Oleh:
Ashari
Ening Ariningsih
Yana Supriyatna
Cut Rabiatul Adawiyah
Sri Suharyono
PENDAHULUAN
2. Sebagai skim yang relatif baru manfaat SRG masih belum teruji benar
sebagai alternatif untuk meningkatkan pendapatan dan pembiayaan
pertanian. Banyak pertanyaan seputar konsep (format, aturan, dan
operasionalisasi) SRG, kesesuaian antara SRG dengan karakteristik petani
dan usaha pertanian, efektivitas SRG dalam meningkatkan ataupun
stabilisasi pendapatan petani perlu mendapatkan jawaban. Disamping itu,
kendala-kendala implementasi juga perlu mendapatkan jawaban. Karena
itulah kajian ini perlu untuk dilakukan.
METODOLOGI
5. Penelitian ini meliputi empat kegiatan, yakni: (1) menganalis konsepsi dan
potensi SRG dalam mendukung peningkatan pendapatan petani; (2)
mengidentifikasi efektivitas SRG dalam meningkatkan pendapatan petani;
(3) mengidentifikasi kendala penerapan SRG dalam stabilitas pendapatan
petani; dan (4) merumuskan saran dan rekomendasi kebijakan
pengembangan SRG dalam stabilitasi pendapatan petani
x
6. Lokasi penelitian dipilih berdasar pada beberapa kriteria, yakni: (a)
provinsi merupakan sentra produksi padi dan masih terjadi insiden anjlok
harga saat panen raya serta menjadi lokasi pembangunan gudang baik
menggunakan dana DAK maupun Tugas Pembantuan; dan (b) pemilihan
kabupaten didasarkan pada praktek SRG yang telah diterapkan minimal
pernah diujicobakan. Dua Provinsi yang mewakili kriteria tersebut, yaitu
Provinsi Jawa Barat dan Kalimantan Selatan, sedangkan Provinsi DKI
Jakarta juga dijadikan sebagai lokasi kajian berdasarkan posisinya sebagai
pemerintah pusat dan pembuat kebijakan nasional
HASIL PENELITIAN
Konsepsi SRG
11. Resi gudang adalah dokumen bukti kepemilikan barang yang disimpan di
suatu gudang yang diterbitkan oleh pengelola gudang. Sedangkan Sistem
Resi Gudang (SRG) atau disebut juga warehouse receipt system (WRS)
merupakan kegiatan yang berkaitan dengan penerbitan, pengalihan,
penjaminan, dan penyelesaian transaksi Resi Gudang.
xi
12. Resi Gudang yang dikenal masyarakat ada 2 bentuk, yaitu: (1) resi
gudang yang dapat diperdagangkan (“negotiable warehouse receipt”), (2)
resi gudang yang tidak dapat diperdagangkan (“non-negotiable
warehouse receipt”)
13. Perdagangan resi gudang di Indonesia diatur oleh suatu badan yang
disebut ”Badan Pengawas Sistem Resi Gudang”, yaitu suatu unit
organisasi di bawah Menteri yang diberi wewenang untuk melakukan
pembinaan, pengaturan, dan pengawasan pelaksanaan sistem resi
gudang. Beberapa kelembagaan lain yang terlibat dalam pelaksanaan
SRG adalah Pengelola Gudang, Lembaga Penilaian Kesesuaian, Pusat
Registrasi serta Hubungan Kelembagaan Pusat dan Daerah. Lembaga-
lembaga yang terlibat dalam SRG diatur dalam UU No. 9 tahun 2006.
15. Dasar hukum SRG di Indonesia diatur dalam Undang-Undang (UU) RI No.
9 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 9 Tahun
2006 tentang Sistem Resi Gudang. Dalam pelaksanaannya, SRG juga
didukung oleh Peraturan Pemerintah (PP), Peraturan Menteri (Permen),
dan Surat Keputusan (SK) dari beberapa kementerian terkait.
16. Adapun dasar hukum bagi Bank untuk dapat memberikan pinjaman atas
RG yaitu Peraturan Bank Indonesia No. 9/6/PBI/2007 tentang Perubahan
Kedua atas Peraturan Bank Indonesia No. 7/2/PBI/2005 tentang Penilai
Kualitas Aktiva Umum.
17. Potensi manfaat yang dapat diperoleh dengan implementasi SRG relatif
cukup besar, diantaranya berpeluang untuk meningkatkan produksi,
menambah perputaran ekonomi, dan menyerap tenaga kerja dan
atau/mengurangi pengangguran. Selain itu, dengan SRG diharapkan
kontribusi UMK pada pertumbuhan ekonomi juga akan meningkat.
18. Potensi manfaat SRG bagi petani adalah: (1) mendapatkan harga yang
lebih baik dengan menunda waktu penjualan; (2) kepastian kualitas dan
kuantitas atas barang yang disimpan; (3) mendapatkan pembiayaan
dengan cara yang tepat dan mudah; dan (4) mendorong berusaha secara
berkelompok sehingga meningkatkan posisi tawar.
xii
Kinerja dan Efektivitas SRG dalam Meningkatkan Pendapatan Petani
19. Secara nasional, hingga Juni 2013, jumlah RG yang telah diterbitkan
sebanyak 931 lembar dengan total volume komoditas 37.250,50 ton
terdiri dari: (a) 32.193,16 ton gabah; (b) 3.737,20 ton beras; (c) 1.084,78
ton jagung; (d) 20,39 ton kopi; dan (e) 215 ton rumput laut. Nilai dari
keseluruhan komoditas tersebut adalah Rp 179,95 milyar.
23. SRG di Batola mendapat support dari BI yang cukup besar. Mulai dari
batuan mesin drier (melalui program CSR), hingga sosialisasi tentang SRG
ke semua stakeholder dan mengkoordinasikan bank-bank agar
mendukung pelaksanaan SRG. Bank yang sudah terlibat dalam SRG di
Kalsel adalah Bank Kalsel dengan menerbitkan Skim Pembiayaan Kresigu.
24. Syarat utama agar SRG tetap eksis dan berkesinambungan adalah adanya
komitmen yang kuat dari pimpinan daerah (Bupati/Walikota). Seperti
Kasus di Batola, SRG masih aktif hingga saat ini karena Bupati sangat
mendukung pelaksanaan SRG dan pembangunan sektor pertanian.
xiii
Demikian juga jajaran di bawahnya seperti Diskoperindag dan Dinas
Pertanian sangat concern dalam mendukung pelaksanaan SRG.
25. Dari pelaksanaan SRG yang sudah berlangsung selama ini, pembeli gabah
RG adalah pedagang beras atau KUD. Salah satu hal menarik yang
diungkapkan melalui perwakilan gapoktan adalah sebaiknya SRG tidak
hanya difungsikan sebagai tunda jual tetapi dapat dikembangkan ke
pemasaran juga (hilir) dengan cara melengkapi gudang SRG dengan
RMU.
xiv
Jombang, Jepara, Banyumas, Kudus, Madiun, Mojokerto, Sragen, Nganjuk,
Ngawi, Banyuwangi, Pasuruan, Probolinggo, Tulungagung, Sampang, Barito
Kuala, Lombok Timur, Bantaeng, Sidrap, Pinrang, Gowa, Sumbawa, Grobogan,
Sumedang, Ciamis, Tangerang, Lombok Barat, Lebak, Tuban, Pasaman Barat,
Deli Serdang dan Kota Makassar.
31. Gudang yang telah melakukan SRG sebanyak 59 unit yang terdiri dari
gudang pemerintah sebanyak 32 unit dan gudang non-pemerintah
sebanyak 27 unit. Pengelolaan ke-59 gudang tersebut dilakukan oleh 7
lembaga, baik swasta, BUMN, maupun koperasi, yaitu: Petindo Daya
Mandiri (3 gudang), Koptan Bidara Tani (1 gudang), PT Pertani (44
gudang), PT Bhanda Ghara Reksa (7 gudang), Sucofindo (2 gudang),
Koperasi Selaras (1 gudang), dan Koperasi Niaga Mukti (1 gudang).
32. Sumber pembiayaan SRG berasal dari Lembaga Keuangan Bank seperti
BRI, Bank Jabar (BJB), Bank Jateng, Bank Jatim, Bank Kalsel, dan
Lembaga Keuangan Non-Bank seperti BPRS, Program Kemitraan dan Bina
Lingkungan (PKBL), PT Kliring Berjangka Indonesia (KBI) dan Lembaga
Pengelola Dana Bergulir (LPDB) Kementerian KUKM.
34. Walaupun trend perkembangan SRG cukup positif yaitu tercermin dari
peningkatan volume dan nilai RG, namun dibandingkan dengan jumlah
total komoditas pertanian yang ada serta keikutsertaan
petani/stakeholder lain maka SRG terbilang masih minim.
xv
petani/kelompok tani/Gapoktan/koperasi di gudang; (7) kurangnya
koordinasi antara Dinas Perindustrian dan Perdagangan dan stakeholder
lainnya; (8) tidak tersedianya mekanisme jaminan yang relatif terjangkau
bagi pelaku usaha apabila Pengelola Gudang mengalami pailit atau
melakukan kelalaian dalam pengelolaan (mishandling) sehingga tidak
dapat melaksanakan kewajibannya mengembalikan barang yang disimpan
di gudang sesuai dengan kualitas dan kuantitas yang tertera dalam Resi
Gudang; (9) pelimpahan SRG dari pendamping ke lembaga yang siap
menjalankan SRG, yaitu koperasi, memerlukan persiapan yang cukup
matang;
36. SRG akan dapat berjalan efektif apabila masing-masing stakeholder yang
terlibat dapat bersinergi dan memegang komitmen sesuai dengan yang
tertuang dalam Undang-Undang tentang SRG dan peraturan turunannya.
37. Titik lemah yang masih terlihat nyata dalam implementasi SRG adalah
kurangnya sosialisasi kepada stakeholder, terutama kepada
petani/klomtan. Oleh karena itu, sosialisasi SRG perlu dilakukan secara
lebih intensif dengan lebih memfokuskan target sosialisasi kepada
petani/kelompok tani/Gapoktan. Supaya lebih efektif, sosialisasi juga
perlu menggunakan bahasa yang lebih mudah dimengerti oleh petani.
38. Faktor kunci ketertarikan petani untuk bergabung dalam SRG adalah
adanya kejelasan pasar dan dukungan pendanaan sehingga tidak ada
keraguan petani dalam melaksanakan SRG.
