3.6.1 Definisi
dengan satuan panjang dan berat. 21 Pertambahan lingkar kepala juga perlu dipantau, karena
dapat berkaitan dengan perkembangan anak. Perkembangan adalah bertambahnya
kemampuan fungsi-fungsi tubuh yang lebih kompleks dalam kemampuan gerak kasar.
Sedangkan Global developmental delay (GDD) atau Keterlambatan Perkembangan Global
(KPG), merupakan suatu keadaan ditemukannya keterlambatan yang bermakna pada 2 sektor
perkembangan atau lebih meliputi motorik kasar, motorik halus, bahasa dan personal sosial.
Keterlambatan bermakna artinya pencapaian kemampuan pasien kurang dari 2 standar deviasi
(SD) dibandingkan dengan rata-rata populasi pada umur yang sesuai menggunakan tes yang
telah distandarisasi. Istilah GDD dipakai untuk anak umur kurang dari 5 tahun. Pada anak
berumur lebih dari 5 tahun saat tes IQ sudah dapat dilakukan dengan hasil yang akurat, istilah
yang dipakai adalah retardasi mental.22
Anak dengan gambaran klinis GDD tidak berarti dianggap sebagai anak dengan
retardasi mental. Ketika mereka cukup umur untuk diukur tingkat kognitifnya, angka yang
didapat tidak berada dalam rentang anak dengan retardasi mental dan kriteria diagnosis
retardasi mental menurut Diagnostic and Statistical Manuual of Mental Disorders, 4th ed.,
text revision (DSM IV) memerlukan assesmen inteligensi yang akurat dan valid di mana
asesmen ini secara umum tidak dapat dilakukan pada bayi dan anak usia muda.22
3.6.2 Diagnosis
3.6.2.1 Anamnesis
Keluhan utama dari orangtua berupa kekhawatiran terhadap tumbuh kembang anak dapat
mengarah kepada kecurigaan adanya gangguan tumbuh kembang, misalnya anaknya lebih
pendek dari teman sebayanya, kepala kelihatan besar, umur 6 bulan belum bisa tengkurap,
umur 8 bulan belum bisa duduk, umur 15 bulan belum bisa berdiri, 2 tahun belum bisa bicara
dan lain lain. Penilaian orangtua pada perkembangan bicara anaknya mempunyai korelasi
yang kuat dengan hasil kemampuan kognitif mereka. Namun orang tua tidak selalu benar,
karena 20-25% orang tua tidak mengetahui bahwa anaknya terganggu perkembangannya, dan
banyak orang tua yang khawatir pada perkembangan anaknya padahal tidak terganggu. Oleh
karena itu kita harus melakukan pemeriksaan fisik dan skrining perkembangan untuk
membuktikan apakah kecurigaan orang tua itu benar. Selanjutnya anamnesis dapat diarahkan
untuk mencari faktor-faktor risiko atau etiologi gangguan tumbuh kembang yang disebabkan
oleh faktor intrinsik pada balita dan atau faktor lingkungan.24
Anggota keluarga lain serumah (nenek, kakek, paman, bibi, pengasuh anak,
pembantu): pengetahuan, sikap dan ketrampilan mencukupi kebutuhan tumbuh
kembang balita. Sarana bermain, mainan (kubus, puzzle, kertas, pensil, boneka,
bola dan lain-lain). Contoh nilai-nilai, aturan-aturan, penghargaan, hukuman dan
lain lain.
Sanitasi: cahaya, aliran udara, kebersihan lantai, kamar tidur, ruang bermain,
sumber air, kakus, septic tank, selokan, pembuangan sampah dan lain-lain.
Tetangga (tingkat ekonomi, sikap dan perilaku tetangga), teman bermain, sarana
bermain, polusi, pelayanan kesehatan (kualitas pelayanan Posyandu), pendidikan
(pendidikan usia dini, program bina keluarga dan balita dan lain-lain), sanitasi
lingkungan, adat-budaya dan lain-lain dapat mempengaruhi pemenuhan kebutuhan
bio-psikososial untuk tumbuh kembang balita.
