Anda di halaman 1dari 26

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Makalah Bhinneka Tunggal Ika - Bangsa Indonesia terbentuk melalui suatu proses
sejarah yang cukup panjang sejak dulu, mulai zaman kerajaan Kutai, Sriwijaya, Majapahit,
sampai datangnya bangsa-bangsa lain untuk menguasai bangsa Indonesia. Beratus-ratus tahun
Indonesia berjuang untuk mencari jati dirinya sebagai suatu bangsa yang merdeka dan
mandiri.

Setelah melalui proses yang sangat panjang untuk mencari jati dirinya, bangsa
Indonesia yang didalamnya tersimpul ciri khas, sifat, dan karakter bangsa, yang berbeda
dengan bangsa lain, yang oleh para pendiri bangsanya merumuskan dalam suatu rumusan
yang sederhana namun mendalam, yang meliputi lima prinsip (lima sila) yang kemudian
disepakati bersama diberi nama Pancasila.

Dalam hidup berbangsa dan bernegara dewasa ini terutama dalam masa reformasi,
bangsa Indonesia sebagai bangsa harus memiliki visi serta pandangan hidup yang kuat agar
tidak terombang-ambing di tengah masyarakat Internasional. Dengan kata lain, bangsa
Indonesia harus memilki rasa nasionalisme kebangsaan yang kokoh, demi tercapainya
ketahanan negara dari pihak luar. Selain hal tersebut, bangsa Indonesia harus tetap
mewaspadai ketahanan negeranya dari pihak dalam, agar tidak terpecah-belah dalam menjaga
jati dirinya sebagai suatu bangsa yang memiliki aset berharga dalam keberagaman budaya,
dalam kata lain harus menciptakan dan memperkuat rasa persatuan dan kesatuan.

B. RUMUSAN MASALAH

1. Sejarah terbentuknya semboyan Bhinneka Tunggal Ika?

2. Pengertian Bhinneka Tunggal Ika?

3. Fungsi Bhinneka Tunggal Ika?

4. Prinsip-prinsip yang terkandung dalam Bhinneka Tunggal Ika?

5. Implementasi Bhinneka Tunggal Ika?

1
C. TUJUAN

Dengan membaca makalah ini, penulis dan pembaca pada khususnya dapat
memahami, mengkhayati, dan mengamalkan makna-makna, kedudukan dan fungsi dari
Semboyan Bhinneka Tunggal Ika dalam perilaku kehidupan sehari-hari. Saling hormat-
menghormati warga Indonesia tanpa membeda-bedakan agama, suku, dan budaya agar
tercipta persatuan bangsa Indonesia. Perilaku kita pun akan terarah sesuai norma-norma dan
tertib hukum yang terkandung pada nilai-nilai Pancasila.

BAB II
2
KAJIAN PUSTAKA

A. SEJARAH TERBENTUKNYA SEMBOYAN BHINNEKA TUNGGAL IKA

Makalah Bhinneka Tunggal Ika - Mpu Tantular yang hidup pada abad ke-14 di
Majapahit adalah seorang pujangga ternama Sastra Jawa. Ia hidup pada pemerintahan raja
Râjasanagara. Ia masih saudara sang raja yaitu keponakannya (bhrâtrâtmaja dalam bahasa
Kawi atau bahasa Sansekerta) dan menantu adik wanita sang raja.

Nama “Tantular” terdiri dari dua kata : tan (“tidak”) dan tular (“tular” atau
“terpengaruhi”). Artinya ia orangnya ialah “teguh”. Sedangkan kata mpu merupakan gelar
dan artinya adalah seorang pandai atau tukang.

Tantular adalah seorang penganut agama Buddha, namun ia orangnya terbuka


terhadap agama lainnya, terutama agama Hindu-Siwa. Hal ini bisa terlihat pada dua kakawin
atau syairnya yang ternama yaitu kakawin Arjunawijaya dan terutama kakawin Sutasoma.
Bahkan salah satu bait dari kakawin Sutasoma ini diambil menjadi motto atau semboyan
Republik Indonesia: “Bhinneka Tunggal Ika” atau berbeda-beda namun satu jua.

Kutipan ini berasal dari pupuh 139, bait 5. Bait ini secara lengkap seperti di bawah ini
:

1. Rwāneka dhātu winuwus Buddha Wiswa,

2. Bhinnêki rakwa ring apan kena parwanosen,

3. Mangka ng Jinatwa kalawan Śiwatatwa tunggal,

4. Bhinnêka tunggal ika tan hana dharma mangrwa.

Terjemahan:

1. Konon Buddha dan Siwa merupakan dua zat yang berbeda.

2. Mereka memang berbeda, tetapi bagaimanakah bisa dikenali?

3. Sebab kebenaran Jina (Buddha) dan Siwa adalah tunggal,

4. Terpecah belahlah itu, tetapi satu jugalah itu. Tidak ada kerancuan dalam kebenaran.

3
Bhineka Tunggal Ika dilontarkan secara lebih nyata masa Majapahit sebenarnya telah
dimulai sejak masa Wisnuwarddhana, ketika aliran Tantrayana mencapai puncak tertinggi
perkembangannya, karenanya Nararyya Wisnuwarddhana didharmmakan pada dua loka di
Waleri bersifat Siwa dan di Jajaghu (Candi Jago) bersifat Buddha. Juga putra mahkota
Kertanagara (Nararyya Murddhaja) ditahbiskan sebagai JINA = Jnyanabajreswara atau
Jnyaneswarabajra.

Inilah fakta bahwa Singhasari merupakan embrio yang menjiwai keberadaan dan
keberlangsungan kerajaan Majhapahit. Narayya Wijaya sebagai pendiri kerajaan (the
founder) tiada lain kerabat sekaligus menantu Sang Nararyya Murddhaja (Sri Krtanagara =
raja Singhasari terakhir).

Perumusan Bhinneka Tunggal Ika Tan Hana Dharmma Mangrwa oleh Mpu Tantular
pada dasarnya pernyataan daya kreatif dalam upaya mengatasi keanekaragaman kepercayaan
dan keagamaan, sehubungan dengan usaha bina negara kerajaan Majapahit kala itu. Telah
memberikan nilai-nilai inspiratif terhadap sistem pemerintahan pada masa kemerdekaan,
telah sepenuhnya menyadari bahwa menumbuhkan rasa dan semangat persatuan itulah
Bhinneka Tunggal Ika - Kakawin Sutasoma (Purudasanta) diangkat menjadi semboyan yang
diabadikan lambang NKRI Garuda Pancasila.

Dalam Kakawin Sutasoma (Purudasanta), pengertian Bhinneka Tunggal Ika lebih


ditekankan pada perbedaan bidang kepercayaan juga anekaragam agama dan kepercayaan di
kalangan masyarakat Majhapahit.

Dalam lambang NKRI, Garuda Pancasila, pengertiannya diperluas, menjadi tidak


terbatas dan diterapkan tidak hanya pada perbedaan kepercayaan dan keagamaan, melainkan
juga terhadap perbedaan suku, bahasa, adat istiadat (budaya) dan beda kepulauan (antara
nusa) dalam kesatuan nusaantara raya.