39. Agar keberadaan SRG dapat dimanfaatkan petani secara lebih luas, maka
secara khusus Kementerian Pertanian perlu melakukan modifikasi atau
penyederhanaan prosedur SRG yang disesuaikan dengan kondisi sosial,
ekonomi dan budaya masyarakat setempat.
xvi
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR i
EXECUTIVE SUMMARY iii
RINGKASAN EKSEKUTIF x
DAFTAR ISI xvii
DAFTAR TABEL xviii
DAFTAR LAMPIRAN xix
I. PENDAHULUAN 1
1.1. Latar Belakang 1
1.2. Dasar Pertimbangan 3
1.3. Tujuan Penelitian 3
1.4. Keluaran yang Diharapkan 4
1.5. Perkiraan Manfaat dan Dampak 4
II. METODOLOGI 5
2.1. Kerangka Pemikiran 5
2.2. Ruang Lingkup Kegiatan 6
2.3. Lokasi Penelitian dan Responden 7
2.3.1. Dasar Pertimbangan 7
2.3.2. Lokasi dan Responden 7
2.4. Data dan Metoda Analisis 7
2.4.1. Jenis dan Sumber Data 7
2.4.2. Metoda Analisis 9
2.5. Analisis Risiko dan Solusinya 10
III. HASIL DAN PEMBAHASAN 11
3.1. Konsepsi dan Dasar Hukum serta Potensi SRG dalam 11
Mendukung Peningkatan Pendapatan Petani
3.1.1. Konsepsi SRG 11
3.1.2. Dasar Hukum SRG 14
3.1.3. Potensi SRG untuk Mendukung Peningkatan 18
Pendapatan Petani
3.2. Kinerja dan Efektivitas SRG dalam Meningkatkan 21
Pendapatan Petani
3.2.1. Kinerja Pengelolaan SRG 21
3.2.2. Efektivitas SRG dalam Peningkatan Pendapatan 31
Petani
3.3. Perkembangan dan Kendala Penerapan SRG dalam 37
Stabilitas Pendapatan Petani
3.3.1. Perkembangan SRG di Indonesia 37
3.3.2. Kendala Penerapan SRG 42
IV. Kesimpulan dan Implikasi Kebijakan 49
4.1. Kesimpulan 49
4.2. Implikasi Kebijakan 49
DAFTAR PUSTAKA 51
LAMPIRAN 53
xvii
DAFTAR TABEL
Tabel Halaman
xviii
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran Halaman
xix
I. PENDAHULUAN
1
ketersediaan uang tunai merupakan kebutuhan mendesak. Salah satu model
pemasaran alternatif tersebut adalah Sistem Resi Gudang (SRG). Model
pemasaran SRG ini memiliki dasar hukum yang kuat karena telah didukung
dengan UU No. 9 tahun 2006 tentang Sistem Resi Gudang (SRG) dan
diperbarui dengan UU No. 9 tahun 2011. Sebagai tindak lanjut agar SRG lebih
operasional, pemerintah telah mengeluarkan PP No. 36/2007.
Secara konseptual, dengan penerapan SRG petani dapat menunda
waktu penjualan hasil panen pada saat panen raya dimana harga cenderung
turun serta menunggu saat yang tepat untuk mendapatkan harga yang lebih
baik. Disamping dapat dimanfaatkan oleh kelompok tani dan UKM sebagai
bukti kepemilikan komoditas, RG juga dapat sekaligus dimanfaatkan sebagai
agunan untuk mendapatkan kredit dari perbankan/non-perbankan. SRG
dengan demikian diharapkan menjadi salah satu alternatif sistem pemasaran
yang dapat difungsikan sebagai instrumen untuk melindungi petani dari
kerugian akibat turunnya harga. SRG sudah diadopsi di banyak negara dan
secara umum berjalan relatif sukses. Dalam konteks yang lebih makro,
dengan SRG tidak saja bermanfaat membantu petani terhindar dari kerugian
akibat jatuhnya harga, tetapi juga dapat dijadikan sebagai instrumen untuk
menjaga stabilitas ketersediaan pangan.
Namun demikian, sebagai skim yang relatif baru manfaat SRG masih
belum teruji benar sebagai alternatif untuk meningkatkan pendapatan dan
pembiayaan pertanian. Sejumlah pertanyaan yang perlu dijawab adalah
apakah dari sisi konsep (format, aturan, dan operasionalisasi) SRG, sudah
sesuai dengan karakteristik petani dan usaha pertanian? Apakah SRG telah
efektif dalam meningkatkan atau stabilisasi pendapatan petani? Kendala apa
saja yang masih dihadapi dalam implementasi SRG serta solusi yang dapat
ditawarkan untuk mengoptimalkan peran SRG? Dengan masih banyaknya
pertanyaan tersebut, diperlukan sebuah kajian khusus untuk melihat secara
komprehensif tentang SRG dari aspek konsepsi, implementasi dan dampaknya
dalam meningkatkan pendapatan serta dukungan terhadap ketersediaan
modal usahatani sekaligus untuk menjaga stabilitas pendapatan petani.
2
1.2. Dasar Pertimbangan
3
1.4. Keluaran yang Diharapkan
Luaran yang ingin dicapai dari kegiatan ini adalah: (1) Hasil identifikasi
tentang pola-pola pemasaran komoditas pertanian yang eksis di lokasi
penelitian serta pola pemasaran alternatif yang berpeluang untuk
dikembangkan; (2) Informasi tentang konsepsi dan potensi SRG dalam
mendukung peningkatan pendapatan dan stabilisasi pelaku usaha pertanian
baik pada tataran konsep maupun implementasinya; (3) Informasi tentang
efektivitas SRG dalam stabilisasi pendapatan petani; (4) Informasi mengenai
kendala penerapan SRG di sektor pertanian, serta (5) Rekomendasi kebijakan
optimalisasi SRG sebagai alternatif model pemasaran di sektor pertanian.
4
II. METODOLOGI
5
SRG diharapkan akan dapat menjawab berbagai pertanyaan yang muncul
tersebut.
6
2.3. Lokasi Penelitian dan Responden
Data Sekunder
7
dan lembaga pendukung lainnya. Kebutuhan serta sumber data sekunder
dan informasi yang diperlukan dalam kegiatan penelitian ini disajikan pada
Tabel 1.
Data Primer
Data primer diperoleh dari berbagai jenis responden yang telah
ditetapkan (Tabel 2). Secara umum jenis dan sumber data (baik primer
maupun sekunder) dari penelitian ini (dari Tujuan1-4) adalah: (1) Peraturan
perundang-undangan yang terkait dengan SRG, (2) Laporan monitoring dan
evaluasi program yang dilakukan oleh perencana dan pelaksana SRG pada
semua tingkatan dan institusi (pusat dan daerah); (3) Hasil penelitian dan
pengkajian yang terkait dengan SRG yang dilakukan oleh berbagai pihak
(lembaga penelitian, perguruan tinggi, instansi perencana/pelaksana) di pusat
maupun di daerah; (4) Laporan dan informasi dari pihak bank pelaksana
terkait skim SRG; (5) Tanggapan berbagai pihak (praktisi/pemerhati/NGO,
8
dll.) terhadap kenerja SRG di berbagai media-masa dan penerbitan kainnya;
dan (6) Data/informasi/ persepsi terkait dengan SRG yang dikumpulkan dari
perencana, pelaksana, peserta, dan informan kunci di pusat/daerah/desa
penelitian dengan menggunakan kuesioner terstruktur dan semi-terstruktur
yang telah disiapkan.
9
Alat analisis untuk perumusan alternatif rumusan perbaikan kebijakan
SRG ke depan dimulai dengan analisa konsepsi SRG (Undang-undang, PP,
Permen, Perda), evaluasi terhadap implementasi dan efektivitas SRG dan
identifikasi terhadap kendala-kendala yang dihadapi dalam implementasi SRG.
Dari semua informasi dan data yang terhimpun selanjutnya dilakukan sintesis
secara mendalam dan komprehensif untuk dicari rumusan solusi yang paling
optimal dalam pengembangan SRG untuk sektor pertanin di masa
mendatang. Usulan alternatif rumusan kebijakan juga dilakukan melalui
proses rekonfirmasi dengan para penentu kebijakan terkait.
10
III. HASIL DAN PEMBAHASAN
11
bahwa barang yang dimaksud hanya dapat diserahkan kepada pihak yang
namanya telah ditetapkan.
Sebagaimana surat berharga, resi gudang juga dapat diperjualbelikan
sehingga ada transaksi derivatifnya. Derivatif resi gudang adalah turunan resi
gudang yang dapat berupa kontrak berjangka resi gudang, opsi atas resi
gudang, indeks atas resi gudang, surat berharga diskonto resi gudang, unit
resi gudang, atau derivatif lainnya dari resi gudang sebagai instrumen
keuangan. Derivatif Resi Gudang ini hanya dapat diterbitkan oleh bank,
lembaga keuangan non-bank, dan pedagang berjangka yang telah mendapat
persetujuan Badan Pengawas.
Perdagangan resi gudang di Indonesia diatur oleh suatu badan yang
disebut ”Badan Pengawas Sistem Resi Gudang”, yaitu suatu unit organisasi di
bawah Menteri yang diberi wewenang untuk melakukan pembinaan,
pengaturan, dan pengawasan pelaksanaan sistem resi gudang. Resi gudang
yang diperdagangkan di Indonesia wajib untuk melalui suatu proses penilaian
yang dilakukan oleh suatu lembaga terakreditasi yang disebut ”Lembaga
Penilaian Kesesuaian” yang berkewajiban untuk melakukan serangkaian
kegiatan guna menilai atau membuktikan bahwa persyaratan tertentu yang
berkaitan dengan produk, proses, sistem, dan/atau personel terpenuhi. Pihak
yang mendapat kewenangan melakukan penatausahaan resi gudang dan
derivatif resi gudang yang meliputi pencatatan, penyimpanan,
pemindahbukuan kepemilikan, pembebanan hak jaminan, pelaporan, serta
penyediaan sistem dan jaringan informasi adalah ”Pusat Registrasi Resi
Gudang” yang merupakan suatu badan usaha yang berbadan hukum.
Resi gudang memuat sekurang-kurangnya: (1) judul resi gudang; (2)
jenis resi gudang yaitu ”resi gudang atas nama” atau ”resi gudang atas
perintah”; (3) nama dan alamat pihak pemilik barang; (4) lokasi gudang
tempat penyimpanan barang; (5) tanggal penerbitan; (6) nomor penerbitan;
(7) waktu jatuh tempo; (8) deskripsi barang; (9) biaya penyimpanan; (10)
tanda tangan pemilik barang dan pengelola gudang; dan (11) nilai barang
berdasarkan harga pasar pada saat barang dimasukkan ke dalam gudang.
12
Adapun komoditas atau barang yang dimaksud dalam undang-undang
dan peraturan tentang SRG adalah setiap benda bergerak yang dapat
disimpan dalam jangka waktu tertentu dan diperdagangkan secara umum.
Untuk komoditas RG, menurut Bappebti (2011) dan Ashari (2007), paling
sedikit harus memenuhi persyaratan sebagai berikut: (a) memiliki daya
simpan paling sedikit 3 (tiga) bulan, (b) memenuhi standar mutu tertentu, (c)
jumlah minimum barang yang disimpan, (d) harga berfluktuasi; rendah
(musim panen) dan tinggi (musim tanam/paceklik) dan memiliki peluang ada
kenaikan harga di masa mendatang, dan (e) mempunyai pasar dan informasi
harga yang jelas. Disamping itu, komoditas tersebut merupakan komoditas
yang potensial dan sangat berperan dalam perekonomian daerah setempat
dan nasional, misalnya untuk ketahanan pangan maupun ekspor (sumber
devisa).
Dalam Permendag No. 26/M-DAG/PER/6/2007 telah ditetapkan 8
komoditas pertanian sebagai barang yang dapat disimpan di gudang dalam
penyelenggaraan SRG. Kedelapan komoditas itu adalah: (1) gabah, (2) beras,
(3) kopi, (4) kakao, (5) lada, (6) karet, (7) rumput laut dan (8) jagung.
Penetapan komoditas lainnya tentang barang dalam SRG dilakukan dengan
mempertimbangkan rekomendasi dari Pemda, instansi terkait atau asosiasi
komoditas. Namun demikian harus tetap memperhatikan persyaratan Pasal 3
SK. Mendag No. 26/2007 tentang daya simpan, standar mutu, serta jumlah
minimum barang yang disimpan.
Dalam SRG dikenal ada beberapa kelembagaan yang terlibat. Dalam
UU No. 9 tahun 2006 diatur tentang lembaga Badan Pengawas Resi Gudang,
Pengelola Gudang, Lembaga Penilaian Kesesuaian, Pusat Registrasi serta
Hubungan Kelembagaan Pusat dan Daerah. Namun, dalam perkembangannya
terdapat beberapa kelemahan di lapangan yang sangat menghambat
perkembangan Resi Gudang, di antaranya adalah dengan tidak tersedianya
mekanisme jaminan yang relatif terjangkau bagi pelaku usaha apabila
Pengelola Gudang mengalami pailit atau melakukan kelalaian dalam
pengelolaan (mishandling) sehingga tidak dapat melaksanakan kewajibannya
13
mengembalikan barang yang disimpan di gudang sesuai dengan kualitas dan
kuantitas yang tertera dalam Resi Gudang.