Tinggi Badan
Berat Badan
Lingkar Kepala
Suwarba, I Gusti Ngurah, dkk. Profil Klinis dan Etiologi Pasien Keterlambatan
Perkembangan Global di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo Jakarta. Sari Pediatri.
Dadiyanto DW, Muryawan MH, Soetadji A. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Anak.
Semarang: Departemen Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas
Diponegoro; 2011. 144-147 p.
3.1 Prolonged Fever
3.1.1 Definisi
Definisi demam adalah keadaan suhu tubuh di atas suhu normal, yaitu suhu tubuh di
atas 38ºC. Suhu tubuh dapat diukur lewat oral, rektal, dan aksila. Batasan yang diterima
adalah seorang anak disebut demam jika pengukuran suhu aksilla >37,5 0 C. Hipertermia
( kenaikan suhu tubuh 41˚C atau lebih) adalah peningkatan suhu tubuh di atas titik penyetelan
(set point) hipotalamus, disebabkan ketidakseimbangan antara produksi dan pembatasan
panas. Interleukin-1 pada keadaan ini tidak terlibat, oleh karena itu pusat pengaturan suhu di
hipotalamus berada dalam keadaan normal.5,6 Klasifikasi berdasarkan lama demam pada
anak, dibagi menjadi:
1. Demam kurang 7 hari (demam pendek) dengan tanda lokal yang jelas, diagnosis
etiologik dapat ditegakkan secara anamnesis, pemeriksaan fisik, dengan atau tanpa
bantuan laboratorium, misalnya tonsilitis akut.
2. Demam lebih dari 7 hari, tanpa tanda lokal, diagnosis etiologik tidak dapat ditegakkan
dengan amannesis, pemeriksaan fisik, namun dapat ditelusuri dengan tes laboratorium,
misalnya demam tifoid.
3. Demam yang tidak diketahui penyebabnya, sebagian terbesar adalah sindrom virus.
3.1.2 Etiologi7
Demam atau peningkatan suhu tubuh merupakan manifestasi umum penyakit infeksi,
namun dapat juga disebabkan oleh penyakit non-infeksi ataupun keadaan fisiologis. Demam
karena infeksi melputi infeksi bakteri maupun infeksi virus. Demam non infeksi meliputi
alergi, autoimun, atau keganasan. Demam fisiologis misalnya setelah latihan fisik atau
apabila kita berada di lingkungan yang sangat panas.
Penyebab terbanyak dari demam pada anak, utamanya demam yang berlangsung
kurang dari tujuh hari, adalah infeksi (>50%). Sedangkan demam yang bersifat non infeksius
memerlukan pemeriksaan khusus, dan dipikirkan setelah kemungkinan infeksi dapat
disingkirkan.
Faktor pendukung diagnosis demam yang disebabkan oleh infeksi adalah:
Meskipun sebagian besar penyebab demam infeksius adalah virus (>80%), namun 10-
20% demam infeksius dapat disebabkan oleh bakteri. Oleh karena itu harus dapat dibedakan
antara demam yang disebabkan oleh virus dan bakteri, sehingga dapat dilakukan tatalaksana
yang sesuai. Penderita dengan defisiensi imun justru harus dipikirkan penyebab demam yang
utama adalah bakteri sampai dibuktikan penyangkalannya. Membedakan kedua jenis infeksi
dari sisi demam saja memang sulit, namun dapat digunakan patokan di bawah ini untuk
mempermudah.
Tabel X. Perbedaan Gambaran Klinis Infeksi Virus dan Bakteri
3.1.3 Diagnosis
3.1.3.1 Anamnesis
Anamnesis dan pemeriksaan fisik sangat penting untuk mencari penyebab demam.
