 tentang Minimalisir
Bolak Baliknya Perkara antara Penyidik dan Penuntut
Umum.
Siagian, S. P. (1982), “Peranan Staf Dalam Manajemen”
(Gunung Agung: Jakarta).
Situmorang, A. W. (2015), Road to Improving Forest
Governance in Indonesia: Initial Assessment on the
Implementation of the Joint Regulation on the Multi-
DoorApproach to Address Natural Resources and
Environment-Related Crimes in Forest Areas and
Peatlands. Jakarta: UN-REDD Programme and UNDP
Indonesia.

269
MENIMBANG MEKANISME KOORDINASI PENEGAKAN HUKUM SUMBER DAYA ALAM
DAN LINGKUNGAN HIDUP YANG BERKELANJUTAN

Strom, K. J., & Eyermen, J. (2008), “Interagency


Coordination: A Case Study of the 2005. London Train
Bombings,” National Institute of Justice Journal, No.
260.
Undang-Undang No. 16 Tahun 2009 tentang Penetapan
Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang No. 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan
dan Pemberantasan Perusakan Hutan.
Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pencegahan
dan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Undang-Undang No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan
dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.
Undang-Undang nomor 5 tahun 2008 tentang Perubahan
Keempat atas Undang-Undang nomor 6 tahun 1983
tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan
Menjadi Undang-Undang.

270
7
Memperbaiki HAM dan
Lingkungan di Masa Covid-19
Perspektif Keadilan Bermartabat
(Studi Kasus Karhutla Kalimantan
Tengah)

Rizky Karo Karo, Morita Christallago,


Gracielle Serenata Imanuella Tambunan
Universitas Pelita Harapan
rizkykarokaro@gmail.com,
morita.christallago@gmail.com,
graceserenata23@gmail.com

Abstrak

Hutan merupakan sumber kehidupan untuk manusia dan


juga habitat bagi satwa liar. Indonesia menempati
peringkat ke-delapan sebagai negara dengan hutan
terluas di dunia, tetapi masih banyak masyarakat yang
sering melakukan eksploitasi dengan membakar lahan
dan hutan untuk kepentingan pribadi. Kerusakan hutan
dapat mengganggu keseimbangan alam dan
meningkatkan peluang munculnya penyakit zoonosis.
UUPPLH menyatakan bahwa hak atas lingkungan yang
baik dan sehat adalah bagian dari hak asasi manusia.
Namun, pemerintah masih tergolong lambat dalam

271
MEMPERBAIKI HAM DAN LINGKUNGAN DI MASA
COVID-19 PERSPEKTIF KEADILAN BERMARTABAT (STUDI KASUS KARHUTLA
KALIMANTAN TENGAH)

mengatasi penanggulangan kebakaran hutan. Studi ini


berfokus pada kasus kebakaran hutan di Kalimantan
Tengah. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan
menganalisis penegakan hukum lingkungan dalam
memberikan akses terhadap keadilan bagi masyarakat.
Metode penelitian yang digunakan adalah yuridis-
normatif dengan pendekatan perundang-undangan dan
kasus. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa kebakaran
hutan di Kalimantan Tengah adalah bentuk kerusakan
lingkungan dan kesehatan manusia, pemerintah wajib
mencegah kebakaran hutan di masa pandemi COVID-19
karena dapat mendatangkan bahaya yang berlipat ganda.
Putusan Mahkamah Agung No. 3555 K/PDT/2018
menjadi pembelajaran bagi pemerintah bahwa semua
orang sama di mata hukum (equality before the law) dan
Negara memiliki tugas untuk memanusiakan manusia
sebagaimana inti dari teori keadilan bermartabat.

Kata Kunci: hak asasi manusia, hak lingkungan,


keadilan bermartabat, kebakaran hutan

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Indonesia adalah negara ke-delapan yang memiliki area


hutan terbesar di dunia. Ekosistem hutan merupakan
komponen penting dari keanekaragaman hayati dunia

272
MEMPERBAIKI HAM DAN LINGKUNGAN DI MASA
COVID-19 PERSPEKTIF KEADILAN BERMARTABAT (STUDI KASUS KARHUTLA
KALIMANTAN TENGAH)

karena keanekaragaman hayati paling banyak ditemukan


di hutan dari pada ekosistem lainnya. Area yang ditutupi
oleh hutan adalah salah satu indicator tujuan
pembagunan berkelanjutan (sustainable development)
(FAO & UNEP, 2020).

Jasa ekosistem hutan dapat diklasifikasikan menjadi


empat jenis yaitu:

a. Provisioning: Produk fisik hutan yang bermanfaat


seperti makan, kayu, serat dan bahan bakar.
b. Regulating: Manfaat ‘pencegahan’ hutan, mereka
berperan dalam mengontrol erosi, pencegahan
banjir, perubahan iklim, penyerapan karbon dan
pemurnian air.
c. Cultural: Hutan merupakan sumber regenerasi
estetika dan spiritual, juga menyediakan rekreasi
dan Pendidikan yang menjadi pemasukan untuk
industry pariwisata.
d. Supporting: Menggambarkan peran ekosistem
sebagai ‘pembibitan’ untuk manfaat lingkungan
yang lain seperti siklus nutrisi dan pembentukan
tanah. Termasuk jasa keanekaragaman hayati
seperti Kawasan konservasi untuk satwa liar dan
habitatnya. (United Nations, 2014)

Hutan merupakan paru-paru bumi yang menyediakan


berbagai manfaat untuk kelangsungan hidup manusia
dan juga habitat bagi satwa liar. Saat ini, masih banyak

273
MEMPERBAIKI HAM DAN LINGKUNGAN DI MASA
COVID-19 PERSPEKTIF KEADILAN BERMARTABAT (STUDI KASUS KARHUTLA
KALIMANTAN TENGAH)

masyarakat yang melakukan eksploitasi besar-besaran


dengan membakar lahan dan hutan untuk kepentingan
pribadi mereka. Rusaknya hutan dapat menganggu
keseimbangan alam, menyebabkan masalah lingkungan,
menghilangkan pangan alami dan juga dapat
meningkatakan peluang penyebaran penyakit zoonosis
akibat dari lenyapnya habitat bagi satwa liar.

Zoonosis adalah penyakit yang muncul dan ditularkan


dari hewan ke manusia dan saat ini kasus penularan
penyakit zoonosis masih merupakan ancaman yang serius
terhadap kesehatan masyarakat. Menurut Pusat
Pengendalian dan Pencegahan Penyakit di Amerika
Serikat, telah diperkirakan 60% dari penyakit menular
yang diketahui sampai dengan 75% dari penyakit menular
baru merupakan penyakit zoonosis (Salyer, dkk., 2017).
Contoh nyata penyakit yang bermula dari hutan adalah
H1N1 (Flu Babi), Ebola, SARS, MERS dan COVID-19 yang
sampai saat ini telah memakan ratusan juta korban jiwa
di seluruh dunia (Putri, 2020).

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK)


mencatat bahwa dalam periode Januari – Maret 2020,
kebakaran hutan dan lahan (karhutla) mencapai 8.254
hektare (ha). Provinsi yang terjadi karhutla selama periode
tersebut adalah Aceh, Kalimantan Barat, Kalimantan
Timur dan Kalimantan Tengah, Maluku, NTB, Papua,
Papua Barat, Riau, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah,

274
MEMPERBAIKI HAM DAN LINGKUNGAN DI MASA
COVID-19 PERSPEKTIF KEADILAN BERMARTABAT (STUDI KASUS KARHUTLA
KALIMANTAN TENGAH)

Sulawesi Tenggara, Sumatra Barat, dan Sumatera Utara


(Maharani, 2020).

Saat ini, dunia sedang menghadapi pandemi virus corona


atau biasa disebut dengan COVID-19. Virus ini
menyerang sistem pernafasaan manusia hingga
menyebabkan infeksi pernafasan ringan sampai berat,
seperti flu dan infeksi paru-paru. COVID-19 bisa
menyerang siapa saja tanpa melihat golongan usia.
Sampai dengan pertengahan Juli 2020, kasus COVID-19
di Indonesia sudah menyerang 83.130 orang – 41.834
sembuh, 3.957 meninggal (Farisa, Purnamasari,
Nugraheny, 2020).

Maraknya kasus karhutla di Indonesia dalam masa


pademi COVID-19 dapat mengancam kesehatan manusia
dua kali lipat. Asap pekat yang disebabkan karhutla bisa
memperparah kondisi penderita COVID-19 karena dapat
mengancam sistem pernafasan manusia. Tidak hanya
manusia, karhutla juga berdampak kepada satwa hutan.
Namun, pemerintah dalam mengambil langkah untuk
menangani kasus karhutla masih tergolong lambat.

Dalam Pasal 28 ayat (1) UUD 1945 menyatakan bahwa


setiap orang berhak hidup sejahtera lahir batin, bertempat
tinggal dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan
sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan. Hal
ini juga ditegaskan dalam Pasal 9 ayat (3) UU HAM dan
Pasal 3 huruf g UUPPLH sebagai jelmaan dari jaminan

275
MEMPERBAIKI HAM DAN LINGKUNGAN DI MASA
COVID-19 PERSPEKTIF KEADILAN BERMARTABAT (STUDI KASUS KARHUTLA
KALIMANTAN TENGAH)

konstitusional yang diberikan oleh UUD 1945. Amanah


UUD 1945 jelas memandang bahwa kebutuhan
mendapatkan lingkungan yang sehat adalah bagian dari
hak asasi manusia. Oleh sebab itu, Negara sudah
sewajibnya memberi perlindungan dan jaminan
lingkungan yang sehat demi keberlangsungan hidup
manusia yang sejahtera.

Pada tahun 2015, kasus karhutla di Kalimantan Tengah


merupakan salah satu kasus terbesar, bahwa luasannya
hutan dan lahan yang terbakar mencapai sekitar
122.822,90 ha. Akibat dari kebakaran hutan dan lahan
menimbulkan asap yang menyebabkan kerugian bagi
masyarakat, seperti Infeksi Saluran Pernapasan Akut
(ISPA), menyebabkan penyakit diare, dan juga memakan
korban jiwa.1

Kebakaran hutan akan terus terjadi meskipun telah


diatur sedemikian rupa, peraturan tidak akan berfungsi
dengan baik ketika tidak ada upaya yang serius dari
pemerintah dalam mengantisipasi kebakaran hutan.
Kebakaran hutan tidak hanya mengancam kesehatan
manusia, namun menghilangkan pendukung kehidupan
kita.

Teori Keadilan Bermartabat atau Dignified Justice Theory


mengemukakan bahwa hukum itu bekerja mencapai

1
Putusan Pengadilan Negeri Palang Karaya No. 118/Pdt.G/LH/2016/PN Plk,
yang telah berkekuatan hukum tetap.

276
MEMPERBAIKI HAM DAN LINGKUNGAN DI MASA
COVID-19 PERSPEKTIF KEADILAN BERMARTABAT (STUDI KASUS KARHUTLA
KALIMANTAN TENGAH)

tujuan dan tumbuh dengan jiwa bangsa. Keadilan yang


memanusiakan manusia. Maka dari itu, penebangan
hutan seharusnya diperbolehkan selama penebangan
pohon dalam kawasan hutan yang sesuai dengan izin –
pemberian izin wajib berpedoman pada peraturan
perundang-undangan – yang diberikan oleh pihak yang
berwenangan dan tidak mengancam kesehatan manusia
dan/atau mengganggu keseimbangan ekosistem.

Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian diatas, maka rumusan masalah yang


akan dikaji oleh tim Penulis adalah bagaimana penegakan
hukum lingkungan memberikan akses terhadap keadilan
bagi masyarakat?

Tujuan

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui dan


menganalisis secara mendalam mengenai penegakan
hukum lingkungan dalam memberikan akses terhadap
keadilan bagi masyarakat.

Metode Penelitian

Penelitian ini menggungakan metode penelitian hukum


yaitu yuridis-normatif atau hukum-normatif yang
meletakan hukum sebagai sebuah bangunan sistem
norma dan merupakan penemuan kembali secara cermat
dan teliti melalui bahan atau data hukum.

277
MEMPERBAIKI HAM DAN LINGKUNGAN DI MASA
COVID-19 PERSPEKTIF KEADILAN BERMARTABAT (STUDI KASUS KARHUTLA
KALIMANTAN TENGAH)

Pendekatan

Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan


kualitatif, yaitu penelitian yang menghasilkan data-data
deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan, bukan
dengan angka-angka (Moleong, 2002).

Metode Pengumpulan Data

Metode Pengumpulan data yang digunakan adalah data


sekunder dengan menggunakan cara perolehan data
berupa studi kepustakaan (library research). Studi
kepustakan merupakan cara perolehan data dengan
pengkajian informasi tertulis mengenai hukum yang
sumbernya telah dipublikasikan secara luas dan
dibutuhkan dalam penelitian hukum normatif. Data
sekunder dalam penelitian ini terdiri dari:

Bahan Hukum Primer

Bahan hukum yang terdiri atas peraturan perundang-


undangan, yurisprudensi atau keputusan pengadilan dan
perjanjian internasional. Dalam penelitian ini, bahan
hukum primer yang digunakan berupa: Undang-Undang
Dasar 1945 (UUD 1945); Undang-Undang No. 32 Tahun
2009 tentang Pelindungan dan Pengelolaan Lingkungan
Hidup (UUPPLH); Undang-Undang No. 41 Tahun 1999
tentang Kehutanan (UU Kehutanan); Undang-Undang No.
39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (UU HAM);
dan pelbagai peraturan perundang-undangan yang

278
MEMPERBAIKI HAM DAN LINGKUNGAN DI MASA
COVID-19 PERSPEKTIF KEADILAN BERMARTABAT (STUDI KASUS KARHUTLA
KALIMANTAN TENGAH)

berkaitan dengan topik penelitian ini. Putusan pengadilan


yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah Putusan
Mahkamah Agung No. 3555 K/PDT/2018.

Bahan Hukum Sekunder

Bahan hukum yang dapat memberikan penjelasakan


terhadap bahan hukum premier, yang dapat berupa buku
ilmiah, disertasi, tesis, jurnal internasional maupun
nasional, seminar ilmiah, dan lain-lain.

Bahan Hukum Tersier

Bahan hukum yang dapat menjelaskan baik hukum


primer maupun sekunder, yaitu berupa kamus,
ensiklopedia, leksikon dan lain-lain.

Teknik Analisa Data

Data akan dianalisis secara logis sistematis. Logis


sistematis dilakukan dengan cara berpikir secara deduktif
yaitu menarik kesimpulan dari suatu permasalah yang
bersifat umum terhadap suatu masalah konkret. Hasil
akan disajikan secara deskriptif yaitu dengan
menuturkan dan menggambarkan kualitas pendapat-
pendapat para ahli hukum, doktrin, teori hukum, norma
hukum yang berkaitan dengan pokok permasalahan yang
diteliti (Sutopo, 1998).

279
MEMPERBAIKI HAM DAN LINGKUNGAN DI MASA
COVID-19 PERSPEKTIF KEADILAN BERMARTABAT (STUDI KASUS KARHUTLA
KALIMANTAN TENGAH)

PEMBAHASAN

Teori Keadilan Bermartabat (Dignified Justice Theory)

Keadilan bermartabat, bukanlah jenis pengertian


keadilan, namun suatu teori hukum yang memberi
petunjuk mengenai tujuan dalam setiap institusi hukum
(Prasetyo, 2015). Tujuan dalam Keadilan Bermartabat
menunjuk kepada Pancasila sebagai sumber dari segala
sumber inspirasi hukum. Maka dari itu, dalam Keadilan
Bermartabat terkandung nilai-nilai sentra sosio-politik,
ekonomi, kebudayaan dan lain sebagainya yang ada
dalam Pancasila. Dalam Keadilan Bermartabat, Pancasila
adalah jiwa bangsa (volksgeist). Rujukan kepada Pancasila
dikarenakan hal itu menjadi keharusan ketika pada
tanggal 17 Agustus 1945 Indonesia diproklamasikan.
Proklamasi mengharuskan pembentukan suatu sistem
hukum yang murni, hasil saringan dan penggantian
pemahaman dan pemaknaan atas konsep, kaidah, asas
hukum-hukum yang pernah dipakai penjajah. Dalam
Keadilan Bermartabat, tujuan hukum harus mengisi
kemerdekaan dengan etos kebangsaan. Tujuan demikian
itu disebut juga dengan pembaruan hukum (Prasetyo,
2018).

Hak Asasi Manusia atas Lingkungan Hidup

Indonesia adalah negara hukum (rechtstaat) yang


berkedaulatan rakyat (democracy). Pengertian tersebut
dipertegas dalam UUD 1945 bahwa, “Indonesia adalah

280
MEMPERBAIKI HAM DAN LINGKUNGAN DI MASA
COVID-19 PERSPEKTIF KEADILAN BERMARTABAT (STUDI KASUS KARHUTLA
KALIMANTAN TENGAH)

negara hukum”. Semua warga negara memiliki kedudukan


yang sama di dalam hukum, begitu juga pemerintahan tanpa
adanya pengecualian.

Negara hukum menurut Eropa Kontinental dipelopori oleh


Immanuel Kant dengan pemahaman “laissez fair laissez aller”
yang menjelaskan bahwa negara harus bersifat pasif,
bertindak dan mengawasi saat ada kerusuhan antar warga
negara dalam menyelenggarkan kepentingannya. Menurut
Kant (Nugraha, 2017), unsur-unsur pokok negara hukum
adalah adanya perlindungan terhadap hak-hak asasi
manusia dan adanya pemisahaan kekuasaan dalam negara.

Friedrich J. Stahl juga menyatakan bahwa empat unsur


pokok rechtstaat adalah hak-hak asasi manusia; Pemisahaan
kekuasaan untuk menjamin hak-hak asasi manusia;
Pemerintah dalam menjalankan tugasnya harus berdasarkan
atas undang-undang; Pemerintah dalam menjalankan
tugasnya berdasarkan undang-undang dan melanggar hak-
hak asasi manusia, maka ada pengadilan administrasi yang
menyelesaikannya (Siallagan, 2016).

Berdasarkan uraian pendapat para ahli di atas, dapat


disimpulkan bahwa Hak Asasi Manusia (HAM) merupakan
salah satu ciri dari rechtstaat.

Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) telah


disahkan oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa
pada tanggal 10 Desember 1948. Dalam deklarasi tersebut
memuat pokok-pokok hak asasi dan kebebasan fundamental

281
MEMPERBAIKI HAM DAN LINGKUNGAN DI MASA
COVID-19 PERSPEKTIF KEADILAN BERMARTABAT (STUDI KASUS KARHUTLA
KALIMANTAN TENGAH)

manusia sebagai standarisasi atau acuan pencapain bersama


bagi semua rakyat dan bangsa (Waas, 2014).

Indonesia sejak kelahirannya pada tahun 1945 telah


menjunjung tinggi HAM yang dapat dilihat dalam UUD 1945
sebagai seumber hukum pertama, HAM diklasifikasikan
menjadi 4 kelompok, yaitu hak sipil dan politik, hak ekonomi,
sosial, dan budaya, hak atas pembangunan dan hak khusus
lainnya, serta tanggung jawab negara dan kewajiban asasi
manusia. Selain itu, terdapat hak yang dikategorikan sebagai
hak yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun, yaitu
hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan
pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak
diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dihadapan
hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar yang
berlaku surut (Handayani, 2020).

Dalam melindungi dan menjamin HAM sesuai dengan prinsip


negara hukum yang demokratis, maka Negara menciptakan
UU HAM yang diundangkan pada tangagl 23 September 1999
yang mencakup hak-hak sebagai berikut (Haryanto, dkk.,
2008):

a. Hak untuk hidup.


b. Hak berkeluarga dan melanjutkan keturunan.
c. Hak mengembangkan diri.
d. Hak memperoleh keadilan.
e. Hak atas kebebasan pribadi.
f. Hak atas rasa aman.

282
MEMPERBAIKI HAM DAN LINGKUNGAN DI MASA
COVID-19 PERSPEKTIF KEADILAN BERMARTABAT (STUDI KASUS KARHUTLA
KALIMANTAN TENGAH)

g. Hak atas kesejahteraan.


h. Hak turut serta dalam pemerintahan.
i. Hak wanita.
j. Hak Anak.

Kerusakan lingkungan hidup dapat mengakibatkan hak


atas lingkungan hidup yang baik dan sehat bagi
masyarakat dapat terganggu karena hak atas lingkungan
hidup merupakan bagian dari HAM. Hak Asasi Manusia
atas lingkungan hidup yang baik dan sehat dirumuskan
sebagai salah satu Hak Asasi Manusia yang tercantum
dalam Pasal 25 ayat (1) DUHAM yang berbunyi:

“Setiap orang berhak atas tingkat hidup yang


memadai untuk kesehatan dan kesejahteraan
dirinya dan keluarganya, termasuk ha katas pangan,
pakaian, perumahan…”

Dalam Pasal 28H ayat (1) UUD 1945 yang berbunyi:

“Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin


bertempat tinggal dan mendapatkan lingkungan
hidup yang baik dan sehat serta memperoleh
pelayanan kesehatan.”

Dalam Pasal 9 ayat (3) UU HAM yang berbunyi:

“Setiap orang berhak atas lingkungan hidup yang


baik dan sehat.”

Dan dipertegas sekali lagi dalam Pasal 3 huruf g UUPPLH


bahwa:

283
MEMPERBAIKI HAM DAN LINGKUNGAN DI MASA
COVID-19 PERSPEKTIF KEADILAN BERMARTABAT (STUDI KASUS KARHUTLA
KALIMANTAN TENGAH)

“Perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup


bertujuan menjamin pemenuhan dan perlindungan
hak atas lingkungan sebagai bagian dari hak asasi
manusia.”

Demikian juga dalam Pasal 65 ayat (1) UUPPLH yang


berbunyi:

“Setiap orang berhak atas lingkungan hidup yang


baik dan sehat sebagai bagian dari hak asasi
manusia.”

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa pelanggaran


terhadap lingkungan hidup merupakan salah satu bentuk
pelanggaran HAM, pihak yang menjadi korban akibat
rusaknya lingkungan hidup dapat mengajukan gugatan
maupun tuntutan kepada Negara dan/atau pihak yang
telah melakukan pencemaran lingkungan hidup
(Rochmani, 2015).

Menurut hemat peneliti, hak asasi manusia dan hak


lingkungan hidup tidak dapat dipisahkan. Manusia
memiliki hak untuk memanfaatkan lingkungan hidup
dengan sebesar-besarnya sesuai dengan ketentuan yang
berlaku, dan lingkungan hidup dengan segala ekosistem
di dalamnya memiliki hak agar dirawat, dijaga dan
dimanfaatkan dengan cara-cara yang diizinkan oleh

284
MEMPERBAIKI HAM DAN LINGKUNGAN DI MASA
COVID-19 PERSPEKTIF KEADILAN BERMARTABAT (STUDI KASUS KARHUTLA
KALIMANTAN TENGAH)

Negara dan sesuai dengan kearifan lokal2. Kearifan lokal


adalah living law yang berlaku di suatu tatanan
masyarakat hukum adat. Living law diakui dan harus
dilindungi karena diamanatkan dalam Konstitusi UUD
1945. Kearifan lokal, living law, hukum adat pada
umunya tidak tertulis namun dijalankan oleh masyarakat
adatnya, dipatuhi dan masyarkaat yang melanggarnya
tentu akan dikenakan sanksi adat (Karo Karo, Budianto &
Nassareto, 2019).

Peran Masyarakat Dalam Perlindungan dan


Pengelolaan Lingkungan Hidup Serta Mencegah
Kerusakan Hutan

Istilah lingkungan hidup dari berbagai negara telah


diterjemahkan oleh Munadjat Danusaputro yaitu, dalam
bahasa Inggris disebut dengan environment, dalam bahasa
Belanda disebut dengan millieu, dan dalam bahasa
Perancis disebut dengan l'environment (Danusaputro,
1980). Munadjat Danusaputro mengartikan lingkungan
hidup sebagai semua benda dan daya serta kondisi,
termasuk di dalamnya manusia dan tingkah-
perbuatannya, yang terdapat dalam ruang di mana
manusia berada dan mempengaruhi kelangsungan hidup

2
Definisi kearifan lokal berdasarkan Pasal 1 Angka 30 UUPPLH yakni: nilai-
nilai luhur yang berlaku dalam tata kehidupan masyarakat untuk antara lain
melindungi dan mengelola lingkungan hidup secara lestari.

285
MEMPERBAIKI HAM DAN LINGKUNGAN DI MASA
COVID-19 PERSPEKTIF KEADILAN BERMARTABAT (STUDI KASUS KARHUTLA
KALIMANTAN TENGAH)

serta kesejahteraan manusia dan jazad-jazad hidup


lainnya (Danusaputro, 1980).

Pada dasarnya, manusia dengan lingkunganya – baik


yang hidup maupun tidak hidup (tanah, air, udara, atau
kimia fisik) – memiliki suatu hubungan timbal balik,
dimana lingkungan hidup merupakan bagian mutlak
untuk kehidupan manusia, kebudayaan dan
peradabannya (Silalahi, 2001). Sebaliknya, manusia juga
merupakan bagian mutlak untuk lingkungan, karena
tanpa bantuan manusia lingkungan hidup tidak dapat
terjaga. Oleh sebab itu, peran serta masyarakat
merupakan hal mutlak dalam kerangka menciptakan
lingkungan hidup yang sehat (Sabardi, 2014).

Berdasarkan Pasal 70 ayat (1) UUPPLH, disebutkan


bahwa:

“Masyarakat memiliki hak dan kesempatan yang


sama dan seluas-luasnya untuk berperan aktif
dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan
hidup.”

Dalam Pasal 70 ayat (2) UUPPLH menjelaskan bahwa


peran masyarakat dapat berupa:

a. pengawasan sosial;
b. pemberian saran, pendapat, usul, keberatan,
pengaduan; dan/atau
c. penyampaian informasi dan/atau laporan

286
MEMPERBAIKI HAM DAN LINGKUNGAN DI MASA
COVID-19 PERSPEKTIF KEADILAN BERMARTABAT (STUDI KASUS KARHUTLA
KALIMANTAN TENGAH)

Sedangkan, dalam Pasal 70 ayat (3) UUPPLH


menyebutkan bahwa peran masyarakat dilakukan untuk:

a. meningkatkan kepedulian dalam perlindungan dan


pengelolaan lingkungan hidup;

b. meningkatkan kemandirian, keberdayaan


masyarakat, dan kemitraan;

c. menumbuhkembangkan kemampuan dan


kepeloporan masyarakat;

d. menumbuhkembangkan ketanggapsegeraan
masyarakat untuk melakukan pengawasan sosial; dan

e. mengembangkan dan menjaga budaya dan kearifan


lokal dalam rangka pelestarian fungsi lingkungan
hidup.

Setiap individu merupakan bagian dari masyarakat yang


memiliki hak, kewajiban dan peran yang sama dalam
perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, tanpa
terkecuali (Wibawa, 2019). Demi melindungi lingkungan
yang sehat dan baik, UUPPLH menegaskan pentingnya
partisipasi masyarakat untuk turut serta dalam
pencegahan, penanggulangan kerusakan dan
pencemaran serta pemulihan kualitas lingkungan.
Pengawasan merupakan salah satu tindakan preventif
yang dilaksanakan oleh pemerintah, namun dengan
melibatkan masyarakat akan menjadi lebih efektif, efisien
dan optimal (Wibawa, 2019).

287
MEMPERBAIKI HAM DAN LINGKUNGAN DI MASA
COVID-19 PERSPEKTIF KEADILAN BERMARTABAT (STUDI KASUS KARHUTLA
KALIMANTAN TENGAH)

Berdasarkan Undang-undang No. 18 Tahun 2013 tentang


Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan (UU
18/2013) memberikan norma larangan sebagaimana
diatur dalam Pasal 12 UU 18/2013 bahwa setiap orang
dilarang: (a) melakukan penebangan pohon dalam
kawasan hutan yang tidak sesuai dengan izin
pemanfaatan hutan; (b) melakukan penebangan pohon
dalam kawasan hutan tanpa memiliki izin yang
dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang; (c) melakukan
penebangan pohon dalam kawasan hutan secara tidak
sah; (d) memuat, membongkar, mengeluarkan,
mengangkut, menguasai, dan/atau memiliki hasil
penebangan di kawasan hutan tanpa izin; (e) mengangkut,
menguasai, atau memiliki hasil hutan kayu yang tidak
dilengkapi secara bersama surat keterangan sahnya hasil
hutan; (f) membawa alat-alat yang lazim digunakan untuk
menebang, memotong, atau membelah pohon di dalam
kawasan hutan tanpa izin pejabat yang berwenang; (g)
membawa alat-alat berat dan/atau alat-alat lainnya yang
lazim atau patut diduga akan digunakan untuk
mengangkut hasil hutan di dalam kawasan hutan tanpa
izin pejabat yang berwenang; (h) memanfaatkan hasil
hutan kayu yang diduga berasal dari hasil pembalakan
liar; (i) mengedarkan kayu hasil pembalakan liar melalui
darat, perairan, atau udara; (j) menyelundupkan kayu
yang berasal dari atau masuk ke wilayah Negara Kesatuan
Republik Indonesia melalui sungai, darat, laut, atau

288
MEMPERBAIKI HAM DAN LINGKUNGAN DI MASA
COVID-19 PERSPEKTIF KEADILAN BERMARTABAT (STUDI KASUS KARHUTLA
KALIMANTAN TENGAH)

udara; (k) menerima, membeli, menjual, menerima tukar,


menerima titipan, dan/atau memiliki hasil hutan yang
diketahui berasal dari pembalakan liar; (l) membeli,
memasarkan, dan/atau mengolah hasil hutan kayu yang
berasal dari kawasan hutan yang diambil atau dipungut
secara tidak sah; dan/atau (m) menerima, menjual,
menerima tukar, menerima titipan, menyimpan, dan/atau
memiliki hasil hutan kayu yang berasal dari kawasan
hutan yang diambil atau dipungut secara tidak sah.

Larangan tegas dan bersifat wajib juga diatur dalam Pasal


50 ayat (3) Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang
Kehutanan (UU Kehutanan) bahwa setiap orang dilarang
untuk: (a) mengerjakan dan atau menggunakan dan atau
menduduki kawasan hutan secara tidak sah; (b)
merambah kawasan hutan; (c) melakukan penebangan
pohon dalam kawasan hutan dengan radius atau jarak
sampai dengan : 1. 500 (lima ratus) meter dari tepi waduk
atau danau; 2. 200 (dua ratus) meter dari tepi mata air
dan kiri kanan sungai di daerah rawa; 3. 100 (seratus)
meter dari kiri kanan tepi sungai; 4. 50 (lima puluh) meter
dari kiri kanan tepi anak sungai; 5. 2 (dua) kali kedalaman
jurang dari tepi jurang; 6. 130 (seratus tiga puluh) kali
selisih pasang tertinggi dan pasang terendah dari tepi
pantai. (d) membakar hutan; (e) menebang pohon atau
memanen atau memungut hasil hutan di dalam hutan
tanpa memiliki hak atau izin dari pejabat yang berwenang;
(f) menerima, membeli atau menjual, menerima tukar,

289
MEMPERBAIKI HAM DAN LINGKUNGAN DI MASA
COVID-19 PERSPEKTIF KEADILAN BERMARTABAT (STUDI KASUS KARHUTLA
KALIMANTAN TENGAH)

menerima titipan, menyimpan, atau memiliki hasil hutan


yang diketahui atau patut diduga berasal dari kawasan
hutan yang diambil atau dipungut secara tidak sah; (g)
melakukan kegiatan penyelidikan umum atau eksplorasi
atau eksploitasi bahan tambang di dalam kawasan hutan,
tanpa izin Menteri; (h) mengangkut, menguasai, atau
memiliki hasil hutan yang tidak dilengkapi bersama-sama
dengan surat keterangan sahnya hasil hutan; (i)
menggembalakan ternak di dalam kawasan hutan yang
tidak ditunjuk secara khusus untuk maksud tersebut oleh
pejabat yang berwenang; (j) membawa alat-alat berat dan
atau alat-alat lainnya yang lazim atau patut diduga akan
digunakan untuk mengangkut hasil hutan di dalam
kawasan hutan, tanpa izin pejabat yang berwenang; (k)
membawa alat-alat yang lazim digunakan untuk
menebang, memotong, atau membelah pohon di dalam
kawasan hutan tanpa izin pejabat yang berwenang; (l)
membuang benda-benda yang dapat menyebabkan
kebakaran dan kerusakan serta membahayakan
keberadaan atau kelangsungan fungsi hutan ke dalam
kawasan hutan; dan (m) mengeluarkan, membawa, dan
mengangkut tumbuh-tumbuhan dan satwa liar yang tidak
dilindungi undang-undang yang berasal dari kawasan
hutan tanpa izin pejabat yang berwenang.

290
MEMPERBAIKI HAM DAN LINGKUNGAN DI MASA
COVID-19 PERSPEKTIF KEADILAN BERMARTABAT (STUDI KASUS KARHUTLA
KALIMANTAN TENGAH)

Kawasan Hutan di Indonesia

Indonesia mengalokasikan 63% atau seluas 120,6 juta ha


daratannya, sebagai Kawasan Hutan, sisanya sekitar 37%
merupakan Areal Penggunaan Lain (APL), selain itu
sekitar 5,3 juta ha dari perairan wilayah Indonesia telah
ditetapkan sebagai Kawasan Konservasi Perairan.

Gambar 1. Persentase Kawasan Hutan dan


Kawasan Konservasi Perairan Indonesia

HP

24% 23% HPT


HPK
4%
KSA/KPA Darat
21%
18% KSA/KPA Laut
10%
HL

Sumber: Kementrian Lingkungan Hidup 2017

UU Kehutanan mengatur tentang pengelolaan hutan yang


terdiri dari: (a) tata hutan dan penyusunan rencana
pengelolaan hutan, (b) pemanfaatan hutan dan
penggunaan kawasan hutan, (c) rehabilitasi dan
reklamasi hutan, dan (d) perlindungan hutan dan
konservasi alam. 3 Pemanfaatan hutan bertujuan untuk
memperoleh manfaat yang optimal bagi kesejahteraan

3
Pasal 21 UU Kehutanan

291
MEMPERBAIKI HAM DAN LINGKUNGAN DI MASA
COVID-19 PERSPEKTIF KEADILAN BERMARTABAT (STUDI KASUS KARHUTLA
KALIMANTAN TENGAH)

seluruh masyarakat secara berkeadilan dengan tetap


menjaga kelestariannya.4

Persentase Kawasan Hutan dan Kawasan Konservasi


Perairan di Indonesia menunjukan bahwa berdasarkan
fungsinya Kawan Hutan Indonesia diklasifikasikan menjadi 3
(tiga) fungsi berbeda, yaitu: Huktan Produksi (HP) seluas 68.8
juta ha, Hutan Lindung (HL) seluas 29,7 juta ha, dan Hutan
Konservasi (HK) seluas 22,1 juta ha. Kawasan Hutan
Produksi terdiri dari Hutan Produksi Tetap (HP), Hutan
Produksi Terbatas (HPT), dan Hutan Produksi yang dapat
Dikonversi (HPK). Kawasan hutan konservasi diklasifikasikan
menjadi Kawasan Suka Alam (KSA) dan Kawasan Pelestarian
Alam (KPA). KSA terdiri dari Vagar Alam, dan Suaka
Margasatwa. KPA terdiri dari Taman Nasional, Taman Wisata
Alam, dan Taman Hutan Raya. Areal KSA/KPA dapat berupa
daratan maupun perairan (Agung, 2018).

Hutan Lindung merupakan kunci dalam melindungi sistem


daya dukung lingkungan hidup dengan mengatur supali air,
mencegah banjir, mengendalikan erosi, mencegah intrusi air
laut, mempertahankan kesuburan tanah, menyediakan
suplai makanan dan energi yang meemadai untuk kehidupa
manusia, dan pemeliharaan plasma nutfah. Kawasan
konservasi bertujuan untuk menjamin bahwa kawasan
konservasi dan keanekaragaman hayati yang ada di
dalamnya dikelola, dilindungi, dan dimanfaatkan secara

4
Pasal 23 UU Kehutanan

292
MEMPERBAIKI HAM DAN LINGKUNGAN DI MASA
COVID-19 PERSPEKTIF KEADILAN BERMARTABAT (STUDI KASUS KARHUTLA
KALIMANTAN TENGAH)

lestari untuk meningkatkan kualitas kehidupan manusia


(Agung, 2018). Berdasarkan Pasal 26 ayat (1) UU Kehutanan
bahwa Pemanfaatan hutan lindung dapat berupa
pemanfaatan kawasan, pemanfaatan jasa lingkungan,
dan pemungutan hasil hutan bukan kayu. Dan
berdasarkan Pasal 26 ayat (2) bahwa Pemanfaatan hutan
lindung dilaksanakan melalui pemberian izin usaha
pemanfaatan kawasan, izin usaha pemanfaatan jasa
lingkungan, dan izin pemungutan hasil hutan bukan
kayu.

Hutan Produksi adalah kawasan hutan yang mempunyai


fungsi pokok memperoduksi hasil hutan, baik itu hasil hutan
kayu maupun hasil non-kayu. Hutan Produksi memiliki
banyak kegunaan dan manfaat, salah satunya adalah
menghasilkan hasil hutan untuk memenuhi kebutuhan
masyarakat maupun kebutuhan bahan baku industri. Di
Indonesia, Hutan Produksi merupakan kawasan hutan
paling luas dibandingkan dengan Hutan Konservasi dan
Hutan Lindung (Larasati, 2018). Berdasarkan Pasal 28 ayat
(1) UU Kehutanan bahwa Pemanfaatan hutan produksi
dapat berupa pemanfaatan kawasan, pemanfaatan jasa
lingkungan, pemanfaatan hasil hutan kayu dan bukan
kayu, serta pemungutan hasil hutan kayu dan bukan
kayu. Dan berdasarkan Pasal 28 ayat (2) UU Kehutanan
bahwa Pemanfaatan hutan produksi dilaksanakan
melalui pemberian izin usaha pemanfaatan kawasan, izin
usaha pemanfaatan jasa lingkungan, izin usaha

293
MEMPERBAIKI HAM DAN LINGKUNGAN DI MASA
COVID-19 PERSPEKTIF KEADILAN BERMARTABAT (STUDI KASUS KARHUTLA
KALIMANTAN TENGAH)

pemanfaatan hasil hutan kayu, izin usaha pemanfaatan


hasil hutan bukan kayu, izin pemungutan hasil hutan
kayu, dan izin pemungutan hasil hutan bukan kayu.

Kasus Kebakaran Lahan dan Hutan di Kalimantan Tengah

Karhutla di Indonesia sudah sering terjadi, khususnya di


Provinsi Kalimantan Tengah. Dalam menggambarkan kondisi
kualitas udara di suatu wilayah pemerintah menggunakan
parameter Indeks Standar Pencemaran Udara (ISPU). Indeks
Standar Pencemaran Udara (ISPU) dikategorikan ‘baik’ saat
berada di rentang 0-50. Berdasarkan Badan Nasional
Penanggulangan Bencana (BNPB) pada tanggal 19 September
2019, karhutla yang melandasi Provinsi Kalimantan Tengah
sudah memasuki titik membahayakan, dimana ISPU di
Kalimantan Tengah mencapai angka 1.057. (Saubani, 2019).
Akibat kuliatas udara yang buruk, tercatat hingga akhir
bulan September 2019, sebanyak 919.516 orang menderita
Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) akibat asap karhutla
yang masif hingga tersebar sampai di 6 provinsi yaitu Riau,
Jambi, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat, Kalimantan
Tengah, dan Kalimantan Selatan (Luis, 2019).

Tabel 1. Luas Kebakaran Hutan dan Lahan (Ha) di


Provinsi Kalimantan Tengah Tahun 2015-2020
Provinsi 2015 2016 2017 2018 2019 2020

Kaliman 583.833 6.148, 1.743, 47.432, 317.749, 1.180,


-tan ,44 42 82 57 00 00
Tengah

Sumber: Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI Tahun 2020

294
MEMPERBAIKI HAM DAN LINGKUNGAN DI MASA
COVID-19 PERSPEKTIF KEADILAN BERMARTABAT (STUDI KASUS KARHUTLA
KALIMANTAN TENGAH)

Berdasarkan Tabel 1. tidak bisa dipungkiri bahwa


karhutla di Provinsi Kalimantan Tengah terus terjadi
selama 5 (lima) tahun terakhir. Akibat kabut asap
karhutla yang masif, banyak warga yang harus
mengurung diri dengan hidung tersumbat, pusing, mata
perih dan kekurangan makanan disebabkan karena
mayoritas pasar dan rumah makan ditutup (Idhon, 2019).

Dapat dibayangkan bahwa dampak karhutla pada


kesehatan masyarakat saat ini dapat melonjak lebih tinggi
ditengah pandemi COVID-19. Gejala COVID-19 yang
menyerang pernafasan sama dengan gejala ISPA, dimana
jika seseorang mengalami ISPA dan terinfeksi COVID-19
akan memperberat kondisi mereka.

Kerusakan hutan di Indonesia belum berhenti di tengah


pandemi COVID-19 ini. Menurut Laura Bloomfield dari
Standford Amerika Serikat, kombinasi dari perubahan
lingkungan, seperti deforestasi, dan kemiskinan dapat
memicu api pandemi global. Situasi seperti ini dapat
memunculkan penyakti-penyakti zoonsis baru akibar
perubahan lingkungan atau ganggugan ekologi karena
aktivitas manusia (Sodikin, 2020).

Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI)


menyatakan bahwa kawasan hutan di Kalimantan Tengah
semakin berkurang karena terus berkembangnya area
perkebunan dan pertambangan. Kawasan hutan di
Kalimantan Tengah seluas 15 juta ha, namun 80% sudah

295
MEMPERBAIKI HAM DAN LINGKUNGAN DI MASA
COVID-19 PERSPEKTIF KEADILAN BERMARTABAT (STUDI KASUS KARHUTLA
KALIMANTAN TENGAH)

alih fungsi ke sektor perkebunan, pertambangan dan


industri kehutanan (Pro Kalteng, 2020). Pengurangan luas
hutan juga diakibatkan adanya penebangan hutan secara
ilegal, kebakaran hutan atau adanya reklasifikasi.

Semakin berkurangnya hutan akan memberikan dampak


buruk bagi kehidupan terutama akan manjadi sumber
becana alam yang besar yaitu rendahnya kualitas oksigen,
alam semakin panas, banjir, kekeringan, longsor,
pemanasan global, bencana tsunami, erosi tanah, abrasi,
aset negara berkurang, keuntungan negara dari hasil
hutan menurun, habitat hutan rusak, matinya flora dan
dauna, kehilangan flora dan fauna langka, ekosistem
menjadi rusak, kehidupan manusia menjadi terganggu,
kekayaan hutan yang semakin sedikit, terputusnya rantai
makanan, sumber daya menjadi langka, dan menurunnya
kualitas kesehatan (Redaksi Ilmu Geografi, n.d.).

Saat ini dunia sedang dalam keadaan kritis yang dapat


mengancam kepunahan makhluk hidup, sudah
semestinya sebagai masyrakat yang menumpang di planet
bumi tetap menjaga kesehatan dan kelesatarian rumah
kita satu-satunya.

Penegakan Hukum Lingkungan Memberikan Akses


Terhadap Keadilan Bagi Masyarakat

Hak Gugatan Perwakilan Kelompok (Class Action)

296
MEMPERBAIKI HAM DAN LINGKUNGAN DI MASA
COVID-19 PERSPEKTIF KEADILAN BERMARTABAT (STUDI KASUS KARHUTLA
KALIMANTAN TENGAH)

UUPPLH memberikan akses bagi masyarakat atau


sekelompok orang yang merasa dirugikan akibat
perbuatan pihak lain yang diduga mencemarkan
dan/atau merusak lingkungan hidup dapat mengajukan
gugatan class action. Berdasarkan Pasal 91 ayat (2)
UUPPLH dinyatakan bahwa:

“Masyarakat berhak mengajukan gugatan


perwakilan kelompok untuk kepentingan sendiri
dan/atau untuk kepentingan masyarakat apabila
mengalami kerugian akibat pencemaran dan/atau
perusakan lingkungan hidup.”

Hukum acara yang mengatur gugatan class action telah


ditetapkan Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) No. 1
Tahun 2002 tentang Acara Gugatan Perwakilan
Kelompok. Berdasarkan Pasal 2 PERMA No. 1 Tahun 2002
mengenai dasar pertimbangan dapat diterimanya suatu
gugatan kelompok, apabila:

a. Jumlah anggota kelompok sedemikian banyak


sehingga tidaklah efektif dan efisien apabila gugatan
dilakukan secara sendiri-sendiri atau secara bersama-
sama dalam satu gugatan.

b. Terdapat kesamaan fakta atau peristiwa dan


kesamaan dasar hukum yang digunakan yang bersifat
substansial, serta terdapat kesamaan jenis tuntutan di
antara wakil kelompok dengan anggota kelompok.

297
MEMPERBAIKI HAM DAN LINGKUNGAN DI MASA
COVID-19 PERSPEKTIF KEADILAN BERMARTABAT (STUDI KASUS KARHUTLA
KALIMANTAN TENGAH)

c. Wakil kelompok memiliki kejujuran dan kesungguhan


untuk melindungi kepentingan anggota kelompok
yang diwakilinya.

d. Hakim dapat mengajurkan kepada wakil kelompok


untuk melakukan penggantian pengacara, jika
pengacara melakukan tindakan-tindakan yang
bertentangan dengan kewajiban membela dan
melindungi kepentingan anggota kelompoknya.

Sehubungan dengan gugatan class action yang diajukan,


menurut Pasal 3 PERMA No. 1 Tahun 2002, di samping
memenuhi ketentuan syarat-syarat formal dalam Hukum
Acara Perdata, surat gugatan perwakilan harus memuat:

a. Identitas lengkap dan jelas wakil kelompok.

b. Definisi kelompok secara rinci dan spesifik, walaupun


tanpa menyebutkan nama anggota kelompok satu
persatu.

c. Keterangan tentang anggota kelompok yang


diperlukan dalam kaitan dengan kewajiban
melakukan pemberitahuan.

d. Posita dari seluruh kelompok baik wakil kelompok


maupu anggota kelompok, yang teridentifikasi
maupun tidak teridentifikasi yang dikemukakan
secara jelas dan terperinci.

e. Dalam suatu gugatan perwakilan, dapat


dikelompokkan beberapa bagian kelompok atau sub

298
MEMPERBAIKI HAM DAN LINGKUNGAN DI MASA
COVID-19 PERSPEKTIF KEADILAN BERMARTABAT (STUDI KASUS KARHUTLA
KALIMANTAN TENGAH)

kelompok, jika tuntutan tidak sama karena sifat dan


kerugian yang berbeda.

f. Tuntutan atau petitum tentang ganti rugi harus


dikemukakan secara jelas dan terperinci, memuat
usulan tentang mekanisme atau tata cara
pendistribusian ganti kerugian kepada keseluruhan
anggota kelompok termasuk usulan tentang
pembentukan tim atau panel yang membantu
memperlancar pendistribusian ganti kerugian.

Berdasarkan bunyi Pasal 91 UUPPLH dapat disimpulkan


bahwa masyarakat yang bersama-sama merasa dirugikan
akibat pencemaran atau perusakan lingkungan hidup
dapat mengajukan gugatan class action. Persyaratan
untuk mengajukan gugatan perwakilan kelompok harus
terdapat kesamaan permasalahan, kesamaan fakta
hukum, dan kesamaan tuntutan yang ditimbulkan
berkaitan dengan pencemaran dan/atau perusakan
lingkungan hidup yang didugakan. Dalam gugatan class
action, penggugat dapat mengajukan permohonan
putusan ganti rugi dan/atau permohonan dilakukannya
atau dihentikannya perbuatan tertentu kepada tergugat
(Wibisana, 2017).

Hak Gugatan Perorangan Warga Negara (Citizen Lawsuit)

Citizen lawsuit juga merupakan akses terhadap keadilan


bagi masyarakat, yang memiliki landasan hukum yaitu
Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 yang berbunyi:

299
MEMPERBAIKI HAM DAN LINGKUNGAN DI MASA
COVID-19 PERSPEKTIF KEADILAN BERMARTABAT (STUDI KASUS KARHUTLA
KALIMANTAN TENGAH)

“Kedaulatan ada di tangan rakyat dan dilaksanakan


menurut undang-undang dasar.”

Yang artinya rakyat sebagai pemegang kedaulatan


seyogyanya memiliki ruang untuk menggugat pemerintah
demi tercapainya keadilan. Dalam hal kebijakan pemerintah
yang merugikan atau diindikasikan merugikan warga
negaranya maka warga negara memiliki hak yang sama
untuk melakukan gugatan terhadap kebijakan tersebut.
Citizen lawsuit dapat dilakukan individual ataupun secara
perwakilan (Nasir, 2017).

Citizen lawsuit sebenarnya tidak dikenal dalam sistem


hukum civil law yang dianut oleh negara Indonesia,
melainkan lahir di negara-negara yang menganut sistem
hukum common law. Namun pada perkembangannya,
meskipun higga saat ini prosedur citizen lawsuit belum
diatur dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia,
citizen lawsuit telah beberapa kali muncul di pengadilan
Indonesia dan diantarnya telah diterima hak gugatnya
(standing to sue) serta telah ada yang dikabulkan oleh
Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (Usman,
2009).

Pada tahun 2016, 7 (tujuh) warga negara Indonesia


menggugat Presiden Republik Indonesia (Tergugat I), Menteri
Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Tergugat II), Menteri
Pertanian (Tergugat III), Menteri Agraria, dan Tata
Ruang/Badan Pertanahan Nasional (Tergugat IV), Menteri

300
MEMPERBAIKI HAM DAN LINGKUNGAN DI MASA
COVID-19 PERSPEKTIF KEADILAN BERMARTABAT (STUDI KASUS KARHUTLA
KALIMANTAN TENGAH)

Kesehatan (Tergugat V), Gubernur Kalimantan Tengah


(Tergugat VI), dan DPRD Kalimantan Tengah (Tergugat VII)
terkait bencana karhutla di Kalimantan Tengah pada tahun
2015. Gugatan tersebut merupakan citizen lawsuit, dimana
para penggugat memohon agar para tergugat bertanggung
jawab atas kelalaian dalam menanggulangi kabut asap
karena kebakaran hutan seluas 122.882,90 ha. Akibat dari
kebakaran hutan tersebut menimbulkan asap yang
menyebabkan kerugian bagi masyarakat, yakni kabut asap
telah mengakibatkan Infeksi Saluran Pernapasan Akut
(ISPA) dengan jumlah kasus sekitar 13.949 kasus di bulan
Agustus sampai September 2015. Selain itu, kabut asap
telah mengakibatkan penyakit diare dengan jumlah kasus
sebanyak 4.453 orang, dan 4 korban jiwa.5

Pengadilan Negeri Palangkaraya yang mengadili perkara a


quo telah memenangkan gugatan tersebut tertanggal 22
Maret 2017 yang pada intinya memutus bahwa para
tergugat telah melakukan perbuatan melawan hukum dan
menghukum Tergugat I untuk menerbitkan Peraturan
Pelaksanaan dari UUPPLH yang penting bagi pencegahan
dan penanggulangan kebakaran hutan dan lahan, dengan
melibatkan peran serta masyarakat, menghukum Tergugat
II, III, IV dan VI untuk melakukan pininjauan ulang dan
merevisi izin-izin udaha pengelolaan hutan dan perkebunan

5
Putusan Pengadilan Negeri Palangka Raya No. 118/Pdt.G/LH/2016/PN Plk
telah diputus pada tanggal 22 Maret 2017 dan telah bekekuatan hukum tetap
(inkracht).

301
MEMPERBAIKI HAM DAN LINGKUNGAN DI MASA
COVID-19 PERSPEKTIF KEADILAN BERMARTABAT (STUDI KASUS KARHUTLA
KALIMANTAN TENGAH)

yang telah maupun belum terbakar, melakukan penegakan


hukum lingkungan perdata, pidana maupun administrasi
kepada perusahaan yang menyebabkan kebakaran,
membuat roadmap pencegahan dini, penanggulangan dan
pemulihan korban kebakaran hutan serta pemulihan
lingkungan, menghukum Tergugat I, II, V dan VI untuk
mendirikan rumah sakit khusus paru dan penyakit lain bagi
korban pencemaran udara di Kalimantan Tengah yang
dapat diakses secara gratis, menghukum Tergugat I, II, dan
VI untuk membuat peta kerawan kebakaran hutan, lahan
dan perkebunan, dan kebijakan standar peralatan
pengendalian kebakaran hutan di wilayah Provinsi
Kalimantan Tengah, menghukum Tergugat II untuk
melakukan revisi Rencana Kehutanan Tingkat Nasional
yang tercantum dalam Peraturan Menteri Kehutanan No. 41
Tahun 2011 tentang Standar Fasilitas Sarana dan
Prasarana Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung Model dan
Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi Model, menghukum
Tergugat II dan VI untuk mengumumkan kepada publik,
dana jaminan lingkungan serta dana investasi pelestarian
hutan dari perusahaan pemegang izin kehutanan,
menghukum Tergugat VI untuk membuat tim khusus
pencegah dini kebakaran hutan, lahan dan perkebunan di
wilayah Provinsi Kalimantan Tengah, dan menghukum
Tergugat VI dan VII untuk menyusun dan mengesahkan
Peraturan Daerah yang mengatur tentang perlindungan
kawasan lindung seperti diamantkan dalam Keputusan

302
MEMPERBAIKI HAM DAN LINGKUNGAN DI MASA
COVID-19 PERSPEKTIF KEADILAN BERMARTABAT (STUDI KASUS KARHUTLA
KALIMANTAN TENGAH)

Presiden No. 32 Tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan


Lindung.6

Putusan Pengadilan Negeri Palangka Raya No.


118/Pdt.G/LH/2016/PN Plk diperkuat oleh Pengadilan
Tinggi Palangka Raya dengan Putusan No.
26/PDT/2017/PT PLK yang diputus pada tanggal 19
Semptember 2017 dan Mahkamah Agung juga menguatkan
vonis sebelumnya dalam Putusan No. 3555 K/PDT/2018
yang diketok pada 16 Juli 2019.

Pada intinya, citizen lawsuit merupakan perwujudan akses


individual warga negara untuk kepentingan publik, dapat
melakukan gugatan terhadap perbuatan atau pengabaian
oleh Negara terhadap hak-hak warga negara (Usman, 2009).
Berbeda dengan gugatan class action, citizen lawsuit tidak
dapat meminta ganti kerugian karena pada dasarnya, citizen
lawsuit bermaksud untuk melindungi kepentingan publik
akibat kelalaian Penyelenggara Negara. Kelalaian tersebut
didalilkan sebagai Perbuatan Melawan Hukum, sehingga
Majelis Hakim hanya memperbolehkan hukuman dengan
mengeluarkan suatu kebijakan yang bersifat pengaturan
umum agar kelalaian tersebut tidak terulang kembali
(Usman, 2009).

6
Putusan Pengadilan Negeri Palangka Raya No. 118/Pdt.G/LH/2016/PN Plk
telah diputus pada tanggal 22 Maret 2017 dan telah bekekuatan hukum tetap
(inkracht).

303
MEMPERBAIKI HAM DAN LINGKUNGAN DI MASA
COVID-19 PERSPEKTIF KEADILAN BERMARTABAT (STUDI KASUS KARHUTLA
KALIMANTAN TENGAH)

Comprehensive Environmental Response, Compensation, and


Liability Act (CERCLA)

Pada tahun 1980, Kongres dan Pemerintah Amerika


Serikat menyepakati sebuah peraturan yang disebut
CERCLA sebagai reaksi atas terjadinya pencemaran
lingkungan hidup. CERCLA mengatur dua permasalahan
utama yaitu: (1) identifikasi, investigasi dan perbaikan
lahan, serta (2) tanggung jawab dari pembiayaan lahan
yang tercemar tersebut (Applegate & Laitos, 2006).

CERCLA juga dikenal sebagai Super Fund karena sifatnya


sebagai penyedia dana berjumlah besar untuk kebutuhan
pengelolaan lingkungan yang tercemar. Dana tersebut
disedaikan oleh pemerintah federal Amerika Serikat untuk
membersihkan dan mengembalikan ke kondisi semula
lingkungan yang tercemar, kemudian pemerintah federal
akan meminta penggantian dana tersebut dari pihak-
pihak yang bertanggungjawab atas pencemaran
lingkungan yang terjadi. CERCLA juga mengandung
prinsip piercing the corporate veil yang akan
membebankan pertanggungjawaban langsung pada induk
perusahaan (Praningtyas, 1996).

CERCLA juga memuat gugatan dengan prosedur citizen


lawsuit yang menjamin secara hukum bahwa setiap orang
dapat menuntut pemerintah di Pengadilan untuk
menjalankan kewajiban yang diperintahkan oleh undang-
undang, bahkan setiap orang juga dapat bertindak

304
MEMPERBAIKI HAM DAN LINGKUNGAN DI MASA
COVID-19 PERSPEKTIF KEADILAN BERMARTABAT (STUDI KASUS KARHUTLA
KALIMANTAN TENGAH)

sebagai Penuntut Umum untuk mengajukan tuntutan


pidana lingkungan (environmental offence) dalam bentuk
tuntutan pidana denda, dalam hal penuntut umum
negara (public prosecutor) tidak menjalankan tugasnya
(Environmental Defender’s Office, 2005).

Selengkapnya CERCLA menyatakan bahwa pihak yang


dapat menjadi potentially responsible party adalah pemilik
atau operator saat ini, pemilik atau operator masa lalu,
mereka yang melakukan pengelolaan bahan berbahaya,
dan mereka yang terlibat dalam pengangkutan bahan
berbahaya. Selain itu CERCLA juga memungkinkan
pihak-pihak tertentu untuk secara tidak langsung
dianggap sebagai potentially responsible party, yaitu
perusahaan induk (parent cooperations), perusahaan
pelanjut (successor cooperations), baik karena akuisisi,
pengabungan, konsolidasi, ataupun pembeliaan aset
perusahaan, pemegang saham, direktur, pegawai
perusahaan, serta pemberi pinjaman (lender) (Kuehn,
2002).

Pertanggungjawaban Pemerintah Dalam Kebakaran


Hutan

Berkaitan dengan mekanisme kompensasi dan


pertanggungjawaban perdata, UUPPLH memuat beberapa
ketentuan mengenai hal tersebut. Salah satunya, dalam
Pasal 42 UUPPLH, yang pada intinya meminta pemerintah
untuk melaksanakan instrument ekonomi, termasuk

305
MEMPERBAIKI HAM DAN LINGKUNGAN DI MASA
COVID-19 PERSPEKTIF KEADILAN BERMARTABAT (STUDI KASUS KARHUTLA
KALIMANTAN TENGAH)

dana lingkungan dan instrumen inesntif atau disinsentif


(Wibisana, 2017).

Selain itu di dalam Pasal 43 UUPPLH juga dijelaskan


bahwa sistem dana lingkungan terdiri atas dana jaminan
pemulihan, dana penanggulangan, dan dana
hibah/bantuan. UUPPLH turut menyertakan penerapan
asuransi lingkungan, yaitu asuransi yang memberikan
perlindungan pada acara pencemaran dan/atau
kerusakan lingkungan (Wibisana, 2017).

Menurut hemat penulis, pemerintah dapat


menggungakan dana yang ada terlebih dahulu dalam
mengatasi kebakaran lahan dan hutan. Dana tersebut
juga dapat digunakan untuk untuk melakukan reboisasi
pada kawasan hutan yang gundul. Selain itu, pemerintah
dapat menerapkan pengaturan seperti CERCLA atau
Superfund yang dilakukan oleh Amerika Serikat dalam
menyediakan dana untuk pembersihan atau pemulihan
lingkungan yang tercemar. Jika kebakaran hutan terjadi
karena perbuatan perusahaan, maka pemerintah bisa
meminta penggantian dana kepada perusahaan pencemar
tersebut.

Pemerintah juga bertanggung jawab untuk melakukan


pengawasan ketat terhadap perusahaan yang mengelola
hutan dan perkebunan untuk mencegah terjadinya
kebakaran hutan yang disengaja ataupun penebangan
pohon yang melebihi area yang diberikan. Pemerintah

306
MEMPERBAIKI HAM DAN LINGKUNGAN DI MASA
COVID-19 PERSPEKTIF KEADILAN BERMARTABAT (STUDI KASUS KARHUTLA
KALIMANTAN TENGAH)

tidak seharusnya menututp sebelah mata dengan hanya


menginginkan perkembangan ekonomi, karena pada
akhirnya tanpa kesehatan, manusia tidak akan bisa
menjalankan pekerjaannya untuk membantu
perkembangan ekonomi negara.

Selain UUPPLH, berdasarkan Pasal 28 UU 18/2013 diatur


norma bahwa pejabat dilarang: (a) menerbitkan izin
pemanfaatan hasil hutan kayu dan/atau penggunaan
kawasan hutan di dalam kawasan hutan yang tidak
sesuai dengan kewenangannya; (b) menerbitkan izin
pemanfaatan di dalam kawasan hutan dan/atau izin
penggunaan kawasan hutan yang tidak sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan; (c)
melindungi pelaku pembalakan liar dan/atau
penggunaan kawasan hutan secara tidak sah; (d) ikut
serta atau membantu kegiatan pembalakan liar dan/atau
penggunaan kawasan hutan secara tidak sah; (e)
melakukan permufakatan untuk terjadinya pembalakan
liar dan/atau penggunaan kawasan hutan secara tidak
sah; (f) menerbitkan surat keterangan sahnya hasil hutan
tanpa hak; (g) dengan sengaja melakukan pembiaran
dalam melaksanakan tugas; dan/atau (h) lalai dalam
melaksanakan tugas. Norma ini adalah sebagai bentuk
aktif pejabat, pemangku kepentingan untuk turut
mencegah dan memberantas perusakan hutan.

307
MEMPERBAIKI HAM DAN LINGKUNGAN DI MASA
COVID-19 PERSPEKTIF KEADILAN BERMARTABAT (STUDI KASUS KARHUTLA
KALIMANTAN TENGAH)

Pertanggungjawaban Perusahaan Dalam Kebakaran


Hutan

Berdasarkan Pasal 49 UU Kehutanan dijelaskan bahwa:


“Pemegang hak atau izin bertanggung jawab atas
terjadinya kebakaran hutan di areal kerjanya”. Tanggung
jawab mutlak tersebut dibebankan kepada pihak
perusahaan untuk menunjukkan komitmennya bahwa
pihak perusahaan tidak hanya memanfaatkan hasil alam
namun wajib bertanggung jawab apabila terjadi
kebakaran hutan di areal kerjanya. Selain UU Kehutanan,
kewajiban pihak perusahaan terhadap pelestarian
lingkungan juga diatur dalam umbrella act Perseoran
Terbatas yakni dalam Pasal 74 ayat (1) UUPT.

Dalam Pasal 74 ayat (1) Undang-Undang No. 40 Tahun


2007 dijelaskan bahwa:

“Perseroan yang menjalanka kegiatan usahanya di


bidang dan/atau berkaitan dengan sumber daya
alam wajib melaksanakan Tanggung Jawab Sosial
dan Lingkungan.”

Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan atau Corporate


Social Responsibility (CSR) adalah komitmen Perseroan
untuk berperan serta dalam pembangungan ekonomi
berkelanjutan guna meningkatkan kualitas kehidupan
dan lingkungan yang bermanfaat baik bagi perseroan
sendiri, komunitas setempat, maupun masyarakat pada
umumnya. Secara sederhana, CSR meminta perusahaan

308
MEMPERBAIKI HAM DAN LINGKUNGAN DI MASA
COVID-19 PERSPEKTIF KEADILAN BERMARTABAT (STUDI KASUS KARHUTLA
KALIMANTAN TENGAH)

bukan hanya sekedar mementingkan kegiatan ekonomi


mereka untuk mencapai profit, namun demi
kelangsungan usahanya, perusahaan dapat bertanggung
jawab terhadap aspek sosial dan lingkungan juga
(Alwinda, 2016).

UUPPLH juga menyatakan bahwa setiap pelaku usaha


yang kegiatannya dapat menimbulkan ancama serius
terhadap lingkungan hidup berkewajiban untuk:

a. Memberikan informasi yang terkait dengan


perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup
secara benar, akurat, terbuka dan tepat waktu;
b. Menjaga keberlanjutan fungsi lingkungan hidup; dan
c. Menaati ketentuan tentang baku mutu lingkungan
hidup dan/atau kriteria baku kerusakan lingkungan
hidup.

Dalam rangka perlindungan dan pengelolaan lingkungan


hidup UUPPLH menyatakan bahwa setiap pelaku usaha
yang memiliki izin lingkungan wajib menyediakan dana
penjamin untuk pemulihan fungsi lingkungan hidup
apabila terjadi pencemaran dan/atau kerusakan
lingkungan hidup akibat kegiatan usaha tersebut.

Kewajiban perusahaan untuk menjaga kelestarian hutan


juga ditegaskan dalam Pasal 32 UU Kehutanan yang
mewajibkan pemegang izin untuk menjaga, memelihara,
dan melestarikan hutan tempat usahanya. Sehubung
dengan kewajiban tersebut, maka berdasarkan Pasal 49

309
MEMPERBAIKI HAM DAN LINGKUNGAN DI MASA
COVID-19 PERSPEKTIF KEADILAN BERMARTABAT (STUDI KASUS KARHUTLA
KALIMANTAN TENGAH)

UU Kehutanan menyatakan bahwa pemegang hak atau


izin bertanggung jawab atas terjadinya kebakaran hutan
di areal kerjaannya. Selanjutnya Pasal 50 ayat (3) huruf d
UU Kehutanan juga menegaskan bahwa perusahaan
dilarang membakar hutan.

Perusahaan yang melanggar kewajiban mereka dapat


dimintakan pertanggungjawaban hukum secara perdata,
pidana maupun administratif. Dalam Pasal 80 UU
Kehutanan ayat (1) ditegaskan bahwa:

“Setiap perbuatan melanggar hukum yang diatur


dalam undang-undang ini, dengan tidak mengurangi
sanksi pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 78,
mewajibkan kepada penanggung jawab perbuatan
itu untuk membayar ganti rugi sesuai dengan
tingkat kerusakan atau akibat yang ditimbulkan
kepada Negara, untuk biaya rehabilitasi, pemulihan
kondisi hutan, atau tindakan lain yang diperlukan.”

Perusahaan yang melakukan kebakaran hutan juga dapat


dikenakan sanksi administrattif berupa teguran tertulis,
paksaan pemerintah, pembekuan izin lingkungan atau
pencabutan izin lingkungan. Namun, pemerintah
terkadang tidak mengenakan sanksi administratif
pencabutan/pembekuan izin usaha/lingkungan karena
pertimbangan investasi yang dibutuhkan untuk
meningkatkan pertumbuhan ekonomi (Cahyaningrum,
2018).

310
MEMPERBAIKI HAM DAN LINGKUNGAN DI MASA
COVID-19 PERSPEKTIF KEADILAN BERMARTABAT (STUDI KASUS KARHUTLA
KALIMANTAN TENGAH)

Menurut hemat peneliti, pihak perusahaan seyogyanya


dibebankan kewajiban untuk menanam kembali bibit di
tempat yang ditentukan karena telah memanfaatkan
pohon, hutan sesuai dengan yang diizinkan. Kewajiban ini
juga sebagai bentuk konservasi, pemulihan lingkungan,
agar pohon yang ditebang tersebut dapat diperbaharui
(renewable) sehingga di masa mendatang dapat
dimanfaatkan kembali dan agar tetap menjaga
keseimbangan ekosistem lingkungan hidup. Jika tidak
ditanam kembali, maka akan terkena efek domino dari
penebangan pohon, misalnya hilangnya tempat tinggal
hewan, longsor dan sebagainya.

PENUTUP

Kesimpulan

Dapat ditarik sebuah benang merah dari tulisan yang


telah dipaparkan diatas, bahwa untuk memperbaiki hak
asasi manusia dan lingkungan hidup khususnya di masa
COVID-19 diperlukan suatu prevensi dan tindakan
hukum yang tegas.

Tindakan-tindakan prevensi yang telah dipaparkan di atas


bisa berupa; deteksi dini hot spot, partisipasi oleh
masyarakat (citizen lawsuit), menggunakan indicator
kualitas udara sebagai standarisasi suatu wilayah sedang
mengalami situasi darurat hingga early response yang
dilakukan oleh pemerintah sebelum keadaan krisis

311
MEMPERBAIKI HAM DAN LINGKUNGAN DI MASA
COVID-19 PERSPEKTIF KEADILAN BERMARTABAT (STUDI KASUS KARHUTLA
KALIMANTAN TENGAH)

dengan cara menyiapkan tim pemadam kebakaran dan


pesawat water bomb di sekitar titik hot spot.

Adapun kesimpulan lain yang dapat ditarik disini adalah,


selain melakukan tindakan prevensi untuk mengurangi
terjadinya kebakaran hutan, dengan melakukan
pengawasan yang ketat oleh pemerintah di dalam hutan
produksi di Indonesia, penulis yakin bahwa kejadian
seperti kebakaran hutan dapat dikontrol dengan baik
karena dengan adanya pengawasan yang ketat oleh
pemerintah secara otomatis membentuk suatu sistem
yang permanen dalam melindungi hutan di Indonesia.

Untuk itu, dengan pengawasan terhadap hutan produksi


yang lebih ketat, Indonesia dapat mencegah terjadinya
kebakaran hutan dan secara bersamaan menjadi win-win
solution yang sangat menguntungkan bagi semua pihak.

Saran

a. Sebaiknya Presiden Republik Indonesia


menyatakan deklarasi darurat iklim (climate
emergency) untuk melakukan urgensi perubahan,
dan meminta pemerintah untuk merubah
kebijakan-kebijakan yang dapat memperparah
kondisi iklim.
b. Melakukan reboisasi pada hutan-hutan yang sudah
gundul, sekaligus menuntut masyarakat untuk
melakukan penghijauan di halaman rumahnya.

312
MEMPERBAIKI HAM DAN LINGKUNGAN DI MASA
COVID-19 PERSPEKTIF KEADILAN BERMARTABAT (STUDI KASUS KARHUTLA
KALIMANTAN TENGAH)

c. Melakukan patroli dan pengawasan rutin terhadap


area hutan yang rawan terjadi kebakaran. Sekaligus
pengawasan ketat terhadap perizinan penebangan
pohon agar tidak terjadi penebangan pohon secara
ilegal atuapun terjadinya “kesengajaan” membakar
hutan.

UCAPAN TERIMA KASIH

Tim Penulis mengucapkan terima kasih kepada para


pihak yang telah mendukung penulisan karya ilmiah ini,
yaitu:

a. Prof. Dr. Bintan R. Saragih, S.H. sebagai Dekan


Fakultas Hukum Universitas Pelita Harapan.
b. Dr. Velliana Tanaya, S.H., M.H. sebagai Direktur
Administrasi Fakultas Hukum Universitas Pelita
Harapan.
c. Dr. Vincensia Esti Purnama Sari, S.H., M.Hum.
sebagai Ketua Program Studi Fakultas Hukum
Universitas Pelita Harapan;
d. Tim Penelitian Dosen Fakultas Hukum Penelitian
Harapan yang telah menyusun Laporan Penelitian
tentang hukum adat yakni: Bapak Rizky, Bapak
Agus Budianto, Johanes Nassareto “Hubungan
Antara Hukum Adat Masyarakat Sumba dengan
Hukum Positif di Indonesia Terhadap Penyelesaian
Masalah Hukum”, Laporan Akhir Penelitian
Internal nomor: P-031-FH/V/2019 (Karawaci:

313
MEMPERBAIKI HAM DAN LINGKUNGAN DI MASA
COVID-19 PERSPEKTIF KEADILAN BERMARTABAT (STUDI KASUS KARHUTLA
KALIMANTAN TENGAH)

Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada


Masyarakat Universitas Pelita Harapan, 2019)
e. Bapak/Ibu Panitia dari Fakultas Hukum
Universitas Pancasila yang telah menyelenggarakan
Konferensi Nasional Online ini.
f. Pelbagi pihak yang tidak dapat Penulis sebutkan
satu persatu.
DAFTAR PUSTAKA

Agung, R., dkk. (2018), Status Hutan & Kehutanan


Indonesia 2018. Jakarta: Kementerian Lingkungan
Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia.
Alwinda, I., (2016), “Peranan Corportae Social
Responsibility (CSR) Dalam Rangka Mengembangkan
Masyarakat Perkebunan di Provinsi Kalimantan
Tengah.” Jurnal Masepi, 1 (1).
Applegate, J. S., & Laitos, J. G., (2006), Environmental
Law: RCRA, CERCLA and the Management of
Hazardous Waste. New York: Foundation Press.
Cahyaningrum, D., (2018), “Tanggung Jawab Hukum
Perusahaan Dalam Kasus Kebakaran Hutan.” Infro
Singkat, 10 (17).
Danusaputro, M., (1980), Hukum Lingkungan Buku 1:
Umum. Bandung: Binacipta.
Environmental Defender’s Office (NSW)., (2005),
Envrionmental Law Toolkit – NSW: A Community Guide
to Environmental Law in New South Wales. Sydney:
The Federation Press.
Farisa, F. Purnamasari, D. M., & Nugraheny, D. E. (2020),
“UPDATE: Total Ada 83.130 Kasus Covid-19 di
Indonesia, Bertambah 1.462.” Kompas, Juli 17.

314
MEMPERBAIKI HAM DAN LINGKUNGAN DI MASA
COVID-19 PERSPEKTIF KEADILAN BERMARTABAT (STUDI KASUS KARHUTLA
KALIMANTAN TENGAH)

FOA & UNEP, (2020), The Sate of The World’s Forests


2020: Forests, Biodiversity and People. Rome: FOA
and UNEP.
Handayani, Y., (2020), “Pengaturan Hak Asasi Manusia
Dalam Konstitusi Indonesia dan Konstitusi Amerika
Serikat.” Rechtsvinding, (Mei).
Haryanto, T., dkk. (2008), “Pengaturan Tentang Hak
Asasi Manusia Berdasarkan Undang-Undang Dasar
1945 Sebelum dan Setelah Amademen.” Jurnal
Dinamika Hukum, 8 (2).
Idhon, A., (2019), “Penyebab dan Akibat Kebakaran
Hutan di Kalimantan Hingga Sumatera.” Tirto,
September 17
Indonesia, Undang-Undang Dasar 1945.
Indonesia, Undang-Undang Hak Asasi Manusia, UU No.
39 Tahun 1999, LN No. 165 Tahun 1999.
Indonesia, Undang-Undang Kehutanan, UU No. 41 Tahun
1999, LN No. 167 Tahun 1999.
Indonesia, Undang-Undang Pencegahan dan
Pemberantasan Perusakan Hutan, UU No. 18 Tahun
2013, LN No. 130 Tahun 2013.
Indonesia, Undang-Undang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup, UU No. 32 Tahun
2009, LN No. 140 Tahun 2009.
Indonesia, Undang-Undang Perseroan Terbatas, UU No. 4
Tahun 2007, LN No. 106 Tahun 2007.
Karo Karo, R., Budianto, A., & Nassareto, J., (2019),
“Hubungan Antara Hukum Adat Masyarakat Sumba
dengan Hukum Positif di Indonesia Terhadap
Penyelesaian Masalah Hukum.” Laporan Akhir
Penelitian Internal Nomor: P-031-FH/V/2019 (2019).
Kuehn, R., (2002), Environmental Law Practice Guide:
Liability Under CERCLA is Expansive. United
Kingdom: Routledge.

315
MEMPERBAIKI HAM DAN LINGKUNGAN DI MASA
COVID-19 PERSPEKTIF KEADILAN BERMARTABAT (STUDI KASUS KARHUTLA
KALIMANTAN TENGAH)

Larasati, M. D., (2018), “Hutan Produksi: Pengertian,


Jenis, Sebaran, dan Peraturan.” Forester Act, Januari
1.
Luis, S. T., (2019), “Jumlah Penderita ISPA Akibat
Karhutla Capai 919.516 Orang di Bulan September.”
National Geographic Indonesia, September 30.
Maharani, T., (2020), “KLHK: Luas Karhutla Selama
Januari Hingga Maret Mencapai 8.254 Hektare.”
Kompas, Mei 8.
Moleong, L. J., (2002), Metodologi Penelitian Kualitatif.
Bandung: Remaja Rosda Karya.
Nasir, C., (2017), “Pengawasan Terhadap Kebijakan
Pemerintah Melalui Mekanisme Citizen Lawsuit.”
Jurnal Konstitusi, 14 (4).
Nugraha, D. P., (2017), Hukum Tata Negara: Sebuah
Pengantar. Karawaci: Universitas Pelita Harapan.
Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2002
tentang Acara Gugatan Perwakilan Kelompok.
Prananingtyas, P., (1996), “Piercing The Corporate Veil in
Environmental Law Cases, A Comprasion of American
and Indonesian Law.” Universitas Diponegoro.
Prasetyo, T., (2015), Keadilan Bermartabat: Perspektif
Teori Hukum. Bandung: Nusa Media.
Pro Kalimatan Tengah, (2020), “Kondisi Hutan Kalteng
Sudah Parah.” KaltengPos.co, Januari 13.
Putri, G. S., (2020), “5 Daftar Penyakit Zoonosis Paling
Mematikan, H1N1 sampai Virus Corona.” Kompas,
Februari 5
Putusan Pengadilan Negeri Palang Karaya No.
118/Pdt.G/LH/2016/PN Plk.
Redaksi Ilmugeografi, (n.d.), “20 Dampak Akibat Hutan
Gundul Bagi Kehidupan Manusia dan Hewan.”
Ilmugeografi.

