Anda di halaman 1dari 13

REFARAT

STUNTING

Disusun Oleh :

Ririn Dwi Saputri

20360155

Pembimbing :

dr. Beatrix Siregar, Sp.A, M.Ked (ped)

KEPANITRAAN KLINIK SENIOR ILMU KESEHATAN ANAK

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MALAHAYATI

RUMAH SAKIT UMUM HAJI MEDAN

TAHUN 2020
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Anak adalah seseorang yang yang belum berusia 18 tahun, termasuk anak yang
masih di dalam kandungan. Menurut Kementerian Kesehatan, batasan anak balita
adalah setiap anak yang berada pada kisaran umur 12-59 bulan. Stunting merupakan
kondisi kronis yang menggambarkan terhambatnya pertumbuhan karena malnutrisi
jangka panjang. Stunting menurut WHO Child Growth Standart didasarkan pada indeks
panjang badan dibanding umur (PB/U) atau tinggi badan dibanding umur (TB/U)
dengan batas (z-score) kurang dari -2 SD. Menurut Riset Kesehatan Dasar tahun 2013,
prevalensi kejadian stunting di Indonesia sebesar 37,2%, dimana dari jumlah presentase
tersebut, 19,2% anak pendek dan 18,0% sangat pendek. Diketahui angka tertinggi ada
pada provinsi Nusa Tenggara Timur sebesar >50%, dan yang terendah pada provinsi
Kepulauan Riau, DI Yogyakarta, dan DKI Jakarta dan Kalimantan Timur, yaitu sebesar
Stunting berhubungan dengan meningkatnya risiko terjadinya kesakitan dan kematian
serta terhambatnyapertumbuhan mental dan motorik, sehingga perlu adanya perhatian
khusus pada balita dengan stunting. Balita yang mengalami stunting memiliki risiko
terjadinya penurunan kemampuan intelektual, produktivitas, dan penurunan kualitas
hidup akibat meningkatnya risiko infeksi di masa mendatang.
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Definisi

Stunting merupakan kondisi kronis yang menggambarkan terhambatnya


pertumbuhan karena malnutrisi jangka panjang. Balita pendek (stunting) dapat
diketahui bila seorang balita telah diukur panjang atau tinggi badannya, lalu
dibandingkan dengan standar dan hasilnya berada di bawah normal. Stunting
didasarkan pada indeks pengukuran panjang badan dibanding umur (PB/U) atau atau
tinggi badan dibanding umur (TB/U) jika berada pada ambang batas (Z-score) kurang
dari -2SD atau dibawah persentil 3, dan dikategorikan sangat pendek (severe stunting)
jika nilai z-scorenya kurang dari -3SD.

2.2 Epidemiologi
Menurut Global Nutrition Report tahun 2016 oleh UNICEF, diketahui bahwa
prevalensi stunting di seluruh dunia pada anak usia dibawah 5 tahun sebesar 23,8%,
yang sebelumnya telah turun dari angka 39,6% pada tahun 1990, Dari hasil Riset
Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2013 menyatakan bahwa persentase stunting di
Indonesia pada tahun 2013 adalah 37,2%, dimana 19,2% terdiri dari stunting dan 18%
lainnya merupakan severe stunting. Menurut provinsi, prevalensi balita pendek terendah
terjadi di Kepulauan Riau (26,3%), DI Yogyakarta (27,3%), dan DKI Jakarta (27,5%).
Sedangkan provinsi dengan prevalensi balita pendek tertinggi terjadi di Nusa Tenggara
Timur (51,7%), Sulawesi Barat (48,0%). Dan Nusa Tenggara Barat (45,2%). (4)
Prevalensi balita pendek di Indonesia juga tertinggi dibandingkan Vietnam (23%),
Malaysia (17%), Thailand (16%) dan Singapura (4%). Global Nutrition Report tahun
2014 menunjukkan Indonesia termasuk dalam 17 negara diantara 117 negara, yang
mempunyai tiga masalah gizi yaitu stunting, wasting dan overweight pada balita.