Pada anamnesis, durasi dan pola demam harus ditanyakan, pertanyaan seperti; sudah berapa
lama anak demam, berapa suhu tertingginya, apakah suhu bervariasi sepanjang hari, tanyakan
gejala penyerta.1
Termometer digunakan sebagai alat metode pengukuran suhu tubuh. Karakteristik
demam yang harus diperhatikan adalah tinggi suhu tubuh, durasi demam, onset demam. Tipe
demam dibedakan menjadi intermittent (tuberculosis), recurrent (periodic fever disorders),
relapsing (ratbite fever), remittent (endocarditis, juvenile idiopathic arthritis [JIA]), atau
kontinu (abses pyogenic).1
Pustaka lama mendeskripsikan pola demam berupa kontinu, remiten, dan intermiten,
tetapi seiring penggunaan antibiotik, deskripsi tersebut tidak begitu berarti untuk para klinis.
Sangat penting untuk menentukan derajat demam saat onset, ritme, respon terhadap
antipiretik, dan sikap anak selama periode interfebril dan progres demam hari 3 ke 4. 8
Meskipun begitu, tetap ada pengecualian. Contohnya, infeksi bakteri akut dapat mulai
dengan demam tinggi ketika penyakit terjadi di lokasi masuknya organisme, seperti tonsilitis
akut, atau disentri basiler. Beberapa infeksi virus juga tidak membaik di hari ke-4 dan
membutuhkan waktu lebih lama. Ditanyakan juga mengenai riwayat imunisasi, adanya
paparan terhadap infeksi, dan gejala penyerta lain seperti nyeri menelan, nyeri telinga, batuk,
sesak napas, muntah dan diare, nyeri/menangis waktu buang air kecil.5,8,9
Gejala penyerta berupa inflamasi/kelainan vaskulitis dan keganasan dapat
menyebabkan keterlibatan multisistem seperti pleuritis, carditis, atau pericarditis yang
muncul dengan gejala batuk dan sesak napas. Gejala gastrointestinal seperti mual, muntah,
diare dan nyeri abdomen berkaitan dengan myokarditis, penyakit inflamasi usus (Crohn’s
disease, colitis ulseratif), kelainan vaskulitis/inflamasi lain, demam tifoid, abses hepatika,
reaksi terkait obat, gangguan otonom. Gejala sistem saraf pusat seperti somnolen, kejang,
gangguan status mental, dan defisit neurologis fokal dapat terjadi pada ensefalitis,
endokarditis bakterial, myokarditis, abses cerebral, TB meningitis, kelainan inflamasi berat
(contoh: SLE). Gejala seperti disuria dan hematuria dapat muncul pada infeksi saluran kemih
seperti cystitis dan pyelonefritis. Gejala muskuloskeletal seperti artralgia, myalgia dan nyeri
tulang seperti pada infeksi bakterial seperti artritis septik dan osteomielitis; infeksi viral
seperti infeksi mononukleosis, CMV, toksoplasmosis; reaksi terkait obat; atau keganasan.
Nyeri tulang muncul pada osteomielitis, leukemia, juvenile idiopatik artritis (JIA) dan SLE.
Gejala kardiorespirasi dapat pada infeksi bakteri seperti pneumonia atau endokarditis, infeksi
viral (termasuk myokarditis), tuberkulosis, dan kelaian vaskulitis/inflamasi. Sekret hidung
persisten dikaitkan dengan sinusitis. Kesulitan pertumbuhan, penurunan nafsu makan dan
penurunan berat badan dapat terlihat pada penyakit kronis.5,9
Riwayat konsumsi obat dan imunisasi: penerimaan imunisasi berperan pada
kerentanan pasien menerima penyakit (contoh: Streptococcus pneumonia, Haemophilus
influenzae tipe B). Streptococcus pneumoniae merupakan penyebab utama infesi bakteri pada
anak, walaupun anak telah menerima setidaknya 2 dosis vaksin konjugat pneumococcal.