316
MEMPERBAIKI HAM DAN LINGKUNGAN DI MASA
COVID-19 PERSPEKTIF KEADILAN BERMARTABAT (STUDI KASUS KARHUTLA
KALIMANTAN TENGAH)

Rochmani (2015), "Perlindungan Hak Atas Lingkungan


Hidup Yang Baik dan Sehat di Era Globalisasi."
Jurnal Hukum, 44 (1).
Sabardi, L., (2014), “Peran Masyarakat Dalam
Pengelolaan Lingkungan Hidup Menurut Undang-
Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan
dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.” Yutisia, 3 (1).
Salyer, S., dkk., (2017), “Prioritizing Zoonoses for Global
Health Capacity Builiding-Themes from One Health
Zoonotic Disease Workships in 7 Countires, 2014-
2016.” Emerging Infectious Disease, 23 (13).
Saubani, A., (2019), “Karhutla Kalteng, Kualitas Udara
Masuk Kategori Berbahaya.” Republika, September
20.
Siallagan, H. (2016), “Penerapan Prinsip Negara Hukum
di Indonesia.” Sosiohumaniora, 18, ( 2).
Silalahi, M. D., (2001), Hukum Lingkungan: Dalam Sistem
Penegakan Hukum Lingkungan Indonesia. Bandung:
Alumni.
Sodikin, A. (2020), “Kerusakan Hutan Belum Berhenti
Selama Pandemi.” Kompas, Juli 20.
Sutopo, H.B. (1998), Metodologi Penelitian Hukum
Kualitatif Bagian II. Surakarta: UNS Press.
United Nations. (2014), The Value of Forests: Payments for
Ecosystem Services in a Green Economy. Geneva:
United Nations Publication.
Usman, A. (2009), Class Action & Citizen Lawsuit Laporan
Penelitian. Megamendung: Badan Penelitian dan
Pengembangan & Pendidikan dan Pelatihan Hukum
dan Peradilan.
Waas, R. (2014), “Perlindungan Hukum Terhadap Hak
Atas Lingkungan Hidup Ditinjau Dari Perspektif
Hukum Internasional dan Hukum Nasional
Indonesia.” Jurnal Sasi 20 (1).

317
MEMPERBAIKI HAM DAN LINGKUNGAN DI MASA
COVID-19 PERSPEKTIF KEADILAN BERMARTABAT (STUDI KASUS KARHUTLA
KALIMANTAN TENGAH)

Wibawa, K. C. S. (2019), “Mengembangkan Partisipasi


Masyarakat Dalam Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup Untuk Pembangungan
Berkelanjutan.” Administrative Law & Governance
Journal, 2 (1).
Wibisana, A. (2017), Penegakan Hukum Lingkungan
Melalui Pertanggungjawaban Perdata. Depok: Badan
Penerbit FHUI.

318
8
Penyimpangan Pelaksanaan
Penilaian Usaha Perkebunan
Provinsi Kalimantan Tengah
Tahun 2019

Rio Christiawan
Universitas 17 Agustus 1945 Jakarta
rchristiawan@gmail.com

Abstrak

Penilaian Usaha Perkebunan merupakan salah satu


bentuk pengawasan yang dilakukan oleh pemerintah
untuk memastikan tidak ada eksploitasi lingkungan,
sumberdaya alam, dan eksploitasi manusia dalam usaha
perkebunan. Penilaian usaha perkebunan adalah sebagai
indikator tercapainya paradigma triple bottom line (people,
profit, and planet). Penilaian ini pertama kali diatur dalam
Peraturan Menteri Pertanian Nomor
07/Permentan/OT.140/2/2009 tentang Penilaian Usaha
Perkebunan dimana dalam Pasal 16 Peraturan tersebut
dijelaskan bahwa penilaian usaha perkebunan
dilaksanakan dengan menggunakan anggaran APBD
dan/atau APBN. Persoalan dalam penulisan ini adalah
penyimpangan pelaksanaan Penilaian Usaha Perkebunan

319
PENYIMPANGAN PELAKSANAAN PENILAIAN USAHA PERKEBUNAN PROVINSI
KALIMANTAN TENGAH TAHUN 2019

di Provinsi Kalimantan Tengah yang dilaksanakan tahun


2020. Dinas Perkebunan Kalimantan Tengah menerbitkan
Surat Edaran Nomor 525/632/PUPKP3/Disbun yang
meminta pembiayaan penilaian usaha perkebunan pada
perusahaan perkebunan yang beroperasi di Kalimantan
Tengah, dengan alasan anggaran dinas perkebunan yang
dipotong karena pandemi Covid-19. Hal ini jelas akan
menyebabkan pelaksanaan penilaian usaha perkebunan
menjadi tidak independen, tidak transparan, serta
bertentangan dengan peraturan perundangan yang ada.

Kata Kunci: Penilaian Usaha Perkebunan (PUP),


independensi, penyimpangan, pembiayaan,
APBD/APBN

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Penilaian usaha perkebunan pertama kali diatur dalam


Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) Nomor
07/Permentan/OT.140/2/2009 tentang Penilaian Usaha
Perkebunan. Tujuan dari kegiatan penilaian usaha
perkebunan adalah untuk melakukan pengawasan atas
praktik industri perkebunan. Penilaian usaha
perkebunan (PUP), sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 2
ayat (2) Peraturan Menteri Pertanian Nomor
07/Permentan/OT.140/2/2009 memiliki tujuan: (a)
Mengetahui kinerja usaha perkebunan; (b) Mengetahui

320
PENYIMPANGAN PELAKSANAAN PENILAIAN USAHA PERKEBUNAN PROVINSI
KALIMANTAN TENGAH TAHUN 2019

kepatuhan usaha perkebunan terhadap peraturan dan


ketentuan yang berlaku; (c) Mendorong usaha
perkebunan untuk memenuhi baku teknis usaha
perkebunan dalam memaksimalkan kinerja usaha
perkebunan; (d) Mendorong usaha perkebunan untuk
memenuhi kewajibannya sesuai peraturan dan ketentuan
yang berlaku; (e) Penyusunan program dan kebijakan
pembinaan usaha perkebunan.

Penilaian usaha perkebunan merupakan bentuk dari


implementasi paradigma green growth economic yang lahir
dari KTT Bumi (Earth Summit) di Rio de Janerio, Brasil,
pada tahun 1992, yang menegaskan mengenai konsep
pembangunan berkelanjutan (sustainability development).
Pembangunan berkelanjutan sebagaimana dikenal
dengan green growth economic merupakan bentuk
kompromi antara kepentingan konservasi dan
kepentingan pemanfaatan sumberdaya alam untuk
kepentingan komersial. Parameter green growth economic
baru ditentukan secara khusus pada Konvensi
Johannesburg pada tahun 2002.

Di Indonesia konsep green growth economic di sektor


pertanian diterjemahkan dalam aturan tentang Peraturan
Menteri Pertanian Nomor 07/Permentan/OT.140/2/2009
yang berisi jabaran tentang triple bottom line (people, profit,
and planet) dalam industri perkebunan. Jabaran tersebut
dapat ditemukan dalam kriteria penilaian usaha
perkebunan. Mengacu pada semangat penyusunan

321
PENYIMPANGAN PELAKSANAAN PENILAIAN USAHA PERKEBUNAN PROVINSI
KALIMANTAN TENGAH TAHUN 2019

peraturannya, penilaian usaha perkebunan merupakan


bentuk implementasi dari green growth economic dan
berisi jabaran dari triple bottom line (Soeharto, 2016).

Penilaian usaha perkebunan merupakan bagian dari


upaya restorasi lingkungan sebagaimana dimaksudkan
dalam konsep green growth economic (Yacob, 2018).
Restorasi dalam hukum lingkungan dapat dipandang
sebagai bagian dari kompromi konservasi lingkungan dan
pemanfaatan sumberdaya alam untuk kepentingan
komersial (Reza, 2015). Dalam paradigma ini konservasi
akan dipandang sebagai bentuk hambatan pada
masyarakat atas akses akan pengelolaan sumberdaya
alam. Sebaliknya akses tanpa batas atas pengelolaan
sumberdaya alam merupakan bentuk eksploitasi yang
berbahaya bagi lingkungan dan manusia itu sendiri.

Restorasi dipandang sebagai jalan tengah atas


pengelolaan lingkungan, sehingga dalam hal ini restorasi
dapat dipandang sebagai bentuk konkret dari paradigma
green growth economic. Jika mengacu pada Pasal 2 ayat
(2) Peraturan Menteri Pertanian Nomor
07/Permentan/OT.140/2/2009 maka penilaian usaha
perkebunan memiliki tujuan untuk restorasi dan
kelestarian usaha perkebunan itu sendiri.

Dalam Pasal 33 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945


berbunyi sebagai berikut, “cabang-cabang produksi yang
penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang

322
PENYIMPANGAN PELAKSANAAN PENILAIAN USAHA PERKEBUNAN PROVINSI
KALIMANTAN TENGAH TAHUN 2019

banyak dikuasai oleh negara”. Frasa kata ‘dikuasai oleh


negara’ artinya negara sebagai organisasi kekuasaan
seluruh rakyat bertindak selaku penguasa. Negara bukan
berarti memiliki tetapi negara diberi wewenang sebagai
organisasi kekuasaan dari bangsa Indonesia untuk
mengatur penyelenggaraan urusan pengelolaan
sumberdaya alam (Wibisana, 2017). Artinya dalam hal ini
pengawasan murni menjadi tanggung jawab dari
pemerintah, termasuk dalam hal ini adalah pembiayaan
yang timbul sehubungan dengan kegiatan pengawasan
yang dilakukan pemerintah.

Paradigma ini sebenarnya telah diakomodir dalam Pasal


16 Peraturan Menteri Pertanian Nomor
07/Permentan/OT.140/2/2009 yang menyatakan bahwa
penilaian usaha perkebunan dilaksanakan dengan
menggunakan anggaran APBD dan/ atau APBN.
Persoalannya adalah di Provinsi Kalimantan Tengah,
Dinas Perkebunan Provinsi menerbitkan Surat Edaran
Nomor 525/632/PUPKP3/Disbun yang meminta
pembiayaan penilaian usaha perkebunan pada
perusahaan perkebunan yang beroperasi di Kalimantan
Tengah dengan alasan anggaran dinas perkebunan yang
dipotong karena pandemi Covid-19. Hal ini tentu
bertentangan dengan semangat pengawasan itu sendiri.
Jika agenda pengawasan dibiayai oleh pihak yang diawasi
maka akan dapat mengganggu independensi dari kegiatan
pengawasan tersebut. Bahkan pembiayaan pengawasan

323
PENYIMPANGAN PELAKSANAAN PENILAIAN USAHA PERKEBUNAN PROVINSI
KALIMANTAN TENGAH TAHUN 2019

oleh pihak yang diawasi akan dapat menimbulkan


tindakan penyimpangan lainnya.

Pembiayaan kegiatan pengawasan oleh pihak yang


diawasi akan menimbulkan persoalan transparansi dan
perbedaan standar perlakuan pada masing-masing subjek
yang diawasi. Seharusnya agenda penilaian usaha
perkebunan adalah agenda pengawasan untuk
melakukan verifikasi kepatuhan penyelenggara industri
perkebunan terhadap aturan yang telah ditetapkan
(peraturan yang berlaku secara umum). Jika pembiayaan
dilakukan oleh pihak yang diawasi maka selain
dikhawatirkan akan mempengaruhi transparansi dan
independensi para pejabat penilai usaha hasil
perkebunan juga akan mempengaruhi persamaan
perlakuan antar sesama perusahaan perkebunan sebagai
pihak yang diawasi.

Tidak ada besaran jumlah biaya yang disebutkan dalam


Surat Edaran Nomor 525/632/PUPKP3/Disbun itu.
Demikian pula dalam hal ini mengenai tata cara
pembiayaan penilaian usaha perkebunan juga tidak
disebutkan secara pasti. Jika dibayarkan melalui rekening
pasti akan berpotensi menimbulkan kekeliruan
administrasi selain penyimpangan dalam pelaksanaan
penilaian usaha perkebunan serta tidak tercapainya
esensi dari kegiatan penilaian usaha perkebunan sebagai
bentuk restorasi dan pelaksaaan paradigma green growth
economic dalam perkebunan.

324
PENYIMPANGAN PELAKSANAAN PENILAIAN USAHA PERKEBUNAN PROVINSI
KALIMANTAN TENGAH TAHUN 2019

Rumusan Masalah

Apakah Surat Edaran Nomor 525/632/PUPKP3/Disbun


yang diterbitkan Kepala Dinas Perkebunan Provinsi
Kalimantan Tengah dapat menyimpangi keberlakuan
Pasal 16 Peraturan Menteri Pertanian Nomor
07/Permentan/OT.140/2/2009?

Tujuan

Untuk meneliti aspek kepastian hukum pelaksanaan


Peraturan Menteri Pertanian Nomor
07/Permentan/OT.140/2/2009 serta mengkaji
penyimpangan yang ditimbulkan oleh Surat Edaran
Nomor 525/632/PUPKP3/Disbun yang diterbitkan Kepala
Dinas Perkebunan Provinsi Kalimantan Tengah sehingga
dapat menjadi rekomendasi bagi instansi yang terkait.

Metode Penelitian

Metode yang digunakan dalam penulisan ini adalah


metode penulisan yuridis normatif dengan fokus
melakukan kajian yuridis terhadap implementasi konsep
hukum lingkungan yakni green growth economic terhadap
kebijakan pembiayaan penilaian usaha perkebunan di
Provinsi Kalimantan Tengah tahun 2019. Untuk mencapai
maksud di atas digunakan studi kepustakaan, yaitu
menggunakan bahan hukum untuk menjawab persoalan
yang dibahas.

325
PENYIMPANGAN PELAKSANAAN PENILAIAN USAHA PERKEBUNAN PROVINSI
KALIMANTAN TENGAH TAHUN 2019

Penelitian ini menggunakan pendekatan penelitian


hukum normatif dengan melakukan abstraksi terhadap
proses deduksi dari norma hukum positif yang berlaku,
yaitu meneliti hukum sebagai norma positif dengan
menggunakan cara berpikir deduktif dan berdasarkan
pada kebenaran koheren, dimana kebenaran dalam
penelitian ini sudah dinyatakan kredibel tanpa harus
melalui proses pengujian atau verifikasi. Data yang
dimaksudkan dalam penulisan ini adalah bahan-bahan
atau fakta-fakta atau bisa juga diartikan sebagai sumber
informasi. Sedangkan bahan hukum yang dimaksudkan
dalam penelitian ini terdiri dari bahan hukum primer dan
bahan hukum sekunder.

Bahan hukum primer adalah merupakan bahan hukum


yang bersifat autoritatif artinya mempunyai otoritas
peraturan perundangan, risalah atau catatan resmi, dan
putusan pengadilan. Sedangkan yang dimaksud bahan
hukum sekunder adalah buku-buku (pendapat ahli),
jurnal, dan segala sesuatu yang dapat memberikan
petunjuk bagi penulis. Data yang diperoleh dianalisis
sehingga dapat ditemukan alasan yang rasional mengenai
permasalahan yang dimaksud. Dari hasil pengolahan
tersebut dianalisis dan kemudian dilakukan pembahasan
dan ditarik kesimpulan terhadap implementasi konsep
hukum lingkungan yakni green growth economic terhadap
pembiayaan penilaian usaha perkebunan di Provinsi
Kalimantan Tengah tahun 2019.

326
PENYIMPANGAN PELAKSANAAN PENILAIAN USAHA PERKEBUNAN PROVINSI
KALIMANTAN TENGAH TAHUN 2019

PEMBAHASAN

Pengawasan melalui Penilaian Usaha Perkebunan

Paradigma hukum lingkungan di Indonesia masih


menganut asas Command and Control (CAC), yakni
pemerintah yang memberi perizinan dan pemerintah yang
mengawasi. Soemarwoto dalam Wibisana menyatakan
kelemahan utama dari implementasi CAC ini adalah
bersifat kaku dan birokratis dimana dalam konteks ini
aturan dibuat secara rinci dan detail dimulai dari Undang-
Undang hingga petunjuk pelaksanaan dan petunjuk
teknis. Kekakuan tersebut berakibat pada tidak
berkembangnya teknologi sistem pengelolaan lingkungan
dan mengakibatkan pendekatan yang sangat birokratis
sehingga pejabat seringkali bertindak koruptif ketimbang
memperbaiki kondisi lingkungan (Endra, 2015).

Aspek formal hukum lingkungan menempatkan penilaian


usaha perkebunan sebagaimana diatur dalam Peraturan
Menteri Pertanian Nomor 07/Permentan/OT.140/2/2009
sebagai bagian dari asas Command and Control (CAC).
Jadi perlu dipahami dalam hal ini cara
mengimplementasikan kebijakan green growth economic
adalah melalui mekanisme Command and Control (CAC)
dengan restorasi sebagai tujuan utama. Penilaian usaha
perkebunan dikatakan sebagai bagian dari model
Command and Control (CAC) mengingat kriteria yang
menjadi bahan penilaian (evaluasi) pada agenda penilaian

327
PENYIMPANGAN PELAKSANAAN PENILAIAN USAHA PERKEBUNAN PROVINSI
KALIMANTAN TENGAH TAHUN 2019

usaha perkebunan telah ditentukan dalam perundang-


undangan. Demikian juga kepatuhan pada penilaian
usaha perkebunan akan berdampak pada evaluasi izin
usaha perkebunan dari perusahaan yang mengelola
industri perkebunan.

Dalam konteks hukum lingkungan, kegiatan penilaian


usaha perkebunan dipandang sebagai bentuk
pengawasan dari pemerintah untuk memastikan seluruh
praktik pengelolaan perusahaan perkebunan di Indonesia
dijalankan dengan baik. Esensi dari penilaian usaha
perkebunan adalah adanya standar dan perlakuan yang
sama baik bagi penilai maupun perusahaan yang dinilai,
karena penilaian usaha perkebunan merupakan bagian
dari pengawasan untuk terwujudnya restorasi lingkungan
(Muhamad, 2015). Dalam perspektif pengawasan maka
hal-hal yang dapat mempengaruhi standar dan perlakuan
yang sama harus dikesampingkan.

Adanya perbedaan standar dan perlakuan akan


mempengaruhi kualitas dari pengawasan yang dilakukan
oleh otoritas pemerintah terhadap agenda pengawasan itu
sendiri. Akibat dari terganggunya kualitas pengawasan
yang baik adalah terabaikannya atau terganggunya
kepastian restorasi lingkungan dan justru akan tercipta
eksploitasi. Definisi kelestarian (sustainability) adalah
pemanfaatan sumberdaya alam dengan disertai dengan
restorasi (pembenahan) atas dampak negatif atas

328
PENYIMPANGAN PELAKSANAAN PENILAIAN USAHA PERKEBUNAN PROVINSI
KALIMANTAN TENGAH TAHUN 2019

lingkungan sebagai akibat dari pemanfaatan sumberdaya


alam tersebut (Leong, 2015).

Jika Dinas Perkebunan Kalimantan Tengah sebagai


bagian dari otoritas pemerintah yang melakukan
pengawasan menerbitkan Surat Edaran Nomor
525/632/PUPKP3/Disbun yang dapat berdampak pada
kualitas pengawasan maka sesungguhnya Surat Edaran
Nomor 525/632/PUPKP3/Disbun tersebut bertentangan
dengan prinsip pengawasan sebagai bagian dari restorasi.
Pembiayaan yang dilakukan oleh perusahaan perkebunan
sesungguhnya menyimpangi Pasal 16 Peraturan Menteri
Pertanian Nomor 07/Permentan/OT.140/2/2009 yang
menentukan pembiayaan penilaian usaha perkebunan
dialokasikan dari dana APBN/ APBD. Tujuan pembiayaan
oleh negara melalui APBN/ APBD tersebut dimaksudkan
agar kegiatan pengawasan praktik usaha perkebunan
melalui penilaian usaha perkebunan memiliki standar
dan perlakuan yang sama.

Persoalan Surat Edaran Nomor


525/632/PUPKP3/Disbun

Mengacu pada Undang-Undang (UU) Nomor 15 Tahun


2019 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 12
Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
undangan tidak dikenal produk hukum surat edaran.
Definisi surat edaran adalah surat koordinasi antar
instansi dan tidak memiliki kekuatan mengikat seperti

329
PENYIMPANGAN PELAKSANAAN PENILAIAN USAHA PERKEBUNAN PROVINSI
KALIMANTAN TENGAH TAHUN 2019

peraturan perundangan (Hadjon, 2005). Sifat surat


edaran tidak mengandung sanksi dan tidak dapat
dipaksakan keberlakuannya (non enforceable) (Anwar,
2011). Oleh sebab itu, penyimpangan Pasal 16 Peraturan
Menteri Pertanian Nomor 07/Permentan/OT.140/2/2009
tidak dapat hanya dilakukan melalui surat edaran saja.

Peraturan Menteri Pertanian Nomor


07/Permentan/OT.140/2/2009 dibuat oleh menteri dan
berlaku secara nasional, mengingat penilaian usaha
perkebunan merupakan bagian dari kegiatan pengawasan
yang berlaku secara nasional. Dalam konsep ilmu
perundang-undangan artinya penyimpangan terhadap
ketentuan Peraturan Menteri Pertanian Nomor
07/Permentan/OT.140/2/2009 harus dilakukan dengan
peraturan yang tingkatannya minimal sama atau lebih
tinggi dari Peraturan Menteri Pertanian Nomor
07/Permentan/OT.140/2/2009.

Pelaksanaan penilaian usaha perkebunan di Provinsi


Kalimantan Tengah seharusnya juga mempedomani
ketentuan dalam Peraturan Menteri Pertanian Nomor
07/Permentan/OT.140/2/2009, termasuk terkait dengan
pembiayaan pelaksanaan kegiatan penilaian usaha
perkebunan. Jika pada pelaksanaan kegiatan
pengawasan yakni penilaian usaha perkebunan tahun
2019 yang dilaksanakan tahun 2020 di Provinsi
Kalimantan Tengah dilakukan dengan menyimpangi Pasal
16 Peraturan Menteri Pertanian Nomor

330
PENYIMPANGAN PELAKSANAAN PENILAIAN USAHA PERKEBUNAN PROVINSI
KALIMANTAN TENGAH TAHUN 2019

07/Permentan/OT.140/2/2009 maka seharusnya


penyimpangan tersebut tidak dapat dilakukan hanya
dengan sekedar surat edaran kepala dinas perkebunan.

Surat Edaran Nomor 525/632/PUPKP3/Disbun yang


diterbitkan Kepala Dinas Perkebunan Provinsi Kalimantan
Tengah pada 16 Juni 2020, selain cacat secara
perundangan karena menyimpangi Peraturan Menteri
Pertanian Nomor 07/Permentan/OT.140/2/2009 juga
justru menimbulkan ketidakpastian hukum. Kepastian
hukum adalah asas dalam negara hukum yang
mengutamakan landasan ketentuan peraturan
perundang-undangan, kepatutan, keajegan, dan keadilan
dalam setiap kebijakan penyelenggaraan pemerintahan.

Asas kepastian hukum merupakan bagian dari asas-asas


umum pemerintahan yang baik (AAUPB) yang
sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (17) UU Nomor 30
Tahun 2014 tentang Administrasi Negara disebutkan
sebagai “prinsip yang digunakan sebagai acuan
penggunaan Wewenang bagi Pejabat Pemerintahan dalam
mengeluarkan Keputusan dan/ atau Tindakan dalam
penyelenggaraan pemerintahan”. Artinya dalam hal ini
Surat Edaran Nomor 525/632/PUPKP3/Disbun yang
diterbitkan Kepala Dinas Perkebunan Provinsi Kalimantan
Tengah pada 16 Juni 2020 dapat dikatakan bertentangan
dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik.

331
PENYIMPANGAN PELAKSANAAN PENILAIAN USAHA PERKEBUNAN PROVINSI
KALIMANTAN TENGAH TAHUN 2019

Selain persoalan administrasi negara, keberadaan Surat


Edaran Nomor 525/632/PUPKP3/Disbun juga
menimbulkan persoalan secara teknis dalam pelaksanaan
penilaian usaha perkebunan maupun persoalan lainnya
seperti pelanggaran norma keuangan daerah. Persoalan
teknis dalam Surat Edaran Nomor
525/632/PUPKP3/Disbun adalah penyimpangan
terhadap Pasal 16 Peraturan Menteri Pertanian Nomor
07/Permentan/OT.140/2/2009, yakni terkait alokasi
biaya penilaian usaha perkebunan oleh APBN/APBD.
Surat Edaran Nomor 525/632/PUPKP3/Disbun tidak
menyebutkan besaran biaya yang harus ditanggung oleh
masing-masing perusahaan perkebunan. Surat Edaran
Nomor 525/632/PUPKP3/Disbun juga tidak mengatur
cara pembayaran oleh pihak yang akan dinilai sehingga
surat edaran ini juga bertentangan dengan asas
keterbukaan sebagaimana dimaksud dalam asas-asas
umum pemerintahan yang baik.

Asas keterbukaan itu adalah asas yang melayani


masyarakat untuk mendapatkan akses dan memperoleh
informasi yang benar, jujur, dan tidak diskriminatif dalam
penyelenggaraan pemerintahan dengan tetap
memperhatikan perlindungan atas hak asasi pribadi,
golongan, dan rahasia negara 1 . Surat Edaran Nomor

1 https://pemerintah.net/asas-asas-umum-pemerintahan-yang-baik-aupb/
diunduh pada 24 Juni 2020.

332
PENYIMPANGAN PELAKSANAAN PENILAIAN USAHA PERKEBUNAN PROVINSI
KALIMANTAN TENGAH TAHUN 2019

525/632/PUPKP3/Disbun tidak menyebutkan besaran


biaya yang ditanggung masing-masing perusahaan yang
dinilai dan bagaimana cara pemenuhan kewajiban
tersebut. Dengan demikian, Surat Edaran tersebut
bertentangan dengan asas keterbukaan.

Seharusnya Dinas Perkebunan Provinsi Kalimantan


Tengah dalam mengambil kebijakan harus sesuai dengan
kebijakan yang digariskan oleh Kementerian Pertanian
karena secara teknis dinas perkebunan provinsi berada di
bawah pembinaan Kementerian Pertanian (Kementerian
Pertanian, 2014). Kenyataannya, Surat Edaran Nomor
525/632/PUPKP3/Disbun tersebut tidak memberi
tembusan kepada Kementerian Pertanian sehingga dalam
hal ini perlu dilakukan evaluasi terhadap pola pembinaan
Kementerian Pertanian pada dinas perkebunan di daerah
khususnya di Kalimantan Tengah.

Surat Edaran Nomor 525/632/PUPKP3/Disbun juga


bertentangan dengan asas hukum lex superiori derogate
legi inferiori. Dalam hal ini kedudukan Surat Edaran
Nomor 525/632/PUPKP3/Disbun dalam perundangan
adalah lebih rendah dari Peraturan Menteri Pertanian
Nomor 07/Permentan/OT.140/2/2009. Artinya Surat
Edaran Nomor 525/632/PUPKP3/Disbun tidak dapat
dipergunakan sebagai dasar penyimpangan dari
Peraturan Menteri Pertanian Nomor
07/Permentan/OT.140/2/2009.

333
PENYIMPANGAN PELAKSANAAN PENILAIAN USAHA PERKEBUNAN PROVINSI
KALIMANTAN TENGAH TAHUN 2019

Penilaian usaha perkebunan adalah agenda pengawasan


untuk tercapainya restorasi di tingkat nasional sehingga
diatur melalui aturan setingkat peraturan menteri2. Jika
dikarenakan adanya pandemi Covid-19 diputuskan
bahwa biaya pelaksanaan penilaian usaha perkebunan
ditanggung oleh perusahaan yang mengelola perkebunan
maka harus diputuskan dengan aturan yang lebih tinggi
dari Peraturan Menteri Pertanian Nomor
07/Permentan/OT.140/2/2009. Hal ini guna
terpenuhinya asas hukum lex superiori derogate legi
inferiori yang harus berlaku secara nasional.

Pemerintah daerah tidak dibenarkan menyimpangi


ketentuan agenda nasional dengan kebijakan daerah yang
dituangkan dalam surat edaran. Dalam hal ini jika
merujuk pada kaidah perundangan maka seharusnya
Surat Edaran Nomor 525/632/PUPKP3/Disbun yang
diterbitkan Kepala Dinas Perkebunan Provinsi Kalimantan
Tengah pada 16 Juni 2020 tidak dapat dipaksakan
keberlakuannya karena selain bertentangan dengan
kaidah perundangan, juga mengacu sifat dari surat
edaran itu sendiri, surat itu hanya bersifat koordinatif.

Surat Edaran Nomor 525/632/PUPKP3/Disbun yang


ditembuskan pada Gubernur Kalimantan Tengah tersebut
perlu mendapat perhatian dari Gubernur. Gubernur

2 Minuta Rapat Kelompok Kerja (Pokja), Penyusunan Peraturan Penilaian Usaha


Perkebunan, (Jakarta, 11 November 2008).

334
PENYIMPANGAN PELAKSANAAN PENILAIAN USAHA PERKEBUNAN PROVINSI
KALIMANTAN TENGAH TAHUN 2019

Kalimantan Tengah sebagai pimpinan satuan kerja


perangkat daerah (SKPD) dapat membatalkan Surat
Edaran Nomor 525/632/PUPKP3/Disbun yang
diterbitkan oleh Kepala Dinas Perkebunan. Gubernur
perlu mencabut edaran tersebut demi terlaksananya
standar nasional agenda pengawasan dalam praktik
perkebunan melalui penilaian usaha perkebunan yang
berlaku secara nasional.

Dalam teori administrasi negara Surat Edaran Nomor


525/632/PUPKP3/Disbun yang diterbitkan oleh Kepala
Dinas Perkebunan Provinsi Kalimantan Tengah ini justru
menciptakan antinomi hukum melalui akibat kontradiktif
yang tercipta. Kondisi antinomi inilah yang akan
menimbulkan kendala dalam perspektif investasi maupun
pengawasan, mengingat kondisi antinomi akan
menciptakan ketidakpastian (business uncertainty) dan
berakibat pada business interruption yang merugikan
investasi maupun kepentingan restorasi lingkungan itu
sendiri.

Agenda penilaian usaha perkebunan tersebut akan


produktif jika regulasi atas pengawasan lingkungan yang
dilakukan pemerintah tidak menginterupsi atau
membebani investor yang ada, dalam hal ini perusahaan
perkebunan yang akan dinilai. Penataan yang dilakukan
oleh pemerintah harus seragam sehingga tidak
menciptakan perbedaan perlakuan di setiap daerah,
mengingat penataan yang menciptakan diskriminasi tentu

335
PENYIMPANGAN PELAKSANAAN PENILAIAN USAHA PERKEBUNAN PROVINSI
KALIMANTAN TENGAH TAHUN 2019

akan berakibat kontraproduktif pada tujuannya (Haris,


2011).

Penetapan pemungutan pembiayaan penilaian usaha


perkebunan sebagaimana dimaksudkan dalam Surat
Edaran Nomor 525/632/PUPKP3/Disbun itu justru
menghambat optimalisasi potensi ekonomi atas lahan
perkebunan dan menimbulkan kerugian pada para petani
plasma. Pada akhirnya harus disadari pula bahwa sektor
perkebunan merupakan salah satu penggerak ekonomi
terbesar di Indonesia sehingga perlu penataan yang dapat
mendorong pertumbuhan industri perkebunan (Tim
Kementerian Keuangan, 2018). Pada akhirnya Surat
Edaran Nomor 525/632/PUPKP3/Disbun Kalimantan
Tengah merugikan kepentingan masyarakat banyak.

Surat Edaran ini juga bertentangan dengan teori


perundang-undangan karena penyusunan surat edaran
tidak boleh bertentangan dengan tata urutan perundang-
undangan yang lebih tinggi (Indrati, 2010). Artinya jika
ditemukan banyak pertentangan antara Surat Edaran
Nomor 525/632/PUPKP3/Disbun dengan peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi maka surat edaran
tersebut harus dibatalkan.

Terkait restorasi lingkungan pada investasi perkebunan


kelapa sawit diperlukan aturan yang bersifat nasional
atau bahkan produk hukum lebih tinggi, karena terkait
penataan lahan. Selain itu penilaian usaha perkebunan

336
PENYIMPANGAN PELAKSANAAN PENILAIAN USAHA PERKEBUNAN PROVINSI
KALIMANTAN TENGAH TAHUN 2019

sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Menteri


Pertanian Nomor 07/Permentan/OT.140/2/2009 bersifat
lintas kementerian. Sejak berlakunya otonomi daerah
maka kewenangan terkait dengan pengawasan
perkebunan tersebar ke banyak instansi baik di tingkat
kabupaten/kota maupun di tingkat provinsi oleh sebab
itu secara tata aturan perundangan diperlukan aturan
yang bersifat nasional, seperti halnya tertuang dalam
Peraturan Menteri Pertanian Nomor
07/Permentan/OT.140/2/2009.

Penilaian usaha perkebunan harus dipandang sebagai


bagian dari upaya restorasi (upaya memperbaiki) dan
konservasi (upaya untuk menjaga) lingkungan pada
dampak negatif yang timbul sebagai akibat dilakukannya
kegiatan pemanfaatan sumberdaya alam di bidang
perkebunan. Pemerintah harus menjaga keseimbangan
antara kepentingan konservasi dan investasi melalui
penilaian usaha perkebunan mengingat pemerintah
memerlukan pertumbuhan ekonomi melalui industri
perkebunan. Sebaliknya dampak negatif lingkungan perlu
dihindari. Penilaian usaha perkebunan sebagai bentuk
pengawasan guna mewujudkan restorasi lingkungan
harus berorientasi pada Pasal 33 Undang-Undang Dasar
1945, pemerintah dalam hal ini berupaya agar lahan yang
ada dapat bermanfaat secara produktif khususnya bagi
masyarakat luas (Saharjo, 2013).

337
PENYIMPANGAN PELAKSANAAN PENILAIAN USAHA PERKEBUNAN PROVINSI
KALIMANTAN TENGAH TAHUN 2019

Surat Edaran Nomor 525/632/PUPKP3/Disbun dapat


dievaluasi melalui tiga perspektif yakni pertama,
perspektif ilmu perundang-undangan, kedua, perspektif
hukum administrasi negara, dan ketiga dalam perspektif
hukum lingkungan. Dalam perspektif ilmu perundangan,
eksistensi Surat Edaran Nomor
525/632/PUPKP3/Disbun dapat dikesampingkan dan
dianggap tidak berlaku karena bertentangan dengan
aturan yang lebih tinggi, yakni Peraturan Menteri
Pertanian Nomor 07/Permentan/OT.140/2/2009 (surat
edaran lebih rendah tingkatannya dibanding peraturan
menteri). Demikian juga aturan yang bersifat nasional
tidak dapat disimpangi dengan edaran mapun aturan
yang bersifat kedaerahan.

Surat Edaran Nomor 525/632/PUPKP3/Disbun yang


diterbitkan oleh Kepala Dinas Perkebunan Provinsi
Kalimantan Tengah secara hukum dapat dikesampingkan
karena baik secara substansi maupun secara formal
penerbitannya mengandung cacat hukum. Dalam hal ini
cacat hukum yang bersifat substansi terletak pada
substansi penyimpangan aturan nasional pada aturan
yang bersifat kedaerahan. Demikian Surat Edaran Nomor
525/632/PUPKP3/Disbun juga mengandung cacat formal
karena sifat surat edaran tidak boleh bertentangan
dengan peraturan dan surat edaran seharusnya hanya
bersifat koordinatif, sedangkan pada Surat Edaran Nomor
525/632/PUPKP3/Disbun mengandung penyimpangan,

338
PENYIMPANGAN PELAKSANAAN PENILAIAN USAHA PERKEBUNAN PROVINSI
KALIMANTAN TENGAH TAHUN 2019

yakni penyimpangan Pasal 16 Peraturan Menteri


Pertanian Nomor 07/Permentan/OT.140/2/2009.

Kedua, dalam perspektif hukum administrasi negara


bahwa Surat Edaran Nomor 525/632/PUPKP3/Disbun
yang diterbitkan oleh Kepala Dinas Perkebunan Provinsi
Kalimantan Tengah bertentangan dengan asas-asas
umum pemerintah yang baik sebagaimana diatur dalam
Pasal 1 ayat (17) UU Nomor 30 Tahun 2014 tentang
Administrasi Negara. Surat Edaran Nomor
525/632/PUPKP3/Disbun selain melanggar asas
kepastian hukum juga melanggar asas keterbukaan
dalam pelayanan publik.

Dalam perspektif hukum administrasi negara, dalam hal


ini Gubernur sebagai Pimpinan SKPD (termasuk) Dinas
Perkebunan Provinsi Kalimantan Tengah yang
menerbitkan Surat Edaran Nomor
525/632/PUPKP3/Disbun demikian juga dalam hal ini
posisi Gubernur Kalimantan Tengah adalah satu-satunya
pihak yang mendapat tembusan secara resmi
sebagaimana disebutkan dalam Surat Edaran Nomor
525/632/PUPKP3/Disbun maka dalam perspektif hukum
administrasi negara dalam hal ini Gubernur harus
melakukan koreksi atas Keputusan Kepala Dinas
Perkebunan menerbitkan Surat Edaran Nomor
525/632/PUPKP3/Disbun. Bentuk koreksi yang dapat
dilakukan Gubernur Kalimantan Tengah adalah dengan
mencabut Surat Edaran Nomor

339
PENYIMPANGAN PELAKSANAAN PENILAIAN USAHA PERKEBUNAN PROVINSI
KALIMANTAN TENGAH TAHUN 2019

525/632/PUPKP3/Disbun dan melakukan sinkronisasi


terhadap aturan yang bersifat nasional.

Ketiga, dalam perspektif hukum lingkungan. Penerbitan


Surat Edaran Nomor 525/632/PUPKP3/Disbun justru
menimbulkan persoalan dalam perspektif hukum
lingkungan. Persoalan penyimpangan Pasal 16 Peraturan
Menteri Pertanian Nomor 07/Permentan/OT.140/2/2009
terkait pembiayaan penilaian usaha perkebunan (dalam
Surat Edaran Nomor 525/632/PUPKP3/Disbun
pembiayaan dibebankan pada perusahaan perkebunan
yang akan dinilai). Surat edaran tersebut justru
menimbulkan standar dan perlakuan yang berbeda.

Pembebanan pembiayaan oleh perusahaan perkebunan


akan membuat pejabat penilai dari kegiatan penilaian
usaha perkebunan menjadi tidak independen dan
memiliki ketergantungan dengan perusahaan perkebunan
yang akan dinilai sehingga akan rawan menimbulkan
perbedaan standar dan perilaku dalam melakukan
penilaian usaha perkebunan. Demikian juga tidak ada
transparansi soal pembayaran biaya (mengenai jumlah
dan cara pembayaran) akan dapat berpotensi mengurangi
kualitas dari penilaian usaha perkebunan yang
seharusnya dilakukan sebagai bagian dari pengawasan
untuk mencapai restorasi lingkungan. Terganggunya
restorasi lingkungan akan menyebabkan tidak
tercapainya paradigma green growth economic demikian

340
PENYIMPANGAN PELAKSANAAN PENILAIAN USAHA PERKEBUNAN PROVINSI
KALIMANTAN TENGAH TAHUN 2019

juga dengan triple bottom line sebagai jabarannya dalam


pengelolaan lingkungan dan sumberdaya alam.

Peran Serta GNPSDA

Sebenarnya pemerintah telah memiliki forum yang


strategis dalam menata aspek lingkungan dan
pengawasan industri perkebunan, yakni forum gerakan
nasional penyelamatan sumberdaya alam (GNPSDA).
Forum GNPSDA yang dipimpin oleh Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai leading sektor dan
telah diformalkan oleh pemerintah pada 19 Maret 2015,
berdasarkan nota kesepahaman (MoU) antara KPK
bersama 29 kementerian serta 12 pemerintah provinsi
(termasuk Kalimantan Tengah). Tujuan utama GNPSDA
sebenarnya adalah menjamin kelangsungan investasi
tanpa mengurangi kualitas lingkungan. Hal ini artinya
GNPSDA memiliki visi dan misi yang sama dengan model
green growth economic.

Dalam hal ini terbitnya Surat Edaran Nomor


525/632/PUPKP3/Disbun yang diterbitkan oleh Kepala
Dinas Perkebunan Provinsi Kalimantan Tengah yang
menyimpangi keberlakuan Pasal 16 Peraturan Menteri
Pertanian Nomor 07/Permentan/OT.140/2/2009 terkait
pembiayaan penilaian usaha perkebunan yang
seharusnya dibiayai oleh APBD/ APBN, namun melalui
Surat Edaran Nomor 525/632/PUPKP3/Disbun
pembiayaan menjadi dibebankan pada perusahaan

341
PENYIMPANGAN PELAKSANAAN PENILAIAN USAHA PERKEBUNAN PROVINSI
KALIMANTAN TENGAH TAHUN 2019

perkebunan yang diawasi. Surat Edaran Nomor


525/632/PUPKP3/Disbun menimbulkan persoalan
transparansi, sebagaimana telah dijelaskan bahwa Surat
Edaran Nomor 525/632/PUPKP3/Disbun melanggar asas
keterbukaan dalam asas-asas umum pemerintahan yang
baik.

Urgensi keterlibatan tim GNPSDA yang dipimpin oleh KPK


adalah untuk mewujudkan tata kelola lingkungan yang
baik (menghindari penyimpangan dalam pengelolaan
lingkungan). Pentingnya keterlibatan tim GNPSDA adalah
untuk mengawasi dan mengantisipasi dampak
penyimpangan akibat terbitnya Surat Edaran Nomor
525/632/PUPKP3/Disbun, dalam surat edaran tersebut
sebagaimana telah diuraikan dalam sub bab sebelumnya
yakni melakukan penyimpangan terhadap Pasal 16
Peraturan Menteri Pertanian Nomor
07/Permentan/OT.140/2/2009 sehingga memindahkan
beban pembiayaan kegiatan penilaian usaha perkebunan
dari yang semula dibiayai melalui APBN/ APBD (merujuk
Pasal 16 Peraturan Menteri Pertanian Nomor
07/Permentan/OT.140/2/2009) menjadi biaya
dibebankan pada perusahaan sesuai bunyi Diktum Kedua
Surat Edaran Nomor 525/632/PUPKP3/Disbun.

Pelanggaran asas keterbukaan dalam asas-asas umum


pemerintahan yang baik timbul karena penyimpangan
terkait biaya tersebut tidak disebutkan dengan jelas
berapa biaya yang dibebankan pada masing-masing

342
PENYIMPANGAN PELAKSANAAN PENILAIAN USAHA PERKEBUNAN PROVINSI
KALIMANTAN TENGAH TAHUN 2019

perusahaan. Demikian juga cara pembayaran juga tidak


disebutkan melalui pembayaran yang resmi (misalnya
pada rekening atas nama instansi/ SKPD melalui transfer
bank yang bersifat tercatat). Kondisi ini memungkinkan
terjadinya penyimpangan dan akan menyebabkan standar
dan perlakuan yang berbeda pada pelaksanaan penilaian
usaha perkebunan. Demikian juga perlu dilakukan
pemeriksaan dan audit terhadap penerimaan dana
tersebut untuk mewujudkan transparansi dan
akuntabilitas pengelolaan dana yang diperoleh dari pihak
perusahaan perkebunan.

Sesuai Pasal 33 UUD 1945, GNPSDA harus mampu


menjaga agar masyarakat luas dapat memperoleh
manfaat dari industri strategis perkebunan. Sebaliknya
dengan turut sertanya GNPSDA dalam kegiatan penilaian
usaha perkebunan maka aspek pengawasan dan restorasi
lingkungan yang menjadi tujuan awal kegiatan penilaian
usaha perkebunan dapat terjaga. Keterlibatan GNPSDA
dalam penilaian usaha perkebunan Provinsi Kalimantan
Tengah dapat menghindarkan masyarakat dari dampak
negatif terkait industri perkebunan.

GNPSDA harus dapat mengawal eksistensi industri


perkebunan sebagai industri strategis nasional yang
menghasilkan devisa terbesar melalui kegiatan penilaian
usaha perkebunan sebagai bagian dari kegiatan
pengawasan yang berkorelasi pada perbaikan kualitas
lingkungan serta mencegah terjadinya eksploitasi.

343
PENYIMPANGAN PELAKSANAAN PENILAIAN USAHA PERKEBUNAN PROVINSI
KALIMANTAN TENGAH TAHUN 2019

Dikhawatirkan dampak dari Surat Edaran Nomor


525/632/PUPKP3/Disbun adalah selain menimbulkan
potensi perbuatan koruptif juga akan menurunkan
kualitas pengawasan yang pada akhirnya juga berkorelasi
secara langsung pada potensi degradasi dan eksploitasi
lingkungan.

Terdapat urgensi keterlibatan tim GNPSDA adalah


bersama-sama pemerintah Provinsi Kalimantan Tengah,
khususnya dalam hal ini Dinas Perkebunan Provinsi
Kalimantan Tengah untuk menyusun produk hukum
baru sebagai bentuk klarifikasi terhadap Surat Edaran
Nomor 525/632/PUPKP3/Disbun. Produk hukum
tersebut dapat berupa pencabutan Surat Edaran Nomor
525/632/PUPKP3/Disbun dan terkait pembiayaan
kembali pada ketentuan Pasal 16 Peraturan Menteri
Pertanian Nomor 07/Permentan/OT.140/2/2009.
Konsekuensinya maka harus dipastikan seluruh dana
yang telah diterima dari perusahaan perkebunan
dikembalikan.

Alternatif kedua, adalah produk hukum yang diterbitkan


tersebut nantinya bersifat memberikan klarifikasi atas
Surat Edaran Nomor 525/632/PUPKP3/Disbun, artinya
memberikan penjelasan lebih lanjut pada aspek yang
belum diterangkan dalam Surat Edaran Nomor
525/632/PUPKP3/Disbun. Dalam hal ini misalnya seperti
besaran biaya, instansi yang menerima biaya, dan/ atau
waktu pembayaran. Penyusunan produk hukum untuk

344
PENYIMPANGAN PELAKSANAAN PENILAIAN USAHA PERKEBUNAN PROVINSI
KALIMANTAN TENGAH TAHUN 2019

mengklarifikasi ini perlu melibatkan lintas instansi,


termasuk melibatkan pemerintah pusat dan sifat produk
hukum tersebut secara tingkatan dalam hierarki
perundang-undangan minimal sama dengan Peraturan
Menteri Pertanian Nomor
07/Permentan/OT.140/2/2009.

Melihat dua opsi tindak lanjut yang dimungkinkan atas


terbitnya Surat Edaran Nomor 525/632/PUPKP3/Disbun
maka opsi yang paling memungkinkan untuk dapat
dilaksanakan dalam waktu dekat adalah opsi pertama.
Dalam hal ini GNPSDA perlu berkoordinasi dengan pihak
terkait seperti Gubernur untuk membatalkan Surat
Edaran Nomor 525/632/PUPKP3/Disbun. Demikian juga
dalam hal ini GNPSDA diperlukan untuk memastikan
besaran penerimaan yang tidak tercatat yang ditimbulkan
dari berlakunya Surat Edaran Nomor
525/632/PUPKP3/Disbun.

Konsekuensi dari pembatalan Surat Edaran Nomor


525/632/PUPKP3/Disbun adalah pengembalian dana
yang telah diterima secara tidak tercatat sehingga jika
dilakukan opsi ini artinya GNPSDA harus mengawal
verifikasi dan perhitungan hingga pengembalian dana
yang telah diterima dari perusahaan perkebunan.
Termasuk dalam hal ini adalah penelusuran terhadap
kemungkinan penerimaan dana tidak tercatat pada
masing-masing Pejabat Dinas Perkebunan Provinsi
Kalimantan Tengah. Jika tim GPNSDA menemukan

345
PENYIMPANGAN PELAKSANAAN PENILAIAN USAHA PERKEBUNAN PROVINSI
KALIMANTAN TENGAH TAHUN 2019

adanya aliran tersebut maka perlu segera ditindaklanjuti.


Selain dilakukan pengembalian atas dana tersebut juga
perlu dilakukan pengusutan terhadap dugaan perbuatan
koruptif.

Jika Surat Edaran Nomor 525/632/PUPKP3/Disbun


dibatalkan tidak membuat keseluruhan proses dan hasil
penilaian usaha perkebunan yang telah dilaksanakan
batal. Dampak jika Surat Edaran Nomor
525/632/PUPKP3/Disbun dibatalkan adalah
pengembalian biaya yang telah dipungut dari perusahaan
perkebunan. Sementara terkait objektivitas hasilnya
meskipun tidak serta merta dibatalkan namun tim
GNPSDA perlu melakukan eksaminasi atas hasil penilaian
usaha perkebunan yang telah dilakukan dengan
menyimpangi Pasal 16 Peraturan Menteri Pertanian
Nomor 07/Permentan/OT.140/2/2009.

Definisi eksaminasi adalah suatu bentuk pengujian atau


penilaian dari sebuah keputusan terdahulu apakah
pertimbangan-pertimbangan hukumnya telah sesuai
dengan prinsip-prinsip hukum dan apakah prosedur
hukum telah diterapkan dengan benar (Zakiyah, 2004).
Artinya dalam hal ini keberadaan tim GNPSDA dalam hal
ini tidak sekedar mengawal verifikasi dan pengembalian
dana serta menelusuri adanya kemungkinan praktik
perbuatan koruptif tetapi demi tujuan restorasi
lingkungan tim GNPSDA juga perlu melakukan
eksaminasi atas hasil penilaian usaha perkebunan tahun

346
PENYIMPANGAN PELAKSANAAN PENILAIAN USAHA PERKEBUNAN PROVINSI
KALIMANTAN TENGAH TAHUN 2019

2019 yang dilaksanakan berdasarkan Surat Edaran


Nomor 525/632/PUPKP3/Disbun. Dalam hal ini jika
eksaminasi yang dilakukan oleh tim GNPSDA
menunjukkan adanya kekeliruan dalam penilaian usaha
perkebunan tersebut maka dalam hal ini Gubernur harus
menunda pemberian surat keputusan kelas kebun
sebagai hasil dari kegiatan penilaian usaha perkebunan
dan memerintahkan penilaian usaha perkebunan ulang.

PENUTUP

Kesimpulan

Surat Edaran Nomor 525/632/PUPKP3/Disbun yang


diterbitkan oleh Kepala Dinas Perkebunan Provinsi
Kalimantan Tengah harus segera dicabut oleh Gubernur
Provinsi Kalimantan Tengah. Surat edaran tersebut
menimbulkan kekacauan dalam tata perundang-
undangan karena mengatur penyimpangan norma yang
berlaku secara nasional (Pasal 16 Peraturan Menteri
Pertanian Nomor 07/Permentan/OT.140/2/2009) dengan
surat edaran yang diterbitkan oleh kepala dinas
perkebunan di tingkat provinsi. Pada prinsipnya surat
edaran merupakan surat yang bersifat koordinatif antar
instansi setingkat atau di bawahnya, sehingga
menyimpangi Peraturan Menteri Pertanian Nomor
07/Permentan/OT.140/2/2009 dengan Surat Edaran
Nomor 525/632/PUPKP3/Disbun adalah cacat hukum

347
PENYIMPANGAN PELAKSANAAN PENILAIAN USAHA PERKEBUNAN PROVINSI
KALIMANTAN TENGAH TAHUN 2019

karena bertentangan dengan asas lex superiori derogate


legi generali.

Meskipun dalam perspektif ilmu perundang-undangan


kedudukan Surat Edaran Nomor 525/632/PUPKP3/Disbun
dapat diabaikan (dipandang tidak berlaku) karena
bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi yakni
Peraturan Menteri Pertanian Nomor
07/Permentan/OT.140/2/2009, namun dalam hal ini demi
kepastian hukum dan agar ada pedoman yang jelas dalam
masyarakat maka Gubernur Provinsi Kalimantan Tengah
perlu mencabut Surat Edaran Nomor
525/632/PUPKP3/Disbun dan menyatakan bahwa pedoman
kegiatan penilaian usaha perkebunan kembali
mempedomani Peraturan Menteri Pertanian Nomor
07/Permentan/OT.140/2/2009. Khususnya terkait dengan
pembiayaan kegiatan penilaian usaha perkebunan kembali
mempedomani Pasal 16 Peraturan Menteri Pertanian Nomor
07/Permentan/OT.140/2/2009, artinya kembali
dialokasikan melalui APBN/ APBD. Dalam hal ini penting
halnya bagi keterlibatan tim GNPSDA pada fase ini.

Pentingnya keterlibatan GNPSDA adalah untuk mengeliminir


kemungkinan penyimpangan dari berlakunya Surat Edaran
Nomor 525/632/PUPKP3/Disbun pada kegiatan penilaian
usaha perkebunan, utamanya pada aspek transparansi
pembiayaan. Konsekuensi jika Surat Edaran Nomor
525/632/PUPKP3/Disbun tersebut dibatalkan adalah
pengembalian dana yang telah diberikan perusahaan

348
PENYIMPANGAN PELAKSANAAN PENILAIAN USAHA PERKEBUNAN PROVINSI
KALIMANTAN TENGAH TAHUN 2019

perkebunan sehingga tahap pengembalian ini juga


memerlukan kehadiran GNPSDA untuk memastikan
transparansi pengembalian dana yang telah disetorkan oleh
perusahaan perkebunan.

Demikian juga dalam perspektif hukum administrasi negara,


dalam hal ini Surat Edaran Nomor
525/632/PUPKP3/Disbun harus dicabut karena nyata-
nyata bertentangan dengan asas-asas umum pemerintahan
yang baik (AAUPB). Surat Edaran Nomor
525/632/PUPKP3/Disbun juga menimbulkan persoalan
ketidakpastian hukum dan persoalan keterbukaan dalam
pelayanan publik. Dalam kajian hukum lingkungan juga
menunjukkan bahwa Surat Edaran Nomor
525/632/PUPKP3/Disbun harus dicabut karena dapat
mengganggu kualitas pengawasan dalam rangka restorasi
lingkungan.

Penilaian usaha perkebunan pada esensinya merupakan


bagian dari tindakan pengawasan untuk menjamin
implementasi dari green growth economic. Jika dalam hal ini
penilaian usaha perkebunan dilakukan dengan menyimpangi
Pasal 16 Peraturan Menteri Pertanian Nomor
07/Permentan/OT.140/2/2009 sebagaimana disebutkan
dalam Diktum Kedua Surat Edaran Nomor
525/632/PUPKP3/Disbun akan dapat berdampak pada
perbedaan standar dan perbedaan perlakuan antar
perusahaan perkebunan mengingat tidak adanya standar
biaya resmi maupun cara pembayaran resmi yang harus

349
PENYIMPANGAN PELAKSANAAN PENILAIAN USAHA PERKEBUNAN PROVINSI
KALIMANTAN TENGAH TAHUN 2019

dibayarkan untuk pelaksanaan penilaian usaha perkebunan


di Provinsi Kalimantan Tengah sebagaimana disebutkan
dalam Surat Edaran Nomor 525/632/PUPKP3/Disbun.

Selain surat edaran tersebut perlu dicabut, dalam hal ini


Gubernur Kalimantan Tengah sebagai pemimpin SKPD dinas
perkebunan perlu mengadakan pembinaan, di samping itu
Kementerian Pertanian melalui Direktorat Jenderal
Perkebunan sebagai instansi yang berwenang melakukan
pembinaan secara teknis (termasuk bertanggung jawab atas
pembiayaan penilaian usaha perkebunan) perlu memberi
pembinaan pada Dinas Perkebunan Kalimantan Tengah
karena sesuai Pasal 16 Peraturan Menteri Pertanian Nomor
07/Permentan/OT.140/2/2009 pembiayaan kegiatan
penilaian usaha perkebunan selain dapat dibiayai melalui
APBD juga dapat diajukan melalui APBN. Jika Provinsi
Kalimantan Tengah tidak memiliki anggaran untuk
pelaksanaan penilaian usaha perkebunan dikarenakan
adanya pemotongan anggaran mengingat adanya pandemi
Covid-19 (Diktum Pertama Surat Edaran Nomor
525/632/PUPKP3/Disbun) maka Direktorat Jenderal
Perkebunan harus membantu pembiayaan melalui APBN
sesuai Pasal 16 Peraturan Menteri Pertanian Nomor
07/Permentan/OT.140/2/2009.

Saran

a. Gubernur Kalimantan Tengah harus mencabut


Surat Edaran Nomor 525/632/PUPKP3/Disbun

350
PENYIMPANGAN PELAKSANAAN PENILAIAN USAHA PERKEBUNAN PROVINSI
KALIMANTAN TENGAH TAHUN 2019

dan menerbitkan klarifikasi bahwa pelaksanaan


penilaian usaha perkebunan sepenuhnya kembali
mempedomani Peraturan Menteri Pertanian
Nomor 07/Permentan/OT.140/2/2009;

b. Perlu pelibatan tim GNPSDA dari komisi


pemberantasan korupsi (KPK) dalam tahap
verifikasi penerimaan dan pengembalian dana
yang dibayarkan perusahaan perkebunan
berdasarkan Surat Edaran Nomor
525/632/PUPKP3/Disbun, termasuk dalam hal
ini urgensi keterlibatan tim GNPSDA adalah
untuk mengkaji adanya potensi perbuatan
koruptif sehubungan dengan penerimaan dana
berdasar Surat Edaran Nomor
525/632/PUPKP3/Disbun;

c. Perlu dilakukan eksaminasi oleh tim GNPSDA dan


Direktorat Jenderal Perkebunan atas penilaian
usaha perkebunan tahun 2019 yang dilakukan
tahun 2020 di Provinsi Kalimantan Tengah yang
dibiayai oleh perusahaan perkebunan
berdasarkan Surat Edaran Nomor
525/632/PUPKP3/Disbun;

d. Perlu adanya koordinasi pelaksanaan penilaian


usaha perkebunan antara Dinas Perkebunan
Provinsi Kalimantan Tengah dan Kementerian
Pertanian terkait biaya dan penyelenggaraan

351
PENYIMPANGAN PELAKSANAAN PENILAIAN USAHA PERKEBUNAN PROVINSI
KALIMANTAN TENGAH TAHUN 2019

penilaian usaha perkebunan, sehingga


penyelenggaraan penilaian usaha perkebunan di
Provinsi Kalimantan Tengah memiliki standar
yang sama dengan yang berlaku di provinsi lain;

e. Pemerintah Provinsi Kalimantan Tengah harus


berkoordinasi dengan pemerintah pusat, dalam
hal ini melalui Direktorat Jenderal Perkebunan
pada Kementerian Pertanian untuk meminta
alokasi pembiayaan penilaian usaha perkebunan
Provinsi Kalimantan Tengah melalui APBN jika
tidak dimungkinkan melalui APBD Provinsi
Kalimantan Tengah sebagaimana dimaksud
dalam Diktum Pertama Surat Edaran Nomor
525/632/PUPKP3/Disbun.

DAFTAR PUSTAKA

Anwar, C. (2011),. Teori dan Hukum Konstitusi: Paradigma


Kedaulatan dalam UUD 1945 (Pasca Perubahan),
Implikasi, dan Implementasi pada Lembaga Negara,
Pertama. Malang: Setara Press.
Endra, S. (2015),. “Konsep Deep Ecology dalam
Pengaturan Hukum Lingkungan”. Jurnal Supremasi
Hukum Universitas Bengkulu 24 (2): 60.
Hadjon, P. M. (2005), Pengantar Hukum Administrasi
Indonesia. Yogyakarta: Penerbit UGM Press.
Haris, S. (ed) (2011),. Desentralisasi dan Otonomi Daerah:
Desentralisasi, Demokratisasi & Akuntabilitas
Pemerintah Daerah, Jakarta: LIPI Press.
https://pemerintah.net/asas-asas-umum-pemerintahan-
yang-baik-aupb/ diunduh pada 24 Juni 2020.

352
PENYIMPANGAN PELAKSANAAN PENILAIAN USAHA PERKEBUNAN PROVINSI
KALIMANTAN TENGAH TAHUN 2019

Indonesia. Undang-Undang Dasar 1945.


Indrati, M. F. (2010), Ilmu Perundang-undangan.
Kesepuluh. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.
Konvensi Yohannesburg. Paradigma Triple Bottom Line
(People, Profit, and Planet) tahun 2002.
KTT Bumi (Earth Summit). Konsep Pembangunan
Berkelanjutan (Sustainability Development)/ Green
Growth Economic. Rio de Janerio, Brasil tahun 1992.
Leong, R. Y. (2015). “Correlation between Environmental
Law and Sustainability Aspect in Tropical Countries”.
University of Malaya Law Review Journal 51: 97.
Minuta Rapat Kelompok Kerja (Pokja). Penyusunan
Peraturan Penilaian Usaha Perkebunan. Jakarta, 11
November 2008.
Muhamad, K. (2015), Pedoman Teknis Penilaian Usaha
Perkebunan. Jakarta: Kementerian Pertanian.
Peraturan Menteri Pertanian tentang Pedoman Penilaian
Usaha Perkebunan, Permentan No.
07/Permentan/OT.140/2/2009.
Reza, A. (2015), Restoration Strategy on Tropical
Plantations. First. Kuala Lumpur: Times Publishing.
Saharjo, B. H. (2013), “Pengendalian Hutan dan Lahan
yang Lestari”. Jurnal Biodiversitas 17 (1): 60.
Soeharto, R. (2016), Buku Pedoman Penataran Petugas
Penilai Usaha Perkebunan. Pertama. Jakarta:
Kementerian Pertanian.
Surat Edaran Dinas Perkebunan Provinsi Kalimantan
Tengah tentang Permohonan Penilaian Usaha
Perkebunan, SE No. 525/632/PUPKP3/Disbun.
Tim Kementerian Keuangan (2018). Laporan Tahunan
2018. Jakarta: Publikasi Kementerian Keuangan.
Tim Litbang Kementerian Pertanian (2014). Tupoksi
Kementerian Pertanian. Kementerian Pertanian.

353
PENYIMPANGAN PELAKSANAAN PENILAIAN USAHA PERKEBUNAN PROVINSI
KALIMANTAN TENGAH TAHUN 2019

Undang-Undang tentang Pembentukan Peraturan


Perundang-undangan, UU No. 12 Tahun 2011.
Undang-Undang tentang Perubahan atas Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan, UU No. 15 Tahun 2019.
Wibisana, A. G. (2017), “Campur Tangan Pemerintah
dalam Pengelolaan Lingkungan: Sebuah Penelusuran
Teoritis berdasarkan Analisis Ekonomi atas Hukum
(Economic Analysis of Law)”. Jurnal Hukum dan
Pembangunan 47 (2): 167.
Yacob, S. (2018), “ISPO and RSPO Certification Practices
in the Palm Oil Industry”. Journal of Oil Palm Research
30: 102.
Zakiyah, W. dkk. (2004), Panduan Eksaminasi Publik.
(Jakarta: Penerbit ICW).

354
9
Pendekatan Zemiologi untuk
Menilai Bahaya Sosial Akibat
Eksplorasi Geothermal di
Baturaden Jawa Tengah

Arif Awaludin
Universitas Wijayakusuma Purwokerto
Arifawaludin@gmail.com

Abstrak

Ekplorasi geothermal di Baturaden Jawa Tengah


ditujukan untuk mewujudkan pengadaan listrik 220 Mega
Watt yang dicanangkan oleh pemerintah sejak tahun
2010. Ekslorasi geothermal ini adalah proyek strategis
nasional dalam rangka pembangunan yang berkelanjutan
bidang energy yang pembangunannya dimulai pada tahun
2017. Baturaden Jawa Tengah adalah lokasi tempat
kegiatan eksplorasi dan berada di dalam wilayah Gunung
Slamet yang posisinya meliputi lima Kabupaten. Kegiatan
eksplorasi ini telah menimbulkan kerusakan lingkugan.
Kerusakan lingkungan yang ada selalu diawali dengan
bahaya social (social harm). Bahaya sosial yang
mengancam belum dijadikan pertimbangan dalam
melakukan ekplorasi geothermal ini. Penelitian dilakukan

355
PENDEKATAN ZEMIOLOGI UNTUK MENILAI BAHAYA SOSIAL AKIBAT EKSPLORASI
GEOTHERMAL DI BATURADEN JAWA TENGAH

dengan mengacu pada penelitian kepustakaan dan


mengambil data sekunder untuk dianalisis yang
bersumber dari media massa baik online maupun offline
serta berbagai dokumen tertulis lainnya. Semua informasi
yang diperoleh dalam rentang waktu tahun 2017-2019.
Kesimpulan menunjukkan bahwa telah muncul berbagai
reaksi penolakan dan keluhan akibat eksplorasi
geothermal tersebut. Social harm yang meliputi: bahaya
fisik, emosional/psikologis, ekonomi/ finansial telah
dialami oleh masyarakat sekitar ekplorasi geothermal
secara langsung. Pendekatan zemiologi seharusnya
menjadi pertimbangan dalam menyelesaikan berbagai
kasus kerusakan lingkungan di Gunung Slamet
Baturaden. Diperlukan kesadaran dan keinginan politis
dari para pengambil kebijakan untuk mengatasi
kerusakan lingkungan yang berdampak pada kerusakan
sosial.

Kata Kunci: geothermal, zemiologi, Baturaden

PENDAHULUAN

Gunung Slamet adalah gunung tertinggi di Jawa Tengah;


dikelilingi oleh lima kabupaten di Indonesia (yaitu
Banyumas, Purbalingga, Pemalang, Tegal dan Brebes).
Kemiringan selatan Gunung Slamet (yang termasuk
wilayah administrasi Kabupaten Banyumas) adalah
ekosistem yang dilindungi dan terpelihara dengan baik

356
PENDEKATAN ZEMIOLOGI UNTUK MENILAI BAHAYA SOSIAL AKIBAT EKSPLORASI
GEOTHERMAL DI BATURADEN JAWA TENGAH

dengan pohon-pohon hijau dan keanekaragaman hewan


yang dilindungi. Gunung Slamet adalah sumber air utama
bagi Kabupaten Banyumas karena memiliki sungai besar
seperti Banjaran, Gumawang dan Logawa. Sungai-sungai
ini adalah sumber air terbesar yang terletak di Banyumas.
Ini adalah satu-satunya gunung dengan keanekaragaman
hayati yang besar di Jawa Tengah bagian barat1.

Namun, pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Panas


Bumi di lereng selatan menimbulkan ancaman besar bagi
ekosistemnya. 2 Eksplorasi ini dapat mengakibatkan
pergeseran ekosistem; beberapa organisme hidup yang
mungkin terpengaruh termasuk burung dan primata
seperti monyet, kera dan lemur. Kejahatan Margasatwa
dan Hutan (WLFC) adalah masalah serius dan terus
berkembang. Kejahatan Margasatwa dan Hutan tidak
hanya menimbulkan ancaman serius bagi
keanekaragaman hayati dan pelestarian satwa liar, tetapi
juga mengakibatkan hilangnya potensi pendapatan yang
besar bagi pemerintah berupa perdagangan legal,
misalnya dalam penjualan sumber daya seperti kayu dan
hasil hutan lainnya. Konsekuensi negatif dari hilangnya
pendapatan yang signifikan ini adalah ketidakmampuan

1 http://revolusitotal.org/gunung-slamet-yang-tak-lagi-selamat/ di akses pada


24 April 2020.
2 https://www.vebma.com/opini/pembangunan-proyek-pembangkit-listrik-
tenaga-panas-bumi-di-gunung-slamet/16706#ixzz5LPaNKd2w di akses pada
24 April 2020.

357
PENDEKATAN ZEMIOLOGI UNTUK MENILAI BAHAYA SOSIAL AKIBAT EKSPLORASI
GEOTHERMAL DI BATURADEN JAWA TENGAH

untuk menginvestasikan kembali dan mendukung


peluang pembangunan.

Latar Belakang

Kehadiran PT Sejahtera Alam Energy (SAE) yang


membangun Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi di
Baturraden telah menciptakan reaksi sosial dari
masyarakat sekitar dan publik yang peduli kelestarian
alam dan lingkungan. Ini tercermin dalam
ketidaksetujuan mereka terhadap kegiatan yang
mengakibatkan dampak lingkungan yang merugikan
masyarakat sekitar. Tanda ini mungkin merupakan
indikasi kejahatan lingkungan yang dirasakan sebagai
hasil dari perintah kegiatan eksplorasi panas bumi di
Gunung Slamet, Baturaden (Awaludin & Rusito, 2020).

Kejahatan lingkungan umumnya didefinisikan sebagai


kejahatan yang dilakukan terhadap lingkungan. Sebagian
besar lembaga penegak hukum memecah kejahatan
lingkungan menjadi dua kategori: polusi dan ancaman
terhadap spesies yang terancam punah. Tumbuhnya
kesadaran akan isu-isu lingkungan menyebabkan
tindakan keras terhadap kejahatan lingkungan di banyak
negara selama abad kedua puluh, dan lembaga-lembaga
penegak hukum utama menganggap kejahatan
lingkungan sangat serius. Tidak hanya merusak
lingkungan, tetapi sering berdampak pada ekonomi dan
kualitas hidup secara umum juga. Ketika kejahatan

358
PENDEKATAN ZEMIOLOGI UNTUK MENILAI BAHAYA SOSIAL AKIBAT EKSPLORASI
GEOTHERMAL DI BATURADEN JAWA TENGAH

lingkungan dilakukan, pada umumnya bukan karena


keinginan untuk menghancurkan lingkungan, meskipun
memiliki efek akhir yang menyebabkan kerusakan
lingkungan.3

Penetapan istilah "kejahatan lingkungan" diterapkan pada


perilaku daripada ketentuan hukum yang harus
dilindungi baik secara ekologis maupun fisik (Clifford &
Edwards, 1998). Kejahatan lingkungan adalah tindakan
ilegal yang secara langsung membahayakan lingkungan
(Korir, 2013). Kejahatan lingkungan memiliki konsekuensi
yang merugikan pada keamanan suatu negara. Untuk
individu dan masyarakat, ini mungkin memiliki dampak
negatif pada kesehatan masyarakat, mata pencaharian,
nilai properti, spesies non-manusia, dan generasi masa
depan (O’Hear (2004).

Kejahatan lingkungan yang luas dapat didefinisikan


sebagai tindakan ilegal yang secara langsung berbahaya
bagi lingkungan. Tindakan ilegal ini termasuk
perdagangan ilegal satwa liar, penyelundupan bahan
perusak ozon (ODS), perdagangan ilegal limbah
berbahaya, ilegal, penangkapan ikan yang tidak diatur,
dan tidak dilaporkan, dan pembalakan liar serta
perdagangan terkait produk kayu curian (Rice, 2008).
Kejahatan lingkungan adalah kejahatan terbesar keempat

3 https://www.wisegeek.com/what-is-an-environmental-crime.htm di akses
pada 26 April 2020

359
PENDEKATAN ZEMIOLOGI UNTUK MENILAI BAHAYA SOSIAL AKIBAT EKSPLORASI
GEOTHERMAL DI BATURADEN JAWA TENGAH

setelah perdagangan narkoba, pemalsuan dan


perdagangan manusia. Kejahatan lingkungan bukanlah
ancaman baru; jenis kejahatan ini menjadi lebih serius
dan terorganisir di berbagai belahan dunia (Andriani,
2017). Kejahatan lingkungan di Indonesia diatur oleh UU
No. 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan4.

Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian yang telah disajikan pada


pendahuluan maka dirumuskanlah masalah sebagai
berikut: pertama, bagaimana reaksi masyarakat terhadap
eksplorasi panas bumi (geothermal) oleh PT SAE
(Sejahtera Alam Energi) di Baturaden Banyumas?. Kedua,
bagaimana klasifikasi social harm yang terjadi akibat
eksplorasi panas bumi di Baturaden Banyumas?

Tujuan

Tujuan dari penelitian ini adalah pertama,


mendeskripsikan reaksi masyarakat terhadap eksplorasi
panas bumi oleh PT SAE (Sejahtera Alam Energi) di
Baturaden Banyumas. Kedua, mendeskripsikan dan
menganalisis klasifikasi social harm yang terjadi akibat
eksplorasi panas bumi di Baturaden Banyumas.

4 http://jdih.menlh.go.id/pdf/ind/IND-PUU-1-2009-
UU%20No.%2032%20Th%202009_ Combi ne.pdf di akses pada 25 April 2020

360
PENDEKATAN ZEMIOLOGI UNTUK MENILAI BAHAYA SOSIAL AKIBAT EKSPLORASI
GEOTHERMAL DI BATURADEN JAWA TENGAH

Metode Penelitian

Penelitian ini mengacu pada liputan media massa tentang


suatu peristiwa. Media massa memiliki dampak yang
signifikan terhadap munculnya reaksi sosial karena media
massa membingkai gambar-gambar realitas dengan cara
yang dapat diprediksi dan berpola (Mc Quail, 1994).
Representasi media berkontribusi membentuk masalah
kejahatan, viktimisasi dan social harm. Mereka membantu
untuk secara social membangun masalah ini dengan
menyajikan pandangan realitas tertentu (Davies & Greer,
2017). Penelitian dilakukan dengan langkah-langkah
inventarisasi bahan, katagorisasi isu, analisis isu lalu
pengambilan kesimpulan atas berbagai isu tersebut.

Pendekatan

Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan


kualitatif. Metode penelitian yang digunakan dalam
penelitian ini adalah metode deskriptif kualitatif. Metode
penelitian kualitatif merupakan proses kegiatan secara
sistematis, terarah, serta dapat dipertanggungjawabkan.
Sedangkan pendekatan kualitatif yaitu prosedur
penelitian yang menghasilkan suatu data deskripsi
berupa ucapan atau perilaku yang diperoleh dari subjek
itu sendiri.

Metode Pengumpulan Data

Data dikumpulkan dari berbagai sumber media online dan


offline yang meliput peristiwa eksplorasi geothermal

361
PENDEKATAN ZEMIOLOGI UNTUK MENILAI BAHAYA SOSIAL AKIBAT EKSPLORASI
GEOTHERMAL DI BATURADEN JAWA TENGAH

Baturaden di wilayah Kabupaten Banyumas sepanjang


tahun 2017-2019.

Teknik Analisa Data

Mengacu pada pendapat Miles dan Huberman (1992),


maka kegiatan analisis terdiri dari tiga alur kegiatan yang
terjadi secara bersamaan, yaitu reduksi data, penyajian
data, dan penarikan kesimpulan. Terjadi secara
bersamaan berarti reduksi data, penyajian data, dan
penarikan kesimpulan/verifikasi sebagai sesuatu yang
saling jalin menjalin merupakan proses siklus dan
interaksi. Teknik analisis data yang digunakan dalam
penelitian kualitatif mencakup transkip hasil
inventarisasi berita, reduksi data, analisis, interpretasi
data dan triangulasi (Rijali, 2018).

PEMBAHASAN

Perhatian terhadap kejahatan lingkungan pada dasarnya


sudah mulai diperhatikan oleh green criminology, namun
perhatian ini nampaknya masih sama dengan kiminologi
klasik dan kriminologi positive. Berfokus pada pemberian
sanksi pidana dan mengkaji sebab-sebab terjadinya
kejahatan (etiologi kriminil). Hal penting lain yang
seharusnya diperhatikan adalah makna kejahatan atau
kerusakan lingkungan baik bagi pelaku, korban hingga
alam itu sendiri (Brisman, 2014).

Pandangan kriminologi kritis tidak terjebak pada pelaku


yang biasa disebut dengan penjahat karena si pelaku telah

362
PENDEKATAN ZEMIOLOGI UNTUK MENILAI BAHAYA SOSIAL AKIBAT EKSPLORASI
GEOTHERMAL DI BATURADEN JAWA TENGAH

melanggar hukum. Pandangan kritis memberikan


penilaian bahwa semua pihak yang telah menimbulkan
kerusakan lingkungan seharusnya dapat disebut sebagai
pelaku kejahatan (criminal), termasuk para pembuat
kebijakan dan pembuat hukum (White, 2010). Artinya
mereka pun seharusnya dapat di kriminalisasikan.

Kriminologi sebagai sebuah ilmu yang mempelajari


tentang kejahatan dan sebab-sebabnya akan semakin
ketinggalan jaman jika tidak mengembangkan kajian-
kajiannya. Penetapan kejahatan umumnya ditentukan
definisinya oleh hukum Negara. Tidak semua yang bersifat
merugikan masyarakat dapat ditetapkan sebagai
kejahatan. Sementara kerusakan dan kerugian yang
dialami oleh masyarakat jelas terjadi. Misalnya dalam
kasus kejahatan lingkungan. Perspektif dialektis antara
kejahatan dan kerusakan sosial pun telah dibahas
(Lasslett, 2010). Kriminologi harus melampaui batasan-
batasan keilmuannya yang selama membatasinya.

Lahirnya pendekatan Zemiology yang digagas oleh


Hillyard dan Tomb pada tahun 2005 yang menyatakan
bahwa pendekatan bahaya sosial (social harm) telah
memperluas makna kejahatan yang seharusnya ditinjau
kembali oleh pemerintah dan perusahaan dalam melihat
kesejahteraan masyarakat. Intinya pendekatan bahaya
sosial seharusnya digunakan untuk memahami tentang
penyimpangan. Hillyard dan Tomb menetapkan bahwa

363
PENDEKATAN ZEMIOLOGI UNTUK MENILAI BAHAYA SOSIAL AKIBAT EKSPLORASI
GEOTHERMAL DI BATURADEN JAWA TENGAH

social harm itu meliputi kerusakan fisik, emosional/


psikologis, ekonomi/ finansial, dan seksual.5

Harm adalah konsep yang mencakup perbuatan pidana


dan non-pidana, dan merupakan alat yang lebih baik
untuk memeriksa masalah yang kompleks seperti
masalah sosial dan lingkungan (McGill, 2012). Di 'Beyond
Criminology,' Hillyard and Tombs. merinci banyak
kegagalan kriminologi sebagai suatu disiplin, dan juga
dari sponsornya, sistem peradilan pidana (Pemberton,
2007). Banyak insiden yang menyebabkan kerugian serius
bukan merupakan bagian dari hukum pidana atau, jika
bisa ditangani, diabaikan atau ditangani tanpa
menggunakan jalan (Treadwell, 2013). “Penataan kembali
kejahatan sebagai kerugian membuka kemungkinan
berurusan dengan rasa sakit, penderitaan dan cedera
sebagai konflik dan masalah yang pantas dinegosiasikan,
mediasi dan arbitrasi daripada sebagai peristiwa pidana
yang layak mendapat kesalahan, hukuman dan
pengucilan ”(Burke, 2005). Dengan demikian zemiologi
tidak mesti berurusan dengan tindak pidana yang diatur
dalam undang-undang.

Zemiologi, 'arah baru' yang progresif dari kriminologi


kritis, yang memperluas fokus disiplin ilmu di luar
penekanan sempit pada kejahatan dan pengendaliannyal

5 http://www.dannydorling.org/wp-
content/files/dannydorling_publication_id1047.pdf

364
PENDEKATAN ZEMIOLOGI UNTUK MENILAI BAHAYA SOSIAL AKIBAT EKSPLORASI
GEOTHERMAL DI BATURADEN JAWA TENGAH

(Burke, 2008). Pada jangka panjang, zemiologi


memfokuskan pada kesejahteraan masyarakat. Studi
zemiologi membantu memahami kerugian struktural
dalam konteks kebijakan sosial dalam perspektif studi
tentang kejahatan global yang lebih luas (Khare, 2016).

