Anda di halaman 1dari 22

3.

6 Global Developmental Delay

3.6.1 Definisi

Pertumbuhan adalah bertambahnya ukuran dan jumlah serta jaringan intraseluler,


berarti bertambahnya ukuran fisik dan struktur tubuh sebagian atau keseluruhan, sehingga
dapat diukur

dengan satuan panjang dan berat. 21 Pertambahan lingkar kepala juga perlu dipantau, karena
dapat berkaitan dengan perkembangan anak. Perkembangan adalah bertambahnya
kemampuan fungsi-fungsi tubuh yang lebih kompleks dalam kemampuan gerak kasar.
Sedangkan Global developmental delay (GDD) atau Keterlambatan Perkembangan Global
(KPG), merupakan suatu keadaan ditemukannya keterlambatan yang bermakna pada 2 sektor
perkembangan atau lebih meliputi motorik kasar, motorik halus, bahasa dan personal sosial.
Keterlambatan bermakna artinya pencapaian kemampuan pasien kurang dari 2 standar deviasi
(SD) dibandingkan dengan rata-rata populasi pada umur yang sesuai menggunakan tes yang
telah distandarisasi. Istilah GDD dipakai untuk anak umur kurang dari 5 tahun. Pada anak
berumur lebih dari 5 tahun saat tes IQ sudah dapat dilakukan dengan hasil yang akurat, istilah
yang dipakai adalah retardasi mental.22

Anak dengan gambaran klinis GDD tidak berarti dianggap sebagai anak dengan
retardasi mental. Ketika mereka cukup umur untuk diukur tingkat kognitifnya, angka yang
didapat tidak berada dalam rentang anak dengan retardasi mental dan kriteria diagnosis
retardasi mental menurut Diagnostic and Statistical Manuual of Mental Disorders, 4th ed.,
text revision (DSM IV) memerlukan assesmen inteligensi yang akurat dan valid di mana
asesmen ini secara umum tidak dapat dilakukan pada bayi dan anak usia muda.22

3.6.2 Diagnosis

3.6.2.1 Anamnesis

Keluhan utama dari orangtua berupa kekhawatiran terhadap tumbuh kembang anak dapat
mengarah kepada kecurigaan adanya gangguan tumbuh kembang, misalnya anaknya lebih
pendek dari teman sebayanya, kepala kelihatan besar, umur 6 bulan belum bisa tengkurap,
umur 8 bulan belum bisa duduk, umur 15 bulan belum bisa berdiri, 2 tahun belum bisa bicara
dan lain lain. Penilaian orangtua pada perkembangan bicara anaknya mempunyai korelasi
yang kuat dengan hasil kemampuan kognitif mereka. Namun orang tua tidak selalu benar,
karena 20-25% orang tua tidak mengetahui bahwa anaknya terganggu perkembangannya, dan
banyak orang tua yang khawatir pada perkembangan anaknya padahal tidak terganggu. Oleh
karena itu kita harus melakukan pemeriksaan fisik dan skrining perkembangan untuk
membuktikan apakah kecurigaan orang tua itu benar. Selanjutnya anamnesis dapat diarahkan
untuk mencari faktor-faktor risiko atau etiologi gangguan tumbuh kembang yang disebabkan
oleh faktor intrinsik pada balita dan atau faktor lingkungan.24

a. Faktor risiko pada balita


Faktor risiko yang harus ditanyakan antara lain retardasi pertumbuhan intra uterin,
berat lahir rendah, prematuritas, infeksi intra uterin, gawat janin, asfiksia,
perdarahan intrakranial, kejang neonatal, hiperbilirubinemia, hipoglikemia, infeksi,
kelainan kongenital, temperamen, dan lain-lain.

b. Faktor risiko di lingkungan mikro


Faktor risiko pada ibu antara lain umur, tinggi badan, anak dan jarak kehamilan,
pengetahuan, sikap dan ketrampilan ibu dalam mencukupi kebutuhan
biopsikososial (‗asuh‘, ‗asih‘, ‗asah‘) untuk tumbuh kembang balitanya, penyakit
keturunan, penyakit menular, riwayat pernikahan (terpaksa, tidak direstui, single
parent, perceraian dan lain-lain), merokok, alkoholism, narkoba,
pekerjaan/penghasilan, dan lain lain.

c. Faktor risiko di lingkungan mini


Ayah: umur, tinggi badan, pendidikan, pekerjaan/ penghasilan, pengetahuan, sikap
dan ketrampilan ayah dalam mencukupi kebutuhan bio-psikososial (‗asuh‘, ‗asih‘,
‗asah‘) untuk tumbuh kembang balitanya, penyakit, riwayat pernikahan (terpaksa,
tidak direstui, perceraian dan lain-lain), komitmen perencanaan kehamilan,
hubungan ayah-ibu dan anak dan lain-lain.

Saudara kandung/tiri yang tinggal serumah: jumlah, jarak umur, kesehatan


(status gizi, imunisasi, kelainan bawaan, gangguan tumbuh kembang,
penyimpangan perilaku), pendidikan, hubungan dengan ayah-ibu dan lain-lain.

Anggota keluarga lain serumah (nenek, kakek, paman, bibi, pengasuh anak,
pembantu): pengetahuan, sikap dan ketrampilan mencukupi kebutuhan tumbuh
kembang balita. Sarana bermain, mainan (kubus, puzzle, kertas, pensil, boneka,
bola dan lain-lain). Contoh nilai-nilai, aturan-aturan, penghargaan, hukuman dan
lain lain.