Sesuai makna semboyan Bhinneka Tunggal Ika yang dapat diuraikan bhinna-ika-
tunggal - ika berarti berbeda-beda tetapi pada hakekatnya satu. Sebab meskipun secara
keseluruhannya memiliki perbedaan tetapi pada hakekatnya SATU, satu bangsa dan negara
Republik Indonesia.Frase Bhinneka Tunggal Ika telah sama-sama diakui dan dirasakan
mempunyai "kekuatan" untuk menyatukan, mengutuhkan dan meneguhkan bangsa Indonesia
yang majemuk atau disebut sebagai salah satu sarana pengintegrasi bangsa Indonesia atau
sebagai jatidiri bangsa Indonesia.
4
Berhasilnya pemimpin bangsa kita untuk menggali dan menetapkan sebagai
semboyan di dalam bagian lambang negara adalah karya besar yang tak ternilai, tetapi ada
pertanyaan yang perlu diajukan, siapakah yang menempatkan semboyan tersebut pada bagian
lambang negara dan apa latar belakang pemikirannya?

Merujuk kepada keterangan Mohammad Hatta dalam bukunya Bung Hatta Menjawab,
1979, disebutkan bahwa semboyan "Bhinneka Tunggal Ika adalah ciptaan Bung Karno,
setelah merdeka semboyan itu diperkuat dengan lambang yang dibuat Sultan Abdul Hamid
Pontianak dan diresmikan pemakaiannya oleh Kabinet RIS tanggal 11 Februari 1950. Istilah
"ciptaan Bung Karno" dalam pernyataan Mohammad Hatta di atas menurut hemat penulis
kurang tepat, karena dengan pernyataan itu memberikan pengertian, bahwa semboyan
Bhinneka Tunggal Ika adalah ciptaan Bung Karno. Pernyataan ini juga akan bertentangan
dengan pidato Presiden Soekarno sendiri pada tanggal 22 Juli 1958 di Istana Negara yang
menyatakan bahwa "di bawahnya tertulis seloka buatan Empu Tantular "Bhinneka Tunggal
Ika, Bhina ika tunggal ika – berjenis-jenis tetapi tunggal".

Berdasarkan isi pidato Presiden Soekarno di atas, semboyan itu adalah buatan Empu
Tantular. Pernyataan ini sejalan dengan hasil penyelidikan Mohammad Yamin, seperti yang
dikemukakan dalam buku 6000 Tahun Sang Merah Putih, 1954 yang menyatakan, bahwa
semboyan itu dinamai seloka Tantular karena kalimat yang tertulis dengan huruf yang jumlah
aksaranya 17 itu berasal dari pujangga Tantular yang mengarang kitab Sutasoma pada masa
Madjapahit pada abad XIV. Adapun arti seloka Jawa lama itu adalah walaupun berbeda-beda
ataupun berlainan agama, keyakinan dan tinjauan tetapi tinggal bersatu atau dalam, bahasa
latin: e pluribus unum.

B. PENGERTIAN BHINNEKA TUNGGAL IKA

Bhinneka Tunggal Ika adalah moto atau semboyan bangasa Indonesia. Frasa ini
berasal dari bahasa Jawa Kuno dan seringkali diterjemahkan dengan kalimat “Berbeda-beda
tetapi tetap satu”. Diterjemahkan per patah kata, kata bhinneka berarti "beraneka ragam" atau
berbeda-beda. Kata “nek”a dalam bahasa Sanskerta berarti "macam" dan menjadi pembentuk
kata "aneka" dalam Bahasa Indonesia. Kata tunggal berarti "satu". Kata ika berarti "itu".

Secara harfiah Bhinneka Tunggal Ika diterjemahkan "Beraneka Satu Itu", yang
bermakna meskipun berbeda-beda tetapi pada hakikatnya bangsa Indonesia tetap adalah satu
kesatuan. Semboyan ini digunakan untuk menggambarkan persatuan dan kesatuan Bangsa
5
dan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang terdiri atas beraneka ragam budaya, bahasa
daerah, ras, suku bangsa, agama dan kepercayaan

C. FUNGSI BHINNEKA TUNGGAL IKA

Semboyan Bhinneka tunggal ika mempunyai fungsi yang sangat penting bagi bangsa
Indonesia, fungsi-fungsinya yaitu :

1) Mempersatukan bangsa Indonesia yang terdiri dari bermacam-macam suku,


ras dan agama. Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia dengan
penduduk terbanyak keempat saat ini. Dengan wilayah yang sangat luas dan
penduduk yang banyak, keberagaman penduduk sudah dapat dipastikan ada
sejak sebelum masa kolonial hingga sekarang. Lebih dari 13 000 pulau yang
dimiliki Indonesia, dan semua pulau tersebut mempunyai keberagaman dan
ciri khas masing-masing yang membuat Indonesia sangat kaya dengan
keanekaragaman budaya dari Sabang sampai Merauke. Masyarakat Indonesia
yang bersifat plural, tak hanya dari segi budaya, tetapi Indonesia juga
memiliki berbagai variasi ras, suku, bahasa, dan agama yang tersebar di
seluruh pelosok Bumi Pertiwi. Dari keberagaman hal yang dimilki Indonesia,
diperlukan suatu fungsi yang sangat penting dari semboyan Bhinneka
Tunggal Ika yang mempersatukan bangsa indonesia yang terdiri atas beragam
suku, ras, dan agama.

2) Menghambat semua konflik yang didasari atas kepentingan pribadi atau


kelompok. Konflik dilatar belakangi oleh perbedaan ciri-ciri yang dibawa
individu atau kelompok dalam suatu interaksi.perbedaan-perbedaan tersebut
diantaranya adalah menyangkut ciri fisik, kepandaian, pengetahuan, adat
istiadat, keyakinan, dan lain sebagainya. Dengan dibawasertanya ciri-ciri
individual dalam interaksi sosial, konflik merupakan situasi yang wajar dalam
setiap masyarakat dan tidak satu masyarakat pun yang tidak pernah
mengalami konflik antar anggotanya atau dengan kelompok masyarakat
lainnya, konflik hanya akan hilang bersamaan dengan hilangnya masyarakat
itu sendiri. Bangsa indonesia merupakan suatu bangsa yang besar, yang di
dalamnya terdiri atas kelompok atau golongan, kelompok-kelompok ini

6
mempunyai kepentingan dan tujuan yang berbeda-beda. Kadang kala dalam
suatu perbedaan antar kelompok dapat menimbulkan konflik. Konflik inilah
yang akan menyebabkan terpecahnya kesatuan dari bangsa Indonesia,
sehingga apabila hal ini terjadi, diperlukan peran yang sangat penting dari
pancasila sebagai alat pemersatu bangsa, apabila terjadi suatu perbedaan
pendapat yang dapat menimbulkan terpecahnya konflik antar golongan.

3) Mempertahankan kesatuan bangsa Indonesia . Di masa sekarang yaitu masa


reformasi, banyak tekanan dan pengaruh dari pihak luar maupun dalam yang
dapat mengganggu kesatuan bangsa Indonesia. Agar kesatuannya tidak dapat
terganggu, bangsa Indonesia harus meningkatkan peran dan fungsi dari
pancasila sebagai alat pemersatu bangsa agar tidak terjadi suatu perpecahan
dalam bangsanya.

4) Membantu mewujudkan cita-cita luhur bangsa Indonesia . Dalam pembukaan


UUD 1945, disebutkan dengan gamblang tentang cita-cita luhur dibentuknya
negara Republik Indonesia yang berdaulat. Cita-cita luhur yang diamanatkan
oleh UUD 1945 ada empat poin, di antaranya, melindungi segenap bangsa
Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan
umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban
dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.
Pembukaan Undang-undang Dasar 1945 merupakan penuangan jiwa
proklamasi yaitu jiwa Pancasila, sehingga Pancasila merupakan cita-cita dan
tujuan bangsa indonesia. Cita-cita luhur inilah yang akan disapai oleh Bangsa
Indonesia.