Gunung Slamet adalah gunung berapi aktif tertinggi di


Jawa Tengah dengan hutan tropis alami di pulau Jawa.
Berbagai flora dan fauna hidup di Gunung Slamet;
organisme ini berkisar dari macan tutul, elang Jawa,
anggrek gunung hingga spesies katak yang belum
disebutkan namanya di Gunung Slamet. Semua
organisme ini hidup di Gunung Slamet karena hutannya
lembab dan kondisi tanah basah karena pengambilan air
dari sungai-sungai besar di Gunung Slamet. Kondisi ini
menjadikan Slamet sumber air yang cocok untuk
organisme hidup di sekitar lingkungan. Masyarakat
sekitar sangat bergantung pada Gunung Slamet untuk
berbagai kegiatan kehidupan seperti pertanian,
perikanan, kehutanan dan pariwisata. Namun, kondisi di
Gunung Slamet berubah secara instan setelah
kedatangan proyek pengembangan energi panas bumi
(PLTP). PLTP adalah pembangkit listrik yang
memanfaatkan energi panas bumi sebagai sumber
energinya.6

6 https://www.vebma.com/opini/pembangunan-proyek-pembangkit-listrik-
tenaga-panas-bumi-di-gunung-slamet/ 16706#ixzz5MXbgDKKv di akses pada
30 April 2020

365
PENDEKATAN ZEMIOLOGI UNTUK MENILAI BAHAYA SOSIAL AKIBAT EKSPLORASI
GEOTHERMAL DI BATURADEN JAWA TENGAH

Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM)


telah menetapkan Baturraden sebagai Wilayah Kerja
Panas Bumi (WKP) pada 2010 lalu dengan total luas
lahan mencapai 24.660 Ha. Pembangkit Listrik Tenaga
Panas Bumi (PLTP) Baturraden diproyeksikan akan
mulai beroperasi penuh pada 2022, dengan kapasitas
mencapai 220 MW. Sesuai dengan Surat Keputusan
Menteri ESDM No. 4557 K/30/MEM/2015, pemegang
Izin Panas Bumi (IPB) pada WKP Baturraden tersebut
adalah PT Sejahtera Alam Energy (SAE) dengan
kepemilikan saham terdiri atas STEAG 75% dan PT
Trinergy 25%. 7

PT SAE telah mendapatkan Izin Pinjam Pakai Kawasan


Hutan dari Kementerian Lingkungan Hidup dan
Kehutanan. Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH)
PT SAE seluas 488,28 Ha tidak semuanya digunakan
untuk kegiatan eksplorasi. Sesuai Pasal 6 ayat (2) huruf
a dan huruf b angka 2 Peraturan Pemerintah No. 24
Tahun 2010 tentang Penggunaan Kawasan Hutan, PT
SAE juga berkewajiban untuk mengganti kompensasi
lahan dengan rasio paling sedikit 1:2 atau membayar
penerimaan negara bukan pajak dan melakukan
penanaman dalam rangka rehabilitasi daerah aliran
sungai paling sedikit dengan ratio 1:1.

7 https://www.wartaekonomi.co.id/berita-antara/647743

366
PENDEKATAN ZEMIOLOGI UNTUK MENILAI BAHAYA SOSIAL AKIBAT EKSPLORASI
GEOTHERMAL DI BATURADEN JAWA TENGAH

Berdasarkan Keputusan Gubernur Jawa Tengah, No.


541/27/2011 tanggal 11 April 2011, PT Sejahtera Alam
Energy (SAE) memperoleh izin untuk mendirikan bisnis
pertambangan panas bumi di wilayah Baturraden. Lokasi
proyek mencakup 24.660 hektar (ha) dan mencakup
kabupaten-kabupaten berikut: Banyumas, Purbalingga,
Tegal, Brebes, dan Pemalang. Izin pinjaman untuk
kawasan hutan lindung diperoleh dari Kementerian
Kehutanan untuk memulai pengembangan panas bumi di
lereng Gunung Slamet pada 13 Agustus 2012. Luas izin
pemanfaatan adalah 44 hektar sebagai titik awal untuk
eksplorasi.8

Sejak akhir 2016 dan 2017 lalu, aktivitas eksplorasi


geothermal ini menyebabkan sejumlah sungai yang
biasanya jernih berubah keruh. Pengeprasan bukit dan
pembukaan area untuk jalan dan sumur Well Pad
menyisakan sedimen tanah yang akhirnya hanyut ke
mata air dan sungai, terutama di Kecamatan Cilongok dan
Karanglewas.

Pada awal Agustus 2018 P.T. Sejahtera Alam Energi (SAE),


pelaksana proyek Pembangkit Listrik Tenaga Panas
Bumi atau PLTP Gunung Slamet, Banyumas, Jawa
Tengah mendadak menghentikan pengeboran sumur
geothermal pertama di Well pad H lantaran tak ditemukan

8 https://tekno.kompas.com/read/2012/10/12/ 10295762/
investor.pltp.baturraden .kantongi.izin. kemenhut di akses pada 30 April 2020

367
PENDEKATAN ZEMIOLOGI UNTUK MENILAI BAHAYA SOSIAL AKIBAT EKSPLORASI
GEOTHERMAL DI BATURADEN JAWA TENGAH

sumber panas bumi. Pengeboran akan kembali dilakukan


di Well pad F yang jaraknya sekitar tiga kilometer dari Well
pad H. Pengeboran dihentikan pada kedalaman 3.400
meter. Mobilisasi kendaraan dan alat untuk keperluan
pengeboran Geothermal. Sumur Well Pad F dinilai lebih
potensial mengandung energi geothermal dibandingkan
sumur pertama.

Kegiatan proyek panas bumi mengancam keseimbangan


ekosistem di Gunung Slamet. Deforestasi yang terjadi di
kawasan hutan gunung membongkar hutan besar dan
mengakibatkan kerusakan dan polusi beberapa saluran
sungai, termasuk sungai Logawa. 9 Sungai-sungai yang
mengalir melalui 13 desa di Banyumas mengalami
kekeruhan akibat pencemaran lumpur. 10 Kegiatan
eksplorasi yang disertai dengan penggundulan hutan juga
mengakibatkan terjadinya banjir bandang dan tanah
longsor, khususnya di daerah pegunungan. Setelah fase
eksplorasi selesai, fase eksploitasi dimulai. Fase ini
mencakup dua kegiatan utama: pengeboran dan produksi
listrik. Dampak dari kegiatan-kegiatan ini menghasilkan
terjadinya gempa bumi kecil 3,4 hingga 5 pada skala
Richter. Gempa bumi mengakibatkan retaknya bangunan
dan kontaminasi lingkungan dengan limbah pembangkit

9 http://wartahijau.com/read/pembangunan-pltp-meningkatkan-risiko-
bencana. di akses pada 24 April 2020
10 http://independen.id/read/peristiwa/256/ pencemaran-lingkungan-pltp-
lereng-slamet/ di akses pada 24 April 2020

368
PENDEKATAN ZEMIOLOGI UNTUK MENILAI BAHAYA SOSIAL AKIBAT EKSPLORASI
GEOTHERMAL DI BATURADEN JAWA TENGAH

listrik tenaga panas bumi. Zat beracun dalam limbah


termasuk, Arsenik, Antimon dan Baron 11 . Pada 15
Oktober 2017, banjir bandang terjadi karena hujan deras
di bagian atas sungai dan lereng Gunung Slamet. Korban
banjir bandang adalah mereka yang tinggal di sekitar
sungai Banjaran, Pelus, Logawa dan Prukut12. Saat ini,
ratusan hektar hutan lindung di kawasan Gunung Slamet
telah dieksplorasi sebagai hasil dari proyek Pembangkit
Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) Baturaden. Ini
berpotensi menyebabkan kerusakan lingkungan di
kawasan itu, termasuk kawasan wisata yang banyak
dikunjungi wisatawan. Saat ini, PT SAE telah memulai
tahap eksplorasi. Total area hutan lindung yang telah
dibuka untuk eksplorasi adalah 675,7 hektar. Kegiatan
penebangan juga telah dimulai di daerah Rawa Taman
Dringo dan Bukit Rata Amba. Ini menghasilkan
peningkatan deforestasi dan berkurangnya penyerapan
air. Dimulainya fase eksplorasi telah menghasilkan
ketidakseimbangan ekosistem. Hewan-hewan dari
Gunung Slamet sering muncul di desa-desa atau di tepi
hutan dan merusak lahan pertanian rakyat.
Pembangunan PLTP Baturaden juga berdampak buruk
pada masyarakat yang membentuk lima kabupaten di

11 http://kopi-backpacker.blogspot.com/2017/07/ dampak-mengerikan-dari-
pltp-gunung.html
12 https://banyumasnews.com/98224/banjir-bandang-landa-banyumas-
dampak-proyek-pltp-baturraden/ di akses pada 28 April 2020

369
PENDEKATAN ZEMIOLOGI UNTUK MENILAI BAHAYA SOSIAL AKIBAT EKSPLORASI
GEOTHERMAL DI BATURADEN JAWA TENGAH

Jawa Tengah, (termasuk Kabupaten Banyumas,


Kabupaten Brebes, Kabupaten Tegal, Kabupaten
Pemalang dan Kabupaten Purbalingga).13

Pegiat Komunitas Peduli Slamet atau Kompleet


Purwokerto, Dhani Armanto mengatakan, kegagalan
sumur Geothermal di Well pad H PLTP Gunung Slamet,
persis seperti yang dikhawatirkan para pegiat lingkungan.
Kegagalan sumur bor akan menjadi alasan korporasi
bertindak sewenang-wenang dengan mengajukan izin
perluasan area ekplorasi. "Gagal di sumur pertama akan
pindah ke sumur berikutnya. Dan akan seperti itu, area
semakin luas," kata Dhani. Celakanya, menurut dia,
pemerintah pun secara semena-mena selalu memberikan
izin, meski dampak awal sudah terjadi. Menurut dia,
keruhnya air sungai Prukut dan Logawa bisa menjadi
pertama bahwa eksplorasi PLTP telah menganggu
ekosistem hutan.14

Reaksi masyarakat atas kegiatan eksplorasi panas


bumi Baturaden

Masyarakat sebagai korban langsung dari proyek


pembangkit listrik tenaga panas bumi (PLTP) telah
bereaksi terhadap dampak merugikan dari dimulainya

13 http://www.suarakarya.id/detail/50659/ Proyek-PLTP-Baturaden-Ancam-
Lingkungan-Hidup-Seputar-Gunung-Slamet di akses pada 24 April 2020
14 https://www.liputan6.com/regional/read/360 9377/sumur-geothermal-pltp-
gunung-slamet-gagal-ini-kata-pegiat-lingkungan

370
PENDEKATAN ZEMIOLOGI UNTUK MENILAI BAHAYA SOSIAL AKIBAT EKSPLORASI
GEOTHERMAL DI BATURADEN JAWA TENGAH

rencana pembangunan, 15 khususnya penduduk Desa


Melung, Kabupaten Baturaden, dan Kabupaten Bayumas.
Eskalasi reaksi publik juga meningkat. Selama peringatan
Hari Bumi, ratusan siswa mengadakan demonstrasi di
alun-alun Purwokerto menuntut pembatalan proyek-
proyek panas bumi. Protes ini didasarkan pada tuduhan
bahwa PT Sejahtera Alam Energy (SAE) tidak memiliki
lisensi Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL).
Para siswa juga menunjukkan 31 foto kerusakan
lingkungan yang disebabkan oleh kegiatan eksplorasi. 16
Petisi ini diterbitkan secara online, untuk para siswa
meminta dukungan komunitas mereka dan menuntut
agar Presiden menghentikan proyek tersebut.17

Aliansi Petani Indonesia di 7 Kabupaten di sekitar Gunung


Slamet juga memprotes pelaksanaan kegiatan
eksplorasi. 18 Puncak demonstrasi berlangsung 18 Juli
2017. Ratusan orang dari berbagai elemen masyarakat,
yang tergabung dalam Aliansi Slamet Selamat menjalani

15 https://www.melung.desa.id/adakah-dampak-lingkungan-di-wilayah-kami/
di akses pada 28 April 2020
16 https://www.mapalaptm.com/berita-1599-peringati-hari-bumi-ratusan-
pelajar--mahasiswa-menolak-proyek-pemerintah-pltp-di-gunung-slamet.html
di akses pada 27 April 2020
17 https://purwokertokita.com/lingkungan/suara-suara-penolakan-
pltp-di-gunung-slamet.php https://www.change.org/p/pak-jokowi-
cabut- izin-pltp-baturaden di akses pada 26 April 2020
18 https://www.pewartanusantara.com/aliansi-petani-indonesia-proyek-pltp-
ancam-petani-lereng-gunung-slamet/ Di Akses Pada 30 April 2020

371
PENDEKATAN ZEMIOLOGI UNTUK MENILAI BAHAYA SOSIAL AKIBAT EKSPLORASI
GEOTHERMAL DI BATURADEN JAWA TENGAH

sidang paripurna DPRD Banyumas, Jawa Tengah. 19

Masyarakat menuntut agar Bupati Banyumas mencabut


izin eksplorasi panas bumi PT Sejahtera Alam Energy
(SAE). Masyarakat menganggap pembangunan PLTP
Baturaden sebagai kesalahan fatal yang dilakukan oleh
pemerintah. 20 Demonstrasi kembali terjadi pada 9
Oktober 2017 oleh masyarakat dari 3 kecamatan, yaitu
Kecamatan Sumbang, Kecamatan Karanglewas dan
Kabupaten Cilongok. Mereka menuntut agar Bupati
mencabut izin eksplorasi PT SAE karena menyebabkan
kerusakan pada lingkungan dan masyarakat. 21

Demonstrasi berakhir dengan kekerasan oleh polisi; 15


pemrotes ditangkap dan dipukuli oleh polisi. Beberapa
petugas polisi juga melanggar 28 orang dan merusak 2
ponsel, 2 sepeda motor, mobil komando dan tenda. 22
Banyak orang menuntut penyelesaian kekerasan oleh
petugas polisi terhadap para demonstran. Beberapa
jurnalis yang meliput demonstrasi tidak melarikan diri
sebagai korban. Oleh karena itu organisasi jurnalis

19 https://regional.kompas.com/read/2017/07/ 18/15165611/tolak-
pembangkit-listrik-panas-bumi-massa-duduki-gedung-dprd-banyumas. di
akses pada 24 April 2020
20 https://www.hetanews.com/article/100966/ ratusan-demonstran-tuntut-
bupati-banyumas-cabut-izin-pltp-baturraden di akses pada 28 April 2020
21 https://www.gatra.com/rubrik/nasional/ pemerintahan-daerah/289305-
ratusan-warga-lereng-selatan-gunung-slamet-demo-tuntut-ijin-pltp-dicabut di
akses pada 28 April 2020
22 http://buruh.co/polisi-lakukan-kekerasan-pada-aksi-selamatkan-gunung-
slamet/ di akses pada 25 April 2020

372
PENDEKATAN ZEMIOLOGI UNTUK MENILAI BAHAYA SOSIAL AKIBAT EKSPLORASI
GEOTHERMAL DI BATURADEN JAWA TENGAH

Indonesia (PWI) dan Aliansi Jurnalis Indonesia (AJI) juga


mengambil sikap atas insiden tersebut.23 24

Klasifikasi social harm akibat kegiatan eksplorasi


panas bumi Baturaden

Upaya terbaru untuk mendefinisikan gagasan bahaya


sosial telah dicoba oleh Hillyard dan Tomb (2004). Mereka
berpendapat bahwa pendekatan kerusakan sosial harus
mencakup kategori kerusakan berikut: keamanan fisik,
finansial / ekonomi, emosional / psikologis dan budaya.
Upaya ini untuk menghasilkan kategori kerusakan yang
terlepas dari bingkai diskursif tradisional adalah penting.
Namun, itu tidak memberikan dasar di mana peristiwa
tertentu harus ditempatkan ke dalam kategori ini. Ini
adalah pendekatan yang akan dikembangkan oleh bagian
ini dengan menciptakan alasan normatif yang akan
menentukan peristiwa sosial mana yang harus dianggap
berbahaya.

Pemberton memberikan definisi tentang harm sebagai


berikut: “harms ‘as specific events or instances where
‘human flourishing’ is demonstrably compromised”
(Pemberton, 2015). Bahaya yang dimaksud merupakan
peristiwa 'yang dapat “diperkirakan” atau hasil dari

23 https://www.republika.co.id/berita/nasional/ hukum/17/10/10/oxlkz2318-
pwi-proses-hukum-pelaku-kekerasan-jurnalis-banyumas di akses pada 25
April 2020
24 https://www.kabargayo.com/aji-kota-purwo-kerto-kecam-kekerasan-
pembubaran-paksa-demo-tolak-pltp-baturraden di akses pada 24 April 2020

373
PENDEKATAN ZEMIOLOGI UNTUK MENILAI BAHAYA SOSIAL AKIBAT EKSPLORASI
GEOTHERMAL DI BATURADEN JAWA TENGAH

kondisi sosial yang “dapat diubah”. Hal ini menegaskan


bahwa ada faktor kesalahan manusia, sehingga terjadilah
peristiwa atau kasus yang menimbulkan bahaya sosial.

Ada sejumlah manfaat dari pendekatan zemiologis. 25

Manfaat Pertama, akan membentuk dasar untuk


mengembangkan gambaran yang jauh lebih akurat
tentang apa yang mungkin membahayakan orang selama
siklus hidup mereka baik secara fisik, finansial atau
emosional.

Manfaat kedua dari pendekatan bahaya adalah bahwa


pendekatan ini akan memungkinkan pemahaman yang
lebih memadai tentang bahaya yang disebabkan oleh
kondisi kronis atau keadaan seperti terpapar polusi udara
atau berbagai bahaya kesehatan di tempat kerja, pola
makan yang buruk, pengangguran yang tidak memadai
atau perumahan yang dingin.

Manfaat ketiga adalah bahwa hal itu akan mendorong


pertimbangan yang lebih besar untuk diberikan pada
tanggapan kebijakan sosial untuk mengurangi tingkat
bahaya. Respon kejahatan memaksa reaksi spesifik:
penangkapan, penahanan, hukuman dan pengucilan. Ini
terkait dengan kriminalitas, hukum dan peradilan pidana.

Ada kaitan yang erat antara harm dan environment.


Lingkungan ternyata mengalami viktimisasi. Hal Ini

25 https://www.crimeandjustice.org.uk/publica-tions/cjm/article/criminal-
obsessions-crime-isnt-only-harm

374
PENDEKATAN ZEMIOLOGI UNTUK MENILAI BAHAYA SOSIAL AKIBAT EKSPLORASI
GEOTHERMAL DI BATURADEN JAWA TENGAH

menunjukkan bahwa perdebatan tentang 'bahaya


lingkungan' sudah ada dan lama dibicarakan di kedua
wilayah tersebut, termasuk yang menyangkut sifat
viktimisasi tanggung jawab negara kepada mereka yang
menjadi korban (Hall, 2012).

Mengacu pada definisi dan pengertian tentang zemiologi


sebagai ilmu yang mempelajari tentang social harm
(bahaya sosial), maka dalam kasus kegiatan eksplorasi
panas bumi di Baturaden dalam lingkungan wilayah
Gunung Slamet oleh PT Sejahtera Alam Energi (SAE) dapat
diuraikan bahaya sosial yang terjadi yaitu:

Bahaya Fisik

Setelah fase eksplorasi selesai, fase eksploitasi dimulai.


Fase ini mencakup dua kegiatan utama: pengeboran dan
produksi listrik. Kegiatan eksplorasi yang disertai dengan
penggundulan hutan juga mengakibatkan terjadinya
banjir bandang dan tanah longsor, khususnya di daerah
pegunungan. Deforestasi dimaknai sebagai situasi
hilangnya tutupan hutan beserta atribut-atributnya yang
berimplikasi pada hilangnya struktur dan fungsi hutan itu
sendiri (Barri, dkk, 2018). Pemaknaan ini diperkuat oleh
definisi deforestasi yang dituangkan dalam Peraturan
Menteri Kehutanan Republik Indonesia No.
P.30/MenhutII/2009 tentang Tata Cara Pengurangan
Emisi dari Deforestasi Dan Degradasi Hutan (REDD) yang
dengan tegas menyebutkan bahwa deforestasi adalah

375
PENDEKATAN ZEMIOLOGI UNTUK MENILAI BAHAYA SOSIAL AKIBAT EKSPLORASI
GEOTHERMAL DI BATURADEN JAWA TENGAH

perubahan secara permanen dari areal berhutan menjadi


tidak berhutan yang diakibatkan oleh kegiatan manusia.

Deforestasi yang terjadi di kawasan hutan gunung Slamet


mengakibatkan kerusakan dan polusi beberapa saluran
sungai, termasuk sungai Logawa. 26 Sungai-sungai yang
mengalir melalui 13 desa di Banyumas mengalami
kekeruhan akibat pencemaran lumpur. 27 Kemarau yang
berlangsung sejak Juni 2018 berangsur membuat sumur-
sumur warga di pegunungan Kabupaten Banyumas, Jawa
Tengah, mengering. Di dataran rendah, air sumur yang
biasa jernih berubah keruh dan berbau. Itu termasuk
sejumlah daerah di selatan lereng selatan Gunung Slamet
yang mengandalkan air bersih dari hutan lindung di
kawasan lereng selatan Gunung Slamet. Masyarakat di
lereng Gunung Slamet, Banyumas, yang mengandalkan
air dari hutan lindung tak luput dari ancaman kekeringan
dan krisis air bersih. Ini adalah ironis. Pasalnya, hutan
lindung lereng Gunung Slamet dianggap sebagai hutan
alam paling orisinil yang dimiliki oleh Pulau Jawa. Ia
adalah jantung bagi kehidupan, terutama untuk Jawa
bagian tengah.28

26http://wartahijau.com/read/pembangunan-pltp- meningkatkan-risiko-
bencana. di akses pada 24 April 2020
27 http://independen.id/read/peristiwa/256/ pen-cemaran-lingkungan-pltp-
lereng-slamet/ di akses pada 24 April 2020
28https://www.liputan6.com/regional/read/3581787/ironis-krisis-air-bersih-

ancam-masyarakat-di-jantung-hutan-gunung-slamet

376
PENDEKATAN ZEMIOLOGI UNTUK MENILAI BAHAYA SOSIAL AKIBAT EKSPLORASI
GEOTHERMAL DI BATURADEN JAWA TENGAH

Perluasan wilayah eksplorasi telah mengakibatkan


deforestasi yang semakin luas. Disamping itu adanya
kegiatan eksplorasi yang menggunakan tehnik Fracking
juga mengakibatkan gempa bumi kecil 3-5 pada skala
Richter. Air yang digunakan dalam teknik ini juga
mengakibatkan polusi air karena tercampur dengan
sulfide. Ditambah dengan jumlah air yang digunakan
dalam tehnik Fracking sangat besar.

Teknik hydraulic fracturing atau fracking bukanlah teknik


pengeboran biasa. Hydraulic fracturing diterapkan untuk
meretakkan dinding-dinding batuan di dalam sumur yang
sudah digali, dan mengekstraksi minyak, gas atau panas
bumi yang terperangkap dalam lapisan batuan tersebut
untuk kemudian disalurkan melalui sumur yang telah
digali dan dikeluarkan ke permukaan. Menyebutkan
istilah hydrolic pada namanya memberikan persepsi
bahwa teknik ini melibatkan fluida bertekanan.

Secara singkat proses fracking sebagai berikut: Pertama,


sumur dibor secara vertikal beberapa ratus hingga ribuan
meter kedalam bumi kemudian dibor horizontal ke lapisan
batuan yang mengandung gas, minyak maupun fluida
panas. Berikutnya cairan fracking dipompa kedalam
tanah dengan pompa performa yang sangat tinggi. Rata-
rata cairannya mengandung 8 juta liter air yang setara
dengan konsumsi harian oleh 65.000 orang, ditambah
beberapa juta ton pasir dan sekitar 200.000 liter bahan
kimia. Cairan tersebut menembus lapisan batuan dan

377
PENDEKATAN ZEMIOLOGI UNTUK MENILAI BAHAYA SOSIAL AKIBAT EKSPLORASI
GEOTHERMAL DI BATURADEN JAWA TENGAH

menghasilkan retakan kecil yang sangat banyak. Pasir


berfungsi mencegah retakan tersebut menutup kembali
supaya tetap terbuka. Bahan kimia melakukan beberapa
tugas diantaranya memadatkan air, membunuh bakteri,
atau melarutkan mineral. Berikutnya, sebagian besar
cairan fracking dipompa keluar lagi dan sekarang gas,
minyak maupun fluida panas dapat diekstraksi. Setelah
gas, minyak maupun fluida panas dihabiskan, lubang
sumur bor disegel. Menurut aturan yang berlaku,
cairan fracking dipompa kembali kedalam tanah dan
disegel.29

Dampak dari kegiatan-kegiatan ini menghasilkan


terjadinya gempa bumi kecil 3,4 hingga 5 pada skala
Richter. Gempa bumi mengakibatkan retaknya bangunan
dan kontaminasi lingkungan dengan limbah pembangkit
listrik tenaga panas bumi. Zat beracun dalam limbah
termasuk, Arsenik, Antimon dan Baron 30 . Pada 15
Oktober 2017, banjir bandang terjadi karena hujan deras
di bagian atas sungai dan lereng Gunung Slamet. Korban
banjir bandang adalah mereka yang tinggal di sekitar
sungai Banjaran, Pelus, Logawa dan Prukut31.

29 http://walhijatim.or.id/2019/10/mewaspadai-ancaman-fracking-pltp-
ngebel/
30 http://kopi-backpacker.blogspot.com/2017/07/ dampak-mengerikan-dari-
pltp-gunung.html
31 https://banyumasnews.com/98224/banjir-ban-dang-landa-banyumas-
dampak-proyek-pltp-baturraden/ di akses pada 28 April 2020

378
PENDEKATAN ZEMIOLOGI UNTUK MENILAI BAHAYA SOSIAL AKIBAT EKSPLORASI
GEOTHERMAL DI BATURADEN JAWA TENGAH

Berdasarkan uraian di atas setidakya ada anacaman


bahaya yang besar akibat tehnik fracking ini ,yaitu:
kontaminasi air dengan 700 campuran bahan kimia,
merusak keseimbangan iklim karena 25x lebih kuat dari
pada karbon dioksida, gempa bumi minor yang akan
memicu gempa bumi besar apalagi Gunung Slamet
diketahui sebagai Gunung Berapi Aktif.

Bahaya Ekonomi

Badriah termangu menunggui warung kopi di pinggir


jalan setapak ke arah Curug Cipendok. Sesekali, ia
melongok keluar, melihat bebatuan tertata rapi yang
berharap ada pengunjung di pertengahan pekan awal
Desember 2017 ini. Setahun terakhir, curug yang berada
di lereng selatan Gunung Slamet kawasan
Cilongok, Banyumas ini memang benar-benar sepi.
Keruhnya Sungai Prukut berdampak langsung pada
aliran Prukut, yang merupakan sumber air Curug
Cipendok. Curug Raksasa setinggi 93 meter ini tak lagi
menunjukkan keindahannya. Ia sakit. Gemuruh air yang
memantulkan pelangi telah sirna. Ia lebih
menyerupai sarang hantu. Dedaunan hijau berubah
cokelat dan kotor. Sama sekali tak menarik dikunjungi.
Dampak menurunnya jumlah wisatawan dirasakan betul
oleh Badriah. Pendapatan di akhir pekan yang biasanya
mencapai Rp 800 ribu, saat ini hanya berkisar Rp 50 ribu-
Rp 100 ribu. Sedangkan di pertengahan pekan,

379
PENDEKATAN ZEMIOLOGI UNTUK MENILAI BAHAYA SOSIAL AKIBAT EKSPLORASI
GEOTHERMAL DI BATURADEN JAWA TENGAH

harapannya tipis. 32 Para pemilik penginapan tak lagi


berharap ada tamu yang butuh kamar, meski di akhir
pekan. Wisata Curug Cipendok yang dikelola Perum
Perhutani pun merugi ratusan juta.

Penjaga Curug Cipendok, Ahmad Atmowijaya


menuturkan, dalam kondisi normal, pada akhir pekan
jumlah kunjungan Curug Cipendok mencapai 500- 800
orang. Adapun pada Senin-Jumat, pengunjung berkisar
200-300 orang. Namun sejak keruh, pengunjung yang
datang pada akhir pekan hanya sekitar 200 orang. Di luar
akhir pekan dan libur hanya 50-60 orang, sepi bak sarang
hantu. Ia pun kerap jadi korban semprotan
wisatawan curug cipendok yang kecewa.33

Ini adalah potret dampak ekonomi dan finansial yang


dialami masyarakat lereng Gunung Slamet disekitar
eksplorasi panas bumi tersebut. Kegiatan dan pendapatan
dari sector wisata menurun drastis. Demikian pula
dengan para petani, pencari hasil hutan hingga usaha
perikanan yang tidak bisa lagi menjadi harapan untuk
penghasilan.

Saat ini, ratusan hektar hutan lindung di kawasan


Gunung Slamet telah dieksplorasi sebagai hasil dari
proyek Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP)

32 https://www.liputan6.com/regional/read/ 3190030/kala-sungai-prukut-dan-
curug-cipendok-sepi-bak-kuburan
33 https://www.liputan6.com/regional/read/ 3190030/kala-sungai-prukut-dan-
curug-cipendok-sepi-bak-kuburan

380
PENDEKATAN ZEMIOLOGI UNTUK MENILAI BAHAYA SOSIAL AKIBAT EKSPLORASI
GEOTHERMAL DI BATURADEN JAWA TENGAH

Baturaden. Ini berpotensi menyebabkan kerusakan


lingkungan di kawasan itu, termasuk kawasan wisata
yang banyak dikunjungi wisatawan. Profesi masyarakat
sekitar wilayah eksplorasi adalah petani dan memungut
hasil hutan. Penghasilan masyarakat mengalami
penurunan drastis. Ketiadaan dan berkurangnya
penghasilan masyarakat akan menurunkan tingkat
kesejahteraan dan ekonominya. Kondisi ini akan
memunculkan kerawanan baru yaitu kriminalitas.

Bahaya Emosional

Sejak pembangunan PLTPB Gunung Slamet muncul


dampak sosial seperti ketakutan dan kecurigaan sesama
warga. Selain tentunya, proyek tersebut berdampak pada
air keruh yang mengakibatkan terhambatnya aktivitas
harian kebutuhan air bersih. Banyak warga yang masih
diam itu karena takut. Takut karena saat ikut protes
orang lain mengira mengharapkan imbalan tertentu
kepada PT SAE kemudian bisa diam, dan juga takut
karena ini program besar dari pemerintah. Semua sudah
resah, banyak dirugikan akibat pembangunan PLTPB
ini.34

Apapun musimnya, kecemasan dan ketakutan selalu


melanda masyarakat. Musim penghujan bisa berarti
ancaman bagi mereka. Endapan lumpur yang membatu

34 https://satelitpost.com/beritautama/jangan-tunggangi-penolakan-pltpb

381
PENDEKATAN ZEMIOLOGI UNTUK MENILAI BAHAYA SOSIAL AKIBAT EKSPLORASI
GEOTHERMAL DI BATURADEN JAWA TENGAH

saat kemarau bisa mencair dan meluncur bersama air


hujan. Lumpur itu dikhawatirkan mencemari hulu sungai
Prukut yang mengalir sampai ke anak-anak sungai di
desa. Padahal, sungai itu selama ini dimanfaatkan warga
untuk bermacam kebutuhan, mulai konsumsi rumah
tangga, mandi cuci, air minum ternak, hingga mengairi
lahan pertanian dan kolam ikan.35

Masyarakat yang tinggal di komunitas fracking mungkin


mengalami sedikit manfaat awal, seperti pendapatan sewa
tanah atau pembangunan infrastruktur. Namun, mereka
juga mengalami kekhawatiran, kecemasan dan depresi
tentang gaya hidup, kesehatan, keamanan dan keamanan
finansial, serta paparan neurotoksin dan perubahan
lanskap fisik. Memang, seluruh komunitas dapat
mengalami trauma kolektif sebagai hasil dari siklus
“boom/bust” yang sering terjadi ketika industri merusak
kehidupan komunitas. Komunitas yang terkena dampak
seringkali sudah rentan, termasuk orang miskin,
pedesaan atau penduduk asli, yang mungkin terus
mengalami efek buruk dari fracking selama beberapa
generasi. Masuknya pekerja ke komunitas fracking sering
memicu ketakutan tentang orang luar dan kejahatan
(Hirsch, dkk., 2017). Bahkan di Kanada ditemukan fakta
dari temuan dari laporan yang ditulis oleh Asosiasi Dokter
Kanada untuk Lingkungan menunjukkan bahwa bahan

35 https://jateng.tribunnews.com/2018/09/29/ kecemasan-warga-lereng-
gunung-slamet-saat-musim-hujan-kembali-datang.

382
PENDEKATAN ZEMIOLOGI UNTUK MENILAI BAHAYA SOSIAL AKIBAT EKSPLORASI
GEOTHERMAL DI BATURADEN JAWA TENGAH

kimia yang terlibat dalam fracking gas alam memiliki


dampak luas pada manusia termasuk potensi cacat lahir,
kanker, masalah neurologis, dampak psikologis, penyakit
dan penyakit.36

Mendapati adanya berbagai bahaya yang mengancam dan


fakta-fakta yang merugikan masyarakat, maka sudah
sepatutnya teknologi yang digunakan untuk
mendapatkan energi panas bumi harus meminimalisir
bahaya. Apalagi dewasa ini teknologi semakin maju.
Sementara teknologi yang digunakan adalah teknologi
yang using dan banyak laporan bahaya yang ditimbulkan
dalam penggunaan teknologi ini.

Bahaya tidak cukup diukur dengan penilaian undang-


undang semata. Banyak makna yang terkandung dalam
istilah bahaya/harm. Sebuah Tinjauan terhadap literatur
menunjukkan bahwa bahaya harus didefinisikan ulang:
daripada objektif, beralasan, dan biner, Theory Dyadic
Morality mendefinisikan kerugian sebagai kombinasi
sintetis pelaku yang menyebabkan kerusakan/ kerugian
pada korban, dan menunjukkan bahwa bahaya
dirasakan, intuitif, dan kontinum (Schein & Gray, 2018).

PENUTUP

Proyek ini pada tahap eksplorasi dan eksploitasi akan


membuka areal sekitar 600 hektar lahan. Luasan itu

36 https://ipolitics.ca/2020/01/29/the-drilldown-neurological-problems-birth-
defects-and-cancer-among-possible-health-risks-linked-to-fracking/

383
PENDEKATAN ZEMIOLOGI UNTUK MENILAI BAHAYA SOSIAL AKIBAT EKSPLORASI
GEOTHERMAL DI BATURADEN JAWA TENGAH

memperhitungkan pembukaan akses jalan, landasan


pengeboran, jalur pipa, embung dan fasilitas penunjang
lainnya ketika PLTP telah beroperasi. Izin Pinjam Pakai
Kawasan Hutan untuk proyek panas bumi di Gunung
Slamet yang dikeluarkan oleh Kementerian Lingkungan
Hidup dan Kehutanan 2012 adalah 44 hektare. Namun,
terjadi penambahan luasan pada Oktober 2016 dengan
keluar izin baru seluas 488,28 hektare. Celakanya,
Wilayah Kerja Pertambangan (WKP) Panas Bumi di
Gunung Slamet yang dikeluarkan oleh Kementerian
ESDM adalah 24.660 hektare yang 90 persennya berada
di kawasan hutan lindung. Deforestasi karena meluasnya
wilayah kerja eksplorasi geothermal dan teknik fracking
yang dijadikan teknologi dalam eksplorasi geothermal ini
menjadi penyebab munculnya bahaya social yang
menimpa warga masyarakat sekitar lereng Gunung
Slamet.

Kebutuhan pembangunan yang berkesinambunangan di


bidang energi harus memperhatikan kelestarian
lingkungan. Pertimbangan ekonomis jangan mengalahkan
pertimbangan kelestarian lingkungan. Lingkungan yang
lestari adalah kegunaan di masa kini dan warisan untuk
masa depan.

Berdasarkan hasil temuan yang telah dipaparkan di atas


maka:

384
PENDEKATAN ZEMIOLOGI UNTUK MENILAI BAHAYA SOSIAL AKIBAT EKSPLORASI
GEOTHERMAL DI BATURADEN JAWA TENGAH

Kesimpulan

a. Reaksi masyarakat dan kerusakan lingkungan yang


terjadi sejak dimulainya kegiatan eksplorasi panas
bumi (geothermal) di Pembangkit Listrik Tenaga
Panas Bumi (PLTPB) Baturaden Banyumas
membuktikan bahwa proyek ini masih menyisakan
persoalan yang besar yaitu keseimbangan antara
kelestarian lingkungan dan ambisi untuk
melaksanakan pembangunan energi yang
berkesinambungan. Protes, keluhan dan kecemasan
itu adalah dampak yang seharusnya dapat menjadi
early warning tentang bahaya social yang terjadi
akibat eksplorasi panas bumi di Banyumas.
b. Social Harm telah terjadi. Baik physical harm,
financial/ economical harm dan psychological harm.
Bahaya sosial ini sekaligus dapat memjadi indikasi
adanya kejahatan lingkunngan atau pelanggaran
terhadap peraturan perundangan yang berlaku.

Saran

Untuk mewujudkan adanya energi yang


berkesinambungan yang diperoleh dari eksplorasi panas
bumi seharusnya pemerintah dan pengambil kebijakan
terkait harus menggunakan pendekatan Zemiologi untuk
meminimalisir social harm yang terjadi. Pendekatan
hukum lingkungan tidak cukup untuk melindungi
lingkungan dari eksplorasi yang ada.

385
PENDEKATAN ZEMIOLOGI UNTUK MENILAI BAHAYA SOSIAL AKIBAT EKSPLORASI
GEOTHERMAL DI BATURADEN JAWA TENGAH

a. Perlu dilakukan kajian yang komprehensif dan


kualitatif terhadap social harm ini, dengan
melibatkan para ahli.
b. Perlu evaluasi atas berbagai produk kebijakan
terhadap proyek eksplorasi panas bumi.
c. Perlu dicari teknik eksplorasi panas bumi yang
lebih ramah lingkungan.

UCAPAN TERIMA KASIH

Ucapan terima kasih para Dekan FH Unwiku yang


memfasilitasi riset ini, rekan-rekan dosen hukum
lingkungan dan para mahasiswa Poltekes Semarang
Jurusan Kesehatan Lingkungan yang telah memberikan
bantuan selama pelaksanaan penelitian/ penulisan
artikel dan sekalgus menjadi kawan dalam diskusi
pendalaman.

DAFTAR PUSTAKA

Andriani, A. R. (2017), Serious and Growing.


Environmental Crime Tackling the Greatest Threats to
Our Planet, Our Planet, United Nation Environment
Programme.
Awaludin, A. & Rusito (2020), Perspektif Kejahatan Sinyal
Dalam Kasus Eksplorasi Geothermal Di Gunung
Slamet, Kabupaten Banyumas, Jurnal Media
Komunikasi Pendidikan Pancasila dan
Kewarganegaraan Volume 2, Nomor 1 April: 113
Barri, M. F., dkk. (2018), Deforestasi Tanpa Henti “Potret
Deforestasi Di Sumatera Utara, Kalimantan Timur
Dan Maluku Utara, Forest Watch Indonesia

386
PENDEKATAN ZEMIOLOGI UNTUK MENILAI BAHAYA SOSIAL AKIBAT EKSPLORASI
GEOTHERMAL DI BATURADEN JAWA TENGAH

Brisman, A. (2014), Of Theory and Meaning in Green


Criminology, www.crimejustice journal.com IJCJ & SD
Vol. 3 No. 2: 21‐ 34.
Burke R. H. (2005), An Introduction to the Criminological
Theory, Deer Park Publications, Devon.
Burke R. H. (2008), Book Review of Hall Steve, Winlow S.
dan Ancrum C. “Criminal Identities and Consumer
Culture: Crime, Exclusion and the New Culture of
Narcissism”. Internet Journal of Criminology.
Clifford, M. T. D. Edwards (1998), "Defining
'Environmental Crime.' "In Environmental Crime:
Enforcement, Policy, and Social Responsibility (edited
by Mary Clifford. Gaithersburg, Md.: Aspen.
Davies, P., Francis, P. & Greer, C. (2017), “Victims, Crime
and Society: An Introduction”, in P. Davies, P. Francis,
C. Greer (eds.) Victims, Crime and Society, second
edition, London: Sage.
Hall, M. (2012), Environmental Victims: Challenges for
Criminology and Victimology in the 21st Century,
Journal of Criminal Justice and Security. Year 13 No.
4: 371-391.
Hillyard, P., & Tombs, S. “Beyond Criminology” (2004). In
P. Hillyard, C. Pantazis, S. Tombs, & D. Gordon (Eds.)
Beyond Criminology: Taking Harm Seriously. London:
Pluto Press: 10–29.
Hirsch, J. K. dkk., (2017), “Psychosocial Impact of
Fracking: a Review of the Literature on the Mental
Health Consequences of Hydraulic Fracturing”,
International Journal of Mental Health and Addiction,
Vol. 15, No.4 August.
http://buruh.co/polisi-lakukan-kekerasan-pada-aksi-
selamatkan-gunung-slamet/ di akses pada 25 April
2020
http://independen.id/read/peristiwa/256/pencemaran-
lingkungan-pltp-lereng-slamet/di akses pada 24 April
2020

387
PENDEKATAN ZEMIOLOGI UNTUK MENILAI BAHAYA SOSIAL AKIBAT EKSPLORASI
GEOTHERMAL DI BATURADEN JAWA TENGAH

http://independen.id/read/peristiwa/256/ pencemaran-
lingkungan-pltp-lereng-slamet/ di akses pada 24
April 2020
http://jdih.menlh.go.id/pdf/ind/IND-PUU-1-2009-
UU%20No.%2032%20Th%202009_ Combine.pdf di
akses pada 25 April 2020
http://kopi-backpacker.blogspot.com/2017/07/
dampak-mengerikan-dari-pltp-gunung.html di akses
pada 20 April 2020
http://kopi-backpacker.blogspot.com/2017/07/
dampak-mengerikan-dari-pltp-gunung.html di akses
pada 24 April 2020
http://revolusitotal.org/gunung-slamet-yang-tak-lagi-
selamat/ di akses pada 24 April 2020
http://walhijatim.or.id/2019/10/mewaspadai-ancaman-
fracking-pltp-ngebel/ di akses pada 26 April 2020
http://wartahijau.com/read/pembangunan-pltp-
meningkatkan-risiko-bencana. di akses pada 24 April
2020
http://wartahijau.com/read/pembangunan-pltp-
meningkatkan-risiko-bencana. di akses pada 24 April
2020
http://www.dannydorling.org/wp-
content/files/dannydorling_publication_id1047.pdf
http://www.suarakarya.id/detail/50659/ Proyek-PLTP-
Baturaden-Ancam-Lingkungan-Hidup-Seputar-
Gunung-Slamet di akses pada 24 April 2020
https://banyumasnews.com/98224/banjir-ban-dang-
landa-banyumas-dampak-proyek-pltp-baturraden/
di akses pada 28 April 2020
https://banyumasnews.com/98224/banjir-bandang-
landa-banyumas-dampak-proyek-pltp-baturraden/
di akses pada 28 April 2020
https://ipolitics.ca/2020/01/29/the-drilldown-
neurological-problems-birth-defects-and-cancer-

388
PENDEKATAN ZEMIOLOGI UNTUK MENILAI BAHAYA SOSIAL AKIBAT EKSPLORASI
GEOTHERMAL DI BATURADEN JAWA TENGAH

among-possible-health-risks-linked-to-fracking/
diakses pada 28 April 2020
https://jateng.tribunnews.com/2018/09/29/
kecemasan-warga-lereng-gunung-slamet-saat-
musim-hujan-kembali-datang. di akses pada 28 April
2020
https://purwokertokita.com/lingkungan/suara-suara-
penolakan-pltp-di-gunung-slamet.php
https://www.change.org/p/pak-jokowi-cabut-izin-
pltp-baturaden di akses pada 26 April 2020
https://regional.kompas.com/read/2017/07/
18/15165611/tolak-pembangkit-listrik-panas-bumi-
massa-duduki-gedung-dprd-banyumas. di akses pada
24 April 2020
https://satelitpost.com/beritautama/jangan-tunggangi-
penolakan-pltpb di akses pada 28 April 2020
https://tekno.kompas.com/read/2012/10/12/
10295762/investor.pltp.baturraden.kantongi.izin.
kemenhut di akses pada 30 April 2020
https://www.crimeandjustice.org.uk/publica-
tions/cjm/article/criminal-obsessions-crime-isnt-
only-harm di akses pada 24 April 2020
https://www.gatra.com/rubrik/nasional/ pemerintahan-
daerah/289305-ratusan-warga-lereng-selatan-
gunung-slamet-demo-tuntut-ijin-pltp-dicabut di
akses pada 28 April 202
https://www.hetanews.com/article/100966/ratusan-
demonstran-tuntut-bupati-banyumas-cabut-izin-
pltp-baturraden di akses pada 28 April 2020
https://www.kabargayo.com/aji-kota-purwo-kerto-
kecam-kekerasan-pembubaran-paksa-demo-tolak-
pltp-baturraden di akses pada 24 April 2020
https://www.liputan6.com/regional/read/
3190030/kala-sungai-prukut-dan-curug-cipendok-
sepi-bak-kuburan di akses pada 24 April 2020

389
PENDEKATAN ZEMIOLOGI UNTUK MENILAI BAHAYA SOSIAL AKIBAT EKSPLORASI
GEOTHERMAL DI BATURADEN JAWA TENGAH

https://www.liputan6.com/regional/read/3581787/ironi
s-krisis-air-bersih-ancam-masyarakat-di-jantung-
hutan-gunung-slamet di akses pada 26 April 2020
https://www.liputan6.com/regional/read/360
9377/sumur-geothermal-pltp-gunung-slamet-gagal-
ini-kata-pegiat-lingkungan di akses pada 30 April
2020
https://www.mapalaptm.com/berita-1599-peringati-
hari-bumi-ratusan-pelajar--mahasiswa-menolak-
proyek-pemerintah-pltp-di-gunung-slamet.html di
akses pada 27 April 2020
https://www.melung.desa.id/adakah-dampak-
lingkungan-di-wilayah-kami/ di akses pada 28 April
2020
https://www.pewartanusantara.com/aliansi-petani-
indonesia-proyek-pltp-ancam-petani-lereng-gunung-
slamet/ Di Akses Pada 30 April 2020
https://www.republika.co.id/berita/nasional/
hukum/17/10/10/oxlkz2318-pwi-proses-hukum-
pelaku-kekerasan-jurnalis-banyumas di akses pada
25 April 2020
https://www.vebma.com/opini/pembangunan-proyek-
pembangkit-listrik-tenaga-panas-bumi-di-gunung-
slamet/ 16706#ixzz5MXbgDKKv di akses pada 30
April 2020
https://www.vebma.com/opini/pembangunan-proyek-
pembangkit-listrik-tenaga-panas-bumi-di-gunung-
slamet/16706#ixzz5LPaNKd2w di akses pada 24 April
2020
https://www.wartaekonomi.co.id/berita-antara/647743
di akses pada 20 April 2020
https://www.wisegeek.com/what-is-an-environmental-
crime.htm di akses pada 26 April 2020
Khare, R. (2016), Benefits that a Zemiological Approach
can Bring to the Study of Global Crime and Insecurity,

390
PENDEKATAN ZEMIOLOGI UNTUK MENILAI BAHAYA SOSIAL AKIBAT EKSPLORASI
GEOTHERMAL DI BATURADEN JAWA TENGAH

International Research Journal of Social Sciences, Vol.


5(5):30-32.
Lasslett, K. (n.d.), Crime or social harm? A Dialectical
Perspective, Crime Law Soc Change, Springer Science
Business Media B.V. 2010 DOI 10.1007/s10611-010-
9241-x
O ‘Hear, M. (2004), Journal of Criminal Law and
Criminology, Vol.1, Issues 95:133.
Mc Gill, C. H. (2012), Zemiology and the dark side of
globalization: the case of Naivasha’s cut-flower
industry, Neo: A Student Research Journal: 6.
Mc Quail, D. (1994), Mass communication: An
Introduction. (3rd edition). Thousand Oaks, CA: Sage.
Pemberton, S. (2007), “Social Harm Future(S): Exploring
The Potential of The Social Harm Approach”, Crime
Law and Social Change, 1: 28
Pemberton, S. (2015), Harmful Societies. Understanding
social harm. Bristol: Policy Press.
R, White, (2010), Globalisation and environmental harm.
In White R (ed.) Global Environmental Harm:
Criminological perspectives. Cullompton, Devon:
Willan: 3‐ 19.
Rice, M. (2008) Environmental Crime: A threat to Our
Future, Environmental Investigation Agency (EIA),
Editor, London
Rijali, A. (2018), Analisis Data Kualitatif, Jurnal
Alhadharah, Vol. 17 No. 33: 83
Schein, C. & Gray, K. (2018), The Theory of Dyadic
Morality: Reinventing Moral Judgment by Redefining
Harm, Personality and Social Psychology Review, Vol.
22(1): 37
Treadwell, J. (2013), Criminology: The Essentials, Sage
Publications Limited, London.
W. R. Korir, (2013), Environmental Crime Management In
Kenya, Thesis, University of Nairobi.

391
392
10
Strategi Adaptasi Nelayan dalam
Menghadapi Perubahan Ekologis
di Pantai Cemara Banyuwangi

Irwan Kurniawan Soetijono, Andin Martiasari,


Veri Kurniawan
Universitas 17 Agustus 1945 Banyuwangi
irwankurniawan616@gmail.com

Abstrak

Penelitian ini dilakukan dengan tujuan mengkaji


pengaruh perubahan ekologis terhadap kehidupan
nelayan. Selain itu, penelitian bertujuan memahami
strategi adaptasi yang dilakukan oleh kelompok nelayan
Pantai Cemara, Kabupaten Banyuwangi. Alasan
dipilihnya Pantai Cemara sebagai lokasi karena letak yang
berbatasan langsung dengan Selat Bali yang rentan
terhadap perubahan ekologis dan terdapat jumlah
nelayan berlebih yang menggantungkan mata
pencahariannya di Selat Bali. Perubahan ekologis pada
kawasan ini dan sekitarnya antara lain disebabkan oleh
pemanfaatan sumberdaya pesisir cenderung eksploitatif.
Adapun dampak sosial ekonomi yang timbul akibat
perubahan ekologis adalah berkurangnya kesempatan
berusaha, kesulitan menentukan daerah tangkapan ikan,

393
STRATEGI ADAPTASI NELAYAN DALAM MENGHADAPI PERUBAHAN EKOLOGIS DI
PANTAI CEMARA BANYUWANGI

serta penurunan jumlah dan keragaman hasil tangkapan


nelayan. Penelitian dilakukan menggunakan metode
kualitatif. Metode kualitatif dipergunakan untuk
mengetahui kebijakan pengelolaan pesisir dan pola
pemanfaatan sumberdaya pesisir. Metode ini juga
dipergunakan untuk mengetahui jenis-jenis aktivitas
kelompok masyarakat yang menjadi penyebab perubahan
ekologis, kehidupuan sosial ekonomi nelayan yang
terpengaruh oleh perubahan ekologis serta strategi
adaptasi yang dilakukan nelayan dalam menghadapi
perubahan ekologis tersebut. Strategi adaptasi kelompok
nelayan melibatkan keluarga dan berjejaring baik dengan
sesama kelompok nelayan maupun dengan lembaga lain
meliputi pemerintah, akademisi maupun pihak swasta.

Kata Kunci: nelayan, perubahan ekologis, strategi


adaptasi

PENDAHULUAN

Indonesia dikenal sebagai salah satu negara kepulauan


terbesar, terdiri dari pulau-pulau besar dan kecil yang
jumlahnya kurang lebih 17.504 pulau. Tiga per-empat
wilayahnya adalah laut (5,9 juta km2), dengan panjang
garis pantai 95.161 km, terpanjang kedua setelah Kanada.
Deklarasi Djuanda tertanggal 13 Desember 1957
menyatakan kepada dunia bahwa laut Indonesia (laut
sekitar, di antara, dan di dalam kepulauan Indonesia)

394
STRATEGI ADAPTASI NELAYAN DALAM MENGHADAPI PERUBAHAN EKOLOGIS DI
PANTAI CEMARA BANYUWANGI

menjadi satu kesatuan wilayah NKRI. Dan Indonesia


sebagai negara kepulauan, telah diakui dunia
internasional melalui konvensi hukum laut PBB ke tiga,
United Nation Convention on the Law of the Sea 1982
(UNCLOS 1982), kemudian diratifikasi oleh Indonesia
dengan Undang-Undang No.17 Tahun 1985. Dalam
UNCLOS 1982 pula dinyatakan bahwa total luas wilayah
laut Indonesia menjadi 5,9 juta km2, terdiri atas 3,2 juta
km2 perairan teritorial dan 2,7 km2 perairan Zona
Ekonomi Eksklusif, luas perairan ini belum termasuk
landas kontinen (continental shelf). Hal ini menjadikan
Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia (the
biggest Archipelago in the World) (Soetijono, 2005).

UUD 1945 hasil amandemen kedua, pada Pasal 25A


menyebutkan bahwa “NKRI adalah negara kepulauan
yang berciri nusantara dengan wilayah yang batas-batas
dan hak-haknya ditetapkan dengan Undang-undang”. Ini
semakin mengukuhkan eksistensi Indonesia sebagai
negara maritim. UU N0.27 Tahun 2007 tentang
Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, secara
lebih gamblang mengakui eksistensi sektor kelautan dan
perikanan serta pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-
pulau kecil sebagai salah satu agenda pembangunan
nasional. Namun faktanya, pembangunan bidang
kelautan dan perikanan hingga saat belum dimanfaatkan
secara optimal, padahal tersimpan potensi SDA dan jasa-
jasa lingkungan yang sangat besar. Sehingga untuk

395
STRATEGI ADAPTASI NELAYAN DALAM MENGHADAPI PERUBAHAN EKOLOGIS DI
PANTAI CEMARA BANYUWANGI

menjadikan sektor kelautan dan perikanan sebagai arus


utama pembangunan nasional dibutuhkan kebijakan
pembangunan yang terpadu dan berbasiskan ekosistem.

Latar Belakang

Pengelolaan sumberdaya pesisir di Indonesia berdasarkan


sudut pandang pembangunan berkelanjutan (sustainable
development) dihadapkan pada kondisi yang bersifat
mendua (Dahuri, dkk, 1996). Pada satu sisi dijumpai
banyak kawasan yang masih belum tersentuh sama sekali
oleh aktivitas pembangunan, akan tetapi pada kondisi
lainnya terdapat beberapa kawasan pesisir yang telah
dimanfaatkan (dikembangkan) dengan intensif.
Akibatnya, terlihat indikasi telah terlampauinya daya
dukung atau kapasitas berkelanjutan (potensi lestari) dari
ekosistem pesisir dan lautan, seperti pencemaran,
tangkap lebih (overfishing), degradasi fisik habitat pesisir,
dan abrasi pantai, telah muncul di kawasan-kawasan
pesisir yang dimaksud.

Pemanfaatan sumberdaya alam yang semakin pesat pada


kenyataannya terus dikembangkan kearah pemanfaatan
ekonomi yang berdampak pada penurunan kualitas
lingkungan, yang ternyata berimbas pada penurunan
kualitas kehidupan manusia. Hal ini menandakan bahwa
perubahan ekologis sangat mungkin terjadi ditengah
beragamnya aktivitas manusia dalam memanfaatkan
sumberdaya alam tersebut (Keraf, 2010).

396
STRATEGI ADAPTASI NELAYAN DALAM MENGHADAPI PERUBAHAN EKOLOGIS DI
PANTAI CEMARA BANYUWANGI

Dalam konteks sumberdaya pesisir, perubahan ekologis


dapat dilihat dari degradasi ekosistem mangrove,
ekosistem terumbu karang, dan ekosistem padang lamun.
Di Indonesia luas hutan mangrove telah berkurang sekitar
120.000 hektar (ha) dari tahun 1980 sampai 2005 karena
alasan perubahan penggunaan lahan menjadi lahan
pertanian dan peruntukan lain (KLH, 2009). Selain itu,
berdasarkan kegiatan pemantauan Coremap II – P2O LIPI,
di 985 lokasi selama tahun 2008, kondisi terumbu karang
di Indonesia 5,51 persen dalam kondisi sangat baik, 25,48
persen dalam kondisi baik, 37,06 persen dalam kondisi
cukup, dan 31,98 persen dalam kondisi kurang
(damaged).

Rumusan Masalah

Beberapa permasalahan yang mengemuka terkait


penelitian ini adalah a). Bagaimana kondisi di pantai
Cemara terkait terjadinya perubahan ekologis? b). Apakah
strategi adaptasi yang dilakukan oleh nelayan Pantai
Cemara dalam menghadapi perubahan ekologis?

Tujuan

Tujuan penelitian ini adalah pertama, untuk mengetahui


kondisi pantai Cemara terkait perubahan ekologis dan
kedua untuk mengetahui strategi adaptasi yang
dilakukan oleh nelayan pantai Cemara dalam menghadi
perubahan ekologis.

397
STRATEGI ADAPTASI NELAYAN DALAM MENGHADAPI PERUBAHAN EKOLOGIS DI
PANTAI CEMARA BANYUWANGI

Metode Penelitian

Penelitian dilakukan menggunakan metode kualitatif.


Metode kualitatif dipergunakan untuk mengetahui
kebijakan pengelolaan pesisir dan pola pemanfaatan
sumberdaya pesisir. Metode ini juga dipergunakan untuk
mengetahui jenis-jenis aktivitas kelompok masyarakat
yang menjadi penyebab perubahan ekologis, kehidupuan
sosial ekonomi nelayan yang terpengaruh oleh perubahan
ekologis serta strategi adaptasi yang dilakukan nelayan
dalam menghadapi perubahan ekologis tersebut.

PEMBAHASAN

Menurut Undang-undang Nomor 27 tahun 2007 tentang


Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil,
wilayah pesisir adalah daerah peralihan antara ekosistem
darat dan laut yang dipengaruhi oleh perubahan di darat
dan laut. Wilayah pesisir merupakan suatu wilayah
peralihan antara daratan dan lautan (Dahuri, dkk, 1996).
Sumberdaya pesisir antara lain terdiri dari sumbrdaya
hayati, sumberdaya non hayati, sumberdaya buatan dan
jasa-jasa lingkungan. Dalam suatu wilayah pesisir secara
umum terdapat satu atau bahkan lebih ekosistem dan
sumberdaya pesisir. Sedangkan ekosistem pesisir dapat
bersifat alami maupun buatan. Ekosistem alami yang
terdapat di pesisir meliputi antara lain berupa hutan
mangrove, terumbu karang, padang lamun, formasi
baringtona, pantai berpasir, laguna, estuaria dan delta.

398
STRATEGI ADAPTASI NELAYAN DALAM MENGHADAPI PERUBAHAN EKOLOGIS DI
PANTAI CEMARA BANYUWANGI

Adapun ekosistem buatan pesisir dapat berupa sawah


pasang surut, tambak, kawasan industri, kawasan
pariwisata, kawasan permukiman dan kawasan
agroindustri.

Potensi pembangunan yang terdapat di wilayah pesisir


dan lautan secara garis besar terdiri dari tiga kelompok
yakni sumberdaya dapat pulih, sumberdaya tak dapat
pulih, dan jasa-jasa lingkungan. Pertama, sumberdaya
yang dapat pulih diantaranya adalah hutan mangrove,
terumbu karang, padang lamun dan rumput laut,
sumberdaya perikanan laut, dan bahan-bahan bioaktif.
Kedua, sumberdaya tak dapat pulih meliputi seluruh
mineral dan geologi. Mineral terdiri dari tiga kelas yaitu
kelas A berupa mineral strategis (minyak, gas, dan batu
bara), kelas B berupa mineral vital (emas, timah, nikel,
bauksit, bijih besi, dan cromite), dan kelas C berupa
mineral industri (granit, kapur, tanah liat, kaolin, dan
pasir). Ketiga, jasa lingkungan yang meliputi fungsi
kawasan pesisir dan lautan sebagai tempat rekreasi dan
pariwisata, media transportasi dan komunikasi, sumber
energi, sarana pendidikan dan penelitian, pertahanan
keamanan, penampungan limbah, pengatur iklim,
kawasan perlindungan, dan sistem penunjang kehidupan
serta fungsi ekologis lainnya.

Pengertian wilayah pesisir seperti di atas memberikan


suatu pengertian bahwa ekosistem pesisir merupakan
ekosistem yang dinamis dan mempunyai kekayaan

399
STRATEGI ADAPTASI NELAYAN DALAM MENGHADAPI PERUBAHAN EKOLOGIS DI
PANTAI CEMARA BANYUWANGI

habitat yang beragam, di darat maupun di laut, serta


saling berinteraksi antara habitat tersebut. Selain
mempunyai potensi yang besar, wilayah pesisir juga
merupakan ekosistem yang paling mudah terkena
dampak kegiatan manusia. Umumnya kegiatan
pembangunan, secara langsung maupun tidak langsung
berdampak merugikan terhadap ekosistem pesisir
(Widaningsih, 2014).

Definisi tersebut memberikan implikasi bahwa selain


mempunyai potensi yang besar, wilayah pesisir juga
merupakan ekosistem yang paling mudah terkena
dampak kegiatan manusia. Umumnya kegiatan
pembangunan, secara langsung maupun tidak langsung
berdampak merugikan ekosistem pesisir. Adapun
kegiatan pembangunan yang menimbulkan permasalahan
pengelolaan sumberdaya dan lingkungan wilayah pesisir
dan lautan yaitu (1) perkapalan dan transportasi
(tumpahan minyak, limbah padat dan kecelakaan); (2)
pengilangan minyak dan gas (tumpahan minyak,
pembongkaran bahan pencemar, konversi kawasan
pesisir; (3) perikanan (tangkap lebih, pencemaran pesisir,
pemasaran dan distribusi, modal dan tenaga/keahlian);
(4) budidaya perairan (ekstensifikasi dan konversi hutan);
(5) pertambangan (penambangan pasir dan terumbu
karang); (6) kehutanan (penebangan dan konversi hutan);
(7) industri (reklamasi dan pengerukan tanah); (8)

400
STRATEGI ADAPTASI NELAYAN DALAM MENGHADAPI PERUBAHAN EKOLOGIS DI
PANTAI CEMARA BANYUWANGI

pariwisata (pembangunan infrastruktur dan pencemaran


air) (Mulyadi, 2007).

Perubahan Ekologis

Pesisir dan laut memiliki keunikan fisik yang terdiri dari


daratan dan perairan (payau dan asin) dengan segala
dinamikanya, yakni yang didalamnya mengandung
sumberdaya alam hayati (ikan, mangrove, terumbu
karang, padang lamun) dan non hayati (migas, tambang,
dan lain-lain) serta jasa-jasa lainnya (transportasi laut,
pariwisata, batas negara, dan lain-lain). Seiring
meningkatnya populasi manusia terutama di wilayah
pesisir dan laut serta kecanggihan teknologi membuat
peluang terjadinya perubahan sistem alamiah dari lautan
semakin besar. Perubahan tersebut dapat mengakibatkan
berbagai hal negatif, baik pada sumberdaya yang
terkandung maupun aspek fisik dari laut tersebut (Satria,
2009).

Perubahan ekologis adalah dampak yang tidak dapat


dielakkan dari interaksi manusia dan alam yang
berlangsung dalam konteks pertukaran (exchange). Proses
pertukaran itu sendiri melibatkan energi, materi, dan
informasi yang saling diberikan oleh kedua belah pihak
(kedua sistem yang saling berinteraksi). Sistem alam dan
sistem manusia saling memberikan energi, materi dan
informasi dalam jumlah dan bentuk yang berbeda satu
sama lain (Dharmawan, 2007).

401
STRATEGI ADAPTASI NELAYAN DALAM MENGHADAPI PERUBAHAN EKOLOGIS DI
PANTAI CEMARA BANYUWANGI

Berbagai bentuk perubahan ekologis yang terjadi di


kawasan pesisir antara lain:

a. Kerusakan ekosistem mangrove. Berdasarkan data


statistik sumber daya laut dan pesisir yang
diterbitkan BPS (2009) disebutkan bahwa menurut
data FAO (2007) luas mangrove di Indonesia pada
tahun 2005 hanya mencapai 3.062.300 ha atau 19%
dari luas mangrove di dunia dan merupakan yang
terbesar di dunia melebihi Australia (10%) dan Brazil
(7%). Di Asia sendiri luasan mangrove Indonesia
berjumlah sekitar 49% dari luas total mangrove di
Asia yang diikuti oleh Malaysia (10%) dan Myanmar
(9%). Akan tetapi diperkirakan luas mangrove di
Indonesia telah berkurang sekitar 120.000 hektar
(ha) dari tahun 1980 sampai 2005 karena alasan
perubahan penggunaan lahan menjadi lahan
pertanian (KLH, n.d.).

b. Kerusakan ekosistem terumbu karang. Terumbu


karang merupakan sekumpulan biota karang hidup
atau mati sebagai tempat berlindung ikan dan
daerah asuhan ikan. Total luas terumbu karang di
Indonesia mencapai 50.000 km2 yang merupakan
seperdelapan dari luas areal terumbu karang di
dunia (Dahuri, dkk, 1996). Akan tetapi, kondisi
terumbu karang di Indonesia pada umumnya telah
mengalami kerusakan dan penurunan tutupan pada
tingkat yang mengkhawatirkan. Berdasarkan

402
STRATEGI ADAPTASI NELAYAN DALAM MENGHADAPI PERUBAHAN EKOLOGIS DI
PANTAI CEMARA BANYUWANGI

kegiatan pemantauan Coremap II – P2O LIPI, di 985


lokasi selama tahun 2008, kondisi terumbu karang
di Indonesia 5,51 persen dalam kondisi sangat baik,
25,48 persen dalam kondisi baik, 37,06 persen
dalam kondisi cukup, dan 31,98 persen dalam
kondisi kurang (damaged).

Nelayan Selat Bali

Selat Bali secara geografis terletak di antara Pulau Bali di


sebelah timur dan Pulau Jawa disebelah barat. Di sebelah
utara dibatasi oleh Laut Bali sedangkan sebelah selatan
terdapat Samudera Hindia. Perairan Selat Bali berbentuk
mirip dengan corong dengan luas perairan sekitar 2.500
km2 yang terdiri dari lebar bagian utara diperkirakan 2,5
km dan bagian selatan kurang lebih 55km. Karena kondisi
tersebut, perairan Selat Bali cenderung untuk
dipengaruhi oleh massa air dari Samudra Hindia
dibanding oleh massa air dari Laut Flores. Berdasarkan
karakteristik oseanografis dan sumberdaya ikan, perairan
laut Selat Bali masuk sub area 4 yang merupakan daerah
ruaya dari ikan lemuru, sehingga perikanan lemuru di
Selat Bali dinamakan Sardinella lemuru, sangat spesifik
dan satu-satunya di Indonesia. Secara oseanografi
perairan Indonesia, termasuk Selat Bali dipengaruhi oleh
siklus musim yaitu musim timur (southeast monsoon) dan
musim barat (northwest monsoon). Musim timur
terjadipada bulan Juni –September, sedangkan musim
barat terjadi pada bulan Desember-Maret. Kondisi

403
STRATEGI ADAPTASI NELAYAN DALAM MENGHADAPI PERUBAHAN EKOLOGIS DI
PANTAI CEMARA BANYUWANGI

inimengakibatkan perairan Selat Bali merupakan daerah


upwelling. Daerah upwelling merupakan daerah yang
kaya akan sumber makanan untuk keberlangsungan
larva, juvenile dan ikan dewasa, maka dari itu perairan
Selat Bali merupakan daerah potensial untuk kegiatan
perikanan (Hendiarti, Siegelb & Ohdeb, 2004).

Adapun alat tangkap yang sering dipergunakan oleh


nelayan Kabupaten Jembrana dan Banyuwangi terdiri
dari beberapa jenis yaitu purse seine, gillnet, pukat
pantai, payang, dan bagan. Namun, dari semua alat
tangkap tersebut, yang lebih dominan adalah penggunaan
alat tangkap purse seine karena daya tangkapnya yang
lebih besar. Teknologi yang digunakan tidak berkembang
pesat, karena para nelayan skala kecil cenderung
memanfaatkan tanda-tanda alam yang ada di sekitar
lokasi penangkapan, sehingga waktu yang digunakan
untuk mencari gerombolan ikan lebih lama.

Purse seine (sleret), adalah alat tangkap yang


menggunakan dua kapal. Kapal pertama berfungsi untuk
menempatkan jaring, sedangkan kapal kedua merupakan
kapal pemburu menarik tali pemberat (tali kolor) pada
saat kapal pertama (kapal jaring) selesai melingkari
gerombolan ikan. Purse seine, merupakan jaring yang
berbentuk empat persegi panjang, yang digunakan untuk
menangkap ikan permukaan dengan gerombolan besar.
Alat tangkap ini digolongkan ke dalam kelompok jaring

404
STRATEGI ADAPTASI NELAYAN DALAM MENGHADAPI PERUBAHAN EKOLOGIS DI
PANTAI CEMARA BANYUWANGI

lingkar (surrounding nets). Purse seine merupakan alat


tangkap yang efektif untuk menangkap ikan pelagis.

Pada penangkapan ikan lemuru di perairan Selat Bali,


dilakukan teknik one day fishing atau dapat dikatakan
bahwa para nelayan yang menangkap ikan lemuru
melakukan trip atau perjalanan melaut selama satu
malam, atau satu kalidalam satu hari. Hal tersebut
dikarenakan karakteristik ikan lemuru sangat lemah dan
cepat membusuk, maka dari itu harus cepat dibawa ke
daratan dan langsung dilakukan pengolahan. Faktor alam
merupakan salah satu yang memengaruhi dari
penangkapan ikan di Selat Bali. Ketika alam baik nelayan
akan pergi melaut, dan jika keadaan alam buruk atau
tidak memungkinkan maka nelayan tidak melaut dan
menyempatkan dirinya untuk memperbaiki kapal.
Keadaan bulan purnama juga salah satu faktor nelayan
tidak pergi melaut karena dipercaya saat bulan purnama
atau bulan terang persebaran ikan yang biasanya
bergerombol memecah gerombolannya menjadi terpebcar-
pencar, sehingga para nelayan menemui kesulitan untuk
penangkapannya. Cara tersebut masih dilakukan secara
tradisional dan nelayan Selat Bali masih enggan
menggunakan teknologi modern atau penelitian para
peneliti mengenai penangkapan ikan di Selat Bali
(Himelda, dkk., 2012).

405
STRATEGI ADAPTASI NELAYAN DALAM MENGHADAPI PERUBAHAN EKOLOGIS DI
PANTAI CEMARA BANYUWANGI

Kondisi Pantai Cemara

Secara administratif Pantai Cemara terletak di Kelurahan


Pakis, Kecamatan Banyuwangi, Banyuwangi Jawa Timur.
Pantai Cemara terletak di Selat Bali, salah satu selat yang
memiliki kepadatan tinggi populasi nelayan, jalur
transportasi utama penyeberangan Jawa-Bali dan daerah
pesisir yang padat penduduk.

Nelayan pantai Cemara mengalami nasib yang sama


seperti pada umumnya nelayan Selat Bali pada umumnya.
Saat ini nelayan pantai Cemara di hadapkan pada
semakin langkanya ikan hasil tangkapan terutama ikan
lemuru. Kejayaan ikan lemuru pada tahun 1980 hingga
1990-an tidak berlanjut hingga saat ini. Penyebab
utamanya adalah overfishing.

Pemanfaatan sumberdaya perikanan tangkap, sampai


saat ini masih didominasi oleh nelayan skala kecil. Hal ini
berkaitan dengan armada penangkapan yang digunakan
sebagian besar masih bersifat tradisional. Dalam
melakukan penangkapan mereka masih
mempertahankan cara-cara tradisional, sehingga waktu
yang digunakan lebih panjang karena mereka sifatnya
mencari gerombolan ikan.

Pemanfaatan sumberdaya lemuru di Selat Bali, guna


memenuhi kebutuhan hidup nelayan dan secara
komersial untuk memenuhi kebutuhan pabrik
pengalengan ikan yang tersebar di Kabupaten Jembrana

406
STRATEGI ADAPTASI NELAYAN DALAM MENGHADAPI PERUBAHAN EKOLOGIS DI
PANTAI CEMARA BANYUWANGI

dan Kabupaten Banyuwangi. Tanda-tanda sumberdaya


mengalami over fishing, dapat dilihat dari jumlah hasil
tangkapan yang semakin menurun, lokasi penangkapan
semakin jauh, ukuran ikan yang tertangkap berukuran
lebih kecil, dan diindikasikan bahwa sumberdaya lemuru
mengalami over fishing.

Pantai Cemara ini terbagi menjadi dua zona, zona pertama


adalah zona untuk pengunjung dan yang kedua adalah
zona inti. Pada saat musim penyu bertelur, zona inti inilah
yang dipakai dan juga terdapat tempat semi alami untuk
bertelur. Lebih dari 16000 pohon cemara terdapat di
Pantai Cemara dan lebih dari 5 hektar pohon cemara
tumbuh, selain sebagai area konservasi, cemara udang ini
berguna untuk menangkal abrasi dan menambah nilai
ekonomis bagi wilayah sekitarnya.

Vegetasi mangrove dijumpai di Pantai Cemara. Mangrove


atau tumbuhan bakau adalah vegetasi yang berada di
wilayah pasang surut dan dapat ditemukan di sepanjang
daerah pesisir tropis hingga subtropis. Indonesia menjadi
negara yang memiliki wilayah mangrove terluas di dunia
yaitu sekitar 3,1 juta hektar atau 22,6% dari total
mangrove yang ada di dunia . Secara Ekologis, Ekosistem
mangrove dapat berfungsi sebagai intrusi air laut,
penahan gelombang dan tempat perkembang biakan bagi
berbagai jenis hewan, seperti ikan, udang, kepiting,
kerang, siput dan hewan lainnya. Selain itu potensi dari
mangrove juga bisa sebagai tempat pemijahan (spawning

407
STRATEGI ADAPTASI NELAYAN DALAM MENGHADAPI PERUBAHAN EKOLOGIS DI
PANTAI CEMARA BANYUWANGI

ground), daerah asuhan (nursery ground), dan daerah


mencari makan (feeding ground). Hasil hutan mangrove
pun dapat dimanfaatkan oleh masyarakat sekitar dalam
upaya meningkatkan kondisi ekonomi dan wisata.

Strategi Adaptasi Nelayan Pantai Cemara

Para ahli secara umum sependapat bahwa kemiskinan


merupakan perwujudan ketidaksanggupan individu atau
kelompok untuk memperoleh barang-barang dan
pelayanan-pelayanan untuk memenuhi kebutuhan paling
dasar. Kemiskinan diartikan terwujud dalam kebutuhan
sosial terbatas, atau standar kehidupan yang layak
karena terbatasnya pendapatan. Kemiskinan
dikelompokkan menjadi dua, yaitu kemiskinan alamiah
(natural) dan kemiskinan struktural. Kemiskinan alamiah
adalah kemiskinan yang disebabkan oleh terbatasnya
sumber daya lingkungan atau tingkat perkembangan
teknologi yang sangat rendah. Kemiskinan struktural
adalah kemiskinan yang terjadi karena struktur sosial
yang ada di dalam suatu masyarakat telah menghambat
akses masyarakat yang bersangkutan untuk
menggunakan sumber-sumber pendapatan yang
sebenarnya tersedia untuk mereka (Soetrisno, udidin.
Dalam konteks Indonesia yang menganut sistem
kapitalistik, kemiskinan yang menimpa masyarakat kita
adalah kemiskinan struktural. Jika kita memahami dalam
konteks struktural, faktor penyebab timbulnya
kemiskinan tidak hanya faktor ekonomi, seperti tingkat

408
STRATEGI ADAPTASI NELAYAN DALAM MENGHADAPI PERUBAHAN EKOLOGIS DI
PANTAI CEMARA BANYUWANGI

pendapatan yang kecil, tetapi juga faktor-faktor


ketimpangan akses pada sumber daya sosial, budaya, dan
politik. Kemiskinan disebabkan oleh faktor-faktor yang
kompleks dan multi dimensional.

Faktor pendapatan merupakan pintu masuk untuk


memahami kemiskinan. Tingkat pendapatan yang rendah,
yang kemudian menyulitkan individu atau kelompok
sosial memenuhi kebutuhan minimal dalam kehidupan
mereka, disebabkan oleh berbagai hal yang kompleks.
Perspektif demikian memiliki relevansi dalam memahami
kemiskinan nelayan atau komunitas-komunitas marginal
lainnya.

Faktor pendapatan merupakan pintu masuk untuk


memahami kemiskinan. Tingkat pendapatan yang rendah,
yang kemudian menyulitkan individu atau kelompok
sosial memenuhi kebutuhan minimal dalam kehidupan
mereka, disebabkan oleh berbagai hal yang kompleks.
Perspektif demikian memiliki relevansi dalam memahami
kemiskinan nelayan atau komunitas-komunitas marginal
lainnya.

Berikut beberapa studi terkait kompleksitas masalah


kemiskinan yang dihadapi oleh nelayan di beberapa
daerah. Kemiskinan yang mendera nelayan Palang,
Tuban, Jawa Timur disebabkan oleh akumulasi faktor-
faktor yang kompleks, seperti irama musim ikan yang sulit
diprediksi, ketertinggalan teknologi penangkapan,

409
STRATEGI ADAPTASI NELAYAN DALAM MENGHADAPI PERUBAHAN EKOLOGIS DI
PANTAI CEMARA BANYUWANGI

kekurangan modal, tingkat pendidikan nelayan yang


rendah, dan sistem pemasaran hasil tangkapan yang
merugikan nelayan. Upaya untuk menangani masalah
kemiskinan nelayan Palang dapat dilakukan dengan cara
memberikan paket bantuan teknologi penangkapan yang
merata membuka peluang akses modal usaha pada
lembaga Kredit Usaha Rakyat Kecil (KURK), memperkuat
persatuan nelayan agar memiliki daya tawar dengan
pedagang ikan atau tengkulak, dan melakukan
diversifikasi usaha (Suyanto, 1996).

Kemiskinan nelayan dapat pula disebabkan oleh


keterbatasan pemilikan teknologi penangkapan, sistem
bagi hasil yang lebih menguntungkan pemilik perahu,
ketergantungan pemasaran pada tengkulak, dan tidak
berfungsinya Tempat Pelelangan Ikan (TPI). Untuk
mengatasi masalah-masalah tersebut dapat dilakukan
dengan membuka akses nelayan mem-peroleh pinjaman
modal usaha yang bisa digunakan membeli alat tangkap,
mengurangi ketergantungan kepada tengkulak, mem-
perbaiki sistem bagi hasil yang timpang, dan menjadikan
nelayan sebagai subjek pembangunan (Imron, 2003).