Sanitasi: cahaya, aliran udara, kebersihan lantai, kamar tidur, ruang bermain,
sumber air, kakus, septic tank, selokan, pembuangan sampah dan lain-lain.

d. Faktor risiko di lingkungan meso

Tetangga (tingkat ekonomi, sikap dan perilaku tetangga), teman bermain, sarana
bermain, polusi, pelayanan kesehatan (kualitas pelayanan Posyandu), pendidikan
(pendidikan usia dini, program bina keluarga dan balita dan lain-lain), sanitasi
lingkungan, adat-budaya dan lain-lain dapat mempengaruhi pemenuhan kebutuhan
bio-psikososial untuk tumbuh kembang balita.

e. Faktor risiko di lingkungan makro

Program-program untuk meningkatkan pengetahuan, sikap dan ketrampilan


keluarga dalam mencukupi kebutuhan biopsikososial untuk tumbuh kembang
anaknya belum menjangkau semua keluarga (terutama keluarga berpenghasilan
rendah), walaupun secara konseptual pemerintah, organisasi profesi, perguruan
tinggi (iptek), LSM, WHO, UNICEF, dan lain-lain sejak lama peduli pada masalah
ini. Demikian juga upaya deteksi dini belum mendapat prioritas penting di dalam
program rutin dan belum didukung sarana intervensi, serta belum mampu
menjangkau semua balita berisiko tinggi.25

3.6.3.2 Pemeriksaan Fisik 25

Tinggi Badan

Tinggi badan dapat digunakan untuk mendeteksi gangguan pertumbuhan, yaitu


dengan mengukur panjang (tinggi) badan secara periodik, kemudian dihubungkan
menjadi sebuah garis pada kurva pertumbuhan tertentu. Pada anak normal usia 1-
60 bulan digunakan kurva WGCS (WHO Growth Chart Standard) tahun 2005
yang diadopsi pada kurva Kartu Menuju Sehat (KMS) atau menggunakan software
WHO Anthro untuk menilai pertumbuhan dan status gizi anak. Sedangkan untuk
anak usia lebih dari 60 bulan dapat digunakan software WHO Anthroplus atau
dapat menggunakan kurva pertumbuhan CDC tahun 2000.
Seorang anak dicurigai mengalami gangguan pertumbuhan jika panjang
(tinggi badan) selama beberapa periode selalu di bawah persentil -2 SD atau
bahkan -3 SD kurva pertumbuhan tinggi badan rata-rata anak pada usia tersebut
sesuai dengan jenis kelaminnya. Namun keadaan tersebut belum tentu patologis,
karena dapat disebabkan oleh faktor genetik/familial, atau lambat tumbuh
konstistusional akibat keterlambatan maturasi (usia) tulang lebih dari 2 tahun yang
pada akhir masa remaja dapat mencapai pertumbuhan normal. Oleh karena itu
dengan satu atau dua kali pengukuran, kita hanya dapat menyebutkan bahwa ia
berperawakan pendek atau normal, namun belum dapat menyimpulkan status
pertumbuhannya. Untuk menyimpulkan status pertumbuhan seorang anak harus
dibandingkan prakiraan tinggi akhir anak tersebut dengan potensi tinggi akhir
genetiknya. Prediksi perawakan secara familial dapat dihitung menggunakan mid
parental height dengan rumus

Laki-laki: ±5-10 (TB ayah + TB ibu + 13) / 2 = …..cm

Perempuan: ±5-10 (TB ayah -13 + TB ibu) / 2 = …..cm

Berat Badan

Berat badan dapat membantu mendeteksi gangguan pertumbuhan, yaitu


dengan menimbang berat badan secara periodik, kemudian dihubungkan menjadi
sebuah garis pada kurva berat badan. Berat badan berkaitan erat dengan masalah
nutrisi (termasuk cairan, dehidrasi, retensi cairan). Obesitas dapat dijumpai dengan
retardasi mental (sindroma Prader-Willi dan Beckwith-Wiedeman).

Lingkar Kepala

Ukuran, bentuk dan simetri kepala harus diperhatikan. Mikrosefali


mempunyai korelasi kuat dengan gangguan perkembangan kognitif. Mikrosefali
progresif berkaitan dengan degenerasi SSP. Sedangkan makrosefali dapat
disebabkan oleh hidrosefalus, neurofibromatosis dan lain-lain. Bentuk kepala yang
‗aneh‘ sering berkaitan dengan sindrom dengan gangguan tumbuh kembang.
Ubun-ubun besar biasanya menutup sebelum 18 bulan (selambat-lambatnya 29
bulan). Keterlambatan menutup dapat disebabkan oleh hipotiroidisme dan
peninggian tekanan intrakranial (hidresefalus, perdarahan subdural atau
pseudotumor serebri).
Pemeriksaan Neurologis Dasar

Pemeriksaan neurologis dasar Pemeriksaan beberapa fungsi syaraf kranial, sistem


motorik (kekuatan otot, tonus otot, refleks-refleks), sistem sensorik, cara berjalan
dan lain-lain dapat mendeteksi adanya gangguan tumbuh kembang anak.