Demam dapat juga memiliki kaitan dengan konsumsi obat seperti antikolinergik, amfetamin,
dan kokain. Banyak juga obat yang berhubungan dengan sindrom serotonin, yaitu kelainan
yang ditandai dengan demam suhu tinggi, hipotensi postural, syok, delirium dan muntah.
Riwayat penyakit terdahulu: kondisi medis tertentu dapat menyebabkan peningkatan risiko
infeksi (contoh: sickle cell disease).5,9
Paparan dengan agen kausatif: Riwayat pasien berpergian dari daerah endemis
penyakit tertentu (contoh: malaria, tifoid (demam enterik), tuberkulosis, atau brucellosis),
riwayat terpapar dengan lingkungan (kotoran hewan, air atau tanah terkontaminasi) dapat
menunjuk pada leptospirosis, Riwayat pernah kontak dengan pasien tertentu (pada penyakit
Tuberculosis).5,9
3.1.3.2 Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik yang dilakukan adalah mengukur suhu tubuh lalu menentukan
derajat daripada sakit pasien. Menanyakan keluhan subjektif dari pasien (Kualitas tangis,
reaksi terhadap orangtua, tingkat kesadaran, warna kulit/selaput lendir, derajat hidrasi,
interaksi). Selanjutnya melihat kelainan objektif dari pasien (Keadaan umum, tanda-tanda
vital, status internus). Pencarian penyebab dari demam sesuai dengan penemuan hasil
pemeriksaan fisik dari pasien. Contohnya pada anak toksik memiliki keadaan umum yang
kritis. Anak yang tampak sakit lebih mungkin untuk terinfeksi bakteri yang serius
dibandingkan anak dengan penampakan yang baik. Pasien dengan sindrom serotonin, malaria
cerebral, ensefalitis, dan gangguan vaskulitis/inflamasi dapat tampak sangat sakit. Lalu pada
peningkatan tekanan darah, pasien dapat mungkin memiliki penyakit tiroid, pyelonephritis
kronis, vasculitis dan pada hipotensi postural pasien dapat sedang mengalami sindrom syok
toksi, reaksi obat, dan lain-lain. Pemeriksaan status internus memiliki ciri khas masing-
masing untuk setiap penyakit.9
3.2.4 Talaksana
Etiologi penyakit pasien menentukan tatalaksana yang dikerjakan. Pada pasien dengan
infeksi virus dan keganasan diberikan terapi simptomatik berupa obat penurun panas. Pasien
yang memiliki infeksi bakteri, maka pengobatan diberikan antibiotik empiris atau sesuai hasil
kultur.5,9
3.2 Diare
3.2.1 Definisi
Diare adalah keadaan buang air besar (BAB) dengan konsistensi lembek atau cair,
bahkan dapat berupa air saja dan frekuensinya > 3 kali dalam satu hari. 15 Berdasarkan
etiologinya, diare diklasifikasikan menjadi diare cair dan diare berdarah. Diare cair adalah
BAB lembek atau cair bahkan dapat berupa air saja dengan frekuensi lebih 3 kali atau lebih
sering dari biasanya dalam 24 jam, sedangkan diare berdarah sering disebut sebagai disentri,
yaitu episode diare akut yang pada tinjanya ditemukan darah terlihat secara kasat mata. 5
Berdasarkan durasinya, diare diklasifikasikan menjadi diare akut, diare persisten, dan
diare kronik.16,17 Diare akut adalah diare yang berlangsung kurang dari 14 hari. 16 Diare
persisten biasanya merupakan kelanjutan dari diare akut dengan atau tanpa disertai darah
yang berlangsung selama 14 hari atau lebih. Terdapat definisi diare persisten yang lain yaitu
episode diare yang diperkirakan penyebabnya adalah infeksi dan mulainya sebagai diare akut
tetapi berakhir lebih dari 14 hari, serta kondisi ini menyebabkan malnutrisi dan berisiko
tinggi menyebabkan kematian.17 Semenara itu, diare kronik adalah diare yang berlangsung
lebih dari 14 hari dengan etiologi non infeksi, sedangkan untuk diare persisten etiologinya
berasal dari infeksi.17
Pada kasus ini, pasien memiliki riwayat BAB cair 6x dalam sehari sejak ± 1 hari SMRS,
sehingga dikategorikan sebagai diare cair akut.