5) Mewujudkan Masyarakat madani . Bhinneka Tunggal Ika membantu


mewujudkan bangsa Indonesia menuju terciptanya masyarakat madani.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, masyarakat madani adalah
masyarakat yang menjunjung tinggi norma, nilai-nilai, dan hukum yang
ditopang oleh penguasaan teknologi yang beradab, iman dan ilmu.

6) Mewujudkan Perdamaian Indonesia . Bhinneka tunggal ika mempunyai


fungsi sebagai frasa pemersatu bangsa Indonesia yang terdiri dari
keberagaman penduduk, sehingga apabila peran itu berfunsi secara baik,

7
maka akan tercipta suatu kedamaian hidup berbangsa dan bernegara oleh
penduduk Indonesia.

D. PRINSIP-PRINSIP YANG TERKANDUNG DALAM BHINNEKA TUNGGAL


IKA

Untuk dapat mengimplementasikan Bhinneka Tunggal Ika dalam kehidupan


berbangsa dan bernegara dipandang perlu untuk memahami secara mendalam prinsip-prinsip
yang terkandung dalam Bhinneka Tunggal Ika. Prinsip-prinsip tersebut adalah sebagai
berikut :

Dalam rangka membentuk kesatuan dari keaneka ragaman tidak terjadi pembentukan
konsep baru dari keanekaragaman konsep-konsep yang terdapat pada unsur-unsur atau
komponen bangsa. Suatu contoh di negara tercinta ini terdapat begitu aneka ragam agama dan
kepercayaan. Dengan ke-tunggalan Bhinneka Tunggal Ika tidak dimaksudkan untuk
membentuk agama baru. Setiap agama diakui seperti apa adanya, namun dalam kehidupan
beragama di Indonesia dicari common denominator, yakni prinsip-prinsip yang ditemui dari
setiap agama yag memiliki kesamaan, dan common denominator ini yang kita pegang sebagai
ke-tunggalan, untuk kemudian dipergunakan sebagai acuan dalam hidup berbangsa dan
bernegara. Demikian pula halnya dengan adat budaya daerah, tetap diakui eksistensinya
dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berwawasan kebangsaan. Faham Bhinneka
Tunggal Ika, yang oleh Ir Sujamto disebut sebagai faham Tantularisme, bukan faham
sinkretisme, yang mencoba untuk mengembangkan konsep baru dari unsur asli dengan unsur
yang datang dari luar.

Bhinneka Tunggal Ika tidak bersifat sektarian dan eksklusif, hal ini bermakna bahwa
dalam kehidupan berbangsa dan bernegara tidak dibenarkan merasa dirinya yang paling
benar, paling hebat, dan tidak mengakui harkat dan martabat pihak lain. Pandangan sektarian
dan eksklusif ini akan memicu terbentuknya keakuan yang berlebihan dengan tidak atau
kurang memperhitungkan pihak lain, memupuk kecurigaan, kecemburuan, dan persaingan
yang tidak sehat. Bhinneka Tunggal Ika bersifat inklusif.

Bhinneka Tunggal Ika tidak bersifat formalistis yang hanya menunjukkan perilaku
semu. Bhinneka Tunggal Ika dilandasi oleh sikap saling percaya mempercayai, saling hormat
menghormati, saling cinta mencintai dan rukun. Bhinneka Tunggal Ika bersifat konvergen
8
tidak divergen, yang bermakna perbedaan yang terjadi dalam keanekaragaman tidak untuk
dibesar-besarkan, tetapi dicari titik temu, dalam bentuk kesepakatan bersama. Hal ini akan
terwujud apabila dilandasi oleh sikap toleran, non sektarian, inklusif, akomodatif, dan rukun.

Prinsip atau asas pluralistik dan multikultural Bhinneka Tunggal Ika mendukung nilai:

(1) inklusif, tidak bersifat eksklusif

(2) terbuka,

(3) ko-eksistensi damai dan kebersamaan,

(4) kesetaraan,

(5) tidak merasa yang paling benar,

(6) tolerans,

(7) musyawarah disertai dengan penghargaan terhadap pihak lain yang berbeda.

Suatu masyarakat yang tertutup atau eksklusif sehingga tidak memungkinkan


terjadinya perkembangan tidak mungkin menghadapi arus globalisasi yang demikian deras
dan kuatnya, serta dalam menghadapi keanekaragaman budaya bangsa. Sifat terbuka yang
terarah merupakan syarat bagi berkembangnya masyarakat modern. Sehingga keterbukaan
dan berdiri sama tinggi serta duduk sama rendah, memungkinkan terbentuknya masyarakat
yang pluralistik secara ko-eksistensi, saling hormat menghormati, tidak merasa dirinya yang
paling benar dan tidak memaksakan kehendak yang menjadi keyakinannya kepada pihak lain.
Segala peraturan perundang-undangan khususnya peraturan daerah harus mampu
mengakomodasi masyarakat yang pluralistik dan multikutural, dengan tetap berpegang teguh
pada dasar negara Pancasila dan UUD 1945. Suatu peraturan perundang-undangan, utamanya
peraturan daerah yang memberi peluang terjadinya perpecahan bangsa, atau yang semata-
mata untuk mengakomodasi kepentingan unsur bangsa harus dihindari. Suatu contoh
persyaratan untuk jabatan daerah harus dari putra daerah , menggambarkan sempitnya
kesadaran nasional yang semata-mata untuk memenuhi aspirasi kedaerahan, yang akan
mengundang terjadinya perpecahan. Hal ini tidak mencerminkan penerapan prinsip Bhinneka
Tunggal Ika. Dengan menerapkan nilai-nilai tersebut secara konsisten akan terwujud
masyarakat yang damai, aman, tertib, teratur, sehingga kesejahteraan dan keadilan akan
terwujud.

9
E. IMPLEMENTASI BHINNEKA TUNGGAL IKA

Berdasarkan prinsip-prinsip Bhinneka Tunggal Ika di atas, maka prinsip-prinsip


tersebut perlu untuk diimplementasikan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

1. Perilaku inklusif.

Di depan telah dikemukakan bahwa salah satu prinsip yang terkandung dalam Bhinneka
Tunggal Ika adalah sikap inklusif. Dalam kehidupan bersama yang menerapkan semboyan
Bhinneka Tunggal Ika memandang bahwa dirinya, baik itu sebagai individu atau kelompok
masyarakat merasa dirinya hanya merupakan sebagian dari kesatuan dari masyarakat yang
lebih luas. Betapa besar dan penting kelompoknya dalam kehidupan bersama, tidak
memandang rendah dan menyepelekan kelompok yang lain. Masing-masing memiliki peran
yang tidak dapat diabaikan, dan bermakna bagi kehidupan bersama.

2. Mengakomodasi sifat pluralistic

Bangsa Indonesia sangat pluralistik ditinjau dari keragaman agama yang dipeluk oleh
masyarakat, aneka adat budaya yang berkembang di daerah, suku bangsa dengan bahasanya
masing-masing, dan menempati ribuan pulau yang tiada jarang terpisah demikian jauh pulau
yang satu dari pulau yang lain.Sifat toleran, saling hormat menghormati, mendudukkan
masing-masing pihak sesuai dengan peran, harkat dan martabatnya secara tepat, tidak
memandang remeh pada pihak lain, apalagi menghapus eksistensi kelompok dari kehidupan
bersama, merupakan syarat bagi lestarinya negara-bangsa Indonesia. Suatu contoh sebelum
terjadi reformasi, di Ambon berlaku suatu pola kehidupan bersama yang disebut pela
gandong, suatu pola kehidupan masyarakat yang tidak melandaskan diri pada agama, tetapi
semata-mata pada kehidupan bersama pada wilayah tertentu. Pemeluk berbagai agama
berlangsung sangat rukun, bantu membantu dalam kegiatan yang tidak bersifat ritual
keagamaan. Mereka tidak membedakan suku-suku yang berdiam di wilayah tersebut, dan
sebagainya.