3.6.3.3 Skrining Perkembangan

Skrining perkembangan untuk deteksi dini pada setiap anak penting


dilakukan, terutama pada anak sampai usia 1 tahun agar bila ditemukan kecurigaan
penyimpangan perkembangan dapat segera dilakukan intervensi dini sebelum
terjadi kelainan. Dari beberapa sumber kepustakaan didapatkan bahwa intervensi
pada anak dengan kecurigaan penyimpangan perkembangan sebaiknya dilakukan
sebelum usia 3 tahun. Tidak pada semua anak dapat dilakukan skrining
perkembangan karena yang biasa melakukan adalah dokter anak, dan memerlukan
biaya cukup mahal, sementara Departemen Kesehatan RI mengharapkan pada
tahun 2010, 80% anak balita sudah dilakukan skrining perkembangan agar dapat
dilakukan intervensi dini terhadap anak yang dicurigai mengalami gangguan
perkembangan. Depkes RI pada tahun 2005 mengeluarkan revisi buku deteksi dini
tumbuh kembang yang bertujuan identifikasi dini perkembangan anak di tingkat
terbawah, yaitu tingkat kecamatan, berupa kuesioner praskrining perkembangan
(KPSP). Metode KPSP ini bertujuan untuk mengetahui perkembangan seorang
anak apakah sesuai dengan usianya ataukah ditemukan kecurigaan penyimpangan,
KPSP dapat dilakukan oleh tenaga kesehatan ataupun tenaga non kesehatan yang
terlatih.21

Suwarba, I Gusti Ngurah, dkk. Profil Klinis dan Etiologi Pasien Keterlambatan
Perkembangan Global di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo Jakarta. Sari Pediatri.

Jakarta; 2008. 13. Medise, Bernie Endyarni. Mengenal Keterlambatan


Perkembangan Umum pada Anak. Ikatan Dokter Anak Indonesia. Jakarta; 2013.
14.

Dadiyanto DW, Muryawan MH, Soetadji A. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Anak.
Semarang: Departemen Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas
Diponegoro; 2011. 144-147 p.
3.1 Prolonged Fever
3.1.1 Definisi
Definisi demam adalah keadaan suhu tubuh di atas suhu normal, yaitu suhu tubuh di
atas 38ºC. Suhu tubuh dapat diukur lewat oral, rektal, dan aksila. Batasan yang diterima
adalah seorang anak disebut demam jika pengukuran suhu aksilla >37,5 0 C. Hipertermia
( kenaikan suhu tubuh 41˚C atau lebih) adalah peningkatan suhu tubuh di atas titik penyetelan
(set point) hipotalamus, disebabkan ketidakseimbangan antara produksi dan pembatasan
panas. Interleukin-1 pada keadaan ini tidak terlibat, oleh karena itu pusat pengaturan suhu di
hipotalamus berada dalam keadaan normal.5,6 Klasifikasi berdasarkan lama demam pada
anak, dibagi menjadi:

1. Demam kurang 7 hari (demam pendek) dengan tanda lokal yang jelas, diagnosis
etiologik dapat ditegakkan secara anamnesis, pemeriksaan fisik, dengan atau tanpa
bantuan laboratorium, misalnya tonsilitis akut.
2. Demam lebih dari 7 hari, tanpa tanda lokal, diagnosis etiologik tidak dapat ditegakkan
dengan amannesis, pemeriksaan fisik, namun dapat ditelusuri dengan tes laboratorium,
misalnya demam tifoid.
3. Demam yang tidak diketahui penyebabnya, sebagian terbesar adalah sindrom virus.
3.1.2 Etiologi7
Demam atau peningkatan suhu tubuh merupakan manifestasi umum penyakit infeksi,
namun dapat juga disebabkan oleh penyakit non-infeksi ataupun keadaan fisiologis. Demam
karena infeksi melputi infeksi bakteri maupun infeksi virus. Demam non infeksi meliputi
alergi, autoimun, atau keganasan. Demam fisiologis misalnya setelah latihan fisik atau
apabila kita berada di lingkungan yang sangat panas.
Penyebab terbanyak dari demam pada anak, utamanya demam yang berlangsung
kurang dari tujuh hari, adalah infeksi (>50%). Sedangkan demam yang bersifat non infeksius
memerlukan pemeriksaan khusus, dan dipikirkan setelah kemungkinan infeksi dapat
disingkirkan.
Faktor pendukung diagnosis demam yang disebabkan oleh infeksi adalah:

a. Bayi dengan imunokompromais


b. Adanya intravenous cateter
c. Telah dilakukan splenektomi
d. Demam lebih dari 400C, adanya demam dengan fluktuasi durnal, menggigil
e. Adanya fokus yang jelas
f. Tanpa fokus tetapi dapat dikenali dengan cepat dengan dengan lab, misalnya infeksi
saluran kemih, malaria, dll
g. Leukositosis
h. Demam yang pendek
i. Respon membaik yang cepat dengan pemberian antibiotik

Faktor yang tidak mendukung diagnosis demam disebabkan karena infeksi:

a. Anamnesa (contohnya setelah imunisasi)


b. Persisten atau demam yang rendah
c. Berkaitan dengan pruritic rash, multiple joint involvement
d. Kultur bakteri negative pada darah, feses, urin, dan LCS
e. Tidak ada menggigil dan pola diurnal demam
f. Disingkirkan adanya infeksi secara anamnestik, pemeriksaan fisik, dan laboratorik
g. Demam tidak berespon terhadap antibiotik tetapi berespon terhadap steroid
h. Tidak ditemukan adanya leukositosis dan shift to the left

Meskipun sebagian besar penyebab demam infeksius adalah virus (>80%), namun 10-
20% demam infeksius dapat disebabkan oleh bakteri. Oleh karena itu harus dapat dibedakan
antara demam yang disebabkan oleh virus dan bakteri, sehingga dapat dilakukan tatalaksana
yang sesuai. Penderita dengan defisiensi imun justru harus dipikirkan penyebab demam yang
utama adalah bakteri sampai dibuktikan penyangkalannya. Membedakan kedua jenis infeksi
dari sisi demam saja memang sulit, namun dapat digunakan patokan di bawah ini untuk
mempermudah.
Tabel X. Perbedaan Gambaran Klinis Infeksi Virus dan Bakteri