2.3 Etiologi
Stunting dapat disebabkan oleh berbagai macam hal, namun diklasifikasikan
menjadi 2 yaitu variasi normal dan patologis. Pada variasi normal, stunting
dikategorikan menjadi:
1. Familial short stature (perawakan pendek familial)
Adalah variasi normal dari perawakan pendek yang ditandai dengan
kecepatan tumbuh normal, usia tulang normal, tinggi badan kedua orang tua
pendek, dan tinggi akhir anak dibawah persentil 3 atau z score dibawah -2 SD.
2. Constitutional delay of growth and puberty (CDGP)
Merupakan salah satu kategori dari pubertas terlambat yang paling sering
ditemui dalam praktek sehari-hari, didefinisikan sebagai tidak timbulnya tanda-
tanda seks sekunder pada usia 12 tahun untuk anak perempuan dan pada usia 14
tahun untuk anak laki-laki. Anak dengan CDPG memiliki perawakan pendek,
pubertas terlambat, usia tulang terambat, namun tidak terdapat kelianan organik
yang mendasarinya. Pada pasien CDPG ditemukan riwayat keluarga dengan
pubertas terlambat dan hal ini menunjukkan bahwa faktor genetic berperan
dalam awitan pubertas.
Kelainan patologis pada stunting dapat dibedakan menjadi proporsional dan tidak
proporsional. Stunting dengan tubuh proporsional meliputi malnutrisi, intrauterine
growth retardation (IUGR), psychosocial dwarfism, penyakit kronik, dan kelainan
endokrin, seperti defisiensi hormon pertumbuhan, hipotiroid, sindrom Cushing,
resistensi hormon pertumbuhan/ growth hormone (GH), dan defisiensi insulin-like
growth faktor 1 (IGF-1). Sedangkan stunting dengan badan tidak proporsional
disebabkan oleh kelainan tulang, seperti kondrodistro fi, displasia tulang, sindrom
Kallman, sindrom Marfan, dan sindrom Klinifelter.

2.4 Patofisiologi
Stunting merupakan representasi dari disfungsi sistemik dalam fase
perkembangan anak dan tanda dari adanya malnutrisi kronik. Faktor utama dalam
mekanisme stunting adalah adanya inflamasi pada penyakit kronik, dan penyakit dengan
resistensi terhadap hormon pertumbuhan. Pada inflamasi penyakit kronik, akan terjadi
kaheksia, yaitu ditandai dengan turunnya nafsu makan, meningkatnya laju metabolisme
basal, berkurangnya massa otot, dan tidak efisiennya penggunaan lemak dalam tubuh
sebagai energy.
Selain itu, juga terjadi malabsorpsi makanan, intoleransi makan, dan adan ya efek obat
dari terapi yang sedang dijalani, contohnya steroid. Hal ini kemudian akan
mengakibatkan adanya proses akut, yaitu penurunan berat badan. Kaheksia pada
akhirnya akan menyebabkan defisiensi makronutrisi, vitamin dan mineral. Adanya
resistensi terhadap GH pada suatu penyakit, contohnya gagal ginjal kronik dan
konsumsi obat golongan steroid akan menyebabkan terhambatnya pertumbuhan linear,
menurunnya massa otot dan kepadatan tulang. Lama kelamaan, hal tersebut akan
menyebabkan efek kronis pada tubuh, yaitu adanya stunting, menurunnya kualitas
hidup, dan meningkatnya risiko dari infeksi