Studi lain juga memperkuat aspek penguasaan teknologi


sebagai determinan timbulnya kemiskinan pada
masyarakat nelayan di Sibolga, Sumatera Utara.
Kekuatan penguasaan teknologi ini telah berpengaruh
terhadap penentuan sistem bagi hasil dan relasi sosial

410
STRATEGI ADAPTASI NELAYAN DALAM MENGHADAPI PERUBAHAN EKOLOGIS DI
PANTAI CEMARA BANYUWANGI

ekonomi lainnya, yang kurang menguntungkan nelayan


(Sitorus, 2005).

Kajian lain tentang masyarakat nelayan di Desa


Pasongsongan dan Desa Prenduan, Kabupaten Sumenep,
Madura, menyimpulkan bahwa kemiskinan terjadi
sebagai akibat dari proses penurunan tingkat pendapatan
mereka dari waktu ke waktu yang disebabkan oleh
berbagai faktor yang saling berinteraksi, seperti masalah
degradasi lingkungan yang mengakibatkan merosotnya
kualitas dan kuantitas sumber daya perikanan, tekanan
penduduk yang terus meningkat terhadap sumber daya
perikanan, dan peluang berusaha yang terbatas di
lingkungan mereka. Faktor-faktor tersebut tidak
mendukung terhadap upaya nelayan meningkatkan
kesejahteraan sosialnya. Berbagai daya dan Upaya telah
dilakukan untuk mengatasi kemiskinan rumah tangga
nelayan, sedangkan hasil yang diperoleh tidak optimal,
sehingga mereka terus terjebak dalam kubangan
kemiskinan. Pada akhirnya keadaan miskin yang dialami
rumah tangga nelayan ditafsiri sebagai takdir dari Allah
SWT (Kusnadi, 2004).

Upaya mengatasi kemiskinan nelayan harus didasarkan


pemikiran kebijakan pembangunan yang sistematik,
kontekstual, dan berpijak pada kemampuan sumber daya
yang dimiliki oleh masyarakat nelayan. Rekomendasi
pemikiran ini dijabarkan sebagai berikut.

411
STRATEGI ADAPTASI NELAYAN DALAM MENGHADAPI PERUBAHAN EKOLOGIS DI
PANTAI CEMARA BANYUWANGI

Pertama, karena faktor-faktor yang menjadi penyebab ke.


miskinan masyarakat nelayan bersifat kompleks, tataran
kebijakan perlu dirancang model pengembangan kawasan
pesisir secara terpadu dan berkelanjutan yang melibatkan
lintas instansi/lembaga terkait, baik pemerintah maupun
swasta, berbasis masyarakat setempat, dan berdimensi
pada optimalisasi pengembangan potensi yang tersedia di
kawasan pesisir. Dengan demikian, persoalan masyarakat
pesisir bukan semata-mata menjadi tanggung jawab satu
instansi daerah, yakni Dinas Kelautan dan perikanan.

Kedua, dalam kaitannya dengan penentuan subjek


pemberdayaan dan pengentasan kemiskinan masyarakat
nelayan, maka kaum perempuan, yakni para isteri
nelayan, harus dipertimbangkan penempatan posisinya
sebagai pelaku utama (subjek) pemberdayaan masyarakat
nelayan. Hal ini didasarkan pada temuan fakta sosial di
lapangan bahwa kaum perempuan telah mengambil
peranan yang dominan dalam mengatur dan mengelola
potensi sosial ekonomi rumah tangga.

Ketiga, untuk mengoptimalkan peranan ekonomi kaum


perempuan perlu dikembangkan diversifikasi usaha
berbasis sumber daya pesisir dan perikanan laut dan
kegiatan ketrampilan (life skim lainnya, untuk menambah
pendapatan rumah tangganya. Keterampilan demikian
sangat penting dimanfaatkan ketika musim paceklik atau
masa terang bulan yang berdampak terhadap penurunan
pendapatan nelayan. Kegiatan pendidikan dan pelatihan

412
STRATEGI ADAPTASI NELAYAN DALAM MENGHADAPI PERUBAHAN EKOLOGIS DI
PANTAI CEMARA BANYUWANGI

sangat dibutuhkan untuk meningkatkan kualitas SDM


perempuan sehingga bisa mendukung program
diversifikasi usaha.

Keempat, nelayan merupakan subjek produksi perikanan


yang sangat menentukan dinamika sosial ekonomi desa-
desa pesisir. Kesulitan dan keterbatasan kemampuan
ekonomi telah menghambat mereka dalam kegiatan
produksi. Oleh sebab itu, perlu direncanakan program
bantuan perahu dan atau peralatan tangkap, fasilitas
pascatangkap, seperti cool box, khususnya untuk
nelayan-nelayan berskala kecil dan pengembangan budi
daya perairan, untuk ikan dan rumput laut, khususnya
bagi masyarakat nelayan di Prenduan. Dengan bantuan
demikian, diharapkan nelayan-nelayan buruh bisa
membentuk kelompok usaha bersama di bidang
penangkapan dan atau budi daya perairan, sehingga
memiliki kemandirian berusaha. Kelima, untuk
meningkatkan optimalisasi produktivitas dan kualitas
hasil tangkapan nelayan, khususnya di daerah
Pasongsongan, Pemerintah Kabupaten Sumenep
hendaknya membangun fasilitas/ sarana dan prasarana
ekonomi perikanan, serta akses modal dan teknologi,
seperti Pelabuhan Pendaratan Ikan (PPI) yang
representatif, cool storage, mendorong keberpihakan atau
dukungan perbankan terhadap pengembangan sektor
perikanan laut, dan sebagainya.

413
STRATEGI ADAPTASI NELAYAN DALAM MENGHADAPI PERUBAHAN EKOLOGIS DI
PANTAI CEMARA BANYUWANGI

Beberapa prinsip dasar yang patut dipertimbangkan


dalam menerapkan paradigma pembangunan wilayah
secara terpadu di kawasan pesisir adalah sebagai berikut:
(1) wilayah pesisir adalah suatu sistem sumber daya yang
unik (khas), yang memerlukan pendekatan atau
penanganan khusus dalam merencanakan dan mengelola
pembangunannya, (2) tata ruang daratan dan lautan
harus dikelola secara terpadu, (3) daerah perbatasan
antara laut dan darat hendaknya dijadikan fokus utama
(focal point) dalam setiap pengelolaan wilayah pesisir, (4)
fokus utama dari pengelolaan sumber daya di wilayah
pesisir adalah untuk mengkonservasi sumber daya milik
bersama (commons property resources) dan menjaga
keberlanjutannya, (5) semua tingkat pemerintahan dan
masyarakat dilibatkan dalam perencanaan dan
pengelolaan wilayah pesisir, (6) dilakukannya evaluasi
manfaat ekonomi dan sosial dari ekosistem pesisir, (7)
pengelolaan dan pemanfaatan multiguna sangat tepat dan
merupakan kunci keberhasilan dalam pengelolaan
sumber daya dan pembangunan wilayah pesisir secara
berkelanjutan, (8) pengelolaan sumber daya pesisir secara
tradisional (berbasis hak ulayat atau institusi lokal
lainnya) harus dihargai, dan (9) analisis dampak
lingkungan sangat penting untuk pengelolaan wilayah
pesisir secara efektif (Dahuri, 2001).

Kebijakan pembangunan wilayah pesisir dan lautan


secara terpadu dirumuskan dalam tiga kebijakan strategis

414
STRATEGI ADAPTASI NELAYAN DALAM MENGHADAPI PERUBAHAN EKOLOGIS DI
PANTAI CEMARA BANYUWANGI

yang terintegrasi, yakni kebijakan ekonomi, kebijakan


sumber daya alam dan Iingkungan, serta kebijakan
kelembagaan (NUgroho & Dahuri, 2004). Setiap kebijakan
strategis diperkuat dengan kebijakan-kebijakan spesifik
sesuai dengan isu yang relevan dan aktual sebagai
berikut. Pertama, kebijakan ekonomi, khususnya
ekonomi makro, secara menyeluruh ditujukan untuk
meningkatkan potensi dan hasil ekonomi sektor kelautan.
Kebijakan makroekonomi pada dasarnya terurai melalui
rangkaian insentif yang menciptakan peluang untuk
mendorong aktivitas ekonomi berbasis perikanan dan
kelautan dan ekonomi secara total. Kebijakan ekonomi
yang relevan antara lain kebijakan dalam peningkatan
investasi, penetapan harga, ketenagakerjaan, dan
peningkatan ekspor. Kedua, kebijakan sumber daya alam
dan lingkungan bertujuan membangun ekonomi pesisir
dan lautan secara optimal dan bekelanjutan sehingga
memberikan kemaslahatan sosial secara lestari. Peran
komponen sumber daya yang dapat diperbarui diperbaiki
dan ditingkatkan untuk memelihara daya dukung
ekosistem dari gangguan dan pemanfaatannya. Adapun
pemanfaatan komponen yang tidak dapat diperbarui
harus dilakukan dengan cermat agar tidak merusak
lingkungan sekitarnya. Isu-isu yang relevan antara lain
penataan ruang, peningkatan produktivitas kompilasi
sumber daya, dan pengendalian kerusakan. Ketiga,
kebijakan pembangunan kelembagaan bertujuan

415
STRATEGI ADAPTASI NELAYAN DALAM MENGHADAPI PERUBAHAN EKOLOGIS DI
PANTAI CEMARA BANYUWANGI

membangun mekanisme pengaturan alokasi sumber


daya, mengorganisasikan kepentingan, dan memberi
kepastian hukum beserta implementasi penegakannya.
Pembangunan kelembagaan tersebut dipastikan akan
menggairahkan aktivitas perekonomian, seperti yang
dtandai oleh kenaikan jumlah kontrak dan investasi, dan
makin besarnya kepercayaan terhadap birokrasi. Keadaan
demikian sangat kondusif bagi upaya-upaya pelestarian
ekosistem pesisir dan lautan. Isu-isu yang relevan dalam
pembangunan kelembagaan, antara lain pembentukan
komitmen, pembinaan masyarakat pesisir,
pengorganisasian pengelolaan wilayah pesisir dan lautan,
serta pembangunan sistem hukum dan penegakannya.

Berdasarkan uraian di atas, upaya-upaya untuk


mengatasi kemiskinan dan mengurangi jumlah penduduk
di wilayah pesisir merupakan salah satu tujuan yang akan
dicapai oleh kebijakan pembangunan wilayah pesisir dan
lautan secara terpadu. Paradigma pembangunan wilayah
dan dialektika pengelolaan sumber daya sosial budaya,
ekonomi, dan lingkungan menyediakan mekanisme
internal untuk meningkatkan kesejahteraan sosial dan
mengantisipasi tekanan-tekanan ekonomi yang akan
menimpa masyarakat pesisir.

Pada tahun 2011 lalu Pemerintah Banyuwangi bersama


dengan masyarakat sekitar melakukan kegiatan
penanaman bibit tanaman Cemara Udang (Casuarina
equisetifolia) sebanyak 19 ribu bibit di sepanjang pantai

416
STRATEGI ADAPTASI NELAYAN DALAM MENGHADAPI PERUBAHAN EKOLOGIS DI
PANTAI CEMARA BANYUWANGI

yang memiliki luas 10.2 hektar. Dan pada tahun 2017


masyarakat Sekitar secara mandiri kembali melakukan
penanaman bibit tanaman Cemara Udang sebanyak
seribu butir sehingga wilayah tersebut menjadi Kawasan
Konservasi Hutan Cemara dengan berbagai macam
tumbuhan bakau atau mangrove. Pemanfaatan mangrove
di Pantai Cemara sebagai wilayah ekowisata ditanamkan
pada masyarakat sekitar melalui beberapa langkah,
pertama adalah membuat suatu komunitas pelestarian
mangrove dan habitat sekitarnya agar dapat
dimanfaatkan dan menjadi nilai lebih baik dari segi
ekologis dan ekonomis.

Kelompok nelayan pantai Cemara secara sadar


membentuk Kelompok Usaha Bersama (KUB) Pantai Pakis
Rejo yang diketuai oleh Pak Muhyi. Struktur kelembagaan
dibentuk sesuai dengan kebutuhan kelompok dengan
tugas pokok dan fungsi (tupoksi) masing-masing.
Keberadaan kelompok terutama sebagai sarana
komunikasi nelayan. Tugas utama kelompok yakni
menjaga kelestarian flora dan fauna yang ada di Pantai
Cemara mengingat pantai Cemara merupakan salah satu
hutan kota.

Selain Pohon Cemara yang berjumlah ribuan, Pantai


Cemara merupakan salah satu pantai di Banyuwangi yang
menjadi tempat penyu mendarat untuk bertelur. Penyu
merupakan satwa yang dilindungi. Menurut IUCN Red List
of Threatened Species (Daftar Merah Spesies Yang

417
STRATEGI ADAPTASI NELAYAN DALAM MENGHADAPI PERUBAHAN EKOLOGIS DI
PANTAI CEMARA BANYUWANGI

Terancam Punah) sebanyak tujuh penyu di dunia.


Diantaranya adalah Penyu hijau (Chelonia mydas), Penyu
sisik (Eretmochelys imbricata), Penyu Kemp’s ridley
(Lepidochely skempi), Penyu lekang (Lepidochely
solivacea), Penyu belimbing (Dermochelys coriacea), Penyu
pipih (Natator depressus), dan Penyu tempayan (Caretta
caretta) (Soetijono, 2019). Di Pantai Cemara terdapat dua
spesies penyu yang terdapat, yaitu Penyu Hijau (Chelonia
mydas) dan Penyu Lekang (Lepidochely solivacea) Penyu
berperan penting dalam mengatur struktur habitat
mereka. Selain itu penyu dan telurnya juga dapat menjadi
sumber makanan bagi banyak spesies, bahkan penyu juga
dapat membantu penyebaran berbagai benih tanaman.

Jenis mangrove yang terdapat di Pantai Cemara ada 3


jenis, yaitu bakau (Rhizophora mucronata), perepat/
pidada putih/ bogem (Sonneratia alba), dan api-api
(Avicennia alba). Selanjutnya, terdapat asosiasi mangrove
sebanyak 3 jenis, yaitu Deruju/ Jeruju (Acanthus ilicifolius
L.), Keranji/ Dadap Laut (Clerodendron inerme, dan
Kambingan (Derris trifoliata).

Adapun strategi pengembangan untuk mengoptimalkan


kawasan wisata di Pantai Cemara, sebagai berikut :

a. Mengembangkan Kegiatan konservasi dan


rehabilitasi sebagai salah satu program wisata. Hal-
hal yang dapat dilakukan dengan berbagai aktivitas
yang ramah lingkungan secara berkelanjutan,

418
STRATEGI ADAPTASI NELAYAN DALAM MENGHADAPI PERUBAHAN EKOLOGIS DI
PANTAI CEMARA BANYUWANGI

seperti monitoring pasca penanaman mangrove,


menjaga kebersihan serta pemanduan terhadap
wisatawan yang datang.
b. Meningkatkan partisipasi dan pemberdaayan
masyarakat wisata. Konsep pengembangan
ekowisata salah satunya adalah bertujuan untuk
meningkatkan partisipasi masyarakat dalam
pengelolaan, sehingga dapat bermanfaat untuk
ekonomi masyarakat setempat. Adanya program-
program pemberdayaan masyarakat yang ada sudah
sepatutnya makin dikembangkan dan semakin
diaktifkan (Suleman, dkk, 2020). Selain itu, perlu
dikembangkan lagi partisipasi masyarakat untuk
menjadi pemandu wisata. Pengelolaan berbasis
masyarakat merupakan salah satu pendekatan
pengelolaan alam yang meletakkan pengetahuan dan
kesadaran lingkungan masyarakat lokal sebagai
dasar pengelolaannya.
c. Pengelolaan dan Pengaturan Ekowisata Pantai
Cemara dengan sistem yang berkelanjutan
(sustainable system)
d. Penguatan Konsep Ecotourism. Konsep ecotourism
yang sesuai akan meminimalkan dampak negatif
terhadap kerusakan lingkungan. Konsep ekowisata
berorientasi pada keseimbangan antara wisata
dengan kepentingan perlindungan
sumberdaya/lingkungan (konservasi) dengan

419
STRATEGI ADAPTASI NELAYAN DALAM MENGHADAPI PERUBAHAN EKOLOGIS DI
PANTAI CEMARA BANYUWANGI

menggunakan sumberdaya dan mengikutsertakan


masyarakat lokal.

PENUTUP

Berbagai kerusakan ekosistem pesisir menandakan telah


terjadi perubahan ekologis. Perubahan tersebut
menyebabkan terganggunya aktivitas masyarakat pesisir
yang menggantungkan kehidupannya kepada
sumberdaya pesisir, baik secara ekonomi maupun
spasial. Dampak sosial-ekonomi yang ditimbulkan oleh
perubahan ekologis antara lain hilangnya/berkurangnya
substrat yang menjadi sumber pakan, rusaknya habitat
terbiak, tempat mengasuh dan membesarkan anak ikan,
serta rusaknya tempat perlindungan bagi biota laut di
kawasan tersebut dan sekitarnya. Hal lain adalah
penurunan keragaman jenis tangkapan nelayan secara
signifikan, berkurangnya stok ikan karang yang kemudian
akan mempengaruhi kondisi ekonomi sekitar 30 juta
nelayan di dunia yang bergantung pada ketersediaan
ikan-ikan karang dan sulitnya menentukan wilayah
tangkapan ikan sebagai akibat dari perubahan pola
migrasi ikan karena kerusakan terumbu karang.

Kesimpulan

Pantai Cemara Banyuwangi merupakan wilayah pesisir


yang terdampak secara langsung akan terjadinya
perubahan ekologis. Penurunan hasil tangkapan ikan dan
semakin sedikit keanekaragaman jenis hasil laut

420
STRATEGI ADAPTASI NELAYAN DALAM MENGHADAPI PERUBAHAN EKOLOGIS DI
PANTAI CEMARA BANYUWANGI

menandakan terjadinya perubahan ekologis secara


signifikan. Strategi adaptasi yang dilakukan kelompok
nelayan Pantai cemara kabupaten banyuwangi adalah
diversifikasi, yang merupakan perluasan alternatif pilihan
mata pencaharian yang dilakukan nelayan, baik di bidang
perikanan maupun non perikanan. Diversifikasi
merupakan strategi adaptasi yang umum dilakukan di
banyak komunitas nelayan, dan sifatnya masih
tradisional. Strategi adaptasi ini dicirikan oleh bentuk-
bentuk respon penyesuaian yang sifatnya masih
individual atau dilakukan oleh unit rumah tangga
nelayan. Strategi adaptasi di kalangan nelayan untuk
melakukan investasi pada teknologi penangkapan,
sehingga hasil tangkapannya diharapkan menjadi lebih
banyak. Melalui intensifikasi kegiatan penangkapan dapat
dilakukan pada daerah tangkapan yang jauh dari tempat
pemukiman, bahkan mungkin memerlukan waktu
penangkapan lebih dari satu hari (one day fishing).

Saran

Jaringan sosial merupakan seperangkat hubungan


khusus atau spesifik yang terbentuk di antara
sekelompok orang. Karakteristik hubungan tersebut
dapat digunakan sebagai alat untuk menginterpretasi
motif-motif perilaku sosial dari orang-orang yang terlibat
didalamnya.

421
STRATEGI ADAPTASI NELAYAN DALAM MENGHADAPI PERUBAHAN EKOLOGIS DI
PANTAI CEMARA BANYUWANGI

Strategi jaringan sosial (bentuk dan corak) yang umum


dikembangkan pada komunitas nelayan ditujukan untuk
memenuhi kebutuhan dibidang kenelayanan (misalnya
penguasaan sumberdaya, permodalan, memperoleh
keterampilan, pemasaran hasil, maupun untuk
pemenuhan kebutuhan pokok)

DAFTAR PUSTAKA

Dahuri R. (2000). Pendayagunaan Sumberdaya Kelautan


untuk Kesejahteraan Rakyat (Kumpulan Pemikiran
Rokhmin Dahuri). Jakarta [ID]: Lembaga Informasi dan
Studi Pembangunan Indonesia (LIPSI).
Dahuri, R. (2001), Pengelolaan Sumberdaya Pesisir Secara
Terpadu. Jakarta: Pradnya Paramita.
Dahuri, R., Rais, J., Ginting, S. P, & Sitepu, M. J. (1996).
Pengelolaan Sumber Daya Wilayah Pesisir Dan Lautan
Secara Terpadu. Jakarta: PT. Pradnya Paramitha.
Dharmawan, A. H. (2007),. “Dinamika Sosio-Ekologi
Pedesaan: Perspektif Dan Pertautan Keilmuan Ekologi
Manusia, Sosiologi Lingkungan Dan Ekologi Politik.”
Sodality: Jurnal Sosiologi Pedesaan (2007).
http://journal.ipb.ac.id/index.php/sodality/article/v
iew/5939.
Hendiarti, N., Siegelb, H., & Thomas, O. (2004).
“Investigation of Different Coastal Processes in
Indonesian Waters Using SeaWiFS Data.” Deep Sea
Research Part II: Topical Studies in Oceanography 51,
no. 1–3: 85–97.
https://www.sciencedirect.com/science/article/abs/
pii/S0967064504000074.
Himelda, E. S. W., Purbayanto, A, & Mustaruddin (2012).
“Seleksi Jenis Alat Tangkap Dan Teknologi Yang Tepat
Dalam Pemanfaatan Sumberdaya Lemuru Di Selat
Bali.” Buletin Psp 20, no. 1:: 89–102.

422
STRATEGI ADAPTASI NELAYAN DALAM MENGHADAPI PERUBAHAN EKOLOGIS DI
PANTAI CEMARA BANYUWANGI

Imron, M. (2003), “Kemiskinan Dalam Masyarakat


Nelayan.” Jurnal Masyarakat dan Budaya 5, no. 1.
Keraf, S. (2010), Etika Lingkungan Hidup. Jakarta: PT
Kompas Media Nusantara, 2010.
[KLH] Kementerian Negara Lingkungan Hidup. (2002).
Laporan Status Lingkungan Hidup Indonesia. Jakarta
KLH. (2009), Laporan Status Lingkungan Hidup Indonesia.
Jakarta,
Kusnadi (2004), Mengatasi Kemiskinan Nelayan Jawa
Timur: Pendekatan Terintegrasi Bagaimanakah Harus
Memulai ? Polemik Kemiskinan Nelayan. Yogyakarta:
Pembaruan.
Kusnadi. (2000) . Nelayan: Strategi Adaptasi dan Jaringan
Sosial. Bandung [ID]: Humaniora Utama Press.
Mulyadi. (2007), Ekonomi Kelautan. Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada.
Nugroho, I. & Dahuri, R. (2004), Pembangunan Wilayah:
Perspektif Ekonomi, Sosial, Dan Lingkungan. Jakarta:
LP3ES.
Satria, A. (2007), Ekologi Politik. Dalam Adiwibowo S (ed.).
Ekologi Manusia. Bogor [ID]: Fakultas Ekologi
Manusia IPB.
Satria, A. (2009), Globalisasi Perikanan: Reposisi
Indonesia. Bogor: IPB Press.
Sitorus, H. (2005), Menelusuri Kausa Ketertinggalan
Masyarakat Pantai: Kemiskinan Nelayan Tradisional
Sibolga, Provinsi Sumatera Utara. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar..
Soetijono, I. K., (2005), “Aspek Hukum Upaya Pelestarian
Penyu Di Pantai Sukamade Taman Nasional Meru
Betiri Jawa Timur.” Universitas Gadjah Mada
Yogyakarta.. https://repository.ugm.ac.id/67781/.
Setijono, I. K., (2019), “Implementasi Perjanjian
Internasional Terhadap Upaya Pelestarian Penyu Di
Indonesia” 17, no. 1: 147–161.

423
STRATEGI ADAPTASI NELAYAN DALAM MENGHADAPI PERUBAHAN EKOLOGIS DI
PANTAI CEMARA BANYUWANGI

Suleman, A. R., Revida, E., Kurniawan, I., Soetijono,


Siregar, R. T., Syofyan, Hasibuan, A. F. H., Silitonga,
H. P, Rahmadana, M. F. Silalahi, M., & Syafii., A.
(2020), BUMDES Menuju Optimalisasi Ekonomi Desa.
Medan.
Suyanto, B. (1996), Kemiskinan Dan Kebijakan
Pembangunan : Kajian Ringkas Tentang Pembangunan
Manusia Indonesia. Yogyakarta: Aditya Media.
Widaningsih, A. (2014), “Pengaruh Pola Adaptasi Terhadap
Kesejahteraan Masyarakat Nelayan Di Desa Ujung
Alang, Kecamatan Kampung Laut, Kabupaten
Cilacap.” IPB.

424
11
Model Kebijakan Penanggulangan
Bencana Banjir Akibat Reklamasi
di Kota Palembang

Gangga Santi Dewi, Bambang Eko Turisno,


Amiek Soemarmi
Fakultas Hukum Universitas Diponegoro
ganggasanti@gmail.com

Abstrak

Pelaksanaan reklamasi apabila tidak dilakukan secara


benar berdampak negatif bagi lingkungan. Dampak
negatif tersebut meliputi dampak fisik seperti halnya
peningkatan kekeruhan air, pencemaran laut,
peningkatan potensi banjir dan genangan di wilayah
pesisir, rusaknya habitat laut dan ekosistemnya. Pada
kebijakan reklamasi pantai di Indonesia seharusnya
pemerintah selaku pembuat kebijakan dapat benar-benar
memikirkan dampak negatif reklamasi pantai berupa
bencana yang dirasakan masyarakat sekitar pantai.
Kerusakan lingkungan pesisir dan lautan disebabkan
pembangunan pada lahan reklamasi pantai tidak
mengikuti prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan
(sustainable development). Penelitian dengan pendekatan

425
MODEL KEBIJAKAN PENANGGULANGAN BENCANA BANJIR AKIBAT REKLAMASI DI
KOTA PALEMBANG

socio legal menggunakan data primer dan data sekunder.


Data primer dikumpulkan melalui observasi di kawasan
reklamasi pantai yang mengalami kerusakan baik
ekosistem sumber daya alam maupun lahan pertanahan
di pesisir pantai juga wawancara mendalam dengan
responden. Data sekunder diperoleh melalui mengkaji
kebijakan dan kebiasaan masyarakat setempat sebagai
kearifan lokal menjaga kelestarian lingkungan. Dalam
rangka mengatasi bencana akibat reklamasi pantai, maka
perlu dirumuskan suatu kebijakan untuk menanggulani
bencana akibat reklamasi pantai dengan
mengintegrasikan setiap kepentingan antar sektor
ekologis dan sosial meliputi perbaikan seperangkat
kebijakan yang bersifat teknis dan bersifat pengaturan.
Penelitian merupakan keniscayaan untuk
penanggulangan bencana banjir.

Kata Kunci: kebijakan, penanggulangan, bencana,


banjir, reklamasi

PENDAHULUAN

Latar belakang

Pada era globalisasi ini kebutuhan tanah semakin


bertambah baik untuk keperluan tempat tinggal maupun
untuk keperluan tempat kegiatan usaha. Persediaan
lahan pertanahan semakin sempit bahkan semakin
berkurang dengan bertambahnya penduduk. Banyaknya

426
MODEL KEBIJAKAN PENANGGULANGAN BENCANA BANJIR AKIBAT REKLAMASI DI
KOTA PALEMBANG

permintaan area lahan pertanahan tersebut mendorong


pemerintah memenuhi kebutuhan tanah dengan salah
satu alternatif yakni mengubah wilayah pantai menjadi
daratan baru yang dikenal dengan kegiatan reklamasi
pantai. Pengembangan kawasan baru dengan
mereklamasi pantai banyak dilakukan di sejumlah kota
besar di Indonesia yang laju pertumbuhan penduduk dan
bidang usaha banyak membutuhkan lahannya yang
begitu pesat, begitupula dengan Kota Palembang.

Tanah Reklamasi merupakan tanah negara yang diatur


dalam Surat Edaran Menteri Negara Agraria/ Kepala
Badan Pertanahan Nasional No:410 -1293 tentang
Penertiban Status Tanah Timbul dan Tanah Reklamasi.
Reklamasi pantai merupakan usaha untuk
memanfaatkan suatu kawasan atau lahan pertanahan
yang tidak berguna dan berair untuk dijadikan lahan yang
berguna dengan cara dikeringkan atau ditimbun. Tempat
yang biasa menjadi kawasan reklamasi pantai adalah
pantai dan atau pesisir dan lepas pantai.

Pada Pasal 34 Undang-Undang No. 27 tahun 2007 tentang


Pengelolaan Wilayah Pesisir menjelaskan bahwa
Reklamasi hanya dapat dilaksanakan jika manfaat sosial
dan ekonomi yang diperoleh lebih besar dari biaya sosial
dan biaya ekonominya. Namun demikian, pelaksanaan
reklamasi juga wajib menjaga dan memperhatikan
beberapa hal: (a) keberlanjutan antara kepentingan
pemanfaatan dan penghidupan masyarakat, (b)

427
MODEL KEBIJAKAN PENANGGULANGAN BENCANA BANJIR AKIBAT REKLAMASI DI
KOTA PALEMBANG

keseimbangan antara pemanfaatan dan kepentingan


pelestarian lingkungan pesisir dan pulau-pulau kecil, (c)
persyaratan teknis pengambilan, pengerukan, dan
penimbunan materil.

Dampak positif reklamasi adalah terjadinya peningkatan


kualitas dan nilai ekonomi kawasan pesisir, mengurangi
tanah yang kurang produktif, perlindungan dari erosi,
peningkatan kondisi habitat perairan, penyerapan tenaga
kerja dan lain-lain. Sedangkan dampak negatif dari
reklamasi pada meliputi dampak fisik seperti halnya
peningkatan kekeruhan air, pencemaran laut,
peningkatan potensi banjir dan genangan di wilayah
pesisir, rusaknya habitat laut dan ekosistemnya. Selain
itu, reklamasi juga akan berdampak negatif pada
perubahan sosial ekonomi seperti kesulitan akses publik
ke pantai dan berkurangnya mata pencaharian (Huda,
2013).

Suatu kebijakan seharusnya dapat bermanfaat bagi


semua pihak bukan hanya memuaskan pemerintah
selaku pembuat kebijakan saja namun kebijakan tersebut
bermanfaat bagi masyarakat banyak. Pelaksanaan
kebijakan reklamasi harus memperhatikan kerusakan
tanah, ekosistem laut dan lingkungan di sekitar pantai,
sehingga dampak negatif dari kebijakan reklamasi yaitu
bencana banjir dapat diminimalisisir dan tidak mengalami
kerusakan tanah seputar pantai/ pesisir, ekosisitem laut
dan lingkungan.

428
MODEL KEBIJAKAN PENANGGULANGAN BENCANA BANJIR AKIBAT REKLAMASI DI
KOTA PALEMBANG

Pada kebijakan reklamasi pantai di Indonesia seharusnya


pemerintah selaku pembuat kebijakan dapat benar-benar
memikirkan dampak yang dirasakan masyarakat sekitar
pantai dari kebijakan reklamasi tersebut sehingga
kebijakan tersebut tidak mengakibatkan bencana bagi
masyarakat sekitarnya. Penelitian sangat penting dan
merupakan keniscayaan untuk membuat model kebijakan
penanggulangan bencana banjir akibat reklamasi di Kota
Palembang.

Permasalahan pada penelitian ini adalah bagaimanakah


realitas bencana banjir akibat reklamasi di Kota
Palembang dan model kebijakan penanggulangan
bencana banjir di Kota Palembang. Kontribusi praktis
terkait dengan kemanfaatan secara praktis dan pragmatis
dalam penyusunan kebutuhan pembangunan baik secara
strategis maupun praktis baik oleh institusi maupun
personal yang mempunyai kewenangan kekuasaan yaitu
pemerintah daerah Kota Palembang.

Metode Penelitian

Penelitian dilakukan dengan metode Socio Legal dengan


pendekatan kualitatif yang diharapkan dapat ditemukan
makna-makna yang tersembunyi dibalik obyek maupun
subyek yang akan diteliti. Pendekatan ini tetap dalam
ranah hukum, hanya perspektifnya berbeda. Pada
penelitian ini melihat fakta realitas bencana banjir dan
kebijakan penanggulangan bencana banjir akibat

429
MODEL KEBIJAKAN PENANGGULANGAN BENCANA BANJIR AKIBAT REKLAMASI DI
KOTA PALEMBANG

reklamasi di Kota Palembang. Data dalam penelitian ini


diperoleh melalui kegiatan-kegiatan observasi, interview,
interpretasi dokumen (teks), serta personal experience.
Peneliti adalah instrumen utama karena peneliti sendiri
langsung melakukan observasi partisipatif dalam
pengumpulan data”. Indepth interview dilakukan dengan
pertanyaan-pertanyaan terbuka (open ended) terutama
untuk informan yang memiliki banyak informasi.

TINJAUAN PUSTAKA

Tinjauan tentang Kebijakan

Pada ilmu hukum istilah kebijakan adalah dasar atau


garis sikap atau pedoman untuk pelaksanaan dan
pengambilan keputusan (Atmosudirjo, 1994). Kebijakan
dalam arti policy tidak bersangkut paut dengan suatu
kewenangan bebas-tidaknya perbuatan yang dilakukan
oleh pejabat pemerintah, atau tidak diaturnya perbuatan-
pejabat pemerintah dalam undang-undang, melainkan
bersangkut paut dengan sikap dan perbuatan pemerintah
untuk kepentingan umum. Oleh karena itu berdasarkan
Hukum Administrasi Negara kebijakan dalam arti policy
tidak boleh dirancukan dengan kebijakan sebagai asas
pijakan Freies Ermessen (Istislam, 2002).

Berbicara mengenai kebijakan (hukum) sebagai suatu


sistem yang bekerja dalam masyarakat, Lawrence M.
Friedman (Istislam, 2002) mengemukakan adanya
komponen-komponen yang terkandung dalam hukum,

430
MODEL KEBIJAKAN PENANGGULANGAN BENCANA BANJIR AKIBAT REKLAMASI DI
KOTA PALEMBANG

yakni komponen struktur adalah bagian-bagian yang


bergerak dalam suatu mekanisme, misalnya dalam
menerapkan kebijakan terkait reklamasi. Komponen
substansi merupakan hasil aktual yang diterbitkan oleh
sistem hukum dan meliputi pula kaidah-kaidah hukum
yang tidak tertulis. Sedangkan komponen kultur adalah
nilai dan sikap yang mengikat sistem hukum itu secara
bersama dan menghasilkan suatu bentuk
penyelenggaraan hukum dalam budaya masyarakat
secara keseluruhan.

Ketiga komponen tersebut saling menentukan satu sama


lainnya, demikian juga saling berpengaruh satu sama
lainnya. Analisis melalui pendekatan sistem mengkaji
bahwa meskipun komponen substansi hukum sudah baik
outputnya, akan tetapi tidak akan berjalan baik jika tidak
didukung oleh komponen atau subsistem lainnya, dalam
hal ini ialah komponen struktural dan budaya atau kultur
hukum. Oleh karena itu dalam membuat suatu kebijakan
harus sejalan dengan tujuan hukum yang dapat
memberikan kepastian, kemanfaatan, dan keadilan bagi
masyarakat.

Tinjauan Bencana Banjir

Konsep Bencana

Menurut Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007,


bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang
mengancam dan mengganggu kehidupan dan

431
MODEL KEBIJAKAN PENANGGULANGAN BENCANA BANJIR AKIBAT REKLAMASI DI
KOTA PALEMBANG

penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh


faktor alam atau faktor non alam maupun faktor manusia
sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia,
kerusakan lingkungan, kerugian harta benda dan dampak
psikologis. Sedangkan pengertian bencana pada
Keputusan Menteri Nomor 17/kep/Menko/Kesra/x/95
adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang
disebabkan oleh alam, manusia, dan atau keduanya yang
mengakibatkan korban dan penderitaan manusia,
kerugian harta benda, kerusakan lingkungan, kerusakan
sarana prasarana dan fasilitas umum serta menimbulkan
gangguan terhadap tata kehidupan dan penghidupan
masyarakat. Demikian bencana adalah peristiwa yang
menyebabkan kerusakan berupa sarana prasana maupun
struktur sosial yang sifatnya mengganggu kelangsungan
hidup masyarakat yang mengakibatkan korban jiwa
manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda,
dan dampak psikologis.

Jenis-jenis bencana menurut Undang-Undang Nomor 24


Tahun 2007 tentang penanggulangan bencana, yaitu: (a)
Bencana alam adalah bencana yang diakibatkan oleh
peristiwa atau serangkaian peristiwa yang disebabkan
oleh alam antara lain berupa gempa bumi, tsunami,
gunung meletus, banjir, kekeringan, angin topan, dan
tanah longsor; (b) Bencana non alam adalah bencana yang
diakibatkan oleh peristiwa atau rangkaian peristiwa non
alam antara lain berupa gagal teknologi, gagal

432
MODEL KEBIJAKAN PENANGGULANGAN BENCANA BANJIR AKIBAT REKLAMASI DI
KOTA PALEMBANG

modernisasi. dan wabah penyakit; (c) Bencana sosial


adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau
rangkaian peristiwa yang disebabkan oleh manusia yang
meliputi konflik sosial antar kelompok atau antar
komunitas masyarakat. Kegagalan Teknologi adalah
semua kejadian bencana yang diakibatkan oleh kesalahan
desain, pengoprasian, kelalaian dan kesengajaan,
manusia dalam penggunaan teknologi dan atau industri
yang menyebabkan pencemaran, kerusakan bangunan,
korban jiwa, dan kerusakan lainnya.

Ancaman bencana menurut Undang-undang Nomor 24


tahun 2007 adalah suatu kejadian atau peristiwa yang
bisa menimbulkan bencana. Kerentanan terhadap
dampak atau risiko bencana adalah kondisi atau
karateristik biologis, geografis, sosial, ekonomi, politik,
budaya dan teknologi suatu masyarakat di suatu wilayah
untuk jangka waktu tertentu yang mengurangi
kemampuan masyarakat untuk mencegah, meredam,
mencapai kesiapan, dan menanggapi dampak bahaya
tertentu.

Tujuan manajemen bencana secara umum adalah sebagai


berikut: (1) Mencegah dan membatasi jumlah korban
manusia serta kerusakan harta benda dan lingkungan
hidup; (2) Menghilangkan kesengsaraan dan kesulitan
dalam kehidupan dan penghidupan korban; (3)
Mengembalikan korban bencana dari daerah
penampungan/ pengungsian ke daerah asal bila

433
MODEL KEBIJAKAN PENANGGULANGAN BENCANA BANJIR AKIBAT REKLAMASI DI
KOTA PALEMBANG

memungkinkan atau merelokasi ke daerah baru yang


layak huni dan aman; (4) Mengembalikan fungsi fasilitas
umum utama, seperti komunikasi/ transportasi, air
minum, listrik, dan telepon, termasuk mengembalikan
kehidupan ekonomi dan sosial daerah yang terkena
bencana; (5) Mengurangi kerusakan dan kerugian lebih
lanjut; (6) Meletakkan dasar-dasar yang diperlukan guna
pelaksanaan kegiatan rehabilitasi dan rekonstruksi dalam
konteks pembangunan.

Konsep Banjir

Banjir didefinisikan sebagai ancaman alam yang paling


sering terjadi dan paling banyak merugikan, baik dari segi
kemanusiaan maupun ekonomi. Banjir merupakan
peristiwa dimana daratan yang biasanya kering (bukan
daerah rawa) menjadi tergenang oleh air, hal ini
disebabkan oleh curah hujan yang tinggi dan kondisi
topografi wilayah berupa dataran rendah hingga cekung.
Selain itu terjadinya banjir juga dapat disebabkan oleh
limpasan air permukaan (runoff) yang meluap dan
volumenya melebihi kapasitas pengaliran sistem drainase
atau sistem aliran sungai. Terjadinya bencana banjir juga
disebabkan oleh rendahnya kemampuan infiltrasi tanah,
sehingga menyebabkan tanah tidak mampu lagi menyerap
air.

434
MODEL KEBIJAKAN PENANGGULANGAN BENCANA BANJIR AKIBAT REKLAMASI DI
KOTA PALEMBANG

Menurut Pedoman Pusat Kritis Kesehatan Kementerian


Kesehatan (2013), banjir dibedakan menjadi lima tipe
sebagai berikut:

a. Banjir Bandang yaitu banjir yang sangat berbahaya


karena bisa mengangkut apa saja. Banjir ini cukup
memberikan dampak kerusakan cukup parah.
Banjir bandang biasanya terjadi akibat gundulnya
hutan dan rentan terjadi di daerah pegunungan.
b. Banjir Air merupakan jenis banjir yang sangat
umum terjadi, biasanya banjir ini terjadi akibat
meluapnya air sungai, danau atau selokan. Karena
intensitas banyak sehingga air tidak tertamoung dan
meluap itulah banjir air.
c. Banjir Lumpur merupakan banjir yang mirip dengan
banjir bandang tapi banjir lumpur yaitu banjir yang
keluar dari dalam bumi yang sampai ke daratan.
banjir lumpur mengandung bahan yang berbahaya
dan bahan gas yang mempengaruhi kesehatan
makluk hidup lainnya.
d. Banjir Rob (Banjir Laut Air Pasang) yaitu banjir yang
terjadi akibat air laut. Biasanya banjir ini menerjang
kawasan di wilayah sekitar pesisir pantai.
e. Banjir Cileunang mempunyai kemiripan dengan
banjir air, tapi banjir cileunang terjadi akibat deras
hujan sehingga tidak tertampung.

435
MODEL KEBIJAKAN PENANGGULANGAN BENCANA BANJIR AKIBAT REKLAMASI DI
KOTA PALEMBANG

Tinjauan Reklamasi

Istilah reklamasi dalam Inggris reclamation yang berasal


dari kata kerja reclaim yang berarti mengambil kembali,
dengan penekanan pada kata “kembali”, to reclaim yang
artinya memperbaiki sesuatu yang rusak (Hasni, 2010).

Berdasarkan Pedoman Pengembangan Reklamasi Pantai


dan Perencanaan Bangunan Pengamanannya, reklamasi
pantai adalah meningkatkan sumber daya lahan dari yang
kurang bermanfaat menjadi lebih bermanfaat ditinjau dari
sudut lingkungan, kebutuhan masyarakat dan nilai
ekonomis. Sedangkan menurut Pasal 1 ayat 23 Undang-
Undang No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah
Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, reklamasi adalah kegiatan
yang dilakukan oleh orang dalam rangka meningkatkan
manfaat sumber daya lahan ditinjau dari sudut
lingkungan dan sosial ekonomi dengan cara pengurugan,
pengeringan lahan atau drainase.

Berdasarkan definisi di atas, maka reklamasi sebagai


suatu kegiatan penimbunan dengan memasukkan
sejumlah material terhadap kawasan yang secara terus-
menerus tergenang air dengan tujuan untuk
mendapatkan lahan kering yang diatasnya dapat
didirikan bangunan sebagai usaha bersama untuk
kepentingan umum.

Tujuan diadakan reklamasi adalah untuk menjadikan


kawasan berair yang rusak atau belum termanfaatkan

436
MODEL KEBIJAKAN PENANGGULANGAN BENCANA BANJIR AKIBAT REKLAMASI DI
KOTA PALEMBANG

menjadi suatu kawasan baru yang lebih baik dan


bermanfaat. Kawasan daratan baru tersebut dapat
dimanfaatkan untuk kawasan permukiman,
perindustrian, bisnis dan pertokoan, pelabuhan udara,
perkotaan, pertanian, jalur transportasi alternatif,
reservoir air tawar di pinggir jalan, kawasan pengelolaan
limbah dan lingkungan terpadu, dan sebagai tanggul
perlindungan daratan lama dari ancaman abrasi serta
untuk menjadi suatu kawasan wisata terpadu.1

Dampak positif pelaksanaan reklamasi adalah dapat


membantu negara/kota dalam rangka penyediaan lahan
untuk berbagai keperluan (pemekaran kota), penataan
daerah pantai, pengembangan wisata dan usaha
masyarakat sekitar khususnya nelayan. Sedangkan
dampak negatif akibat kegiatan reklamasi yakni dapat
mengakibatkan bencana banjir dan mengganggu
keseimbangan ekosistem. Perubahan ekosistem seperti
perubahan pola arus, erosi dan sedimentasi pantai
berpotensi meningkatkan bahaya banjir, dan berpotensi
gangguan lingkungan di daerah lain (seperti pengeprasan
bukit atau pengeprasan pulau untuk material timbunan)2.
Oleh karena itu diperlukan kajian mendalam terhadap
penanggulangan bencana banjir akibat reklamasi di Kota

1 https://www.slideshare.net/infosanitasi/pedoman-perencanaan-tata-ruang-
kawasanreklamasi- pantai-10462360.
2 Modul Terapan Perencanaan Tata Ruang Wilayah Reklamasi Pantai RI, 2017,
hlm. 11.

437
MODEL KEBIJAKAN PENANGGULANGAN BENCANA BANJIR AKIBAT REKLAMASI DI
KOTA PALEMBANG

Palembang dengan melibatkan pihak yang


berkepentingan dan berkompeten dengan interdisiplin
ilmu yang komprehensif.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Gambaran Umum Kota Palembang

Kota Palembang merupakan ibukota Provinsi Sumatera


Selatan dengan luas wilayah 40.061 Ha. Secara geografis,
posisi Kota Palembang terletak antara 20 52’ sampai 30 5’
Lintang Selatan dan 1040 37’ sampai 1040 52’ Bujur
Timur. Keadaan topografi Kota Palembang merupakan
dataran rendah dengan ketinggian rata-rata + 4 – 12 meter
di atas permukaan laut dengan perbedaan karakter
topografi antara Seberang Ulu dan Seberang Ilir. Kota
Palembang adalah kota air karena terdapat Sungai Musi
yang panjangnya sekitar 750 kilometer, yang berfungsi
sebagai sarana transportasi dan perdagangan antar
wilayah di Sumatera Selatan.

Kota Palembang dahulu mempunyai ratusan anak Sungai


Musi. Pada tahun 1930-an Kota Palembang memiliki 316
anak sungai. Pemerintah kolonial Belanda hanya
menimbun satu anak sungai yakni Sungai Kapuran yang
dijadikan jalan yang kini dikenal sebagai Jalan Merdeka.
Dari puluhan anak Sungai Musi ini, hanya Sungai
Bendung terletak Ilir Timur II yang sekarang dalam
kondisi agak lebih baik, dibandingkan anak-anak Sungai
Musi yang kondisi sangat memprihatinkan yakni Sungai

438
MODEL KEBIJAKAN PENANGGULANGAN BENCANA BANJIR AKIBAT REKLAMASI DI
KOTA PALEMBANG

Rengas berada di Ilir Timur II sepanjang 200 meter, lebar


tiga sampai lima meter dan kedalaman satu sampai tiga
meter. Anak Sungai Musi paling banyak bertahan ada di
Kecamatan Seberang Ulu 1 sebanyak 22, disusul
Kecamatan Gandus dengan 16, Ilir Barat satu dan Ilir
Barat II dengan sembilan anak sungai.

Kota Palembang sebagian terdiri dari daerah rawa yang


rentan terhadap bencana banjir terutama ketika musim
hujan datang. Dalam temuan di kota Palembang banyak
terjadi reklamasi rawa, sungai dan pantai untuk
kepentingan bisnis, permukiman dan kepentingan lainnya
masih lebih dominan dibandingkan dengan pendekatan
pembangunan yang partisiatif berwawasan perlindungan
lingkungan sumber daya alam dan sosial seperti
diamanatkan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.

Realitas Bencana Banjir di Kota Palembang

Reklamasi Kampung Tua

Reklamasi Kampung Tua di Kota Palembang dilakukan


dengan pembangunan di tepian Sungai Musi yaitu
pembangunan lima jembatan yang menghubungkan
Palembang Ilir dan Palembang Ulu, menyebabkan
sejumlah kampung tua hilang. Jembatan baru menggusur
perkampungan tepian Sungai Musi, yakni Jembatan Musi
II, Jembatan Musi III, IV dan Jembatan Musi V, VI.

439
MODEL KEBIJAKAN PENANGGULANGAN BENCANA BANJIR AKIBAT REKLAMASI DI
KOTA PALEMBANG

Pemerintah Provinsi Sumatera Selatan menjadikan


sejumlah kampung tua sebagai objek wisata, sementara
Pemerintah Kota Palembang melakukan normalisasi dan
restorasi ratusan anak Sungai Musi yang berada di
perkampungan tua.

Pada musim penghujan saat rawa pasang surut dan


Sungai Musi menerima air hujan yang besar, daerah ini
terjadi banjir besar dan genangan air yang tinggi antara 5-
10 meter karena air yang tidak bisa mengalir.

Reklamasi Pelabuhan Tanjung Carat

Gubernur Sumatera Selatan telah melaksanakan


pembangunan kawasan reklamasi Tanjung Api-Api untuk
menjadi Kawasan Ekonomi Khusus Tanjung Api-Api (KEK
TAA). Pada tahun 2016 kawasan Tanjung Api-Api
dilakukan reklamasi untuk membuat pelabuhan di
Tanjung Carat. Pembangunan pelabuhan internasional
Tanjung Carat diselenggarakan dengan mereklamasi
pantai hingga laut dalam yang berbentuk pulau segitiga
seluas 2,2 ribu hektar. Penetapan Tanjung Carat sebagai
induk pelabuhan sesuai Keputusan Menteri Perhubungan
Nomor KP 897/2016 tentang Rencana Induk Pelabuhan
Tanjung Api-Api Sumatra Selatan.Reklamasi
dilaksanakan berdasarkan Surat Pertimbangan Teknis
Distrik Navigasi nomor PR.808/1/20/DNG.PLG-2017
tentang Pertimbangan Teknis Kegiatan Reklamasi
Tanjung Carat.

440
MODEL KEBIJAKAN PENANGGULANGAN BENCANA BANJIR AKIBAT REKLAMASI DI
KOTA PALEMBANG

Reklamasi Tanjung Carat yang terletak di Tanjung Api-Api


berimbas tergusurnya masyarakat nelayan karena
terdapat sekitar 50 rumah warga yang berdiri di perairan
Tanjung Carat. Salah satu dampak negatif reklamasi ini,
naiknya air laut yang menyebabkan banjir pada daratan.
Akibatnya, mengganggu habitat tanaman sekitar, serta
sumur masyarakat yang sebelumnya payau menjadi asin.
Pada saat penimbunan reklamasi, air laut yang
terperangkap mencemari air tanah di pesisir. Bertambah
panjangnya lintasan air atau penurunan gradien hidraulik
aliran air menurunkan kapasitas drainase dan berakibat
banjir di kawasan daratan.

Kawasan reklamasi Tanjung Api-Api adalah muara akhir


dari Daerah Aliran Sungai (DAS) Musi yang berhadapan
langsung dengan wilayah laut, memiliki fungsi lingkungan
sebagai penyalur limpasan air dari daratan menuju laut.
Muara merupakan sumberdaya alam, tempat tinggal
berbagai biota air dan ikan. Di wilayah ini, pengaruh air
pasang surut (tidal wet-land) sangat kuat, yaitu lahan
basah yang langsung dipengaruhi oleh pasang air laut.
Reklamasi Tanjung Api-Api berakibat menurunkan
kualitas lingkungan hutan bakau (mangrove) dan Daerah
Aliran Sungai (DAS) Musi.

Reklamasi Rawa Jakabaring

Reklamasi rawa di Jakabaring dilakukan untuk


pembangunan perumahan, pusat komersial, pabrik, dan

441
MODEL KEBIJAKAN PENANGGULANGAN BENCANA BANJIR AKIBAT REKLAMASI DI
KOTA PALEMBANG

pusat pemerintahan. Beberapa contoh kawasan yang


mengalami perubahan atau reklamasi dari rawa menjadi
lahan terbangun, dua diantaranya, adalah: Kawasan
Perumahan Bukit Sejahtera atau Poligon dan Kawasan
Pengembangan Jakabaring. Kawasan Perumahan Polygon
merupakan sebuah komplek perumahan yang berdiri
sejak tahun 1990. Konstruksi perumahan yang di mulai
tahun 1986 ini pada awalnya memiliki topografi sebagai
lahan rawa yang kemudian direklamasi menjadi kawasan
perumahan dan menyebabkan berkurangnya daerah
resapan air.

Pembangunan yang semakin luas menyebabkan


sedimentasi semakin tinggi dibeberapa sungai yang dekat
dengan kawasan perumahan seperti Sungai Musi.
Sedangkan, Kawasan Jakabaring Sport City merupakan
kawasan pengembangan baru dan pada mulanya
merupakan rawa yang direklamasi menjadi perumahan.
Sebagai akibatnya, perubahan rawa menjadi lahan
terbangun berdampak negatif karena perubahan tersebut
mengkibatkan fungsi rawa sebagai penampung air tidak
dapat dilakukan secara maksimal.

Banyaknya rawa yang ditimbun menyebabkan air yang


seharusnya ditampung oleh rawa akan beralih ke bagian
perkotaan lainnya (seperti jalan, drainase, permukiman,
dan lainnya) yang lebih rendah, sehingga menyebabkan
banjir di lokasi-lokasi tertentu. Hal ini juga diperburuk

442
MODEL KEBIJAKAN PENANGGULANGAN BENCANA BANJIR AKIBAT REKLAMASI DI
KOTA PALEMBANG

dengan karakteristik topografi Kota Palembang yang


relatif rendah, yaitu sekitar 0-20 mdpl.

Daerah resapan direklamasi menjadi bangunan


perumahan Polygon Jakabaring mengakibatkan daerah
ini menjadi daerah genangan air dan bahkan terdampak
bencana banjir dengan ketinggian 20-40 cm. Oleh karena
itu, kondisi ini membuat Kota Palembang sangat
berpotensi terkena dan terancam bencana banjir.

Berdasarkan Peraturan Daerah Kota Palembang No.11


tahun 2012 tentang Pembinaan Pengendalian dan
Pemanfaatan Rawa, diatur tentang perlindungan terhadap
Rawa Konservasi seluas 2.106 ha dan pemanfaatan Rawa
Budidaya seluas 2.811 ha untuk pertanian, perikanan,
perkebunan dan permukiman dengan rumah bertiang
tanpa penimbunan atau reklamasi.

Bencana banjir pada awalnya mengenangi daerah


pinggiran Kota Palembang yang sebagian besar
wilayahnya berupa rawa. Namun, perkembangan berbagai
daerah dilakukan pembangunan dengan mereklamasi
sebagian besar perairan (pantai dan sungai)
mengakibatkan peningkatan intensitas bencana banjir
yang terjadi. Hal ini membuat sebagian besar Kota
Palembang mengalami bencana banjir.

Beberapa lokasi yang hampir selalu digenangi air ketika


musim hujan seperti Ilir Timur I sebanyak enam lokasi,
Ilir Timur II sebanyak 12 lokasi, Kalidoni sebanyak tiga

443
MODEL KEBIJAKAN PENANGGULANGAN BENCANA BANJIR AKIBAT REKLAMASI DI
KOTA PALEMBANG

lokasi, Sako satu lokasi, Seberang Ulu II dua lokasi dan


Kemuning 3 lokasi.

Model Kebijakan Penanggulangan Bencana Banjir di Kota


Palembang

Beberapa kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah


Kota Palembang dalam penanggulangan bencana banjir,
di antaranya pengendalian rawa, pembangunan kolam
retensi, membangun turap, normalisasi sungai, dan
membangun daerah resapan air dengan memanfaatkan
ruang terbuka hijau.

Pemerintah Kota Palembang dan Pemerintah Provinsi


Sumatera Selatan melaksanakan penanggulangan
bencana banjir dengan upaya kebijakan non struktural.
Pemerintah Kota Palembang menerbitkan peraturan
daerah terkait pengendalian dan pemanfaatan rawa, yaitu
Peraturan Daerah (Perda) No. 11 Tahun 2012. Dalam
Perda ini, sekitar 2.106,13 Ha merupakan rawa
konservasi yang dilarang untuk dialihfungsikan
peruntukannya. Sedangkan terdapat rawa budidaya
seluas 2.811,21 Ha yang dimanfaatkan sebagai lahan
pertanian, perikanan, perkebunan dan permukiman
dengan rumah bertiang tanpa melakukan penimbunan.
Sementara itu, terdapat kebijakan terkait dengan DAS,
yaitu Perda Gubernur Sumatera Selatan no. 5 Tahun
2013, yang berisi cara mengatasi pencemaran, membatasi
penerbangan liar terutama di daerah hulu karena akan

444
MODEL KEBIJAKAN PENANGGULANGAN BENCANA BANJIR AKIBAT REKLAMASI DI
KOTA PALEMBANG

berdampak di daerah hulu, dan mengatur pemanfaatan


lahan disekitar DAS.

Selain itu, upaya pengurangan risiko bencana secara


struktural juga dilakukan oleh pemerintah. Kota
Palembang memiliki 19 kolam retensi yang dibangun
untuk mengendalikan genangan air dan dibangun lagi 48
kolam retensi. Kolam yang berfungsi untuk menampung
air hujan sementara waktu dengan memberikan
kesempatan untuk dapat meresap kedalam tanah yang
operasionalnya dapat dikombinasikan dengan pompa
atau pintu air. Pemerintah juga melakukan pembangunan
turap yang dibangun disekitar sungai Musi untuk
mengatasi bencana banjir. Saat ini Kota Palembang
memiliki 2 turap, yaitu di kelurahaan 11-12 Ulu dan di
sekitar kawasan pasar 16 Ilir Kota Palembang. Turap ini
berfungsi untuk mengurangi genangan yang ada disekitar
dan menahan sampah dari Sungai Musi. Kebijakan rutin
yang dilakukan oleh Pemerintah Kota Palembang adalah
normalisasi sungai dan saluran drainase. Setiap tahun
pemerintah mengalokasikan dana Anggaran Pendapatan
Belanja Daerah (APBD) kota melalui Dinas Pekerjaan
Umum Sumber Daya Air (PU SDA) Kota Palembang untuk
melakukan normalisasi. Normalisasi ini untuk
mengurangi sedimentasi di sungai-sungai yang ada di
Kota Palembang yang mencapai 1 meter. Untuk ruang
terbuka hijau, pemerintah mengintegrasikan ruang

445
MODEL KEBIJAKAN PENANGGULANGAN BENCANA BANJIR AKIBAT REKLAMASI DI
KOTA PALEMBANG

terbuka hijau dengan kolam dan tumbuhan yang dapat


menyerap air.

Perbaikan Sungai dan pengendalian banjir telah


diidentifikasi sebagai salah satu komponen untuk
mendukung implementasi program ini. Usulan daerah
irigasi yang pokok mencakup hal-hal sebagai berikut:

a. Skema perbaikan sungai oleh bronjong isi batu di 34


lokasi penting untuk melindungi jalan dan
perumahan.
b. Pengendalian banjir untuk tiga daerah besar, yaitu,
di sistem hilir Sungai Ogan, hilir Sungai Musi dari
Sekayu sampai Palembang, dan the Sungai
Lematang/Enim.
c. Saluran pembelok serbaguna untuk mengalihkan
dari tujuan Musi ke Banyuasin untuk menangani
masalah banjir dan drainase pada luas 60.000
hektar rawa pedalaman di hilir daear aliran sungai
Musi.
d. Pemasangan Krib bagunan pengendali banjir pada
hilir Sungai Ogan-Komering.

Usaha-usaha pengendalian sungai telah dilaksanakan


berdasarkan tujuannya untuk melindungi dan
menstabilkan tebing sungai yang telah menyebabkan
kerusakan-kerusakan pada jaringan jalan. Pada
umumnya perhitungan yang ada terlihat begitu minim
untuk menghentikan usaha-usaha erosi tebing. Untuk

446
MODEL KEBIJAKAN PENANGGULANGAN BENCANA BANJIR AKIBAT REKLAMASI DI
KOTA PALEMBANG

melindungi dan menstabilkan tebing sungai, konstruksi


pelindung tebing dan krib telah diadopsi. Usaha-usaha ini
adalah pembuatan beronjong, pecahan-pecahan batu,
tiang-tiang pancang beton, pembetonan, dan sejenisnya.
Usaha pembuatan beronjong umumnya diadopsi untuk
perlindungan tebing sungai pada Daerah Aliran Sungai
Musi, karena hal-hal ini lebih ekonomis dari konstruksi
lainnya.

Masalah utama yang dihadapi Daerah Aliran Sungai Musi


di Kota Palembang yaitu banjir bandang pada bagian
hulu, genangan banjir dari luapan air selama musim
penghujan, dan kenaikan dasar sungai oleh karena
sedimentasi yang memperparah banjir selama musim
penghujan.

Drainase kota Palembang dibagi menjadi 19 sistem


drainase total luas area 403 km2. Sistem drainase terdiri
dari waduk penampungan, saluran primer, saluran
sekunder, dan saluran tersier. Pelaksanaan proyek
drainase di Kota Palembang dilakukan dengan biaya
APBN Proyek Drainase: Dinas PU Cipta Karya, Pusat
Pemerintahan Kimpraswil,, APBD-I Proyek Drainase:
Dinas PU Cipta Karya Pemerintahan Provinsi, dan APBD-
II Proyek Drainase, Dinas Kimpraswil Kota Palembang.
Badan yang bertanggung jawab pada perawatan fasilitas
drainase antara lain untuk jaringan drainase primer
dikelola oleh DPU Pemerintahan Provinsi, jaringan
drainase sekunder dan tersier dikelola DPU Kota

447
MODEL KEBIJAKAN PENANGGULANGAN BENCANA BANJIR AKIBAT REKLAMASI DI
KOTA PALEMBANG

Palembang, operasi dan pemeliharaan jaringan drainase,


termasuk pengerukan sedimentasi dan perbaikan saluran
dikelola DPU Kota Palembang; dan penanganan terhadap
sampah di saluran dikelola oleh Dinas Kebersihan Kota
Palembang.

Penanggulangan bencana banjir di Kota Palembang


dilakukan dengan pembuatan model kebijakan
penanggulangan bencana banjir akibat reklamasi antara
lain :

a. Kebijakan yang partisipatif dan humanistik dengan


melibatkan masyarakat secara genuine.
b. Penerapan ketentuan-ketentuan dalam peraturan
perundang-undangan terutama tentang reklamasi
dan bencana harus secara konsisten dan
komprehensif di lapangan.
c. Kebijakan harus beorientasi pada keadilan
substantif dengan landasan hukum progresif
berdasarkan Pancasila dan UUDN RI 1945.
d. Stuktur kepanitiaan dalam penanggulangan
bencana banjir jangan hanya yang berasal dari
instansi pemerintah saja akan tetapi juga
melibatkan dari tokoh masyarakat, lembaga
swadaya masyarakat dan akademisi.

448
MODEL KEBIJAKAN PENANGGULANGAN BENCANA BANJIR AKIBAT REKLAMASI DI
KOTA PALEMBANG

PENUTUP

Kesimpulan

a. Bencana banjir Kota Palembang terjadi karena anak-


anak sungai Musi tertutup karena reklamasi untuk
pembangunan infrastruktur. Dampak reklamasi
untuk pembangunan menyebabkan 221 anak
Sungai Musi hilang dan terjadi pendangkalan sungai
dan parit. Perkampungan tua di tepian Sungai Musi,
di Kota Palembang banyak tergusur dengan
pembangunan jembatan yang menghubungkan
Palembang Ulu dan Palembang Ilir. Beberapa
jembatan baru yang menggusur perkampungan
tepian Sungai Musi, yakni Jembatan Musi II, III, IV,
V dan Jembatan Musi VI. Pembangunan juga
menghilangkan kampung tua, yang merupakan kota
yang di masa Kerajaan Sriwijaya dan pernah menjadi
pusat pemerintah Kesultanan Palembang, adalah
Kuto Gawang. Kuto Gawang dijadikan lokasi pabrik
PT. Pupuk Sriwidjaya. Pabrik ini diresmikan pada 24
Desember 1959. Lokasi Kuto Gawang awal mula
keraton Kerajaan Palembang ini dijadikan PT Pupuk
Sriwidjaja, dua anak Sungai Musi yakni Sungai
Buah panjang tinggal 1.400 meter, dan Sungai
Taligawe panjang berkisar 500-an meter. Reklamasi
Tanjung Api-Api berakibat menurunkan kualitas
lingkungan hutan bakau (mangrove) dan Daerah
Aliran Sungai (DAS) Musi. Restorasi ekologi

449
MODEL KEBIJAKAN PENANGGULANGAN BENCANA BANJIR AKIBAT REKLAMASI DI
KOTA PALEMBANG

diharapkan mampu mengembalikan fungsi dan


peranan ekosistem mangrove dan DAS Musi bagian
hilir. Daerah resapan direklamasi menjadi bangunan
perumahan Polygon Jakabaring mengakibatkan
daerah ini menjadi daerah genangan air dan bahkan
terdampak bencana banjir dengan ketinggian 20-40
cm. Oleh karena itu, kondisi ini membuat Kota
Palembang sangat berpotensi terkena dan terancam
bencana banjir.
b. Model kebijakan penanggulangan bencana banjir
akibat reklamasi di Kota Palembang yaitu kebijakan
dibuat secara partisiatif dan humanistik dengan
melibatkan masyarakat secara genuine. Penerapan
ketentuan-ketentuan dalam peraturan perundang-
undangan terutama tentang reklamasi dan bencana
harus secara konsisten dan komprehensif di
lapangan. Kebijakan harus beorientasi pada
keadilan substantif dengan landasan hukum
progresif berdasarkan Pancasila dan UUDN RI 1945.
Stuktur kepanitiaan dalam penanggulangan
bencana banjir jangan hanya yang berasal dari
instansi pemerintah saja akan tetapi juga
melibatkan dari tokoh masyarakat, lembaga
swadaya masyarakat dan akademisi.

450
MODEL KEBIJAKAN PENANGGULANGAN BENCANA BANJIR AKIBAT REKLAMASI DI
KOTA PALEMBANG

Saran

a. Pengelolaan dan pengendalian banjir di Kota


Palembang sejatinya harus melalui pendekatan yang
holistik: melalui pendekatan pengelolaan sistem
drainase terpadu dan partisipasi dari multipihak.
b. Pengendalian banjir tidak bisa hanya diatasi secara
sporadis, sudah saatnya disamping merevisi Tata
Ruang, Pemerintah Kota Palembang juga perlu
menyusun kembali masterplan penanggulangan
bencana banjir di Kota Palembang.

DAFTAR PUSTAKA

Atmosudirjo, P. (1994), Hukum Administrasi Negara,


Ghalia Indonesia, Jakarta.
Hasni (2010), Hukum Penataan Ruang dan Penatagunaan
Tanah, Jakarta.
Huda, M. C. (2013), Pengaturan Perizinan Reklamasi
Pantai Terhadap Perlindungan Lingkungan Hidup,
Surabaya.
Istislam, (2002), Kebijakan dan Hukum Lingkungan
Sebagai Instrumen Pembangunan Berwawasan
Lingkungan dan Berkelanjutan, Arena Hukum No. 10
Tahun 4, Maret.
Muhammad, T. S. (2014), Evaluasi Dampak Kebijakan
ReklamasiPantai di Wilayah Pesisir Bandar Lampung
Mustaqim, I. (2015), Dampak Reklamasi Pantai Utara
Jakarta Terhadap Perubahan Sosial Ekonomi
Masyarakat (Tinjauan Sosiologis Masyarakat di Sekitar
Pelabuhan Muara Angke, Kelurahan Pluit, Jakarta
Utara)

451
MODEL KEBIJAKAN PENANGGULANGAN BENCANA BANJIR AKIBAT REKLAMASI DI
KOTA PALEMBANG

Rahmat, A. (2014), Pengawasan Pelaksanaan Perizinan


Reklamasi Pantai di Kota Makassar. Universitas
Hasanuddin Makassar
Soekanto, S. (1985), Efektivitas Hukum dan Peranan
Sanksi, Jakarta, Remaja Karya.
Sutopo, H. B. (1990), Metodologi Penelitian Kualitatif
Bagian II, Universitas Negeri Sebelasmaret Press,
Surakarta.
Tamanaha, B. Z. (2001), A General Jurisprudence of Law
and Society, Oxford Unity Press, New York,
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945
Undang-Undang No. 24 tahun 2007
Undang-Undang No. 27 Tahun 2007
Undang-Undang No. 5 Tahun 1960

452
12
Keterkaitan Demokrasi Terhadap
Pembangunan Berkelanjutan Pada
Sektor Pertambangan di Indonesia

Maryanti
Universitas Andalas
maryantiandriko@gmail.com

Abstrak

Pencapaian pembangunan berkelanjutan merupakan


harmonisasi antara tujuan pembangunan dengan
pelestarian lingkungan. Bersamaan dengan
desentraliasasi mengiringi terbentuknya demokratisasi.
Praktek demokratisasi melalui desentraliasasi mendorong
kinerja pembangunan yang berkelanjutan. Dalam studi
ini penulis memaparkan keterkaitan penerapan
demokrasi terhadap pembangunan berkelanjutan pada
provinsi penghasil tambang di Indonesia sejak tahun 2009
hingga tahun 2018. Demokrasi dihitung dalam bentuk
indeks demokrasi. Pembangunan berkelanjutan dihitung
dalam indeks pembangunan berkelanjutan. Hasil dari
studi adalah bahwa hubungan demokrasi di sektor
tambang di Indonesia menghasilkan pengaruh positif dan

453
KETERKAITAN DEMOKRASI TERHADAP PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN PADA
SEKTOR PERTAMBANGAN DI INDONESIA

tidak signifikan terhadap pembangunan berkelanjutan


selama periode pengamatan.

Kata Kunci: demokrasi, pembangunan berkelanjutan

PENDAHULUAN

Perhatian terhadap pembangunan berkelanjutan sudah


dikenalkan sejak abad ketika Thomas Robert Malthus
pada tahun 1798 mengajukan hipotesis antara
pertumbuhan penduduk dan keterbatasan lahan. Secara
konseptual, teori Malthus merupakan cikal bakal
tumbuhnya trade off antara pembangunan yang
mengandalkan aspek ekonomi dengan daya dukung
sumber daya dan lingkungan, sebuah konsep yang
sebenarnya telah mengakar sejak masa pemikiran
Yunani, yakni pemikiran Aristoteles dengan Nichomecian
Ethics yang ditulis pada tahun 350 SM. Dalam
Nichomecian Ethics, misalnya penempatan etika dalam
konteks “virtue” merupakan landasan penting dalam
memahami perilaku manusia dan kaitannya dengan alam
dan lingkungan(Malhus, 1798). Belakangan konsep ini
kemudian mengemuka dengan terbitnya buku “The Limit
to Growth” pada tahun 1972 oleh Meadow, yang memicu
perhatian lebih serius tentang adanya “batas dari
pertumbuhan”. Dalam buku ini memunculkan teori
pertumbuhan yang mengakomodasi keterbatasan sumber

454
KETERKAITAN DEMOKRASI TERHADAP PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN PADA
SEKTOR PERTAMBANGAN DI INDONESIA

daya alam dan dampaknya terhadap lingkungan (Meadow,


1972).

Dua tahun berselang, Stiglitz tepatnya tahun 1974


mengeluarkan konsep pertumbuhan ekonomi dengan
optimalisasi ekstraksi sumber daya alam. Hal ini didasari
dengan terjadinya teori asymmetric information yang
dikeluarkan dalam Washington Concensus. Ada pihak
yang diuntungkan (Stiglitz, 1074) dan ada pihak yang
dirugikan dalam menjalankan roda pembangunan. Saat
perbedaan informasi tersebut diperlukan peran
pemerintah dalam menyeimbangkan berjalannya
meningkatkan pertumbuhan ekonomi

Selanjutnya mendorong Solow pada tahun 1974 juga


menambahkan teori Stiglitz dengan mengemukakan teori
pertumbuhan dalam bukunya Intergenerational Equity &
Exhaustible Resource. Pada teori Solow, adanya
penekanan tabungan, populasi dan teknologi yang
mempengaruhi output dan pertumbuhan ekonomi.
Seterusnya Solow juga menerangkan harus adanya
keadilan dan kesetaraan dalam pemanfaatan input dan
sumber daya yang akan dinikmati oleh setiap generasi
(Solow, 1974).

Keempat teori di atas yang mengawali berkembangnya


konsep pembangunan berkelanjutan di dunia. Satu
dekade kemudian kembali konsep ini mengemuka dengan
dikeluarkannya buku Our Common Future yang

455
KETERKAITAN DEMOKRASI TERHADAP PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN PADA
SEKTOR PERTAMBANGAN DI INDONESIA

dikeluarkan oleh World Commision on Resources


Development tahun 1987. Buku ini begitu terkenal dengan
mengenalkan tentang pembangunan berkelanjutan. Pada
buku ini disebutkan bahwa pembangunan berkelanjutan
adalah pembangunan yang memenuhi kebutuhan
generasi sekarang tanpa mengorbankan kebutuhan
generasi yang akan datang (WRI, 2000).

Latar Belakang

Perjalanan perkembangan konsep pembangunan


berkelanjutan berakhir pada tahun 2015 setelah
terpenuhinya MDGs. Selanjutnya PBB menargetkan
konsep Sustainable Development Goals (SDGs). Konsep ini
harus terpenuhi hingga tahun 2030. Dalam SDGs
terkandung ada 17 tujuan pembangunan yang harus
terpenuhi dengan 169 target program pemabangunan
yang meliputi dimensi lingkungan, ekonomi dan sosial.
Namun dimensi politik belum dibicarakan secara
kompleks.

Menindaklanjuti hal tersebut selama tiga dasawarsa


terakhir telah banyak upaya yang dilakukan untuk
mewujudkan pembangunan berkelanjutan. Namun sifat
multi-dimensi dari keberlanjutan tersebut memerlukan
pertimbangan yang simultan dari berbagai aspek yang
mewakili ukuran-ukuran atau indikator keberlanjutan
(Cinelli, Coles & Kirwan, 2014). Artinya pengukuran atas
indikator dari pembangunan berkelanjutan masih

456
KETERKAITAN DEMOKRASI TERHADAP PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN PADA
SEKTOR PERTAMBANGAN DI INDONESIA

berbentuk abu-abu dimana keragaannya masih


dipertimbangkan.

Kompleksitas pencapaian pembangunan berkelanjutan


akan dihadapi pula oleh pengambil kebijakan baik tingkat
daerah maupun di tingkat pusat. Karena pembangunan
berkelanjutan menyangkut aspek multi-dimensi dari sisi
ekonomi, sosial, lingkungan bahkan politik dengan
masing-masing ukuran atau indikator berbeda yang
berbeda. Sehingga diperlukan identifikasi kriteria,
definisi, dan pengukuran untuk berhasilnya implementasi
pembangunan berkelanjutan (Poveda & Lipset, 2011).
Adanya konflik antara agenda pertumbuhan, keadilan
ekonomi, dan lingkungan sering diartikan sebagai sesuatu
yang alamiah. Sehingga, trade-off antara ketiganya sering
dianggap sebagai sesuatu yang tidak bisa dihindari (Fauzi
& Oxtavianus, 2014).

Desentralisasi secara drastis (big-bang decentralization)


yang mengiringi terbentuknya demokratisasi yang
terbukti sangat popular dan telah mendekatkan
pemerintah dengan rakyat. Dan praktek demokratisasi ini
melalui desentralisasi pada tahun 2001 dan tahun 2005
di Indonesia, yang sebagian besar terjadi karena alasan
politis, melimpahkan sejumlah besar dana dan wewenang
kepada pemerintah daerah, termasuk tanggung jawab
penyelenggaraan dan pemberian berbagai layanan publik
serta pengaturan dunia usaha dan sumber daya alam.
Dasar pemikiran bagi desentralisasi pemerintah adalah

457
KETERKAITAN DEMOKRASI TERHADAP PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN PADA
SEKTOR PERTAMBANGAN DI INDONESIA

akuntabilitas dan pemberian layanan yang lebih baik


melalui peningkatan kecepatan daya tanggap terhadap
kebutuhan setempat (Faguet, 2014) yang sering disebut
sebagai prinsip subsidiaritas. Selain itu, desentralisasi
dapat meningkatkan kinerja dengan jalan mendorong
persaingan di antara berbagai daerah untuk menyediakan
layanan secara efisien dan untuk menarik dunia usaha
daerah dapat belajar satu sama lain dan memperoleh
manfaat dari penerapan praktik (OECD, 2014). Namun
demikian, otonomi daerah di Indonesia belum
menghasilkan perbaikan yang diharapkan (Resosudarmo,
Oka, Mardiah & Utomo, 2014).

Menurut Lothering dan Elkington bahwa demokrasi


liberal tidak mampu mengelola dan memberikan
keberlanjutan pembangunan secara memadai karena
terjadi inkoherensi kebijakan, kelembaman struktur
demokrasi dan ketidakpercayaan terhadap politik dan
proses politik (Lothering & Elkington, 2008).

Aspinal menyebutkan bahwa adanya pengaruh yang


positif antara demokrasi terhadap menurunnya
ketimpangan pendapatan. Ditambah lagi Mietzner juga
berpendapat senada bahwasanya dalam tahun politik
menjelang pemilihan umum, paham demokasi telah
menurunkan ketimpangan pendapatan. Ketimpangan
pendapatan mempengaruhi kebijakan pemerintah dalam
pembangunan berkelanjutan (Aspinal, 2014; Mietzner,
2012).

458
KETERKAITAN DEMOKRASI TERHADAP PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN PADA
SEKTOR PERTAMBANGAN DI INDONESIA

Adapun bentuk pemerintahan memaksakan serangkaian


tuntutan dan kendala yang berbeda pada lembaga-
lembaga hukum mereka, tren global demokratisasi
menciptakan sistem peradilan pidana (kriminalitas) yang
transparan dan akuntabel di seluruh dunia. Namun
demikian, banyak negara telah berhasil menjatuhkan
rezim otoriter dan menggantinya dengan pemerintah yang
dipilih secara bebas, hanya beberapa dari mereka yang
berhasil mengembangkan institusi peradilan pidana dan
praktik yang sejalan dengan cita-cita demokrasi
kesetaraan, keterbukaan, dan keadilan. Sehingga bentuk
pemerintahan demokrasi menurunkan praktek
kriminalitas (Prillaman, 2000; Solomon & Foglesong,
2000; Ungar 2002).

Sayangnya, siklus pemilu reguler tidak dengan sendirinya


merupakan penentu yang cukup dari demokrasi yang
matang. Masyarakat otoriter dapat menjadi “demokrasi
disjungtif” dengan mengadakan pemilihan kompetitif
berulang tanpa menjadi demokrasi liberal (Rodrigues,
2006).