Gambaran klinis yang meningkatkan Gambaran klinis yang meningkatkan


kemungkinan infeksi virus kemungkinan infeksi bakteri
Banyak organ terlibat pada waktu yang Umumnya terlokalisasi
sama, sering pada traktus respirasi atas
Ada riwayat kontak dengan orang yang Demam tinggi (>390C), durasi >3hari
memiliki gejala yang sama
Penampakan baik, interaksi dengan orang Irritable, letargi, terlihat “toxic”
tua tidak terganggu
CRP dan leukosit normal atau menurun. CRP dan sel darah putih meningkat
Limfositosis, trombositopenia.
Penurunan sitokin Sitokin meningkat
Procalcitonin normal Procalcitonin tinggi (>1,2ng/ml)

3.1.3 Diagnosis
3.1.3.1 Anamnesis
Anamnesis dan pemeriksaan fisik sangat penting untuk mencari penyebab demam.
Pada anamnesis, durasi dan pola demam harus ditanyakan, pertanyaan seperti; sudah berapa
lama anak demam, berapa suhu tertingginya, apakah suhu bervariasi sepanjang hari, tanyakan
gejala penyerta.1
Termometer digunakan sebagai alat metode pengukuran suhu tubuh. Karakteristik
demam yang harus diperhatikan adalah tinggi suhu tubuh, durasi demam, onset demam. Tipe
demam dibedakan menjadi intermittent (tuberculosis), recurrent (periodic fever disorders),
relapsing (ratbite fever), remittent (endocarditis, juvenile idiopathic arthritis [JIA]), atau
kontinu (abses pyogenic).1
Pustaka lama mendeskripsikan pola demam berupa kontinu, remiten, dan intermiten,
tetapi seiring penggunaan antibiotik, deskripsi tersebut tidak begitu berarti untuk para klinis.
Sangat penting untuk menentukan derajat demam saat onset, ritme, respon terhadap
antipiretik, dan sikap anak selama periode interfebril dan progres demam hari 3 ke 4. 8

Gambar X. Pola demam pada infeksi

Meskipun begitu, tetap ada pengecualian. Contohnya, infeksi bakteri akut dapat mulai
dengan demam tinggi ketika penyakit terjadi di lokasi masuknya organisme, seperti tonsilitis
akut, atau disentri basiler. Beberapa infeksi virus juga tidak membaik di hari ke-4 dan
membutuhkan waktu lebih lama. Ditanyakan juga mengenai riwayat imunisasi, adanya
paparan terhadap infeksi, dan gejala penyerta lain seperti nyeri menelan, nyeri telinga, batuk,
sesak napas, muntah dan diare, nyeri/menangis waktu buang air kecil.5,8,9
Gejala penyerta berupa inflamasi/kelainan vaskulitis dan keganasan dapat
menyebabkan keterlibatan multisistem seperti pleuritis, carditis, atau pericarditis yang
muncul dengan gejala batuk dan sesak napas. Gejala gastrointestinal seperti mual, muntah,
diare dan nyeri abdomen berkaitan dengan myokarditis, penyakit inflamasi usus (Crohn’s
disease, colitis ulseratif), kelainan vaskulitis/inflamasi lain, demam tifoid, abses hepatika,
reaksi terkait obat, gangguan otonom. Gejala sistem saraf pusat seperti somnolen, kejang,
gangguan status mental, dan defisit neurologis fokal dapat terjadi pada ensefalitis,
endokarditis bakterial, myokarditis, abses cerebral, TB meningitis, kelainan inflamasi berat
(contoh: SLE). Gejala seperti disuria dan hematuria dapat muncul pada infeksi saluran kemih
seperti cystitis dan pyelonefritis. Gejala muskuloskeletal seperti artralgia, myalgia dan nyeri
tulang seperti pada infeksi bakterial seperti artritis septik dan osteomielitis; infeksi viral
seperti infeksi mononukleosis, CMV, toksoplasmosis; reaksi terkait obat; atau keganasan.
Nyeri tulang muncul pada osteomielitis, leukemia, juvenile idiopatik artritis (JIA) dan SLE.
Gejala kardiorespirasi dapat pada infeksi bakteri seperti pneumonia atau endokarditis, infeksi
viral (termasuk myokarditis), tuberkulosis, dan kelaian vaskulitis/inflamasi. Sekret hidung
persisten dikaitkan dengan sinusitis. Kesulitan pertumbuhan, penurunan nafsu makan dan
penurunan berat badan dapat terlihat pada penyakit kronis.5,9
Riwayat konsumsi obat dan imunisasi: penerimaan imunisasi berperan pada
kerentanan pasien menerima penyakit (contoh: Streptococcus pneumonia, Haemophilus
influenzae tipe B). Streptococcus pneumoniae merupakan penyebab utama infesi bakteri pada
anak, walaupun anak telah menerima setidaknya 2 dosis vaksin konjugat pneumococcal.
Demam dapat juga memiliki kaitan dengan konsumsi obat seperti antikolinergik, amfetamin,
dan kokain. Banyak juga obat yang berhubungan dengan sindrom serotonin, yaitu kelainan
yang ditandai dengan demam suhu tinggi, hipotensi postural, syok, delirium dan muntah.
Riwayat penyakit terdahulu: kondisi medis tertentu dapat menyebabkan peningkatan risiko
infeksi (contoh: sickle cell disease).5,9
Paparan dengan agen kausatif: Riwayat pasien berpergian dari daerah endemis
penyakit tertentu (contoh: malaria, tifoid (demam enterik), tuberkulosis, atau brucellosis),
riwayat terpapar dengan lingkungan (kotoran hewan, air atau tanah terkontaminasi) dapat
menunjuk pada leptospirosis, Riwayat pernah kontak dengan pasien tertentu (pada penyakit
Tuberculosis).5,9
3.1.3.2 Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik yang dilakukan adalah mengukur suhu tubuh lalu menentukan
derajat daripada sakit pasien. Menanyakan keluhan subjektif dari pasien (Kualitas tangis,
reaksi terhadap orangtua, tingkat kesadaran, warna kulit/selaput lendir, derajat hidrasi,
interaksi). Selanjutnya melihat kelainan objektif dari pasien (Keadaan umum, tanda-tanda
vital, status internus). Pencarian penyebab dari demam sesuai dengan penemuan hasil
pemeriksaan fisik dari pasien. Contohnya pada anak toksik memiliki keadaan umum yang
kritis. Anak yang tampak sakit lebih mungkin untuk terinfeksi bakteri yang serius
dibandingkan anak dengan penampakan yang baik. Pasien dengan sindrom serotonin, malaria
cerebral, ensefalitis, dan gangguan vaskulitis/inflamasi dapat tampak sangat sakit. Lalu pada
peningkatan tekanan darah, pasien dapat mungkin memiliki penyakit tiroid, pyelonephritis
kronis, vasculitis dan pada hipotensi postural pasien dapat sedang mengalami sindrom syok
toksi, reaksi obat, dan lain-lain. Pemeriksaan status internus memiliki ciri khas masing-
masing untuk setiap penyakit.9