Dengan kondisi di atas, akhirnya DPR sebagaimana dilaporkan Antara
(2011), melakukan amandemen UU No. 9/2006, yaitu UU No. 9/2011
dengan menambahkan Lembaga Jaminan Resi Gudang. Dengan dibentuknya
Lembaga Jaminan Resi Gudang diharapkan kepercayaan pelaku usaha
(pemegang Resi Gudang, bank, dan Pengelola Gudang) terhadap integritas
Sistem Resi Gudang akan makin meningkat. Dengan demikian, seluruh pelaku
usaha dari skala besar (pedagang, prosesor, eksportir, dan perusahaan
perkebunan) sampai skala kecil (petani, kelompok tani, gabungan kelompok
tani, dan koperasi) merasa terlindungi dengan mempergunakan SRG.
14
berupa RG. Sifat RG tersebut tidak dapat dibebani dengan salah satu
lembaga jaminan yang sudah ada seperti hak tanggungan, gadai atau fidusia.
Dasar hukum SRG diatur dalam Undang-Undang (UU) RI No. 9 Tahun
2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 9 Tahun 2006 tentang
Sistem Resi Gudang. Menurut UU tersebut SRG adalah kegiatan yang
berkaitan dengan penerbitan, pengalihan, penjaminan, dan penyelesaian
transaksi RG. Sedangkan RG adalah dokumen bukti kepemilikan atas barang
yang disimpan di Gudang yang diterbitkan oleh Pengelola Gudang. SRG,
selain diatur oleh Undang-Undang juga didukung oleh Peraturan Pemerintah
(PP), Peraturan Menteri (Permen), dan Surat Keputusan (SK) antara lain:
- Peraturan Pemerintah No. 36 Tahun 2007 tentang pelaksanaan
Undang-Undang No. 9 Tahun 2006 tentang Sistem Resi Gudang.
- Peraturan Menteri Perdagangan RI No. 37/M-DAG/PER/11/2011
tentang Barang yang Dapat Disimpan dalam Penyelenggaraan Sistem
Resi Gudang.
- Peraturan Menteri Keuangan RI No. 171/PMK.05/2009 tentang Skema
Subsidi Resi Gudang.
- Peraturan Menteri Perdagangan RI No. 66/M-DAG/PER/12/2009
tentang Pelaksanaan Skema Subsidi Resi Gudang.
- Surat Keputusan/Peraturan Kepala Bappebti No. 01/BAPPEBTI/PER-
SRG/7/2007 dan Lampiran SK tersebut tentang Persyaratan dan Tata
Cara untuk Memperoleh Persetujuan sebagai Pengelola Gudang.
- Surat Keputusan/Peraturan Kepala Bappebti No. 02/BAPPEBTI/PER-
SRG/7/2007 dan Lampiran SK tersebut tentang Persyaratan dan Tata
Cara untuk Memperoleh Persetujuan sebagai Gudang dalam Sistem
Resi Gudang.
- Surat Keputusan/Peraturan Kepala Bappebti No. 03/BAPPEBTI/PER-
SRG/7/2007 dan Lampiran SK tersebut tentang Persyaratan Umum dan
Persyaratan Teknis Gudang.
- Surat Keputusan/Peraturan Kepala Bappebti No. 04/BAPPEBTI/PER-
SRG/7/2007 dan Lampiran SK tersebut tentang Persyaratan dan Tata
15
Cara untuk Memperoleh Persetujuan sebagai Lembaga Penilai
Kesesuaian dalam Sistem Resi Gudang.
- Surat Keputusan/Peraturan Kepala Bappebti No. 05/BAPPEBTI/PER-
SRG/7/2007 dan Lampiran SK tersebut tentang Persyaratan dan Tata
Cara untuk Memperoleh Persetujuan sebagai Pusat Registrasi.
- Surat Keputusan/Peraturan Kepala Bappebti No. 06/BAPPEBTI/PER-
SRG/7/2007 tentang Penetapan Hari Kerja dalam Sistem Resi Gudang.
- Surat Keputusan/Peraturan Kepala Bappebti No. 07/BAPPEBTI/PER-
SRG/7/2007 dan Lampiran SK tersebut tentang Pedoman Teknis
Penerbitan Resi Gudang.
- Surat Keputusan/Peraturan Kepala Bappebti No. 08/BAPPEBTI/PER-
SRG/7/2007 dan Lampiran SK tersebut tentang Pedoman Teknis
Pengalihan Resi Gudang.
- Surat Keputusan/Peraturan Kepala Bappebti No. 09/BAPPEBTI/PER-
SRG/7/2007 dan Lampiran SK tersebut tentang Pedoman Teknis
Penjaminan Resi Gudang.
- Surat Keputusan/Peraturan Kepala Bappebti No. 10/BAPPEBTI/PER-
SRG/7/2007 dan Lampiran SK tersebut tentang Pedoman Teknis
Penyelesaian Transaksi Resi Gudang.
- Surat Keputusan/Peraturan Kepala Bappebti No. 11/BAPPEBTI/PER-
SRG/7/2007 tentang Persyaratan Keuangan bagi Pengelola Gudang.
- Surat Keputusan/Peraturan Kepala Bappebti No. 12/BAPPEBTI/PER-
SRG/7/2007 dan Lampiran SK tersebut tentang Tata Cara Penyampaian
Laporan Pengelola Gudang, Lembaga Penilaian Kesesuaian dan Pusat
Registrasi.
- Surat Keputusan/Peraturan Kepala Bappebti No. 13/BAPPEBTI/PER-
SRG/7/2007 dan Lampiran SK tersebut tentang Tata Cara Pemeriksaan
Teknis Kelembagaan dalam Sistem Resi Gudang.
- Surat Keputusan/Peraturan Kepala Bappebti No. 14/BAPPEBTI/PER-
SRG/7/2007 dan Lampiran SK tersebut tentang Jenis Perizinan di
Bidang Sistem Resi Gudang, Prosedur Operasi Standar ( Standard
16
Operating Procedure) dan Tingkat Layanan (Service Level
Arrangement).
Adanya UU tentang RG serta berbagai peraturan pelaksanaannya
seperti tersebut di atas dimaksudkan untuk memberikan kepastian hukum,
menjamin dan melindungi kepentingan masyarakat, kelancaran arus barang,
efisiensi biaya distribusi barang, serta mampu menciptakan iklim usaha yang
dapat lebih mendorong laju pembangunan nasional. Dengan demikian, RG
terjamin memiliki nilai yang sama dengan nilai komoditas yang dinyatakan
dalam Resi, dapat diagunkan dan dapat dipindahtangankan selama masih
berlaku.
Pemerintah Pusat, selain membangun gudang SRG dan sarana lainnya
juga menyediakan fasilitas subsidi bunga bank, dimana petani hanya
terbebani bunga bank sebesar 6 persen dari nilai dana yang diterima. Di
Kabupaten Cianjur Bank/Lembaga Keuangan yang membiayai atau
menyalurkan kredit dalam SRG yaitu Bank Jabar (BJB Cabang Kabupaten
Cianjur), sedangkan di Kabupaten Barito Kuala adalah Bank Kalsel (Bank
Kalsel Cabang Marabahan). Adapun dasar hukum bagi Bank untuk dapat
memberikan pinjaman atas RG yaitu Peraturan Bank Indonesia No.
9/6/PBI/2007 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Bank Indonesia No.
7/2/PBI/2005 tentang Penilai Kualitas Aktiva Umum. Dengan adanya
Peraturan Bank Indonesia Tersebut maka dapat menjadi dasar bagi Bank
untuk mengakui RG sebagai jaminan kredit yang bisa dijadikan agunan
kepada Bank.
Seperti telah disebutkan di atas bahwa sebagai stimulus dalam
penerapan SRG sebagai jaminan, pemerintah telah memberikan subsidi bunga
kepada petani, kelompok tani, Gapoktan, dan koperasi yang memperoleh
fasilitas kredit dan atau pembiayaan dari Bank lembaga pembiayaan lainnya
dengan jaminan RG ditetapkan dalam Permenkeu No. 171/PMK/05/2009
tentang Skema Subsidi Resi Gudang.
17
3.1.3. Potensi SRG untuk Mendukung Peningkatan
Pendapatan Petani
18
tukar petani, (b) Di era perdagangan bebas, RG sangat diperlukan untuk
membentuk petani menjadi petani pengusaha dan petani mandiri, dan (c)
SRG bisa memangkas pola perdagangan komoditas pertanian sehingga petani
bisa mendapatkan peningkatan harga jual komoditas.
Masih menurut Sadaristuwati (2008) keberadaan SRG tidak hanya
bermanfaat bagi kalangan petani tetapi juga pelaku ekonomi lainnya seperti
dunia perbankan, pelaku usaha dan serta bagi pemerintah. Di antara manfaat
SRG tersebut adalah: (1) ikut menjaga kestabilan dan keterkendalian harga
komoditas; (2) memberikan jaminan modal produksi karena adanya
pembiayaan dari lembaga keuangan; (3) keleluasaan penyaluran kredit bagi
perbankan yang minim risiko; (4) ada jaminan ketersediaan barang; (6) ikut
menjaga stok nasional dalam rangka menjaga ketahanan dan ketersediaan
pangan nasional; (7) lalu lintas perdagangan komoditas menjadi lebih
terpantau; (8) bisa menjamin ketersediaan bahan baku industri, khususnya
agroindustri; (9) mampu melakukan efisiensi baik logistik maupun distribusi;
(10) dapat memberikan kontribusi fiskal kepada pemerintah; dan (11)
mendorong tumbuhnya industri pergudangan dan bidang usaha yang terkait
dengan SRG lainnya.
Secara lebih komprehensif Bappebti (2011b) mengemukakan bahwa
manfaat SRG akan diterima oleh semua stakeholder, yaitu: petani, usaha
pergudangan, perusahaan pengguna komoditas/prosesor, dan perbankan.
Bahkan, dalam tataran yang lebih makro manfaat SRG juga akan berdampak
positif pada perekonomian daerah dan nasional (Tabel 4).
Dalam aspek ketersediaan dana, menurut BRI (2008) secara teori
peluang pengembangan SRG sebagai alternatif pembiayaan pertanian dengan
dukungan perbankan sangat terbuka. Hal ini didasarkan pada argumen
sebagai berikut: (1) secara kumulatif potensi pertanian besar; (2) jangka
waktu kredit SRG relatif pendek; (3) analisis kelayakan nasabah; (4)
dilaksanakan oleh Lembaga Penilai Kesesuaian (LPK), pengelola gudang dan
asuransi; serta (5) bank hanya deal dengan dokumen resi gudang.
19
Tabel 4. Potensi manfaat SRG bagi berbagai Stakeholder
No. Stakeholder Manfaat
1. Petani/Produsen Mendapatkan harga yang lebih baik (menunda
waktu penjualan).
Kepastian kualitas dan kuantitas atas barang yang
disimpan.
Mendapatkan pembiayaan dengan cara yang tepat
dan mudah.
Mendorong berusaha secara berkelompok sehingga
meningkatkan posisi tawar.
2. Pergudangan Mendorong tumbuhnya industri pergudangan dan
bidang usaha terkait.
Mendapatkan income dari jasa pergudangan
3. Perusahaan Meningkatkan akses untuk mendapatkan sumber
Pengguna bahan baku yang berkualitas.