3.2.2 Epidemiologi
Diare merupakan penyebab terbanyak kedua kematian balita di seluruh dunia. Data
WHO pada tahun 2017 menyakatakan sekitar 525.000 balita di seluruh dunia meninggal
akibat diare setiap tahunnya.6 Di Indonesia, laporan Riskesdas tahun 2013 menunjukkan
bahwa diare menempati urutan pertama penyebab kematian balita terbanyak, dengan insiden
sebesar 10,2%. Karakteristik diare balita tertinggi terjadi pada kelompok umur 12-23 bulan
(7,6%), laki-laki (5,5%), tinggal di daerah pedesaan (5,3%). Berdasarkan karakteristik
penduduk, kelompok umur balita adalah kelompok yang paling tinggi menderita diare.4
Pada kasus ini, pasien berusia 5 tahun 3 bulan dan berjenis kelamin laki-laki.
3.2.3 Faktor Risiko
Faktor risiko yang dapat meningkatkan penularan enteropatogen antara lain: tidak
memberikan ASI secara penuh untuk 4-6 bulan pertama kehidupan bayi, tidak memadainya
penyediaan air bersih, pencemaran air oleh tinja, kurangnya sarana kebersihan (MCK),
kebersihan lingkungan dan pribadi yang buruk, penyiapan dan penyimpanan makanan yang
tidak higienis, dan cara penyapihan yang tidak baik. Selain hal hal tersebut, beberapa faktor
pada penderita dapat meningkatkan kecenderungan untuk dijangkiti diare antara lain: gizi
buruk, imunodefisiensi, berkurangnya keasaman lambung, menurunnya motilitas usus,
menderita campak dalam 4 minggu terakhir, dan faktor genetik.18
Pada kasus ini, faktor risiko diare yang dijumpai pada pasien antara lahin ASI tidak
eksklusif, imunodefisiensi, dan lingkungan rumah yang kurang bersih.
3.2.4 Etiologi
Diare dapat disebabkan oleh infeksi maupun non infeksi. Penyebab infeksi utama
timbulnya diare umumnya adalah golongan virus, bakteri dan parasit.5,18 Untuk diare cair
akut, penyebab utama dari diare adalah rotavirus. Rotavirus diperkirakan sebagai penyebab
diare cair akut pada 20-80% anak di dunia. Baik di negara maju dan negara berkembang,
rotavirus merupakan penyebab diare terbanyak pada balita.
Berbeda dengan diare cair akut yang umumnya disebabkan oleh rotavirus, diare akut
berdarah pada anak biasanya merupakan pertanda masuknya bakteri invasif yang serius pada
usus besar. Di Indonesia, penyebab utama diare akut berdarah adalah Shigella, Salmonella,
Campylobacter jejuni, Eschericia coli, dan Entamoeba hystolitica. Disentri berat umumnya
disebabkan oleh Shigella dysentri, Shigela flexneri, Salmonella dan enteroinvasive E. coli.5
Penyebab diare non infeksi antara lain: kesulitan makan; defek anatomis (malrotasi,
penyakit Hirscprung, Short bowel syndrome, atrofi mikrovili, striktur); malabsorbsi
(defisiensi disakaridase, malabsorbsi glukosa-galaktosa, cystic fibrosis, cholestasis, penyakit
celiac); Endokrinopati (thyrotoksitosis, penyakit addison, sindroma adrenogenital); keracunan
makanan (logam berat, mushrooms); neoplasma (neuroblastoma, phaeochromocytoma,
sindroma Zollinger Ellison); dan penyebab lainnya seperti infeksi non gastrointestinal, alergi
susu sapi, penyakit chron, defisiensi imun, colitis ulseratif, gangguan motilitas usus, pellagra.