3.1.3.3 Pemeriksaan penunjang10


- Bila anak terlihat sakit berat diperlukan pemeriksaan laboratorium termasuk
darah lengkap, urinalisis dan biakan urin.
- Leukosit >15.000/uL meningkatkan risiko bacteremia menjadi 3-5% bila
>20.000/uL risiko menjadi 8-10%
- Untuk mendeteksi bakteremia tersebunyi hitung neutrophil absolut lebih
sensitive dari hitung leukosit atau batang absolut
- Hitung absolut neutrophil > 10.000/uL meningkatkan risiko bacteremia
menjadi 8-10%
- Pemeriksaan biakan darah dianjurkan karena 6-10% anak dengan bacteremia
dapat berkembang menjadi infeksi bakteri yang berat, terutama pada anak
yang terlihat sakit berat.
Pada bayi baru lahir-umur 2 bulan

- Pemeriksaan darah lengkap dengan differential count dan smear : dapat


membedakan infeksi atau onkologi
- CRP, LED
- Procalcitonin untuk infeksi bakteri
- Kultur darah
- Kultur urin
- Cairan serebrospinal
- X foto thoraks
- Pemeriksaan feses, hanya pada pasien diare
Pada bayi umur 2 bulan ke atas:

- Pemeriksaan darah lengkap dengan differential count dan smear


- CRP, LED
- Procalcitonin untuk infeksi bakteri
- Pemeriksaan urin dan kultur urin, terutama pada pasien perempuan atau lki
yang belum disirkumsisi. Pemeriksaan Urinalisis dan kultur urine harus
dilakukan pada anak-anak dengan ≥1 faktor risiko ISK: riwayat ISK, suhu
≥39.0°C, tidak ada sumber demam yang jelas, tidak sehat, nyeri tekan
suprapubik, demam yang berlangsung lebih dari 24 jam, dan ras bukan kulit
hitam. Pada anak laki-laki yang yang sudah disirkumsisi, pemeriksaan
diindikasikan jika ada ≥2 faktor risiko ISI atau adanya nyeri tekan suprapubik.
- Kultur darah, pasien sampai umur 24 bulan dengan suhu >39.0°C dan
<2 vaksin pneumococal adalah pasien dengan resiko tinggi
- Cairan serebrospinal
- Pemeriksaan feses, indikasi : inflammatory bowel disease dan typhoid fever
- X foto thoraks, indikasi hipoksemia, takipneu, dispneu, retraksi, apnea

3.2.4 Talaksana
Etiologi penyakit pasien menentukan tatalaksana yang dikerjakan. Pada pasien dengan
infeksi virus dan keganasan diberikan terapi simptomatik berupa obat penurun panas. Pasien
yang memiliki infeksi bakteri, maka pengobatan diberikan antibiotik empiris atau sesuai hasil
kultur.5,9
3.2 Diare
3.2.1 Definisi
Diare adalah keadaan buang air besar (BAB) dengan konsistensi lembek atau cair,
bahkan dapat berupa air saja dan frekuensinya > 3 kali dalam satu hari. 15 Berdasarkan
etiologinya, diare diklasifikasikan menjadi diare cair dan diare berdarah. Diare cair adalah
BAB lembek atau cair bahkan dapat berupa air saja dengan frekuensi lebih 3 kali atau lebih
sering dari biasanya dalam 24 jam, sedangkan diare berdarah sering disebut sebagai disentri,
yaitu episode diare akut yang pada tinjanya ditemukan darah terlihat secara kasat mata. 5

Berdasarkan durasinya, diare diklasifikasikan menjadi diare akut, diare persisten, dan
diare kronik.16,17 Diare akut adalah diare yang berlangsung kurang dari 14 hari. 16 Diare
persisten biasanya merupakan kelanjutan dari diare akut dengan atau tanpa disertai darah
yang berlangsung selama 14 hari atau lebih. Terdapat definisi diare persisten yang lain yaitu
episode diare yang diperkirakan penyebabnya adalah infeksi dan mulainya sebagai diare akut
tetapi berakhir lebih dari 14 hari, serta kondisi ini menyebabkan malnutrisi dan berisiko
tinggi menyebabkan kematian.17 Semenara itu, diare kronik adalah diare yang berlangsung
lebih dari 14 hari dengan etiologi non infeksi, sedangkan untuk diare persisten etiologinya
berasal dari infeksi.17

Pada kasus ini, pasien memiliki riwayat BAB cair 6x dalam sehari sejak ± 1 hari SMRS,
sehingga dikategorikan sebagai diare cair akut.