Komoditas/Prosesor Mengurangi biaya penyimpanan.
Perencanaan supply yang lebih baik.
4. Pedagang/Eksportir Ketersediaan atas volume dan kualitas.
Supply tersedia sepanjang musim.
Terdapatnya pembiayaan bagi perdagangan (ekspor)
RG sebagai dokumen transaksi Letter of Credit akan
menambah keyakinan para pihak termasuk bank
(issuing bank and nominated bank)
Mencegah/mengurangi terjadinya fraud dalam
transaksi ekspor
5. Perbankan Tumbuhnya peluang baru: jasa perbankan di daerah
(propinsi dan kabupaten).
Perlindungan yang tinggi atas jaminan
Jaminan bersifat liquid.
Aktivitas penyaluran kredit yang aman dan
menguntungkan.
Pengenalan dan pemanfaatan produk perbankan
bagi petani/UKM berupa kredit RG serta produk
perbankan lainnya (tabungan, deposito dll.).
Pembiayaan transaksi dalam negeri dan ekspor
6. Perekonomian Mendorong tumbuhnya pelaku usaha (petani
Daerah/Nasional produsen/eksportir), industri pergudangan, jasa
perbankan, jasa asuransi, jasa pengujian mutu, dll.
di daerah.
Sarana pengendalian sediaan (stok) nasional yang
lebih efisien
Sumber: Bappebti (2011b), diolah.
Hasil kajian empiris dan ilmiah tentang potensi manfaat SRG, terutama
untuk petani, masih sangat terbatas. Namun, studi Kurniawan (2009) di
Kabupaten Majalengka tentang SRG menyimpulkan bahwa dari hasil struktur
pendapatan usahatani padi, petani yang berpartisipasi di SRG memiliki
20
pendapatan lebih tinggi dibandingkan dengan petani Non SRG. Dengan
demikian, SRG memiliki kemampuan menghasilkan penerimaan tunai yang
lebih baik. Hasil studi Yudho (2008) juga menunjukkan SRG cukup efektif dan
memberikan manfaat lindung nilai bagi petani. Biaya untuk RG masih lebih
rendah dibandingkan penerimaan yang diterima dengan mengikuti SRG.
21
disimpan di gudang. Pengelola gudang berperan menerbitkan RG yang
bertugas melakukan penyimpanan, pemeliharaan dan pengawasan komoditas
yang disimpan oleh pemilik komoditas.
Terkait dengan hal tersebut diatas, lembaga-lembaga yang memegang
peranan penting dalam mendukung eksistensi dan kredibilitas serta kinerja
SRG diantaranya: (1) Pengelola Gudang; (2) Badan Pengawas SRG; dan (3)
Lembaga Penilaian Kesesuaian. Dalam mekanisme SRG, keberadaan
pengelola gudang sebagai penerbit RG peranannya sangat dibutuhkan dalam
pengembangan SRG, karena pengelola gudang harus dapat memberikan
keyakinan kepada masyarakat dan pengguna RG bahwa RG yang diterbitkan
sesuai dengan keadaan komoditas yang disimpan di gudang.
Secara nasional, menurut Kepala Bappebti menyebutkan, bahwa
hingga 25 Juni 2013, jumlah RG yang telah diterbitkan sebanyak 931 lembar
dengan total volume komoditas 37.250,50 ton terdiri dari: (a) 32.193,16 ton
gabah; (b) 3.737,20 ton beras; (c) 1.084,78 ton jagung; (d) 20,39 ton kopi;
dan (e) 215 ton rumput laut. Nilai dari keseluruhan komoditas tersebut adalah
Rp 179,95 milyar. Di bawah ini disajikan secara rinci kinerja SRG di Kabupaten
Cianjur, Provinsi Jawa Barat dan Kabupaten Barito Kuala di Provinsi Kalimanan
Selatan.
22
Pendamping dengan PT. Pertani, Pembentukan Tim SRG dengan SKPD yang
ditandatangani Bupati, penunjukan calon pengelola (Koperasi Niaga Mukti),
dan tanggal 8 April 2011 terbit RG perdana di Kabupaten Cianjur.
Data dari Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura serta
Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kabupaten Cianjur menunjukkan bahwa
luas lahan sawah di Kabupaten Cianjur adalah sekitar 65.000 hektar dengan
tingkat produksi sebesar 390.000 ton Gabah Kering Panen (GKP) per musim
tanam. Dengan asumsi bahwa konversi dari GKP ke GKG (Gabah Kering
Giling) adalah sebesar 80%, maka tingkat produksi padi di Kabupaten Cianjur
adalah sebesar 312 ton/musim GKG. Dengan kapasitas maksimum gudang
SRG sebesar 1.500 ton, data tersebut menunjukkan bahwa kapasitas gudang
SRG tersebut hanya mencapai sekitar 0.4% dari total produksi padi per
musim di Kabupaten Cianjur; suatu besaran yang sangat kecil dibandingkan
kebutuhannya supaya SRG berfungsi secara efektif sesuai dengan tujuannya.
Kondisi tersebut mengindikasikan bahwa kapasitas gudang SRG
Kabupaten Cianjur perlu ditingkatkan. Hal tersebut dapat dilakukan dengan
membangun beberapa gudang-gudang sejenis di sentra-sentra produksi padi
agar bisa menampung sekitar 50 – 75 persen produksi padi di Kabupaten
Cianjur. Solusi lainnya adalah dengan memberdayakan lumbung-lumbung
atau gudang pabrik beras yang ada di masyarakat yang tidak digunakan,
namun tetap di bawah koordinasi dan tanggung jawab gudang SRG
Kabupaten Cianjur.
Berdasarkan data dan informasi dari Pengurus Koperasi Niaga Mukti
sebagai Pengelola Gudang SRG Kabupaten Cianjur tahun 2011 jumlah
kumulatif gabah yang disimpan adalah sebanyak 261 ton yang terdiri dari 17
lembar resi dengan total nilai sebesar Rp 1.453.600.000 berdasarkan nilai
resi. Resi tersebut dimanfaatkan oleh petani untuk diagunkan ke Bank BJB
Cabang Cianjur dengan total nilai kredit Rp 1.011.500.000. Pada tahun 2012
jumlah kumulatif gabah yang disimpan adalah sebesar 1.573, 245 ton yang
terdiri dari 59 lembar resi dengan total nilai sebesar Rp 9.007.541.000
berdasarkan nilai resi. Resi tersebut juga dimanfaatkan oleh petani untuk
diagunkan ke Bank BJB Cabang Cianjur dengan total nilai kredit Rp
23
5.823.079.200. Sementara itu, pada tahun 2013 hingga akhir bulan Juni,
jumlah kumulatif gabah yang disimpan adalah sebanyak 671,025 ton terdiri
dari 20 lembar resi dengan total nilai sebesar Rp 3.688.942.500 berdasarkan
nilai resi (Tabel 5). Resi tersebut dimanfaatkan oleh petani untuk diagunkan
ke Bank BJB Cabang Cianjur dengan total nilai kredit sebesar Rp
2.582.259.750. Adapun jenis padi yang disimpan di gudang SRG Kabupaten
Cianjur diantaranya adalah Impari, Ciherang, Muncul, dan Sintanur. Gabah
yang disimpan di gudang SRG tersebut berasal dari 9 kecamatan, yaitu
Cidaun, Cilaku, Karangtengah, Ciranjang, Cibeber, Warungkondang,
Gekbrong, Cianjur, dan Bojongpicung.
24
wilayah produksi dan penyangga ketahanan pangan yang penting untuk
kawasan Provinsi Kalimantan Selatan dengan luas lahan sawah 95.000 hektar.
Dengan luasan tersebut Batola mampu menyumbang sekitar 17,28 persen
dari total produksi Kalsel (1.827.197 ton) atau menempati peringkat satu
diantara kabupaten lainnya.
Sebagaimana lazimnya daerah sentra produksi, pada saat panen raya
harga gabah di Batola cenderung turun sehingga dapat merugikan petani.
Kondisi ini menjadi pemicu kesadaran bahwa sesungguhnya pembangunan
sektor pertanian tidak cukup hanya berkaitan dengan budidaya, tetapi
diperlukan terobosan strategi pada aspek pemasaran. Untuk mengatasi
permasalahan tersebut Dinas Koperasi Perindustrian, dan Perdagangan
(Diskoperindag) Kabupaten Batola mengadopsi skim pemasaran dengan SRG.
Dalam pelaksanaan SRG ini, Diskoperindag juga melibatkan instansi lainnya,
terutama Dinas Pertanian TPH. SRG merupakan alternatif peningkatan daya
saing dan solusi pembiayaan bagi petani/UMKM bertujuan mendorong
pembangunan bidang ekonomi di sektor pertanian untuk mendukung
ketahanan pangan.
Pihak Pemda Kabupaten Batola mengharapkan dengan SRG dapat
memberikan manfaat bagi petani, diantaranya: (1) mendapatkan harga lebih
baik melalui tunda jual; (2) kepastian kualitas dan kuantitas barang yang
disimpan (uji mutu); (3) mendapatkan jaminan keamanan (asuransi); (4)
mendapatkan pembiayaan secara tepat dan murah; dan (5) mendorong
kegiatan berkelompok sehingga meningkatkan posisi tawar. Dalam struktur
SRG melibatkan beberapa lembaga yang memungkinkan terwujudnya
harapan tersebut yaitu: (1) Badan Pengawas, (2) Pelaku usaha, (3) Pengelola
gudang, (4) Lembaga penilaian kesesuaian (uji mutu), (5) Lembaga asuransi,
(6) Pusat registrasi, dan (7) Lembaga pembiayaan.
Dukungan Pemda Kabupaten Batola terhadap implementasi SRG di
Kabupaten Batola sangat kuat. Dukungan Pemda Kabupaten Batola terhadap
SRG dilakukan dengan penyiapan dana melalui APBD dan kerjasama dengan
pihak terkait yang diwujudkan dalam bentuk: (1) sosialisasi, studi banding,
dan simulasi SRG, (2) pelatihan management fee, (3) subsidi pembiayaan
25
penyimpanan di gudang untuk petani, kelompok tani, gapoktan, koperasi dan
UMKM, (4) penyempurnaan fasilitas dan peralatan gudang (pengerasan
halaman dan area parkir), dan (5) bantuan rumah drier dan drier dengan
kerjasama dengan BI, Bank Kalsel, Bank Mandiri, BNI dan BMPD Kalsel.
Di Kabupaten Batola, Gudang SRG berlokasi di Jl. Raya Handil Bakti,
Desa Puntik Dalam, Kecamatan Mandastana. Gudang ini mulai beroperasi
sejak tanggal 10 Oktober 2010 dan diresmikan oleh Kemendag pada 17
Desember 2010. Operasional gudang tersebut ditetapkan berdasarkan Surat
Keputusan Bappebti No. 11/BAPPEBTI/Kep-SRG/SP/GD/09/2010 tanggal 21
September 2013.
Pengelolaan gudang SRG Batola dilakukan melalui Perjanjian
Kerjasama (MoU) pengelolaan gudang antara Pemda Kabupaten Batola
dengan PT. Bhanda Ghara Reksa selaku Pengelola Gudang. Perjanjian
kerjasama tersebut diperbaharui setiap tahun dan telah dilaksanakan sejak
tahun 2010 hingga tahun 2013.
Dalam penyelenggaraan SRG di Kabupaten Batola tersebut biaya
pengelolaan gudang oleh PT. BGR ditetapkan berdasarkan Surat Keputusan
Bupati Batola yang diperbaharui setiap tahun. SK Bupati Batola No.