3.2.5 Patogenesis dan Mekanisme
Pembagian diare berdasarkan patofisiologi terbagi atas diare osmotik, sekretorik, dan
eksudatif (inflammatorik). Diare osmotik berkaitan erat dengan kegagalan vili usus untuk
mengabsorbsi terutama makanan dari intraluminal. Secara fisiologis, villi usus berfungsi
untuk absorpsi serta memproduski enzim disakaridase. Gangguan fungsi pada villi usus akan
menyebabkan malabsorpsi serta gangguan dalam pemecahan karbohidrat kompleks akibatnya
karbohidrat yang masih berbentuk molekul besar memiliki osmolaritas tinggi dan
menyebabkan penarikan cairan dari intersisial. Karbohidrat yang gagal dipecah selanjutnya
akan diurai oleh bakteri menjadi asam dan gas sehingga pada klinis akan didapatkan feses
berbau asam dan menyemprot serta dapat ditemukan ekskoriasi pada anus akibat asam. Diare
osmotik dapat dijumpai pada diare akibat infeksi Rotavirus dan intoleransi laktosa.5,18
Diare sekretorik memiliki manifestasi kerusakan yang tidak terjadi pada villi usus
melainkan ke lapisan yang lebih dalam yakni kripte. Villi yang intak memberikan gambaran
fungsi absorpsi yang tidak terganggu sehingga tidak dipengaruhi oleh makanan. Kripte yang
rusak akan meningkatkan produksi air dan lendir. Kondisi kripte yang rapuh akan
memungkinkan terjadinya perdarahan sehingga pada feses akan ditemukan darah.5,18
Diare eksudatif adalah diare yang diakibatkan oleh karena adanya suatu proses
inflamasi, Inflamasi yang terjadi akan mengakibatkan kerusakan pada mukosa baik usus
halus dan usus besar. Kerusakan ini akan ditandai dengan adanya tanda-tanda inflamasi dan
akan terlihat jelas dengan adanya gambaran feses disertai dengan darah dan lendir. Inflamasi
sendiri dapat terjadi akibat infeksi bakteri ataupun non infeksi seperti gluten sensitive
enteropati atau inflammatory bowel disease.5,18
Pada kasus ini, pasien mengalami diare tipe osmotik yang kemungkinan disebabkan
oleh malabsorbsi sehingga terdapat akumulasi karbohidrat intra lumen usus. Hal ini
diketahui dari temuan anamnesis berupa BAB ampas (+), lendir (-), darah (+), berbau
asam, dan disertai kemerahan di sekitar anus atau ekskoriasi perianal (+).
3.2.6 Diagnosis
Dalam menentukan diagnosis, maka gejala-gejala klinik dari penyakit diare dapat
dibagi menjadi empat aspek, yaitu: 5
2) Aspek etiologi
Etiologi pada diare terdiri dari beberapa faktor, yaitu faktor psikis, makanan,
konstitusi dan infeksi (enteral dan parenteral)
a. Faktor psikis: keadaan depresif atau stres emosional,melalui susunan saraf vegetatif dapat
meningkatkan peristaltik usus sehingga terjadi diare. Diare karena faktor psikis jarang
terjadi pada bayi dan anak kecil.
b. Faktor makanan : perubahan susunan makanan yang mendadak, makanan busuk, atau
makanan yang tidak sesuai umur bayi yang memiliki osmolaritas terlalu tinggi atau
banyak serat.