3.2.2 Epidemiologi
Diare merupakan penyebab terbanyak kedua kematian balita di seluruh dunia. Data
WHO pada tahun 2017 menyakatakan sekitar 525.000 balita di seluruh dunia meninggal
akibat diare setiap tahunnya.6 Di Indonesia, laporan Riskesdas tahun 2013 menunjukkan
bahwa diare menempati urutan pertama penyebab kematian balita terbanyak, dengan insiden
sebesar 10,2%. Karakteristik diare balita tertinggi terjadi pada kelompok umur 12-23 bulan
(7,6%), laki-laki (5,5%), tinggal di daerah pedesaan (5,3%). Berdasarkan karakteristik
penduduk, kelompok umur balita adalah kelompok yang paling tinggi menderita diare.4

Pada kasus ini, pasien berusia 5 tahun 3 bulan dan berjenis kelamin laki-laki.
3.2.3 Faktor Risiko
Faktor risiko yang dapat meningkatkan penularan enteropatogen antara lain: tidak
memberikan ASI secara penuh untuk 4-6 bulan pertama kehidupan bayi, tidak memadainya
penyediaan air bersih, pencemaran air oleh tinja, kurangnya sarana kebersihan (MCK),
kebersihan lingkungan dan pribadi yang buruk, penyiapan dan penyimpanan makanan yang
tidak higienis, dan cara penyapihan yang tidak baik. Selain hal hal tersebut, beberapa faktor
pada penderita dapat meningkatkan kecenderungan untuk dijangkiti diare antara lain: gizi
buruk, imunodefisiensi, berkurangnya keasaman lambung, menurunnya motilitas usus,
menderita campak dalam 4 minggu terakhir, dan faktor genetik.18

Pada kasus ini, faktor risiko diare yang dijumpai pada pasien antara lahin ASI tidak
eksklusif, imunodefisiensi, dan lingkungan rumah yang kurang bersih.

3.2.4 Etiologi
Diare dapat disebabkan oleh infeksi maupun non infeksi. Penyebab infeksi utama
timbulnya diare umumnya adalah golongan virus, bakteri dan parasit.5,18 Untuk diare cair
akut, penyebab utama dari diare adalah rotavirus. Rotavirus diperkirakan sebagai penyebab
diare cair akut pada 20-80% anak di dunia. Baik di negara maju dan negara berkembang,
rotavirus merupakan penyebab diare terbanyak pada balita.

Berbeda dengan diare cair akut yang umumnya disebabkan oleh rotavirus, diare akut
berdarah pada anak biasanya merupakan pertanda masuknya bakteri invasif yang serius pada
usus besar. Di Indonesia, penyebab utama diare akut berdarah adalah Shigella, Salmonella,
Campylobacter jejuni, Eschericia coli, dan Entamoeba hystolitica. Disentri berat umumnya
disebabkan oleh Shigella dysentri, Shigela flexneri, Salmonella dan enteroinvasive E. coli.5

Penyebab diare non infeksi antara lain: kesulitan makan; defek anatomis (malrotasi,
penyakit Hirscprung, Short bowel syndrome, atrofi mikrovili, striktur); malabsorbsi
(defisiensi disakaridase, malabsorbsi glukosa-galaktosa, cystic fibrosis, cholestasis, penyakit
celiac); Endokrinopati (thyrotoksitosis, penyakit addison, sindroma adrenogenital); keracunan
makanan (logam berat, mushrooms); neoplasma (neuroblastoma, phaeochromocytoma,
sindroma Zollinger Ellison); dan penyebab lainnya seperti infeksi non gastrointestinal, alergi
susu sapi, penyakit chron, defisiensi imun, colitis ulseratif, gangguan motilitas usus, pellagra.
3.2.5 Patogenesis dan Mekanisme
Pembagian diare berdasarkan patofisiologi terbagi atas diare osmotik, sekretorik, dan
eksudatif (inflammatorik). Diare osmotik berkaitan erat dengan kegagalan vili usus untuk
mengabsorbsi terutama makanan dari intraluminal. Secara fisiologis, villi usus berfungsi
untuk absorpsi serta memproduski enzim disakaridase. Gangguan fungsi pada villi usus akan
menyebabkan malabsorpsi serta gangguan dalam pemecahan karbohidrat kompleks akibatnya
karbohidrat yang masih berbentuk molekul besar memiliki osmolaritas tinggi dan
menyebabkan penarikan cairan dari intersisial. Karbohidrat yang gagal dipecah selanjutnya
akan diurai oleh bakteri menjadi asam dan gas sehingga pada klinis akan didapatkan feses
berbau asam dan menyemprot serta dapat ditemukan ekskoriasi pada anus akibat asam. Diare
osmotik dapat dijumpai pada diare akibat infeksi Rotavirus dan intoleransi laktosa.5,18

Diare sekretorik memiliki manifestasi kerusakan yang tidak terjadi pada villi usus
melainkan ke lapisan yang lebih dalam yakni kripte. Villi yang intak memberikan gambaran
fungsi absorpsi yang tidak terganggu sehingga tidak dipengaruhi oleh makanan. Kripte yang
rusak akan meningkatkan produksi air dan lendir. Kondisi kripte yang rapuh akan
memungkinkan terjadinya perdarahan sehingga pada feses akan ditemukan darah.5,18

Diare eksudatif adalah diare yang diakibatkan oleh karena adanya suatu proses
inflamasi, Inflamasi yang terjadi akan mengakibatkan kerusakan pada mukosa baik usus
halus dan usus besar. Kerusakan ini akan ditandai dengan adanya tanda-tanda inflamasi dan
akan terlihat jelas dengan adanya gambaran feses disertai dengan darah dan lendir. Inflamasi
sendiri dapat terjadi akibat infeksi bakteri ataupun non infeksi seperti gluten sensitive
enteropati atau inflammatory bowel disease.5,18

Pada kasus ini, pasien mengalami diare tipe osmotik yang kemungkinan disebabkan
oleh malabsorbsi sehingga terdapat akumulasi karbohidrat intra lumen usus. Hal ini
diketahui dari temuan anamnesis berupa BAB ampas (+), lendir (-), darah (+), berbau
asam, dan disertai kemerahan di sekitar anus atau ekskoriasi perianal (+).