Demokrasi liberal, juga dikenal sebagai liberalisme


konstitusional, adalah suatu bentuk demokrasi
representatif di mana kekuasaan pejabat terpilih
dimoderasi oleh berfungsinya lembaga-lembaga
konstitusional yang melindungi hak-hak dan kebebasan
individu dan minoritas dan membatasi sejauh mana
kehendak mayoritas dapat dilaksanakan (Zakaria, 2003).

459
KETERKAITAN DEMOKRASI TERHADAP PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN PADA
SEKTOR PERTAMBANGAN DI INDONESIA

Secara sosial, ini ditandai dengan toleransi dan


pluralisme. Demokrasi disjungtif berbeda dari demokrasi
liberal dalam hal mereka masih menderita cacat serius
dalam hubungan antaretnis, diskriminasi terhadap
minoritas dan kelompok yang kurang beruntung,
kekuatan eksekutif yang tidak terkendali, dan/atau pers
yang lemah. Penjajaran ekspansi demokrasi demokrasi
yang stabil selama dua dekade terakhir, dan stagnasi
dalam tingkat kebebasan sipil di banyak negara,
menunjukkan kesenjangan yang mengganggu antara
kedua standar tersebut sehingga memunculkan pengaruh
yang negatif terhadap tingginya angka kriminalitas
(Zakaria, 2003).

Packer menjelaskan bahwa nilai-nilai dan praktik-praktik


yang ditemukan dalam masyarakat otoriter cocok dengan
semua ciri-ciri dasar model pengendalian kriminalitas. Ia
menambahkan bahwa ada administrasi peradilan, yang
diorganisasikan dalam penindasan perilaku kriminal.
Seluruh sistem dirancang untuk mencegah kejahatan
serta untuk mengidentifikasi pelanggar hukum pada
secara maksimum efisiensi maksimum. Efisiensi,
menurut Packer, adalah "kapasitas sistem untuk
menangkap, mengadili, menghukum, dan membuang
sebagian besar pelaku kejahatan yang pelanggarannya
diketahui". Pusat penyelesaian untuk proses peradilan
pidana terletak pada tahap pencarian fakta administratif
awal diawasi oleh polisi, jaksa penuntut, atau hakim

460
KETERKAITAN DEMOKRASI TERHADAP PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN PADA
SEKTOR PERTAMBANGAN DI INDONESIA

investigasi. Pada saat yang sama, tahapan ajudikasi


selanjutnya relatif tidak penting dan sering terpotong.
Kecepatan dan finalitas dicapai dengan memberikan
lembaga penegak hukum tenaga kerja yang unggul dan
izin hukum untuk menyaring tersangka dan untuk
menentukan kesalahan faktual dengan tingkat gangguan
minimum. Efisiensi proses hukum dalam model ini
ditingkatkan dengan asumsi bersalah dan dibuktikan
dengan aliran kasus yang terus-menerus kepada pejabat
yang menangani kasus secara seragam dan rutin.
Finalitasnya, pencapaian tahap terakhir dari proses
kriminal, juga dijamin dengan meminimalkan jumlah
kasus yang dipecat selama yudikasi dan penuntutan,
yang memastikan bahwa pelanggar hukum membayar
untuk tindakan berbahaya mereka (Packer, 1968).

Menurut Alesina bahwa sifat diktator dalam


pemerintahan demokrasi akan menaikkan koefisien gini.
Artinya pemerintahan yang diktator mendorong
peningkatan ketimpangan pendapatan. Karena seorang
diktator tidak mampu sepenuhnya memenuhi tuntutan
sosial, karena takut digulingkan sehingga mempengaruhi
jumlah suara dan keputusan kebijakan mempengaruhi
distribusi pendapatan (Alesina, 1994; Perotti (1993);
Saint-Paul & Verdier (1992); Fernandez & Rogerson
(1992); Benhabib & Rustichini (1991); Pearson (1991).

Westall berpendapat bahwa gagasan dan realitas


pembangunan berkelanjutan dan demokrasi dapat

461
KETERKAITAN DEMOKRASI TERHADAP PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN PADA
SEKTOR PERTAMBANGAN DI INDONESIA

menjadi tumpang tindih dan bisa juga saling bergantung


dan menguatkan. Misalnya pada partisipasi masyarakat
untuk bersatu dan terlibat dalam keputusan tentang
bagaimana kita hidup, dan tujuan yang ingin kita capai
sebagai masyarakat. Sehingga dengan kebulatan
pendapat dapat memungkinkan terjadinya inovasi tingkat
tinggi dan merespons tantangan dengan cepat. Adanya
keadilan, legitimasi dan transparansi yang dicapai dalam
perlindungan demokratis juga dapat membuat
pencapaian pembangunan berkelanjutan (Westall, 2015).

Interaksi antara demokrasi dan pembangunan


berkelanjutan tidak menerima perhatian dan implikasi
yang cukup, yang membutuhkan adaptasi, dan
transformasi sistem politik demokrasi. Perubahan radikal
pada praktik ekonomi, sosial, dan lingkungan yang
cenderung membutuhkan lebih banyak koordinasi dan
keterlibatan antara pemerintah, orang-orang, masyarakat
sipil, dan bisnis, yang menyiratkan bentuk politik
demokrasi yang berbeda dan lebih luas (Meadowcroft,
Langhelle, & Ruud, 2012; Beckman, 2008; Bluhdorn,
2012; Lafferty, 2012).

Melihat argumentasi di atas, maka studi ini menganalisa


hubungan demokrasi terhadap pembangunan
berkelanjutan di sektor tambang khususnya pada provinsi
penghasil tambang di Indonesia. Studi ini masih bersifat
kekinian dan masih jarang yang melakukan riset ini. Studi
ini mampu menjawab fenomena keterikatan demokrasi

462
KETERKAITAN DEMOKRASI TERHADAP PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN PADA
SEKTOR PERTAMBANGAN DI INDONESIA

terhadap pembangunan berkelanjutan selama sepuluh


tahun ke depan.

Rumusan Masalah

Berdasarkan permasalahan yang telah dikemukakan


tersebut di atas, maka disusun pertanyaan penelitian
sebagai berikut: Apakah terdapat pengaruh demokrasi
terhadap pembangunan berkelanjutan pada provinsi
penghasil tambang di Indonesia?

Tujuan

Adapun tujuan studi ini adalah untuk menganalisis dan


mengukur seberapa besar pengaruh demokrasi terhadap
pembangunan berkelanjutan pada provinsi penghasil
tambang di Indonesia.

Tinjauan Literatur

Keberlanjutan Dimensi Ekonomi

Teori berkelanjutan kemudian telah menjadi agenda


global sejak diadopsi pada Rio Summit tahun 1992, dan
mengemukanya concern terhadap perubahan iklim.
Implikasi dari keduanya kemudian melahirkan teori-teori
pembangunan baru seperti “green economy” atau ekonomi
hijau. Teori ekonomi hijau ini lebih menekankan
pembangunan yang bersifat rendah karbon dan
pertumbuhan yang inklusif. Strategi pembangunan
rendah emisi atau sering dikenal juga dengan Low
Emission Development Strategy (LEDS), bahkan telah

463
KETERKAITAN DEMOKRASI TERHADAP PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN PADA
SEKTOR PERTAMBANGAN DI INDONESIA

diadopsi pada COP (Conferences of Parties) ke-15 di


Copenhagen, Denmark tahun 2009. Dalam dokumen
Copenhagen Accord, LEDS diadopsi menjadi bagian yang
tidak terpisahkan (indispensable) dari pembangunan
berkelanjutan. Di sisi lain teori ekonomi hijau juga
menghasilkan konsep inclusive growth atau pertumbuhan
inklusif.

Pertumbuhan inklusif merupakan terjemahan lebih


implementing dari konsep pembangunan berkelanjutan, di
mana pertumbuhan inklusif selain harus bersifat sektor
yang lebih luas (broad base sector), pertumbuhan ini juga
harus bersifat pro poor dan berkelanjutan. Konsep
pembangunan berkelanjutan selain mengandung
kebutuhan dan keterbatasan juga mencakup tujuan
(goals) dan value atau nilai. Untuk mencapai kedua hal
tersebut yang menjadi tantangan adalah terkait dengan
pengukuran. Walaupun meski konsep pembangunan
berkelanjutan sering bersifat ambigu namun yang paling
serius adalah mendefinisikan dan mengukur indikator
pembangunan berkelanjutan itu sendiri. Saat ini secara
global ada berbagai pendekatan yang digunakan untuk
mengukur pembangunan berkelanjutan tersebut di
antaranya adalah Wellbeing Index, Environmental
Sustainability Index, dan Ecological Footprint (Kates, Parris
& Leiserowitz, 2005).

Di sisi lain ada juga ukuran yang dikaitkan dengan


indikator-indikator makro ekonomi seperti Genuine

464
KETERKAITAN DEMOKRASI TERHADAP PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN PADA
SEKTOR PERTAMBANGAN DI INDONESIA

Progress Indicator, Genuine Saving, dan berbagai indikator


makro lainnya. Pengukuran indikator ini juga sering
dikaitkan dengan tujuan pembangunan jangka menengah
dan jangka panjang. Misalnya saja Millennium
Development Goals (MDGs) yang dicanangkan PBB terkait
jangka waktu 15 tahun dan pengganti MDGs yang sudah
berakhir tahun 2015 ini dengan konsep yang disebut
Sustainable Development Goals (SDGs) yang merupakan
agenda pembangunan sampai dengan tahun 2030
mendatang.

Banyaknya keragaman dalam mengukur pembangunan


berkelanjutan tersebut, karena setiap pendekatan
mungkin lebih sesuai digunakan untuk tujuan tertentu
dengan demikian tidak ada pendekatan yang sesuai untuk
semua aspek (Amekudzi, dkk., 2015). Namun demikian
setiap pendekatan pengukuran pembangunan
berkelanjutan yang efektif selayaknya memenuhi
beberapa kaidah dari kaidah-kaidah sebagai berikut (1)
memenuhi definisi keberlanjutan yang jelas dengan
tujuan yang terukur, (2) bersifat interdisiplin (ekonomi,
sosial, lingkungan, dan sebagainya), (3) kemampuan
membahas aspek jangka panjang atau concern
antargenerasi, (4) kemampuan untuk mengelola
ketidakpastian, (5) kemampuan untuk membahas
interaksi lokal-global, (6) kemampuan untuk
mengakomodasi partisipasi stakeholder (pemangku
kepentingan), dan (7) kemampuan untuk mengadopsi,

465
KETERKAITAN DEMOKRASI TERHADAP PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN PADA
SEKTOR PERTAMBANGAN DI INDONESIA

baik process-based atau outcome- based atau aspek statik


dan aspek dinamik dari pembangunan berkelanjutan.
Idealnya memang seluruh kaidah tersebut di atas dapat
dipenuhi, namun kendala ruang dan waktu sulit
memungkinkan terpenuhinya semua kaidah di atas,
sehingga memenuhi beberapa kaidah dari tujuh kaidah di
atas sudah mencukupi untuk mengukur pembangunan
berkelanjutan.

Keberlanjutan Dimensi Sosial

Pada keberlanjutan pembangunan ekonomi dan sosial


tidak bisa dipisahkan dari kemiskinan dan ketidaksetaran
yang kemudian mendorong terjadi kriminlitas. Banyak
negara berkembang yang terjebak dalam ikatan ganda
masalah kemiskinan, ketidaksetaraan dan
ketidaknyaman yang mengakar. Kejahatan dan
keterbelakangan dibingkai sebagai kejahatan sosial yang
terjalin dan saling menguatkan. Para kriminolog diminta
untuk memberikan kontribusi pada agenda kebijakan
internasional pembangunan berkelanjutan yang muncul
melalui pengendalian kejahatan berbasis bukti (Dijk,
2014).

Ada banyak bukti tentang hubungan antara kemiskinan


dan ketidaksetaraan dan tingkat kejahatan serius pada
skala global. Dalam beberpa studi epidemiologis tingkat
kekerasan yang dicatat polisi, termasuk kekerasan dalam
rumah tangga mempunyai hubungan statistik dengan

466
KETERKAITAN DEMOKRASI TERHADAP PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN PADA
SEKTOR PERTAMBANGAN DI INDONESIA

ketimpangan pendapatan (Fajnzylber, Lederman &


Laoyza, 2002; LaFree & Tseloni, 2006).

Dalam laporan pembangunan manusia UNDP dikatakan


bahwa kemiskinan tidak hanya dinyatakan dalam
kekurangan makanan, tempat tinggal dan pakaian. Hal ini
juga dinyatakan dalam tingkat kejahatan yang tinggi
termasuk kekerasan di kalangan orang miskin itu sendiri,
terutama terhadap perempuan dan anak-anak, dalam
banyak kasus disertai dengan penyalahgunaan obat-
obatan. Karena ketidaksetaraan pendapatan cenderung
lebih besar di negara-negara miskin, dimana lebih banyak
orang menderita kemiskinan ekstrim sehingga dampak
kemiskinan dan ketidaksetaraan pada kekerasan sulit
untuk diatasi. Ketidaksetaraan pendapatan dan
kemiskinan adalah dua sisi mata uang yang sama (UNDP,
2013).

Di sisi biaya, tingkat kejahatan konvensional pertama-


tama menambah biaya langsung terhadap dilakukannya
bisnis di suatu negara. Kejahatan meningkatkan biaya
bisnis baik melalui kehilangan barang langsung atau
biaya mengambil tindakan pencegahan seperti menyewa
penjaga keamanan, membangun pagar, atau memasang
sistem alarm pencuri. Secara ekstrim perusahaan asing
akan menolak untuk berinvestasi dan perusahaan
domestic akan meninggalkan negara itu untuk tempat
yang lebih damai. Dalam beberapa kasus kejahatan yang
terorganisir yang merajalela juga dapat menghalangi

467
KETERKAITAN DEMOKRASI TERHADAP PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN PADA
SEKTOR PERTAMBANGAN DI INDONESIA

wisatawan asing untuk mengunjungi negara tersebut.


Masalah keamanan menjadi pertimbangan terpenting
untuk memilih tujuan liburan (World Bank, 2011).

Selama dua dekade terakhir beberapa negara non-barat


telah memberikan praktik terbaik dalam mengendalikan
kejahatan dan korupsi. Studi kasus masing-masing
negara beragam (Jacobs, 1999; Orlando, 2001).
Singapura, Bostwana, Hongkong, dan Taiwan, yang
mendekumentasikan kapasitas pemerintah lokal atau
nasional untuk berhasilnya menangani organisasi yang
kejahatan dan korupsi yang terorganisir agar mendorong
pertumbuhan ekonomi.

Contoh lain dari negara yang telah meningkatkan


ekonominya dengan menghancurkan kejahatan
terorganisir adalah Georgia. Administrasi mantan
presiden Shaakashvili melancarkan kampanye besar dan
berkelanjutan terhadap mafia Georgia dan pejabat korup
antara tahun 2005 dan 2011. Meskipun Shaakashvili
sejak itu terpilih dan dituduh melakukan pelanggaran hak
asasi manusia, efek menguntungkan dari inisiatif anti-
kejahatannya tentang keselamatan dan pengembangan
public tidak dapat diragukan (World Bank, 2013). Di
beberapa negara individu investasi yang ditargetkan
dalam mengendalikan kompleks kejahatan-korupsi yang
terorganisir tampaknya telah terbayar dalam hal
keselamatan publik dan pembangunan berkelanjutan
(Dijk & Chanturia, 2012).

468
KETERKAITAN DEMOKRASI TERHADAP PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN PADA
SEKTOR PERTAMBANGAN DI INDONESIA

Adanya sejarah panjang ketidakpercayaan antara


perusahaan tambang dengan komunitas lokal membuat
terkendalanya keberlanjutan sosial dalam pembangunan
berkelanjutan. Masyarakat menuntut hak mereka secara
tegas, dan baik pemerintah maupun perusahaan
pertambangan belum sepenuhnya mampu atau siap
untuk bereaksi, meskipun ada relevansi tuntutan.
Perusahaan pertambangan sering menghadapi tuntutan
paling luas di daerah-daerah di mana lembaga negara
lemah. Beberapa perusahaan bahkan dipaksa untuk
mengambil tanggung jawab baru untuk melestarikan
penerimaan sosial penduduk setempat terhadap
penambangan. Asumsi ini oleh perusahaan tanggung
jawab pemerintah berubah, dengan gerakan yang dibuat
menuju pemahaman tentang pentingnya lembaga lokal.
Partisipasi masyarakat dan hak-hak masyarakat juga
telah diakui lebih baik, ini telah diklaim telah mengubah
hubungan antara masyarakat dan perusahaan. Untuk
pemahaman yang lebih baik tentang kebutuhan
masyarakat dan menggunakan LSM sebagai konsiliator
untuk perselisihan. Distribusi manfaat dari penambangan
harus diselesaikan melalui proses kerja sama dan
dianggap sebagai kesepakatan antara pemerintah dan
perusahaan pertambangan. Sepanjang garis,
perencanaan harus sebanding dengan kapasitas untuk
mengimplementasikan tindakan yang disarankan, yang
harus diputuskan dengan mempertimbangkan

469
KETERKAITAN DEMOKRASI TERHADAP PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN PADA
SEKTOR PERTAMBANGAN DI INDONESIA

karakteristik daerah tertentu, masyarakat, pemerintah,


dan layanan. Ini adalah tugas yang sangat sulit dan
terutama menuntut sehubungan dengan struktur
pemerintah, karena pembangunan berkelanjutan bersifat
lintas sektoral, sementara keputusan politik biasanya
tidak dapat mengambil bidang sosial, ekonomi, dan
ekologi sama-sama menjadi pertimbangan (Von Ciriacy &
Wantrup, 1952).

Hak dan keadilan partisipatif saat ini dianggap penting


untuk pengembangan masyarakat. Pada saat yang sama,
industri pertambangan dunia membutuhkan praktik-
praktik baru. Produksi informasi dan akses terhadap
informasi terkait erat dengan keadilan sosial dan
kapasitas individu untuk membela hak mereka atas
sumber daya. Peningkatan kerjasama dan pemahaman
yang lebih dekat antara semua peserta selama proses
pengambilan keputusan dapat lebih baik dicapai dengan
memperhatikan proses pembuatan informasi. Informasi
harus mudah diakses tetapi juga dapat dipahami oleh
semua yang terlibat, seharusnya tidak menciptakan
ketidaksetaraan, tetapi harus memuluskan perbedaan
antara para peserta. Sebagai kesimpulan, komunikasi dan
informasi harus sedemikian rupa sehingga semua aktor
dapat mengambil bagian dalam diskusi tentang proses
pengambilan keputusan sehingga menjadi lebih setara:
resolusi yang dihasilkan akan lebih berkelanjutan. Akses
yang sama terhadap informasi sebagian besar didasarkan

470
KETERKAITAN DEMOKRASI TERHADAP PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN PADA
SEKTOR PERTAMBANGAN DI INDONESIA

pada peningkatan komunikasi antara perusahaan dan


masyarakat (Kitula, 2006).

Keberlanjutan Dimensi Lingkungan

Selama 50 tahun terakhir telah dapat dibuktikan bahwa


pemanasan global yang sekarang ini kita rasakan terjadi
terutama karena ulah manusia sendiri. Emisi dari gas-gas
rumah kaca seperti CO2 dan N2O dari aktivitas manusia
adalah penyebabnya. Konsentrasi gas CO2 di atmosfer
naik 30% selama 150 tahun terakhir. Kenaikan jumlah
emisi CO2 ini terutama disebabkan karena pembakaran
sumber energi dari bahan fosil (antara lain minyak bumi).
Selain itu, perubahan dalam penggunaan sumber daya
alam lainnya juga memberikan kontribusi pada kenaikan
jumlah CO2 di atmosfer: 15% oleh penggundulan dan
pembakaran hutan dan lahan untuk diubah fungsinya
(misalnya dari hutan lindung menjadi hutan produksi)
(WRI, 2000).

Masalah ekologi lainnya adalah degradasi tanah atau


hilangnya kesuburan tanah. Ini dapat diakibatkan oleh
erosi akibat air dan angin, penggaraman dan pengasaman
tanah, dan sebagainya. Penyebab hilangnya kesuburan
tanah lainnya adalah hilangnya lapisan humus dan mikro
organisme, zat makanan pada tanah, dan kemampuan
tanah menguraikan sampah/limbah. Tanah yang tandus
(kering) adalah akibat dari degradasi sumber daya tanah
seperti yang sudah lama terjadi pada beberapa daerah

471
KETERKAITAN DEMOKRASI TERHADAP PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN PADA
SEKTOR PERTAMBANGAN DI INDONESIA

tandus di Indonesia, seperti di Jawa pada daerah Gunung


Kidul, Yogyakarta. Di seluruh dunia, 15% tanah
mengalami degradasi. Selain diakibatkan erosi oleh air
dan angin, degradasi tanah ini juga disebabkan oleh
penggunaan zat-zat kimia (pestisida). Terancamnya
kelestarian ekosistem dan keanekaragaman hayati oleh
tangan manusia juga menjadi masalah ekologi lainnya.
Setiap tahunnya 6000 jenis hewan punah yang terdiri dari
13% unggas, 25% mamalia, dan 34% ikan. Hilang atau
punahnya keanekaragaman biologis tidak hanya berarti
sumber daya alam yang tidak ternilai yang dapat
digunakan untuk obat-obatan dan tempat berekreasi
hilang, tapi juga mengancam keberlangsungan ekosistem
secara keseluruhan, mengancam kemampuan alam
sebagai penyedia sumber daya untuk produksi (fungsi
ekonomis) dan dalam melakukan fungsi regulasinya
(UNDP, BPS & Bappeda, 2002).

Konsumsi air dari tahun ke tahun juga terus bertambah


sejalan dengan pertumbuhan jumlah penduduk, industri
dan usaha-usaha di sektor pertanian. Dari total konsumsi
air di seluruh dunia, sekitar 70% digunakan untuk
memenuhi kebutuhan sektor pertanian. Pencemaran air
dan tanah semakin memperburuk ketersediaan air bersih
bagi kelangsungan hidup manusia. Pencemaran air dan
tanah ini terutama disebabkan oleh penggunaan pupuk
dan pestisida untuk pertanian dan perkebunan (WRI,
2000).

472
KETERKAITAN DEMOKRASI TERHADAP PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN PADA
SEKTOR PERTAMBANGAN DI INDONESIA

Metode Penelitian

Pendekatan

Studi ini menggunakan pendekatan kuantitatif yang


dirancang sebagai studi verifikasi yaitu menguji jawaban
yang tertuang dalam hipotesis terhadap masalah yang
ada. Penelitian verifikasi tersebut dikategorikan sebagai
penelitian kausalitas yang bertujuan untuk mengkaji dan
menguji keberadaan teori secara empiris dari hubungan
variabel-variabel yang diformulasikan ke dalam hipotesis.

Penelitian ini bersifat explanatory atau penelitian


eksperimen yang bertujuan untuk meramalkan dan
menjelaskan hal-hal yang terjadi atau yang akan terjadi di
antara variabel-variabel tertentu melalui spekulasi
pengontrolan hubungan di antara variabel-variabel
tersebut. Sehingga ditemukan perbedaan salah satu
variabel atau hubungan dan bahkan berpengaruh di
antara variabel-variabel tersebut.

Selanjutnya penelitian kausalitas ini bertujuan untuk


menyelidiki kemungkinan hubungan sebab akibat dari
suatu penelitian atau peristiwa atau fenomena yang dapat
diukur dan berusaha menjelaskan hubungan kausalitas
antara variabel eksogen dengan variabel endogen. Dengan
demikian maka penelitian kausalitas merupakan
tingkatan penelitian verifikasi yang didasari pada sifat
penelitian eksplanatori yakni menjelaskan hubungan
kausalitas antar variabel. Karena itu, rancangan

473
KETERKAITAN DEMOKRASI TERHADAP PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN PADA
SEKTOR PERTAMBANGAN DI INDONESIA

penelitian yang bersifat verifikasi dan didasari pada


eksplanatori yang dipilih tersebut merupakan
konsekuensi dari pilihan pemikiran deduktif, yang
disimpulkan berdasarkan hasil pemikiran (logic) atau
rasio, sehingga untuk meyakinkan kebenarannya
diperlukan pengujian (verifikasi) yakni membandingkan
dan atau menyesuaikan keadaan empiric dengan proses
penalaran induktif. Hal ini didasarkan pada hasil
pemilihan logika tersebut yang umumnya didasari atas
ketidakpuasan terhadap sesuatu dan bukan hanya
terhadap hasil pemikiran orang lain, bahkan termasuk
dengan hasil pemikiran itu sendiri.

Metode Pengumpulan Data

Data yang dikumpulkan dalam studi ini adalah metode


yang menggunakan dokumen yang berasal dari website
Biro Pusat Statistika yaitu www.bps.go.id. Hal ini
didasarkan bahwa data yang diambil merupakan data
sekunder pada tahun 2009 hingga tahun 2018.

Adapun demokrasi dihitung dengan menggunakan Indeks


Demokrasi Indonesia (IDI) yang diambil pada website BPS.
Data IDI ini menggambarkan 3 (tiga) aspek yaitu
kebebasan sipil, hak politik, dan lembaga demokrasi; 11
(sebelas) variabel dan 28 indikator penerapan demokrasi
di Indonesia.

474
KETERKAITAN DEMOKRASI TERHADAP PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN PADA
SEKTOR PERTAMBANGAN DI INDONESIA

Pembangunan berkelanjutan dihitung dengan


menggunakan indeks pembangunan berkelanjutan (IPB)
dengan menggunakan rumus:

𝐼𝑛𝑑𝑒𝑘𝑠 𝑃𝐷𝑅𝐵+(3 𝑥 𝐼𝑃𝑀)+ (2 𝑥 𝐼𝐾𝐿𝐻)


IPB =
6

Dimana IPB ini dilakukan dengan pembobotan parameter


melalui skenario indeks komposit indeks pembangunan
berkelanjutan. Pembobotan yang sama dilakukan antar
dimensi pembangunan berkelanjutan (ekonomi, sosial,
dan lingkungan). Fokusnya pada studi ini bukan pada
indikator penyusunnya, melainkan pada dimensi
pembangunan yang mewakili masing-masing indikator.
Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) dan Indeks
Kualitas Lingkungan Hidup (IKLH) masing-masing
mewakili dimensi ekonomi dan lingkungan, sedangkan
Indeks Pembangunan Manusia (IPM) mewakili dua
dimensi sekaligus yaitu sosial dan ekonomi. Agar bobot
antar dimensi sama, maka masing-masing indikator diberi
bobot yang berbeda, 1/6 untuk indeks PDRB, 3/6 untuk
IPM, dan 2/6 untuk IKLH. Keseluruhan data indeks
diambil dari website BPS.

Angka indeks demokrasi menunjukkan pencapaian


penerapan nilai-nilai luhur demokrasi di Indonesia.
Apabila angka indeks demokrasi berada antara 1 hingga
50 berarti tingkat persentase penerapan demokrasi di
Indonesia adalah rendah. Jika angka indeks-nya berada
antara 50 hingga 80 berarti tingkat persentase penerapan

475
KETERKAITAN DEMOKRASI TERHADAP PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN PADA
SEKTOR PERTAMBANGAN DI INDONESIA

demokrasi di Indonesia adalah mencukupi. Dan bila


angka indeks demokrasi berada antara 80 hingga 100
berarti tingkat persentase telah diterapkan secara
(mendekati) sempurna nilai-nilai luhur demokrasi di
Indonesia.

Sedangkan angka indeks pembangunan berkelanjutan


menunjukkan pencapaian terlaksananya keberlanjutan
pembangunan. Apabila angka indeks pembangunan
berkelanjutan berada antara 1 hingga 50 berarti tingkat
persentase rendahnya pencapaian pembangunan
berkelanjutan di Indonesia. Jika angka indeks-nya berada
antara 50 antara 80 berarti tingkat persentase pencapaian
pembangunan berkelanjutan adalah sedang. Dan apabila
angka indeks pembangunan berkelanjutan berada antara
80 hingga 100 maka berarti tingkat persentase telah
terlaksananya pencapaian pembangunan berkelanjutan
secara (mendekati) sempurna.

Teknik Penarikan Sampel

Teknik penarikan sampel dalam studi adalah dilakukan


secara proporsional dengan memilih (10) sepuluh provinsi
di Indonesia yang didasarkan pada pembukaan Izin Usaha
Pertambangan (IUP) dan rekomendasi status clean and
clear (C&C) sesudah adanya koordinasi dan supervisi.
Dengan demikian diurutkan sampel provinsi penghasil
tambang terbanyak adalah sebagai berikut:

1. Provinsi Kalimantan Timur (Kaltim)

476
KETERKAITAN DEMOKRASI TERHADAP PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN PADA
SEKTOR PERTAMBANGAN DI INDONESIA

2. Provinsi Kalimantan Tengah (Kalteng)

3. Provinsi Kepulauan Bangka Belitung (Babel)

4. Provinsi Kalimantan Selatan (Kalsel)

5. Provinsi Kalimantan Barat (Kalbar)

6. Provinsi Sulawesi Tenggara (Sultra)

7. Provinsi Sumatera Selatan (Sumsel)

8. Provinsi Maluku Utara (Malut)

9. Provinsi Sulawesi Tengah (Sulteng)

10. Provinsi Sulawesi Selatan (Sulsel)

Teknik Analisa Data

Prosedur analisis data dilakukan dengan langkah-langkah


sebagai berikut; pertama, data diolah dan dianalisis
dengan statistik dan dideskripsikan untuk memberikan
gambaran umum tentang perekonomian makro dan
pembangunan berkelanjutan di sepuluh provinsi
penghasil tambang di Indonesia. Kedua, data diestimasi
dengan melakukan analisis regresi dalam bentuk
persamaan regresi. Model persamaan regresi ditulis dalam
bentuk persamaan fungsional berikut:

Yit = f (Xit), i = 1, 2, 3, …10; t = 1, 2, 3, ...,10. …(1)

Dimana Yit adalah pembangunan berkelanjutan di


provinsi i pada tahun t; Xit adalah demokrasi di provinsi i
pada tahun t.

477
KETERKAITAN DEMOKRASI TERHADAP PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN PADA
SEKTOR PERTAMBANGAN DI INDONESIA

Berdasarkan fungsi persamaan tersebut disederhanakan


menjadi persamaan estimasi regresi linear sebagai
berikut:

Yit = 𝛼0 + 𝛼1 ln Xit + 𝜇𝑖𝑡 … (2)

Dimana Yit adalah pembangunan berkelanjutan di


provinsi i pada tahun t; Xit adalah demokrasi di provinsi i
pada tahun t; 𝛼0 adalah konstanta; 𝛼1 adalah pengaruh
Xit terhadap Yit; dan 𝜇𝑖𝑡 adalah kesalahan estimasi.

PEMBAHASAN

Hasil studi ini membuktikan bahwa terdapat pengaruh


positif dan tidak signifikan antara demokrasi terhadap
pembangunan berkelanjutan pada provinsi penghasil
tambang di Indonesia selama periode tahun 2009-2018.
Hal ini terlihat pada deskripsi hasil studi berikut:

Tabel 1. Deskripsi Hasil Riset Indeks Demokrasi Provinsi


Penghasil Tambang di Indonesia

IDI*
No. Provinsi
Max Min Rata2

1. Kaltim 74.23 66.37 73.17

2. Kalteng 79.00 65.78 73.30

3. Babel 85.77 65.94 74.03

4. Kalsel 74.76 61.13 69.53

5. Kalbar 80.58 65.38 73.44

6. Sultra 79.45 54.79 64.99

478
KETERKAITAN DEMOKRASI TERHADAP PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN PADA
SEKTOR PERTAMBANGAN DI INDONESIA

7. Sumsel 82.33 67.12 75.43

8. Malut 75.98 59.17 67.13

9. Sulteng 76.67 64.00 69.81

10. Sulsel 75.30 56.67 67.39

Sumber: www.bps.go.id; * IDI = Indeks Demokrasi Indonesia

Berdasarkan tabel 1 terlihat bahwa dari 10 (sepuluh)


provinsi penghasil tambang di Indonesia secara rata-rata
Provinsi Sulawesi Tenggara yang memiliki angka indeks
demokrasi yang terendah yaitu sebesar 64.99. Artinya
angka indeks demokrasi-nya adalah sedang atau sebesar
65 persen. Hal ini disebabkan karena provinsi ini
masyarakat dan seluruh stakeholder belum mampu
menerapkan demokrasi yang mengandung nilai-nilai
luhur transparansi, akuntabilitas dan partisipasi.

Provinsi Sumatera Selatan yang memiliki angka indeks


demokrasi tertinggi adalah 75.43. Artinya angka indeks
demokrasi yang dicapai sebesar 75.43 persen. Hal ini
disebabkan kesadaran dan partisipasi seluruh aspek di
masyarakat dalam kehidupan demokrasi.

Adapun angka indeks pembangunan berkelanjutan pada


sepuluh provinsi penghasil tambang di Indonesia yang
mewakili sektor pertambangan di Indonesia terlihat pada
Tabel 2 berikut.

479
KETERKAITAN DEMOKRASI TERHADAP PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN PADA
SEKTOR PERTAMBANGAN DI INDONESIA

Tabel 2. Deskripsi Hasil Riset Indeks Pembangunan


Berkelanjutan Provinsi Penghasil Tambang di Indonesia

Indeks Pembangunan Berkelanjutan

Indeks
Provinsi IPM IKLH IPB
PDRB
(Rata2) (Rata2) (Rata2)
(Rata2)

Kaltim 123.86 74.88 73.10 82.45

Kalteng 151.18 71.17 66.28 82.87

Babel 108.22 70.71 63.42 74.53

Kalsel 127.37 69.23 59.28 75.60

Kalbar 133.12 67.26 72.45 79.97

Sultra 170.43 69.43 68.02 85.79

Sumsel 128.90 70.01 67.42 78.96

Malut 108.99 67.66 76.12 77.37

Sulteng 214.60 69.09 67.24 92.73

Sulsel 116.31 70.38 67.85 77.19

Sumber: www.bps.go.id; * IPB = Indeks Pembangunan Berkelanjutan

Berdasarkan Tabel 2 terlihat angka indeks implisit


perkembangan PDRB terlihat Propvinsi Sulawesi Tengah
mempunyai angka indeks PDRB terbesar di antara

480
KETERKAITAN DEMOKRASI TERHADAP PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN PADA
SEKTOR PERTAMBANGAN DI INDONESIA

provinsi penghasil tambangdi Indonesia yakni sebesar


214.60. Artinya terjadi peningkatan pendapatan regional
pada Provinsi Sulawesi Tengah sebanyak dua kali lipat
dari provinsi penghasil tambang terbesar yang ada di
Indonesia.

Kualitas sumber daya manusia di sektor pertambangan di


Indonesia selama tahun 2009 hingga tahun 2018 dapat
dilihat dari Indeks Pembangunan Manusia yang
terangkum dalam rata-rata IPM pada Tabel 2. Secara
keseluruhan rata-rata kualitas sumber daya manusia di
sekor pertambangan di Indonesia berada kondisi
menengah karena angka IPM berada antara 50 hingga 80.
Diantara provinsi penghasil tambang terbanyak di
Indonesia, Provinsi Kalimantan Timur yang berada pada
kualitas sumber daya manusia yang terbesar dari yang
menengah. Hal ini disebabkan oleh tingginya jumlah
tamatan SMP ke bawah yang berada di daerah tersebut.
Ditambah lagi jumlah pengeluaran perkapita di provinsi
ini masih tinggi.

Kualitas lingkungan hidup di sektor pertambangan di


Indonesia secara rata berada pada kategori sedang. Ini
terlihat pada Tabel 2 pada komponen indeks kualitas
lingkungan pada provinsi penghasil tambang terbesar di
Indonesia yang mewakili sektor pertambangan di
Indonesia. Artinya angka indeks-nya berada antara 50
hingga 80.

481
KETERKAITAN DEMOKRASI TERHADAP PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN PADA
SEKTOR PERTAMBANGAN DI INDONESIA

Adapun Provinsi Kalimantan Selatan mengalami kondisi


terendah kualitas lingkungan hidup diantara provinsi
penghasil tambang terbesar di Indonesia. Angka indeks
nya berada pada 59.28. Hal ini disebabkan oleh tingginya
pencemaran udara dan air serta rendahnya tutupan lahan
di provinsi ini. Dikhawatirkan di provinsi ini mengalami
degradasi lingkungan.

Di samping itu angka indeks pembangunan berkelanjutan


telah berada pada kondisi mendekati sempurna dalam
pencapaian pembangunan berkelanjutan. Provinsi
Kepulauan Bangka Belitung yang memiliki angka rata-
rata indeks pembangunan berkelanjutan selama periode
tahun 2009 hingga 2018 terendah yaitu sebesar 74.53.
Artinya sebesar 74.53 persen provinsi ini telah mencapai
pembangunan berkelanjutan karena disebabkan provinsi
ini memiliki angka indeks PDRB rendah akibat
berkurangnya gariah investor di provinsi ini.

Provinsi Sulawesi Tengah memiliki angka indeks


pembangunan berkelanjutan tertinggi yaitu sebesar
92.73. Artinya sebesar 92.73 persen provinsi ini telah
mendekati sempurna (berhasil) dalam mencapai
pembangunan berkelanjutan. Hal ini disebabkan oleh
adanya kemudahan-kemudahan yang didapatkan dari
pemerintah pusat sehingga meningkatkan pendapatan
regional dan mendongkrak indeks PDRB.

482
KETERKAITAN DEMOKRASI TERHADAP PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN PADA
SEKTOR PERTAMBANGAN DI INDONESIA

Dengan demikian secara keseluruhan terlihat bahwa


adanya pengaruh positif dan tidak signiifkan antara
demokrasi terhadap pembangunan berkelanjutan. Ini
terangkum dalam hasil estimasi regresi berikut.

Persamaan Estimasi Regresi:

Y = 76.788 + 0.083 X + e
t-test, (4.965) (0.627)
Sig. t (0.000) (0.532)
R2 = 0.896; Sig. = 0.000; F-test = 1.801
Berdasarkan estimasi studi membuktikan bahwa terdapat
pengaruh positif dan tidak signifikan antara demokrasi (X)
terhadap pembangunan berkelanjutan (Y). Ini terlihat dari
nilai koefisien regresinya sebesar 0.083 dan nilai t-test
hanya 0.627 pada signifikansi di atas 0.05, yaitu sebesar
0.532.

Ditambah lagi pengaruh hubungan ini adalah kuat yakni


dapat menjelaskan pengaruh demokrasi terhadap
pembangunan berkelanjutan sebesar 89.6 persen.
Sisanya sebesar 10,4 dijelaskan oleh variabel lain selain
demokrasi.

Dalam riset Meadowcroft, et al., Beckman, Bluhdorn dan


Lafferty bahwa terjadinya perubahan radikal dan
reformasi dalam demokrasi merupakan perwujudan atas
implikasi dari pembangunan (Meadowcroft, Langhelle &
Ruud, 2012; Beckman, 2008; Bluhdorn, 2012; Lafferty,
2012).

483
KETERKAITAN DEMOKRASI TERHADAP PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN PADA
SEKTOR PERTAMBANGAN DI INDONESIA

Indonesia telah memberikan legitimasi dan transparansi


dalam pengaturan keuangan. Seperti yang dikemukakan
sebelumnya bahwa pemerintah telah membuat aplikasi
dan program keterbukaan anggaran belanja kementrian
dan pemerintah daerah. Tindakan korupsi merupakan
faktor yang paling menjadi masalah dalam berusaha di
Indonesia (OECD, 2016).

Walaupun pemerintah telah memberikan payung hukum


yang kuat tetapi adanya sengketa atas penguasaan tanah
dan bangunan membuat riset ini menjadi tidak
siginifikan. Selain itu kecepatan hilangnya tutupan lahan
telah melambat selama sepuluh terakhir. Pemerintah
telah menerbitkan moratorium pemberian konsesi
perkebunan serta penebangan hutan primer dan lahan
gambut pada tahun 2011 tetapi belum sepenuhnya
efektif. Kemudian pada bulan September 2018, Presiden
Jokowi menandatangai peraturan yang mengatur
moratorium pemberian izin usaha kelapa sawit selama 3
tahun. Tetapi hak atas tanah yang belum jelas dan
penegakkan hukum belum lebih baik dalam membantu
mengendalikan deforestasi. Memang telah digagas
Prakasra Kebijakan Satu Peta pada tahun 2015 untuk
membentuk suatu kadaster (pencatatan batas tanah) dan
menyelesaikan konflik hak atas tanah dan bangunan
tetapi akan difinalisasi pada tahun 2019 (OECD, 2018).

484
KETERKAITAN DEMOKRASI TERHADAP PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN PADA
SEKTOR PERTAMBANGAN DI INDONESIA

PENUTUP

Pada sektor pertambangan yang dilihat dalam provinsi


penghasil tambang di Indonesia mempunyai pengaruh
positif dan tidak signifikan antara demokrasi dan
pembangunan berkelanjutan selama periode tahun 2009
hingga tahun 2018. Dimungkinkan selama sepuluh tahun
ke depan hasil ini masih dapat dipercaya.

Adapun rata-rata indeks demokrasi pada sektor


pertambangan di Indonesia berada pada angka 70.77. Ini
berarti penerapan demokrasi di Indonesia telah baik
selama tahun 2009 hingga tahun 2018. Sedangkan rata-
rata indeks pembangunan berkelanjutan berada pada
angka 80.75. Ini berarti pencapaian pembangunan
berkelanjutan pada sektor pertambangan telah baik
selama tahun 2009 hingga tahun 2018.

Sebagai saran pada implementasi demokrasi terhadap


pembangunan berkelanjutan sebaiknya diterapkan nilai-
nilai luhur yang terkandung dalam demorasi seperti
adanya transparansi, kebebasan yang terkendali,
akuntabilitas dan melibatkan partisipasi masyarakat agar
terwujud keberlanjutan pembangunan. Dan dalam
implementasi demokrasi terhadap pembangunan
berkelanjutan melalui kriminalitas sebaiknya pemerintah
lebih peka dan cepat bertindak mengambil kebijakan
apabila dikhawatirkan terjadinya tindak kejahatan
dengan mengeluarkan peraturan dan payung hukum yang

485
KETERKAITAN DEMOKRASI TERHADAP PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN PADA
SEKTOR PERTAMBANGAN DI INDONESIA

mengejewantahan seluruh lapisan masyarakat agar


terwujudnya pembangunan berkelanjutan.

DAFTAR PUSTAKA

Beckman, L. (2008), Do Global Climate Change and The


Interest of Future Generations Have Implications for
Democracy? Environmental Politics, 17:4, 610-624.
Bluhdorn, I. (2012), Democracy and Sustainability:
Opening The Discursive Arena Struggling for an
Innovative Debate, Friedrich Ebert Stiftung.
Cinelli M, SR Coles, K. Kirwan (2014), Analysis of The
Potentials of Multicriteria Decision Analysis Methods
to Conduct Sustainability Assessment. Ecological
Indicators, Vol. 46, 138-148.
Dijk, J.J.M van & T. Chanturia. (2012). The Remarkable
Case of Georgia: Secondary Analysisi of The
2010/2011. Crime and Security Surveys in Georgia,
Ministry of Justice Georgia.
Dijk., J.J.M. Van. (2014). Crime. In D. Rowe (ed). Achieving
Susutainability: Vision, Principles, and Practices.
Detroit: Macmillan References USA.
Faguet., J. (2014), Decentralization and Governance.
World Development. Vol. 53(C).
Fajnzylber, Pablo., Daniel Lederman, and Norman Laoyza,
(2002). Inequality and Violent Crime. Journal of Law
and Economics, Vo. XLV (April 2002).
Fauzi, A. & A. Oxtavianus (2014), The Measurement of
Sustainable Development in Indonesia. Jurnal
Ekonomi Pembangunan, 15(1), 68-83.
Jacobs., J. B. (1999), Gotham Unbound: How New York
City was Liberated from The Grib of Organised Crime.
New York University Press.
Kates, R. W., T. M. Parris, A. A. Leiserowitz (2005), What
is Sustainable Development? Goals, Indicators,

486
KETERKAITAN DEMOKRASI TERHADAP PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN PADA
SEKTOR PERTAMBANGAN DI INDONESIA

Values, and Practice. Issue Environment Science and


Policy for Sustainable Development, 47 (3), 8-21.
Lafferty, W. (2012), The Impasse of Dysfunctional
Democracy’ in Meadowcroft J, Langhelle O and Ruud
A (eds) (2012) Governance, Democracy and
Sustainable Development: Moving beyond the
impasse, Edward Elgar.
LaFree, G. & A. Tseloni (2006), Democracy and Crime: A
Multilevel Analysis of Homicide Trends in Fourty-Four
Countries 1950-2000. Annals of The American
Academy of Political and Social Science., Vol. 605, May.
Meadowcroft J, Langhelle O &Ruud A (eds) (2012),
Governance, Democracy and Sustainable Development:
Moving beyond the impasse. Edward Elgar.
OECD (2013), Fiscal Federalism 2014 Making
Decentralization Work, OECD Publishig
OECD (2016), Survei Ekonomi OECD Indonesia.
OECD (2018), Survei Ekonomi OECD Indonesia.
Orlando., L. (2011), Fighting The Mafia and Renewing
Sicilian Culture. San Fransisco: Encounter Books.
Poveda, C. A. & M. G. Lipsett (2011), A Review of
Sustainability Assessment and Sustainability
Environmental Rating Systems and Credit Weighting
Tools. Journal Sustainable Development, 4(6), 36-52.
Resosudarmo., I. N. Oka, Mardiah, & N. Utomo (2014),
Governing Fragile Ecologies: A Perspective on Forest
and Land-based Development in The Region. Regional
Dynamics in a Decentralised Indonesia, Institute of
Southest Asian Studies, Singapura.
UNDP, BPS & Bappeda, (2002), Laporan Pembangunan
Manusia 2001: Menuju Konsensus Baru Demokrasi
dan Pembangunan di Indonesia. Jakarta: BPS.
World Bank (2013), Georgia Overview. Washington DC.
WRI (World Resource Institute) (2000), Strategi
Keanekaragaman Hayati Global: Panduan bagi

487
KETERKAITAN DEMOKRASI TERHADAP PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN PADA
SEKTOR PERTAMBANGAN DI INDONESIA

Tindakan untuk Menyelamatkan, Mempelajari, dan


Memanfaatkan Kekayaan Biotik Bumi secara
Berkelanjutan dan Seimbang. Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama.

488
13
Status Hukum Penggunaan
Kawasan Hutan Konservasi Taman
Hutan Raya Bukti Soeharto Untuk
Jalan Pengangkutan
Pertambangan Batubara

Muh. Jamil
Kepala Divisi Hukum JATAM Nasional
mj.manajerfile@gmail.com
Haris Retno Susmiyati, Herdiansyah Hamzah
Fakultas Hukum Universitas Mulawarman
harisretno@fh.unmul.ac.id

Abstrak

Hutan Konservasi Taman Hutan Raya Bukit Soeharto


tergolong sebagai kasawan pelestarian alam. Status
kawasan ini memberikan pembatasan pemanfaatan
hanya untuk kegiatan koleksi tumbuhan dan satwa,
kebutuhan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan,
menunjang budidaya, dan pariwisata sebagaimana diatur
dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 Tentang
Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya.
Namun saat ini, terdapat jalan hauling pengangkut
batubara yang melintasi Taman Hutan Raya Bukit

489
STATUS HUKUM PENGGUNAAN KAWASAN HUTAN KONSERVASI TAMAN HUTAN RAYA
BUKTI SOEHARTO UNTUK JALAN PENGANGKUTAN PERTAMBANGAN BATUBARA

Soeharto yang diperoleh melalui Perjanjian Kerjasama


pemanfataan Jalan Eks. HPH di Tahura Bukit Soeharto
dan pengelolaan yang bersifat kolaborasi bersama dengan
Pusat Penelitian Hutan Tropis Universitas Mulawarman
(PPHT UNMUL), Pihak perusahaan dan Pemerintah. Oleh
karenanya, kasus dalam penelitian ini menggunakan
metode penelitian hukum normatif. Pokok kajiannya
adalah hukum yang dikonsepkan sebagai norma atau
kaidah yang berlaku dalam masyarakat dan menjadi
acuan setiap orang. Hasil penelitian menyatakan bahwa
penggunaan jalan hauling batubara yang melintasi Taman
Hutan Raya Bukit Soeharto bertentangan dengan
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 Tentang Tentang
Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya
serta tujuan perlindungan lingkungan. Selain itu, proses
pemberian izin untuk penggunaan jalur hauling batubara
di Taman Hutan Raya Bukit Soeharto hanya
menggunakan perjanjian kerjasama dalam bentuk
kolaborasi, bukan melalui izin dari Kementerian
Kehutanan RI, sehingga kegiatan tersebut menyalahi
prosedur penggunaan kawasan hutan.

Kata Kunci: hutan konservasi, kawasan pelestarian


alam, taman hutan raya, jalan hauling batubara,
perjanjian kerja sama

490
STATUS HUKUM PENGGUNAAN KAWASAN HUTAN KONSERVASI TAMAN HUTAN RAYA
BUKTI SOEHARTO UNTUK JALAN PENGANGKUTAN PERTAMBANGAN BATUBARA

PENDAHULUAN

Ekosistem hutan adalah sumber fundamental layanan


dan keanekaragaman hayati global, kapasitas mereka
untuk mempertahankan manfaat ini di masa depan
berpotensi terancam oleh dampak antropogenik seperti
perubahan iklim, penggunaan lahan, dan praktik
manajemen yang tidak berkelanjutan (Vizzarri, dkk.
2015). Hutan juga dikenal sebagai kekayaan alam yang
memiliki beragam fungsi; ekonomi, ekologi, sosial dan
budaya. Di Indonesia, beragam fungsi ini ditetapkan
melalui Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang
Kehutanan menjadi fungsi Konservasi, Lindung dan
Produksi yang secara bersamaan memberikan
pembatasan terhadap pemanfaatan hutan sesuai dengan
peruntukannya. Namun, penyalahgunaan pengolahan
hutan seringkali terjadi sehingga menimbulkan polemik
baru yang merusak tatanan pemanfaatan hutan sesuai
fungsinya, tak terkecuali hutan dengan tujuan dan fungsi
konservasi.

Konservasi hutan adalah proses berkelanjutan yang


membutuhkan strategi dan pendekatan yang dirancang
dengan baik yang memenuhi tujuan yang diinginkan,
dengan ruang lingkup untuk memasukkan ide-ide baru
dalam kerangka kerja yang diberikan (Pandey, Jain &
Gupta, 2015). Hutan dengan tujuan dan fungsi konservasi
seringkali dimaknai secara keliru oleh berbagai kalangan,
sehingga berbagai persoalan dan konflik muncul karena

491
STATUS HUKUM PENGGUNAAN KAWASAN HUTAN KONSERVASI TAMAN HUTAN RAYA
BUKTI SOEHARTO UNTUK JALAN PENGANGKUTAN PERTAMBANGAN BATUBARA

ketidakadilan alokasi sumber daya alam itu sendri.


Padahal dalam Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999
Tentang Kehutanan Pasal 1 Angka 9 menyatakan “Hutan
Konservasi merupakan kawasan hutan dengan ciri khas
tertentu yang mempunyai fungsi pokok pengawetan
keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta
ekosistemnya”. Artinya, hutan konservasi diharapkan
menjadi tempat perlindungan ekosistemnya demi
kelestarian alam dan lingkungan agar bermanfaat bagi
kehidupan manusia baik dikehidupan masa kini maupun
akan datang (Murhaini, 2014).

Keberlanjutan fungsi hutan mempersyaratkan adanya


pola pemanfaatan yang memperhitungkan ketersediaan
kawasan hutan, sebaran, maupun kehati-hatian
penggunaannya untuk tujuan pembangunan di luar
sektor kehutanan (Muhdar, 2015). Faktanya masih ada
banyak kasus pemanfaatan hutan yang tidak sesuai
peruntukannya. Di kawasan hutan Konservasi, sekitar
30% (10,5 juta hektare) telah rusak dari total sekitar 35
juta hektare pada 2015 (Uliani, 2016). Hutan di
Kalimantan telah mengalami beberapa gangguan yang
menimbulkan kerusakan yang sebagian besar disebabkan
oleh ulah manusia yaitu diantaranya illegal logging
perambahan kawasan, perburuan liar, penambangan
illegal dan kebakaran hutan (Jinarto, 2019). Tidak
terkecuali pemanfaatan kawasan hutan di Provinsi

492
STATUS HUKUM PENGGUNAAN KAWASAN HUTAN KONSERVASI TAMAN HUTAN RAYA
BUKTI SOEHARTO UNTUK JALAN PENGANGKUTAN PERTAMBANGAN BATUBARA

Kalimantan Timur yang terus mengalami penurunan


jumlah luasan dan kualitas dari waktu ke waktu.

Dalam laporan 'Making Mining Forest-Smart', Bank Dunia


mencatat bahwa “jumlah tambang skala besar baru di
kawasan hutan yang beroprasi setiap tahun telah
meningkat dari 4-10 selama 1980-an menjadi 20 kali lipat
atau lebih dalam dekade terakhir. Karena Bank Dunia
adalah penyandang dana penting untuk penambangan
skala besar dan infrastruktur yang terkait dengan
tambang seperti itu, maka penting sekali untuk
memastikan bahwa pedoman lingkungannya sendiri akan
memungkinkan Bank untuk mendanai tambang bahkan
di mana penambangan akan menghancurkan hutan atau
terjadi di kawasan yang dilindungi (Kill, 2019).

Penggunaan kawasan hutan untuk kegiatan


pertambangan telah berlangsung sejak lama jauh sebelum
diterbitkan UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.
Bahkan, status hukum atas penggunaan kawasan hutan
untuk pertambangan sebelum UU Kehutanan tetap diakui
sampai dengan berakhirnya izin yang dimiliki oleh
penambang (Muhdar, 2015). Tak terkecuali kawasan
hutan dengan status konservasi. Jika ditelaah lagi, status
kawasan Hutan Konservasi Taman Hutan Raya Bukit
Soeharto merupakan kawasan Taman Hutan Raya yang
tergolong dalam kawasan pelestarian alam yang
pemanfaatannya terbatas untuk budidaya dan
pegembangan ilmu pengetahuan serta rekreasi seperti

493
STATUS HUKUM PENGGUNAAN KAWASAN HUTAN KONSERVASI TAMAN HUTAN RAYA
BUKTI SOEHARTO UNTUK JALAN PENGANGKUTAN PERTAMBANGAN BATUBARA

yang tercantum dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun


1990 Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan
Ekosistemnya Pasal 1:

“Taman hutan raya adalah kawasan pelestarian


alam untuk tujuan koleksi tumbuhan dan atau satwa
yang alami atau buatan, jenis asli dan atau bukan
asli, yang dimanfaatkan bagi kepentingan penelitian,
ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya,
budaya, pariwisata dan rekreasi.”

Taman Hutan Raya Bukit Soeharto ditetapkan sebagai


salah satu jenis hutan dengan tujuan konservasi di
kawasan Bukit Soeharto seluas 67.676 Hektare melalui
SK Menhut Nomor 557/Menhut-II/2009 (Priambodo,
2018). Namun, terdapat sekitar 44 Kuasa Pertambangan
(KP) atau Izin Usaha Pertambangan (IUP) perusahaan
batubara yang beroperasi di Tahura Bukit Soeharto yang
mengkapling sekitar 10 persen luasan Tahura di kapling
oleh pertambangan atau setara dengan luas mencapai 6,7
ribu hektare lebih. Hal ini menunjukkan pada kita bahwa
persoalan komunikasi dan koordinasi antara kementerian
di tingkat pusat dan antar pemerintah provinsi dan
pemerintah kabupaten/kota menjadi kendala dalam
pelaksanaan usaha pertambangan di dalam dan di luar
kawasan hutan (Subarudi, Kartodihardjo, Soedomo &
Sapardi, 2016). Padahal, pemberian izin pemanfaatan
ruang, termasuk Izin Usaha Pertambangan (IUP), menurut
Pasal 37 ayat (7) Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007

494
STATUS HUKUM PENGGUNAAN KAWASAN HUTAN KONSERVASI TAMAN HUTAN RAYA
BUKTI SOEHARTO UNTUK JALAN PENGANGKUTAN PERTAMBANGAN BATUBARA

tentang Penataan Ruang melarang setiap pejabat


pemerintah yang berwenang menerbitkan izin. Pada
prinsipnya penggunan kawasan hutan haruslah sesuai
dengan peruntukan dan fungsinya. Kehadiran IUP
tersebut tidak sesuai dengan prinsip-prinsip konservasi
sesuai dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990
Tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan
Ekosistem pada Pasal 33 ayat (1) menyebutkan bahwa:
“Setiap orang dilarang melakukan kegiatan yang tidak
sesuai dengan fungsi zona pemanfaatan dan zona lain dari
taman nasional, taman hutan raya, dan taman wisata
alam”.

Begitu juga ketentuan Undang-Undang Nomor 18 tahun


2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Kawasan
Hutan pada Pasal 17 ayat (1), menyebutkan bahwa :

(1) Setiap orang dilarang :


a. membawa alat-alat berat dan/atau alat-alat
lain yang lazim atau patut diduga akan
digunakan untuk melakukan kegiatan
penambangan dan/atau mengangkut hasil
tambang di dalam kawasan hutan tanpa izin
Menteri;

b. melakukan kegiatan penambangan di dalam


kawasan hutan tanpa izin Menteri;

c. mengangkut dan/atau menerima titipan hasil


tambang yang berasal dari kegiatan

495
STATUS HUKUM PENGGUNAAN KAWASAN HUTAN KONSERVASI TAMAN HUTAN RAYA
BUKTI SOEHARTO UNTUK JALAN PENGANGKUTAN PERTAMBANGAN BATUBARA

penambangan di dalam kawasan hutan tanpa


izin;

d. menjual, menguasai, memiliki, dan/atau


menyimpan hasil tambang yang berasal dari
kegiatan penambangan di dalam kawasan
hutan tanpa izin; dan/atau

e. membeli, memasarkan, dan/atau mengolah


hasil tambang dari kegiatan penambangan di
dalam kawasan hutan tanpa izin.

Dengan adanya IUP yang terbit di kawasan Konoservasi


Taman Hutan Raya Bukit Soeharto, mengakibatkan
adanya jalur pengangkutan batubara yang melintasi
kawasan tersebut. Dalam Undang-Undang No. 4 Tahun
2009 tentang Mineral dan Batubara Pasal 1 angka 21
menyatakan:

“Jalan pengangkutan dalam usaha pertambangan


batubara adalah jalan yang digunakan dalam
kegiatan usaha pertambangan untuk memindahkan
mineral dan/atau batubara dari daerah tambang
dan/atau tempat pengolahan dan pemurnian sampai
tempat penyerahan”.

Jalan pengangkutan di dalam kawasan Hutan Konservasi


Taman Hutan Raya Bukit Soeharto diperoleh dari
Rencana Kerja Kegitan (RKK) Lima Tahun, Kolaborasi
antara Dinas Kehutanan Provinsi Kalimantan Timur,
Pusat Penelitian Hutan Tropis Universitas Mulawarman

496
STATUS HUKUM PENGGUNAAN KAWASAN HUTAN KONSERVASI TAMAN HUTAN RAYA
BUKTI SOEHARTO UNTUK JALAN PENGANGKUTAN PERTAMBANGAN BATUBARA

(PPHT-UNMUL) dan 12 Perusahaan Pertambangan


batubara, dengan persetujuan Direktorat Jendral
Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam (PHKA) dengan
surat Nomor : S.467/IV-KK/2007 tanggal 11 Juli 2007,
untuk pemanfaatan jalan Eks. HPH (Anonim, 2008). Pada
2016 terdapat 13 (tiga belas) perusahaan pertambangan
batubara yang beroperasi menggunakan jalan kolaborasi
di dalam kawasan hutan konservasi Taman Hutan Raya
Bukit Soeharto. Namun, pada 2020 jumlah perushaan
yang mengguankan jalan kolaborasi mengalami
pengurangan sehingga tersisa 7 (tujuh) perusahaan saja.
Hal ini sangat erat kaitannya dengan masa berlaku izin
usaha pertambangan dan jumlah cadangan batubara
yang dimiliki oleh pemilik izin.

Tabel 1
Daftar Perusahaan Pertammbangan Batubara yang
Menggunakan Eks HPH yang Statusnya dinaikkan menjadi
Kawasan Hutan Konservasi untuk Jalan Pengangkutan
Batubara
Pemanfaatan Jalan Eks.
Nama Perusahaan Tambang batubara
P.T. Fazar Utama ±6,4 Km
P.T. Kaltim Batu Manunggal ±2,67 Km
P.T. Karya Putra Borneo ±5,38 Km
P.T. Lembuswana Perkasa ±8,5 Km
CV. Artha Pratama Jaya ±9,3 Km
CV. Baramulti Suksessarana ±5,38 Km
CV. Adi Putro ±6,4 Km
Sumber: UPTD Pengelola Taman Hutan Raya Bukit Soeharto, Dinas
Kehutanan Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur 2020.

497
STATUS HUKUM PENGGUNAAN KAWASAN HUTAN KONSERVASI TAMAN HUTAN RAYA
BUKTI SOEHARTO UNTUK JALAN PENGANGKUTAN PERTAMBANGAN BATUBARA

Sementara, Provinsi Kalimantan Timur telah memiliki


Peraturan Daerah Nomor 10 Tahun 2012 Tentang
Penyelenggaraan Jalan Umum dan Khusus untuk
Kegiatan Pengangkutan Batubara dan Sawit. Namun
dalam Peraturan Daerah ini tidak ditemukan Pasal yang
mengatur tentang kegiatan pembangunan jalan di
kawasan hutan konservasi seperti Taman Hutan Raya
Bukit Soeharto.

Di sisi lain, dalam Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun


2011 tentang Pengelolaan Kawasan Suaka Alam dan
Kawasan Pelestarian Alam, Pasal 36 ayat (1), tidak ada
klausul menyebutkan bahwa Taman Hutan Raya dapat
dimanfaatkan untuk melakukan kolaborasi dengan
perusahaan tambang seperti yang terjadi di Taman Hutan
Raya Bukit Soeharto, kecuali untuk kegiatan sebagai
berikut:

a. Penelitian dan pengembangan Ilmu Pengetahuan


dan Teknologi
b. Pendidikan dan peningkatan kesadartahuan
konservasi
c. Koleksi kekayaan dan kenekaragaman hayati
d. Penyimpan dan/atau penyerapan karbon,
pemanfaatan air serta energi air, panas, dan angin
serta wisata alam

498
STATUS HUKUM PENGGUNAAN KAWASAN HUTAN KONSERVASI TAMAN HUTAN RAYA
BUKTI SOEHARTO UNTUK JALAN PENGANGKUTAN PERTAMBANGAN BATUBARA

e. Pemanfaatan tumbuhan dan satwa liar dalam


rangka menunjang budidaya dalam bentuk
penyediaan plasma nutfah
f. Pemanfaatan tradisional oleh masyarakat setempat;
dan Pembinaan polulasi melalui penangkaram
dalam rangka pengembangbiakan satwa atau
memperbanyak tumbuhan secara buatan dalam
lingkungan yang semi alami.

Dari uraian di atas penulis akan melakukan penelitian


perihal jalan pengangkutan batubara di kawasan hutan
konservasi Taman Hutan Raya Bukit Soeharto, dimana
akan dibahas mengenai status hukum kawasan Taman
Hutan Raya Bukit Soeharto serta status hukum tehadap
kegiatan jalan angkutan batubara di kawasan hutan
konservasi Taman Hutan Raya Bukit Soeharto.

Metode Penelitian

Penelitian ini adalah penelitian hukum normatif


(normative law research) dengan menggunakan studi
kasus normatif berupa produk perilaku hukum, seperti
mengkaji undang-undang. Pokok kajiannya adalah
hukum yang dikonsepkan sebagai norma atau kaidah
yang berlaku dalam masyarakat dan menjadi acuan setiap
orang. Sehingga penelitian hukum normatif berfokus pada
inventarisasi hukum positif, asas-asas dan doktrin
hukum, penemuan hukum, dalam perkara in concerto
(Muhammad, 2004). Metode pendekatan dalam penelitian

499
STATUS HUKUM PENGGUNAAN KAWASAN HUTAN KONSERVASI TAMAN HUTAN RAYA
BUKTI SOEHARTO UNTUK JALAN PENGANGKUTAN PERTAMBANGAN BATUBARA

ini adalah pendekatan peraturan perundang-undangan


(statue approach) (Marzuki, 2008). Suatu penelitian
normatif tentu harus menggunakan pendekatan
perundang-undangan, karena yang akan diteliti adalah
berbagai aturan hukum yang menjadi fokus sekaligus
tema sentral suatu penelitian.

Penelitian ini dilakukan pada 2016 di perbaharui pada


Juni 2020 dengan pengambilan data skunder studi
dokumen dari berbagai sumber atau instansi yang
berkaitan dengan permasalahan dalam penelitian ini
seperti Dinas Pertambangan, Dinas Kehutanan Provinsi,
BPKH, dan UPTD Tahura Bukit Soeharto.

PEMBAHASAN

Proses Pemberian Izin Untuk Jalan Pengangkutan


Pertambangan Batubara di Kawasan Hutan Konservasi
Taman Hutan Raya Bukit Soeharto

Sejarah Kawasan Tahura Bukit Soeharto adalah kawasan


hutan produksi yang pada zaman dulu merupakan
kawasan Hak Pengusahaan Hutan (HPH), sehingga masih
ada bekas/eks jalan pengangkutan kayu (logging) serta
eks kilang gergaji kayu (sawmill) dan eks tempat
penimbunan batang kayu gelondongan (logpond). Sebelum
dimanfaatkan, jalan tersebut dulunya menjadi akses para
pencuri kayu dan perambah hutan. Di dalam Taman
Hutan Raya Bukit Soeharto terdapat izin pertambangan
batubara yang sebelumnya kawasan izin tersebut berada

500
STATUS HUKUM PENGGUNAAN KAWASAN HUTAN KONSERVASI TAMAN HUTAN RAYA
BUKTI SOEHARTO UNTUK JALAN PENGANGKUTAN PERTAMBANGAN BATUBARA

di luar Tahura hal ini bisa terjadi disebabkan adanya


perbedaan luasan peta antara Lampiran Peta SK.
270/Menhut-II/1991 dengan SK. 577/Menhut-II/2009.

Kegiatan penambangan telah berkembang pesat di


seluruh hutan Indonesia yang mengakibatkan kerusakan
lingkungan alam dan kondisi ini sangat parah. Ini telah
menciptakan lingkungan yang buruk untuk kesehatan,
penurunan kualitas sumber daya manusia, perusakan
infrastruktur, hilangnya hak tradisional, perusakan
pertanian, kemiskinan, penyebab utama banjir yang tak
berkesudahan dan masalah lingkungan yang terus buruk
(Handayani, 2018). Selain izin pertambangan, hingga kini
dalam kawasan hutan konservasi Taman Hutan Raya
Bukit Soeharto terdapat 3 (tiga) jalur Eks HPH yang kini
dilalui untuk jalan pengangkutan batubara. Perusahaan
batubara yang berada di sekitar Tahura Bukit Soeharto
mengajukan permohonan pemanfaatan jalan eks HPH dan
pelabuhan untuk jalan angkutan batubara dengan
mempertimbangkan efektivitas dengan kesediaan untuk
membantu upaya pengelolaan Tahura Bukit Soeharto
dengan mekanisme kolaborasi.

Sesuai dengan kewenangan pengeloaan Tahura Bukit


Seoharto oleh Dinas Kehutanan Provinsi Kalimantan
Timur, megadakan Perjanjian Kerjasama untuk
pemanfataan Jalan Eks. HPH di Tahura Bukit Soeharto
dan pengelolaan yang bersifat kolaborasi bersama dengan
PPHT UNMUL dan Pihak perusahaan meiputi kegiatan

501
STATUS HUKUM PENGGUNAAN KAWASAN HUTAN KONSERVASI TAMAN HUTAN RAYA
BUKTI SOEHARTO UNTUK JALAN PENGANGKUTAN PERTAMBANGAN BATUBARA

rehabilitasi dan reboisasi, pengamanan kawasan hutan,


pengamananan dan pengawasan, upaya pelestarian,
sosialisasi, pengembangan penelitian dan pendidikan dan
evaluasi kegiatan. Kolaborasi Pengelolaan Kawasan
Pelestarian Alam adalah pelaksanaan suatu kegiatan atau
penanganan suatu masalah dalam rangka membantu
meningkatkan efektivitas pengelolaan Kawasan
Pelestarian Alam secara bersama dan sinergis oleh para
pihak atas dasar kesepahaman dan kesepakatan bersama
sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku. Dasar hukum yang dijadikan acuan pelaksanaan
kerjasama kolaborasi ini adalah Peraturan Menteri
Kehutanan Nomor: P.19/Menhut-II/2004 Tentang
Kolaborasi Pengelolaan Kawasan Suaka Alam dan
Kawasan Pelestarian Alam, Pasal 1 Angka 3 menyebutkan
bahwa:

“Kolaborasi Pengelolaan Kawasan Suaka Alam dan


Kawasan Pelestarian Alam adalah pelaksanaan
suatu kegiatan atau penanganan suatu masalah
dalam rangka membantu meningkatkan efektivitas
pengelolaan Kawasan Suaka Alam dan Kawasan
Pelestarian Alam secara bersama dan sinergis oleh
para pihak atas dasar kesepahaman dan
kesepakatan bersama sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.”

Kegiatan penambangan dalam kawasan konservasi itu,


tertuang dalam sebuah Rencana Kerja Kegiatan (RKK)

502
STATUS HUKUM PENGGUNAAN KAWASAN HUTAN KONSERVASI TAMAN HUTAN RAYA
BUKTI SOEHARTO UNTUK JALAN PENGANGKUTAN PERTAMBANGAN BATUBARA

Lima Tahun Tentang Pemanfaatan Jalan Eks. HPH


Sepanjang 8,5 kilometer di Dalam Taman Hutan Raya
Bukit Soeharto Tahun 2008-2012 tanggal 6 Maret 2008
yang melibatkan tiga pihak yang dibiarkan melakukan
konsolidasi dengan tujuan memanfaatkan, menggunakan
kawasan hutan yang berstatus konservasi yang
berseberangan dengan tujuan dan fungsi konservasi. Tiga
pihak tersebut yakni perusahaan tambang PT.
Lembuswana Perkasa, PPHT (Pusat Penelitian Hutan
Tropis) Universitas Mulawarman dan Dinas Kehutanan
Kalimantan Timur. Isi kesepakatan itu membolehkan
pihak perusahaan tambang batubara dapat
menggunakan jalan eks HPH yang telah menjadi kawasan
Tahura Bukit Soeharto yang dikelola PPHT seluas 20.271
hektare, yakni berdasarkan surat Dirjen PHKA Nomor
S.467/IV-KK/2007 tanggal 11 Juli 2007.

Dengan adanya konsolidasi mereka dapat membuat


membuat institusi, aturan main sendiri semacam upaya
legalisasi terjadap kegiatan yang tidak sesuai dengan
tujuan dan fungsi kawasan hutan konservasi. Pada
intinya terjadi benefit share diantara mereka. Dengan
demikian, ada proses saling melindungi dan
mengakumulasi kekuatan dan upaya penertiban akan
semakin sulit untuk dilakukan (Purwangsa, 2017).
Kawasan hutan konservasi Taman Hutan Raya Bukit
Soeharto telah dipergunakan tidak sesuai dengan fungsi
kawasan Taman Hutan Raya (Suryadi, Aipassa & Matius,

503
STATUS HUKUM PENGGUNAAN KAWASAN HUTAN KONSERVASI TAMAN HUTAN RAYA
BUKTI SOEHARTO UNTUK JALAN PENGANGKUTAN PERTAMBANGAN BATUBARA

2017). Namun, belakangan pihak kampus Universitas


Mulawarman akhirnya mengundurkan diri dari kerja
sama pada 12 Juli 2008, karena menilai pembukaan jalan
telah merusak upaya konservasi. Dinas Kehutanan
Provinsi Kalimantan Timur tetap melanjutkan kerjasama
kolaborasi tersebut dengan beralasan bahwa jalan yang
digunakan untuk mengangkut batubara itu juga dapat
mempermudah pekerjaan polisi hutan berpatroli. Jalan
dan pelabuhan yang dimanfaatkan untuk jalur hauling
batubara dalam Rencana Pengelolaan (RP) Tahura Bukit
Soeharto Tahun 2012-2031 oleh Dinas Kehutanan
memiliki persyaratan mutlak adalah:

a. Jalan yang dimanfaatkan adalah jalan yang sudah


ada (existing)
b. Tidak diperkenankan membuka lahan baru.
c. Tidak diperkenankan melakukan pengerasan jalan
(aspal).
d. Wajib menjaga konservasi tanah dikanan kiri jalan.

Dalam Rencana Pengelolaan (RPP) tersebut telah


diplotkan dalam blok pemanfaatan. perusahaan yang
mendapat izin kolaborasi adalah perusahaan yang areal
tambangnya berada di luar Tahura Bukit Soeharto jika
merujuk pada Lampiran SK.270/Menhut-II/1991.
Namun, jika merujuk pada Lampiram SK. 577/Menhut-
II/2009, izin pertambangan tersebut berada di kawasan
Taman Hutan Raya Bukit Soeharto. Hal ini berkaitan

504
STATUS HUKUM PENGGUNAAN KAWASAN HUTAN KONSERVASI TAMAN HUTAN RAYA
BUKTI SOEHARTO UNTUK JALAN PENGANGKUTAN PERTAMBANGAN BATUBARA

dengan perbedaan peta antara Lampiran Peta SK.


270/Menhut-II/1991 dengan SK. 577/Menhut-II/2009.

Pengelolaan Kawasan Suaka Alam dan Konservasi dalam


bentuk kerja sama/kolaborasi mendapat izin oleh Menteri
Kehutanan RI dengan persetujuan Direktur Jenderal
Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam (PHKA) melalui
surat nomor S.467/IV-KK/2007 pada tanggal 11 Mei
2007. Persetujuan tersebut ditindak lanjuti dengan
perjanjian kerjasama antara Dinas Kehutanan Provinsi
Kalimantan Timur, Pusat Penelitian Hutan Tropis (PPHT)
Universitas Mulawarman, dan P.T. Lembuswana Perkasa.1
Namun dari hasil analisa dokumen yang dimaksud justru
menunjukan bahwa perjanjian kerjasama/kolaborasi
tersebut bukanlah dalam bentuk izin, tapi dalam bentuk
perjanjian kerjasama untuk pemanfaatan jalan eks HPH
antara perusahaan, Dinas Kehutanan, dan PPHT Unmul.

Adapun tahap prosedur permohonan penggunaan jalan


untuk jalur hauling batubara di kawasan Taman Hutan
Raya Bukit Soeharto yang dilakukan perusahaan
pertambangan batubara, PPHT Unmul, dan Dinas
Kehutanan, berdasarkan wawancara dengan Ir. Hudi
Wardoyo, M. Si (Kepala Bidang Pembinaan Perlindungan

1 Hasil wawancara bersama Ir. Hudi Wardoyo, M.Si, Kepala Bidang

Pembinaan Perlindungan Hutan Dinas Kehutanan Provinsi Kalimantan Timur


menyebutkan bahwa, “pemanfaatan Taman Hutan Raya Bukit Soeharto untuk
jalur hauling batubara sudah mendapat izin kolaborasi dari Menteri Kehutanan
RI” (11 November 2016)

505
STATUS HUKUM PENGGUNAAN KAWASAN HUTAN KONSERVASI TAMAN HUTAN RAYA
BUKTI SOEHARTO UNTUK JALAN PENGANGKUTAN PERTAMBANGAN BATUBARA

Hutan, Dishut Provinsi Kaltim pada 11 November 2016),


antara lain melalui:

Pertama, Perusahaan Pertambangan yang ingin


menggunakan kawasan hutan konservasi Taman Hutan
Raya Bukit Soeharto untuk jalan pengangkutan hasil
pertambangan batubaranya harus mengajukan
Permohonan Rekomendasi untuk Pemanfaatan Jalan Eks.
HPH di dalam kawasan Tahura Bukit Soeharto.
Permohonan rekomendasi tersebut diajukan kepada
Gubernur Kaltim, Dinas Kehutanan Provinsi Kaltim,
Asisten Ekonomi dan Pembangunan atas nama Sekda
Pemprov. Kaltim dan Bupati Kabupaten Kutai
Kartanegara jika areal kawasan yang ingin dimanfaatkan
masuk dalam wilayah administrasi Kabupaten Kutai
Kartanegara.

Kedua, setelah mendapat rekomendasi-rekomendasi dari


instansi tersebut di atas, perusahaan bersurat kepada
Kementerian Kehutanan (Dirjen Perlindungan Hutan dan
Konservasi Alam) dengan melengkapi persyaratan yakni
melampirkan salinan rekomendasi-rekomendasi dan telah
diterima beserta salinan atau copy legalisir bank garansi
Sejumlah Dana Kolaborasi yang telah ditempatkan oleh
pemohon dalam hal ini perusahaan pertambangan
batubara.

Ketiga, Menteri Kehutanan Republik Indonesia


melakukan telaah dokumen pengajuan oleh pemohon dan

506
STATUS HUKUM PENGGUNAAN KAWASAN HUTAN KONSERVASI TAMAN HUTAN RAYA
BUKTI SOEHARTO UNTUK JALAN PENGANGKUTAN PERTAMBANGAN BATUBARA

diberikan penilaian yang menyakan layak atau tidak layak


untuk dapat diberikan persetujuan pemanfaatan jalan
Eks. HPH di dalam kawasan Tahura Bukit Soeharto.

Keempat, setelah mendapatkan persetujuan oleh Menteri


Kehutanan maka terbitlah Surat Persetujuan oleh
Kementerian untuk penggunaan jalan Eks. HPH di dalam
Kawasan taman Hutan Raya Bukit Soeharto, melalui
mekanisme kerjasama dengan berpedoman kepada
Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 390/Kpts-II/2003
tentang Tata Cara Kerjasama di Bidang KSDAH&E dan
Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.19/Menhut-
II/2004 tentang Kolaborasi Pengelolaan Kawasan Suaka
Alam dan Kawasan Pelestarian Alam.

Kelima, Persetujuan tersebut ditindaklanjuti dengan


Perjanjian Kerjasama (PKS) antara Para Pihak yaitu
Dishut Provinsi Kaltim, Pusat Penelitian Hutan-Tropis
Universitas Mulawarman dan Perusahaan Pertambangan.
Perjanjian dikenal dengan Rencana Kerja (RKK) Kegiatan
Lima Tahun tentang Pemanfaatan Jalan Eks. HPH
didalam Taman Hutan Raya Bukit Soeharto yang
diketahui dan disahkan oleh Menteri Kehutanan R.I.
(Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi
Alam Direktur Konservasi Kawasan).