3. Tidak mencari menangnya sendiri

Menghormati pendapat pihak lain, dengan tidak beranggapan bahwa pendapatnya


sendiri yang paling benar, dirinya atau kelompoknya yang paling hebat perlu diatur dalam
menerapkan Bhinneka Tunggal Ika. Dapat menerima dan memberi pendapat merupakan hal
yang harus berkembang dalam kehidupan yang beragam. Perbedaan ini tidak untuk dibesar-

10
besarkan, tetapi dicari titik temu. Bukan dikembangkan divergensi, tetapi yang harus
diusahakan adalah terwujudnya konvergensi dari berbagai keanekaragaman.

4. Musyawarah untuk mencapai mufakat.

Dalam rangka membentuk kesatuan dalam keanekaragaman diterapkan pendekatan


“musyawa-rah untuk mencapai mufakat.” Bukan pendapat sendiri yang harus dijadikan
kesepakatan bersama, tetapi common denominator, yakni inti kesamaan yang dipilih sebagai
kesepakatan bersama. Hal ini hanya akan tercapai dengan proses musyawarah untuk
mencapai mufakat. Dengan cara ini segala gagasan yang timbul diakomodasi dalam kesepa-
katan. Tidak ada yang menang tidak ada yang kalah. Inilah yang biasa disebut sebagai win
win solution.

5. Dilandasi rasa kasih sayang dan rela berkorban.

Dalam menerapkan Bhinneka Tunggal Ika dalam kehidupan berbangsa dan bernegara
perlu dilandasi oleh rasa kasih sayang. Saling curiga mencurigai harus dibuang jauh-jauh.
Saling percaya mempercayai harus dikembangkan, iri hati, dengki harus dibuang dari kamus
Bhinneka Tunggal Ika. Hal ini akan berlangsung apabila pelaksanaan Bhnneka Tunggal Ika
menerap-kan adagium “leladi sesamining dumadi, sepi ing pamrih, rame ing gawe, jer basuki
mowo beyo.” Eksistensi kita di dunia adalah untuk memberikan pelayanan kepada pihak lain,
dilandasi oleh tanpa pamrih pribadi dan golongan, disertai dengan pengorbanan. Tanpa
pengorbanan, sekurang-kurangnya mengurangi kepentingan dan pamrih pribadi, kesatuan
tidak mungkin terwujud. Selain dari lima implementasi di atas yang telah dikaitkan dengan
prinsip-prinsip Bhinneka tunggal Ika, terdapat juga beberapa implementasi yang lain, seperti :

a. impletasi dalam relasi antar suku bangsa

Dalam risalah sidang kedua Dokuritu Zyunbbi Tyosakai (Badan Persiapan Usaha
Kemerdekaan), yang berlangsung 10-17 Juni 1945, muncul juga tema menarik yaitu soal
wilayah Indonesia. Dalam kaitannya dengan tema “Bhinneka Tunggal Ika” dan masalah
etnisitas atau kemajemukan suku-suku bangsa, Bung Hatta mempertanyakan apakah Papua
termasuk wilayah Indonesia. Karena secara etnologis, Papua termasuk rumpun Melanesia,
berbeda dengan rumpun penduduk Indonesia lainnya yang termasuk rumpun Polenisia.
Menurut Hatta, yang lebih rasional dan sesuai dengan hukum internasional, yang menjadi
wilayah Indonesia adalah bekas jajahan Belanda. Diingatkan Hatta, jangan sampai dengan
konsep “tumpah darah” (Jerman: kultur und boden) menjadi nafsu imperlialis seperti Jerman.
11
Tetapi Hatta juga manyadari, bahwa seperti pen-duduk Indonesia di wilayah Barat dan
Tengah adalah asimilasi dari orang-orang Melanesia dengan bangsa-bangsa Arab, Cina,
India, begitu juga bisa jadi hasil percampuran antara penduduk Melanisia dengan Polenisia
lalu menjadi Papua, menjadi dasar dimasukkannya Papua menjadi wilayah Indonesia.
Sebelumnya Yamin menekankan, bahwa wilayah kita jangan hanya menjadi enclaves
daripada “seluruh tanah Indonesia atas beberapa kekuasaan imperialisme 350-400 tahun yang
belakangan ini”.

Menurut Yamin, perkataan “Indonesia” sendiri dibuat dengan pemahaman yang


mengatakan Indonesia melingkupi daerah Malaya dan Polinesia. Jadi, dengan sendirinya pada
waktu perkataan Indonesia lahir, dimaksudkan tanah Papua masuk ke dalam daerah
Indonesia. Menurut paham Geopolitik, pulau Papua adalah lompatan yang paling akhir dari
benua Indonesia menuju lautan Pasifik, dan lompatan yang pertama dari lautan pasifik
menuju tanah air kita. Apalagi menurut faham Indonesia, sebagian besar pulau Papua adalah
masuk hak adat lingkungan adat kerajaan Tidore, sehingga dengan sendirinya betul-betul
daerah itu masuk bagian daerah Indonesia. Akhirnya Yamin juga menandaskan bahwa
wilayah Indonesia adalah “Kepulauan De-lapan”: Sumatra, Melayu, Borneo, Jawa, Sulawesi,
Sunda Kecil, Maluku, dan Papua (masing-masing dengan kepulauan-kepulauan kecil di
sekeliling Kepulauan Delapan tersebut. Yamin menyebut bahwa sebenarnya itu bukan
keinginannya, tetapi sejak beribu-ribu tahun tumpah darah Indonesia itu terbentuk, yang
disebutnya “Testamen Gajahmada”.

Menariknya, berbeda dengan Hatta yang masih agak ragu-ragu memasukkan Papua, Bung
Karno sepakat 100% dengan Yamin, dan memperkuat argumentasi Yamin bahwa wilayah
kita bukan warisan Belanda, sebaliknya “….bersandar kepada kekuatan sejarah kita dulu,
bersandar pada batas sejarah kita yang dulu. Bukalah, tuan-tuan. Negarakertagama yang
ditulis Prapanca, maka tuan-tuan akan membaca di dalamnya beberapa nama tempat dan
daerah yang menun-jukkan, bahwa kerajaan Majapahit pun daerahnya melebar sampai
kepada Papua”. Bung Karno percaya, kalau kita melihat peta dunia maka kita akan melihat
bahwa Tuhan Allah SWT telah menentukan beberapa daerah sebagai suatu kesatuan. Allah
telah menentukan kepulauan Inggris sebagai satu kesatuan, atau menentukan kepulauan
Hellenia (Yunani) sebagai satu kesatuan, demikian juga Allah telah menentukan wilayah
Indonesia sebagai satu kesatuan. Oleh karena itu, pentingnya faktor wilayah ini ditekankan
Bung Karno dalam pidatonya tanggal 1 Juni 1945, untuk melengkapi definisi Ernest Renan

12
dan Otto Bauer. Renan mensyaratkan bangsa hanyalah “kehendak akan bersatu” (le desir
d’etre ensemble), sedangkan Bauer mendefinisikan: “Bangsa adalah satu perasaan perangai
yang timbul karena persatuan nasib” (Eine nations ist aus Schiksals gemenischafft
erwachsene charakter gemenischaft).“Orang dan tempat tidak dapat dipisahkan. Tidak dapat
dipisahkan rakyat dari bumi yang ada di bawah kakinya”, demikian tegas Bung Karno.