3.2.6 Diagnosis
Dalam menentukan diagnosis, maka gejala-gejala klinik dari penyakit diare dapat
dibagi menjadi empat aspek, yaitu: 5

1) Aspek muntah dan berak


Muntah dan berak merupakan gejala utama gastroenteritis yang dapat menimbulkan
gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit. Pada diare penting sekali diketahui secara
anamnesis dan pemeriksaan tentang kualitas dan kuantitas tinja, diantaranya: konsistensi,
warna, disertai darah dan atau lendir, bau, berbuih, jumlah, disertai nyemprot, dan
frekuensinya.

2) Aspek etiologi
Etiologi pada diare terdiri dari beberapa faktor, yaitu faktor psikis, makanan,
konstitusi dan infeksi (enteral dan parenteral)

a. Faktor psikis: keadaan depresif atau stres emosional,melalui susunan saraf vegetatif dapat
meningkatkan peristaltik usus sehingga terjadi diare. Diare karena faktor psikis jarang
terjadi pada bayi dan anak kecil.
b. Faktor makanan : perubahan susunan makanan yang mendadak, makanan busuk, atau
makanan yang tidak sesuai umur bayi yang memiliki osmolaritas terlalu tinggi atau
banyak serat.
c. Faktor konstitusi : kondisi saluran cerna yang dijumpai pada keadaan intoleransi laktosa,
malabsorbsi lemak dan intoleransi protein. Malabsorbsi merupakan gangguan transportasi
mukosa yang abnormal yang disebabkan oleh satu atau lebih substansi spesifik yang akan
menyebabkan ekskresi feses dari nutrisi yang dicerna. Pada faktor konstitusi diare
biasanya berlangsung sejak bayi lahir.10,11
d. Faktor infeksi : Rotavirus, bakteri, protozoa
3) Aspek dehidrasi dan asidosis
Dehidrasi terjadi bila cairan yang keluar lebih banyak dari cairan yang masuk, dimana
pengeluaran cairan sangat dipengaruhi oleh jumlah, frekuensi, dan komposisi elektrolit tinja
penderita. Dehidrasi adalah keadaan akibat diare yang paling berbahaya karena dapat
menyebabkan hipovolemia, kolaps kardiovaskuler, dan kematian bila tidak diterapi dengan
tepat.

Untuk mempermudah penilaian klinis, maka derajat dehidrasi dibagi menjadi 3


menurut UKK Gastrohepatologi IDAI 2009, yaitu : tanpa tanda dehidrasi, dehidrasi tidak
berat, dehidrasi berat.18
Tabel 15. Tanda dan gejala dehidrasi18

KATEGORI TANDA DAN GEJALA

Dehidrasi berat 2 atau lebih tanda berikut:


- letargi atau penurunan kesadaran
- mata cowong
- tidak bisa minum atau malas minum
- cubitan kulit perut kembali sangat lambat
Dehidrasi tak berat 2 atau lebih tanda berikut:
- gelisah
- mata cowong
- kehausan atau sangat haus
- cubitan kulit perut kembali lambat
Tanpa dehidrasi Tidak ada tanda gejala yang cukup untuk
mengelompokkan dalam dehidrasi berat atau tak berat.

4) Aspek komplikasi dehidrasi


Komplikasi akibat dehidrasi dan asidosis antara lain: hipokalemi, kejang, syok, gagal
ginjal dan malnutrisi. Komplikasi tersebut biasanya terjadi pada dehidrasi berat.

Pada kasus ini, pasien memiliki riwayat BAB cair 6x dalam sehari sejak ± 1 hari SMRS,
ampas (+), lendir (-), darah (-), berbau asam, kemerahan sekitar dubur (+) dengan
hasil feses rutin didapatkan sisa makanan karbohidrat (+), lemak (+), protein (+),
dengan pH asam. Kemudian didapatkan riwayat penurunan kesadaran (-), mata
cowong (-), kehausan atau malas minum (-), cubitan kulit perut kembali cepat. Pada
anamnesis dan pemeriksaan tanggal 26 September 2018, didapatkan anak BAB 2 -3
x/hari, konsistensi lembek, berbau asam (-), ekskoriasi perianal (-), tanda dehidrasi (-),
sehingga diagnosis pada kasus ini adalah pasca diare cair akut tanpa tanda dehidrasi
dd/ malabsorbsi.

3.2.7 Penatalaksanaan Diare


Rencana pengobatan diare dibagi menjadi tiga (3) berdasarkan derajat dehidrasi yang
dialami oleh balita.15,19

1) Rencana Terapi A, jika penderita diare tidak mengalami dehidrasi


2) Rencana Terapi B, jika penderita diare mengalami dehidrasi ringan/sedang
3) Rencana Terapi C, jika penderita diare mengalami dehidrasi berat
Rencana Terapi A

Gambar 19. Rencana terapi A19

Rencana Terapi B
Gambar 20. Rencana terapi B19
Rencana Terapi C

Gambar 21. Rencana terapi C19

Pada kasus ini, pasien mengalami diare cair akut tanpa tanda dehidrasi dd/
malabsorbsi sehingga pasien diberikan rencana terapi A. Pasien mendapat oralit 100 –
200 ml setiap BAB, zinc 20 mg/24 jam selama 10 hari, dan nutrisi.
DAFTAR PUSTAKA