Pelaksanaan kegiatan kolaborasi dituangkan kedalam


Rencana Kerja Kegiatan (RKK) Lima Tahun di Dalam
Taman Hutan Raya Bukit Soeharto dengan panjang jalur

507
STATUS HUKUM PENGGUNAAN KAWASAN HUTAN KONSERVASI TAMAN HUTAN RAYA
BUKTI SOEHARTO UNTUK JALAN PENGANGKUTAN PERTAMBANGAN BATUBARA

lintasan yang bervariasi masing-masing perusahaan. Ada


yang sepanjang 2,6 kilometer, 5,3 kilometer, 8,5
kilometer, bahkan hingga 9,3 kilometer, dan setiap tahun
disusun Rencana Kerja Tahunan (RKT) dan bisa
diperpanjang setelah dilakukan evaluasi menyeluruh
terhadap perjanjian kerjasama serta kewajiban-kewajiban
perusahaan melaksanakan kegiatan pengelolaan Tahura
Bukit Soeharto. Jadi aktivitas di dalam Hutan Konservasi
Tahura ini tidak menggunakan izin dari Menteri
Kehutanan R.I. Dari hasil wawancara dengan Prof. Dr.
Sutedjo (Kepala PPHT Unmul) menyebutkan bahwa
“Kegiatan kolaborasi dilaksanakan dalam bentuk inkind
bukan dalam bentuk incash. Pengelola hanya menerima
hasil kegiatan fisik tidak menerima dalam bentuk tunai”.

Perizinan atau izin merupakan salah satu instrumen


hukum Administrasi Negara yang dapat digunakan bagi
pelaksana undang-undang untuk melakukan tindakan
hukum dalam menjalankan tugas dan kewenangannya.
Meskipun Syahran Basah mengakui betapa sulitnya
memberikan defenisi perihal perizinan karena terlalu
beragamnya definisi tersebut, tetapi kata kunci yang
dapat menjadi pegangan daripada izin menurut hemat
penulis, bahwa pada dasarnya perbuatan itu memang
pada dasarnya dibolehkan oleh sesuatu ketentuan hukum
(Al-Khawarizmi, 2013).

Dalam kasus pemanfaatan jalan pengangkutan batubara


yang melewati hutan konservasi Taman Hutan Raya Bukit

508
STATUS HUKUM PENGGUNAAN KAWASAN HUTAN KONSERVASI TAMAN HUTAN RAYA
BUKTI SOEHARTO UNTUK JALAN PENGANGKUTAN PERTAMBANGAN BATUBARA

Soeharto, melalui perjanjian kerjasama dengan dasar


hukum Peraturan Menteri Nomor 19/Menhut-II/2004
Tentang Kolaborasi Pengelolaan Kawasan Suaka Alam
Dan Kawasan Pelestarian Alam, Pasal 1 angka 3
menyebutkan bahwa:

“Kolaborasi Pengelolaan Kawasan Suaka Alam dan


Kawasan Pelestarian Alam adalah pelaksanaan
suatu kegiatan atau penanganan suatu masalah
dalam rangka membantu meningkatkan efektivitas
pengelolaan Kawasan Suaka Alam dan Kawasan
Pelestarian Alam secara bersama dan sinergis oleh
para pihak atas dasar kesepahaman dan
kesepakatan bersama sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.”

Pemanfaatan penggunaan kawasan Pelestarian Alam


Taman Hutan Raya Bukit Soeharto untuk jalur hauling
batubara tidak bisa dipisahkan dari kegiatan
pertambangan, sebab jalan tersebut termasuk dalam
operasional pertambangan batubara di kawasan Taman
Hutan Raya Bukit Seoharto. Sehingga, hal tersebut akan
menyebabkan kerusakan dan perubahan bentang alam di
Kawasan Taman Hutan Raya Bukit Soeharto.

Padahal, kolaborasi dalam pengelolaan Kawasan Suaka


Alam dan Kawasan Pelestarian Alam yang dimaksud
dalam Peraturan Menteri No 19 Tahun 2004, haruslah

509
STATUS HUKUM PENGGUNAAN KAWASAN HUTAN KONSERVASI TAMAN HUTAN RAYA
BUKTI SOEHARTO UNTUK JALAN PENGANGKUTAN PERTAMBANGAN BATUBARA

diartikan untuk pelaksanaan fungsi Kawasan Pelestarian


Alam, sebagaimana Pasal 1 Angka 1 menyebutkan bahwa:

“Kawasan Pelestarian Alam adalah kawasan


dengan ciri khas tertentu, baik di darat maupun di
perairan yang mempunyai fungsi perlindungan sistem
penyangga kehidupan, pengawetan
keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa, serta
pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati
dan ekosistemnya yang berupa taman nasional,
taman hutan raya, dan taman wisata alam.”

Faktor regulasi merupakan elemen penting karena


menjadi panduan negara sebagai pihak yang mengusai
Sumber Daya Alam (SDA) dan pengguna di lain pihak.
Bagi investor, kedudukan hukum selalu menjadi
persandingan dengan tingkat keuntungan yang
diharapkan sebelum keputusan investasi. Faktor regulasi,
khususnya kewajiban pengelolaan lingkungan (Muhdar,
2015). Dalam konteks ini, praktik pemanfaatan Kawasan
Pelestarian Alam tidak dapat terlaksana sesuai dengan
tujuan dan peruntukannya, jika kawasan tersebut
diizinkan untuk kegiatan pengangkutan dan
pertambangan batubara. Efektivitas pemanfaatan
Kawasan Pelestarian Alam adalah harus sesuai dengan
fungsinya sebagai sistem penyangga kehidupan,
pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa,
serta pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati
dan ekosistemnya. Sehingga, pemanfaatan lain diluar

510
STATUS HUKUM PENGGUNAAN KAWASAN HUTAN KONSERVASI TAMAN HUTAN RAYA
BUKTI SOEHARTO UNTUK JALAN PENGANGKUTAN PERTAMBANGAN BATUBARA

fungsinya seperti pemanfataan jalan untuk jalur hauling


batubara, berarti merupakan peristiwa yang bertentangan
dengan pengelolaan Kawasan Pelestarian Alam yang
berpotensi merusak kelestarian alam.

Perjanjian Kerjasama/Kolaborasi Ditinjau dari Undang-


Undang Nomor 5 Tahun 1990 Tentang Konservasi
Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistem

Kawasan Hutan Bukit Soeharto ditetapkan menjadi


Kawasan Taman Hutan Raya Bukit Soeharto seluas
61.850 hektare melalui Surat Keputusan Menteri
Kehutanan Nomor 419/Menhut-II/2004. Kemudian, pada
2009 kembali dilakukan penetapan Kawasan Taman
Hutan Raya Bukit Soeharto seluas 67.766 ha melalui
Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor
577/Menhut-II/2009. Taman Hutan Raya Bukit Soeharto
merupakan Hutan Konservasi yang masuk dalam kategori
Kawasan Hutan Pelestarian Alam. Penggunaan dan
peruntukan Kawasan Hutan Pelestarian Alam, jika
ditinjau dari Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999,
Tentang Kehutanan, Pasal 1 Angka 11 menyebutkan:

“Kawasan Hutan Pelestarian Alam adalah hutan


dengan ciri khas tertentu, yang mempunyai fungsi
pokok perlindungan sistem penyangga kehidupan,
pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan
satwa, serta pemanfaatan secara lestari sumber daya
alam hayati dan ekosistemnya.”

511
STATUS HUKUM PENGGUNAAN KAWASAN HUTAN KONSERVASI TAMAN HUTAN RAYA
BUKTI SOEHARTO UNTUK JALAN PENGANGKUTAN PERTAMBANGAN BATUBARA

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999


Tentang Kehutanan Pasal 1 Angka 11 dan Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 1990 Tentang Konservasi Sumber
Daya Alam Hayati Dan Ekosistemnya, Pasal 1 Angka 13
yang diulas sebelumnya, Kawasan Hutan Pelestarian
Alam hanya diperuntukan untuk hal-hal tertentu seperti
untuk perlindungan dan pengawetan keanekaragaman
hayati jenis tumbuhan dan satwa, serta pemanfaatan
secara lestari sumber daya alam dan ekosistemnya. Hal
ini semakin diperjelas dalam Pasal 1 Angka 15, Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 1990, Tentang Konservasi
Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya yang
membahas tentang peruntukan Kawasan Taman Hutan
Raya:

“Taman hutan raya adalah kawasan pelestarian


alam untuk tujuan koleksi tumbuhan dan atau satwa
yang alami atau buatan, jenis asli dan atau bukan
asli, yang dimanfaatkan bagi kepentingan penelitian,
ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya,
budaya, pariwisata dan rekreasi.”

Pasal ini mempertegas soal pemanfaatan dan penggunaan


Kawasan Taman Hutan Raya, yang hanya dikhususkan
untuk kebutuhan penelitian, ilmu pengetahuan, dan
pendidikan yang menunjang tetap terjaganya kelestarian
alam tanpa mengubah bentang alam kawasan Taman
Hutan Raya dan tetap menjaga kelestarian fungsi
kawasan. Penggunaan dan pemanfatan jalan Eks. HPH

512
STATUS HUKUM PENGGUNAAN KAWASAN HUTAN KONSERVASI TAMAN HUTAN RAYA
BUKTI SOEHARTO UNTUK JALAN PENGANGKUTAN PERTAMBANGAN BATUBARA

oleh perusahaan pertambangan dianggap alternatif yang


paling layak bagi operasional perusahaan dengan
menggunakan instrumen hukum Peraturan Menteri
Kehutanan Nomor: P.19/Menhut-II/2004 tentang
Kolaborasi Pengelolaan Kawasan Suaka Alam Dan
Kawasan Pelestarian Alam, melalui dokumen Perjanjian
Rencana Kerja Kegiatan (RKK) untuk pemanfaatan jalan
eks HPH untuk jalur hauling batubara di dalam Taman
Hutan Raya Bukit Soeharto. Adapun, kesepakatan
perjanjian kejasama/kolaborasi diatur dalam Peraturan
Menteri Nomor 19 Tahun 2004 Pasal 5 Ayat (2)
menyebutkan bahwa:

“Kesepakatan bersama sebagaimana dimaksud


dalam ayat (1) berisi materi-materi kesepakatan,
antara lain: (a) Kegiatan-kegiatan pengelolaan suatu
Kawasan Suaka Alam dan atau Kawasan Pelestarian
Alam yang akan dikolaborasikan; (b) Dukungan, hak
dan kewajiban masing-masing pihak; (c) Jangka
waktu kolaborasi; (d) Pengaturan sarana dan
prasarana yang timbul akibat adanya kolaborasi
setelah jangka waktu berakhir.”

Dalam dokumen Rencana Kerja Kegiatan (RKK) Lima


Tahun yang disepakati oleh Dinas Kehutanan, PPHT
Unmul, dan Perusahaan Tambang Batubara, kegiatan-
kegiatan pengelolaan yang dikolaborasikan adalah
rehabilitasi kawasan, pengamanan dan pengawasan jalan,
mendukung upaya pelestarian, mendukung

513
STATUS HUKUM PENGGUNAAN KAWASAN HUTAN KONSERVASI TAMAN HUTAN RAYA
BUKTI SOEHARTO UNTUK JALAN PENGANGKUTAN PERTAMBANGAN BATUBARA

pengembangan penelitian dan pendidikan, serta evaluasi


kegiatan kerjasama dengan jangka waktu lima tahun,
mulai dari tahun 2008-2012. Pasal 1 huruf a sampai c
Peraturan Menteri Kehutanan Nomor: P.19/Menhut-
II/2004 telah terpenuhi dalam dokumen Rencana Kerja
Kegiatan (RKK) Lima Tahun, kecuali huruf d tentang
“pengaturan sarana dan prasarana yang timbul akibat
adanya kolaborasi setelah jangka waktu berakhir”, sama
sekali tidak direncanakan setelah masa perjanjian
kerjasama/kolaborasi berakhir. Selain itu, berdasarkan
Pasal 1320 KUH Perdata, ada empat syarat untuk
menentukan sahnya perjanjian: (1) Adanya kesepakatan
para pihak; (2) Kecakapan untuk melakukan perbuatan
hukum; (3) Adanya Obyek; (4) Adanya kausa yang halal.

Namun, dalam dokumen Rencana Kerja Kegiatan (RKK)


tersebut, pihak yang terlibat melakukan kesepakatan
perjanjian kerjasama untuk pemanfaatan eks. HPH di
dalam Taman Hutan Raya Bukit Soeharto adalah Dinas
Kehutanan Provinsi Kalimantan Timur, PPHT Unmul, dan
Perusahaan Pertambangan baubara, yang disahkan oleh
Direktorat Jendral Perlindungan Hutan dan Konservasi
Kawasan. Para pihak tersebut, dianggap cakap untuk
melakukan satu perjanjian sebab mewakili institusi
negara maupun swasta. Adapun objek dari perjanjian
kerjasama antara ketiga pihak tersebut adalah Taman
Hutan Raya Bukit Soeharto.

514
STATUS HUKUM PENGGUNAAN KAWASAN HUTAN KONSERVASI TAMAN HUTAN RAYA
BUKTI SOEHARTO UNTUK JALAN PENGANGKUTAN PERTAMBANGAN BATUBARA

Ketiga syarat sah perjanjian kerjasama kolaborasi


pemanfaatan eks HPH di Taman Hutan Raya Bukit
Soeharto memang telah terpenuhi. Namun yang menjadi
persoalan adalah syarat sah perjanjian poin ke empat
tentang adanya klausa halal2 yang masih menjadi tanda
tanya dalam perjanjian kerja sama ini.

Klausa halal ini penting karena dapat menentukan sah


tidaknya suatu perjanjian. Dalam Pasal 1335 KUH
Perdata juga menentukan bahwa suatu perjanjian yang
tidak memakai suatu sebab yang halal, atau dibuat
dengan suatu sebab yang palsu atau terlarang, tidak
mempunyai kekuatan hukum. Dalam Pasal 7 Angka 3,
Peraturan Menteri Kehutanan Nomor: P.19/Menhut-
II/2004 juga megatur tentang Kolaborasi pengelolaan
Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam
dengan ketentuan:

Pelaksanaan kegiatan dalam rangka kolaborasi yang


dilakukan tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip
kolaborasi dan peraturan perundang-undangan yang
berlaku di bidang konservasi.

Pada kenyataannya, kerja sama kolaborasi ini bisa


dikatakan bermasalah sebab objek yang dikolaborasikan
adalah kegiatan jalan pengangkutan batubara yang

2 Klausa halal artinya perjanjian tidak dilarang oleh undang-undang atau tidak
bertentangan dengan kesusilaan atau ketertiban umum (Pasal 1337 KUH
Perdata).

515
STATUS HUKUM PENGGUNAAN KAWASAN HUTAN KONSERVASI TAMAN HUTAN RAYA
BUKTI SOEHARTO UNTUK JALAN PENGANGKUTAN PERTAMBANGAN BATUBARA

merupakan satu kesatuan operasi kegiatan


pertambangan batubara yang beroperasi di kawasan
konservasi Taman Hutan Raya Bukit Soeharto yang
sejatinya dapat mengubah fungsi kawasan konservasi
tersebut. Kerjasama kolaborasi ini juga bertentangan
dengan prinsip-prinsip kolaborasi Peraturan Menteri
Kehutanan Nomor: P.19/Menhut-II/2004, Pasal 7 Angka
1 dan 2 bahwa:

1. Tidak merubah status Kawasan Suaka Alam dan


Kawasan Pelestarian Alam sebagai kawasan
konservasi,
2. Kewenangan penyelenggaraan pengelolaan Kawasan
Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam tetap
berada pada Menteri Kehutanan.

Kegiatan pengangkutan batubara melewati Hutan


Konservasi Tahura Bukit Soeharto tentunya sangat
berpotensi merusak dan merubah bentang alam di
kawasan tersebut. Hal ini bertentangan dengan ketentuan
Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999, Pasal 1 Angka 9
Tentang Kehutanan, yang menyebutkan bahwa: “Hutan
konservasi adalah kawasan hutan dengan ciri khas
tertentu, yang mempunyai fungsi pokok pengawetan
keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta
ekosistemnya.” Demikian juga dalam Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1990 Tentang Konservasi Sumber Daya
Alam dan Ekosistemnya, Pasal 33 Ayat (3) bahwa: “Setiap
orang dilarang melakukan kegiatan yang tidak sesuai

516
STATUS HUKUM PENGGUNAAN KAWASAN HUTAN KONSERVASI TAMAN HUTAN RAYA
BUKTI SOEHARTO UNTUK JALAN PENGANGKUTAN PERTAMBANGAN BATUBARA

dengan fungsi zona pemanfaatan dan zona lain dari taman


nasional, taman hutan raya, dan taman wisata alam”

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 Tentang


Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistem,
juga mengulas peruntukan Taman Hutan Raya harus
sesuai dengan fungsi kawasan. Sebagaimana disebutkan
dalam Pasal 31, Ayat:

(1) Di dalam taman nasional, taman hutan raya,


dan taman wisata alam dapat dilakukan
kegiatan untuk kepentingan penelitian, ilmu
pengetahuan, pendidikan, menunjang
budidaya, budaya, dan wisata alam.
(2) Kegiatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
harus dilakukan tanpa mengurangi fungsi
pokok masing-masing kawasan.

Dengan masuknya alat berat dan pembukaan kembali


jalan Eks. HPH di Kawasan Taman Hutan Raya Bukit
Soeharto menyebabkan terjadinya perubahan bentang
alam di Kawasan Konservasi Tahura Bukit Soeharto.
Sebagaimana diakui oleh Ir. Hudi Wardoyo, M.Si (Kepala
Bidang Pembinaan Perlindungan Hutan, Dishut Provinsi
Kaltim) saat sesi wawancara (11/11/16):

“Kita tidak ada yang tau bentuk awalnya jalan itu


Eks HPH atau bukan, tapi kalu diliat dari citra
lanskap memang ada jalan itu, karena jalan itu sudah

517
STATUS HUKUM PENGGUNAAN KAWASAN HUTAN KONSERVASI TAMAN HUTAN RAYA
BUKTI SOEHARTO UNTUK JALAN PENGANGKUTAN PERTAMBANGAN BATUBARA

diperbaiki, digarap, dan dirubah menjadi jalur


hauling. Masalah lain adalah perusahaan melakukan
rehabilitasi lahan di Tahura tanpa izin.”

Dari kesimpulan analisa di atas dapat dikatakan bahwa


dokumen perjanjian kerjasama Rencana Kerja Kegiatan
(RKK) Lima Tahun bertentangan dengan aturan
perundang-undangan, meliputi Peraturan Menteri
Kehutanan Nomor: P.19/Menhut-II/2004 Tentang
Kolaborasi Pengelolaan Kawasan Suaka Alam Dan
Kawasan Pelestarian Alam, Undang-Undang Nomor 41
Tahun 1999 Tentang Kehutanan, dan Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1990 Tentang Konservasi Sumber Daya
Alam, dan Ekosistemnya. Sehingga, syarat sahnya
perjanjian poin ke empat tentang kausa yang halal, tidak
terpenuhi, sebab bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Artinya, perjanjian
tersebut tidak memiliki kekuatan hukum dan batal demi
hukum karena syarat objektif sahnya suatu perjanjian
tidak terpenuhi dalam dokumen perjanjian kerjasama
Rencana Kerja Kegiatan (RKK) Lima Tahunan tersebut.

Sebenarnya aktivitas di luar kegiatan kehutanan


dibolehkan untuk dilakukan kolaborasi di kawasan hutan
konservasi, akan tetapi hanya terbatas pada keperluan
penelitian, ilmu pengetahuan, dan atau penyelamatan
jenis tumbuhan dan satwa yang bersangkutan bukan
untuk aktivitas pertambangan. Berdasarkan fakta di
lapangan, kondisi Tahura kini sedang terancam

518
STATUS HUKUM PENGGUNAAN KAWASAN HUTAN KONSERVASI TAMAN HUTAN RAYA
BUKTI SOEHARTO UNTUK JALAN PENGANGKUTAN PERTAMBANGAN BATUBARA

kelestariannya karena adanya aktivitas pertambangan


baik yang memiliki izin (legal) maupun yang tidak
memiliki izin (illegal). Keduanya menggunakan dan
difasilitasi oleh jalur pengakutan kerjasama kolaborasi
yang cacat secara hukum tersebut. Kondisi demikian
sangat memprihatinkan kita semua mengingat fungsi dari
Tahura Bukit Soeharto yang cukup vital sebagai model
hutan tropika basah yang ada di Kalimantan Timur serta
fungsi perlindungan bagi daerah sekitarnya. Banyaknya
aktivitas pertambangan batubara di sekitar Tahura Bukit
Soeharto juga merupakan ancaman bagi kelangsungan
dan kelestarian Tahura Bukit Soeharto.

Jika mengacu pada Surat Keputusan Menteri Kehutanan


Nomor SK 557/menhut-II/2009 dan berdasarkan hasil
overlay atas perjanjian kolaborasi tentang pemanfaatan
jalan Eks. HPH, masuk di dalam Taman Hutan Raya Bukit
Soeharto. Dinas Kehutanan Provinsi, Perusahaan
Pertambangan batubara dan Departemen Kehutanan
yang menyetujui perjanjian kolaborasi tersebut melanggar
Pasal 38, Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999, Tentang
Kehutanan yang menyatakan:

(1) Penggunaan kawasan hutan untuk kepentingan


pembangunan di luar kegiatan kehutanan hanya
dapat dilakukan di dalam kawasan hutan produksi
dan kawasan hutan lindung.

519
STATUS HUKUM PENGGUNAAN KAWASAN HUTAN KONSERVASI TAMAN HUTAN RAYA
BUKTI SOEHARTO UNTUK JALAN PENGANGKUTAN PERTAMBANGAN BATUBARA

(2) Penggunaan kawasan hutan sebagaimana


dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan tanpa
mengubah fungsi pokok kawasan hutan.
(3) Penggunaan kawasan hutan untuk kepentingan
pertambangan dilakukan melalui pemberian izin
pinjam pakai oleh Menteri dengan
mempertimbangkan batasan luas dan jangka
waktu tertentu serta kelestarian lingkungan.
(4) Pada kawasan hutan lindung dilarang melakukan
penambangan dengan pola pertambangan terbuka.
(5) Pemberian izin pinjam pakai sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) yang berdampak penting
dan cakupan yang luas serta bernilai strategis
dilakukan oleh Menteri atas persetujuan Dewan
Perwakilan Rakyat.

Adanya perjanjian kolaborasi untuk jalan pengangkutan


batubara juga melanggar Pasal 31 ayat (1), serta Pasal 33
ayat (3) Undang Undang Nomor 5 Tahun 1990 Tentang
Konservasi sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya
yang menyatakan :

“Bahwa pemanfaatan kawasan konservasi hanya


diperbolehkan bagi kepentingan ilmu pengetahuan,
penelitian, pendidikan, budaya dan wisata alam
bukan kegiatan Pertambangan Batubara”.

520
STATUS HUKUM PENGGUNAAN KAWASAN HUTAN KONSERVASI TAMAN HUTAN RAYA
BUKTI SOEHARTO UNTUK JALAN PENGANGKUTAN PERTAMBANGAN BATUBARA

Peta Kolaborasi Pengelolaan Kawasan Taman Hutan Raya


Bukit Soeharto Melalui Pemanfaatan Jalan Eks. HPH untuk
PT. Lembuswana Perkasa sepanjang 8,5 KM
Sumber : UPTD Pengelola Taman Hutan Raya Bukit Soeharto, 2016

Penerbitan SK Menhut No 557/menhut-II/2009, pada


Bagian keempat butir (b) telah menyalahi Pasal 38 UU 41
Tahun 1999 Tentang Kehutanan, dan Pasal 33 ayat (3) jo
Pasal 40 ayat (2) UU No 5 Tahun 1990, tentang Konservasi
Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Menteri
Kehutanan patut mempertanggungjawabkan
perbuatannya. Begitu juga Dirjen Perlindungan Hutan
dan Konservasi Alam (PHKA) yang menyetujui dan
merekomendasikan P.T. Lembuswana Perkasa untuk
menggunakan Jalan Eks HPH sepanjang 8,5 kilometer
untuk aktivitas hauling batubara dengan perjanjian
kerjasama. Selain menguntungkan pribadi dan orang lain,
praktik ini juga sangat menguntungkan korporasi atau
perusahaan pertambangan batubara yang menggunakan

521
STATUS HUKUM PENGGUNAAN KAWASAN HUTAN KONSERVASI TAMAN HUTAN RAYA
BUKTI SOEHARTO UNTUK JALAN PENGANGKUTAN PERTAMBANGAN BATUBARA

jalan kolaborasi pengangkutan batubara. Empat


diantaranya di Kawasan Hutan Dengan Tujuan Khusus
(KHDTK) Pusat Penelitian Hutan Tropis (PPHT) Universitas
Mulawarman, Taman Hutan Raya Bukit Soeharto,
termasuk P.T. Lembuswana Perkasa (LSP). Adapun
daftarnya berikut ini:

Tabel 2
Daftar nama perusahaan yang masih aktif di dalam KDTK
PPHT UNMUL
Panjang
Nama Perusahaan Tahun
Lintasan
P.T. Lembuswana Perkasa 8,5 Km 2013

P.T. Fajar Utama 6,4 Km 2015


P.T. Karya Putra Borneo 5,38 Km 2012
CV. Artha Pratama Jaya 9,3 Km 2015
Sumber: UPTD Pengelola Taman Hutan Raya Bukit Soeharto, Juli 2020.

KESIMPULAN

Dalam aturan payung terkait kehutanan yakni Undang-


Undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang kehutanan, tidak
ada dan tidak dikenal istilah Rencana Kerjasama
Kolaborasi dalam Penggunaan Kawasan Hutan. Terlebih
lagi hutan yang dengan tujuan dan berstatus Konservasi.
Rencana Kerjasama Kolaborasi untuk penggunaan jalur
pengangkutan bagi perusahaan pertambangan batubara
hanya sebagai upaya akrobatik, menyiasati ketentuan
hukum untuk melegitimasi jalur pengangkutan
pertambangan batubara di dalam Kawasan Hutan

522
STATUS HUKUM PENGGUNAAN KAWASAN HUTAN KONSERVASI TAMAN HUTAN RAYA
BUKTI SOEHARTO UNTUK JALAN PENGANGKUTAN PERTAMBANGAN BATUBARA

Konservasi Taman Hutan Raya Bukit Soeharto di Provinsi


Kalimantan Timur.

Pemanfaatan jalan eks HPH di Taman Hutan Raya Bukit


Seoharto untuk jalur hauling batubara yang memperoleh
legitimasi dari perjanjian kerjasama/kolaborasi melalui
Rencana Pelaksanaan Program (RPP) tahun 2013-2017
hanya melibatkan Dinas Kehutanan Provinsi Kalimantan
Timur dan Perusahaan pertambangan batubara.

Dalam ketentuan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor


P.19/Menhut-II/2004 Tentang Kolaborasi Pengelolaan
Kawasan Suaka Alam Dan Kawasan Pelestarian Alam
yang dijadikan rujukan hukum perjanjian kolaborasi ini,
tidak ditemukan satu Pasal-pun yang membolehkan jalan
pengangkutan untuk pertambangan batubara di kawasan
hutan Konservasi.

Adapun pengelolaan dan pemanfaatan jalan Eks HPH


menjadi jalan hauling batubara di Taman Hutan Raya
Bukit Soeharto dilakukan hanya dalam bentuk perjanjian
kerjasama/kolaborasi oleh Dinas Kehutanan Provinsi
Kalimantan Timur, Pusat Penelitian Hutan Penelitian
Universitas Mulawarman, dan perusahaan pertambangan
batubara melalui persetujuan dari Direktorat Jenderal
Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam, dan tidak
melalui mekanisme izin dari Kementerian Kehutanan.
Padahal jika ditinjau secara yuridis, kawasan Hutan
terlebih yang berfungsi Konservasi harus melalui

523
STATUS HUKUM PENGGUNAAN KAWASAN HUTAN KONSERVASI TAMAN HUTAN RAYA
BUKTI SOEHARTO UNTUK JALAN PENGANGKUTAN PERTAMBANGAN BATUBARA

mekanisme izin dari Menteri Kehutanan RI. Selain itu,


perjanjian kerjasama sistem kolaborasi pemanfaatan jalan
untuk jalur hauling batubara bertentangan dengan aturan
perundang-undangan yang meliputi Peraturan Menteri
Kehutanan Nomor: P.19/Menhut-II/2004 Tentang
Kolaborasi Pengelolaan Kawasan Suaka Alam Dan
Kawasan Pelestarian Alam, yang ditafsirkan melenceng
dari tujuan konservasi, Undang-Undang Nomor 41 Tahun
1999 Tentang Kehutanan Pasal 38 Ayat (1) sampai (4), dan
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 Tentang
Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistem
Pasal 31 Ayat (1) dan Pasal 33 Ayat (3). Dengan demikian,
dokumen Rencana Kerjasama Kolaborasi yang dijadikan
dasar pembenar aktivitas tersebut dapat dikatakan batal
demi hukum. Karenanya kegiatan aktivitas pengangkutan
batubara yang melewati Hutan Konservasi Taman Hutan
Raya Bukit Soeharto merupakan perbuatan melawan
hukum dan statusnya tanpa izin (ilegal).

DAFTAR PUSTAKA

Al-Khawarizmi, D. A. (2013), “Perizinan”, Negara Hukum.


Diakses tanggal 28 Juni 2016 dari
http://www.negarahukum.com/hukum/perizinan.ht
ml
Anonim (2018), Dokumen Rencana Kerja Kegiatan (RKK)
Lima Tahun Tentang Pemanfaatan Jalan Eks. HPH
Sepanjang 8,5 KM di dalam kawasan Taman Hutan
Raya Bukit Soeharto Tahun 2008-2012

524
STATUS HUKUM PENGGUNAAN KAWASAN HUTAN KONSERVASI TAMAN HUTAN RAYA
BUKTI SOEHARTO UNTUK JALAN PENGANGKUTAN PERTAMBANGAN BATUBARA

from-the-wrm-bulletin/section1/forest-smart-mining-
the-world-banks-strategy-to-greenwash-destruction-
from-mining-in-forests/ . Dikases pada 19 April 2020
Handayani, I. G. A. K. R. (2018), “Environmental
Management Strategy In Mining Activities In Forest
Area Accordance With The Based Justice In Indonesia”.
Journal of Legal, Ethical and Regulatory Issues, 21 (2):
156
Jinarto, S. (2019), “Komposisi Floristik Tingkat Pohon Pada
Bagian Timur Kawasan Hutan Dengan Tujuan Khusus
(KHDTK) Hutan Diklat Loa Haur Taman Hutan Raya
(TAHURA) Bukit Soeharto”. Jurnal AGRIFOR XVIII (2):
340.
Kill, J. (2019), “Forest-Smart Mining”: The World Bank’s
Strategy to Greenwash Destruction from Mining in
Forests”World Rainfoferts Movement,
https://wrm.org.uy/articles-
Marzuki, P. M. (2008), Penelitian Hukum, Cetakan kedua,
Kencana, Jakarta.
Muhammad, A. (2004), “Hukum dan Penelitian Hukum”,
Cetakan pertama, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung
Muhdar, M. (2015), “Aspek Hukum Reklamasi
Pertambangan Batubara Pada Kawasan Hutan Di
Kalimantan Timur”. Jurnal Mimbar Hukum 27 (3):
486.
Muhdar, M., Nasir, M. &Rosdiana (2015), “Implikasi
Hukum Terhadap Praktik Pinjam Pakai Kawasan
Hutan untuk Kegiatan Pertambangan Batubara”.
Jurnal Hasanuddin Law Review 1 (3): 431.
Murhaini, S. (2014), “Hukum Kehutanan Penegakan
Hukum Terhadap Kejahatan Di Bidang Kehutanan”,
Yogyakarta, Laksbang Grafika.
National Geograpic. 2015. “Hutan Konservasi yang Rusak
adalah 30 Persen “. National Geograpic diakses
tanggal 29 Juni 2016 dari
https://nationalgeographic.grid.id/read/13296509/
hutan-konservasi-yang-rusak-30-persen?page=all

525
STATUS HUKUM PENGGUNAAN KAWASAN HUTAN KONSERVASI TAMAN HUTAN RAYA
BUKTI SOEHARTO UNTUK JALAN PENGANGKUTAN PERTAMBANGAN BATUBARA

Peraturan Daerah Provinsi Kalimantan Timur Nomor 10


Tahun 2012 Tentang Penyelenggaraan Jalan Umum
dan Jalan Khusus Untuk Pengangkutan Batubara
dan Kelapa Sawit
Priambodo, N. (2018), “Ada 44 Perusahaan Batu Bara
Beraktivitas di Tahura Bukit Soeharto, Jatam Cium
Aroma Dugaan Korupsi” Berita Harian Tribun Kaltim,
https://kaltim.tribunnews.com/2018/12/28/ada-
44-perusahaan-batu-bara-beraktivitas-di-tahura-
bukit-soeharto-jatam-cium-aroma-dugaan-
korupsi?page=all. Diakses pada senin 20 April 2020.
Purwangsa, H. (2017), “Instrumen Kebijakan untuk
Mengatasai Konflik di Kawasan Hutan Konservasi”.
Jurnal Risalah Kebijakan Pertanian dan Lingkungan
IPB University, 4(1): 39.
Sandeep P. Jain, S. & Gupta. R. (2015), “Review Paper on
Forest Conservation Model and Modern Techniques for
Sustainable Wilderness”. International Journal of
Research (IJR). 2 (9): 233.
SK Menhut Nomor 557/Menhut-II/2009
Subarudi, H. K., Soedomo, S. & Sapardi, H. (2016),
“Kebijakan Resolusi Konflik Tambang Batu Bara di
Kawasan Hutan di Kalimantan Timur”. Jurnal Analisis
Kebijakan 13 (1): 53-68.
Suryadi, A. & Matius (2017), “Studi Tata Guna Kawasan
Taman Hutan Raya Bukit Soeharto”. Jurnal Penelitian
Ekosistem Dipterokarpa, 3 (1): 47.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 41 Tahun
1999 tentang Kehutanan.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1990
tentang Konservasi Sumber Daya Alam dan
Ekosistemnya.

526
STATUS HUKUM PENGGUNAAN KAWASAN HUTAN KONSERVASI TAMAN HUTAN RAYA
BUKTI SOEHARTO UNTUK JALAN PENGANGKUTAN PERTAMBANGAN BATUBARA

Undang-Undang Repulik Indonesia Nomor 18 tahun 2013


tentang Pencegahan dan Pemberantasan Kawasan
Hutan.
Undang-Undang Repulik Indonesia Nomor 26 Tahun 2007
tentang Penataan Ruang.

527
528
14
Konservasi Adat dan Perlindungan
Lingkungan dalam Kerangka
Otonomi Khusus Papua

Malik
The Samdhana Institute
maliq.klik@gmail.com

Abstrak

Kabupaten Tambrauw merupakan salah satu kabupaten


konservasi di Indonesia berdasarkan Perda Nomor 5
Tahun 2018. Kabupaten konservasi ini mengakui adanya
wilayah konservasi masyarakat adat berdasarkan kearifan
lokal. Wilayah konservasi masyarakat adat dapat berada
dalam wilayah konservasi hutan, wilayah konservasi
pesisir dan laut dan/atau wilayah tanah, air serta wilayah
konservasi lahan gambut dan lahan basah. Konservasi
adat ini berbeda dengan konservasi versi pemerintah.
Menurut Perda Nomor 6 Tahun 2018 tentang Pengakuan
dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat di Kabupaten
Tambrauw, konservasi adat terdapat pada wilayah
keramat, tempat pendidikan adat, dan wilayah sumber
pangan. Hal itu sejalan dengan mandat Undang-Undang
Nomor 21 Tahun 2001 jo Undang-Undang Nomor 35

529
KONSERVASI ADAT DAN PERLINDUNGAN LINGKUNGAN DALAM KERANGKA OTONOMI
KHUSUS PAPUA

Tahun 2008 menyatakan Pemerintah Provinsi Papua


berkewajiban melakukan pengelolaan lingkungan hidup
secara terpadu dengan memperhatikan penataan ruang,
melindungi sumber daya alam hayati, sumber daya alam
nonhayati, sumber daya buatan, konservasi sumber daya
alam hayati dan ekosistemnya, cagar budaya, dan
keanekaragaman hayati serta perubahan iklim dengan
memperhatikan hak-hak masyarakat adat dan untuk
sebesar-besarnya bagi kesejahteraan penduduk.
Konservasi adat disatu sisi memberikan peluang bagi
masyarakat adat di Kabupaten Tambrauw dalam
pengelolaan wilayah adatnya sekitar 77-80% masuk
kawasan konservasi. Namun disisi lain menjadi tantangan
dengan adanya Perpres Nomor 66 Tahun 2020 tentang
Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan untuk Kepentingan
Umum Dalam Rangka Pelaksanaan Proyek Strategi
Nasional.

Kata Kunci: masyarakat adat, konservasi masyarakat


adat, kearifan lokal, otonomi khusus

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Tambrauw merupakan salah satu Kabupaten Konservasi


di Indonesia berdasarkan Peraturan Daerah Nomor 5
Tahun 2018 tanggal 29 Oktober 2018 tentang Kabupaten
Tambrauw Sebagai Kabupaten Konservasi (Perda No. 5

530
KONSERVASI ADAT DAN PERLINDUNGAN LINGKUNGAN DALAM KERANGKA OTONOMI
KHUSUS PAPUA

Tahun 2018). Pasal 5 ayat (3) menyatakan wilayah


konservasi masyarakat adat yang dikelola oleh
masyarakat adat dapat berada di dalam wilayah
konservasi hutan, wilayah konservasi pesisir dan laut,
dan/atau wilayah tanah dan air serta wilayah konservasi
lahan gambut dan lahan basah. Kemudian wilayah
konservasi masyarakat adat ditetapkan oleh Bupati
dengan mengacu pada kearifan lokal. Sementara menurut
Pasal 10, Peraturan Daerah Nomor 6 Tahun 2018 tentang
Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat di
Kabupaten Tambrauw (Perda No. 6 Tahun 2018), wilayah
adat terdiri dari wilayah asal usul leluhur, wilayah
keramat, tempat pendidikan adat, wilayah pemukiman,
wilayah sumber pangan, wilayah sungai, rawa gambut,
danau, telaga, pesisir pantai, pulau dan laut, tanah
garapan, dan wilayah atau tempat lain yang dijadikan
sebagai bagian dari wilayah adat oleh masyarakat hukum
adat.

Dengan demikian, sesuai dengan mandat Pasal 5 ayat (3),


Perda No. 5 Tahun 2018 dan Pasal 10, Perda No. 6 Tahun
2018, dalam hal penetapan kawasan konservasi adat
berdasarkan kearifan lokal yang merupakan satu
kesatuan bagian tidak terpisahkan dengan penetapan
masyarakat hukum adat dan wilayah adat dengan
Keputusan Bupati.

Kabupaten Tambrauw memiliki luas mencapai


11.529,182 km². Menurut data Bappeda (2011), luas

531
KONSERVASI ADAT DAN PERLINDUNGAN LINGKUNGAN DALAM KERANGKA OTONOMI
KHUSUS PAPUA

kawasan hutan berdasarkan fungsinya, yaitu hutan


konservasi seluas 554.387,99 ha (48,75%), hutan lindung
seluas 315.670,20 ha (27,76%), hutan produksi terbatas
138.264,53 ha (12,16%), areal penggunaan lain seluas
2945,46 ha (0,26%), dan badan air seluas 259,12 (0,02%)
(Fatem & Asem, 2015). Berdasarkan SK.783/Menhut-
II/2014 luas kawasan Kabupaten Tambrauw 1,199,962
ha dan 77,039,172 ha kawasan konservasi jika
dipersentasikan sekitar 77-80 % adalah kawasan
konservasi, maka dibutuhkan unit manajemen kecil
untuk mengelolanya. Menurut Fatem, et al (2019) KPH
Konservasi sangat mungkin dibentuk di kabupaten
Tambrauw dengan pertimbangan potensi luasan areal
konservasi (Fatem, dkk., 2019).

Berdasarkan luas kawasan hutan tersebut, visi


Pemerintah Kabupaten Tambrauw, yaitu “Terwujudnya
Masyarakat Kabupaten Tambrauw yang Sejahtera dan
Bermartabat”. Untuk mewujudkan visinya, Pemerintah
Kabupaten Tambrauw menurunkan menjadi enam misi,
dua diantaranya yang tertuang dalam misi kelima, yaitu
menjaga kelestarian lingkungan dengan menjadikan
Tambrauw sebagai Kabupaten Konservasi. Misi kelima ini
membuktikan bahwa Pemerintah Kabupaten Tambrauw
memiliki komitmen politik yang kuat terhadap
lingkungan. Komitmen itu diwujudkan melalui Kabupaten
Tambrauw sebagai Kabupaten Konservasi berdasarkan
Perda No. 5 Tahun 2018. Sementara misi keenam, yakni

532
KONSERVASI ADAT DAN PERLINDUNGAN LINGKUNGAN DALAM KERANGKA OTONOMI
KHUSUS PAPUA

“menjaga kelestarian budaya dan memperhatikan hak-


hak dasar masyarakat Tambrauw”. Kemudian misi
keenam tersebut diwujudkan melalui tindakan politik
(political action) untuk menghadirkan regulasi, kebijakan
dan program yang memperkuat keberadaan dan hak
tradisional masyarakat hukum adat berdasarkan Perda
No. 6 Tahun 2018. Tantangan kemudian
mengimplementasikan kedua Perda tersebut, yakni
penetapan konservasi masyarakat adat dan penetapan
wilayah adat.

Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut, yang menjadi


pertanyaan dalam penelitian ini, yakni:

a. Bagaimana mewujudkan konservasi adat dalam


kerangka otonomi khusus?
b. Bagaimana menghadapi peluang dan tantangan
pembangunan di Kabupaten Konservasi?

Tujuan

Berdasarkan permasalahan yang ada, penelitian ini


bertujuan untuk menjelaskan wujud konservasi adat
menurut Perda No. 5 Tahun 2018 dalam kerangka
Otonomi Khusus Papua. Selain itu, menjelaskan peluang
dan tantangan pembangunan dalam Kabupaten
Konservasi.

533
KONSERVASI ADAT DAN PERLINDUNGAN LINGKUNGAN DALAM KERANGKA OTONOMI
KHUSUS PAPUA

Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode penelitian


kepustakaan atau juga disebut penelitian hukum
normatif (doctrinal legal research). Lebih lanjut dapat
dibagi menjadi:

Pendekatan

Penelitian ini menggunakan pendekatan peraturan


perundang-undangan, pendekatan historis dan
pendekatan konseptual. Pendekatan perundang-
undangan dan pendekatan historis digunakan untuk
mengkaji norma dan asas-asas serta dinamika peraturan
perundang-undangan. Sementara pendekatan konseptual
digunakan untuk mengkaji konsep-konsep yang relevan
dengan objek dalam kajian.

Metode Pengumpulan Data

Data dikumpulkan dengan teknik pencatatan atau


pengutipan berdasarkan informasi yang diperlukan
melalui penelusuran literatur kepustakaan serta
penelusuran melalui internet. Sementara bahan yang
digunakan dalam penelitian ini berupa data sekunder
terdiri atas bahan hukum maupun bahan non hukum.
Bahan hukum primer berupa peraturan perundang-
undangan dan bahan hukum sekunder berupa pendapat
hukum atau teori-teori, hasil penelitian, karya ilmiah
maupun website terkait penelitian (Marzuki, 2016).

534
KONSERVASI ADAT DAN PERLINDUNGAN LINGKUNGAN DALAM KERANGKA OTONOMI
KHUSUS PAPUA

Teknik Analisa Data

Data primer dan sekunder (bahan hukum primer dan


bahan hukum sekunder) yang telah dikumpulkan dengan
teknik pencatatan atau pengutipan informasi yang
diperlukan melalui literature kepustakaan dan internet
selanjutnya dianalisis secara kualitatif dan disajikan
secara deskripsi dalam bentuk narasi. Analisis kualitatif
merupakan analisis data yang tidak menggunakan angka,
melainkan memberikan gambaran-gambaran (deskripsi)
dengan kata-kata atas temuan-temuan, dan lebih
mengutamakan mutu/kualitas dari data, dan bukan
kuantitas (Salim & Nurbani, 2013).

PEMBAHASAN

Konservasi Adat Dalam Kerangka Otonomi Khusus

Secara umum pengelolaan sumber daya alam, baik


kawasan lindung maupun konservasi telah memberikan
ruang pada masyarakat hukum adat dan/atau
masyarakat lokal. Namun hal itu belum cukup, karena
belum menerapkan prinsip keadilan maupun pembagian
keuntungan atas pengelolaan sumber daya alam tersebut.
Di beberapa daerah sudah mengakomodir konservasi
masyarakat, seperti Kabupaten Tambrauw, Provinsi
Papua Barat melalui Peraturan Daerah Nomor 5 Tahun
2018 tentang Kabupaten Tambrauw Sebagai Kabupaten
Konservasi, yang mana di dalamnya telah mengakui

535
KONSERVASI ADAT DAN PERLINDUNGAN LINGKUNGAN DALAM KERANGKA OTONOMI
KHUSUS PAPUA

wilayah konservasi adat baik itu tanah, hutan maupun


laut. Sementara UU Konservasi maupun aturan
turunannya mengatur zona tradisional, tetapi itu tidak
serta merta masyarakat hukum adat dan/atau
masyarakat lokal dapat mengelola wilayah tersebut
(Firdaus, dkk., 2017).

Wilayah konservasi adat itu terdapat rumah adat, pohon,


tempat bermain satwa yang menurut masyarakat adat
disakralkan dan dianggap sebagai daerah konservasi
dengan radius tertentu, serta tidak bisa langsung
memutuskan semua wilayah menjadi konservasi (Firdaus,
dkk., 2018). Dengan demikian untuk mewujudkan
konservasi adat di Kabupaten Tambrauw ditetapkan
dengan Keputusan Bupati menurut Perda No. 5 Tahun
2018. Sebelum ditetapkan, perlu memastikan
perencanaan pengelolaan wilayah konservasi adat
berdasarkan kearifan lokal yang telah dipraktekan secara
turun temurun.

Wilayah konservasi masyarakat adat yang dikelola oleh


masyarakat adat adalah wilayah konservasi yang berada
di dalam wilayah masyarakat adat yang dikelola
berdasarkan kearifan lokal yang ditetapkan oleh Bupati”.
Selanjutnya wilayah konservasi masyarakat adat yang
dikelola oleh masyarakat adat dapat berada di dalam
wilayah konservasi hutan, wilayah konservasi pesisir dan
laut, dan/atau wilayah tanah dan air serta wilayah
konservasi lahan gambut dan lahan basah. Kemudian

536
KONSERVASI ADAT DAN PERLINDUNGAN LINGKUNGAN DALAM KERANGKA OTONOMI
KHUSUS PAPUA

wilayah konservasi adat yang telah ditetapkan oleh Bupati


dapat dijadikan sebagai landasan hukum untuk
pengajuan penetapan kawasan konservasi oleh Menteri.1

Pada saat yang sama, penetapan wilayah konservasi


masyarakat adat tersebut dapat sekaligus menetapkan
masyarakat adat dan wilayah adat marga dan/atau sub
marga berdasarkan Perda No. 6 Tahun 2018. Sebelum
ditetapkan wilayah konservasi adat beserta masyarakat
adat dan wilayah adatnya, terlebih dahulu dilakukan
verifikasi dan validasi melalui Panitia Masyarakat Hukum
Adat (MHA) berdasarkan Keputusan Bupati Nomor:
189.1/1/187/2019 tanggal 19 Desember 2019. Panitia
MHA terdiri atas, OPD/SKPD terkait yang mengurusi
masyarakat adat, Kepala Distrik, Perwakilan Masyarakat
Adat, serta Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Adapun
tugas Panitia MHA, antara lain:

a. Melakukan inventarisasi dan verifikasi hasil


pemetaan wilayah adat;
b. Memfasilitasi pemetaan wilayah adat untuk
dilakukan oleh OPD terkait dan atau LSM;
c. Menyusun panduan inventarisasi dan verifikasi hasil
pemetaan wilayah adat melalui kerjasama lembaga
yang kompeten;

1 Pasal 1 angka 14, Pasal 5 ayat (3), Pasal 9 ayat (4) dan ayat (5), Perda No. 5 Tahun
2018.

537
KONSERVASI ADAT DAN PERLINDUNGAN LINGKUNGAN DALAM KERANGKA OTONOMI
KHUSUS PAPUA

d. Memfasilitasi penyelesaian sengketa yang muncul


dalam rangka penetapan wilayah adat; dan
e. Memberikan rekomendasi penetapan wilayah adat
kepada Bupati.

Kemudian, pemerintah memfasilitasi masyarakat adat


untuk dapat terlibat aktif dalam penyelenggeraan
konservasi berdasarkan kearifan lokal melalui penetapan
wilayah konservasi masyarakat adat yang dikelola oleh
masyarakat adat. selain itu, masyarakat adat berhak
menggunakan lahan gambut, lahan basah dan kawasan
karts untuk mendukung kebutuhannya sepanjang
dilakukan sesuai dengan praktek-praktek kearifan lokal
yang mendukung kelestarian sumberdaya alam. Dalam
hal terjadi pelanggaran bagi setiap orang, dan/atau
kelompok masyarakat adat yang melanggar ketentuan
hukum adat yang berkaitan dengan konservasi dan
pengelolaan sumberdaya alam dikenakan sanksi adat.
Sanksi adat ditetapkan oleh lembaga adat melalui
peradilan adat dengan memperhatikan prinsip keadilan
sosial, kesetaraan gender, hak asasi manusia dan
kelestarian lingkungan hidup.2 Dalam peneltian ini fokus
menganalisis Perda No. 5 Tahun 2018 dan Perda No. 6
Tahun 2018 dalam kerangka otonomi khusus

2 Pasal 44, Pasal 62 ayat (2), dan Pasal 69 ayat (1) dan ayat (2), Perda No. 5 Tahun
2018.

538
KONSERVASI ADAT DAN PERLINDUNGAN LINGKUNGAN DALAM KERANGKA OTONOMI
KHUSUS PAPUA

berdasarkan UU No. 21 Tahun 2001 jo UU No. 35 Tahun


2008.

Peluang Konservasi Adat

Di Indonesia terdapat beberapa kabupaten konservasi,


seperti Penetapan Kabupaten Malinau sebagai Kabupaten
Konservasi melalui Peraturan Daerah Nomor 4 Tahun
2007, Penetapan Kabupaten Kapuas Hulu Sebagai
Kabupaten Konservasi melalui Keputusan Bupati Nomor
144 Tahun 2003 (Anonim, 2016) dan Lampung Barat
sebagai Kabupaten Konservasi melalui Peraturan Bupati
Nomor 48 Tahun 2009 (Muslohah, 2019). Beberapa
kabupaten konservasi tersebut tidak secara tegas
menyebutkan masyarakat hukum adat sebagai subjek
hukumnya. Berbeda dengan Kabupaten Tambrauw secara
tegas mengakui adanya konservasi adat oleh masyarakat
hukum adat.

Pembentukan kabupaten konservasi ini berdasarkan


Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi
Khusus Bagi Provinsi Papua sebagaimana telah diubah
dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2008 tentang
Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus
Bagi Provinsi Papua (UU No. 21 Tahun 2001 jo UU No. 35
Tahun 2008). UU No. 35 Tahun 2008 ini menjadi dasar
bagi Provinsi Papua Barat sebagai daerah Otonomi
Khusus. Pasal 64 ayat (1) menyatakan Pemerintah

539
KONSERVASI ADAT DAN PERLINDUNGAN LINGKUNGAN DALAM KERANGKA OTONOMI
KHUSUS PAPUA

Provinsi Papua berkewajiban melakukan pengelolaan


lingkungan hidup secara terpadu dengan memperhatikan
penataan ruang, melindungi sumber daya alam hayati,
sumber daya alam nonhayati, sumber daya buatan,
konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya,
cagar budaya, dan keanekaragaman hayati serta
perubahan iklim dengan memperhatikan hak-hak
masyarakat adat dan untuk sebesar-besarnya bagi
kesejahteraan penduduk. Sejak Desember 2018
Peraturan Daerah Khusus Papua Barat tentang
Pembangunan Berkelanjutan telah ditetapkan, namun
hingga saat ini belum diimplementasikan oleh Pemerintah
Daerah Provinsi. Sehingga menjadi salah satu hambatan
dalam implementasi Perda No. 5 Tahun 2018.

Sementara tujuan dari Kabupaten Tambrauw sebagai


Kabupaten Konservasi untuk mewujudkan sebesar-
besarnya kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat,
khususnya masyarakat hukum adat, pembangunan
berkelanjutan, kelestarian sumber daya alam,
terpenuhinya keadilan bagi generasi masa kini dan masa
depan. Selain itu, menjamin sumber-sumber
penghidupan masyarakat hukum adat secara lestari,
pelaksanaan pembangunan yang selaras dengan RTRW,
mengupayakan pengurangan emisi rumah kaca yang
dapat berdampak pada pemanasan global, meningkatkan
keterlibatan MHA, memperbaiki fungsi-fungsi ekologi,
menjamin ketersediaan sumber daya alam,

540
KONSERVASI ADAT DAN PERLINDUNGAN LINGKUNGAN DALAM KERANGKA OTONOMI
KHUSUS PAPUA

mengembangkan keanekaragaman hayati, dan menjamin


akses sumber daya genetik dan pembagian keuntungan
yang adil dan merata dari pemanfaatan keanekaragaman
hayati.

Konservasi adat itu kemudian diperkuat dengan Pasal 5


ayat (3), Perda No. 5 Tahun 2018 menyatakan wilayah
konservasi masyarakat adat yang dikelola oleh
masyarakat adat dapat berada di dalam wilayah
konservasi hutan, wilayah konservasi pesisir dan laut
dan/atau wilayah tanah dan air serta wilayah konservasi
lahan gambut dan lahan basah. Hal itu sejalan dengan
Pasal 10 ayat (1), Perda No. 6 Tahun 2018 bahwa wilayah
adat terdiri dari wilayah asal usul leluhur, wilayah
keramat, tempat pendidikan adat, wilayah pemukiman,
wilayah sumber pangan, wilayah sungai, rawa gambut,
danau, telaga, pesisir pantai, pulau dan laut, tanah
garapan, dan wilayah tempat lain yang dijadikan sebagai
bagian dari wilayah adat oleh Masyarakat Hukum Adat.

Kedua Perda tersebut baik penetapan MHA maupun


penetapan konservasi adat yang berada di wilayah
keramat, tempat pendidikan adat, wilayah sumber pangan
dan wilayah adat lainnya ditetapkan dengan Keputusan
Bupati. Kedepan dalam penetapan MHA dan wilayah
konservasi adat di Kabupaten Tambrauw dibutuhkan
tindakan politik (political action) untuk menghadikan
regulasi, kebijakan dan program yang memperkuat
keberadaan dan hak tradisionalnya (Anonim, 2016).

541
KONSERVASI ADAT DAN PERLINDUNGAN LINGKUNGAN DALAM KERANGKA OTONOMI
KHUSUS PAPUA

Menurut Sepus, konservasi tidak hanya sebatas soal


tumbuhan dan satwa saja, tapi juga manusia di
dalamnya. Kemudian bagaimana caranya agar hutan
tetap bisa terjaga kelestariannya, tapi masyarakat bisa
kenyang. Untuk itu, dia menyebutnya sebagai konservasi
adaptif. Sepus memilih daerah pariwisata berbasis budaya
sebagai solusi. Kuncinya, bagaimana mengemas kearifan
lokal mulai dari budaya masyarakat, flora, fauna, dan
seisi alam menjadi daya tarik wisatawan. Karena yang
menjadi daya tarik wisatawan, terutama wisatawan asing
menurut Sepus adalah keaslian itu sendiri. Dengan
begitu, masyarakat dapat mendapatkan manfaat dari
alam tanpa harus mengganggu kelestariannya (Pradana,
2019).

Tantangan Konservasi Adat

Pada tataran nasional hingga saat ini belum ada regulasi


secara tegas mengakui adanya konservasi adat. Menurut
data Working Group ICCAs Indonesia (WGII), ada 27,2 juta
ha kawasan konservasi di antaranya lebih dari 3 juta ha
yang tumpang tindih dengan wilayah adat (ini hanya
luasnya yang sudah didokumentasikan dan dipetakan).
Masyarakat adat sudah mempraktekkan konservasi
sebagai bagian dari kehidupannya berdasarkan nilai
budaya dan sosial komunitas. Oleh karena itu,
masyarakat adat adalah sebenarnya ‘guru konservasi’ di
wilayahnya yang mengenal ekosistem dan SDA, dan
memiliki ilmu dan kearifan tentang pemanfaatan dan

542
KONSERVASI ADAT DAN PERLINDUNGAN LINGKUNGAN DALAM KERANGKA OTONOMI
KHUSUS PAPUA

pengelolaan SDA secara Lestari. Tradisi konservasi


masyarakat adalah sistim aturan, lembaga, dan nilai yang
sejalan dengan prinsip pengelolaan KPA/KSA untuk
perlindungan, pelestarian, pemanfaatan, dan
pengawetan.

Penetapan kawasan konservasi masyarakat adat (KKMA)


dalam kawasan pelestarian alam dan kawasan suaka
alam (KPA/KSA) menjadi cara baru untuk memposisikan
masyarakat adat dan lokal ‘sebagai subyek atau pelaku
dalam konservasi,’ dan mengakui nilai, sistim konservasi,
pengelolaan hutan dan sumber daya alam yang
masyarakat praktekkan secara turun temurun.
Penetapan KKMA dalam KPA/KSA juga sejalan dengan
cara baru yang ‘mempertimbangkan prinsip-prinsip
penghormatan terhadap Hak Asasi Manusia’ (HAM).
Laporan dari Pelapor Khusus PBB tentang Hak Asasi
Manusia dan Lingkungan Hidup (Dewan HAM PBB, Maret
2017) untuk pertama kalinya menggambarkan pentingnya
jasa ekosistem dan keanekaragaman hayati untuk
realisasi secara penuh hak asasi manusia, dan
mengidentifikasi kewajiban Negara (dan pihak-pihak
lainnya) untuk melestarikan keanekaragaman hayati dan
ekosistem (Anonim, 2017).

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tanggal 10 Agustus


1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan
Ekosistemnya (UU No. 5 Tahun 1990), Peraturan Menteri
Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor

543
KONSERVASI ADAT DAN PERLINDUNGAN LINGKUNGAN DALAM KERANGKA OTONOMI
KHUSUS PAPUA

P.43.MenLHK/Setjen/Kum.1/6/2017 tentang
Pemberdayaan Masyarakat di Sekitar Kawasan Suaka
Alam dan Kawasan Pelestarian Alam (Permen LHK No. 43
Tahun 2017), Permen LHK No.
P.44/MenLHK/Setjen/Kum.1/6/2017 tentang
Perubahan Atas Peraturan Menteri Kehutanan Nomor
P.85/Menhut-II/2014 tentang Tata Cara Penyelenggaraan
Kerjasama Pada Kawasan Suaka Alam dan Kawasan
Pelestarian Alam, dan Perdirjen KSDAE No.
P.6/KSDAE/SET/Kum.1/6/2018 tanggal 6 Juni 2018
tentang Petunjuk Teknis Kemitraan Konservasi pada
Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam.
Peraturan perundang-undangan tersebut belum
memberikan ruang bagi praktek-praktek konservasi oleh
masyarakat adat atau komunitas lokal.

Sementara pada level internasional, penetapan KKMA


memberikan jawaban yang tepat dalam situasi dan
sejarah Indonesia kepada prinsip UNDRIP (Article 29) di
mana disebut: “Indigenous peoples have the right to the
conservation and protection of the environment and the
productive capacity of their lands or territories and
resources. States shall establish and implement assistance
programmes for indigenous peoples for such conservation
and protection, without discrimination”. Selain itu, resolusi
WCC-2016-Res-030-EN, “Recognising and respecting the
territories and areas conserved by indigenous peoples and
local communities (ICCAs) overlapped by protected areas”.

544
KONSERVASI ADAT DAN PERLINDUNGAN LINGKUNGAN DALAM KERANGKA OTONOMI
KHUSUS PAPUA

Penetapan KKMA akan mendukung cara baru kelola


KPA/KSA untuk menyelesaikan permasalahan dan
konflik terkait batas KPA/KSA dan wilayah adat, akses
masyarakat ke SDA dalam wilayah adat ‘melalui
pendekatan non litigasi dan mengutamakan dialog’
(Anonim, 2017).

Sementara di sisi lain yang menjadi tantangan dalam


implementasi konservasi adat kedepannya adalah
pembangunan ekonomi di level kabupaten itu sendiri
maupun pemerintah dengan adanya Perataturan Presiden
Nomor 66 Tahun 2020 tanggal 19 Mei 2020 tentang
Pendanaan Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan untuk
Kepentingan Umum Dalam Rangka Pelaksanaan Proyek
Strategis Nasional (Perpres No. 66 Tahun 2020). Menurut
definisi Pasal 1 angka 4 menyatakan Proyek Strategis
Nasional adalah proyek yang dilaksanakan oleh
Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan/atau Badan Usaha
yang memiliki sifat strategis untuk peningkatan
pertumbuhan dan pemerataan pembangunan dalam
rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan
pembangunan daerah sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan. Dalam konteks Kabupaten
Tambrauw sebagai Kabupaten Konservasi sudah dapat
dipastikan berada dalam wilayah adat suku dan satu
komunitas adat, yaitu Abun, Mpur, Miyah, Ireres, dan
Byak Bar atau Bikar yang diakui keberadaannya oleh
suku asli di Tambrauw.

545
KONSERVASI ADAT DAN PERLINDUNGAN LINGKUNGAN DALAM KERANGKA OTONOMI
KHUSUS PAPUA

Namun begitu, pengakuan hukum terhadap masyarakat


hukum adat dalam kenyataannya masih sebatas
pengakuan keberadaannya saja (subyek). Sedikit sekali,
pengakuan keberaadaan masyarakat hukum adat
tersebut disertai pengakuan hukum terhadap wilayah
adat yang menjadi ruang hidupnya. Implikasinya,
masyarakat adat yang hendak mengelola wilayah adatnya
masih harus melalui proses hukum lainnnya, misalnya
pemetaan wilayah adat dan pendaftaran.

Kondisi ini menjadi tantangan sendiri. Tidak sulit untuk


menemukan praktek konservasi oleh masyarakat adat
dan lokal di Indonesia. Contoh-contoh yang dapat
disebutkan antara lain hutan keramat Orang Kajang di
Kabupaten Bulukumba, Provinsi Sulawesi Selatan.
Leuweung Tutupan, di masyarakat kasepuhan di
Kabupaten Lebak, Banten. Namun, praktek konservasi
berbasis kearifan lokal tersebut belum sepenuhnya
diakomodir di dalam peraturan perundang-undangan
baik pada tingkat nasional, provinsi maupun
kabupaten/kota. oleh karenanya area konservasi ala
Orang Kajang masih terancam oleh praktek industri
kehutanan ekstraktif. Sementara untuk hutan tutupan
masyarakat kasepuhan, terancam tidak dapat dikelola
langsung karena masuk ke dalam kawasan hutan dengan
fungsi konservasi (Firdaus, 2017). Tidak terkecuali bagi
masyarakat adat di Kabupaten Tambrauw, Papua Barat
akan mengalami hal yang sama, sehingga diperlukan

546
KONSERVASI ADAT DAN PERLINDUNGAN LINGKUNGAN DALAM KERANGKA OTONOMI
KHUSUS PAPUA

tindakan politik (political action), baik pemerintah pusat,


pemerintah daerah provinsi, dan pemerintah daerah
kabupaten kedepannya.

PENUTUP

Kesimpulan

Berdasarkan pembahasan tersebut di atas dapat ditarik


kesimpulan bahwa sesuai Pasal 64 ayat (1), Undang-
Undang Nomor 21 Tahun 2001 jo Undang-Undang Nomor
35 Tahun 2008 dan Pasal 5 ayat (3), Peraturan Daerah
Nomor 5 Tahun 2018, serta Pasal 10, Peraturan Daerah
Nomor 6 Tahun 2018 telah memberikan landasan hukum
dalam implementasi konservasi adat di Kabupaten
Tambrauw sebagai Kabupaten Konservasi. Walaupun
peraturan perundang-undangan secara nasional belum
mengakomodir konservasi versi masyarakat adat. Hal itu
penting, untuk menghindari tumpang tindih klaim antar
masyarakat maupun antara masyarakat dengan
Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah atas nama
pembangunan untuk kepentingan umum sesuai dengan
Peraturan Presiden Nomor 66 Tahun 2020, guna
menghindari perampasan-perampasan hak masyarakat
hukum adat atas wilayah adatnya oleh negara.

Saran

Berdasarkan kesimpulan tersebut, adapun saran-saran


bagi pengambil kebijakan baik nasional mupun daerah,
yakni:

547
KONSERVASI ADAT DAN PERLINDUNGAN LINGKUNGAN DALAM KERANGKA OTONOMI
KHUSUS PAPUA

a. Praktek konservasi adat di Indonesia khususnya


Kabupaten Tambrauw perlu diakomodir oleh
Pemerintah Daerah Provinsi, Pemerintah Pusat
khususnya Kementerian Lingkungan Hidup dan
Kehutanan cq. Direktorat Jenderal Konservasi
Sumber Daya Alam dan Ekosistem (Ditjen KSDAE).
b. Pemerintah Provinsi Papua Barat perlu segera
mengimplementasikan Perdasus Masyarakat Adat
dan Wilyaha Adat, Perdasus Pembangunan
Berkelanjutan sebagai pedoman bagi
kabupaten/kota, serta OPD terkait perlu melakukan
sosialisasi pada masyarakat terkait konservasi adat
dan penetapan masyarakat hukum adat dan wilayah
adat yang merupakan bagian tidak terpisahkan.

UCAPAN TERIMA KASIH

Terima kasih kepada panitia penyelenggara Konferensi


Nasional Online dengan tema “Hak Asasi Manusia,
Kebudayaan dan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan
pada Masa Pandemi Covid-19: Tantangan untuk
Keilmuan Hukum dan Sosial” khususnya Koordinator
Panel 4, yaitu Bagian Hukum HTN-HAN Fakultas Hukum
Universitas Pancasila dan Epistema Institute dengan tema
“Penegakan Hukum Lingkungan dan tantangan
menyeimbangkan Akses terhadap Keadilan dan
Perlindungan Lingkungan”. Selain itu, terima kasih
kepada Direktur Eksekutif The Samdhana Institute,
khususnya Martua T. Sirait, P.hD selaku Deputi Eksekutif

548
KONSERVASI ADAT DAN PERLINDUNGAN LINGKUNGAN DALAM KERANGKA OTONOMI
KHUSUS PAPUA

Direktur dan seluruh staf, telah memberikan kesempatan


dalam pengembangan kapasitas.

DAFTAR PUSTAKA

Anonim, (2016), Naskah Akademik Peraturan Daerah


tentang Masyarakat Adat di Kabupaten Tambrauw,
Sausapor, 17 Maret.
Anonim, (2016), Naskah Akademik Rancangan Peraturan
Daerah Kabupaten Tambrauw Sebagai Kabupaten
Konservasi Sausapor, 22 Maret.
Anonim, (2017), Kawasan Konservasi Masyarakat Adat
(KKMA), (Jakarta: WGII).
Fatem, S. M., & Asem, G. (2015), Kabupaten Konservasi
sebagai Political Action Pemerintah Daerah dalam
Mendukung Konservasi Sumber Daya Hayati: Studi
Kasus Kabupaten Tambrauw, Papua Barat. Jurnal
Prosiding Seminar Nasional Masyarakat Biodiversitas
Indonesia, No. 6..
Fatem, S. M., dkk. (2019), Strategi Pembentukan
Tambrauw Sebagai Kabupaten Konservasi di Papua,
Jurnal Ilmu Lingkungan, Volume 17.
Firdaus, A. Y., dkk. (2018), Pilihan Hukum Pengakuan Hak
Masyarakat Hukum Adat (Studi Sosio-Legal di
Kabupaten Jayapuran dan Kabupaten Tambrauw),
(Jakarta: Epistema Institute).
Firdaus, A. Y., dkk., (2017), Analisis Hukum, Kelembagaan
dan Praktik Areal Kelola Konservasi Masyarakat Adat
dan Lokal, (Jakarta: Epistema Institute).
Marzuki, P. M. (2016), Penelitian Hukum (Edisi Revisi)”,
(Jakarta: Prenadamedia Group)
Muslihah, E, (2019), Lampung Barat Sebagai Kabupaten
Konservasi, Apa Tantangannya? Mongabay, 28
November.

549
KONSERVASI ADAT DAN PERLINDUNGAN LINGKUNGAN DALAM KERANGKA OTONOMI
KHUSUS PAPUA

Pradana, W. E. (2019), “Kabupaten Konservasi di


Tambrauw, Papua Barat, ala Sepus Marten”,
Kumparan, 17 Oktober.
Salim, H. S. & Nurbani, E. S. (2013), Penerapan Teori
Hukum pada Penelitian Tesis dan Disertasi, (Jakarta:
Rajawali Pers).

550
15
Eksistensi Masyarakat Hukum
Adat dan Warisan Kearifan Lokal
dalam Pelestarian Hutan

Mega Dwi Yulyandini


Perkumpulan HuMa Indonesia
mdyulyandini09@gmail.com

Abstrak

Tujuh tahun pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor


35/PUU-X/2012, belum banyak perubahan pada hutan
adat. Salah satu penyebabnya karena adanya pengakuan
yang bersyarat dan berlapis bagi masyarakat hukum adat
untuk memperoleh kembali hak atas hutan adatnya.
Adapun permasalahan yang diteliti adalah: eksistensi
masyarakat hukum adat sebagai subjek hukum atas
hutan adatnya, bagaimana praktek kearifan lokal yang
ada pada masyarakat hukum adat berkontribusi dalam
pelestarian hutan, dan bagaimana kedudukan pengakuan
bersyarat dan berlapis sebagai salah satu kontributor
dalam pelanggengan pelanggaran HAM pada masyarakat
hukum adat. Metode yang digunakan dalam penelitian ini
adalah penelitian hukum normatif dan empiris, dengan
pendekatan kualitatif. Penelitian ini mencoba

551
EKSISTENSI MASYARAKAT HUKUM ADAT DAN WARISAN KEARIFAN LOKAL DALAM
PELESTARIAN HUTAN

memaparkan kedudukan masyarakat hukum adat


sebagai subjek hukum, praktek kearifan lokal yang
dilakukan dalam mengelola dan melestarikan hutan, dan
adanya pengakuan yang bersyarat dan berlapis yang pada
tataran empiris merupakan salah satu kontributor adanya
pelanggengan pelanggaran HAM pada masyarakat hukum
adat. Rekomendasi dari tulisan ini adalah perlu dibentuk
sebuah peraturan khusus tentang pengakuan dan
perlindungan masyarakat hukum adat untuk
menyelesaikan permasalahan sektoralisme dan adanya
pengakuan bersyarat dan berlapis pada masyarakat
hukum adat. Sementara itu, perlunya menempatkan
pengakuan keberadaan masyarakat hukum dan hutan
adat sebagai tindakan afirmatif dari pemerintah untuk
melindungi dan memenuhi hak masyarakat hukum adat.

Kata Kunci: masyarakat hukum adat, pengakuan


bersyarat, kearifan lokal, hutan adat, pelestarian
hutan

PENDAHULUAN

Latar Belakang

16 Mei 2013, Mahkamah Konstitusi membacakan hasil


putusannya terhadap perkara pengujian Undang-Undang
Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (selajutnya
disebut UU 41/1999) dengan nomor 35/PUU-X/2012.
Pada pokoknya, pemohon memohonkan pengujian

552
EKSISTENSI MASYARAKAT HUKUM ADAT DAN WARISAN KEARIFAN LOKAL DALAM
PELESTARIAN HUTAN

terhadap Pasal 1 angka 6; Pasal 4 ayat (3); Pasal 5 ayat


(1), ayat (2), ayat (3) dan ayat (4); dan Pasal 67 ayat (1),
ayat (2) dan ayat (3). Dalam putusan a quo, MK
menyatakan untuk mengabulkan permohonan pemohon
untuk sebagian. MK juga menyatakan, bahwa pengakuan
dan penghormatan terhadap keberadaan masyarakat
hukum adat telah diakui pula oleh dunia melalui adanya
pengaturan dalam Deklarasi Perserikatan Bangsa-Bangsa
tentang Hak-Hak Masyarakat Adat.

Dalam putusan yang dikeluarkan oleh MK, pada


pokoknya menyatakan pendapatnya bahwa:

a. Masyarakat hukum adat secara konstitusional


merupakan subjek hukum penyandang hak dan
kewajiban atas wilayah adatnya, termasuk
didalamnya atas hutan adatnya. Namun, UU
41/1999 memperlakukan masyarakat hukum adat
sebagai subjek hukum terkait dengan hutan berbeda
dengan subjek hukum lainnya. Hal yang demikian
ini berpotensi atau bahkan sudah menyebabkan
masyarakat hukum adat kehilangan hak-haknya
atas hutan sebagai sumberdaya alam dengan
sewenang-wenang, yang tidak jarang kemudian
menyebabkan terjadinya konflik.

b. Keberadaan hutan adat yang oleh UU 41/1999


dimasukkan ke dalam bagian hutan negara
dinyatakan inkonstitusional sepanjang kata

553
EKSISTENSI MASYARAKAT HUKUM ADAT DAN WARISAN KEARIFAN LOKAL DALAM
PELESTARIAN HUTAN

“negara”. Oleh karenanya, hutan ada merupakan


hutan yang berada dalam wilayah masyarakat
hukum adat.

c. Hutan adat sebagaimana dimaksud termasuk dalam


status hutan hak.

d. Dalam penetapan kawasan hutan harus


“memperhatikan” hak masyarakat hukum adat.
Memperhatikan sebagaimana dimaksud mewajibkan
pemerintah untuk menyertakan pendapat
masyarakat sebagai pemangku hak atas hutan yang
ditetapkan sebagai kawasan hutan tersebut.

e. Pengujian pada ketentuan mengenai:

1. Pengakuan bersyarat keberadaan masyarakat


hukum adat “sepanjang menurut
kenyataannya masyarakat hukum adat yang
bersangkutan masih ada dan diakui
keberadaanya”;

2. Pengembalian hutan adat kepada negara


apabila masyarakat hukum adat yang
bersangkutan dalam perkembangannya sudah
tidak ada lagi;

3. Pengukuhan bersyarat terkait dengan


keberadaan masyarakat hukum adat yang
ditetapkan oleh Peraturan Daerah; dan

554
EKSISTENSI MASYARAKAT HUKUM ADAT DAN WARISAN KEARIFAN LOKAL DALAM
PELESTARIAN HUTAN

4. Kebutuhan pengaturan pelaksana melalui


Peraturan Pemerintah; dinyatakan ditolak oleh
MK. Sehingga ketentuan sebagaimana
tercantum dalam UU 41/1999 tetap berlaku.

Pasca dibacakannya putusan tersebut, masyarakat


hukum adat menyambut adanya putusan tersebut
dengan gembira. Akhirnya, keberadaan hutan adat dalam
aturan hukum formal dikembalikan kepada masyarakat
hukum adat. Dengan berbekal Putusan MK nomor
35/PUU-X/2012, masyarakat hukum adat mulai
melakukan plangisasi pada hutan adat mereka.
Terjadinya plangisasi ini tidak terlepas dari lambatnya
realisasi pengembalian hutan adat pada masyarakat
hukum adat, baik di tingkat pusat maupun daerah.

Tujuh tahun pasca dibacakannya Putusan a quo, masih


belum banyak perubahan yang terjadi. Hal ini
membuktikan lambatnya respon pusat dan daerah
terhadap pengembalian hutan adat ini. Selain dari
lambatnya respon pemerintah, fakta lainnya bahwa
putusan MK a quo juga masih meninggalkan beberapa
tanda tanya yang belum terjawab. Menurut Sandra
Moniaga, Putusan a quo ibarat obat demam yang tidak
menyelesaikan penyakit (Saturi, 2013). Misalnya terkait
dengan kedudukan masyarakat hukum adat sebagai
subjek hukum, perlunya pengakuan melalui Peraturan
Daerah yang tidak dibatalkan oleh Putusan a quo, adanya
tumpang tindih peraturan perundang-undangan yang

555
EKSISTENSI MASYARAKAT HUKUM ADAT DAN WARISAN KEARIFAN LOKAL DALAM
PELESTARIAN HUTAN

mengatur tentang pengakuan keberadaan masyarakat


hukum adat mengakibatkan ketidakpastian hukum, serta
adanya proses yang bersyarat dan berlapis yang
memperlama masyarakat hukum adat untuk dapat
menikmati kembali hak masyarakat hukum adat atas
hutan adatnya. Selain itu juga, masih banyak
kekhawatiran muncul dari kalangan pemerintah atau
kalangan di luar masyarakat hukum adat terkait dengan
bagaimana nantinya hutan ini akan dikelola oleh
masyarakat hukum adat. Kekhawatiran lainnya terkait
dengan seperti apa kontribusi yang diberikan oleh
masyarakat hukum adat untuk mendukung pelestarian
hutan dan mendukung konservasi.

Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah, maka permasalah


yang diteliti dalam makalah ini akan dijabarkan dalam
beberapa pertanyaan berikut:

a. Bagaimana eksistensi masyarakat hukum adat


sebagai subjek hukum atas hutan adatnya pasca
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-
X/2012?

b. Bagaimana praktek-praktek kearifan lokal yang


dilakukan oleh masyarakat hukum adat dalam
mendukung pelestarian hutan?

c. Bagaimana kedudukan pengakuan bersyarat dan


berlapis sebagai salah satu kontributor dalam

556
EKSISTENSI MASYARAKAT HUKUM ADAT DAN WARISAN KEARIFAN LOKAL DALAM
PELESTARIAN HUTAN

pelanggengan pelanggaran HAM pada masyarakat


hukum adat?

Tujuan

Tujuan dari dilakukannya penelitian ini adalah untuk


mengetahui eksistensi masyarakat hukum adat sebagai
subjek hukum pasca Putusan MK Nomor 35/PUU-
X/2012; seperti apa praktek-praktek kearifan lokal yang
dilakukan oleh masyarakat hukum adat dalam
mendukung pelestarian hutan, hal ini untuk menjawab
berbagai kekhawatiran pengelolaan hutan oleh
masyarakat hukum adat; dan melihat kedudukan
pengakuan bersyarat dan berlapis sebagai salah satu
kontributor dalam pelanggengan pelanggaran HAM pada
masyarakat hukum adat.