Apa yang diwacanakan oleh para “Founding Fathers” di atas bukan sekedar apologetika
atau bentuk pembelaan diri mengenai hak bangsa Indonesia untuk menempati tumpah darah
Indonesia, tetapi sadar atau tidak juga merupakan bagian dari upaya pencarian mereka atas
rujukan historis bagaimana kita harus memaknai warisan kemajemukan kita, khususnya
dalam hal suku-suku bangsa. Tetapi para pendiri bangsa itu tidak berlebihan. Indonesia
ternyata tidak hanya mempunyai bukti-bukti prasasti dan bergudang manuskrip kuno yang
membuktikan bahwa sebelum mereka hendak mendirikan NKRI, rakyat yang mendiami
ratusan pulau besar dan kecil dari Sabang sampai Merauke itu, memang pernah disatukan
dalam satu wadah Negara. Itulah yang dimaksudkan Bung Karno sebagai “sebuah Negara
Nasional” (Nationale Staat), sebelum NKRI sekarang, yaitu Sriwijaya dan Majapahit. Bukti-
bukti itu tidak hanya tercatat dalam Kaka-win Negarakrtagama, karya Mpu Prapanca (1365),
dan sejumlah manuskrip Nusantara kuna lainnya, tetapi juga karya-karya pujangga manca
negara yang sezaman, bahkan ketika di Indonesia sendiri masih disebut “pra-sejarah”.
Maksudnya, sudah ada catatan-catatan manca negara yang merujuk eksistensi bangsa
Indonesia, ketika bangsa Indonesia sendiri tidak atau belum mencatat sejarahnya.

Salah satunya yang dapat disebut di sini adalah Śrīmad Vālmīki-Rāmāyana, karya
pujangga Vālmīki (kira-kira tahun 150 M), sudah menyebut eksistensi Kerajaan Nusantara
sebagai berikut:

Yatnavanto Javadvipam saptarajyopasobhitam

Suvarnarupyakadvipwan, Suvarnakaramanditam

Javadvipamatikramya Sisiro namaparvatah

Divam sprasati srgena devadanavasevitah

Etesam giridurgesa prapatesa vanesa cha.

Artinya:

13
“Jelajahilah Tanah Jawa, dan tujuh wilayah kerajaan sebagai hiasan

Nusa Emas dan Perak, dan sebuah pulau bertambang emas

Di luar pulau Jawa, ada gunung tinggi menjulang namanya Sisira

Puncaknya tinggi mencium langit, ditunggu Dewa dan dihuni raksasa

Gunung itu puncaknya bersalju……”

Menurut Phalgunadi, kata saptarājya merujuk kepada tujuh pulau Nusantara, yaitu
Javadvipa (Jawa), Suvarnadvipa (Sumatra), Barhinadvipa (Borneo), Balidvipa (Bali),
Angadvipa (Nusa Tenggara), Shankadvipa (Celebes), dan Papua yang dalam Ramayana
hanya disebut letaknya “di luar pulau Jawa” (Javadvipapamatikramya). Dengan demikian,
penduduk Indonesia bukan hanya meliputi suku-suku yang mendiami wilayah Barat
Nusantara yang dikenal sebagai rumpun Polenisia, tetapi juga suku-suku Papua yang dikenal
dengan rumpun Melanesia. Nah, keanekaragaman penduduk yang menghuni kepulauan
Nusantara selama berabad-abad dengan segala kompleksitas budaya, bahasa dan adat
istiadatnya, meskipun dalam konteks narasi yang dikutip di awal tulisan ini tidak dibahasnya
langsung, namun secara substansial juga menjadi perhatian para pujangga Nusantara.

b. Implementasi dalam relasi negara dan agama

Dalam kaitannya dengan relasi agama dan negara, Pancasila diajukan Bung Karno
sebagai Philosopie Gronslag (Dasar Falsafah) Negara Indonesia dalam pidatonya yang
berjudul Lahirnya Pancasila, di depan sidang Dokoritsu Zonbie Tjosakai (Badan Penyelidik
Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia) tanggal 1 Juni 1945, dalam rangka menjawab dan
menemukan solusi dari para peserta sidang yang terbelah menjadi dua pilihan, yaitu pilihan
Negara Islam, dan pilihan Negara Sekular. Pancasila muncul sebagai “jalan tengah“ diantara
dua kutub ekstrim antara paham negara agama (Theocracy) dan paham negara sekuler
(Secularism). Pada satu pihak dengan penegasan sila “Ketuhanan Yang Maha Esa“, maka
tidak mungkin kita mendepak nilai-nilai agama dan Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha
Esa dari kehidupan berbangsa dan ber-negara, karena hal itu bertentangan dengan degub
jantung kehidupan rakyat Indonesia yang sangat religius. Di pihak lain, dengan mengangkat
dasar “Ketuhanan yang Maha Esa“ (bukan agama tertentu) juga berarti pengakuan terhadap
semua agama dan kepercayaan yang berbeda-beda. Jadi, bukan bukan Ketuhanan menurut

14
salah satu agama saja, melainkan Ketuhanan menurut agama masing-masing, sebagaimana
ditegaskan oleh Bung Karno:

Prinsip Ketuhanan. Bukan saja bangsa Indonesia ber-Tuhan, tetapi masing-masing


orang Indonesia hendaknya ber-Tuhan. Tuhannya sendiri. Yang Kristen menyembah
Tuhannya menurut petunjuk Isa Al-Masih, yang Islam menurut petunjuk Nabi Muhammad
s.a.w., orang Buddha menjalankan ibadatnya menurut kitab-kitab suci yang ada padanya.
Tetapi marilah kita semua ber-Tuhan. Hendaknya Negara Indonesia ialah negara yang tiap-
tiap orangnya dapat menyembah Tuhannya dengan cara yang leluasa. Segenap rakyat
hendaknya ber-Tuhan secara kebudayaan, yakni dengan tiada „egoisme agama“. Dan
hendaknya Negara Indonesia satu negara yang bertuhan! Marilah kita amalkan, jalankan
agama, baik Islam, maupun Kristen, dengan cara yang berkeadaban. Apakah cara
berkeadaban itu? Ialah hormat menghormati satu sama lain. Nabi Muhammad s.a.w. telah
memberi bukti yang cukup tentang verdraagzaamheid, tentang menghormati agama-agama
lain.

Dalam kerangka berpikir seperti itulah Bung Karno menyebut bahwa Indonesia yang
hendak didirikan adalah sebuah Nationale Staat (Negara Nasional). Dan dalam mengelola
kema-jemukan masyarakat Indonesia, maka model yang hendak dipilih oleh Bung Karno
adalah Sriwijaya dan Majapahit, bukan negara-negara agama seperti Demak, Pajang,
Mataram, Ternate, Tidore dan lain-lain. Selanjutnya, semboyan yang dicantumkan dalam
lambang negara adalah “Bhinneka Tunggal Ika“ (Berbeda-beda tetapi Satu), suatu ungkapan
yang berasal dari Mpu Tantular, di puncak kejayaan Majapahit, dengan tepat mengungkapkan
problem kemajemukan Indonesia yang harus dijadikan asas dalam pembangunan hukum.
Rujukan kepada negara nasional Majapahit bagi para pendiri bangsa Indonesia, ternyata
secara historis mempunyai dasar filosofis yang sangat mendalam.