2.5 Manifestasi klinik


Pertumbuhan yang normal menggambarkan kesehatan anak yang baik.
Pertumbuhan tinggi badan merupakan suatu proses yang berkelanjutan. Stunting
dikategorikan menjadi variasi normal dan patologis. Variasi normal dalam stunting
meliputi 2 berserta masing-masing gejala klinisnya, yaitu:
1. Familial short stature (perawakan pendek familial):
a. pertumbuhan yang selalu berada dibawah persentil 3 atau -2 SD
b. kecepaan pertumbuhan normal
c. usia tulang normal
d. tinggi badan kedua atau salah satu orang tua yang pendek
e. tinggi akhir dibawah persentil 3 atau -2 SD
2. Constitutional delay of growth and puberty (CDGP):
a. perlambatan pertumbuhan linear pada 3 tahun pertama kehidupan
b. pertumbuhan linear normal atau hamper normal pada saat pra pubertas dan
selalu berada di bawah persenti 3 atau -2 SD
c. usia tulang terlambat
d. maturase seksual terlambat
e. tinggi akhir biasanya normal
Anak dengan CDGP umumnya terlihat normal dan disebut dengan late bloomer.
Biasanya terdapat riwayat pubertas terlambat dalam keluara, usia tulang terlambat, akan
tetapi masih sesuai dengan usia tinggi. Anak dengan familial short stature selama
periode bayi dan pra pubertas akan mengalami pertumbuhan yang sama seperti anak
dengan CDGP. Anak -anak ini akan tumbuh memotong garis persentil dalam 2 tahun
pertama kehidupan dan mencari potensi genetiknya, pubertas terjadi normal dengan
tinggi akhir berada dibawah persentil 3 atau -2 SD, tetapi masih normal sesuai potensi
genetiknya dan paralel dengan tinggi badan orangtua, dimana tinggi potensi genetic
(TPG) sescorang dapat diukur dengan rumus scbagai berikut:
Target height/ mid parental height:
Laki-laki = (TB Ayah + (TB Ibu + 13)) x 1/2
Perempuan = (TB Ibu + (TB Ayah -13)) x 1/2
Tinggi potensi genetik (TPG) = target height + 8,5 cm

2.6 Penegakkan diagnosis


1. Anamnesis
Anamnesis pada anak dengan stunting meliputi:
a. Riwayat kelahiran dan persalinan, juga meliputi BB dan PB lahir
b. Pola pertumbuhan keluarga
c. Riwayat penyakit kronik dan konsumsi obat-obatan
d. Riwayat asupan nutrisi ataupun penyakit nutrisi sebelumnya
e. Riwayat pertumbuhan dan perkembangan
f. Data antropometri sebelumnya
g. Data antropometri kedua orangtua biologisnya
2. Pemeriksaan fisik
Pada kasus stunting, pemeriksaan fisik yang perlu dilakukan adalah:
a. Pemeriksaan antropometri berat badan, tinggi badan, dan lingkar kepala
Pengukuran antropometri menggunakan kurva WHO yang meliputi pengukuran
berat badan menurut usia (BB/U), tinggi badan menurut usia (TB/U), dan berat badan
menurut tinggi badan (BB/TB), juga lingkar kepala menurut usia.
b. Disproporsi tubuh
Dihitung dengan mengukur rentang lengan dan rasio scgmen atas berbanding
segmen bawah (U/L). Rentang lengan adalah jarak terjauh dari rentangan kedua tangan,
diukur dari ujung jari tengah kanan ke ujung jari tengah kiri. Rentang lengan ini sama
dengan tinggi badan (TB) pada periode bayi, dan 3-5 cm lcbih panjang dari TB pada
anak.
Rasio segmen atas dan bawah diukur dengan menghitung segmen bawah terlebih
dahulu, yaitu dengan cara mengukur panjang simfisis pubis hingga telapak kaki.
Selanjutnya, untuk mendapatkan nilai segmen atas, nilai TB dikurangi dengan scgmen
bawah, sehingga didapatkannya rasio antar keduanya. Nilai standar rasio berubah
sesuai dengan berubahnya usia. Rasio UL pada bayi baru lahir (BBL) adalah sebsar
1,7, dan mendekati 1 pada usia 8-10 tahun.
c. Stigmata sindrom, tampilan dismorfik, dan kelainan tulang
Beberapa contoh sindrom dengan cirinya masing-masing, yaitu:
Sindrom
Perempuan dengan webbed neck, cubitus Sindrom turner
valgus, shield chest
Small triangular facies, hemihypertrophy, Sindrom russel silver
clinodactyly
Bird headed dwarfism,mikrosefal, Sindrom seckel
mikrognatia
Brakisefali, simian crease, makroglosia Sindrom down
d. Pemeriksaan tingkat maturasi kelamin (status pubertas)
Pada fase pubertas terjadi perubahan fisik, sehingga pada akhirnya anak akan
memiliki kemampuan bereproduksi. Terdapat 5 perubahan khusus yang terjadi pada
pubertas, yaitu pertambahan tinggi badan yang cepat (pacu tumbuh), perkembangan
seks sekunder, perkembangan organ reproduksi, perubahan komposisi tubuh, juga
perubahan sistem sirkulasi dan system respirasi yang berhubungan dengan kekuatan
dan stamina tubuh.
Tahap perkembangan maturasi genitalia dinyatakan dalam stadium Tanner untuk
laki-laki dan perempuan sebagai berikut:

Pada laki-laki, penis dan rambut pubis mulai tumbuh hampir bersamaan dengan
pacu tumbuh. Bentuk penis berubah dari bentuk infantile ke bentuk dewasa dalam
waktu kurang lebih 2 tahun. Rambut pubis tumbuh secara bertahap yang dinyatakan
dalam 5 tahap, yaitu P1-P5. P5 rambut pubis sudah mencapai bentuk dewasa sampai
pusar dan biasanya tercapai pada usia 15-16 tahun.
Gambar: Diagram perubahan fisik anak perempuan selama pubertas
Pada perempuan, perkembangan pubertas biasanya dimulai dengan budding
payudara, namun sekitar 15% dari perempuan normal mengalami perkembangan rambut
pubis terlebih dahulu. Rambut pubis mulai tumbuh pada usia 11 tahun. Pacu tumbh
pada anak perempuan dimulai sckitar usia 9,5 tahun dan berakhir pada usia sekitar 14,5
tahun. Umumnya menarke terjadi dalam 2 tahun sejak berkembangnya payudara dengan
rata-rata pada usia 12,8 tahun dan rentang usia 10-16 tahun. Haid merupakan tahap
akhir pubertas pada perempuan. Dengan terjadinya haid secara periodik, maka akan
berakhirlah pertumbuhan fisik pada perempuan.

3. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan penunjang dilakukan pada anak dengan stunting dengan indikasi:
a. Tinggi badan dibawah persentil 3 atau -2 SD
b. Kecepatan tumbuh dibawah persentil 25 atau laju pertumbuhan 4cm/ tahun (pada
usia 3-12 tahun)
c. Perkiraan tinggi dewasa dibawah mid parental height
Pemeriksaan penunjang yang mungkin dilakukan adalah:
1. Pemeriksaan radiologis (pencitraan)
- Bone age
- CT scan atau MRI
2. Skrining penyakit sistemik
- Darah perifer lengkap, urin rutin, feses rutin
- Laju endap darah (LED)
- Kreatinin, natrium, kalium, analisis gas darah (kadar bikarbonat), kalsium,
fosfat, alkali fosfatase
3. Pemeriksaan lanjutan
- Fungsi tiroid
- Analisis kromoson
- Uji stimulasi/ provokasi untuk hormon pertumbuhan
Pada anak dengan stunting harus dilakukan pemeriksaan secara baik dan terarah
agar tata laksananya optimal. Kriteria awal pemeriksaan anak dengan stunting adalah:
- TB dibawah persentil 3 atau -2 SD
- Kecepatan tumbuh dibawah persentil 25
- Perkiraan tinggi badan dewasa dibawah midparental height
Berikut merupakan algoritme pendekatan diagnostik anak dengan stunting:
Gambar: Algoritme diagnosis stunting