Metode Penelitian

Pendekatan

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif.


Pendekatan kualitatif adalah suatu cara analisis hasil
penelitian yang menghasilkan data deskriptif analitis,
yaitu data yang dinyatakan oleh informan secara tertulis
atau lisan serta juga tingkah laku yang nyata dari
informan diteliti dan dipelajari sebagai sesuatu yang utuh.
Dalam pendekatan kualitatif, yang dipentingkan adalah
kualitas data, artinya peneliti melakukan analisis
terhadap data atau bahan-bahan hukum yang berkualitas
saja (Fajar & Achmad, 2010). Sementara untuk jenis

557
EKSISTENSI MASYARAKAT HUKUM ADAT DAN WARISAN KEARIFAN LOKAL DALAM
PELESTARIAN HUTAN

penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif dan


penelitian hukum empiris. Penelitian hukum normatif,
yaitu penelitian yang dilakukan terhadap peraturan
perundang-undangan yang khususnya mengatur tentang
kehutanan dan masyarakat hukum adat. Sementara
untuk penelitian hukum empiris, yaitu penelitian hukum
yang dilakukan dengan mengkaji kenyataan-kenyataan
sosial dan berkaitan dengan perilaku manusia di tengah-
tengah kehidupan masyarakat (Sonata, 2014). Penelitian
hukum empiris ini dilakukan dengan menggunakan fakta-
fakta empiris yang diambil dari perilaku manusia, baik
perilaku verbal yang diperoleh dari melakukan wawancara
ataupun yang diperoleh dari pengamatan langsung (Fajar
& Achmad, 2010).

Metode Pengumpulan Data

Data yang digunakan dalam penelitian hukum ini adalah


data kualitatif yang terdiri dari 2 jenis data, yaitu:

a. Data Primer

Data primer merupakan data yang diperoleh secara


langsung dari lapangan. Dalam penelitian ini, data
primer yang digunakan diperoleh dengan cara
wawancara. Narasumber yang diwawancarai dalam
penelitian ini adalah pendamping hukum
masyarakat hukum adat.

558
EKSISTENSI MASYARAKAT HUKUM ADAT DAN WARISAN KEARIFAN LOKAL DALAM
PELESTARIAN HUTAN

b. Data Sekunder

Data sekunder yang digunakan dalam penelitian ini


dilakukan dengan mempelajari dan mengumpulkan
data yang berhubungan dengan objek penelitian
yang bersumber dari buku-buku kepustakaan, hasil
penelitian, jurnal hukum, dan peraturan perundang-
undangan. Dalam pengumpulan data sekunder ini,
dikelompokkan menjadi tiga bahan hukum, yaitu:

1) Bahan hukum primer, yang terdiri dari:

a) Undang-Undang Dasar Negara Republik


Indonesia Tahun 1945;

b) Undang-Undang Republik Indonesia


Nomor 41 Tahun 1999 tentang
Kehutanan;

c) Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor


35/PUU-X/2012 mengenai judicial review
Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999;

d) Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 52


Tahun 2014 tentang Pedoman Pengakuan
dan Perlindungan Masyarakat Hukum
Adat;

e) Peraturan Menteri Lingkungan Hidup


Nomor P.21/Menlhk/Setjen/Kum.1/4/
2019 tentang Hutan Adat dan Hutan Hak.

559
EKSISTENSI MASYARAKAT HUKUM ADAT DAN WARISAN KEARIFAN LOKAL DALAM
PELESTARIAN HUTAN

2) Bahan hukum sekunder yang digunakan terdiri


dari buku-buku, hasil penelitian, jurnal
hukum, karya tulis ilmiah, artikel dan sumber
dari internet lainnya yang berkaitan dengan
rumusan masalah yang dikaji dalam penelitian
ini.

Teknik Analisa Data

Data dan informasi yang telah diperoleh dan dikumpulkan


dari hasil, dianalisis secara deskriptif kualitatif, yaitu
metode analisis data dengan cara mengelompokkan dan
mmenyeleksi data yang diperoleh dari peneliti menurut
kualitas kebenarannya. Kemudian data tersebut
dihubungkan dengan teori-teori dan peraturan
perundang-undangan yang diperoleh dari studi dokumen,
sehingga diperoleh jawaban atas permasalahan dalam
penelitian ini.

PEMBAHASAN

Masyarakat Hukum Adat sebagai Subjek Hukum dan


Pemegang Hak Atas Wilayah Adat

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun


1945 (UUD NRI 1945) mengakui dan menghormati
kesaturan masyarakat hukum adat beserta hak-hak
tradisionalnya. Dalam Pasal 18B ayat (2) UUD NRI 1945
menyatakan bahwa "Negara mengakui dan menghormati
kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak
tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan

560
EKSISTENSI MASYARAKAT HUKUM ADAT DAN WARISAN KEARIFAN LOKAL DALAM
PELESTARIAN HUTAN

perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan


Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang”.

Bagir Manan menjelaskan bahwa masyarakat hukum


adat adalah masyarakat huku (rechtsgemeenschap) yang
berdasarkan hukum adat atau adat-istiadat seperti desa,
marga, nagari, gampong, meunasah, huta, negorij dan
lain-lain (Zakaria, 2014). Istilah masyarakat hukum adat
ini sendiri sudah digunakan dalam berbagai peraturan
perundang-undangan. Misalnya dalam Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria
(UUPA), UU Nomor 41/1999, Undang-Undang Nomor 39
Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (UU HAM). Dalam
peraturan yang ada di awal kemerdekaan Indonesia,
keberadaan masyarakat hukum adat beserta hak-haknya
sudah diakui. Misalnya dalam UUPA yang mengakui
peksanaan dari hak ulayat dari masyarakat hukum adat.

Pasca itu, mulai terjadi peminggiran hak yang dilakukan


kepada masyarakat hukum adat yang mulai dapat dilihat
pada masa orde baru. Hal ini terjadi misalnya dengan
adanya penyeragaman, penundukan otoritas lokal, yang
sekaligus pencabutan sistem sosial budaya bagi
komunitas masyarakat, termasuk di dalamnya adalah
juga terhadap masyarakat hukum adat (Wiratraman,
2014). Penyeragaman dan penundukan kala itu dilakukan
pemerintah melalui pemberlakuan Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1975 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan
di Daerah dan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979

561
EKSISTENSI MASYARAKAT HUKUM ADAT DAN WARISAN KEARIFAN LOKAL DALAM
PELESTARIAN HUTAN

tentang Pemerintahan Desa. Akibatnya, keberadaan


sistem pemerintahan lokal yang bekerja turun temurun di
masyarakat hilang dan dihilangkan secara sistematik.

Sementara itu, adanya pengaturan pengakuan terhadap


keberadaan yang tersebar dalam peraturan perundang-
undangan yang ada memberikan syarat sepanjang masih
hidup, sesuai dengan perkembangan masyarakat dan
prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia. Hal ini
sudah ada sejak disahkannya UUPA. Dalam UUPA,
pengaturan tentang keberadaan masyarakat hukum adat
diakui sepanjang masih hidup dan sesuai dengan
perkembangan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Pasca jatuhnya orde baru, pengaturan tentang
keberadaan masyarakat hukum adat mulai banyak
tersebar dalam berbagai undang-undang. Pengaturan
yang ada misalnya dalam Undang-Undang Nomor 41
Tahun 1999 tentang Kehutanan, Undang-Undang Nomor
27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan
Pulau-Pulau Kecil dan Undang-Undang Nomor 32 Tahun
2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan
Hidup. Pengaturan tentang pengakuan yang tersebar
dalam berbagai undang-undang ini mensyaratkan
ketentuan sepanjang masih hidup, sesuai perkembangan
masyarakat dan beberapa syarat lainnya seperti menjadi
tren pada produk-produk legislasi yang lahir selama
reformasi.

562
EKSISTENSI MASYARAKAT HUKUM ADAT DAN WARISAN KEARIFAN LOKAL DALAM
PELESTARIAN HUTAN

Berbicara tentang masyarakat hukum adat, selain dari


produk legislasi juga tidak dapat dilepaskan dari adanya
produk hukum dari lembaga yudikatif. Misalnya dalam
hal ini adalah putusan-putusan Mahkamah Konstitusi
(MK). Salah satunya yaitu Putusan MK Nomor 35/PUU-
X/2012 (Putusan MK 35/2012). Namun sebelum putusan
tersebut, terdapat setidaknya tiga Putusan MK yang juga
berkaitan dengan masyarakat hukum adat. Dalam
ketiganya menurut Jimly terdapat poin terkait dengan
kriteria masyarakat hukum adat yaitu secara de facto
masih hidup (actual existence) yang setidak-tidaknya
mengandung unsur (Zakaria, 2014):

a. Memiliki perasaan kelompok;

b. Pranata pemerintahan adat;

c. Adanya harta kekayaan dan/atau benda-benda adat;

d. Adanya perangkat norma hukum adat;

e. Adanya wilayah tertentu.

Namun dijelaskan lebih lanjut oleh Jimly bahwa kelima


unsur tersebut tidaklah komulatif. Dan bahwa adanya
pengecualian terhadap unsur dimungkinkan karena
adanya perubahan yang terjadi dalam masyarakat hukum
adat itu sendiri. Perubahan sebagamana dimaksud oleh
Jimly tidak hanya dari dalam masyarakat hukum adat,
tetapi dapat juga berasal dari luar, misalnya oleh adanya
kebijakan negara pascakolonial dan setelah kemerdekaan.

563
EKSISTENSI MASYARAKAT HUKUM ADAT DAN WARISAN KEARIFAN LOKAL DALAM
PELESTARIAN HUTAN

Sehingga dalam situasi yang demikian ini idealnya untuk


mengakui masyarakat hukum adat melalui kebijakan
yang bersifat affirmative action adalah sebuah
keniscayaan (Zakaria, 2014).

Selain itu, berbicara tentang masyarakat hukum adat dan


hutan adatnya tidak dapat dilepaskan dari salah satu
putusan mahkamah konstitusi atas perkara nomor 35
tahun 2012 yang keputusannya dibacakan pada tanggal
16 Mei 2013. Putusan ini diberikan atas perkara
pengujian UU Nomor 41/1999. Lahirnya Putusan MK
35/2012 disambut gembira oleh masyarakat hukum adat
yang ada di Indonesia. Putusan MK 35/2012 ini ibarat
“proklamasi kemerdekaan” terhadap keberadaan hutan
adat di Indonesia. Harapannya, Putusan MK ini dapat
membawa kembali hak masyarakat hukum adat atas
hutan adatnya.

Implikasi yang dibawa dengan lahirnya putusan ini adalah


pertama bahwa MK menegaskan kembali kedudukan MHA
secara konstitusional merupakan subjek hukum
penyandang hak dan kewajiban atas wilayah adatnya. Hal
ini ternyata dalam pertimbangan MK bahwa ketentuan
dalam UU Nomor 41/1999 telah memperlakukan
masyarakat hukum adat yang secara konstitusional
sebagai subjek hukum terkait dengan hutan berbeda
dengan subjek hukum yang lain. Dan kedua, MK
menyatakan bahwa hutan adat bukan lagi merupakan

564
EKSISTENSI MASYARAKAT HUKUM ADAT DAN WARISAN KEARIFAN LOKAL DALAM
PELESTARIAN HUTAN

hutan negara, melainkan hutan yang berada pada wilayah


masyarakat hukum adat.

Pertimbangan MK yang menegaskan posisi masyarakat


hukum adat sebagai subjek hukum tidak dapat
dilepaskan dari adanya pengakuan yang diberikan oleh
konstitusi dalam Pasal 18B ayat (2) UUD NRI 1945.
Menurut Rikardo, meskipun telah nyata bahwa
masyarakat hukum adat merupakan subjek hukum,
namun belum ada uraian konseptual hukum yang
mendudukkan pandangan konstitusionalisme tersebut
dalam konsep subjek hukum (Simarmata & Steni, 2017).
Menurutnya, hal ini menjadi penting untuk menempatkan
posisi masyarakat hukum adat secara tepat dalam genus
subjek hukum di tengah regim hukum yang sudah
terlanjur baku dengan beberapa jenis pilihan subjek
hukum.

Subjek hukum sendiri menurut Apeldoorn adalah sesuatu


yang mempunyai kewenangan hukum. Sudikno
Mertokusumo mendefinisikan subjek hukum adalah
pribadi yang memiliki kemampuan untuk penyandang
hak dan kewajiban. Rikardo Simarmata membagi
penjelasan subjek hukum dalam perspektif teori hukum
yang terdiri dari hukum perdata, hukum administrasi
negara dan hukum adat (Simarmata & Steni, 2017).
Pembagian subjek hukum berdasarkan pada teori hukum
tersebut, menempatkan masyarakat hukum adat sebagai
salah satu subjek hukum dalam hukum adat. Di luar itu,

565
EKSISTENSI MASYARAKAT HUKUM ADAT DAN WARISAN KEARIFAN LOKAL DALAM
PELESTARIAN HUTAN

meskipun belum ada konsep yang secara khusus


menjelaskan kedudukan masyarakat hukum adat sebagai
subjek hukum dalam hukum Indonesia, penulis
menyimpulkan berdasarkan fakta yang ada bahwa
masyarakat hukum adat sebagai pemegang hak dan
kewajiban atas wilayah adatnya, telah menjadikan
masyarakat hukum adat sebagai subjek hukum atas
wilayah adatnya. Karena merupakan subjek hukum,
maka tentu saja masyarakat hukum adat memiliki
kewenangan hukum, termasuk di dalamnya hak dan
kewajiban, atas wilayah adatnya.

Sementara itu, menurut Myrna Safitri, terdapat


perkembangan yang menarik terkait dengan subjek
hukum dalam hukum Indonesia. Myrna berpendapat
bahwa, konsep subjek hukum di Indonesia berkembang
dari konsep klasik yang terdiri dari orang dan badan
hukum, menjadi orang, badan hukum dan masyarakat
hukum (Safitri, 2019). Selanjutnya, mengutip penjelasan
Wignyosoebroto terkait dengan peristilahan masyarakat
hukum adat, bahwa istilah masyarakat hukum adat
merupakan istilah yang terbentuk dari dua kata, yaitu
“masyarakat hukum” dan “adat” (Wignjosoebroto, 2012).
Kedudukan masyarakat hukum adalah sebagai subjek
hukum penyandang hak ini tersendiri yang dibedakan
dengan subjek hukum lainnya, seperti individu,
pemerintah, perusahaan, koperasi, yayasan atau
perkumpulan (Safitri, 2019).

566
EKSISTENSI MASYARAKAT HUKUM ADAT DAN WARISAN KEARIFAN LOKAL DALAM
PELESTARIAN HUTAN

Meskipun telah diakui oleh MK sebagai subjek hukum


pemegang hak atas hutan adatnya, namun tidak serta
merta menjadikan masyarakat hukum adat memperoleh
kembali hak atas hutan adatnya. Hal ini salah satunya
dikarenakan masih adanya ketentuan yang mensyaratkan
keberadaan masyarakat hukum adat diakui melalui
Peraturan Daerah atau produk hukum daerah lainnya.
Menurut Abdurrahman, salah satu alasan dijadikannya
Peraturan Daerah sebagai syarat pengakuan keberadaan
masyarakat hukum adat adalah karena adanya
keragaman dan perkembangan dalam masyarakat hukum
adat itu sendiri. Adanya keragaman, kondisi yang
berbeda-beda, sehingga pengakuan tidak mungkin dapat
dilakukan pengakuan secara umum. Selain itu, berkaitan
dengan perkembangan, tidak dapat dilepaskan dari fakta
bahwa hukum adat merupakan hukum yang hidup dan
senantiasa tumbuh serta berkembang bersama dengan
masyarakat. Menurut Abdurahman, adanya
perkembangan masyarakat menuju ke arah
“individualisasi” dan “modernisasi” bisa menjadi salah
satu faktor hilangnya ketaatan masyarakat itu pada
hukum adat (Abdurrahman, 2007). Untuk itu perlu
adanya pengakuan yang dilakukan oleh pemerintah
daerah yang lebih mudah melakukan penelurusan
terhadap adanya keragaman yang ada di daerah masing-
masing (Abdurrahman, 2007). Sementara itu, menurut
MK, tidak dibatalkannya ketentuan dalam Pasal 67 ayat

567
EKSISTENSI MASYARAKAT HUKUM ADAT DAN WARISAN KEARIFAN LOKAL DALAM
PELESTARIAN HUTAN

(2) UU Nomor 41/1999 yang mengharuskan adanya


pengakuan melalui Peraturan Daerah adalah karena pasal
tersebut merupakan delegasi wewenang yang diatur
dalam Pasal 18B ayat (2) UUD NRI 1945.

Adanya syarat pengakuan keberadaan yang


mengharuskan melalui suatu produk hukum daerah
menjadikan seakan-akan masyarakat hukum adat itu
baru ada setelah adanya pengakuan melalui produk
hukum daerah tersebut. Hal yang demikian ini
menjadikan masyarakat hukum adat tidak dapat
menikmati hak-hak yang dimilikinya sebelum adanya
pengakuan dari produk hukum daerah tersebut. Adanya
persyaratan pengakuan melalui Peraturan Daerah atau
bentuk lain ini dapat pula dikatakan sebagai celah yang
dapat dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu.
Pemanfaatan celah ini dilakukan dengan memberikan
jalan panjang menuju pengembalian hutan adat yang
tidak lepas dari kekuasaan pengurus negara yang ingin
mempertahankan penguasaannya atas tanah ataupun
hutan adat (Siscawati, 2014). Oleh karenanya, Putusan
MK 35 yang demikian ini dinilai oleh Sodiki masih belum
cukup karena masih harus ditindaklanjuti dengan
pengakuan sistem-sistem hukum adat serta diwujudkan
melalui undang-undang, penguatan organisasi dan
struktur kelembagaan (Widowati, dkk., 2014).

568
EKSISTENSI MASYARAKAT HUKUM ADAT DAN WARISAN KEARIFAN LOKAL DALAM
PELESTARIAN HUTAN

Kearifan Lokal Masyarakat Hukum Adat dalam


Mengelola Hutan

Kearifan lahir karena diri manusia itu sendiri yang


dibekali akal budi, hati nurani serta kemampuan
inderawinya (Wiratraman, 2014). Oleh karenanya,
kearifan memiliki berbagai dimensi, tidak hanya tentang
pengetahuan dan pengalaman, namun juga terkait
dengan konteks sejarah, mulai dari kehidupan sosial
hingga soal kuasa dan pergaulan politik ekonomi suatu
peradaban kemanusiaan.

Kenyataannya kearifan lokal yang ada dan berkembang di


masyarakat merupakan hasil dari kebiasaan masyarakat
setempat atau kebudayaan masyarakat sebagai bentuk
adaptasi terhadap alam dan lingkungan tempat
tinggalnya. Secara turun-temurun, berbasis pada
perjumpaan manusia dengan manusia lainnya, manusia
dengan alamnya, serta hubungan teologisnya, dalam
kurun waktu dan ruang sosial tertentu, menjadikan
kearifan sebagai panduan, atau pedoman, atau cara
pandang kehidupan manusia (Wiratraman, 2014). Bahwa
keberadaan dari kearifan lokal tersebut mengandung nilai
dan kepercayaan yang dianut oleh masyarakat setempat.

Beberapa ketentuan peraturan perundang-undangan


telah mencoba mendefinisikan serta mengakomodasi
pengaturan tentang keberadaan kearifan lokal yang masih
ada di masyarakat. Misalnya dalam Undang-Undang

569
EKSISTENSI MASYARAKAT HUKUM ADAT DAN WARISAN KEARIFAN LOKAL DALAM
PELESTARIAN HUTAN

Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan


Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU Nomor 32/2009).
Dalam UU Nomor 32/2009 ini, kearifan lokal didefinisikan
sebagai nilai-nilai luhur yang berlaku dalam tata
kehidupan masyarakat untuk antara lain melindungi dan
mengelola lingkungan hidup secara lestari. Selain UU
Nomor 32/2009, terdapat juga Peraturan Menteri
Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor
P.34/Menlhk/Setjen/Kum.1/5/2017 tentang Pengakuan
dan Perlindungan Kearifan Lokal dalam Pengelolaan
Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup (Permen LHK
34/2017). Namun, adanya pengaturan tentang kearifan
lokal tersebut menjadi hanya sebuah aturan tertulis tanpa
makna ketika masyarakat hukum adat tidak dapat
melaksanakan kearifan lokalnya. Padahal, praktek-
praktek kearifan lokal yang dilakukan oleh masyarakat
hukum adat telah terbukti berkontribusi dalam
pelestarian hutan. Praktek-praktek kearifan lokal yang
ada pada masyarakat hukum adat tersebut telah ternyata
dalam berbagai lini kehidupan, misalnya dalam hukum
adat yang berlaku, dalam sanksi-sanksi yang diberikan
kepada pelanggar hukum adat, maupun dalam pola
pembagian ruang yang ada dalam wilayah adatnya.

Kearifan Lokal Masyarakat Hukum Adat Mului

Kampung Mului secara administratif terletak di Desa


Swanslotung, Kecamatan Muara Komam, Kabupaten
Paser, Kalimantan Timur. Nama Mului, berasal dari nama

570
EKSISTENSI MASYARAKAT HUKUM ADAT DAN WARISAN KEARIFAN LOKAL DALAM
PELESTARIAN HUTAN

sungai yang berhulu pada mata air terjun di Gunung


Lumut, yang keberadaannya membelah kampung. Setelah
berpindah sebanyak 4 kali, akhirnya pada tahun 1999
masyarakat Mului kembali mendiami pemukiman di tepi
sungai mului yang terletak di sela kaki Gunung Lumut.
Masyarakat hukum adat Mului juga memiliki pola
pembagian ruang dalam wilayah adat berdasarkan
kearifan lokalnya, yang menurut Umi, dkk (2020), terdiri
dari:

a. Umo atau ladang, yaitu lahan yang dimanfaatkan


untuk menanam padi, jagung, sayuran, pisang dan
sebagainya.

b. Lati atau belukar, yaitu bekas ladang yang sedang


ditinggalkan untuk dihutankan kembali. Lati
berfungsi sebagai calon ladang, tempat makan
hewan buruan (sehingga memudahkan menjangkau
hewan buruan) dan tempat mencari kayu bakar.

c. Alas atau hutan, yang terdiri dari:

1. Alas tuo, yaitu hutan rimba yang masih perawan


dan belum perna dijadikan ladang, termasuk
juga kawasan keramat atau yang dikenal dengan
istilah mori1.

1 Mori berarti suatu kawasan hutan yang terlarang untuk kegiatan yang berpotensi
merusak kesakralan kawasan tersebut, baik sengaja atau tidak (misal berbicara
kotor, menebang pohon, atau meracun sungai). Kawasan ini biasanya erat
kaitannya denga nasal usul nenek moyang, arwah leluhur, dan kawasan keramat
pada puncak gunung.

571
EKSISTENSI MASYARAKAT HUKUM ADAT DAN WARISAN KEARIFAN LOKAL DALAM
PELESTARIAN HUTAN

2. Alas burok, yaitu belukar yang sudah sangat


lama ditinggalkan setelah dijadikan ladang.

d. Kebun campuran, yaitu lahan yang berisi macam-


macam tanaman yang biasanya terdapat di sekitar
pemukiman atau bekas pemukiman.

Berdasarkan pembagian ruang tersebut, dapat dilihat


bahwa masyarakat hukum adat Mului melakukan
pengelolaan dan perlindungan lingkungan dengan
mendasarkannya pada hukum adat. Pembagian kawasan
yang dilakukan masyarakat hukum adat Mului ini
membantu masyarakat dalam mengelola serta
menentukan tahapan pengelolaan yang akan dilakukan
dalam kawasannya. Dalam pemanfaatan lahan untuk
ladang misalnya, masyarakat hukum adat Mului
mengenal adanya adanya bera. Bera adalah waktu untuk
mengistirahatkan tanah sebelum digarap kembali (Umi,
dkk, 2020). Biasanya pengistirahatan lahan ini dilakukan
masyarakat selama 2-3 tahun, atau bahkan ada yang
diistirahatkan hingga lahan tersebut sudah menyerupai
hutan. Pengistirahatan lahan ini hanya sebuah contoh
kecil bahwa masyarakat hukum adat Mului menerapkan
pengelolaan yang lestari dengan memperhitungkan tata
lahan juga untuk jangka panjang dan tidak sembarangan
dalam membuka lahan.

Selain itu, berkaitan dengan penebangan pohon,


masyarakat hukum adat Mului juga memiliki aturan

572
EKSISTENSI MASYARAKAT HUKUM ADAT DAN WARISAN KEARIFAN LOKAL DALAM
PELESTARIAN HUTAN

sendiri. Dalam kawasan Mori, penebangan pohon tidak


diperbolehkan. Sementara untuk kawasan lainnya,
tanaman/pohon baru dapat ditebang apabila telah cukup
umur atau setidaknya telah mencapai diameter 60cm.
Apabila aturan tersebut dilanggar, maka pelanggarnya
akan disanksi dengan menanam dan memelihara kembali
tanaman yang ditebang tersebut sampai dewasa serta
membayar sejumlah denda. Sedangkan untuk pohon
buah, semua orang berhak untuk memanen buah-buahan
yang ada di hutan dengan catatan bahwa buah yang
dipanen hanya yang masak dan yang jatuh. Tidak
diperbolehkan memanen dengan cara memanjat pohon
karena dikhawatirkan buah-buah yang muda juga akan
dipanen. Apabila buah yang muda dipanen, maka hewan
yang ada di dalam hutan tidak memiliki makanan dan
akan berujung pada perusakan ladang dan
perkampungan. Hal yang demikian ini kemudian dapat
mengganggu keseimbangan yang ada di alam.

Bagi masyarakat hukum adat Mului, sumberdaya alam


termasuk hutan beserta seluruh isinya tidaklah
dipandang sebagai objek yang harus dieksploitas,
melainkan dianggap pula sebagai subjek bagi adaptasi
manusia untuk berakar pada tradisi kehidupan yang
selaras denga alam (Rahmania & Rahma, 2014). Sehingga,
pemanfaatan yang dilakukan oleh masyarakat hukum
adat Mului juga diiringi dengan adanya kesadaran untuk
memelihara kelestariannya. Karena masyarakat hukum

573
EKSISTENSI MASYARAKAT HUKUM ADAT DAN WARISAN KEARIFAN LOKAL DALAM
PELESTARIAN HUTAN

adat Mului sadar bahwa rusaknya hutan dan lingkungan


akan pula berakibat buruk bagi keberlangsungan hidup
masyarakat secara turun temurun.

Namun sayangnya, damai yang dirasakan masyarakat


hukum adat Mului mulai terusik. Hal ini terjadi salah
satunya karena adanya Keputusan Menteri Kehutanan
Nomor 24/Kpts/Um/1999 yang kala itu menetapkan
kawasan Gunung Lumut yang luasnya kurang lebih
35.350 ha menjadi hutan lindung. Ditetapkannya
kawasan Gunung Lumut menjadi hutan lindung
mengakibatkan masyarakat hukum adat Mului terhambat
untuk mengakses hutan adat mereka. Hal ini
dikarenakan, sebagian hutan adat masyarakat hukum
adat Mului masuk dalam wilayah yang ditetapkan sebagai
hutan lindung tersebut. Padahal masyarakat hukum adat
Mului perlu untuk mengakses hutan adat tersebut untuk
mengelola dan menjaga kelestarian hutan adat. Sesuai
dengan pesan dari leluhur bahwa gunung adalah ibu,
hutan adalah air susu ibu, dan sungai adalah air untuk
kehidupan (Umi, dkk., 2020). Dengan berpegang pada
filosofi tersebut, maka masyarakat hukum adat mului
tetap menjaga kelestarian hutan beserta seluruh elemen
yang ada di dalamnya.

Tahun telah berganti, tetapi kondisi masyarakat hukum


adat Mului masih sama, belum bisa memperoleh kembali
hak atas hutan adatnya. Meskipun bukti praktek-praktek
kearifan lokal yang dilakukan masyarakat hukum adat

574
EKSISTENSI MASYARAKAT HUKUM ADAT DAN WARISAN KEARIFAN LOKAL DALAM
PELESTARIAN HUTAN

Mului telah jelas ada, tidak serta merta membuat hutan


adat mereka dikembalikan. Demikian pula dengan
pengakuan dari daerah. Meskipun produk hukum daerah,
Peraturan Daerah Kabupaten Paser Nomor 4 Tahun 2019
tentang Pengakuan dan Perlindungan Masyarkat Hukum
Adat, sudah di tangan tetapi hutan adat masih nihil.
Padahal perjuangan yang dilakukan masyarakat hukum
adat Mului untuk sampai pada pengakuan melalui produk
hukum daerah sudah sangat panjang, tetapi ternyata
perjuangan masih belum selesai bagi masyarakat hukum
adat Mului. Hutan adat masih belum dikembalikan. Hak
mereka atas wilayah adat belum dipulihkan.

Kearifan Lokal Masyarakat Hukum Adat Marena –


Enrekang

Masyarakat hukum adat Marena secara administratif


berada di Desa Pekalobean, Kecamatan Anggeraja,
Kabupaten Enrekang Sulawesi Selatan. Permulaan nama
Marena muncul dari kebiasaan masyarakat ketika
memastikan atau mengecek kesiapannya untuk
berperang dengan bertanya “Marena-rena ona moraka tu
u?” yang artinya adalah “sudahkah kalian siap-siap?”.
Karena seringnya penyebutan kata tersebut ketika
berkumpul, maka kata ini kemudian menjadi nama
tempat berkumpulnya orang-orang ketika akan
melakukan sesuatu, yang kemudian hingga sekarang
masih dihuni dan menjadi wilayah pemukiman orang-
orang Marena. Wilayah adat Marena sendiri terdiri dari

575
EKSISTENSI MASYARAKAT HUKUM ADAT DAN WARISAN KEARIFAN LOKAL DALAM
PELESTARIAN HUTAN

lima kampung (atau yang dalam bahasa lokal disebut batu


ariri), yaitu Lando Teteh, Lembong, Dale, Batu Rape,
Paropo. Selain kampung, pembagian ruang wilayah adat
Marena terdiri dari: 2

a. Kawasan Hutan Adat Perangian

b. Kawasan Hutan Dale

c. Kawasan Hutan Palatta

d. Kawasan Hutan Puang Bango

e. Kawasan Hutan Tarabun

f. Kawasan Hutan Adat Mataran

Hutan Perangian, yaitu hutan larangan yang berfungsi


sebagai tempat dilakukannya upacara adat (keramat) dan
sebagai hutan lindung dalam zonasi masyarakat hukum
adat Marena. Dijadikan zona lindung dan dikeramatkan
karena hal ini merupakan perintah dari leluhur
masyarakat hukum adat Marena. Bahwa di dalam hutan
tersebut tidak hanya ada tegakan pohon tetapi ada hal
lain yang tak kasatmata yang hidup berdampingan
dengan manusia. Sehingga hutan ini hanya boleh
dimasuki ketika ada upacara adat saja, itu pun terbatas
hanya pemangku-pemangku adat saja yang boleh masuk.
Hutan Mataran, menurut Sardi memiliki fungsi yang sama

2 Wawancara dengan Sardi Razak (Pendamping Hukum masyarakat hukum adat


Marena, Aliasnsi Masyarakat Adat Nusantara Wilayah Sulawesi Selatan), Jakarta,
25 Juli 2020.

576
EKSISTENSI MASYARAKAT HUKUM ADAT DAN WARISAN KEARIFAN LOKAL DALAM
PELESTARIAN HUTAN

dengan Perangian, yaitu sebagai hutan yang


dikeramatkan dan dilindungi oleh masyarakat hukum
adat Marena. Sehingga untuk kedua hutan ini, yang boleh
memasukinya sangatlah terbatas dan hanya orang-orang
terntentu saja yang boleh. Sementara untuk 4 hutan
lainnya, Dale, Palatta, Puang Bango dan Tarabun,
merupakan hutan yang masih diperbolehkan untuk
dikelola oleh masyarakat hukum adat Marena.
Pengelolaan yang dilakukan tetap harus terlebih dahulu
memperoleh izin dari pemangku adat, serta pengelolaan
dilakukan sesuai dengan hukum adat yang berlaku.

Penjagaan dan pengelolaan terhadap hutan adat ini


dilakukan oleh masyarakat hukum adat Marena dengan
menerapkan hukum adatnya. Sardi menjelaskan contoh
hukum adat yang berkaitan dengan hutan yang ada pada
masyarakat hukum adat Marena, misalnya pertama,
hukum adat “Alami tu kaju melomo diparalluan, apa’ anggi
ta’bangngi to biccu’na” yang artinya manfaatkanlah kayu
yang sudah bisa dipergunakan, tetapi jangan menebang
yang masih kecil/belum bisa dipergunakan. Kedua,
hukum adat “Danggi’mi mentama sambarang bang
pangala mana’bang kaju, sang gaja’I to pangala, kurangi
to wai”, yang artinya janganlah sembarang masuk hutan
menebang kayu, karena hutan akan rusak dan sumber
mata air akan rusak sehingga air akan berkurang.3 Ketiga,

3 Wawancara dengan Sardi Razak 25 Juli 2020.

577
EKSISTENSI MASYARAKAT HUKUM ADAT DAN WARISAN KEARIFAN LOKAL DALAM
PELESTARIAN HUTAN

terkait dengan kayu lokal yang berada di sekitar pohon-


pohon pinus, dapat dimanfaatkan oleh masyarakat
dengan catatan bahwa masyarakat diwajibkan untuk
menanam pohon lain sebagai gantinya (Chandra, 2019).
Sementara itu, untuk kayu yang sudah tumbang, tetap
bisa dimanfaatkan tetapi melalui musyawarah adat
terlebih dahulu.

Sanksi adat yang diberikan terhadap pelanggaran hukum


adat yang ada pada masyarakat hukum adat Marena
berkaitan dengan hutan adat pun bermacam-macam,
misalnya pertama “Alami tu kaju mukabua’I bola apa
anggi’ kabua’I lanni kampong, messunmoko lan mai
marena kabua’I”, yang artinya ambillah itu kayu, buatlah
rumah, tapi jangan dibuat dikampung, buatlah diluar
kampong Marena.4 Maksudnya adalah, ketika seseorang
itu mengambil kayu di kawasan hutan lindung tanpa izin
dari pemangku adat, maka ia akan diusir keluar dari
kampung. Kedua, jika terdapat masyarakat hukum adat
yang membabat hutan tanpa izin dari pemangku adat,
maka dia tidak akan diberikan air untuk lahan
pertaniannya. Ketiga, jika ada yang membakar pohon atau
tanaman di kawasan hutan lindung, maka diwajibkan
untuk memotong seekor kerbau tedong pujuk (kerbau
hitam berukuran besar (Chandra, 2019).

4 Wawancara dengan Sardi Razak.

578
EKSISTENSI MASYARAKAT HUKUM ADAT DAN WARISAN KEARIFAN LOKAL DALAM
PELESTARIAN HUTAN

Berdasarkan pada zonasi hutan versi negara, sejak tahun


1975 hutan adat masyarakat hukum adat Marena
tersebut dimasukan dalam kawasan hutan lindung.
Karena dimasukkan dalam kawasan hutan dengan fungsi
lindung, maka ketika belum dikukuhkan kembali sebagau
hutan adat, akses masyarakat hukum adat Marena sangat
terbatas sekali untuk dapat masuk untuk mengelola dan
melestarikan hutan adat mereka. Saat itu paling sering
berselisih paham dengan Dinas Kehutanan dan pelaksana
teknis di lapangannya. Meskipun ketika itu masyarakat
masih diijinkan untuk menanam kopi di sela pohon pinus
yang ada, namun masyarakat masih tetap waswas
(Chandra, 2019).

Menurut Sardi, bagi masyarakat hukum adat Marena,


hutan tidak dilihat sebatas sebagai sumber uang tetapi
hutan merupakan sumber kehidupan bagi mereka. Jadi
kalau hutan itu sampai rusak, maka kehidupan
masyarakat hukum adat Marena itu akan terancam. 5

Selain itu, keharusan menjaga hutan juga merupakan


perintah leluhur. Dan ketika masyarakat melanggar,
dipercaya akan mendatangkan bencana yang dampaknya
akan dirasakan oleh semua masyarakat. Sehingga
penjagaan hutan itu ibaratnya bagai suatu keharusan
bagi masyarakat Marena untuk keberlangsungan
hidupnya. Misalnya kalau hutan itu rusak, sumber air

5 Wawancara dengan Sardi Razak.

579
EKSISTENSI MASYARAKAT HUKUM ADAT DAN WARISAN KEARIFAN LOKAL DALAM
PELESTARIAN HUTAN

masyarakat menjadi hilang, kekeringan, yang kemudian


berdampak pada proses tanam masyarakat dan akan
berujung pada terjadinya krisis pangan.

Namun, menurut Sardi penegakan hukum adat dalam


pengelolaan dan pelestarian hutan yang ada pada
masyarakat hukum adat Marena tidak dapat secara bebas
dilakukan kektika hutan adat masyarakat hukum adat
Marena belum dikembalikan. Ketika hutan adat tersebut
belum dikembalikan kepada masyarakat hukum adat
Marena, ibaratnya masyarakat Marena sedang dijauhkan
dengan hutan adatnya. Masyarakat tidak dapat menjaga
hutan ketika itu dikarenakan hutan dijaga oleh polisi
hutan dan Dinas Kehutanan. Padahal ketika berkaitan
dengan hutan adat, masyarakat hukum adat dapat
menjaga kelestarian hutannya dengan lebih maksimal.
Hal ini dikarenakan, menjaga hutan adat itu merupakan
suatu keharusan bagi masyarakat hukum adat Marena,
tidak terkendala personil dan anggaran. Sementara
penjagaan yang dilakukan oleh Dinas Kehutanan sangat
berkemungkinan untuk terbatas pada personil dan
anggaran yang tersedia. Sehingga penjagaan hutan adat
yang terbaik adalah dengan dikembalikan pada
masyarakat hukum adat. Dengan terjaganya hutan, maka
masyarakat hukum adat juga memberikan kontribusi
langsung dalam mengurangi akibat dari adanya
perubahan iklim.

580
EKSISTENSI MASYARAKAT HUKUM ADAT DAN WARISAN KEARIFAN LOKAL DALAM
PELESTARIAN HUTAN

Pasca dikukuhkan sebagai hutan adat, masyarakat


hukum adat Marena menjadi lebih percaya diri dalam
menerapkan hukum adatnya di kawasan hutan adatnya.
Saat ini, masyarakat juga sudah mulai menyusun rencana
pengelolaan hutan adat. Empat model pengelolaan oleh
masyarakat hukum adat Marena tersebut terdiri dari
peningkatan kapasitas, penyiapan infrastruktur,
pengembangan ekonomi, dan pengembangan wisata
hutan adat (Chandra, 2019).

Kearifan Lokal Masyarakat Hukum Adat Karampuang

Wilayah adat Karampuang, secara administratif meliputi


tiga desa yaitu Desa Tompobulu, Desa Bulu Tellue dan
Desa Duampanuae, Kecamatan Bulupoddo, Kabupaten
Sinjai, Sulawesi Selatan. Nama karampuang sendiri
berasal dari perpaduan dua gelar bangsawan-bangsawan
Gowa dan bangsawan-bangsawan Bone. Kala itu, wilayah
Karampuang ini sering jadikan tempat persinggahan
bangsawan Gowa (yang disebut Karaeng) dan bangsawan
Bone (yang disebut Puang). Perlahan perpaduan sapaan
tersebut menjadi menyatu dan melekat di masyarakat
hingga saat ini yang dikenal dengan Karampuang.

Pada masyarakat hukum adat Karampuang ini terdapat


Pappaseng6 yang berbunyi:

6 Pesan-pesan leluhur yang berisi nilai-nilai atau aturan-aturan yang telah berlaku
turun temurun yang merupakan kearifan lokal setempat.

581
EKSISTENSI MASYARAKAT HUKUM ADAT DAN WARISAN KEARIFAN LOKAL DALAM
PELESTARIAN HUTAN

“Sining Fabbanua Monroe Keddi Di Karampuang


Mappunnai Jama-Jamang Untu Piarai Nennia Jagaiki
Ale’ Sippadato Kenanna Jama-Jamanna Jagaiki
Keluarga, Nasaba Narekko Masolangi Ale’ Majeppu
Naseng Masolattoi Atuo Tuonna Fabbanuae” (Razak
& Asfrianto, 2019), yang artinya adalah:

“Seluruh penduduk yang tinggal di Karampuang


memiliki kewajiban dan tanggung jawab penuh
untuk memelihara dan menjaga kelestarian hutan
seperti halnya menjaga keluarga. Sebab kalau hutan
mengalami kerusakan maka penduduk pun akan
mengalami kerusakan atau kecelakaan”.

Melihat dari salah satu hukum adat yang menjadi


landasan masyarakat hukum adat Karampuang dalam
memperlakukan hutan adatnya, menyiratkan kepada kita
bahwa menjaga hutan merupakan suatu keharusan bagi
masyarakat hukum adat Karampuang. Hal ini karena
masyarakat sadar dan paham betul akibat yang akan
ditimbulkan jika hutan sampai rusan, yaitu kerusakan
atau kecelakaan bagi masyarakat itu sendiri. Masyarakat
hukum adat karampuang percaya bahwa dalam setiap hal
yang berkaitan dengan lingkungan itu ada penjaganya,
dan oleh karenanya maka perlu dijaga kelestarian serta
keseimbangan diantaranya.

582
EKSISTENSI MASYARAKAT HUKUM ADAT DAN WARISAN KEARIFAN LOKAL DALAM
PELESTARIAN HUTAN

Selain itu, terdapat beberapa pappaseng lain terkait


dengan bagaimana masyarakat hukum adat Karampuang
menjaga kelestarian hutan dan alamnya, yaitu:

a. Mappakalebbi ale’, bahwa masyarakat hukum adat


Karampuang dianjurkan untuk menghargai dan
menghormati hutan.

b. Mappatau ale’ (memanusiakan hutan), bahwa


masyarakat hukum adat Karampuang menjaga
hutan sebagaimana menjaga sesama manusia agar
hutan tetap terjaga dan lestari.

c. Makkamase ale’, kewajiban bagi masyarakat hukum


adat Karampuang untuk menciptakan kasih sayang
kepada hutan.

d. Tuo kamase ale’I , bahwa sejatinya masyarakat


harus hidup selaras dengan alam tanpa ada yang
dirusak demi keberlangsungan keduanya (alam dan
manusia itu sendiri).

e. Assama Turuseng, bahwa semua masyarakat hukum


adat Karampuang bersama-sama menjaga hutan,
tanpa terkecuali (Razak & Asfrianto, 2019).

Dalam masyarakat hukum adat Karampuang sendiri,


hutan adat terbagi menjadi dua yaitu:7

7 Wawancara dengan Jasmadi Akbar (Pendamping Hukum masyarakat hukum


adat Karampuang, Aliansi Masyarakat Adat Nusantara Wilayah Sulawesi
Selatan), Jakarta, 27 Juli 2020.

583
EKSISTENSI MASYARAKAT HUKUM ADAT DAN WARISAN KEARIFAN LOKAL DALAM
PELESTARIAN HUTAN

a. Hutan Karama’, dalam wilayah hutan ini,


masyarakat hukum adat sama sekali tidak
diperbolehkan untuk menebang pohon apapun yang
tidak berkaitan dengan kepentingan rumah adat.
Hutan ini disakralkan sebagai tempat peninggalan
leluhur Karampuang berada. Terkait dengan
penebangan pohon untuk kepentingan rumah adat,
tidak dilakukan dengan sembarangan tetapi dengan
beberapa tata cara, yaitu:

1. Tanra Esso, yaitu menentukan hari


penebangan;
2. Mappaota, yaitu ritual penebangan;
b. Tu’bbang, dilakukan penebangan.
c. Hutan ade’, hutan yang pengelolaannya dilakukan
oleh adat, tetapi hasilnya boleh digunakan oleh
warga atas izin dari pemangku adatnya.

d. Hutan addaresseng, yaitu hutan yang diperbolehkan


untuk menebang pohon tetapi tidak untuk
dikomersilkan. Sehingga hanya boleh menebang
pohon apabila digunakan untuk kebutuhan hidup
misalnya untuk membangung rumah atau lainnya,
Namun, tetap saja penebangan dilakukan dengan
izin dari pemangku adat.

Selain tiga contoh masyarakat hukum adat yang


dipaparkan penulis di atas, masih banyak lagi masyarakat
hukum adat yang sudah membuktikan bahwa mereka

584
EKSISTENSI MASYARAKAT HUKUM ADAT DAN WARISAN KEARIFAN LOKAL DALAM
PELESTARIAN HUTAN

mempunyai kearifan lokal dalam sistem pengelolaan


sumberdaya alamnya termasuk hutan adat. Dari ketiga
masyarakat hukum adat di atas, dapat dilihat bahwa bagi
masyarakat hukum adat hutan tidak sekedar tetang
ekonomi, tetapi lebih dari pada itu hutan adat ibu mereka
atau hutan adalah air susu ibu yang memberikan sumber
kehidupan bagi masyarakat hukum adat. Kerusakan pada
hutan berarti akan berujung pada rusaknya kehidupan
masyarakat hukum adat yang hidup berdampingan dan
bergantung pada hutan. Dan oleh karenanya, masyarakat
hukum adat sebisa mungkin selalu mengusahakan untuk
menjaga dan mengelola hutan adat secara lestari.

Masih adanya hutan sampai saat ini tidak dapat


dilepaskan dari kontribusi besar yang diberikan oleh
masyarakat hukum adat dalam melestarikan hutan itu
sendiri. Namun kemudian kerusakan alam mulai terjadi
ketika hutan adat itu diklaim sebagai hutan negara dan
kemudian diserahkan kepada swasta kehutanan atau
perkebunan. Sistem pengelolaan yang dilakukan
masyarakat hukum adat berdasarkan kearifan lokal mulai
disingkirkan dan diganti dengan sistem eksploitasi demi
keuntungan ekonomi. Keberadaan masyarakat hukum
adat dalam wilayahnya juga mulai terusik karena adanya
eksploitasi ini. Ditambah lagi, untuk mempertahankan
wilayah adatnya, masyarakat hukum adat masih perlu
membuktikan keberadaan masyarakat hukum adat yang
telah diakui secara hukum melalui produk hukum daerah

585
EKSISTENSI MASYARAKAT HUKUM ADAT DAN WARISAN KEARIFAN LOKAL DALAM
PELESTARIAN HUTAN

pengakuan masyarakat hukum adat. Sehingga, ketika


belum diakui, masyarakat hukum adat masih dalam
situasi terancam tidak dapat menikmati dan mengakses
hak-haknya, termasuk hak untuk berdaulat atas wilayah
adatnya.

Pelanggaran HAM Masyarakat Hukum Adat yang


Berkepanjang sebagai Akibat dari Pengakuan yang
Lama

Diperlukannya tindak lanjut melalui undang-undang


yang secara khusus mengatur tentang masyarakat
hukum adat ini dikarenakan ketentuan mengenai
pengakuan keberadaan masyarakat hukum adat yang ada
saat ini masih beragam dan sektoral. Ketentuan mengenai
pengakuan keberadaan masyarakat hukum adat sudah
tersebar dalam berbagai undang-undang. Misalnya dalam
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, UU
Nomor 41/1999 tentang Kehutanan, dan Undang-Undang
Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah
Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Meskipun telah diatur
dalam berbagai peraturan perundang-undangan, namun
pengaturan terkait dengan masyarakat hukum adat yang
ada tersebut masih beragam dan masih sangat sektoral.
Contoh dalam peraturan perundang-undangan lain
adanya keragaman dan sektoralisme misalnya terkait
dengan pengaturan tentang pengakuan dapat dilihat
dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan

586
EKSISTENSI MASYARAKAT HUKUM ADAT DAN WARISAN KEARIFAN LOKAL DALAM
PELESTARIAN HUTAN

Kehutanan Nomor 21 Tahun 2019 tentang Hutan Adat


dan Hutan Hak (Permen LHK Nomor 21/2019) yang
merupakan aturan turunan dari UU Nomor 41/1999, dan
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 52 Tahun 2014
tentang Pedoman Pengakuan dan Perlindungan
Masyarakat Hukum Adat (Permendagri Nomor 52/2014).

Pertama, pengaturan dalam Permendagri Nomor 52/2014.


Pertimbangan dibentuknya Permendagri ini adalah dalam
rangka untuk mengakui dan menghormati masyarakat
hukum adat serta hak-hak tradisionalnya. Sehingga,
meskipun dalam Permendagri Nomor 52/2014 ini secara
spesifik mengatur tentang pengakuan keberadaan
masyarakat hukum adat, namun Pengakuan ini
didasarkan pada sejarah masyarakat hukum adat,
wilayah adat, hukum adat, harta/beda-benda adat, dan
kelembagaan/sistem pemerintahan adat yang
kesemuanya merupakan bagian dari hak-hak tradisional
masyarakat hukum adat itu sendiri. Berdasarkan
Permendagri Nomor 52/2014 ini, pengakuan dan
perlindungan masyarakat hukum adat itu kemudian
dilakukan melalui Keputusan Kepala Daerah. Apabila
masyarakat hukum adat yang ditetapkan tersebut berada
dalam dua kabupaten/kota atau lebih, maka pengakuan
dan perlindungan masyarakat hukum adat dilakukan
melalui Keputusan Bersama Kepala Daerah.

Kedua, pengaturan dalam Permen LHK Nomor 21/2019.


Berdasarkan pada judulnya, Permen LHK ini sebenarnya

587
EKSISTENSI MASYARAKAT HUKUM ADAT DAN WARISAN KEARIFAN LOKAL DALAM
PELESTARIAN HUTAN

lebih spesifik mengatur tentang pengukuhan hutan adat.


Salah satu syarat untuk memperoleh pengukuhan
terhadap hutan adat adalah adanya pengakuan dari
pemerintah daerah kepada masyarakat hukum adat.
Bentuk pengakuan yang diberikan oleh pemerintah
daerah haruslah berupa Peraturan Daerah apabila hutan
adat yang akan dikukuhkan tersebut berada dalam
kawasan hutan. Hal ini tidak lepas dari adanya
pengaturan dalam UU Nomor 41/1999 yang mengatur
adanya pengakuan masyarakat hukum adat melalui
Peraturan Daerah. Apabila sudah ada pengakuan melalui
Peraturan Daerah, barulah usulan pengukuhan hutan
adat itu akan divalidasi dan diverifikasi untuk selanjutnya
dikukuhkan keberadaannya sebagai hutan adat melalui
Surat Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan
Kehutanan.

Berdasarkan pemaparan tersebut, dapat dilihat bahwa


terdapat sektoralisme pengaturan dalam substansi kedua
aturan tersebut. Dalam sektor urusan dalam negeri,
pengakuan yang diberikan cukup dengan keputusan
kepala daerah. Sementara dalam sektor kehutanan,
pengakuan yang diberikan haruslah dengan Peraturan
Daerah. Padahal seperti yang kita semua tahu,
pembentukan peraturan daerah akan membutuhkan
waktu yang lebih lama serta biaya yang lebih besar. Hal
ini dikarenakan pembentukan peraturan daerah tidak
hanya dilakukan oleh kepala daerah tetapi juga

588
EKSISTENSI MASYARAKAT HUKUM ADAT DAN WARISAN KEARIFAN LOKAL DALAM
PELESTARIAN HUTAN

melibatkan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sebagai


unsur penyelenggara pemerintahan daerah.

Selain itu, akan muncul kebingungan pelaksanaan teknis


pengakuan karena adanya dua pengaturan yang berbeda
tersebut. Kepala daerah sebagai salah satu pelaksana
urusan daerah, tentunya akan tunduk pada Permendagri
Nomor 52/2014 dalam penyelenggaraan urusan
daerahnya. Selain itu, dalam keputusan kepala daerah
yang dikeluarkan tersebut sebenarnya sudah mencakup
juga pengakuan terhadap wilayah adat yang di dalamnya
juga termasuk hutan adat. Hanya saja, Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (UU
Nomor 23/2014) berkehendak lain. Dalam lampiran UU
23/2014 tersebut, Pemerintah Daerah kabupaten/kota
tidak memiliki kewenangan terkait dengan sektor
kehutanan. 8 Sehingga, untuk urusan kehutanan,
kewenangannya ada di pemerintah pusat. Begitu pula
terkait dengan pengukuhan keberadaan hutan adat yang
ada pada pemerintah pusat yang dalam hal ini
dilaksanakan oleh Menteri Lingkungan Hidup dan
Kehutanan.

Terlepas dari apakah pengakuan yang diberikan oleh


pemerintah daerah kepada masyarakat hukum adat itu
melalui peraturan daerah atau melalui keputusan kepala

8 Lampiran Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah,


pembagian urusan pemerintahan konkuren antara pempus dan daerah provinsi
dan daerah kabupaten/kota.

589
EKSISTENSI MASYARAKAT HUKUM ADAT DAN WARISAN KEARIFAN LOKAL DALAM
PELESTARIAN HUTAN

daerah, keduanya tetap memperlama masyarakat hukum


adat dalam menikmati hak-haknya. Padahal dalam
penjelasan Pasal 6 UU HAM sudah jelas menyatakan,
bahwa hak adat yang secara nyata masih berlaku dan
dijunjung tinggi di dalam lingkungan masyarakat hukum
adat harus dihormati dan dilindungi dalam rangka
perlindungan dan penegakan hak asasi manusia. Namun,
fakta yang ada saat ini adalah meskipun hak adat tersebut
masih nyata ada, tetapi karena belum ada pengakuan dari
pemerintah daerah, maka masyarakat hukum adat tidak
dapat menikmati hak adat mereka tersebut. Hal ini
dikarenakan beberapa pihak menganggap bahwa
masyarakat hukum adat itu baru dapat menikmati hak-
haknya ketika sudah diakui oleh pemerintah daerah.
Seakan, ketika belum diakui oleh pemerintah daerah
berarti bahwa masyarakat hukum adat itu tidak ada.
Akibatnya seringkali masyarakat hukum adat menjadi
korban dalam konflik agraria dan sumberdaya alam yang
terjadi.

Perkumpulan HuMa Indonesia mencatat bahwa sejak


dibacakannya Putusan MK 35/2012 pada tanggal 16 Mei
2013 sampai dengan Juli 2020, terdapat 137 produk
hukum daerah mengenai pengakuan hak masyarakat
hukum daerah yang dapat dikelompokan berdasarkan
materi muatannya. Pengelompokan produk hukum
daerah berdasarkan materi muatan ini terdiri dari:

590
EKSISTENSI MASYARAKAT HUKUM ADAT DAN WARISAN KEARIFAN LOKAL DALAM
PELESTARIAN HUTAN

Tabel 1. Produk Hukum Daerah Berdasarkan Materi Muatan

Materi Muatan Jumlah Keterangan


Produk Hukum
Daerah

Keputusan 18 Tersebar di Kabupaten


Bupati Kabupaten Malinau, Sigi,
mengenai Enrekang, Paser, Jayapura,
Panitia Landak, samosir, Hulu Sungai
Masyarakat Tengah, Indragiri Hulu,
Hukum Adat Kepulauan Mentawai, Rejang
Lebong, Kampar, Pulang Pisau,
Aceh Barat, Aceh Jaya, Murung
6 Raya, dan Kabupaten Melawi.

Produk hukum 29 4 produk hukum di tahun


daerah 2013, 4 di tahun 2014, 5 di
mengenai tahun 2015, 4 di tahun 2016, 1
wilayah adat di tahun 2017, 8 di tahun 2018
dan hutan adat dan 3 di tahun 2019 (hingga
Juli 2019).

Produk hukum 66 1 produk hukum di tahun


daerah 2013, 2 di tahun 2014, 8 di
mengenai tahun 2015, 6 di tahun 2016,
Pengakuan 12 di tahun 2017, 29 di tahun
Masyarakat 2018 dan 8 di tahun 2019
Hukum Adat (hingga Juli 2019).

Lain-lain 24 Terdiri dari produk hukum


tentang kelembagaan adat,
kelompok kerja, Lembaga
pelaksana, dan peradilan adat
yang merupakan bagian dari
pasca pengakuan masyarakat
hukum adat.

Sumber: Analisis atas Produk Hukum Daerah Mengenai Pengakuan


Hak Masyarakat Hukum Adat Pasca Putusan MK 35, HuMa, 2019.

Berdasarkan tabel tersebut, terdapat 95 produk hukum


daerah (66 produk hukum daerah mengenai wilayah adat
dan hutan adat dan 24 Produk hukum daerah mengenai

591
EKSISTENSI MASYARAKAT HUKUM ADAT DAN WARISAN KEARIFAN LOKAL DALAM
PELESTARIAN HUTAN

pengakuan masyarakat hukum adat) yang mengakui


khusus masyarakat hukum adat dan/atau wilayah adat
dan hutan adatnya. Dari 95 produk hukum tersebut,
tidak semuanya merupakan peraturan daerah. Ada pula
yang berbentuk keputusan kepala daerah maupun
peraturan kepala daerah.

Sedikitnya terdapat 2.366 9 (dua ribu tiga ratus enam


puluh enam) masyarakat hukum adat yang menjadi
anggota Aliansi Masyarakat Hukum Adat (AMAN) dan
pastinya ada lebih dari jumlah tersebut untuk seluruh
masyarakat hukum adat yang ada di Indonesia. Apabila
mengacu pada keharusan penetapan masyarakat hukum
adat melalui produk hukum daerah, maka sedikitnya
membutuhkan 2.366 produk hukum daerah yang harus
dibentuk (apabila satu masyarakat hukum adat diakui
melalui satu produk hukum daerah) untuk mengakui
masyarakat hukum adat yang ada di Indonesia. Atau
setidak-tidaknya membutuhkan 514 produk hukum
daerah yang harus dibentuk (apabila produk hukum
daerah memuat pengakuan untuk masyarakat hukum
adat dalam satu kabupaten/kota) untuk mengakui
masyarakat hukum adat yang ada di Indonesia.
Pengakuan bersyarat yang mensyaratkan adanya produk
hukum daerah yang demikian ini ibarat pekerjaan rumah
yang tidak pernah selesai dikerjakan dan tidak pula

9 Profil Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN),


https://www.aman.or.id/profil-aliansi-masyarakat-adat-nusantara/ .

592
EKSISTENSI MASYARAKAT HUKUM ADAT DAN WARISAN KEARIFAN LOKAL DALAM
PELESTARIAN HUTAN

menyelesaikan konflik yang melibatkan masyarakat


hukum adat.

Ketika masyarakat hukum adat sudah terlepas dari


adanya permasalah pengakuan melalui produk hukum
daerah, masyarakat hukum adat kembali disambut
permasalahan lainnya, yaitu pengukuhan hutan adat.
Seperti yang sudah dipaparkan penulis sebelumnya,
bahwa berkaitan dengan pengukuhan hutan adat
dilakukan oleh Menteri LHK melalui surat keputusan
Menteri. Untuk menuju pengukuhan tersebut,
masyarakat hukum adat masih harus melalui persyaratan
lainnya. Dalam Permen LHK Nomor 21/2019, pasca
diakui melalui produk hukum daerah masih banyak
lapisan tahapan yang harus dilalui sebelum akhirnya
hutan adat milik masyarakat hukum adat tersebut
dikukuhkan keberadaannya, yaitu:

a. Masyarakat hukum adat mengajukan permohonan


penetapan hutan adat dengan memenuhi
persyaratan sebagaimana diatur dalam Pasal 5
Permen LHK Nomor 21/2019;

b. Direktur Jenderal melakukan validasi terhadap


kelengkapan dokumen permohonan hutan adat;

c. Apabila dinyatakan memenuhi syarat, maka akan


dilakukan verifikasi lapangan oleh tim verifikasi yang
dibentuk dan ditetapkan oleh Direktur Jenderal;
(terkait dengan hal-hal apa saja yang diverifikasi

593
EKSISTENSI MASYARAKAT HUKUM ADAT DAN WARISAN KEARIFAN LOKAL DALAM
PELESTARIAN HUTAN

diatur dalam Pasal 9 dan 10 Permen LHK Nomor


21/2019)

d. Penetapan status dan fungsi hutan adat;

e. Pencantuman dalam peta kawasan hutan.

Adanya pengaturan yang bersyarat dan berlapis ini


kemudian memperlama masyarakat hukum adat agar
dapat menikmati hak-haknya, termasuk juga hak atas
hutan adatnya. Buktinya, hingga akhir tahun 2019 lalu,
hutan adat yang dikukuhkan baru sejumlah 65 unit
hutan adat dengan total luasan 35.150 hektar. Akibatnya
masyarakat hukum adat terus menerus menjadi korban
karena dianggap tidak dapat memberikan bukti sebagai
pemegang hak atas wilayah adatnya. Misalnya
sebagaimana yang dicatat oleh Perkumpulan HuMa
Indonesia, hingga Desember 2019 lalu terdapat 346
konflik sumberdaya alam dan agraria, dengan luas areal
konflik 2.322.669,325 hektar, dengan melibatkan
1.164.175 jiwa masyarakat hukum adat dan lokal. Dari
total tersebut konflik pada sektor kehutanan masih
menjadi konflik dengan luas areal terluas. Total konflik
pada sektor kehutanan adalah 92 konflik, dengan luas
areal konflik 1.293.394,682 hektar, dan melibatkan
586.349 korban (HuMa, 2020).

Sejalan dengan adanya data terkait dengan konflik dalam


sektor kehutanan tersebut, sebagaimana yang juga
disampaikan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia

594
EKSISTENSI MASYARAKAT HUKUM ADAT DAN WARISAN KEARIFAN LOKAL DALAM
PELESTARIAN HUTAN

(Komnas HAM) bahwa akar masalah terjadinya praktek-


praktek pelanggaran HAM terhadap masyarakat hukum
adat adalah:

a. Tidak atau belum adanya pengakuan sebagai


masyarakat hukum adat;

b. Menyederhanakan keberadaan masyarakat hukum


adat dan hak-haknya atas wilayah adat beserta
sumberdaya hutannya sekedar pada masalah
administrasi atau legalitas;

c. Kebijakan pembangunan bias pertumbuhan


ekonomi;

d. Patriarki di tubuh negara dan masyarakat hukum


adat; dan

e. Kekosongan Lembaga penyelesaian konflik agraria


yang memiliki otoritas menyelesaikan konflik secara
adil (Tim Inkuiri Nasional, 2016).

Berdasarkan hasil kajian Komnas HAM, salah satu akar


permasalahan masih terjadinya pelanggaran HAM
masyarakat hukum adat adalah karena tidak atau belum
adanya pengakuan sebagai masyarakat hukum adat (Tim
Inkuiri Nasional, 2016). Pengakuan yang dimaksud ini
tidak hanya terbatas pada tidak diakuinya penguasaan
dan pemilihan wilayah adat saja, tetapi juga pada tidak
disediakannya oleh negara sebuah sistem hukum untuk
melindungi keberadaan wilayah adat. Bahkan dalam

595
EKSISTENSI MASYARAKAT HUKUM ADAT DAN WARISAN KEARIFAN LOKAL DALAM
PELESTARIAN HUTAN

catatan Komnas HAM tersebut, ada beberapa Pemerintah


Daerah yang secara tegas tidak mengakui dan
menyangkal keberadaan masyarakat hukum adat
tertentu. Hal yang demikian ini kemudian berdampak
pada dihadapkannya masyarakat hukum adat dengan
klaim sepihak oleh negara dan korporasi yang memiliki
kepentingan ekonomi dan politik atas wilayah masyarakat
hukum adat tersebut. Dan akibat lanjutannya adalah
masyarakat hukum adat semakin terpinggirkan, tidak
dapat segera menikmati hak-haknya, dan senantiasa
menjadi korban dalam konflik agraria dan sumberdaya
alam.

PENUTUP

Kesimpulan

Kedudukan masyarakat hukum adat sebagai subjek


hukum pemegang hak dan kewajiban atas wilayah
adatnya telah ditegaskan kembali dalam Putusan MK
35/2012. Namun demikian pemulihan hak masyarakat
hukum adat atas wilayah adatnya tidak serta merta dapat
dilakukan karena adanya ketentuan bersyarat dan
berlapis yang harus ditempuh oleh masyarakat hukum
adat. Padahal dalam prakteknya masyarakat hukum adat
terbukti masih memiliki kearifan lokal yang dapat
melindungi dan mengelola lingkungannya secara lestari.
Namun ternyata hal itu saja masih belum cukup.
Buktinya sampai saat ini total luasan hutan adat yang

596
EKSISTENSI MASYARAKAT HUKUM ADAT DAN WARISAN KEARIFAN LOKAL DALAM
PELESTARIAN HUTAN

sudah dikukuhkan masih sangat kecil. Sebaliknya konflik


yang melibatkan masyarakat hukum adat atau lokal pada
sektor kehutanan menjadi konflik dengan areal terluas.
Adanya fakta-fakta tersebut menunjukkan bahwa
lamanya pengakuan yang diberikan kepada masyarakat
hukum adat dan wilayah adatnya mengakibatkan
masyarakat hukum adat semakin terpinggirkan, tidak
dapat segera menikmati hak-haknya, dan senantiasa
menjadi korban dalam konflik agraria dan sumberdaya
alam.

Saran

a. Perlu dibentuk sebuah peraturan khusus yang


mengatur tentang pengakuan dan perlindungan
terhadap masyarakat hukum adat. Dengan adanya
satu pengaturan khusus diharapkan dapat
menyelesaikan permasalah sektoralisme dan
pengakuan bersyarat dan berlapir dalam pengaturan
tentang pengakuan masyarakat hukum adat.
b. Selama belum dibentuk peraturan khusus,
seharusnya pengakuan terhadap keberadaan
masyarakat hukum adat dalam bentuk produk
hukum daerah apapun tetap diakui keabsahannya
sebagai pelaksanaan delegasi kewenangan dari UUD
NRI Tahun 1945 kepada pemerintah daerah.
c. Menempatkan pengakuan keberadaan masyarakat
hukum adat melalui produk hukum daerah bukan
sebagai syarat dalam menikmati hak-hak

597
EKSISTENSI MASYARAKAT HUKUM ADAT DAN WARISAN KEARIFAN LOKAL DALAM
PELESTARIAN HUTAN

masyarakat hukum adat, karena dengan


menempatkannya sebagai syarat maka akan
menunda penikmatan hak-hak masyarakat hukum
adat itu sendiri.
d. Menempatkan pengakuan keberadaan masyarakat
hukum adat melalui produk hukum daerah dan
proses pengukuhan hutan adat sebagai affirmative
action dari Pemerintah untuk melindungi dan
memenuhi hak masyarakat hukum adat. Sehingga
tidak menitikberatkan pada adanya permohonan
masyarakat hukum adat.

UCAPAN TERIMA KASIH

Penulis berterima kasih kepada Perkumpulan HuMa


Indonesia, narasumber dalam Wawancara (Sardi Razak
dan Jasmadi Akbar) dan juga beberapa pihak lain (yang
membantu dalam teknik penulisan dan lainnya) yang
telah menyumbang informasi, apresiasi dan data yang
diperlukan dalam penelitian ini baik secara lisan maupun
tertulis.

DAFTAR PUSTAKA

Abdurrahman (2007), “Perkembangan Pemikiran Hukum


Adat dan Pengakuannya Dalam Hukum Nasional”.
Wacana Pembaharuan hukum di Indonesia, Jakarta:
HuMa.
Aman.or.id. Profil Aliansi Masyarakat Adat Nusantara
(AMAN).

598
EKSISTENSI MASYARAKAT HUKUM ADAT DAN WARISAN KEARIFAN LOKAL DALAM
PELESTARIAN HUTAN

Chandra, W. (2019), “Hutan Adat Marena: Kearifan Lokal


yang Dapat Pengakuan Negara”. Mongabay, 23
Agustus.
Fajar, M. & Achmad, Y. (2010), Dualisme Penelitian Hukum
Normatif dan Empiris, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Gayo, A. & Nevey, V. A. (2015), “Penegakan Hukum Konflik
Agraria yang Terkait dengan Hak-Hak Masyarakat
Adat Pasca Putusan MK No.35/PUU-X/2012”. Jurnal
Penelitian Hukum De Iure, no.2.
Mahkamah Konstitusi. Putusan atas Perkara Nomor
35/PUU-X/2012.
Perkumpulan HuMa Indonesia. (2020), Mengejar Investasi
Meninggalkan Masyarakat. Outlook HuMa. Jakarta.
Rahmania & Rahma, A. (2014), Mendorong Pengakuan
Masyarakat Mului sebagai Masyarakat Hukum Adat di
Kabupaten Paser. Laporan Final Riset Aksi Mului.
Razak, S. & Asfrianto (2019), Hanuae Karampuang.
INSIST, AMAN Sulawesi Selatan, HuMa.
Safitri, M. A. (2019), Pokok-Pokok Pikiran tentang Legislasi
Hak-Hak Masyarakat Atas Tanah dalam Peraturan
Perundang-Undangan Nasional. Makalah dalam
Meninjau Ulang Pengaturan Hak Adat, IPB.
Saturi, S. (2013). “Soal Hutan Adat: Mau Dibawa Kemana
Putusan MK?”. Mongabay, 3 Oktober 2013.
Simarmata, R. & Steni, B. (2017), Masyarakat Hukum
Adat Sebagai Subjek Hukum: Kecakapan Hukum
Masyarakat Hukum Adat dalam Lapangan Hukum
Privat dan Publik. Pertama. Bogor: The Samdhana
Institute.
Siscawati, M. (2014), “Masyarakat Adat dan Perebutan
Penguasaan Hutan”. Wacana Jurnal Transformasi
Sosial No.33 Tahun ke-XVI, 2014.
Sonata, D. L. (2014), “Metode Penelitian Hukum Normatif
dan Empiris: Karakteristik Khas dari Metode Meneliti
Hukum”. Fiat Justisia Jurnal Ilmu Hukum Volume 8
No.1.

599
EKSISTENSI MASYARAKAT HUKUM ADAT DAN WARISAN KEARIFAN LOKAL DALAM
PELESTARIAN HUTAN

Tim Inkuiri Nasional Komnas HAM. Inkuiri Nasional


Komisi Nasional Hak Asasi Manusia: Hak Masyarakat
Hukum Adat Atas Wilayahnya di Kawasan Hutan.
Pertama. Jakarta: Komisi Nasional Hak Asasi
Manusia, 2016.
Umi. dkk. Mului: Hutan, Adat dan Tradisi. Balikpapan:
Perkumpulan PADI, 2020.
Widowati, D. A. dkk. (2014), Pengakuan dan Perlindungan
Hak Atas Tanah Masyarakat Hukum Adat di Kawasan
Hutan. Yogyakarta: STPN Press.
Wignyosoebroto, S. (2012), Masyarakat Adat sebagai
Subjek Hukum, Makalah pada Simposiun Masyarakat
Adat: Mempersoalkan Keberadaan Masyarakat Adat
sebagai Subjek Hukum. Jakarta.
Wiratraman, R. H. (2014), Kearifan Sebagai Hukum
Rakyat. Kata Pengantar dalam Roedy Haryo Widjono.
Kearifan Hukum Warisan Leluhur. Jakarta:
Perkumpulan HuMa Indonesia.
Wiratraman, R. H., (2014), Masyarakat Adat, Politik
Hukum, dan Perdebatan Yang Mengiringinya.
Prosiding Simposium Masyarakat Adat 'Masyarakat
Adat sebagai Subyek Hukum’. Jakarta.
Zakaria, R. Y. (2014), “Kriteria Masyarakat (Hukum) Adat
dan Potensi Implikasinya terhadap Perebutan
Sumberdaya Hutan Pasca-Putusan MK Nomor
35/PUU-X/2012: Studi Kasus Kabupaten Kutai
Barat, Kalimantan Timur”. Jurnal WACANA No.33
Tahun ke-XVI.

600
16
Eksistensi Sistem Hukum
Lingkungan Hidup Nasional:
Amanat Rakyat Atau Politik
Global?

Andreas Tedy Mulyono


Universitas Pelita Harapan, Jakarta
andreas.mulyono@lecturer.uph.edu

Abstrak

Amanat rakyat dan politik global merupakan wacana penting


yang saat ini menjadi tantangan bagi setiap negara yang tidak
lagi memisahkan antara kehidupan bernegara dan
berdemokrasi. Persoalan hakikinya sama namun secara praktis,
perwujudannya di era global mengalami perubahan nyata.
Namun peristiwa terbunuhnya George Flyod yang mematik
Black Lives Matter pada Mei 2020 lalu, di Minnesota, AS,
menjadi perhatian rakyat global dan berpotensi mempengaruhi
penegakan hukum nasional karena isu tersebut juga telah viral
ke berbagai negara. Eksistensi sistem hukum negara (state law)
secara implisit dipertanyakan. Kondisi ini sinergis dengan
politik global yang mempropagandakan isu-isu lingkungan
hidup dan cenderung menciptakan kesulitan daripada
perlindungan. Para ahli terkait mungkin tidak terlalu kuatir.
Begitu banyak wacana di luar lingkungan hidup yang secara

601
EKSISTENSI SISTEM HUKUM LINGKUNGAN HIDUP NASIONAL: AMANAT RAKYAT ATAU
POLITIK GLOBAL?

tidak langsung mendukung perkembangan pemikiran global


juga mengganggu dan melintasi batas yurisdiksi negara-negara
di dunia. Karenanya, sifat transfrontier dan universal tersebut
menarik untuk diuraikan lebih jauh agar tetap tercipta
kehidupan masyarakat yang tertib namun tetap selaras dengan
perkembangan pemikiran kontemporer yang
mempengaruhinya.

Kata Kunci: amanat rakyat, politik global, wacana


lingkungan hidup, transfrontier

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Embrio tesis global-kontemporer dalam tulisan ini


sebenarnya muncul sejak April 2015, menjelang Seminar
Nasional bertema Pengembangan Epistemologi Ilmu
Hukum di Universitas Muhammadiyah Surakarta bekerja
sama dengan Asosiasi Filsafat Hukum Indonesia
(AFHI)(AFHI, 2015). Mengingat seorang steering committee
yang mempertanyakan mengenai pendekatan Critical
Legal Study 1 dan menguatirkan prosesnya terhenti
setelah trashing – genealogy – deconstruction, tanpa
reconstruction; artinya “hanya terima bongkar, tapi tidak
terima pasang”. Sebelumnya – pada sesi Seminar Panel –
seorang oponen lain pun sempat berkomentar mengenai

1 Tahapan Critical Legal Studies selengkapnya: (i) trashing; (ii) genealogy; (iii)
deconstruction; (iv) reconstruction. Lihat: Hikmahanto Juwana (2001).

602
EKSISTENSI SISTEM HUKUM LINGKUNGAN HIDUP NASIONAL: AMANAT RAKYAT ATAU
POLITIK GLOBAL?

spesifikasi keadilan lokal (local justice) yang penulis


rekomendasikan. Komentar dan pertanyaan itu hingga
sekarang masih belum terjawab dengan baik dan
memuaskan. Sejalan dengan hal tersebut, pendekatan
tematik (thematic approach) merupakan suatu apraisal
yang relevan dan banyak dikembangkan secara unik serta
berkesinambungan (Malgosia, Ong & Merkouris, 2010).
Pendekatan tematik yang berhubungan dengan substansi
pengaturan (statute approach) ini juga dikombinasikan
dengan pendekatan konsep (conceptual approach) dan
pendekatan komparatif (comparative approach) yang lebih
familiar bagi peneliti hukum dogmatik; substansi Hukum
Internasional dimaksud melingkupi berbagai topik
pembahasan, baik yang terkait dengan konsep
perlindungan area (internationally protected area)
lingkungan hidup maupun bidang lain yang terkait (other
subject area) 2 . Berbagai sub-disiplin hukum publik dan
hukum privat diuraikan; dari hukum lingkungan
internasional ke hukum pidana internasional; dari hukum
ekonomi internasional hingga hukum organisasi
internasional; dan dari hukum komersial internasional ke

2 Frasa “internationally protected areas” lebih dominan digunakan dalam kancah


Hukum Lingkungan Hidup Internasional untuk menjelaskan pentingnya
melindungi kawasan atau area yang berada di dalam yurisdiksi suatu negara
(single state sovereignty). Maksud dari perkembangan pemikiran ini adalah
menciptakan area lindung lebih banyak “di bawah sub-ordinasi” otoritas global
berdasarkan nilai-nilai universal yang luar biasa (outstanding universal value).
Gillespie (2007).

603
EKSISTENSI SISTEM HUKUM LINGKUNGAN HIDUP NASIONAL: AMANAT RAKYAT ATAU
POLITIK GLOBAL?

hukum HAM internasional (Gillespie, 2007). Dengan kata


lain tesis ini senantiasa tereksplorasi.

Pengkinian yang relevan antara lain adalah kasus


kematian George Flyod (36 tahun) di Minnesota pada 25
Mei 2020; berikutnya juga Rayshard Brooks (27 tahun) di
Atlanta pada 12 Juni 2020. Keduanya diberitakan sebagai
peristiwa rasism dan police brutality. Tantangan hukum
dalam hal viralnya isu rasisme Black Lives Matter tersebut
tidak hanya terjadi di dalam yurisdiksi Negara Amerika
Serikat. Kerusuhan dan anarkis juga menjalar ke
berbagai negara lainnya. Perkembangan peristiwa
kontemporer “akut”: Black Lives Matter, Aborigin Lives
Matter, Palestinian Live Matter, Papua Lives Matter, dan
seterunya, mendapat dukungan rakyat “viral” global. Hal
ini berpotensi mempengaruhi penegakan hukum nasional
di banyak Negara karena isu rasism lebih dominan
daripada delik police brutality.

Benang merahnya adalah pemikiran global “kronis”


berkarakter transfrontier yang “serupa”, sebenarnya telah
dan akan senantiasa ber-progress di bidang yang lain
(other related subject areas) juga. Ada sedikitnya tiga
bidang yang sekarang tidak lagi menjadi yurisdiksi
kepentingan negara semata-mata, yaitu: (i) Perdagangan
(fair and free trade); (ii) Hak Asasi Manusia (HAM)
(Matthew, 2013); dan (ii) Lingkungan Hidup, yaitu
Sustainable Development (Pembangunan Berkelanjutan)

604
EKSISTENSI SISTEM HUKUM LINGKUNGAN HIDUP NASIONAL: AMANAT RAKYAT ATAU
POLITIK GLOBAL?

(Bradbrook, Lyster, Ottinger, & Xi, 2005) dan Climate


Change (Perubahan Iklim).3

Perkembangan pemikiran kontemporer terkait hukum


lingkungan hidup mempunyai pola dan kecenderungan
yang sama (Malgosia, 2009). Secara internasional,
perkembangannya dipengaruhi oleh politik global. Setiap
negara yang mengadopsinya dikuatirkan akan
mempunyai sistem hukum nasional yang dirasuki oleh
politik global yang hanya bersifat di permukaan, tidak lagi
parsial, bahkan cenderung artifisial (Bdk. Nainggolan,
2016).