188.45/28/KUM/2013 tanggal 9 Januari 2013, menerangkan bahwa segala
biaya pengelolaan gudang dalam penyelenggaraan SRG dibebankan pada
APBD Kabupaten Batola Cq. DPA Diskoperindag TA. 2013. Dengan demikian,
selama tiga tahun tersebut penyelenggaraan SRG di Kabupaten Batola
disubsidi oleh Pemda Kabupaten Batola sebesar Rp 150 juta/tahun, yang
meliputi: (1) imbal jasa atas pengelolaan gudang (Kepala Gudang, Checker,
Satpam, Tenaga Administrasi dan Jaga Malam); dan (2) biaya administrasi/
ATK.
Selain itu, untuk biaya penyimpanan barang (pengelolaan gudang
barang masuk/ keluar, asuransi, perawatan dan fumigasi, serta uji mutu) juga
masih disubsidi oleh Pemda Kabupaten Batola di luar subsidi Pemda
Kabupaten Batola yang besarnya Rp 150 juta. Namun, mulai panen dan
penyimpanan tahun 2013 ini (pada Agustus/ September) subsidi tersebut
dicabut. Dengan demikian, petani harus membayar biaya penyimpanan
26
barang sebesar Rp 57/kg GKG. Pencabutan subsidi biaya penyimpanan gabah
tersebut dikhawatirkan akan menyurutkan minat petani untuk mengikuti SRG
karena selama ini sudah terbiasa dimanjakan dengan subsidi Pemda, namun
sampai saat penelitian ini dilakukan, belum terlihat dampak dari pencabutan
subsidi tersebut.
PT. BGR ditetapkan sebagai pengelola gudang SRG berdasarkan Surat
Persetujuan Badan Pengawas No. 07/BAPPEBTI/Kep-SRG/SP/PG/2/2008,
tanggal 15 Februari 2008. Peran PT. BGR sebagai pengelola gudang adalah
sebagai berikut: (1) Memberikan pelayanan kepada pengguna RG; (2)
Menjamin keamanan dan keutuhan barang yang disimpan; (3) Memberikan
proteksi risiko kepada “pemilik” barang; (4) Memudahkan pemilik barang
untuk memperoleh kredit; (5) Penyedia data ketersediaan barang secara
periodik.
Sebagai pengelola gudang, beberapa risiko yang dihadapi PT. BGR
diantaranya: (1) kehilangan (pencurian dan kolusi); (2) kebakaran dan
bencana alam; (3) kesusutan/kerusakan. Sementara itu, yang menjadi
tanggung jawab pengelola gudang adalah apabila terjadi kesalahan penulisan
dalam RG dan terjadi kehilangan dan/atau kerugian, yang disebabkan oleh
kelalaiannya dalam penyimpanan dan penyerahan barang. Selama tiga tahun
terakhir ini PT. BGR dalam kesepakatannya menjadi pengelola gudang,
namun demikian apabila pengelola gudang dilakukan oleh lembaga lainnya
PT. BGR bisa berperan sebagai pendamping pengelola gudang.
Dalam praktek SRG di Batola, mekanisme penyerahan gabah ke
gudang dilakukan dengan melalui tahapan berikut: (1) gabah dari kelompok
tani dibawa ke gudang SRG Batola; (2) sebelum masuk gudang barang
diperiksa oleh Checker untuk melihat kualitas (kadar air, dsb); (3) jika
dinyatakan layak barang tersebut diterima ke gudang dengan asuransi dari
Jasindo, namun jika kualitas barang masih kurang baik (kadar air tinggi)
dilakukan pengeringan dengan drier yang tersedia di gudang; (4) jika sudah
layak dengan kualifikasi tertentu, pihak gudang memberikan bukti (resi)
kepada kelompok tani, (5) resi tersebut dapat dijadikan sebagai agunan untuk
meminjam modal di bank. Hal ini, sama dilakukan juga pada gudang SRG di
27
Kabupaten Cianjur. Mekanisme tersebut mengacu pada Bagan Alir/Prosedur
Operasi Standar di Pengelola Sistem Resi Gudang (Lampiran 1).
Hal positif dalam implementasi SRG di Batola adalah peran BI yang
cukup besar. Selain membantu drier (melalui program CSR), BI juga
melakukan sosialisasi tentang SRG ke semua stakeholder dan
mengkoordinasikan bank-bank agar mendukung pelaksanaan SRG. Bank yang
sudah terlibat dalam SRG di Kalsel selama 3 tahun berjalan ini adalah Bank
Kalsel dengan menerbitkan Skim Pembiayaan Kresigu. Dengan keikutsertaan
perbankan di SRG sebetulnya kinerja bank tersebut dapat dikatakan semakin
baik, karena bank semakin banyak/variasi menjalankan skim pembiayaan.
Dukungan terhadap SRG juga datang dari akademisi di fakultas hukum Pasca
Sarjana Unlam, SRG sudah dimasukkan sebagai mata kuliah wajib di Progam
Pasca Sarjana.
Perbankan yang sudah terlibat dalam penyelenggaraan SRG selama 3
tahun ini adalah Bank Kalsel Cabang Marabahan Batola dengan nama Kredit
Resi Gudang (Kresigu). Kresigu bertujuan membantu penyediaan dana modal
kerja atau investasi dalam rangka memperlancar, meningkatkan dan
mengembangkan kegiatan usaha pertanian atau perdagangan hasil pertanian.
Adapun penerima Kresigu adalah petani, kelompok tani, Gapoktan, koperasi,
pedagang pengusaha dan Badan Usaha WNI sebagai pemegang RG yang
merupakan pemilik barang atau pihak yang menerima pengalihan dari pemilik
barang.
Bentuk dan struktur Kresigu adalah sbb.: (1) plafon kredit sebesar
70% dari nilai RG dan tidak dipersyaratkan agunan lainnya; (2) sisa sebesar
30% merupakan nilai kompensasi risiko apabila harga pasar komoditas di RG
menurun dibandingkan harga pasar saat komoditas disimpan di gudang; (3)
pembayaran bunga dapat dilakukan pada saat kredit jatuh tempo/dibayar
setiap bulannya/sesuai kondisi cash flow debitur; (4) tingkat suku bunga
12%, namun dalam operasionalnya subsidi suku bunga Kemenkeu 6%,
sehingga beban bunga riil debitur hanya sebesar 6%; (5) jangka waktu
bervariasi dan maksimal 10 hari sebelum berakhirnya jangka waktu RG.
28
Fakta di lapangan menunjukkan bahwa umumnya petani akan menjual
gabahnya setelah 3-4 bulan disimpan. Terkait dengan masa penyimpan
komoditas di gudang ini, sesuai SOP pihak pengelola gudang akan
memberitahukan ke pemilik RG ketika masa simpan komoditas akan habis
(maksimal 6 bulan). Lebih dari 6 bulan umumnya gabah sudah berkurang
kualitasnya sehingga jika disimpan terus justru akan merugi.
Sampai saat ini, BRI Cabang Batola belum banyak terlibat dalam
kegiatan SRG di Batola. Keterlibatan BRI dalam Pemberian kredit Resi Gudang
terkendala oleh aturan internal BRI yang tertuang dalam SE BRI No. S.27-
DIR/ADK/10/2010 tentang Kredit Modal Kerja dengan Jaminan Skema Subsidi
Resi Gudang (S-SRG), dimana aturan ini tidak memperbolehkan BRI untuk
memberikan pembiayaan double kredit kepada petani/kelompok tani/
Gapoktan/koperasi. Hal ini menjadi hambatan petani dalam memanfaatkan
kredit RG dari BRI karena petani pada umumnya sudah memanfaatkan KKPE
dari BRI yang selama ini fokus dalam mengucurkan kredit KKPE kepada
petani/kelompok tani.
Dari pengalaman Diskoperindag Batola dalam mengelola SRG, dapat
diambil suatu kesimpulan bahwa syarat utama agar SRG tetap eksis dan
berkesinambungan adalah adanya komitmen yang kuat dari pimpinan daerah
(Bupati/Walikota). Kasus di Batola, SRG masih aktif hingga saat ini karena
Bupati sangat mendukung pelaksanaan SRG dan pembangunan sektor
pertanian. Demikian juga jajaran di bawahnya seperti Diskoperindag dan
Dinas Pertanian sangat concern dalam mendukung pelaksanaan SRG.
Diskoperindag selama ini masih memberikan bantuan (subsidi) dalah hal
imbal jasa atas pengelolaan gudang kepada PT. BGR, biaya administrasi/ATK
dan biaya penyimpanan barang. Walaupun sebenarnya dari pihak BPK
(Inspektorat) tidak diizinkan. Namun, dengan argumentasi yang logis dan
tidak ada temuan penyimpangan, subsidi ini masih dapat dijalankan. Untuk
transportasi disediakan juga sebuah mobil pick-up yang dapat digunakan
kelompok tani untuk mengangkut gabah/beras ke gudang.
Dari pelaksanaan SRG yang sudah berlangsung selama ini, pembeli
gabah RG adalah pedagang beras atau KUD. Pada tahun 2010, selisih harga
29
antara waktu barang masuk gudang dan saat penjualan bisa mencapai Rp
2.000/kg, namun dari pengalaman salah satu Gapoktan (Bangun Bersama) di
Kecamatan Alalak minimal selisih harga adalah Rp 500. Dengan jumlah
barang yang disimpan sebanyak 10 ton gabah, Gapoktan masih menerima
pendapatan kotor Rp 5 juta. Jumlah ini cukup besar dan dipandang cukup
menguntungkan. Untuk varietas padi lokal (Unus/Mutiara), ada kemungkinan
gabah dapat dijual sebagai benih sehingga harga lebih mahal. Namun
demikian, menurut Gapoktan sebaiknya SRG tidak hanya difungsikan sebagai
tunda jual tetapi dapat dikembangkan ke pemasaran juga (hilir). Harapan
gapoktan agar di gudang dilengkapi SRG dilengkapi dengan RMU. Jika
memiliki RMU, penjulan komoditas bisa sudah dalam bentuk beras sehingga
ada nilai tambahnya selain ada tambahan penghasilan berupa dedak.
Pertanyaan kritis yang pernah dikemukan dalam FGD adalah
bagaimana jika dalam pelaksanaan SRG ini, petani tidak mendapat subsidi.
Perhitungan yang dilakukan Diskoperindag dengan melakukan analisis
komparatif antara penerimaan dan pengeluaran petani apabila berusaha
secara kelompok (minimal 20 orang) dalam SRG (kuantitas 30 ton) dapat
meningkatkan pendapatan petani sebesar 14,5%. Peningkatan pendapatan ini
sudah dihitung tanpa subsidi bunga. Secara lengkap akan disampaikan dalam
laporan setelah dilakukan analisis yang baik.
Dari data yang diperoleh dari Bank Kalsel Marabahan dan Pengelola
Gudang, Tabel 6 di bawah ini menyajikan pelaksanaan SRG di Batola:
30
Menurut informasi dari pihak Bank Kalsel Cabang Marabahan, Kresigu
periode 2010 s/d 2012 sudah lunas, artinya tunggakan Kresigu pada periode
tersebut 0%. Hal ini mengindikasikan keberhasilan SRG di Kabupaten Batola.
31
efisiensi dan efektivitas terkait dengan volume gabah yang akan disimpan di
SRG sehingga dapat memenuhi syarat minimum volume penyimpanan gabah.
Akan tetapi, pada penelitian ini analisis dilakukan melalui pendekatan
terhadap petani secara individu sebagai anggota dari kelompok/gabungan
kelompok/koperasi. Analisis pendapatan petani tersebut menggunakan
pendekatan perhitungan penerimaan dan biaya usahatani per hektar per
musim tanam. Berdasarkan hasil analisis pendapatan tersebut terlihat bahwa
terjadi peningkatan pendapatan usaha yang diterima petani sesudah
memanfaatkan SRG.