c. Faktor konstitusi : kondisi saluran cerna yang dijumpai pada keadaan intoleransi laktosa,
malabsorbsi lemak dan intoleransi protein. Malabsorbsi merupakan gangguan transportasi
mukosa yang abnormal yang disebabkan oleh satu atau lebih substansi spesifik yang akan
menyebabkan ekskresi feses dari nutrisi yang dicerna. Pada faktor konstitusi diare
biasanya berlangsung sejak bayi lahir.10,11
d. Faktor infeksi : Rotavirus, bakteri, protozoa
3) Aspek dehidrasi dan asidosis
Dehidrasi terjadi bila cairan yang keluar lebih banyak dari cairan yang masuk, dimana
pengeluaran cairan sangat dipengaruhi oleh jumlah, frekuensi, dan komposisi elektrolit tinja
penderita. Dehidrasi adalah keadaan akibat diare yang paling berbahaya karena dapat
menyebabkan hipovolemia, kolaps kardiovaskuler, dan kematian bila tidak diterapi dengan
tepat.
Pada kasus ini, pasien memiliki riwayat BAB cair 6x dalam sehari sejak ± 1 hari SMRS,
ampas (+), lendir (-), darah (-), berbau asam, kemerahan sekitar dubur (+) dengan
hasil feses rutin didapatkan sisa makanan karbohidrat (+), lemak (+), protein (+),
dengan pH asam. Kemudian didapatkan riwayat penurunan kesadaran (-), mata
cowong (-), kehausan atau malas minum (-), cubitan kulit perut kembali cepat. Pada
anamnesis dan pemeriksaan tanggal 26 September 2018, didapatkan anak BAB 2 -3
x/hari, konsistensi lembek, berbau asam (-), ekskoriasi perianal (-), tanda dehidrasi (-),
sehingga diagnosis pada kasus ini adalah pasca diare cair akut tanpa tanda dehidrasi
dd/ malabsorbsi.
Rencana Terapi B
Gambar 20. Rencana terapi B19
Rencana Terapi C
Pada kasus ini, pasien mengalami diare cair akut tanpa tanda dehidrasi dd/
malabsorbsi sehingga pasien diberikan rencana terapi A. Pasien mendapat oralit 100 –
200 ml setiap BAB, zinc 20 mg/24 jam selama 10 hari, dan nutrisi.
DAFTAR PUSTAKA
1. Divisi Respirologi Departemen IKA FK UNDIP/RSUP Dr. Kariadi. Tata laksana ISPA dan
pneumonia pada anak [Lecture notes]. Semarang: Diponegoro University, Faculty of Medicine;
2017.
2. World Health Organization. Causes of child mortality [Internet]. Switzerland: World Health
Organization; 2016 [cited 2018 Oct 26]. Available from:
www.who.int/gho/child_health/mortality/causes/en/
3. World Health Organization. Pneumonia [Internet]. Switzerland: World Health Organization; 2016
Nov 7 [cited 2018 Oct 26]. Available from: www.who.int/news-room/fact-
sheets/detail/pneumonia
4. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan RI. Riset kesehatan
dasar (RISKESDAS) 2013. Jakarta: Kemenkes RI; 2013.
5. IDAI UG. Modul Pelatihan Diare. Yogyakarta: IDAI; 2009.
6. World Health Organization. Diarrhoeal disease [Internet]. Switzerland: World Health
Organization; 2017 May 2 [cited 2018 Oct 26]. Available from: www.who.int/news-room/fact-
sheets/detail/diarrhoeal-disease
7. Departemen IKA FK UNDIP/RSUP Dr. Kariadi. Perkembangan dan deteksi dini (skrining)
gangguan perkembangan dan perilaku anak [Lecture notes]. Semarang: Diponegoro University,
Faculty of Medicine; 2017.
8. Centers for Disease Control and Prevention. Data & statistics for cerebral palsy [Internet]. USA:
Centers for Disease Control and Prevention; 2018 March 9 [cited 2018 Oct 26]. Available from:
www.cdc.gov/ncbddd/cp/data.html
9. Divisi Nutrisi dan Penyakit Metabolik Departemen IKA FK UNDIP/RSUP Dr. Kariadi.
Malnutrition [Lecture notes]. Semarang: Diponegoro University, Faculty of Medicine; 2017.