Fakta sejarah juga membuktikan bahwa jauh sebelum Pasal 29 ayat (1) UUD 1945
menegaskan bahwa ”Negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa”, yang
menekankan pengakuan negara atas Tuhan Yang Maha Esa sebagai Causa Prima, tanpa
terikat oleh definisi menurut salah satu agama, kesadaran ini sudah muncul pada negara
nasional Majapahit. Berkaitan dengan seloka “Bhinneka Tunggal Ika“, S. Supomo dalam
penelitiannya yang berjudul Arjuna-wijaya: A Kakawin of Mpu Tantular, mengatakan bahwa
pada zaman Majapahit konsep “Ketu-hanan Yang Maha Esa” disebut dengan Sang Hyang
Parawataraja, yang mengatasi konsep-konsep ketuhanan menurut agama-agama yang pada
15
waktu itu. Dalam konsep “The National Godhead” dinyatakan bahwa Negara berdasarkan
atas kesadaran adanya Tuhan yang Maha Esa, tetapi tidak identik dengan salah satu agama:

“He was both the Supreme God and the great ruler of realm, he was neither Siwa nor
Buddha, but in Prapanca words: Siwa-Buddha (Nag. 1,1), the protector of the absolute (natha
ning anatha), the ruler of the world ruler (pati ning jagad pati), and the God of tutelary deities
(Hyang ning hyang inisthi). As such he symbolized the unity of the kingdom and the oneness
of the dharma”.

(Terjemahan bebas: “Dia adalah Tuhan Yang Maha Tinggi, sekaligus Penguasa alam
semesta, bukan Tuhan menurut konsep agama Siwa maupun konsep agama Buddha, tetapi
seperti istilah Mpu Prapanca Siwa-Buddha – yang menampung baik Hindu maupun Buddha –
Dialah Pelindung Yang mutlak (natha ing anatha), Penguasa segala penguasa dunia (pati ning
jagad pati), dan Tuhan di atas segala konsep ketuhanan dalam paham agama-agama (Hyang
ning hyang inisthi). Istilah ini merupakan simbol dari kesatuan kerajaan dan sekaligus
kesatuan transendental yang diajarkan agama).

Bertitik tolak dari konsep Nationale Staat (Negara Nasional) yang tidak didasarkan
atas agama tertentu, Mr. Muhammad Yamin membuktikan bahwa pada waktu itu sudah
dikenal jabatan tinggi yang disebut dharmadyaksa yang mengurusi agama Hindu
(Dharmadyaksa ring Kasyaiwan) dan agama Buddha (Dharmadyaksa ring Kasogatan).
Sedangkan sebuah kelompok tersendiri yang disebut Karesyan – barangkali sejajar dengan
penghayat Kepercayaan pada zaman sekarang – berada di bawah seorang pejabat yang
bernama Mentri Herhaji. Ketiga kelompok agama dan keyakinan tersebut dalam Kakawin
Negarakrtagama, karya Mpu Prapanca (1361) disebut Tripaksa, dan langsung di bawah
kekuasaan Raja: “Aramba Nareçware pageha sang Tripakse Jawa” (Artinya: “yang
meneguhkan hak dan kewajiban tripaksa di wilayah pulau Jawa dalam perlindungan
kekuasaan Raja” − Kakawin Negarakrtagama LXXX,1). Hak-hak kebe-basan beragama,
beribadah dan mengekspresikan keyakinan dari ketiga kelompok agama dan kepercayaan
tersebut dijamin oleh negara, tanpa ada diskriminasi satu kelompok dengan kelompok
lainnya.

Dalam konteks pemikiran seperti yang dikutip di atas, ungkapan “Bhinneka Tunggal
Ika” (Berbeda-beda tetapi satu) dikemukakan pertama kali oleh Mpu Tantular yang juga
berasal dari zaman yang sama yang dijadikan sesanti negara dalam mengelola warisan

16
kultural kemajemukan agama-agama pada zamannya, yang kemudian diangkat kembali oleh
para pendiri bangsa Indo-nesia untuk menjawab problem kemajemukan bangsa Indonesia
modern yang tentunya jauh lebih kompleks. Sebagaimana sudah disinggung sepintas di
depan, bahwa dalam sidang-sidang Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan
Indonesia (BPUPKI) beberapa bulan menjelang kemerdekaan Indonesia, masalah penting
yang hendak dipecahkan adalah dasar negara yang akan menjadi landasan Indonesia
Merdeka. Pada waktu itu ada dua kelompok, yaitu kelompok yang menghendaki Negara
Islam, dan yang lain menghendaki negara yang netral agama. Selain pemi-kiran Bung Karno
yang disampaikan dalam pidatonya tanggal 1 Juni 1945, Bung Hatta meng-hendaki Negara
Sekuler yang memisahkan agama dan negara (Scheiding van Kerk en Staat), sedangkan
Soepomo seperti Bung Karno menghendaki pemisahan agama dan negara, tetapi tidak berarti
bahwa negara bersifat “a-religious”. Sebaliknya, agama-agama harus menjadi landasan etik,
moral dan spiritual untuk membangun bangsa dan negara menuju kejayaannya, sebagaimana
dikatakan oleh Soepomo:

Negara nasional yang bersatu itu tidak berarti bahwa negara itu akan “a-religious”. Itu
bukan. Negara nasional yang bersatu itu akan memelihara budi pekerti kemanusiaan yang
luhur, akan memegang cita-cita moral rakyat yang luhur. Maka negara yang demikian itu dan
hendaknya negara Indonesia juga memakai dasar moral yang luhur, dasar moral yang juga
dianjurkan oleh agama Islam. Karena itu Soepomo membedakan antara “Negara Islam”
dengan “Negara berdasar atas cita-cita luhur dari agama Islam”. Meskipun Soepomo
menegaskan bahwa pilihan negara Islam tidak tepat, karena “akan timbul soal-soal
minderheden, soal golongan agama yang kecil-kecil, golongan agama Kristen dan lain-lain”,
namun dua hari setelah kemerdekaan Indonesia, tepat-nya tanggal 19 Agustus 1945, ketika
membentuk kabinet, dalam rapat Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (Dokuritsu
Zonbai Inkai) Soepomo menghendaki agar melalui Kemen-trian Kehakiman negara tidak
hanya mengatur soal peradilan, soal penjara, tetapi juga turut mengatur masalah nikah, talak,
rujuk, infaq dan zakat yang terkait dengan masalah-masalah keagamaan, khususnya agama
Islam.

17
18
BAB III

PEMBAHASAN

A. Wujud dari keragaman di dalam semboyan “Bhineka Tunggal Ika”

Makalah Bhinneka Tunggal Ika - Suku bangsa di Indonesia berjumlah lebih dari 100
suku bangsa. Wilayah Indonesia yang luas memengaruhi tingginya keanekaragaman bangsa
Indonesia. Keragaman suku bangsa akan menentukan keragaman budaya bangsa Indonesia.
Meskipun budaya bangsa kita sangat beraneka ragam, tetapi tetap satu bangsa, yaitu bangsa
Indonesia. Hal tersebut sesuai dengan semboyan bangsa Indonesia ”Bhinneka Tunggal Ika”,
walaupun berbeda-beda tetapi tetap satu. Bhinneka Tunggal Ika mengandung makna
meskipun berbeda suku, budaya, agama, dan bahasa daerah, tetapi tetap satu bangsa, yaitu
bangsa Indonesia. Keragaman tersebut berupa :

Keragaman suku bangsa di Indonesia

Di Indonesia banyak terdapat suku bangsa yang tersebar di pulau-pulauyang ada.