32
sebesar Rp 15.650.000. Namun, dengan memanfaatkan SRG ada tambahan biaya
berupa biaya penyimpanan yang terdiri dari: (i) biaya pengeringan Rp 50/kg,
untuk menurunkan kadar air menjadi + 14% atau menjadi Gabah Kering Giling
(GKG) yang mengakibatkan terjadi susut 3,34% pada gabah yang akan disimpan
menjadi 5.458 kg senilai Rp 282.500; (ii) bunga bank selama 3 bulan atau
sebesar 1,5% dari besarnya plafon kredit sebesar 70% dari nilai gabah yang
disimpan yaitu Rp 265.055; dan (iii) biaya simpan (perawatan, bongkar muat,
asuransi, pusat registrasi, dan uji mutu) sebesar Rp 150/kg atau total sebesar
Rp 818.700.
b. Selama kurun waktu 3 bulan di simpan di gudang SRG, terjadi penyusutan
volume gabah yang disimpan (1%) akan tetapi memperoleh kenaikan harga
gabah sehingga menjadi Rp 4.800/kg. Artinya, dengan memanfaatkan SRG
petani mendapatkan selisih harga sebesar Rp 700/kg dibandingkan apabila
melakukan penjualan segera pada saat panen. Keuntungan yang diperoleh petani
setelah memanfaatkan SRG adalah sebesar Rp 8.929.330/ha atau Rp 1.636/kg
GKP. Apabila petani yang sama tidak memanfaatkan SRG, keuntungan yang
diperoleh adalah sebesar Rp 6.726.985/ha, atau sekitar Rp 1.232,5/kg GKP, yang
berarti terdapat selisih keuntungan sebesar Rp 403,5/kg GKP.
Sementara itu, hasil analisis bagi petani di Kabupaten Cianjur yang
tidak memanfaatkan SRG memperlihatkan gambaran sebagai berikut:
a. Fenomena fluktuasi harga komoditas gabah, harga rendah pada
musim panen dan harga tinggi pada musim tanam/paceklik, menyebabkan
petani cenderung menjual gabahnya pada waktu panen kepada tengkulak
dengan harga murah dan masih dalam kondisi basah (GKP) sehingga
mutunya rendah. Pada MH 2012/2013 tingkat produktivitas rata-rata
mencapai 5.650 kg/ha dengan harga Rp 2.650/kg. Pemasaran hasil
dilakukan dalam bentuk GKP dan umumnya di jual di rumah. Gabah dijual
kepada tengkulak, baik yang berasal dari dalam desa maupun dari luar
desa.
b. Rata-rata biaya produksi per hektar pada MH 2012/2013 sebesar Rp
9.282.950, yaitu pengeluaran untuk biaya input produksi (terdiri dari: benih,
pupuk, pestisida, tenaga kerja, sewa traktor dan biaya lainnya). Nilai produksi
atau penerimaan yang diperoleh petani adalah sebesar Rp 14.972.500/ha dengan
tingkat keuntungan sebesar Rp 5.689.550/ha atau Rp 1.007/kg GKP.
33
Hasil analisis tersebut menunjukkan bahwa SRG Warungkondang, Kabupaten
Cianjur, efektif meningkatkan pendapatan petani. Peningkatan harga yang diperoleh
petani peserta berkisar antara Rp 400 hingga Rp 600/kg GKP. Demikian pula, SRG
Warungkondang, Kabupaten Cianjur, efektif menstabilkan atau bahkan
meningkatkan pendapatan petani, dimana hasil analisis menunjukkan kenaikan
keuntungan petani dapat mencapai sekitar Rp 2,2 juta per hektar sawah per musim
jika dibandingkan bila tidak mengikuti SRG.
34
a. Rata-rata biaya produksi pada komoditas padi sawah per hektar pada musim
tanam tahun 2012 adalah Rp 11.945.350 yang mencakup biaya input produksi
(terdiri dari: benih, pupuk, pestisida, tenaga kerja, sewa traktor dan biaya
lainnya) sebesar Rp 15.561.485. Namun, penyelenggaraan SRG di Kabupaten
Batola sejak tahun 2010 s/d 2013 disubsidi oleh Pemkab Batola yang diantaranya
adalah subsidi terhadap biaya penyimpanan sebesar Rp 57/kg. Biaya lainnya
yang harus dikeluarkan oleh petani adalah: (i) biaya pengeringan Rp 10/kg,
untuk menurunkan kadar air menjadi + 14 % atau menjadi Gabah Kering Giling
(GKG) yang mengakibatkan terjadi susut 3,34% pada gabah yang akan disimpan
menjadi 3.015 kg senilai Rp 30.450; (ii) bunga bank selama 3 bulan atau sebesar
1,5% dari besarnya plafon kredit sebesar 70% dari nilai gabah yang disimpan
yaitu Rp 179.850; dan (iii) biaya simpan (perawatan, bongkar muat, asuransi,
pusat registrasi, dan uji mutu) Rp 57/kg atau sebesar Rp 173.565.
b. Selama kurun waktu 3 bulan di simpan di gudang SRG, terjadi penyusutan
volume gabah yang disimpan (1%) dan memperoleh kenaikan harga gabah
menjadi Rp 6.750/kg. Artinya, dengan memanfaatkan SRG mendapatkan selisih
harga sebesar Rp 2.625/kg dibandingkan dengan apabila dilakukan penjualan
segera pada saat panen. Hasil analisis pendapatan yang diperoleh petani setelah
memanfaatkan SRG sebesar Rp 8.405.900/ha atau memperoleh keuntungan Rp
2.788/kg
Di sisi lain, hasil analisis bagi petani yang tidak memanfaatkan SRG
memberikan gambaran sebagai berikut:
a. Di Kabupaten Batola terjadi pula fenomena fluktuasi harga komoditas
gabah, harga rendah pada musim panen dan harga tinggi pada musim
tanam/paceklik, menyebabkan petani cenderung menjual gabahnya pada waktu
panen kepada tengkulak dengan harga murah dan masih dalam kondisi basah
(GKP) sehingga mutunya rendah. Pada tahun 2012 tingkat produktivitas rata-rata
mencapai 3.150 kg/ha dengan harga Rp 125/kg. Pemasaran hasil dilakukan
dalam bentuk GKP dan umumnya di jual di rumah. Gabah dijual kepada
tengkulak/penggilingan beras, baik yang berasal dari dalam desa maupun dari
luar desa.
b. Rata-rata biaya produksi per hektar pada tahun 2012 sebesar Rp
8.770.785 yaitu pengeluaran untuk biaya input produksi (terdiri dari: benih,
pupuk, pestisida, tenaga kerja, sewa traktor dan biaya lainnya). Nilai produksi
atau penerimaan yang diperoleh petani adalah sebesar Rp 12.993.750/ha, dan
35
tingkat keuntungan yang diperoleh adalah sebesar Rp 4.222.965/ha atau tingkat
keuntungan/kg adalah sebesar Rp 1.340,6.
36
d. Mendorong petani untuk berusaha secara berkelompok sehingga
meningkatkan efisiensi biaya dan posisi tawar petani.
2. Manfaat RG bagi pelaku usaha (pedagang, prosesor, pabrikan, dan eksportir)
memberi peluang untuk:
a. Mendapatkan jaminan kepastian mutu dan jumlah atas komoditas
yang diperdagangkan.
b. Mendapatkan supplai komoditas yang lebih pasti, karena dapat
diketahuinya secara pasti jumlah komoditas yang tersimpan dalam
gudang.
c. Mendapatkan pinjaman bergulir (revolving loan) dari bank untuk
modal kerja. Dengan jumlah modal kerja yang sama, akan dapat
diperoleh omzet perdagangan yang lebih besar dengan cara
meminjam dari bank atas jaminan RG.
37
yang terbatas. Dari Laporan Tahunan Bappebti (2011a), disebutkan bahwa
sejak diundangkannya Undang-Undang No 9 Tahun 2006 tentang Sistem Resi
Gudang (SRG) dan diimplementasikan tahun 2008 pemanfaatan SRG sampai
dengan tahun 2010 telah dilakukan di 10 kabupaten, meliputi Banyumas,
Karanganyar, Jombang, Indramayu, Banyuwangi, Sidrap, Pinrang, Subang,
Gowa, dan Barito Kuala. Hasil dari percontohan tersebut adalah telah
diterbitkannya sebanyak 86 Resi Gudang (RG) dengan total volume komoditas
3.022,88 ton (terdiri dari 2.896,63 ton gabah dan 126,25 ton jagung) senilai
Rp 10,66 milyar.
Sumber pembiayaan SRG berasal dari Lembaga Keuangan Bank seperti
BRI, Bank Jabar (BJB), Bank Jateng, Bank Jatim, Bank Kalsel, dan Lembaga
Keuangan Non-Bank seperti BPRS, Program Kemitraan dan Bina Lingkungan
(PKBL), PT Kliring Berjangka Indonesia (KBI) dan Lembaga Pengelola Dana
Bergulir (LPDB) Kementerian KUKM. Total nilai pembiayaan yang telah
diberikan sejak mulai diimplementasikannya SRG pada tahun 2008 hingga
akhir tahun 2010 tercatat sebesar Rp 4,6 milyar atau rata-rata 70% dari nilai
Resi Gudang yang diagunkan.
Laporan Bappebti (2011a) juga menunjukkan bahwa selama tahun
2010 implementasi SRG terus mengalami peningkatan. Hal tersebut
ditunjukkan dengan penerbitan RG yang mencapai 57 RG untuk komoditas
gabah di enam kabupaten (Indramayu, Banyuwangi, Sidrap, Pinrang, Subang
dan Barito Kuala) dengan volume 2.299,94 ton dengan total nilai Rp 8,7
milyar. Pemanfaatan RG untuk agunan pembiayaan sebanyak 36 RG dengan
nilai Rp 4,2 milyar.
Pada tahun 2011, perkembangan jumlah RG meningkat secara sangat
signifikan. Data Biro Pasar Fisik dan Jasa, Bappebti (2013a) mencatat bahwa
pada tahun 2011 terbit sebanyak 271 RG, atau peningkatan sebesar 375%
dari jumlah RG yang diterbitkan tahun sebelumnya, dengan volume mencapai
8.895,62 ton dan total nilai Rp 40,07 milyar (Tabel 9). Pemanfaatan RG
untuk agunan pembiayaan sebanyak 218 RG dengan nilai Rp 24,05 milyar
(Tabel 10).
38
Tabel 9. Akumulasi Jumlah RG, Volume dan Nilai Barang SRG Tahun 2008-
2013
Penerbitan
Resi Gudang Komoditas
Tahun
Volume Nilai Barang
Jumlah %*) % *)
%*)
(Ton) (Rp)
2008 19 - 508,83 - 1.431.616.200 -
2009 13 -32 214,11 -58 552.962.240 -61
2010 57 338 2.299,94 974 8.678.733.500 1469
2011 271 375 8.895.62 287 40.067.723.608 362
2012 379 40 18.144,16 104 93.183.187.979 133
2013**) 222 -41 9.969.28 -45 48.677.836.100 -48
Total 961 40.031,94 192,592.059.627
*)
Persentase pertumbuhan dari tahun sebelumnya
**)
Sampai dengan 22 Agustus 2013
Sumber: Biro Pasar Fisik dan Jasa, Bappebti (2013a)
39
Data dari Biro Pasar Fisik dan Jasa, Bappebti (2013a) menunjukkan
bahwa jumlah RG yang diterbitkan pada tahun 2013 hingga tanggal 22
Agustus 2013 baru mencapai 222 RG dengan volume sebesar 9.969,28 ton
dan nilai Rp 48,68 milyar, dimana jumlah RG yang diagunkan mencapai 132
RG senilai Rp 22,51 milyar. Dengan demikian, sejak tahun 2008 hingga
tanggal 22 Agustus 2013 secara kumulatif jumlah RG yang telah diterbitkan
mencapai 961 RG dengan total volume komoditas sebanyak 40.031,94 ton,
yang terdiri dari 34.353,16 ton gabah; 3.757,20 ton beras; 1.574,20 ton
jagung; 20,39 ton kopi; dan 327 ton rumput laut dengan nilai keseluruhan
mencapai Rp 192,59 milyar. Dari sejumlah itu, total RG yang diagunkan
adalah sebanyak 728 RG senilai Rp 109,73 milyar.