Ditambah lagi dengan kondisi bahwa sebagian besar


negara di dunia adalah menganut kehidupan bernegara
yang berdasarkan demokrasi. Kehidupan bernegara dan
berdemokrasi (democratic governance) suatu negara
disandingkan dengan prinsip akuntabilitas publik (public
accountability) yang universal dalam berbagai aspek,
termasuk dan tidak terbatas pada penciptaan model
pembuatan peraturan perundang-undangan yang
berdasarkan ilmu pengetahuan (science-based lawmaking
model) (Avgerinopulou, 2019). Selama ini perkembangan
ilmu hukum lingkungan hidup internasional dikritik

3 Hal ini berhubungan erat dengan kebijakan (policy) dan aksi (action) lingkungan
hidup nasional dan internasional yang menurut Adger et al., (2000) didominasi
oleh empat isu utama di bidang lingkungan hidup global, yaitu: (i) deforestation;
(ii) desertification; (iii) biodiversity use, dan (iv) Climate Change; keempat isu
tersebut secara umum disebut sebagai global environmental problems. Lihat:
Adger, Benjaminsen, Brown & Svarstad (2000).

605
EKSISTENSI SISTEM HUKUM LINGKUNGAN HIDUP NASIONAL: AMANAT RAKYAT ATAU
POLITIK GLOBAL?

karena lebih dipengaruhi oleh faktor-faktor politik dan


keuangan daripada ilmu pengetahuan (scientific inputs)
(Nainggolan, 2016). Upaya menciptakan kestabilan (titik
temu) antara ilmu pengetahuan dan hukum menurut Ellis
(2012) termasuk: (i) memahami kerumitan metode ilmiah
dalam kelembagaan hukum; (ii) menemukan cara-cara
yang lebih efektif untuk mewujudkan konsep-konsep
ilmiah ke dalam terminologi hukum; dan (iii) lebih
memahami peran hukum aktual dan potensial dalam
mengevaluasi, mengkritisi dan mendisiplinkan
pemanfaatan otoritas publik (public authority) (Ellis,
2012).

Rumusan Masalah

Pokok permasalahan yang diuraikan dalam tulisan ini


terkait erat dengan globalisasi yang merupakan
karakteristik pertama yang tidak dapat disangkal lagi dan
telah menembus kedaulatan negara dalam arti
tradisional. Persoalan ini sesungguhnya telah lebih dulu
dipraktekkan melalui penetrasi kedaulatan negara
berdasarkan filosofi Hak Asasi Manusia (HAM) yang telah
berlangsung lama. Etos masa kini dan pemunculan
pertimbangan HAM yang melintasi batas negara
(transboundary human rights) sudah umum dilakukan. Di
beberapa bidang teknis hukum internasional, globalisasi
telah memfasilitas aktor selain negara untuk mengakses
prosedur penegakan hukum. Anne-Marie Slaughter
memperhalusnya dengan mengatakan bahwa kita tengah

606
EKSISTENSI SISTEM HUKUM LINGKUNGAN HIDUP NASIONAL: AMANAT RAKYAT ATAU
POLITIK GLOBAL?

menyaksikan dissaggregation dari banyak fungsi


tradisional negara yang dilaksanakan oleh pihak-pihak
swasta atas dasar jaringan transnasional (Hata, 2015).
Bagi para stakeholders hukum internasional, hal ini
merupakan suatu perkembangan yang menggembirakan.
Hukum internasional menjadi semakin dalam (deeper)
dan luas (broader), karena sekarang dapat digunakan oleh
korporasi dan para aktivis HAM di pengadilan negara
mereka sendiri maupun di pengadilan asing.

Berdasarkan pokok-pokok permasalahan tersebut maka


pertanyaan penelitian yang akan dijawab dalam
pembahasan adalah: bagaimana perkembangan
pemikiran universal kontemporer memfasilitasi korelasi
antara Hukum Internasional dan politik global di era
disruptive ini?

Tujuan

Dengan mengetahui perkembangan pemikiran berbagai


konsep dan wacana universal kontemporer kita dapat
memahami pola pemikiran apa yang pernah – sedang –
dan akan terjadi secara global, khususnya yang
mempengarui keberadaan sistem hukum lingkungan
hidup nasional dalam lingkup yurisdiksi kedaulatan
Negara.

Metode Penelitian

Terlepas dari lengkap atau tidaknya trashing yang telah


dilakukan, namun tahapan genealogy melalui pendekatan

607
EKSISTENSI SISTEM HUKUM LINGKUNGAN HIDUP NASIONAL: AMANAT RAKYAT ATAU
POLITIK GLOBAL?

historis terkait masalah dalam tulisan ini, sedikit demi


sedikit telah mengalami beberapa pencerahan.
Pendekatan historis (historical approach) sangat penting
dalam research ini karena menjadi pedoman utama
menentukan asumsi-asumsi penelitian.

Analisis kualitatif yang merupakan bagian dari metode


yuridis-normatif utamanya menganalisa konsep-konsep
universal yang terus berkembang dan berpengaruh besar
terhadap perkembangan sistem hukum lingkungan hidup
nasional. Pola perkembangan konsep-konsep universal
tersebut dikumpulkan dari sedikitnya dua puluh e-books
yang topiknya adalah Hukum Lingkungan Hidup
Internasional (International Environmental Law) yang
penerbitannya antara tahun 1989 sampai dengan 2019.

Hasil indentifikasi konsep-konsep universal selanjutnya


diinterpretasi dan kemudian dikelompokkan untuk
mendapatkan gambaran dan/atau pola
perkembangannya. Berbagai konsep dan pola
perkembangannya diselaraskan dengan peristiwa-
peristiwa hukum untuk mendapatkan gambaran utuh
tentang amanat rakyat dan politik global.

PEMBAHASAN

Pembahasan ini dibagi menjadi empat bagian utama.


Bagian pertama, menguraikan aspek genealogy secara
historis perkembangan pemikiran isu-isu kontemporer

608
EKSISTENSI SISTEM HUKUM LINGKUNGAN HIDUP NASIONAL: AMANAT RAKYAT ATAU
POLITIK GLOBAL?

hasil trashing dari berbagai literatur 4 . Bagian Kedua,


menjelaskan perspektif dari Negara-negara Maju
(developed countries, Annex I) dan Negara-negara
Berkembang (developing countries, Annex II) dalam rangka
“berdamai dengan hoax” demi memahami titik temu
konsep kepentingan politik Annex I dan Annex II. Bagian
ketiga, mendiskusikan implementasi dalam kasus-kasus
yang telah viral dan penyelesaian hukumnya cenderung
berpengaruh pada penegakan hukum nasional yang
sejatinya pro rakyat dan mandiri-berdaulat. Bagian
keempat, membahas pilihan-pilihan yang dapat dijadikan
pedoman untuk memfokuskan alternatif jawaban melalui
upaya deconstruction - reconstruction isu-isu tersebut.

Lintas Sejarah

Sejarah perkembangan pemikiran mengenai hak asasi


manusia (human rights, selanjutnya disingkat HAM)
menunjukkan karakter Hukum Internasional yang khas5.
Penegakan HAM diupayakan untuk terciptanya world
order yang menembus batas kedaulatan Negara-negara.
Sifat transfrontier ini menjadi suatu keniscayaan karena

4 Berbagai literatur Hukum Lingkungan Hidup Internasional menguraikan politik


global secara implisit, namun ada juga yang secara eksplisit menekankan
adanya kepentingan untuk berbagai sumber daya alam; “Shared resources of the
earth include fresh and marine water resources and stratosphere and migratory
species.” Lihat Kiss & Shelton (2007).
5 Hubungan antara HAM dan perlindungan lingkungan hidup sempat dinyatakan
dalam Konferensi Stockholm (1972); “… environmental degradation hampers the
enjoyment of internationally guaranteed human rights.” Ibid., hlm. 237-240.

609
EKSISTENSI SISTEM HUKUM LINGKUNGAN HIDUP NASIONAL: AMANAT RAKYAT ATAU
POLITIK GLOBAL?

universalitas HAM didukung oleh kebutuhan dasar umat


manusia.

Fakta-fakta mengenai perubahan sistem Hukum


Internasional terkait HAM ditemukan dalam berbagai
literatur6. Sejak Perang Dunia II, Hukum Internasional
diperkaya dengan norma-norma baru yang lahir karena
perubahan praktik kekuasaan – bipolar menjadi unipolar
– di dalam hubungan internasional modern. Kesadaran
ini memperjelas karakteristik kedua dari sistem hukum
internasional yang struktur kekuasaannya lebih banyak
bersifat unipolar power (Higgins, 1999). Hal ini juga
merefleksikan realita sistem hukum international yang
ada antara tahun 1945-1987 sekaligus polarisme
kekuasaan yang terus berkembang7.

Perubahan sistemik yang besar pada rentang antara


Perang Dunia II dan berakhirnya perang dingin adalah
kemunculan sejumlah Negara yang baru merdeka, di
dalam masyarakat internasional, pada tahun 1950-an,
sekaligus sebagai subjek Hukum Internasional.
Serangkaian resolusi Majelis Umum, seperti Resolusi
Majelis Umum 1514 (XV), 1541 (XV), 2625 (XXV), 2229

6 Walaupun HAM dikaitkan dengan perlindungan lingkungan hidup, namun


bagaimanapun keduanya berada pada area yang berbeda (in other subject area)
dalam Hukum Internasional. Ibid.
7 Terpecahnya Uni Soviet dan berakhirnya Perang Dingin (Cold War) telah
mengakhiri paham sosialis sebagai sistem yang tepat (viable system) dan saat itu
dipercaya telah menghasilkan sebuah perubahan global, baik sistem keamanan
maupun ekonomi. Kedua polar dunia berubah menjadi satu dunia yang
didominasi oleh Amerika Serikat. Lihat Koivurova (2014).

610
EKSISTENSI SISTEM HUKUM LINGKUNGAN HIDUP NASIONAL: AMANAT RAKYAT ATAU
POLITIK GLOBAL?

(XXI), dan Advisory Opinion Mahkamah Internasional yang


visioner selama era ini, konsep menentukan nasib sendiri
yang merupakan aspirasi politik dan bersifat opsional
berubah menjadi hak hukum. Dampaknya sangat
fenomenal. Tahun 1960-an sampai 1980-an adalah
periode lahirnya sejumlah perjanjian internasional
multilateral, yang disepakati setelah persiapan serta
rangkaian perundingan yang lama pada konferensi
negara-negara pesertanya.

Konsekuensi lainnya adalah kita menyaksikan runtuhnya


struktur hukum yang lama dalam bentuk multiplikasi
lembaga-lembaga hukum internasional, seperti: (i)
International Court of Justice di The Haque (sejak 1922-
1960); (ii) European Court of Human Rights (sejak 1960);
(iii) Inter-American Court of Human Rights; dan (iv)
International Tribunal of the Law of the Sea yang terbentuk
berdasarkan Law of the Sea Convention (1982). Lembaga-
lembaga ini pun dapat digolongkan sebagai actors
sekaligus stakeholders Hukum Internasional yang sedikit
banyak mempengaruhi konstelasi kepentingan politik
global (Bedjoui, 1989), bukan atas dasar kesepakatan
bersama yang win-win.

Adapun bidang lingkungan hidup sebenarnya hanya satu


dari sekian banyak multilateral treaty. Berbagai perjanjian
tersebut telah membentuk teks hukum internasional yang
penting, yaitu: (a) bidang diplomasi: Viena Convention on
Diplomatic Relation (signed: 18-Apr-1961, efektif: 24-Apr-

611
EKSISTENSI SISTEM HUKUM LINGKUNGAN HIDUP NASIONAL: AMANAT RAKYAT ATAU
POLITIK GLOBAL?

1964); (b) bidang HAM: International Covenant on Civil and


Political Rights (Signed: 16-Dec-1966, efektif: 23-Mar-
1976); (c) bidang ekonomi, sosial, dan budaya:
International Covenant on Economic, Social and Cultural
Rights (signed: 16-Dec-1966, 71 Negara; efektif: 3-Jan-
1976; parties: 170); (d) bidang hukum laut: UN Convention
on the Law of the Sea (signed: 10-Dec-1982, 157 Negara;
efektif: 16-Nov-1994; ratifikasi: 60 Negara); (e) bidang
hukum Humaniter: Geneva Protocol I Additional to Geneva
Convention of 12 August 1949 (1977, terkait perlindungan
korban dari konflik bersenjata); (f) bidang hukum
Humaniter: Geneva Protocol II Additional to Geneva
Convention of 12 August 1949 (1977, terkait perlindungan
korban dalam konflik bersenjata non-internasional); (g)
Viena Convention on the Law of Treaties (1980) (Hata,
2015).

Johnston (1983) mengatakan bahwa hukum lingkungan


hidup internasional merupakan “new development” dalam
Sistem Hukum Internasional; sedangkan Koivurora (2014)
menguraikannya sebagai: “The development of
international environmental law as part of the evolution of
international politics and law.” Pernyataan tersebut serupa
dengan pendapat Kiss & Shelton (2007) yang
menyebutkan bahwa hukum lingkungan hidup
internasional adalah salah satu “cabang” dari “pohon tua”
Hukum Internasional. Konsepsi Hukum Internasional
berdasarkan universal consent of nation states pada waktu

612
EKSISTENSI SISTEM HUKUM LINGKUNGAN HIDUP NASIONAL: AMANAT RAKYAT ATAU
POLITIK GLOBAL?

ini dan bersifat tentative character dari Hukum


Lingkungan Hidup Internasional. Ide awal pemikirannya
berasal dari konsep natural law, yang memproyeksikan
konsep-konsep natural order, human reason, dan moral
authority. Akarnya pada prinsip-prinsip klasik sistem
hukum internasional yang kemudian berkembang
menjadi lingkup yang luas, multifactoral framework of
legal development. Beberapa yurists mengembangkan
pemikiran terkait substansi Hukum Lingkungan Hidup
Internasional dan berupaya menyikapi kedaulatan
negara; cakupannya demikian luas, yaitu: perairan tawar
(freshwaters); atmosfir, stratosfir, dan iklim (atmosphere,
stratosphere, dan climate, termasuk Ozone Depletion serta
Climate Change); keanekaragaman hayati (biological
diversity); lingkungan hidup laut (marine environment); zat
berbahaya dan limbah (hazardous substances and wastes)
(Kiss & Shelton, 2007). Lebih spesifik Louka (2006)
menguraikannya berdasarkan aspek-aspek: (i) keadilan
(fairness) antar-generasi dan intra-generasi; (ii) efektifitas
(effectiveness) penggunaan sumber daya alam; dan (iii)
mekanisme hubungan antar negara-negara di dunia
(world order) (Louka, 2006); sebagai salah satu pilihan
yang akan diuraikan kemudian dalam tulisan ini.

Masalah HAM atas lingkungan yang bersih, selama


bertahun-tahun, telah menjadi bahan diskusi yang
berlarut-larut. Fitzmaurice (2009) berpendapat bahwa
fokus diskusi telah bergeser dari masalah keberadaan hak

613
EKSISTENSI SISTEM HUKUM LINGKUNGAN HIDUP NASIONAL: AMANAT RAKYAT ATAU
POLITIK GLOBAL?

tersebut ke masalah yang lebih praktis dan teknis-


prosedural: tentang pembedaan antara HAM substantif
dan prosedural dengan lingkungan yang bersih, yaitu hak
atas informasi lingkungan, partisipasi dalam lingkungan;
serta pengambilan keputusan dan akses ke keadilan
lingkungan (Fitzmaurice , 2009). Debat tersebut umumnya
berkaitan dengan keberadaan hak yang tidak jelas dan
kurang fokus. Sebagai contoh, banyak dari diskusi
tersebut dikhususkan untuk nama hak (mungkin) seperti
itu, seperti 'hak atas lingkungan' atau hak atas
lingkungan yang 'baik' (decent), 'sehat' (healthy), atau
'aman’ (safe). Isu-isu yang pada awalnya dianalisis secara
luas menyangkut kemungkinan hubungan antara HAM
secara umum dengan lingkungan dan klasifikasi hak
semacam itu8. Namun, tidak ada konsep persuasif yang
ditawarkan. Pemahamannya akan sulit bila tidak
dielaborasikan ke dalam legal system dari negara-negara
berdaulat; tanpa adanya tatanan konstitusional global
(global constitutional order) (Kiss & Shelton, 2007).

Selain masalah HAM, universalitas yang terkait erat


dengan perkembangan sistem hukum lingkungan hidup
nasional adalah konsep Sustainable Development
(Pembangunan Berkelanjuan) dan Climate Change

8 Beberapa penulis menolak adanya kemungkinan tersebut, seperti G. Handl


(1992) yang menyatakan keraguannya dengan mempertanyakan apakah
mungkin HAM atas lingkungan yang bersih berasal dari wacana umum tentang
HAM? Ibid.

614
EKSISTENSI SISTEM HUKUM LINGKUNGAN HIDUP NASIONAL: AMANAT RAKYAT ATAU
POLITIK GLOBAL?

(Perubahan Iklim) yang keduanya dicanangkan pada


Deklarasi Rio 1992 tentang Lingkungan Hidup dan
Pembangunan9. Sebelumnya terdapat dua deklarasi yang
keberpihakannya lebih dominan terhadap lingkungan
hidup dan/atau tata ekonomi dunia baru (world order);
berturut-turut yaitu Deklarasi Stockholm 1972 tentang
Lingkungan Hidup manusia yang terdiri dari bagian
Preamble dan 26 asas yang saat itu dianggap sebagai
sumber bagi pengembangan hukum lingkungan;
kemudian Deklarasi PBB 1974 tentang Pembentukan Tata
Ekonomi Dunia Batu (Declaration on the Establishment of
a New International Economic Order) yang berisi 7 butir
penting bagi hubungan ekonomi antara masyarakat dan
antar negara-negara, terutama terkait dengan
permasalahan distribusi dan pengelolaan bahan mentah
(raw material) dan pembangunan (development).
Sementara itu frasa “sustainable development”
didefinisikan pertama kali sebagai salah satu “roots” dari
prinsip lingkungan hidup dalam “Brundtland report”
(1987). Brundtland report juga mencantumkan tujuh
strategic imperatives untuk mencapainya, termasuk
menggabungkan aspek lingkungan hidup dan
pembangunan dalam pembuatan keputusan (merging

9 Kiss & Shelton (2007) menjelaskan korelasi perlindungan lingkungan dengan


integrasi ekonomi regional serta perdagangan dan investasi; bahkan diuraikan
juga kaitannya dengan military material and activities, baik konflik bersenjata,
persidangan di Mahkamah Internasional, maupun pencegahan konflik dan
keamanan lingkungan hidup (environmental security and conflict prevention).

615
EKSISTENSI SISTEM HUKUM LINGKUNGAN HIDUP NASIONAL: AMANAT RAKYAT ATAU
POLITIK GLOBAL?

environment and economics in decision making) (Koivurova,


2014).

Selanjutnya Deklarasi Rio 1992 tentang Lingkungan


Hidup dan Pembangunan yang merupakan soft-law
agreement memuat 27 prinsip serta dianggap sebagai
sumber pengembangan hukum lingkungan nasional dan
internasional. Momentum perkembangan pemikiran
meta-prinsip Sustainable Development dapat dipahami
berdasarkan dokumen-dokumen yang bersifat periodik
dan berkesinambungan, yaitu (1) Agenda 21, 1992-2002
(UN Conference on Environmental & Development, Rio de
Janerio, Brazil, 3-14 Juni 1992) 10 ; (2) Millenium
Development Goals (MDGs), 2002 – 2015 11 ; dan (iii)
Sustainable Development Goals (SDGs), 2015-2030 12 .
Sustainable Development merupakan meta prinsip13 yang
utamanya didasari oleh inter-generational justice dan intra-
generational justice14; serta didukung oleh prinsip-prinsip

10 Lihat: “Agenda 21, UNCED 1992”


https://sustainabledevelopment.un.org/outcomedocuments/agenda21>.
11 “Millenium Development Goals: 2015, Time for Global Action for People and
Planet”, https://www.un.org/en/sections/about-
website/copyright/index.html>.
12 “Sustainable Development Goals: 2030, Agenda for Sustainable Development”,
http://www.un.org/sustainabledevelopment/news/communications-
material/>.
13 “Sustainable development operates as a meta-principle, under which the others
are organized and to which they contribute”. Lihat Wilkinson(2002) .
14 World Commission on Enviroment and Development (WCED): “Sustainable
development is a process of change in which the exploitation of resources, the
direction of investments, the orientation of technological development; the
institutional change are all in harmony and enhance both current and future
potential to meet human needs and aspiration.” Lihat:

616
EKSISTENSI SISTEM HUKUM LINGKUNGAN HIDUP NASIONAL: AMANAT RAKYAT ATAU
POLITIK GLOBAL?

teknis hukum lingkungan hidup, yaitu: precautionary


principle, preventative principle, polluter pays principle,
proximity principle dan lain-lain. Sustainable Development
adalah suatu pelembagaan atas apa yang pada awalnya
tampak sebagai wacana konservasi murni, akan tetapi
kemudian dikombinasikan dengan unsur-unsur
pembangunan. Maksudnya adalah agar Pemerintah
dapat merangkul proyek konservasi sebagai strategi
pembangunan baru; dengan demikian mengubah wacana
konservasi ke tujuannya sendiri. Banyak negara
berkembang (developing countries) sejak awal telah curiga
akan “syarat lain” dari negara-negara kaya (developed
countries) yang mencoba menciptakan mekanisme
tertentu untuk melindungi ekonomi mereka sendiri
(Arnscheidt , 2009). Kecurigaan itu muncul karena ego
sektoral yang meyakini bahwa wacana pembangunan
berkelanjutan tidak menggambarkan suatu yang spesifik.
Di sisi lain, fleksibilitas dari konsep pembangunan
berkelanjutan justru mendapat dukungan koalisi yang
luas dari para pendukung pembangunan, perlindungan
lingkungan, serta hak asasi manusia; bahkan
menciptakan perasaan telah menemukan jalan keluar
dari perdebatan yang selama ini buntu untuk

https://sustainabledevelopment.un.org/content/documents/5987our-
common-future.pdf> dan Thomsen C. (2013) Sustainability (World
Commission on Environment and Development Definition). In: Idowu S.O.,
Capaldi N., Zu L., Gupta A.D. (eds) Encyclopedia of Corporate Social
Responsibility. Springer, Berlin, Heidelberg. (https://doi.org/10.1007/978-
3-642-28036-8> ).

617
EKSISTENSI SISTEM HUKUM LINGKUNGAN HIDUP NASIONAL: AMANAT RAKYAT ATAU
POLITIK GLOBAL?

menyelamatkan bumi 15 . Namun bukan berarti bahwa


"green arguments" atau "green values" mendominasi
wacana. Sebaliknya, pada intinya justru adalah
pembangunan, sebagaimana analisis laporan Komisi
Brundtland tahun 1987 yang menyebutkan bahwa:
“Laporan tersebut lebih fokus pada dampak degradasi
lingkungan terhadap pertumbuhan dan potensi untuk
pertumbuhan. Kurang fokus pada konsekuensi negatif
dari pertumbuhan ekonomi terhadap lingkungan.
Pertumbuhan (baca: ekspansi pasar kapitalis), dan bukan
lingkungan, yang harus dipertahankan."

Sinergis dengan Philippe Sands and Jacqueline Peel yang


memposisikan Sustainable Development sebagai salah
satu dasar untuk membuat putusan (the basis for
decision-making: science, economics and other values)
(Sands & Peel, 2012); bahwa Hukum Internasional dari
Sustainable Development mencakup tetapi tidak terbatas
pada Hukum Lingkungan Hidup Internasional saja,
namun juga mencakup dimensi sosial dan ekonomi dari
pembangunan, peran partisipatif dari kelompok-kelompok
(negara) besar, serta pendanaan dan sarana implementasi
lainnya. Integrasi pertimbangan lingkungan dengan
tujuan sosial lainnya telah mengarah pada pengembangan
yurisprudensi HAM atau lingkungan, dan integrasi
lingkungan ke dalam hal-hal seperti perdagangan dan

15 “… thus unspecific concept of sustainable development enabled this remarkable


discourse coalition.” (Arnscheidt , 2009).

618
EKSISTENSI SISTEM HUKUM LINGKUNGAN HIDUP NASIONAL: AMANAT RAKYAT ATAU
POLITIK GLOBAL?

investasi internasional, juga konflik bersenjata dan


hukum pidana yang tercermin, secara terbatas, dalam
Statuta Mahkamah Pidana Internasional (Sands & Peel,
2012). Hal yang jarang dibahas dalam literatur adalah
mengenai lahirnya Sustainable Development melalui
Deklarasi Rio 1992 yang mewakili serangkaian kompromi
yang alot antara negara maju dan negara berkembang
serta kesulitan menemukan titik keseimbangan antara
tujuan perlindungan lingkungan hidup (global) dan
pembangunan ekonomi nasional.

Selanjutnya meta-prinsip Sustainable Development


diuraikan dalam bentuk daftar topik diskusi selanjutnya,
yaitu dokumen dengan judul “Agenda 21”. Sesungguhnya
Agenda 21 adalah sebuah rencana negara-negara industri
(Annex II) mempromosikan perlindungan lingkungan
hidup untuk abad selanjutnya (next century) berdasarkan
Deklarasi Rio yang ambisius 16 . Agenda 21 terdiri 40
chapters yang dikelompokkan ke dalam 3 sections.
Setelah Preamble, dilanjutkan dengan Section I: Social and
Economic Dimensions, Section II: Conservation and
Management of Resources, Section III: Strengthening the

16 “The industrial countries managed to negotiate a relatively ambitious Rio


Declaration, the Agenda 21 (a plan for promoting environmental protection
during the next century), the Framework Convention on Climate Change to combat
climate change, the Convention on Biological Diversity to combat the loss of
natural diversity, and the non-binding forest principles, but the developing
countries were still able to promote their own interests during the negotiations.”;
Koivurova (2014)

619
EKSISTENSI SISTEM HUKUM LINGKUNGAN HIDUP NASIONAL: AMANAT RAKYAT ATAU
POLITIK GLOBAL?

Role of Major Groups, dan Section IV: Means of


Implementation. Agenda yang berdurasi dua dekade ini
berakhir tahun 2002 dan dilanjutkan dengan MDGs pada
Konferensi di Johannesburg, Afrika Selatan.

Deklarasi Johannesburg 2002 mengevaluasi pelaksanaan


Agenda 21 dan berupaya mewujudkan peran serta konsep
Demokrasi Lingkungan (Environmental Democracy), salah
satunya berupa hak hidup hutan. Selengkapnya
disebutkan bahwa “Environmental Democracy is based on
the idea that land and natural resource decisions
adequately and equitably address citizens’ interests.
Rather than setting a standard for what determines a good
outcome, environmental democracy sets a standard for how
decisions should be made. It is enforced to ensure that
communities have the right and ability to influence
decisions about their future”. Dalam konferensi ini secara
paralel terdapat event lainnya, seperti Health and
Sustainable Development dan World Heritage in Africa and
Sustainable Development. (4 September 2002) (Chaytor &
Gray, 2003). Catatan keberhasilan dan kegagalan proyek
Agenda 21 pun jarang secara eksplisit diuraikan detail
dalam literatur Hukum Lingkungan Hidup Internasional;
yang pasti Agenda 21 dibahas pada Deklarasi
Johannesburg: evaluasi, modifikasi, perpanjang durasi,
dan dilanjutkan dengan proyek selanjutnya, yaitu
Millenium Development Goals (MDGs).

620
EKSISTENSI SISTEM HUKUM LINGKUNGAN HIDUP NASIONAL: AMANAT RAKYAT ATAU
POLITIK GLOBAL?

MDGs terdiri dari delapan tujuan yang ditargetkan


tercapai pada tahun 2015 sebagai aksi global for people
and planet, yaitu: (i) eradicate extreme poverty and hunger;
(ii) achieve universal primary education; (iii) promote gender
equality and empower woman; (iv) reduce child mortality;
((v) improve maternal health; (vi) combat HIV/AIDS,
malaria, and other diseases; (vii) ensure environmental
sustainability; dan (viii) global partnership for development.
Kedelapan tujuan milenium ini pun telah berakhir tahun
2015 dan catatan kritis mengenai kinerja MDGs juga
jarang ditemukan dalam literatur. Walaupun demikian,
wacana ini dilanjutkan dengan proyek baru di Paris,
Perancis, yaitu Sustainable Development Goals (SDGs)
yang berdurasi hingga tahun 2030.

SDGs menyebutkan sebanyak tujuh belas tujuan sebagai


agenda untuk sustainable development yang intinya
adalah penjabaran dan perluasan dari MDGs. Rincian
tujuan dimaksud adalah no poverty (tiada kemiskinan),
zero hunger (tiada kelaparan), good health and well being
(kesehatan yang baik dan sejahtera), quality education
(pendidikan berkualitas), gender equality (kesetaraan
gender), clean water and sanitation (air dan sanitasi yang
bersih) , affordable and clean energy (energi yang bersih
dan terjangkau), decent work and economic growth
(pekerjaan yang layak dan pertumbuhan ekonomi),
industry, innovation and infrastructure (industri, inovasi,
dan infrastruktur), reduce inequealities (mengurangi

621
EKSISTENSI SISTEM HUKUM LINGKUNGAN HIDUP NASIONAL: AMANAT RAKYAT ATAU
POLITIK GLOBAL?

ketidaksetaraan), sustainable cities and communities (kota


dan masyarakat yang berkelanjutan), responsible
consumption and production (tingkat konsumsi dan
produksi yang bertanggung jawab), climate action (aksi
iklim), life below water (kehidupan di bawah air), life on
land (kehidupan di darat), peace, justice and strong
institutions (perdamaian keadilan, dan kelembahaan yang
kuat), serta partnership for the goals (kemitraan untuk
mencapai tujuan) (Teske, 2019).

Sementara itu, beberapa pola perkembangan wacana


Climate Change (Vanderheiden, 2011) (Perubahan Iklim)
bisa ditemukan dalam berbagai literatur dan cenderung
paralel dengan berbagai konsep turunannya yang
berstandar lingkungan hidup internasional (international
environmental standards) (Chatterjee , 2011), yaitu
Biodiversity (Keanekargaman Hayati), Global Warming
(Rosenberg, 2011) (Pemanasan Global), Green House Gas
Effect (Efek Gas Rumah Kaca) (Teske, 2019), Climate
Justice (Bernstein, 2011), Climate Strike, dan sebagainya.

Secara historis dalam “Earth Summit” di Rio tahun 1992


telah disepakati Konvensi PBB tentang Kerangka Kerja
Perubahan Iklim (UN Framework Convention on Climate
Change Convention) bersamaan dengan Konvensi tentang
Keanekaragaman Hayati (UN Convention on Biological
Diversity Convention) dan Konvensi tentang Memerangi
Desertifikasi (UN Convention on Combating Desertification).
Pada Conferences on Parties & UN Forum on Forest

622
EKSISTENSI SISTEM HUKUM LINGKUNGAN HIDUP NASIONAL: AMANAT RAKYAT ATAU
POLITIK GLOBAL?

beberapa kali menekankan hambatan utama untuk


mencapai tujuan mereka adalah kekurangan pendanaan
(lack of fund). Kendala kekurangan pendanaan ini terus
menerus menjadi excuse yang berkesinambungan dan
berkelanjutan; beberapa informasi terkait diuraikan pada
bagian Hoax-Annex berikut ini.

Hoax – Annex

Istilah hoax dipahami sebagai berita bohong, yang pada


era disruptive ini sering disebut post-truth. Hoax bukan
kebenaran namun ada yang meyakininya sebagai sesuatu
yang benar karena koheren dengan hal-hal yang telah
diketahui secara viral sebelumnya. Kata viral menurut
kamus Merriam-Webster didefinisikan sebagai: “quickly
and widely spread or popularized especially by means of
social media” 17 yang berarti ada peran media sosial untuk
mempopulerkan atau menyebarluaskan sesuatu
(informasi, gambar, video, dll.) yang dimaksud secara
cepat antar para pengguna internet.

Karena itu pula kebenaran dan ketidakbenaran saat ini


hanya dipisahkan oleh sehelai benang tipis menembus
ruang dan waktu. Berita bohong yang mendunia sudah
ada sejak jaman Hitler dengan media radio. Kemudian
terus berlanjut namun dengan media sosial yang berbeda,

17 https://www.merriam-webster.com/dictionary/viral>

623
EKSISTENSI SISTEM HUKUM LINGKUNGAN HIDUP NASIONAL: AMANAT RAKYAT ATAU
POLITIK GLOBAL?

yaitu post-truth Trump, Brexit, dan lain-lainnya 18 ,


termasuk pro dan kontra wacana Climate Change
(perubahan iklim). Bidangnya pun bukan hanya politik,
namun juga bidang lain sesuai kepentingan bullshitter. Di
bidang ekonomi – perpajakan – ketidakbenaran menjadi
suatu strategi yang dibungkus sebagai tax planning.
Perencanaan pajak dalam arti positif sesuai dengan
norma-norma pajak, sulit dibedakan dengan
penghindaran dan/atau penggelapan pajak (tax avoidance
atau tax evasion). Misalnya transaksi (i) pembelian barang
yang disembunyikan atau dimundurkan tanggal
pencatatannya, untuk mengatur depresiasi barang,
sehingga berujung pada berkurangnya nilai keuntungan
perusahaan yang bisa dipajaki; (ii) antara perusahaan
yang ultimate shareholder-nya sama, seakan-akan terjadi
transaksi bisnis, padahal untuk kepentingan mark-up dan
mark-down; (iii) fiktif dengan entiti bisnis di luar negeri
(offshore) untuk memilih yurisdiksi pajak yang tarifnya
lebih murah (tax heaven). Di satu sisi perusahaan acap
kali melakukannya, dan di sisi lain hukum tak mampu
menggapainya.19

18 Post-truth sebagai dampak propaganda kekuatan politik tertentu: (i)


Referendum BREXIT, Juni 2016; withdrawal UK from European Union; (ii)
Pemilihan Presiden AS, Nov 8, 2016; D. Trump mengalahkan H. Clinton; (iii)
Climate Change berkembang menjadi Climate Strike?
19 Sinergis dengan pendapat bahwa substansi Hukum Lingkungan Hidup dalam
skala nasional juga mengandung aspek hukum pajak, hukum internasional,
hukum tata ruang, hukum perdata, dan hukum pidana. Lihat Rangkuti (1996).

624
EKSISTENSI SISTEM HUKUM LINGKUNGAN HIDUP NASIONAL: AMANAT RAKYAT ATAU
POLITIK GLOBAL?

Benar atau salah lebih ditentukan oleh kepentingan si


pengguna. Kondisi demikian memaksa kita untuk pada
awalnya “berdamai” dahulu sebelum kita meyakini fakta
yang sebenarnya atau informasi tersebut belum
terkonfirmasi, dan/atau masih tertunda realisasinya
dengan kata lain sama sekali tidak jahat (by no means as
malevolent). Asumsi ini untuk memberikan kebebasan
sementara bagi kita untuk menyebutkan kembali
beberapa hoax seperti dimaksud di atas. Pihak actors
yang terutama berkepentingan adalah kelompok negara-
negara maju (Annex I) dan negara-negara berkembang
(Annex II) dalam perspektif masing-masing sesuai
rumusan masalah dalam tulisan ini.

Hoax – Annex pertama adalah sehubungan dengan


penandatanganan Letter of Intent (LoI) pada tanggal 26 Mei
2010 antara Pemerintah Republik Indonesia dan
Pemerintah Kerajaan Norwegia yang berisi komitmen dana
dari Norwegia sebesar USD 1 miliar untuk Indonesia bila
dapat mengupayakan pengurangan emisi (karbon) yang
berasal dari deforestation dan forest degradation20. Tujuan
dari LoI ini adalah: (i) international dialogue; (ii) Climate
Change; dan (iii) REDD+ Activities. Skema REDD+
(Reducing Greenhouse Gas Emissions from Deforestation

20 “Kerja Sama Iklim Indonesia Norwegia Akan Diperpanjang”, Media Indonesia


(Dhika Kusuma Winata), lihat:
https://mediaindonesia.com/read/detail/244556-kerja-sama-iklim-indonesia-
norwegia-akan-diperpanjang> 2-7-2019).

625
EKSISTENSI SISTEM HUKUM LINGKUNGAN HIDUP NASIONAL: AMANAT RAKYAT ATAU
POLITIK GLOBAL?

and Forest Degradation) ini memungkinkan negara-negara


berkembang untuk memperoleh uang, dengan syarat,
mereka tidak diperbolehkan merusak hutan dan harus
menjaga lahan gambut. Adapun tahapan-tahapannya
adalah: (i) preparation; (ii) transformation; dan (iii) verified
contribution. LoI ini layak digolongkan sebaga hoax-annex
karena berdasarkan pemberitaan tanggal 9 Desember
2019, pada The Climate Change Conference (UNFCCC-
CoP25) di Madrid, Spanyol, bahwa upaya Indonesia
menagih Norwegia belum juga mendatangkan hasil.
Padahal pihak Indonesia telah berhasil mencapai
pengurangan emisi sebesar 4,8 juta ton CO2 selama
periode 2016-2017. Selain itu, pihak Indonesia juga telah
membentuk suatu Badan Pengelola Dana Lingkungan
Hidup (BPDLH, Environmental Fund Management Agency),
termasuk Result-based Payment (RBP) sesuai yang
disepakati dalam LoI. Artinya pihak Indonesia hanya
dapat bertanya: “how funds that are still available from the
Letter of Intent (LoI) can be immediately utilized?” Adapun
informasi yang diberitakan per tanggal 3 Juli 2020 pada
laman resmi Pemerintah Norwegia (Ministry of Climate and
Environment) menyebutkan bahwa: “Norway will pay up to
530 million NOK (approx. $ 56 million) for the good
results”21. Semoga hoax atau “mis-informasi” ini dapat

21 “Norway will pay 530 million NOK for reduced deforestation in Indonesia”;
(Government.no); https://www.regjeringen.no/en/aktuelt/noreg-betaler-
530-millionar-for-redusert-avskoging-i-indonesia/id2722135/> (03-07-2020).

626
EKSISTENSI SISTEM HUKUM LINGKUNGAN HIDUP NASIONAL: AMANAT RAKYAT ATAU
POLITIK GLOBAL?

segera terakselerasi bukan sebagai berita bohong,


melainkan hanya penundaan saja.

Hoax – Annex kedua berhubungan dengan produk kelapa


sawit Indonesia yang diboikot oleh pasar Eropa dan
berlanjut pembatalan proyek kilang PERTAMINA (Persero)
dan ENI S.p.A., sebagaimana diberitakan 29 Januari
202022. Kerja sama yang dijalin pada Januari 2019,
pada perjalanannya mesti disetop akibat polemik
penolakan sawit Indonesia dari Uni Eropa, karena ada
keharusan sertifikasi produsen CPO dan Indonesia belum
bisa memenuhinya. PERTAMINA dan ENI
menandatangani tiga kesepakatan sekaligus terkait
pengembangan green Refinery, yakni; Head of Joint
Venture Agreement untuk pengembangan green refinery di
Indonesia, term sheet CPO processing di Italia, dan
Memorandum of Understanding (MoU) terkait circular
economy, low carbon products dan renewable energy.
Untuk pengembangan green refinery di Indonesia, semula
direncanakan untuk dikembangkan di kilang Plaju dan
memproduksi 100% biodiesel CPO. Rencananya,
PERTAMINA menggandeng ENI karena perusahaan migas
Italia ini sudah teruji dan berpengalaman sejak 2004.
Sempat ada tarik menarik apakah semua proyek ditarik

22 “Sawit RI Diboikot Eropa, Proyek Kilang PERTAMINA-ENI Batal”, CNBC


Indonesia (Anisatul Umah), (lihat:
www.cnbcindonesia.com/news/20200129162115-4-133724/sawit-ri-
diboikot-eropa-proyek-kilang-pertamina-eni-batal> (29-01-2020).

627
EKSISTENSI SISTEM HUKUM LINGKUNGAN HIDUP NASIONAL: AMANAT RAKYAT ATAU
POLITIK GLOBAL?

ke Indonesia untuk mengatasi protes, namun ENI


mendapat teguran dari pemerintahnya. Padahal, secara
logika jika proyek berjalan di Indonesia dan diolah di sini
maka segala aspeknya akan ditanggung Indonesia. Pihak
Indonesia merasakan adanya geopolitical tension dalam
pembatalan MoU ini.

Hoax – Annex berikutnya terkait dengan Kyoto Protocol


(1997) mengenai kompensasi bagi negara yang memenuhi
Kebijakan Karbon (Carbon Policy) sebagaimana telah
dirumuskan dan ditandatangai oleh para negosiator
diplomatik. Menurut Protokol Kyoto, terdapat tiga
mekanisme dalam Kebijakan Karbon (mechanism in
Carbon Policy), yakni: (i) Joint Implementation; (ii) Clean
Development Mechanism; (iii) International Emission
Trading. Negara Brasil dalam hal ini memilih Clean
Development Mechanism (CDM) untuk mendapatkan
kompensasi pendanaan, namun klaimnya ditolak 23 .
Penyebabnya adalah karena perubahan mekanisme CDM
menjadi ketentuan baru sesuai Conference of Parties (CoP)
di Paris, 2015.

Artinya, kekecewaan Pemerintah Brasil sebagai negara


yang merasa telah patuh mengikuti kebijakan awal; yang
dalam perkembangannya telah disepakati juga dalam

23 “Brasil Menolak, Artikel 6 Persetujuan Paris Tak Tuntas di COP25”, detikNews


(Mei Amelia R). Lihat: https://news.detik.com/internasional/d-
4822281/brasil-menolak-artikel-6-persetujuan-paris-tak-tuntas-di-cop25>
(14-12-2019).

628
EKSISTENSI SISTEM HUKUM LINGKUNGAN HIDUP NASIONAL: AMANAT RAKYAT ATAU
POLITIK GLOBAL?

berbagai multilateral treaties; namun ternyata tidak


kunjung menikmati hasilnya. Secara historis, sejak awal
1990-an, “para pembuat kebijakan” telah berupaya
mengatasi perubahan iklim melalui proses kebijakan yang
menghasilkan Protokol Kyoto 1997 dan tampaknya
mereka senantiasa mencari kerangka kerja baru pasca-
Kyoto untuk menggantikan perjanjian itu setelah
berakhirnya pada tahun 2012.

Teknis klaim CDM telah tercantum juga dalam dokumen


Food Agricultural Organization (FAO, 2006) (von Luepke &
Schoene, 2006). Intinya, negara-negara berkembang (Non-
Annex I countries atau dalam literatur lain disebut sebagai
Annex II countries) yang mempunyai kawasan hutan dan
berminat mengikuti “forestry CDM projects” harus
memenuhi rules and modalities yang juga harus
diklarifikasi terlebih dahulu oleh Executive Board of the
CDM. Kawasan hutan yang diikutsertakan harus
memenuhi berbagai kriteria seperti: usia dan jenis pohon,
ketinggian, “area tutupan” (crown), dan lain-lain. Selain
itu, unsur ketidakpastian dalam hal ini berpotensi
menjadi dispute karena parameter-paramater hutan
harus sesuai (match) dengan sedikitnya tiga aspek, yaitu:
(i) prior site conditions; (ii) desirable project types; dan (iii)
national policy goals. Karena itu nilai optimal proyek ini
akan berbeda-beda antara satu negara dengan negara
lainnya (von Luepke & Schoene, 2006); walaupun
mekanisme ini bertujuan sama yaitu kompensasi

629
EKSISTENSI SISTEM HUKUM LINGKUNGAN HIDUP NASIONAL: AMANAT RAKYAT ATAU
POLITIK GLOBAL?

pendanaan atau secara sarkasme merupakan “fee


menjaga hutan dunia”.

Terlepas dari adanya berbagai hoax-annex tersebut,


perjanjian-perjanjian internasional sejatinya
memungkinkan untuk dilakukannya pengkodifikasian
dari apa yang berhasil disepakati. Harapannya adalah
untuk memitigasi kelemahan Hukum Internasional dalam
hal ketiadaan teks hukum (no body of law). Perjanjian
internasional juga memberi kesempatan untuk
melakukan negosiasi terhadap hal-hal yang belum
disepakati. Selain itu, bagi anggota-anggota baru
komunitas hukum internasional, perjanjian internasional
memungkinkan mereka untuk mencari perubahan dalam
hukum internasional yang mengikat mereka setelah
kemerdekaannya.

Namun pada kasus CDM Brasil, penolakan klaim justru


menjadi preseden yang buruk karena semata-mata
disebabkan oleh perubahan mekanisme kompensasi yang
sebenarnya telah disepakati dalam Protokol Kyoto.
Artinya law enforcement tetap menjadi permasalahan
utama dalam lingkungan hidup internasional walaupun
telah jelas sifatnya mengikat (binding) karena mempunyai
kekuatan hukum berdasarkan perjanjian internasional
(multinasional treaty) (Friedrich, 2013). Dengan kata lain,
tekanan politik global (geopolitical tension) tidak dapat
diandalkan untuk kepentingan pihak Pemerintah Brasil

630
EKSISTENSI SISTEM HUKUM LINGKUNGAN HIDUP NASIONAL: AMANAT RAKYAT ATAU
POLITIK GLOBAL?

yang notabene termasuk dalam kelompok negara-negara


Annex II (developing countries).

Secara konsep memang dibedakan antara instrumen-


instrumen: protocol, treaty, dan convention; di mana
protocol adalah perjanjian yang dirumuskan dan
ditandatangani oleh negosiator diplomatik sebagai dasar
convention atau treaty; sedangkan treaty adalah
perjanjian akhir di mana para pihak bernegosiasi untuk
mencapai titik temu dan menghindari konflik atau
ketidaksetujuan lebih lanjut; sementara itu suatu
convention dimulai sebagai pertemuan perwakilan
internasional dari banyak negara yang menghasilkan
persetujuan umum tentang prosedur atau tindakan yang
akan diambil tentang topik-topik tertentu, misalnya lahan
gambut (peatland), spesies yang terancam punah
(endangered species), dan lain-lain.

Selain itu, ada juga yang menjelaskan korelasi antara


convention dan protocol; di mana convention adalah
kesepakatan formal antara negara-negara dan biasanya
menjadi instrumen negosiasi dalam sebuah organisasi
internasional; sedangkan protocol adalah salah satu jalan
untuk memodifikasi sebuah convention. Karenanya
perubahan (amendment) berdasarkan protocol tidak
mengikat bagi negara-negara yang telah meratifikasi
convention awal (original concention). Secara praktis dapat
dikatakan bahwa, aspek non-binding dari Hukum
Internasional ternyata dapat juga digunakan untuk

631
EKSISTENSI SISTEM HUKUM LINGKUNGAN HIDUP NASIONAL: AMANAT RAKYAT ATAU
POLITIK GLOBAL?

mengubah, menunda, dan/atau membatalkan suatu


kesepakatan internasional yang menguntungkan pihak-
pihak tertentu dan mengorbankan pihak lainnya.

Hoax-Annex selanjutnya yang terjadi baru-baru ini adalah


terkuaknya intervensi Pemerintah Amerika Serikat
dengan cara mendanai dan memprovokasi demonstran di
Hongkong agar melawan pengawasan Pemerintah
Tiongkok. Diberitakan bahwa pada 9 Juni 2020 lalu,
rezim Donald Trump telah menghentikan komitmen
pendanaan USD 2 juta untuk internet freedom dan foreign
news initiatives24; karena ketegasan Pemerintah Tiongkok
yang menerbitkan undang-undang baru terkait keamanan
nasional (national security law). Hal ini menunjukkan
bahwa demi kepentingan tertentu (hidden agenda), suatu
negara maju sekelas Amerika Serikat (Annex II) dapat
mempengaruhi rakyat di Hongkong dalam yurisdiksi
Tiongkok untuk melawan pemerintahnya yang sah. Bila
berita ini benar maka universalitas HAM atas nama
demokrasi dalam hal ini disalahgunakan untuk
menembus batas yurisdiksi negara lain25.

24 “Trump Adminitration Freezes Funding Intended to Benefit Hong Kong


Protesters”, TIME, (Billy Perrigo), 26 June 2020;
https://time.com/5860163/trump-hong-kong-funding-freeze/>.
25 Pendanaan bagi para penggiat HAM dan demokrasi tersebut diawasi oleh badan
khusus, yaitu United States Agency for Global Media (USAGM); ditujukan untuk
memfasilitasi media: internet freedom dan foreign news initiatives, termasuk
Voice of America (VOA) dan Radio Free Asia (RFA). (Time, 2020).

632
EKSISTENSI SISTEM HUKUM LINGKUNGAN HIDUP NASIONAL: AMANAT RAKYAT ATAU
POLITIK GLOBAL?

Hal ini juga mengingatkan kita pada pendapat dari Jeffry


A. Winters (1996) dalam bukunya berjudul “Power in
Motion: Capital Mobility and The Indonesia State”; yang
menyatakan bahwa modal atau capital dari Negara-negara
maju berperan besar dalam perkembangan politik di
Indonesia; bahkan pada rezim Orde Baru telah
menggagalkan konsolidasi demokrasi di Indonesia
(Nainggolan, 2016).

Implementasi

Kekosongan Hukum Internasional terkemuka dalam kasus


Anak Buah Kapal (ABK) Indonesia di Kapal Long Xing 629
berbendera Tiongkok. Peran Hukum Internasional terhenti
saat berhadapan dengan kedaulatan negara di mana
kapal tersebut didaftarkan (sovereignty of the flag state);
Hannah Arendt menyebutnya sebagai: “outside the pale of
international law” (di luar batas hukum internasional)
(Priyono, 2020). Segala kewajiban hukum (duties of the
flag state) sesuai Article 94 UNCLOS telah masuk dalam
domain politik. Pergeseran aspek yuridis menjadi domain
politik tersebut mengandalkan goodwill (niat baik) dari the
flag state untuk melakukan investigasi delik tersebut
berdasarkan fakta-fakta hukum. Artinya dalam kasus ini,
Pemerintah Indonesia hanya dapat mendesak otoritas
Tiongkok untuk melakukan penyelidikan. Dengan
demikian keterbatasan Hukum Internasional dalam hal
ini merupakan kelemahan dari hukum internasional itu

633
EKSISTENSI SISTEM HUKUM LINGKUNGAN HIDUP NASIONAL: AMANAT RAKYAT ATAU
POLITIK GLOBAL?

sendiri dan mengharuskan aspek-aspek legal berubah


menjadi isu politik.

Negara Indonesia selama ini termasuk salah satu negara


yang “tidak terlalu berhitung” sebelum menyepakati dan
meratifikasi suatu perjanjian internasional. Faktanya
hingga saat ini banyak mekanisme dan regulasi yang
harus diperbaiki. Pada Kasus ABK Long Xine 629,
mekanisme rekrutmen menjadi sorotan utama; di mana
pihak Indonesia telah melakukan: (a) ratifikasi ILO
Convention C188, “Work in Fishing” (2008); (b) ratifikasi
Cape Town Agreement on Safety of Fishing Vessels (2012);
(c) Implementasi International Convention on Standards of
Training Certification and Watchkeeping for Seafarers
(1978); (d) take leadership agreement on Port State
Measures (PSMA) (egroseno, 2020). PSMA adalah
perjanjian internasional pertama yang mengikat untuk
secara khusus menargetkan IUU fishing (penangkapan
ikan ilegal (illegal), tidak dilaporkan (unreported) dan tidak
diatur (unreported)). Tujuannya untuk mencegah,
menghalangi dan memberantas penangkapan ikan IUU
dengan mencegah kapal-kapal yang terlibat dalam
penangkapan ikan IUU menggunakan pelabuhan dan
mendaratkan tangkapan mereka (FAO, 2020). Dengan
cara ini, PSMA mengurangi insentif dari kapal-kapal
semacam itu untuk terus beroperasi sementara itu juga
menghalangi produk-produk perikanan yang berasal dari
penangkapan ikan IUU agar tidak menjangkau pasar

634
EKSISTENSI SISTEM HUKUM LINGKUNGAN HIDUP NASIONAL: AMANAT RAKYAT ATAU
POLITIK GLOBAL?

nasional dan internasional. Implementasi PSMA


berkontribusi pada konservasi jangka panjang dan
pemanfaatan berkelanjutan sumber daya hayati laut dan
ekosistem laut. Ketentuan-ketentuan PSMA berlaku
untuk kapal-kapal penangkap ikan yang ingin masuk ke
pelabuhan yang ditunjuk dari suatu Negara yang berbeda
dengan flag state mereka (FAO, 2020).

Pada kasus-kasus lain sebelumnya, Hukum Internasional


juga mempunyai keterbatasan dalam hal akses bagi para
pencari suaka untuk masuk ke dalam wilayah hukum
atau teritorial negara tujuan (Hirsch & Bell, 2017). Juga
pada tahun 1999 saat NATO memutuskan untuk
melakukan aksi militer berskala besar di Kosovo tanpa
terlebih dahulu mendapat otorisasi dari Dewan Keamanan
PBB (UN-Security Council); yang mana hal ini
meningkatkan keraguan mengenai: (i) status hukum yang
mengatur penggunaan kekuatan; dan (ii) supremasi
institusi PBB dalam hal perdamaian dan keamanan
internasional (Wippman, 2001). Kasus-kasus ini
menunjukkan inkonsistensi dari para actors dan
stakeholders; serta ketidakberdayaan organisasi
internasional yang beranggotakan pemerintah negara-
negara merdeka.

Serupa juga dengan kasus Israel - yang merebut Tepi


Barat dari Yordania dalam perang Timur Tengah tahun
1967 – telah membangun puluhan pemukiman yang
ditempati hampir 500.000 warga Yahudi, tetapi karena

635
EKSISTENSI SISTEM HUKUM LINGKUNGAN HIDUP NASIONAL: AMANAT RAKYAT ATAU
POLITIK GLOBAL?

besarnya tekanan nasional, Israel tidak pernah secara


resmi mengklaim sebagai wilayahnya. Berlanjut hingga
sekarang di mana Israel dikecam oleh berbagai pihak
karena rencana aneksasi dengan dalil sepihak yaitu untuk
memperpanjang kedaulatan (sovereignty) Israel
berdasarkan klaim sejarah dan hukum yang sah dalam
hal menghormati batas-batas wilayah. Bila ini terjadi
maka klaim Israel tersebut mengabaikan pandangan
Palestina bahwa Tepi Barat adalah jantung dari masa
depan Palestina sebagai negara merdeka; sekaligus juga
mengabaikan tuduhan pendudukan ilegal menurut
hukum internasional.

Kasus ini menunjukkan bahwa implementasi dari penegakan


hukum nasional merupakan perwujudan dari baik atau
buruknya pengaruh perkembangan pemikiran universal
pada saat menghadapi kasus nyata. Konsep universal-
kontemporer yang bersifat abstrak selama ini cenderung
dipropagandakan secara viral sebagai panasea setiap
peristiwa. Penggunaan media sosial yang sangat cepat dan
masif mampu mengumpulkan dukungan global secara
transfrontier menembus batas-batas tradisional kedaulatan
berbagai negara di dunia.

Dalam perkara pidana biasa, kondisi ini dapat lebih mudah


diyakini oleh sebagian besar orang awam karena pada
umumnya hanya berdasarkan keyakinan dan logika
sederhana. Tujuan hukum untuk menjaga ketertiban
masyarakat bahkan diabaikan. Contoh kasusnya adalah

636
EKSISTENSI SISTEM HUKUM LINGKUNGAN HIDUP NASIONAL: AMANAT RAKYAT ATAU
POLITIK GLOBAL?

kerusuhan dan tindakan anarkis yang terjadi akibat isu


rasisme Black Lives Matter di Amerika Serikat. Oknum polisi
Minnesota yang telah berpengalaman menjalankan tugasnya
sebagai petugas keamanan dan beristrikan seorang
perempuan ras Asia hampir tidak pernah diekspos; tanpa ada
pertimbangan alasan pemaaf dan penghapus pidana bagi
sang polisi sebagai penegak hukum yang sedang
menjalankan tugas kesehariannya menjaga ketertiban
masyarakat. Di sisi lain, rekam jejak George Flyod yang
merupakan residivis delik pidana perampokan di Houston
(baru bebas 2011) dan penyalahgunaan narkoba (2002 dan
2005) serta sebelumnya kasus pencurian (1998) juga
tertutupi oleh isu rasisme yang lebih layak diprogandakan
oleh politik global. Dengan kata lain delik police brutality yang
hanya sebatas yurisdiksi hukum lokal, dialihkan (distracted)
ke isu anti-rasisme – racial profiling dan racial inequality -
berdasarkan univeralitas hukum global. Tanpa disadari oleh
para aktivis HAM yang menyebutnya sebagai kebangkitan
kesadaran hak asasi manusia yang demokratis.

Pada era disruptive ini, penegakan hukum bukan hanya


diabaikan, melainkan juga dijadikan kambing hitam
sekaligus milestone oleh korelasi antara Hukum Internasional
dan kepentingan politik global. Proses hukum yang masih
berlangsung di suatu negara berdaulat telah “divonis”
terlebih dahulu oleh hoax komunitas global. Opini yang
didasarkan pada keyakinan dan kepentingan pribadi atau
golongan dapat mempengaruhi psikologi komunitas maya

637
EKSISTENSI SISTEM HUKUM LINGKUNGAN HIDUP NASIONAL: AMANAT RAKYAT ATAU
POLITIK GLOBAL?

secara eksponensial dan melintasi batas yurisdiksi berbagai


negara. No law supremacy.

Sementara itu, bagi kalangan jurists, apapun vonis majelis


hakim semestinya dihormati sebagai suatu putusan yang
dipertanggungjawabkan oleh hakim secara langsung kepada
Tuhan. Penegakan hukum menjadi elemen penting untuk
mencapai ketertiban masyarakat. Secara material dan
prosedural, substansi hukum pidana di berbagai negara
memberikan fasilitas untuk melakukan upaya hukum bagi
pihak yang tidak puas terhadap vonis hakim. Demikianlah
sebenarnya hukum dipekerjakan secara positif, sesuai waktu
dan tempat keberlakuannya.

Alternatif Pilihan

Perkembangan pemikiran universal kontemporer selama


ini memfasilitasi terbentuknya variasi pilihan terkait
dengan sistem hukum nasional. Negara yang menganut
sistem monism berbeda dengan yang menganut sistem
dualism dalam menghadapi Hukum Internasional. Pilihan
lain yang terbentuk dalam hal ini adalah sistem
campuran: monism – dualism, di mana Indonesia sebagai
salah satu penganutnya.

Bila saat ini kita asumsikan telah terbentuk mekanisme


sub-ordinasi antara kelompok negara maju (Annex I) yang
superior terhadap kelompok negara berkembang (Annex
II), maka alternatif pilihan harus berdasarkan pada
beberapa aspek yang terkait kepentingan. Aspek fairness

638
EKSISTENSI SISTEM HUKUM LINGKUNGAN HIDUP NASIONAL: AMANAT RAKYAT ATAU
POLITIK GLOBAL?

relevan dengan rechtsidee keadilan (justice) yang selama


ini difokuskan (hanya) pada keadilan inter-generasi dan
keadilan antar-generasi (Louka, 2006); agar mencakup
juga keadilan antara negara-negara Annex I dan Annex II.
Juga aspek effectiveness yang dikaitkan dengan
pertumbuhan ekonomi global melalui pemanfaatan
sumber daya alam secara efektif (Louka, 2006); agar
memperhatikan juga pertumbuhan ekonomi nasional dan
kemandirian pengelolaan sumber daya alam bagi negara
host. Harapannya adalah penegakan hukum yang
berdasarkan paksaan dan ancaman (coercive) sebagai
perwujudan dari geopolitical tension dapat disubstitusi
dengan penegakan hukum sistemik berdasarkan
semangat kerjasama (cooperation) dan ajakan yang santun
(persuasion).

Hal penting terkait alternatif pilihan di atas adalah


pemberdayaan actors dan shareholders. Seperti telah
diuraikan pada pembahasan mengenai lintas sejarah,
hoax-annex, dan implementasi kasus, tampak bahwa
berbagai pihak terlibat di dalamnya. Actors dan
shareholders dimaksud juga berkarakter lintas negara.
Sifat transfrontier mereka pun difasilitasi oleh sistem
Hukum Internasional yang menjadikan para actors dan
shareholders sebagai subjek hukum internasional.
Enforcement Hukum Internasional memerlukan
perpanjangan tangan guna menembus yurisdiksi nasional
suatu negara. Jadi mereka tidak hanya dapat berperan

639
EKSISTENSI SISTEM HUKUM LINGKUNGAN HIDUP NASIONAL: AMANAT RAKYAT ATAU
POLITIK GLOBAL?

dalam pembuatan teks hukum internasional, tetapi juga


dalam proses legislasi substansi hukum nasional yang
relevan berdasarkan konsep-konsep universal. Hasil-hasil
penelitian kontemporer mengenai perkembangan politik
dan kekuasaan di Indonesia menunjukkan bahwa “…
bahan-bahan referensi dari para Indonesianist Barat
belum tentu akurat untuk bisa diandalkan dalam
memahami masalah serta mencari dan menawarkan
solusi atas permasalahan (perwakilan) politik di
Indonesia”.

Proyeksi berbagai konsep universal mungkin tidak nyata


menciptakan hubungan bersifat sub-ordinasi, di mana
ada pihak yang berposisi lebih superior dari pihak yang
lain. Kecenderungannya akan lebih halus, di mana tetap
ada pihak yang lebih layak mendapatkan yang
dibutuhkan dan/atau diinginkan. Seperti halnya
algoritma Google yang mengalihkan distract) agar kita
hanya mengetahui apa yang ingin kita ketahui saja,
bukan mengetahui seluruh fakta yang sebenarnya harus
kita ketahui. Memang sulit untuk menghadang
universalitas globalisasi yang menyebabkan erosi batas-
batas negara. Batas-batas negara dalam hal ini dapat
diartikan sebagai batas fisik, baik yurisdiksi batas di
darat, laut, dan udara. Universalitas terkait HAM
umumnya diuraikan dalam berbagai literatur mengenai
rasisme (rasism), perbudakan (slavery), serta perang dan
konflik bersenjata (war and arm conflict).

640
EKSISTENSI SISTEM HUKUM LINGKUNGAN HIDUP NASIONAL: AMANAT RAKYAT ATAU
POLITIK GLOBAL?

Selain itu, erosi batas-batas negara juga dapat disebabkan


oleh peran para actors dan stakeholders hukum
lingkungan hidup internasional. Walaupun no body of law
dan no international super legislator namun penegakan
hukum internasional telah menemukan mekanisme yang
efektif dan memaksakan otoritasnya. Seakan-akan ada
hukum maya dengan yurisdiksi global yang harus
ditegakan. Misalnya setiap negara harus bertanggung
jawab – sesuai state responsibility principle - kepada
otoritas maya yang lebih tinggi dan disorot oleh banyak
actors atau stakeholders global menggunakan media
kontrol tertentu.

Secara positif, viralnya suatu berita penyidikan mengenai


police brutality, sangat efektif dalam proses hukum.
Penyidikan sebagai bagian dari tahapan penegakan
hukum menjadi lebih cepat. Perhatian media massa dan
media sosial saat ini melewati batas ruang dan waktu.
Dukungan dan/atau cercaan meluas dalam hitungan
detik. Secara berseloroh dikatakan bahwa normalnya tim
penyidik harus membuat sebuah diagram lengkap terlebih
dahulu untuk menyediakan semangkuk spageti di atas
meja. Dalihnya adalah pengalaman mereka menangani
berbagai kasus di peradilan yang umumnya menghadapi
kesulitan untuk menjelaskan kembali kejadian
sesungguhnya, mengingat waktunya yang sudah lampau.
Selain itu, tempat kejadian pun sedikit banyak telah
berubah dan/atau sengaja diubah untuk “kepentingan

641
EKSISTENSI SISTEM HUKUM LINGKUNGAN HIDUP NASIONAL: AMANAT RAKYAT ATAU
POLITIK GLOBAL?

yang berkepentingan”. Artinya locus dan tempus menjadi


masalah di setiap proses hukum mencari keadilan.

Namun sebelum kita mengambil titik simpul dari kondisi


ini. Ada beberapa pertanyaan yang harus tetap
dipertanyakan sehubungan dengan fenomena global ini.
Apakah kita tidak merasakan adanya gangguan
keamanan nasional akibat isu anti rasisme yang universal
ternyata memunculkan kerusuhan dan penjarahan? 26
Apakah kita tidak mengetahui apa yang dibutuhkan dan
sekaligus diinginkan oleh para actors dan stakeholders
Hukum Internasional? Apakah kita tidak mampu
memahami kemungkinan-kemungkinan dan
keterbatasan peranan Hukum Internasional yang
dimanfaatkan oleh kepentingan politik melalui global
governance system? 27 Apakah tidak sebaiknya kita
kompromi dengan mengalihkan pandangan ke arah
persoalan dalam yurisdiksi nasional yang lebih kecil
sebagai bagian puzzle untuk kemudian mendapatkan
gambaran global yang demikian luas?

26 Hasil-hasil penelitian kontemporer mengenai perkembangan politik dan


kekuasaan di Indonesia menunjukkan bahwa “ … bahan-bahan referensi dari
para Indonesianist Barat belum tentu akurat untuk bisa diandalkan dalam
memahami masalah serta mencari dan menawarkan solusi atas permasalahan
(perwakilan) politik di Indonesia”. Lihat: Poltak Partogi Nainggolan, loc. cit.
27 “ … the current corpus of International Environmental Law (IEL) as inadequate to
effectively and in a timely mannaer protect our global environment.” Lihat:
Dionysia-Theodora Avgerinopulou. Science-Based Lawmaking: How to
Effectively Integrate Science in International Environmental Law. (Publisher:
Springer (eBook), 2019).

642
EKSISTENSI SISTEM HUKUM LINGKUNGAN HIDUP NASIONAL: AMANAT RAKYAT ATAU
POLITIK GLOBAL?

PENUTUP

Kesimpulan

Hukum Internasional adalah satu disiplin yang


memfasilitasi perbedaan kepentingan antara berbagai
kelompok negara di dunia. Mungkin selama ini Hukum
Internasional tidak lagi dianggap sebagai hukum yang
berkembang secara politis karena di arena internasional
tidak lagi terkait dengan perjanjian-perjanjian antara
Perang Dunia I dan Perang Dunia II. Literatur-literatur
Hukum Internasional menggambarkan perkembangannya
mulai dari era Hukum Internasional Tradisional, Pasca
Perang Dunia, era PBB, era Perang Dingin, dan Pasca
Perang Dingin. Tujuan idealnya adalah membantu
pencapaian stabilitas internasional yang sejalan dengan
rasa keadilan, dalam rangka mewujudkan nilai-nilai
berdasarkan universalitas. Namun universalitas yang
berkembang dengan segala manifestasinya berpotensi
memanfaatkan berbagai instrumen hukum lingkungan
hidup untuk mengkondisikan enforcement hukum
internasional yang sinergis dengan politik global. Proteksi
diplomatik dan intervensi hukum disinyalir masih ada.
Secara teori, hukum itu pertama-tama dan terutama
melayani kepentingan pihak yang berkuasa.

Saran

Unsur-unsur sistem politik nasional seyogyanya dapat


tetap menjalankan berbagai upaya yang membawa

643
EKSISTENSI SISTEM HUKUM LINGKUNGAN HIDUP NASIONAL: AMANAT RAKYAT ATAU
POLITIK GLOBAL?

amanat rakyat. Hal ini masih dimungkinkan karena


bagaimanapun ada hak dan kewajiban sebagai warga
negara yang berdaulat dalam menentukan pilihan yang
menyikapi sistem politik global. Pada era globalisasi yang
didukung oleh sifat viral dari informasi, maka perlu
menyadari akan adanya hoax yang bukan hanya diartikan
sebagai berita bohong dengan tendensi politik tertentu,
tetapi juga sebagai keyakinan yang keliru tanpa tendensi
kepentingan politik apa pun. Dengan demikian, hukum
yang menjadi amanat rakyat seyogyanya dapat dipahami
dan dipatuhi oleh para stakeholder hukum lingkungan
hidup yang mandiri di bawah payung NKRI, bukan
berdasarkan tekanan sub-ordinasi dari pihak luar.
Ketertiban masyarakat merupakan hal yang sangat layak
dikedepankan sebagai tujuan hukum di setiap negara
beradab di tengah fenomena global ini.

UCAPAN TERIMA KASIH

Terimakasih kepada Asosisasi Filsafat Hukum Indonesia


(AFHI), Universitas Pancasila dan Pusat Studi Pancasila,
APHA, Epistema Institute, HUMA, KIKA, dan berbagai
institusi lainnya yang secara rutin memfasilitas diskusi
dengan topik-topik hukum yang relevan. Kesempatan
mendalami berbagai konsep hukum dalam suatu
Konferensi dan/atau Seminar Nasional memberikan
kontribusi penting dalam pengembangan keilmuan
hukum yang berkemajuan.

644
EKSISTENSI SISTEM HUKUM LINGKUNGAN HIDUP NASIONAL: AMANAT RAKYAT ATAU
POLITIK GLOBAL?

DAFTAR PUSTAKA

------. “Norway will pay 530 million NOK for reduced


deforestation in Indonesia”; (Government.no);
https://www.regjeringen.no/en/aktuelt/noreg-
betaler-530-millionar-for-redusert-avskoging-i-
indonesia/id2722135/> (03-07-2020).
-----, David M. Ong, Panos Merkouris. Research Handbook
on International Environmental Law. (Publisher:
Edward Elgar Pub (eBook), 2010)
-----. “Kerja Sama Iklim Indonesia Norwegia Akan
Diperpanjang”, Media Indonesia (Dhika Kusuma
Winata), lihat:
https://mediaindonesia.com/read/detail/244556-
kerja-sama-iklim-indonesia-norwegia-akan-
diperpanjang> 2-7-2019).
-----. “Sawit RI Diboikot Eropa, Proyek Kilang
PERTAMINA-ENI Batal”, 29 Januari 2020, CNBC
Indonesia (Anisatul Umah), (lihat:
www.cnbcindonesia.com/news/20200129162115-4-
133724/sawit-ri-diboikot-eropa-proyek-kilang-
pertamina-eni-batal> 29-01-2020).
-----. “Trump Adminitration Freezes Funding Intended to
Benefit Hong Kong Protesters”, TIME, (Billy Perrigo), 26
June 2020; https://time.com/5860163/trump-hong-
kong-funding-freeze/>.
-----. Undang-Undang tentang Ketentuan-Ketentuan
Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup, UU No. 4, LN
Nomor 12, Tahun 1982.
-----. Undang-Undang tentang Pengelolaan Lingkungan
Hidup, UU No. 23, LN Nomor 68, Tahun 1997.
-----. Undang-Undang tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup, UU No. 32, LN Nomor
140, Tahun 2009.
Adger, W. N., Benjaminsen, T. A., Brown, K., & Svarstad,
H. (2000), “Advancing a Political Ecology of Global
Environmental Discourses”, CSERGE Working Paper

645
EKSISTENSI SISTEM HUKUM LINGKUNGAN HIDUP NASIONAL: AMANAT RAKYAT ATAU
POLITIK GLOBAL?

GEC 2000-10, ISSN 0967-8875,


http://citeseerx.ist.psu.edu/viewdoc/download?doi=
10.1.1.662.5399&rep=rep1&type=pdf>.
Alam, S., Atapattu, S., Gonzalez, C. G., Razzaque, J. (eds.)
(2015). International Environmental Law and the Global
South. (Cambridge University Press) (eBook).
Alam, S., Bhuiyan, J. H., Chowdhury, T. M. R., Techera,
E. J. (2012), Routledge Handbook of International
Environmental Law. (Routledge) (eBook).
Anonymous. “Prosiding Seminar Nasional Asosiasi Filsafat
Hukum Indonesia (AFHI): Pengembangan Epistemologi
Ilmu Hukum”. ISBN 978-602-72446-0-3. (Surakarta:
SPs UMS dan AFHI, 2015).
Arnscheidt, J. (2009), ‘Debating’ Nature Conservation:
Policy, Law and Practice in Indonesia: A Discourse
Analysis of History and Present. Leiden: Leiden
University Press.
Attard, D. J., dkk. (eds.), (2016), The IMLI Manual on
International Maritime Law Volume III: Marine
Environmental Law and Maritime Security Law. Vol.:
III, (Publisher: Oxford University Press (eBook).
Avgerinopoulou, D. (2019), Science-Based Lawmaking:
How to Effectively Integrate Science in International
Environmental Law. (Springer) (eBook).
Bedjoui, M. (1989), Towards A New International Economic
Order. (New York: Holmes and Meier Publishers Inc.
(eBook).
Bradbrook, A. J., Lyster, R., Ottinger, R. L., & Xi, W. (Eds.).
(2005), The Law of Energy for Sustainable
Development. IUCN Academy of Environmental Law
Research Studies (v. 1). (Cambridge: Cambridge
University Press (eBook).
www.cambridge.org/9780521845250.
Chatterjee, D. K. (2011), International Environmental
Standards. In: Chatterjee D.K. (eds) Encyclopedia of
Global Justice. Deen K. Chatterjee.
DOI: https://doi.org/10.1007/978-1-4020-9160-
646
EKSISTENSI SISTEM HUKUM LINGKUNGAN HIDUP NASIONAL: AMANAT RAKYAT ATAU
POLITIK GLOBAL?

5_1047https://link.springer.com/
referenceworkentry/10.1007/978-1-4020-9160-
5_1047> (Dordrecth: Springer) (e-Book).
Chaytor, Beatrice and Kevin R. Gray (2003). International
Environmental Law and Policy in Africa. (Springer
Netherlands (eBook).
Craik, N. (2008), The International Law of Environmental
Impact Assessment: Process, Substance and
Integration. (Cambridge University Press) (eBook).
Ellis, J. (2012), “Perspectives on discourse in international
environmental law: expert knowledge and challenges to
deliberative democracy” in Brad Jessup and Kim
Rubenstein (Eds.). Environmental Discourses in Public
and International Law. (Cambridge: Cambridge
University Press), hlm. 123-142.
FAO http://www.fao.org/port-state-measures/en/>
diakses 25-5-2020.
Fitzmaurice, M. (2009), Contemporary Issues in
International Environmental Law. (eBook).
Friedrich, J. F. (2013), Publishing International
Environmental “soft law”: The Functions and Limits of
Nonbinding Instruments in International Environmental
Governance and Law. (Springer-Verlag Berlin
Heidelberg (eBook).
Gillespie, A. (2007). Protected Areas and International
Environmental Law. (BRILL) (eBook).
Hall, M. (2013), Victims of Environmental Harm: Rights,
Recognition and Redress Under National and
International Law. (Routledge) (eBook).
Hata (2015), Hukum Internasional: Sejarah dan
Perkembangan Hingga Pasca Pasca Perang Dingin.
(Malang: Setara Press).
Higgins, R. (1999), “International Law in A Changing
System,” Cambridge Law Journal, 58 (1): 78-79.
Juwana, H. (2001), “Hukum Internasional Dalam Konflik
Kepentingan Ekonomi Negara Berkembang dan

647
EKSISTENSI SISTEM HUKUM LINGKUNGAN HIDUP NASIONAL: AMANAT RAKYAT ATAU
POLITIK GLOBAL?

Negara Maju”, pidato upacara pengukuhan sebagai


Guru Besar Tetap dalam Ilmu Hukum Internasional
pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Depok.
Kiss, A. & Shelton D. (2007), Guide to International
Environmental Law. (BRILL) (eBook).
Koivurora, T. (2014), Introduction to International
Environmental Law. (Publisher: Routledge (eBook).
Kubasek, N. K. & Silverman, G. S. (2013). Environmental
Law. 8th Ed. (Publisher: Pearson Education, Prentice
H. (eBook).
Louka, E. (2006), International Environmental Law -
Fairness, Effectiveness, and World Order. (Publisher:
Cambridge University Press (eBook).
Mathis, K. & Huber, B. R. (eds.). (2017), Environmental
Law and Economics. (Publisher: Springer International
(eBook).
Nainggolan, P. P. (2016) “Peran Kapital dan Gagalnya
Konsolidasi Demokratis Indonesia: Pendekatan
Ekonomi-Politik.” (Jurnal DPR RI, penulis adalah
Peneliti Bidang Masalah Hubungan Internasional
pada Pusat Penelitian Badan Keahlian DPR RI);
https://jurnal.dpr.go.id/index.php/politica/article/d
ownload/1115/607> (19 Mei 2016).
Oegroseno, A. H. (2020), “Lacuna Hukum Internasional
dalam Kasus ABK WNI di Kapal Ikan Berbendera
Asing.” Webinar Universitas Diponegoro, Semarang,
15 Juni.
Priyono, F.X. Joko (2020), “Lacuna of International Law in
the Case of the Indonesian Crew Slavery on the Chinese
Vessel.” Webinar Universitas Diponegoro, Semarang,
15 Juni.
Rangkuti, S. S. (1996), Hukum Lingkungan dan
Kebijaksanaan Lingkungan Nasional (Surabaya:
Airlangga University Press) (eBook).
Sands, P. (2003), Principles of International Environmental
Law. (Publisher: Cambridge University Press (eBook).

648
EKSISTENSI SISTEM HUKUM LINGKUNGAN HIDUP NASIONAL: AMANAT RAKYAT ATAU
POLITIK GLOBAL?

Silalahi, M. D. & Kristianto P.H. (2015), Hukum


Lingkungan dalam Perkembangannya di Indonesia.
(Jakarta: CV Keni Media)
Teske, S. (Ed.). (2019), Achieving the Paris Climate
Agreement Goals: Global and Regional 100%
Renewable Energy Scenarios with Non-energy GHG
Pathways for +1.5o and +2oC. (Springer Open (eBook),
http://extras.springer.com.
Thomsen, C. (2013), Sustainability (World Commission on
Environment and Development Definition). In: Idowu
S.O., Capaldi N., Zu L., Gupta A.D. (eds)
Encyclopedia of Corporate Social Responsibility.
(Berlin, Hiedelberg: Springer (e-Book).
Wilkinson, D. (2002), Environmental Law. (London:
Routledge, Taylor & Francis Group).
Williams, P. R. (2000), International Law and the
Resolution of Central and East European
Transboundary Environmental Disputes. (New York: St.
Martin’s Press, LLC (eBook).
Winters, J. A. (1996), Power in Motion: Capital Mobility and
The Indonesia State. (New York: Cornell University
Press).

649

Anda mungkin juga menyukai