10. World Health Organization. Malnutrition [Internet]. Switzerland: World Health Organization;
2018 Feb 16 [cited 2018 Oct 26]. Available from: www.who.int/news-room/fact-
sheets/detail/malnutrition
11. Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan RI. InfoDATIN: Status dan analisis gizi.
Jakarta: Kemenkes RI; 2015.
12. Opstapchuk M, Roberts DM, Haddy R. Community acquired pneumonia in infants and childrens.
Am Fam Physician: 2004;70.
13. Marcdante KJ, Kliegman RM. Nelson essentials of pediatrics, 7 th ed. Philadelphia: Elsevier;
2015.
14. World Health Organization. Revised WHO classification and treatment of childhood pneumonia
at health facilities: evidence summaries. Switzerland: WHO; 2014.
15. Departemen Kesehatan RI. Buku saku petugas kesehatan lintas diare. Jakarta: Depkes RI; 2011.
16. Ikatan Dokter Anak Indonesia. Pedoman Pelayanan Medis Ikatan Dokter Anak Indonesia, Jilid I.
Jakarta: IDAI; 2010. p 58-62.
17. Ikatan Dokter Anak Indonesia. Pedoman Pelayanan Medis Ikatan Dokter Anak Indonesia, Jilid II.
Jakarta: IDAI; 2011. p 53-8.
18. Subagyo B. Santoso N. Buku ajar gastroenterologi hepatologi. Jakarta: IDAI; 2010. p 87.
19. Kementerian Kesehatan RI. Panduan sosialisasi tata laksana diare pada balita. Jakarta: Kemenkes
RI; 2011.
20. Departemen IKFR FK UNDIP/RSUP Dr. Kariadi. Rehabilitasi pada pasien pediatri [Lecture
notes]. Semarang: Diponegoro University, Faculty of Medicine; 2017.
21. Divisi Neuropediatri Departemen Ilmu Penyakit Saraf FK UNDIP/RSUP Dr. Kariadi. Carebral
palsy [Lecture notes]. Semarang: Diponegoro University, Faculty of Medicine; 2017.
22. Palisano R, Rosenbaum P, Bartlett D, Livingston M. GMFCS – E&R: Gross motor function
classification system expanded and revised. Canada: McMaster University; 2007.
23. Departemen IKA RSUP Dr. Kariadi. Panduan praktik klinis ilmu kesehatan anak (PPK-IKA).
Semarang: Kemenkes RI RSUP Dr. Kariadi; 2015.
24. Walters AV. Developmental delay – causes and investigation. Pediatric Neurology. 2010; 10(2):
32-4.
25. Gupta SN, Gupta VS, Ahmed A. “Common Developmental Delay” in full-term children: a
common neurological profile to aid in clinical diagnosis. J Clin Dev Biol. 2016; 1:2.
26. Bagian Ilmu Kesehatan Anak FK UNDIP. Perkembangan dan deteksi dini (skrining) gangguan
perkembangan dan perilaku anak [unpublished lecture notes]. Diponegoro University.
27. Bagian Ilmu Kesehatan Anak FK UNDIP. Deteksi dini masalah perkembangan anak di tingkat
pelayanan primer (UKK Tumbuh Kembang – Pediatri Sosial IDAI) [unpublished lecture notes].
Diponegoro University.
28. Mithyantha R, Kneen R, McCann E, Gladstone M. Current evidence-based recommendations on
investigating children with global developmental delay. Arch Dis Child. 2017; 102:1071-6.
29. Bendech M. Nutrition terminology and hunger situation analysis. Paper presented at:
Mainstreaming Nutrition in National Agriculture and Food Security Investment Plans in Africa;
2013 Sept 9-13; Botswana.