Suku-sukubangsa tersebut di antaranya sebagai berikut :

1. Pulau Sumatra: ada suku Aceh, Batak, Karo, Mandailing, Melayu, Lampung ,
Komering, dan Minangkabau.

2. Pulau Jawa: ada suku Banten, Betawi, Badui, Jawa, Karimun,Madura, dan
Tengger.

3. Pulau Bali: suku Bali.

4. Kepulauan Nusa Tenggara: ada suku Alor, Atoni, Adonara, Belu, Bima,
Bodha,Damar, Dompu, Ende, Flores, Helong,Kupang, Larantuka, Lombok,
Mambaro,dan Riung.

5. Pulau Kalimantan : ada suku Abai, Adang, Banjar, Berusu, Bulungan, Busang,
Dayak, Dusun, Melanau, Murik,Punan, dan Tabuyan.

6. Pulau Sulawesi: ada suku Ampana, Bada, Bajo, Bobongko, Bugis, Gimpu,
Kulawi, Lampu, Makassar, Parigi, Selayar, Toli-toli, dan Toraja.

7. Kepulauan Maluku: ada suku Aru, Buru, Galela, Kei, Loda, Moa, Seram,
Tanibar, dan To Belo.
19
8. Pulau Papua:ada suku Asmat, Anggi, Arguni, Biak, Bintuni, Dani, Jakui,
Mapia, Mimika, Moni, Muyu, Senggi, Sentani, dan Waigeo.

Perbedaan suku bangsa wajib kita hargai dan hormati. Walaupun berbeda, jangan
sampai menimbulkan perpecahan di antara kita. Dengan adanya perbedaan kita tetap dapat
menjalin rasa persatuan dan kesatuan. Perbedaan menjadi kekuatan karena bangsa kita adalah
bangsa yang besar. Sikap menghormati dan menghargai harus diciptakan dalam kehidupan
sehari-hari, baik di rumah, di sekolah, maupun dalam masyarakat. Persatuan dalam
keragaman sangat penting untuk menciptakan kedamaian.

Budaya Indonesia

Keragaman budaya bangsa Indonesia ada yang berbentuk religi/keagamaan, kesenian,


bahasa daerah, rumah adat, mata pencaharian, sistem kemasyarakatan, dan peralatan hidup.
Budaya daerah yang beraneka ragam merupakan budaya bangsa Indonesia. Oleh karena
itubudaya daerah merupakan akar budaya nasional yang perlu dikembangkan dan
dilestarikan.

1. Religi/Keagamaan

Upacara adat tiap suku bangsa di negara kita berbeda, termasuk upacara perkawinan,
kematian, dan kelahiran yang dimilikinya. Di Bali ada upacara pembakaran mayat. Di daerah
Toraja, Sulawesi Selatan ada juga upacara bagi orang yang telah meninggal, di arak ke
tempat pemakamannya yang terletak di goa-goa di lereng gunung. Di daerah-daerah lain juga
terdapat upacara menurut adat istiadat dan corak budaya setempat. Upacara-upacara adat
sering menggunakan simbol-simbol adat, tari-tarian, dan bahasa daerah setempat sehingga
menarik perhatian wisatawan domestik dan mancanegara. Umpamanya, Suku Tengger di
Jawa Timur terbiasa melakukan upacara Kasadha. Upacara tersebut juga disaksikan oleh
wisatawan.

2. Kesenian daerah

Beberapa kesenian daerah misalnya dalam bentuk pertunjukan rakyat, lagu daerah,
tarian daerah, dan alat music:

a) Pertunjukan Rakyat

20
Di Indonesia, pertunjukan seringkali dikaitkan dengan pelaksanaan upacara. Seni
pertunjukan di Indonesia memiliki ciri khas di setiap daerah dan merupakan sebuah bentuk
ungkapan budaya. Ketoprak dari Jawa Tengah, Ludruk dari Jawa Timur, Topeng Cirebon
dari Jawa Barat, Lenong Betawi dari DKI Jakarta, Makyong dari Kepulauan Riau, Inong
Rampak dari Aceh.

b) Lagu Daerah

Setiap daerah di Indonesia memiliki lagu-lagu daerah, diantaranya:

• Aceh (NAD) : Bungong Jeumpa, Piso Surit

• Sumatra Utara : Anju Ahu, Mariam Tomong

• Sumatra Barat : Ayam Den Lapeh, Kampuang Nan Jauh Di Mato

• Sumatra Selatan : Dek Sangke

• Jambi : Injit-injit Semut

• Bengkulu : Lalan Belek

• Jawa Barat : Cing Cangkeling, Manuk Dadali

• DKI Jakarta : Jali-jali, Kicir-kicir

• Jawa Tengah : Gambang Suling, Gundul Pacul

• Jawa Timur : Keraban Sape, Tandu Majeng

• Bali : Mejangeran, Putri Ayu

• Sulawesi Utara : Esa Mokan, O Ina Ni Keke

• Sulawesi Selatan : Pakarena

• Sulawesi Tengah : Tondok Kadindangku

• Kalimantan Selatan : Paris Berantai

• Kalimantan Timur : Indung-indung

• Kalimantan Barat : Cik-Cik Periok

21
• Kalimantan Tengah : Tumpi Wayu

• Maluku : Tanase, Oleh Sioh

• Papua : Yamko Rambe Yamko

c) Tarian Daerah

Indonesia memiliki banyak tarian yang menampilkan gerakan yang indah. Sebagian
dikenal sejak berabad-abad di antara rakyat jelata, yang lainnya berkembang di istana. Tari
yang berakar dari tari adat misalnya tari Pendet dari Bali. Ada juga tari yang bersumber pada
seni bela diri, seperti tari Alan Ambek dari Sumatra Barat.

d) Alat Musik Daerah

Alat musik daerah digunakan untuk mengiringi tari-tarian adat dan lagu daerah.
Berikut adalah gambar beberapa alat musik daerah. Gong dari Jawa Tengah, Kolintang dari
Sulawesi Utara, Rebana dari DKI Jakarta, Tifa dari Papua, Ketepang dari Kalimantan,
Bonang dari Jawa Timur.

e) Rumah Adat

Setiap daerah di Indonesia memiliki rumah adatnya sendiri. Rumah adat di setiap
daerah memiliki ciri yang khas sesuai Provinsi (Daerah).

f) Pakaian Adat

Keanekaragamaan bangsa Indonesia termasuk di dalamnya adalah pakaian adat. Tiap


suku bangsa yang ada di Indonesia memiliki pakaian adat. Pakaian tersebut biasa dipakai
pada waktu upacara-upacara adat, misalnya kematian, perkawinan, kelahiran, dan kegiatan
ritual dari masing-masing suku tersebut.

22
B. Peran Bhinneka Tunggal Ika sebagai faktor pembentuk identitas bangsa Indonesia.

Jati diri bangsa Indonesia atau identitas bangsa Indonesia merupakan suatu yang
pelik, ada yang beranggapan bahwa sebagai bangsa Indonesia harus melepaskan identitasnya
yang berifat kesukuan atau keanggotaannya dalam berbagai kehidupan sosial masyarakat. Jati
diri bangsa Indonesia merupakan sesuatu yang telah disepakati bersama seperti cita-cita masa
depan yang sama berdasarkan pengalaman sejarah baik pengalaman yang menggembirakan
maupun yang pahit.