2.6 Tatalaksana

Pada varian normal stunting tidak perlu dilakukan terapi hormonal, cukup
observasi saja bahwa diagnosisnya merupakan fisiologis bukan patologis. Akhir-akhir
ini telah ada penelitian yang menyatakan bahwa penggunaan aromatase inhibitor
sebagai terapi adjuvant atau tunggal pada Familial Short Stature dan Constitutional
Delay of Growth and Puberty melalui mekanisme menghambat kerja estrogen pada
lempeng pertumbuhan. Namun masih perlu dilakukan penclitian lebih lanjut mengenai
hal ini, maka sebaiknya tidak digunakan secara rutin terlebih dahulu.
Terapi dengan menggunakan hormon pertumbuhan memiliki tujuan
memperbaiki prognosis tinggi badan dewasa. Dari berbagai penelitian terakhir telah
dapat dilihat bahwa hasil tinggi akhir anak yang mendapat GH jauh lebih baik dari pada
prediksi tinggi badan pada awal pengobatan. Pada tahun 1995 FDA telah menyetujui
pemakaian hormon pertumbuhan untuk defisiensi hormon pertumbuhan, gagal ginjal
kronik, sindrom Turner, sindrom Prader Willi, anak anak IUGR, perawakan pendek
idiopatik, orang dewasa dengan defisiensi hormon pertumbuhan, dan orang dewasa
dengan AIDS wasting.
BAB III

KESIMPULAN

Stunting merupakan kondisi kronis yang menggambarkan terhambatnya


pertumbuhan karena malnutrisi jangka panjang. Stunting menurut WHO Child Growth
Standart didasarkan pada indeks panjang badan dibanding umur (PB/U) atau tinggi
badan dibanding umur (TB/U) dengan batas (z-score) kurang dari -3 SD.
Menurut Riset Kesehatan Dasar tahun 2013, prevalensi kejadian stunting di
Indonesia sebesar 37,2%, dimana dari jumlah presentase tersebut, 19,2% anak pendek
dan 18,0% sangat pendek.4) Diketahui angka tertinggi ada pada provinsi Nusa Tenggara
Timur sebesar >50%, dan yang terendah pada provinsi Kepulauan Riau, DI Yogyakarta,
dan DKI Jakarta dan Kalimantan Timur, yaitu sebesar <30%.(5) Stunting berhubungan
dengan meningkatnya risiko terjadinya kesakitan dan kematian serta terhambatnya
pertumbuhan mental dan motorik, sehingga perlu adanya perhatian khusus pada balita
dengan stunting.( Balita yang mengalami stunting memiliki risiko terjadinya penurunan
kemampuan intelektual, produktivitas, dan penurunan kualitas hidup akibat
meningkatnya risiko infeksi di masa mendatang.
Stunting dibagi menjadi 2, yaitu variasi normal dan patologis. Stunting variasi
normal terdiri dari familial short stature (perawakan pendek familial) dan constitutional
delay of growth and puberty (CDGP). Stunting variasi normal tidak membutuhkan
terapi hormon pertumbuhan, namun cukup observasi terhadap keadaan gizi anak.
DAFTAR PUSTAKA

Badan Penelitian Dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan RI.


Riset Kesehatan

http://www.depkes.go.id/resources/download/general/Hasil%20Riskesdas%620201

Batubara JRL, Susanto R, Cahyono HA. Pertumbuhan dan Gangguan


Pertumbuhan. Dalam: Buku Ajar Endokrinologi Anak. Edisi 1. Jakarta: UKK
Endokrinologi Anak dan Remaja IDAI; 2015:29-32.

Kementerian Keschatan RI. Situasi Balita Pendek. 2016.


http://www.depkes.go.id/resources/download /pusdatin/ in fodatin/situasi-balita-

Kusuma KE, Nuryanto. Faktor risiko kejadian stunting pada anak usia 2-3 tahun

(Studi di Kecamatan Semarang Timur). Journal of Nutrition College. 2013; 2(4):

523-30.

Purwandini K, Kartasurya MI. Pengaruh pemberian micronutrient sprinkle


terhadap perkembangan motorik anak stunting usia 12-36 bulan. Journal of Nutrition
College. 2013; 2(1): 50-9.

Anda mungkin juga menyukai