1. Divisi Respirologi Departemen IKA FK UNDIP/RSUP Dr. Kariadi. Tata laksana ISPA dan
pneumonia pada anak [Lecture notes]. Semarang: Diponegoro University, Faculty of Medicine;
2017.
2. World Health Organization. Causes of child mortality [Internet]. Switzerland: World Health
Organization; 2016 [cited 2018 Oct 26]. Available from:
www.who.int/gho/child_health/mortality/causes/en/
3. World Health Organization. Pneumonia [Internet]. Switzerland: World Health Organization; 2016
Nov 7 [cited 2018 Oct 26]. Available from: www.who.int/news-room/fact-
sheets/detail/pneumonia
4. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan RI. Riset kesehatan
dasar (RISKESDAS) 2013. Jakarta: Kemenkes RI; 2013.
5. IDAI UG. Modul Pelatihan Diare. Yogyakarta: IDAI; 2009.
6. World Health Organization. Diarrhoeal disease [Internet]. Switzerland: World Health
Organization; 2017 May 2 [cited 2018 Oct 26]. Available from: www.who.int/news-room/fact-
sheets/detail/diarrhoeal-disease
7. Departemen IKA FK UNDIP/RSUP Dr. Kariadi. Perkembangan dan deteksi dini (skrining)
gangguan perkembangan dan perilaku anak [Lecture notes]. Semarang: Diponegoro University,
Faculty of Medicine; 2017.
8. Centers for Disease Control and Prevention. Data & statistics for cerebral palsy [Internet]. USA:
Centers for Disease Control and Prevention; 2018 March 9 [cited 2018 Oct 26]. Available from:
www.cdc.gov/ncbddd/cp/data.html
9. Divisi Nutrisi dan Penyakit Metabolik Departemen IKA FK UNDIP/RSUP Dr. Kariadi.
Malnutrition [Lecture notes]. Semarang: Diponegoro University, Faculty of Medicine; 2017.
10. World Health Organization. Malnutrition [Internet]. Switzerland: World Health Organization;
2018 Feb 16 [cited 2018 Oct 26]. Available from: www.who.int/news-room/fact-
sheets/detail/malnutrition
11. Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan RI. InfoDATIN: Status dan analisis gizi.
Jakarta: Kemenkes RI; 2015.
12. Opstapchuk M, Roberts DM, Haddy R. Community acquired pneumonia in infants and childrens.
Am Fam Physician: 2004;70.
13. Marcdante KJ, Kliegman RM. Nelson essentials of pediatrics, 7 th ed. Philadelphia: Elsevier;
2015.
14. World Health Organization. Revised WHO classification and treatment of childhood pneumonia
at health facilities: evidence summaries. Switzerland: WHO; 2014.
15. Departemen Kesehatan RI. Buku saku petugas kesehatan lintas diare. Jakarta: Depkes RI; 2011.
16. Ikatan Dokter Anak Indonesia. Pedoman Pelayanan Medis Ikatan Dokter Anak Indonesia, Jilid I.
Jakarta: IDAI; 2010. p 58-62.
17. Ikatan Dokter Anak Indonesia. Pedoman Pelayanan Medis Ikatan Dokter Anak Indonesia, Jilid II.
Jakarta: IDAI; 2011. p 53-8.
18. Subagyo B. Santoso N. Buku ajar gastroenterologi hepatologi. Jakarta: IDAI; 2010. p 87.
19. Kementerian Kesehatan RI. Panduan sosialisasi tata laksana diare pada balita. Jakarta: Kemenkes
RI; 2011.
20. Departemen IKFR FK UNDIP/RSUP Dr. Kariadi. Rehabilitasi pada pasien pediatri [Lecture
notes]. Semarang: Diponegoro University, Faculty of Medicine; 2017.
21. Divisi Neuropediatri Departemen Ilmu Penyakit Saraf FK UNDIP/RSUP Dr. Kariadi. Carebral
palsy [Lecture notes]. Semarang: Diponegoro University, Faculty of Medicine; 2017.
22. Palisano R, Rosenbaum P, Bartlett D, Livingston M. GMFCS – E&R: Gross motor function
classification system expanded and revised. Canada: McMaster University; 2007.
23. Departemen IKA RSUP Dr. Kariadi. Panduan praktik klinis ilmu kesehatan anak (PPK-IKA).
Semarang: Kemenkes RI RSUP Dr. Kariadi; 2015.
24. Walters AV. Developmental delay – causes and investigation. Pediatric Neurology. 2010; 10(2):
32-4.
25. Gupta SN, Gupta VS, Ahmed A. “Common Developmental Delay” in full-term children: a
common neurological profile to aid in clinical diagnosis. J Clin Dev Biol. 2016; 1:2.
26. Bagian Ilmu Kesehatan Anak FK UNDIP. Perkembangan dan deteksi dini (skrining) gangguan
perkembangan dan perilaku anak [unpublished lecture notes]. Diponegoro University.
27. Bagian Ilmu Kesehatan Anak FK UNDIP. Deteksi dini masalah perkembangan anak di tingkat
pelayanan primer (UKK Tumbuh Kembang – Pediatri Sosial IDAI) [unpublished lecture notes].
Diponegoro University.
28. Mithyantha R, Kneen R, McCann E, Gladstone M. Current evidence-based recommendations on
investigating children with global developmental delay. Arch Dis Child. 2017; 102:1071-6.
29. Bendech M. Nutrition terminology and hunger situation analysis. Paper presented at:
Mainstreaming Nutrition in National Agriculture and Food Security Investment Plans in Africa;
2013 Sept 9-13; Botswana.

Anda mungkin juga menyukai