Bangsa Indonesia terdiri dari lebih dari 700 suku bangsa dengan kebudayaannya
masing-masing. Itu sebabnya juga mengapa bhinneka Tunggal Ika merupakan lambang
negara kita sebagaimana dicantumkan dalam pasal 36A UUD. Dari kebhinnekaan itulah ingin
diwujudkan identitas Bangsa Indonesia. Dengan kata lain Bhinneka Tunggal Ika merupakan
gambaran nyata dari keadaan masyarakat bangsa Indonesia yang majemuk dan ini pun
dijadikan sebagai dasar perjuangan bangsa Indonesia dalam membentuk integrasi nasional.

Bhinneka Tunggal Ika seperti kita pahami sebagai motto Negara, yang diangkat dari
penggalan kitab Sutasoma karya besar Mpu Tantular pada jaman Kerajaan Majapahit (abad
14) secara harfiah diartikan sebagai bercerai berai tetapi satu. Motto ini digunakan sebagai
ilustrasi dari jati diri bangsa Indonesia yang secara natural, dan sosial-kultural dibangun
diatas keanekaragaman. Dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika tersebut juga diharapkan
sebagai landasan atau dasar perjuangan untuk mewujudkan persatuan dan kesatuan bangsa
Indonesia agar dikenal di mata dunia sebagai bangsa yang multikulturalisme.

Oleh karena itu, masyarakat majemuk menjadikan nilai-nilai kemanusiaan, keadilan


sosial, demokrasi, nasionalisme, kekeluargaan, ketakwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa
sebagai ideologi nasional, sedangkan nilai-nilai lain seperti individualisme, komunisme,
fasisme, dan teokrasi tidak mereka jadikan sebagai ideologi nasional karena dipandang tidak
tepat dan tidak sesuai dengan karakteristik masyarakat.

C. Cara Membina Bangsa Indonesia yang Beranekaragam agar Tercapai Integrasi


Nasional melalui Semboyan Bhineka Tunggal Ika.
23
Identitas bangsa Indonesia merupakan sesuatu yang perlu diwujudkan dan terus
menerus berkembang atau seperti yang telah dirumuskan Bung Karno merupakan ekspresi
dari roh kesatuan Indonesia, kemauan untuk bersatu dan mewujudkan sesuatu dan bermuatan
yang nyata. Dilihat dari segi etnis, bahasa, agama dan sebagainya, indonesia termasuk salah
satu negara yang paling majemuk di dunia. Hal ini disadari betul oleh para Founding Fathers
kita, sehingga mereka merumuskan konsep pluralisme ini dengan semboyan “ Bhinneka
Tunggal Ika”.

Tentunya setiap bangsa ingin menonjolkan keunggulan dari identitas bangsanya


terlebih-lebih dalam era globalisasi dewasa ini di mana pertemuannya antar bangsa menjadi
sangat cepat dan mudah. Dalam pergaulan antar bangsa nilai-nilai yang positif dari suatu
bangsa akan ikut membina perdamaian dan kehidupan yang lebih tenteram di planet bumi ini.

Dengan ke-Bhinneka Tunggal Ika-an itu berarti masyarakat Indonesia adalah


plural.Dan di dalam masyarakat plural, dialog adalah keniscayaan bahkan keharusan.
Sesungguhnya bicara pluralisme dan dialog antar-agama itu bukan hal baru di negeri ini.
Memang isu pluralisme adalah setua usia manusia, hanya cara dan metode manusia
menghadapinya yang berbeda.

Setiap warga masyarakat akan memiliki kesetiaan ganda (multi loyalities) sesuai
dengan porsinya. Walaupun mereka tetap memiliki keterikatan terhadap identitas kelompok,
namun mereka menunjukan kesetiaan yang lebih besar pada kebersamaaan yang berwujud
dalam bentuk bangsa-negara di bawah suatu pemerintahan yang berkeabsahan. Membina
identitas bangsa memerlukan upaya yang berkesinambungan serta berkaitan dengan berbagai
aspek. Kedudukan seseorang sebagai warga negara Indonesia tidak mengenal diskriminasi,
kehidupan bersama yang penuh toleransi dan menghindari berbagai perasaan curiga satu
dengan yang lain atau tidak adanya trust di dalam kehidupan bersama, kemampuan dan
keinginan untuk melihat perbedaan antar suku bukan sebagai hal yang memisahkan di dalam
kehidupan dan pergaulan sehari-hari bahkan lebih mempererat dan mempercaya kehidupan
dan kebudayaan nasional.

BAB IV

PENUTUP

24
A. Kesimpulan

Wujud dari keragaman di dalam semboyan “Bhineka Tunggal Ika” itu bermacam-
macam yaitu terdiri dari suku bangsa, selain itu terdiri dari bermacam-macam budaya
diantaranya religi/keagamaan, kesenian daerah yang terdiri dari Pertunjukan Rakyat, Lagu
Daerah,Tarian Daerah, Alat Musik Daerah, Rumah Adat, Pakaian Adat

Dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika tersebut mempunyai peran terhadap bangsa
Indonesia yaitu agar menjadi bangsa yang berhasil mewujudkan integrasi nasional di tengah
masyarakatnya yang majemuk.

Membina bangsa Indonesia yang multikultural memerlukan upaya yang


berkesinambungan serta berkaitan dengan berbagai aspek agar tercapai Integrasi nasional
melalui semboyan Bhinneka Tunggal Ika yaitu dengan mengadakan proses pendidikan sejak
dini dalam lingkungan keluarga, lingkungan pendidikan formal dan in-formal tentang Prinsip
bersatu dalam perbedaan (unity in diversity) karena individu dalam masyarakat majemuk
haruslah memiliki kesetiaan ganda (multi loyalities) terhadap bangsa-negaranya, mereka juga
tetap memiliki keterikatan terhadap identitas kelompoknya, namun mereka menunjukan
kesetiaan yang lebih besar pada bangsa Indonesia.

B. Saran

Rasa bhineka tunggal ika ini perlu diterapkan pada setiap masyarakat seluruh
Indonesia ini demi menjaga keutuhan negara kesatuan republik Indonesia. Pada kenyataannya
penerapan rasa bhineka tunggal ika ini kurang dilakukan oleh warga negara Indonesia, maka
dari itu sangat diperlukan demi menjawab tantangan masa depan yang dapat memecah belah
suatu negara.

Penjelasan yang ada di dalam makalah ini semoga dapat membantu mengaplikasikan
arti dari semboyan bhineka tunggal ika ini pada setiap warga negara untuk dapat menjalankan
kehidupan berbangsa dan bernegara.

DAFTAR PUSTAKA

25
H.A.R. Tilaar. 2007. Mengindonesia Etnisitas dan Identitas Bangsa Indonesia: Tinjauan dari
Perspektif Ilmu Pendidikan. Jakarta: PT Rineka Cipta, hlmn 181.

H.A.R. Tilaar. 2007. Mengindonesia Etnisitas dan Identitas Bangsa Indonesia: Tinjauan dari
Perspektif Ilmu Pendidikan. Jakarta: PT Rineka Cipta, hlmn xvii.

Dr Udin S.Winataputra,M.A. 2009. Multikulturalisme-Bhinneka Tunggal IKa dalam


Perspektif Pendidikan Kewarganegaraan sebagai Wahana Pembangunan Karakter Bangsa
Indonesia.

26

Anda mungkin juga menyukai