Penerbitan RG ini dilakukan di 39 kabupaten/kota yang meliputi Bener
Meriah, Indramayu, Subang, Cianjur, Pekalongan, Karanganyar, Bantul,
Demak, Jombang, Jepara, Banyumas, Kudus, Madiun, Mojokerto, Sragen,
Nganjuk, Ngawi, Banyuwangi, Pasuruan, Probolinggo, Tulungagung,
Sampang, Barito Kuala, Lombok Timur, Bantaeng, Sidrap, Pinrang, Gowa,
Sumbawa, Grobogan, Sumedang, Ciamis, Tangerang, Lombok Barat, Lebak,
Tuban, Pasaman Barat, Deli Serdang dan Kota Makassar.
Terkait dengan penyelenggaraan SRG ini, berdasarkan data Biro Pusat
Fisik dan Jasa Bappebti (2013b) gudang yang telah melakukan SRG sebanyak
59 unit yang terdiri dari gudang pemerintah sebanyak 32 unit dan gudang
non-pemerintah sebanyak 27 unit. Pengelolaan ke-59 gudang tersebut
dilakukan oleh 7 lembaga, baik swasta, BUMN, maupun koperasi, yaitu:
Petindo Daya Mandiri (3 gudang), Koptan Bidara Tani (1 gudang), PT Pertani
(44 gudang), PT Bhanda Ghara Reksa (7 gudang), Sucofindo (2 gudang),
Koperasi Selaras (1 gudang), dan Koperasi Niaga Mukti (1 gudang). Secara
rinci pengelola gudang beserta jumlah dan status gudang serta komoditas
yang dikelolanya disajikan pada Tabel 11.
40
Tabel 11. Pengelola SRG, Jumlah dan Status Gudang, serta Komoditas yang
Dikelola
Jumlah Gudang
Nama Pengelola
No. Non- Komoditas
Gudang Pemerintah Total
Pemerintah
1. Petindo Daya Mandiri - 3 3 Gabah, jagung
2. Koptan Bidara Tani - 1 1 Gabah
3. PT Pertani 27 17 44 Gabah, jagung,
beras, rumput laut
4. PT Bhanda Ghara Reksa 4 3 7 Gabah, jagung, kopi
5. Sucofindo - 2 2 Kopi
6. Koperasi Selaras - 1 1 Gabah, jagung
7. Koperasi Niaga Mukti 1 1 Gabah
Total 32 27 59
Sumber: Biro Pasar Fisik dan Jasa, Bappebti (2013b)
41
SRG hanya mampu menyerap 2.299 ton atau 0,003 persen dari total
produksi. Nampaknya masih ada beberapa kendala yang dihadapi SRG
sehingga dalam implementasinya belum dapat optimal.
42
Sementara menurut Sadaristuwati (2008), sebagai instrumen yang
relatif baru, keberadaan SRG masih menghadapi sejumlah permasalahan,
diantaranya: (1) Minimnya sarana dan prasarana, (2) Kualitas barang masih
rendah (mutu/keseragaman), (3) Beban biaya, (4) Kurangnya tingkat
kepercayaan dari lembaga keuangan atau bank, (5) Tingkat suku bunga yang
masih terlalu tinggi serta (6) Hubungan antar lembaga yang kurang sinergis.
Sebagai pihak yang mendapat perhatian khusus dalam SRG,
implementasinya di tingkat petani/klomtan/gapoktan juga mengalami banyak
kendala baik yang menyangkut kapasitas sumberdaya, kelembagaan, sarana
prasarana, sosial ekonomi dan budaya. Menurut Direktorat Pembiayaan
(2011), berdasarkan pemantauan pelaksanaan SRG di beberapa daerah
menunjukkan bahwa beberapa permasalahan tersebut disebabkan oleh
beberapa hal, diantaranya:
a. Rata-rata kepemilikan lahan sempit sehingga kesulitan dalam
mengkonsolidasikan hasilnya;
b. Lemahnya kelembagaan petani (kelompok tani/Gapoktan);
c. Terbatasnya pemahaman SRG baik oleh petani maupun petugas
pendamping di tingkat lapangan;
d. Beban biaya yang ditimbulkan dalam SRG seperti biaya angkutan,
sewa gudang/penyimpanan, asuransi dan lain-lain dirasakan cukup
berat.
e. Petani setelah panen membutuhkan uang segera untuk biaya usaha
berikutnya;
f. Hasil produksi yang dihasilkan belum tentu memenuhi kualitas yang
dapat digudangkan.
g. Hasil panen belum bisa dikonsolidasi di tingkat kelompok
tani/gapoktan karena lemahnya kelembagaan petani;
h. Terbatasnya sosialisasi S-SRG baik dari Dinas Teknis terkait dan
Bank kepada petani;
i. Lemahnya pendampingan petani untuk mengakses ke lembaga
pembiayaan.
43
Menurut Pasar (2011), implementasi SRG di daerah masih menghadapi
sejumlah masalah operasional. Permasalahan tersebut diantaranya: (a)
Gudang SRG belum tersedia di seluruh daerah potensial karena biaya
investasi gudang yang mahal, (b) Biaya operasional pengelolaan yang
ditanggung oleh Pengelola Gudang (PG) tinggi, (c) Partisipasi dalam SRG
masih rendah karena manfaatnya belum dipahami oleh seluruh pelaku usaha,
(d) Pasca panen komoditas yang dilakukan oleh pelaku usaha umumnya
belum sesuai standar SNI, (e) Pada tahap awal umumnya petani belum
bersedia membayar biaya penyimpanan barang kepada Pengelola Gudang
(PG), (f) LPK/Petugas uji mutu barang belum tersedia di seluruh daerah, (g)
Sistem Informasi Resi Gudang (Is-Ware) belum handal, (h) Sistem Informasi
Harga dan Pasar belum tersedia untuk seluruh varian komoditas, (i)
Pembiayaan di Lembaga Keuangan masih relatif lama (lebih dari 3 hari) dan
(j) Kelompok Tani, Gapoktan dan Koperasi kurang sosialisasi dan permodalan
untuk melaksanakan pengadaan komoditas (Standarisasi Produk).
Sementara Ashari (2011), mengemukakan bahwa permasalahan SRG
tidak hanya di tataran operasional tetapi juga memasuki ranah kebijakan.
Tanpa disadari terkadang kebijakan yang sedang dijalankan pemerintah dapat
menjadi kendala bagi tumbuh dan berkembangnya SRG. Kebijakan penetapan
harga dasar oleh pemerintah, misalnya, menyebabkan harga antara panen
dan masa sesudah panen menjadi tetap dan seragam di seluruh wilayah
negara. Jika harga cukup stabil tentu tidak akan menarik untuk dilakukan SRG
karena tidak akan memperoleh margin, bahkan akan merugi karena harus
mengeluarkan biaya yang cukup besar. Disamping itu, kebijakan di bidang
moneter menyebabkan tingkat suku bunga yang berlaku seringkali lebih tinggi
sehingga meminjam uang dengan jaminan stok gudang menjadi tidak layak
karena beban pinjaman tersebut tidak dapat ditutupi dengan adanya kenaikan
harga komoditas yang disimpan dengan skim SRG.
Dari pengamatan di kedua lokasi penelitian (SRG Warungkondang,
Kabupaten Cianjur, Provinsi Jawa Barat dan SRG Batola, Provinsi Kalimantan
Selatan) dapat diinventarisasi sejumlah masalah, kendala, maupun hambatan
44
yang dihadapi dalam implementasi dan pengembangan SRG di lokasi
tersebut, yaitu sbb.:
(1) Masih terbatasnya sosialisasi mengenai SRG terutama di daerah-daerah
sentra penghasil komoditas pertanian.
Sosialisasi mengenai SRG yang dilakukan pada umumnya lebih melibatkan
pejabat-pejabat di daerah saja, namun kurang melibatkan petani sebagai
sasaran dari SRG. Demikian pula, sosialisasi yang dilakukan cenderung
pada penjelasan mengenai Undang-undang tentang SRG dengan
menggunakan bahasa hukum, sehingga informasi yang diterima menjadi
terkesan rumit dan sulit untuk dipahami oleh petani. Padahal yang perlu
ditekankan disini terkait SRG, adalah manfaatnya bagi petani untuk bisa
mendapatkan keuntungan dari hasil panen yang selama ini selalu
dirugikan oleh turunnya harga gabah pada saat panen raya. Informasi
tentang SRG ini justru banyak diperoleh petani secara informal, yakni
dengan melihat petani lain yang sudah merasakan manfaat dari SRG dan
berhasil meningkatkan pendapatannya melalui SRG.
Dalam hal ini, upaya yang dilakukan pengelola gudang SRG
Warungkondang yang secara aktif melakukan sosialisasi sesuai irama
kerja petani, bahkan hingga mendatangi petani di rumahnya, dengan
menggunakan kata-kata yang sederhana dan dengan menekankan
keuntungan SRG bagi petani, nyata efektif bagi berhasilnya sosialisasi
SRG di daerah ini.
(2) Sikap petani yang tidak sabar dengan sistem tunda jual produk yang diagunkan
tersebut.
Kebanyakan petani masih berpikir sederhana dan berorientasi pada
kebutuhan sekarang; belum berorientasi masa mendatang. Demikian pula
pada umumnya petani masih menganggap bahwa prosedur SRG dan
kredit ke bank sulit dan berbelit-belit. Pola pikir seperti ini menghalangi
petani untuk mengadopsi SRG, terlebih terkadang para petani juga
terjebak pada sistem permainan tengkulak yang sudah menjadi hal yang
umum terjadi di masyarakat pedesaan. Karena itulah, meskipun harga
gabah pada saat panen raya cenderung turun dikarenakan stok yang
45
melimpah, petani tetap menjual gabahnya. Belum ada kesadaran untuk
mencoba mencari keuntungan dengan melakukan tunda jual atau
menunda penjualan gabah sampai harga gabah naik sesudah panen raya.
(3) Terbatasnya jumlah gudang penyimpan hasil pertanian.
Seperti kasus di SRG Warungkondang, kapasitas gudang yang dimiliki relatif
sangat kecil dibandingkan dengan potensi produksi padi di daerah tersebut,
sehingga banyak gabah petani yang tidak bisa tertampung di gudang. Oleh
karena itu, perlu dibangun gudang-gudang baru di sentra-sentra produksi
sehingga dapat menampung lebih banyak lagi gabah produksi petani, sehingga
tujuan SRG untuk stabilisasi harga akan lebih tercapai. Sebagai alternatif solusi
yang ditawarkan adalah memanfaatkan gudang-gudang kecil milik Pemda
ataupun swasta yang memenuhi persyaratan gudang sesuai SNI untuk
dimanfaatkan dalam SRG. Dengan banyaknya gudang dan berlokasi di sentra-
sentra produksi ini juga akan menekan biaya transportasi.
(4) Fasilitas/sarana dan prasarana pendukung gudang yang kurang memadai.
Seperti kasus di SRG Warungkondang, unit pengering gabah yang dimiliki
seringkali tidak mampu menampung gabah yang akan dikeringkan untuk
kemudian disimpan di gudang. Unit pengering gabah ini terutama sangat krusial
di musim hujan, dimana petani tidak bisa mengeringkan gabahnya secara
manual dengan bantuan sinar matahari. Sebaliknya, unit pengering gabah tidak
diperlukan di SRG Batola karena musim panen padi di daerah ini (yang hanya
sekali dalam setahun) biasanya terjadi pada musim kemarau.
Fasilitas lain yang juga kurang adalah alat transportasi/angkutan yang sangat
diperlukan untuk mengangkut gabah petani dari sawah ke gudang, ataupun
mengangkut gabah petani yang selesai masa simpannya di gudang ke
penggilingan padi atau ke tempat petani.
Fasilitas penggilingan padi atau Rice Milling Unit (RMU) juga merupakan salah
satu fasilitas penting yang selayaknya ada melengkapi fasilitas gudang. Dengan
adanya RMU, petani yang akan menjual gabahnya bisa langsung menggiling
gabahnya menjadi beras dan tidak perlu repot lagi membawa gabah ke
penggilingan padi yang seringkali terletak jauh dari gudang. Dengan demikian,
adanya RMU yang melengkapi fasilitas gudang akan sangat membantu
meringankan biaya transportasi yang dikeluarkan petani.
(5) Lokasi gudang yang jauh dari lokasi sentra produksi.
46
Seperti kasus SRG Batola, walaupun lokasinya sudah dipandang strategis,
namun dalam kenyataannya lokasi gudang tersebut jauh dari sentra-sentra
produksi padi. Terlebih, untuk beberapa lokasi, untuk sampai ke lokasi gudang
haarus menggunakan fasilitas transportasi sungai karena banyaknya sungai di
Batola dan masih kurang memadainya fasilitas transportasi darat. Hal ini
menyebabkan tingginya biaya transportasi yang harus dikeluarkan petani yang
dirasakan tidak sebanding dengan keuntungan yang diperoleh dari SRG.
Terlebih, gudang SRG tersebut tidak difasilitasi dengan RMU.
(6) Kecilnya volume gabah yang disimpan per petani/kelompok tani/Gapoktan/
koperasi di gudang.
Kecilnya volume gabah yang disimpan per petani/kelompok tani/Gapoktan/
koperasi di gudang menyebabkan kapasitas maksimal gudang tidak bisa
tercapai. Hal tersebut disebabkan karena penyimpanan gabah milik masing-
masing petani/kelompok tani/Gapoktan/koperasi dilakukan secara terpisah
antara satu dengan lainnya dengan tujuan supaya gabah yang disimpan di
gudang tersebut tidak tercampur satu sama lain dan memudahkan dalam proses
pengambilannya nanti ketika masa simpannya sudah habis. Akan tetapi,
kecilnya volume gabah yang disimpan untuk masing-masing peserta SRG
tersebut menyebabkan gabah hanya bisa disimpan dalam beberapa tumpukan
saja dari jumlah tumpukan maksimumnya, sehingga kapasitas maksimum
gudang tidak bisa terpenuhi.
(7) Kurangnya koordinasi antara Dinas Perindustrian dan Perdagangan dan
stakeholder lainnya.
Kurangnya koordinasi antara Dinas Perindustrian dan Perdagangan dengan
stakeholder lainnya menyebabkan timbulnya kesan seolah-olah SRG hanya milik
Dinas Perindustrian dan Perdagangan dan kurangnya sense of belonging dari
stakeholder lainnya. Untuk keberhasilan SRG, diperlukan diperlukan kerja sama
yang sinergis dari stakeholder-stakeholder terkait, yaitu Bappebti, pemerintah
daerah serta dinas-dinas setempat, pengelola gudang, Lembaga Penilaian
Kesesuaian, Pusat Registrasi, asuransi, lembaga keuangan baik bank maupun
non-bank, para pelaku usaha baik itu petani/kelompok tani/Gapoktan, koperasi,
pedagang, serta prosesor/pabrikan, maupun eksportir.
(8) Tidak tersedianya mekanisme jaminan yang relatif terjangkau bagi pelaku
usaha apabila Pengelola Gudang mengalami pailit atau melakukan
kelalaian dalam pengelolaan ( mishandling) sehingga tidak dapat
47
melaksanakan kewajibannya mengembalikan barang yang disimpan di
gudang sesuai dengan kualitas dan kuantitas yang tertera dalam Resi
Gudang.
(9) Pelimpahan SRG dari pendamping ke lembaga yang siap menjalankan
SRG, dalam beberapa kasus seperti di Cianjur dan Batola bentuknya
adalah Koperasi, memerlukan persiapan yang cukup matang.
Meskipun dalam beberapa kasus koperasi tinggal melanjutkan sistem
yang sudah ada dan ada pendampingan dalam bentuk konsultasi dengan
pihak ketiga, seperti dengan PT Pertani dalam kasus kabupaten Cianjur,
maupun dengan PT BGR untuk kasus Kabupaten Barito Kuala, namun
diperlukan persiapan terutama sumberdaya manusia yang akan
menangani SRG ini.
48
IV. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN
4.1. Kesimpulan
Sebagai sebuah skim yang relatif baru, SRG akan dapat berjalan efektif
apabila masing-masing stakeholder yang terlibat dapat bersinergi dan
memegang komitmen sesuai dengan yang tertuang dalam Undang-Undang
tentang SRG dan peraturan turunannya. Kunci keberhasilan SRG adalah
terletak pada dukungan pemerintah daerah dalam hal ini seperti gubernur
atau bupati/walikota dan dinas terkait di bawahnya, karena akan terkait
dengan pembinaan yang harus dilaksanakan secara berkelanjutan. Jika SRG
di-setting sebagai alternatif pembiayaan komoditas pertanian, maka lembaga
yang sangat penting perannya adalah perbankan atau lembaga keuangan
lainnya. Sektor keuangan merupakan “engine” untuk menghidupkan dan
menggerakkan SRG. Peran lembaga keuangan diharapkan dapat meningkat
signifikan setelah dibentuknya Lembaga Jaminan Resi Gudang sebagaimana
dicantumkan dalam UU tentang SRG (UU No 9/2011).
Titik lemah yang masih terlihat nyata dalam implementasi SRG adalah
kurangnya sosialisasi kepada stakeholder, terutama kepada petani/klomtan.
Sosialisasi yang dilakukan selama ini masih terbatas di tingkat elit (pejabat
Dinas Pertanian di propinsi/kabupaten). Selain kurangnya sosialisasi, masih
terdapat berbagai kendala lain dalam implementasi SRG, baik yang
menyangkut aspek teknis, sosial, ekonomi, kelembagaan dan sumberdaya
manusia maupun kebijakan yang juga sangat mempengaruhi kinerja SRG di
lapangan.
49
kunci ketertarikan petani adalah adanya kejelasan pasar dan dukungan
pendanaan sehingga tidak ada keraguan petani dalam melaksanakan SRG.
Terkait dengan pemasaran ini, SRG harus disinergikan dengan kegiatan Bursa
Berjangka Komoditas dan Pasar Lelang sebagai tiga pilar penopang
perdagangan komoditas.
Beberapa poin penting yang perlu dipersiapkan untuk mendukung
efektifnya SRG di sektor pertanian, diantaranya: (a) sarana dan prasarana
yang memadai harus dimiliki oleh petani atau kelompok tani agar kualitas
produk yang akan disimpan bisa sesuai dengan standar yang ditentukan; (b)
jaringan pasar dan jaringan informasi harga harus segera dibuat; (c)
pelaksanaan secara konsisten kebijakan dalam pembiayaan pertanian,
diantaranya subsidi bunga bank (skema SRG); (d) sarana pergudangan yang
memadai; dan (e) resi gudang sebagai agunan kredit bagi petani/UKM perlu
dibarengi upaya penguatan kelembagaan usahatani/UKM.
Upaya-upaya tersebut juga harus disinergikan dengan pengembangan
produktivitas dan kualitas hasil pertanian yang harus lebih prima. Diperlukan
perencanaan yang komprehensif mulai dari pembibitan, pemeliharaan, panen,
hingga pasca panen, sehingga diperoleh mutu terbaik, harga terbaik, dan
penghasilan terbaik bagi petani. Perlu diwacanakan ke depan, bahwa SRG
tidak dibatasi pada kegiatan tunda jual semata, tetapi dapat juga diarahkan
dalam kerangka untuk menaikkan nilai tambah produk (konversi gabah ke
beras) hingga aspek pemasarannya.
Agar keberadaan SRG dapat dimanfaatkan petani secara lebih luas,
maka secara khusus Kementerian Pertanian perlu melakukan modifikasi atau
penyederhanaan prosedur SRG yang disesuaikan dengan kondisi sosial,
ekonomi dan budaya masyarakat setempat. Dengan tetap memegang spirit
SRG, implementasinya di masyarakat dapat dilakukan dengan lebih
sederhana. Jika SRG difungsikan sebagai instrumen kebijakan dalam rangka
pemberdayaan petani, maka pola kerja sama dengan perusahaan melalui
PKBL/CSR bisa dikembangkan lebih baik lagi di masa mendatang.
50
51
DAFTAR PUSTAKA
Antara. 2011. DPR: Resi Gudang Perkuat Posisi Tawar Petani. http://id.berita.
yahoo.com/dpr-resi-gudang-perkuat-posisi-tawar-petani-
000815023.html (16/12/11)
Ashari. 2011. Prospek dan Kendala Sistem Resi Gudang untuk Mendukung
Pembiayaan Usaha Pertanian di Indonesia. Forum Agro Ekonomi Vol.
29 (2): 129-143. Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. Badan
Penelitian dan Pengembangan Pertanian.
BRI. 2008. Sistem Resi Gudang: Peluang, Tantangan dan Hambatan. Makalah
disampaikan pada Seminar Nasional Sistem Resi Gudang,
Pengembangan Alternatif Pembiayaan Melalui Sistem Resi Gudang.
Hotel Borobudur, tanggal 4 Nopember 2008.
Biro Pasar Fisik dan Jasa, Bappepti. 2013a. Rekapitulasi Resi Gudang
Tahunan.
Biro Pasar Fisik dan Jasa, Bappepti. 2013b. Rekapitulasi Resi Gudang 2008
s.d. 2013.
52
Kurniawan, D. 2009. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penerapan Sistem
Resi Gudang oleh Petani di Kecamatan Palasah, Kabupaten Majalengka,
Jawa Barat. Program Studi Manajemen Agribisnis, Fakultas Ekonomi
dan Manajemen, IPB. Bogor.
Teken, I.B dan A.K. Hamid, 1982. Tataniaga Pertanian, Institut Pertanian
Bogor (IPB), Bogor
Yudho, U. 2008. Sistem Resi Gudang sebagai Lindung Nilai: Studi pada PT
Petindo Daya Mandiri. Thesis. Program Studi Magister Manajemen.
Pasca Sarjana. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta
53
Lampiran 1:
Bagan Alir/Prosedur Operasi Standar di Pengelola Gudang
Sistem Resi Gudang
Permohonan
Tidak Simpan Barang Tidak
Ya
Pembongkaran
Penimbangan &
Asumsi Barang
Penumpukan
Barang
Ya Perubahan
RG Pembebanan
Dijaminkan ? Tidak
Hak Jaminan
Penyimpanan & Cidera Janji ?
Perawatan
Barang
Penghapusan Tidak
Pembebanan Ya
Hak Jaminan
Penyelesaian
Tidak Penjualan Objek
Transaksi
Hak Jaminan
Stop
54