Anda di halaman 1dari 19

REFERAT

STUNTING STUNTED
Diajukan sebagai salah satu persyaratan dalam mengikuti
Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak
Di RS Hj. Bunda Halimah
Kota Batam

Oleh:
Rifki Milfando Naufal
(1021230)

Pembimbing: dr. Connie Raina Carissa,


Sp.A

KEPANITERAAN KLINIK UNIVERSITAS BATAM


DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN ANAK
RS HJ. BUNDA HALIMAH
KOTA BATAM
TAHUN 2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur Penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, yang telah
melimpahkan berkah dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan Referat ini
dengan judul “Stunting”. Penulisan referat ini dilakukan dalam rangka memenuhi salah
satu persyaratan dalam mengikuti Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak di RS Hj.
Bunda Halimah Kota Batam.
Penyelesaian referat ini banyak mendapatkan bantuan dari berbagai pihak, oleh
karena itu penulis ingin menyampaikan rasa terima kasih yang tulus kepada dr. Connie raina
Carissa, Sp.A, teman sejawat, dan berbagai pihak lainnya yang tidak dapat saya sebut satu
per satu. Terima kasih saya ucapkan atas seluruh bimbingan dan pengarahan kepada
penulis, selama menimba ilmu di Stase Ilmu Kesehatan Anak, Rumah Sakit Hj Bunda
Halimah dan dalam menyusun referat ini.
Penulis menyadari bahwa penulisan ini masih jauh dari kesempurnaan, oleh karena
itu saran dan kritik sangat diharapkan. Penulis berharap Tuhan Yang Maha Esa membalas
segala kebaikan semua pihak yang telah membantu. Semoga refarat ini dapat disetujui dan
ada manfaatnya dikemudian hari. Pada akhir kata, semoga referat ini dapat memperluas
wawasan pembaca serta temanteman sejawat.

Batam, 4 Agustus 2023

Rifki Milfando Naufal


1021230
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang


Anak adalah seseorang yang yang belum berusia 18 tahun, termasuk anak
yang masih di dalam kandungan. Menurut Kementerian Kesehatan, batasan anak
balita adalah setiap anak yang berada pada kisaran umur 12-59 bulan. Stunting
merupakan kondisi kronis yang menggambarkan terhambatnya pertumbuhan
karena malnutrisi jangka panjang. Stunting menurut WHO Child Growth Standart
didasarkan pada indeks panjang badan dibanding umur (PB/U) atau tinggi badan
dibanding umur (TB/U) dengan batas (z-score) kurang dari -2 SD.
Menurut Riset Kesehatan Dasar tahun 2013, prevalensi kejadian stunting di
Indonesia sebesar 37,2%, dimana dari jumlah presentase tersebut, 19,2% anak
pendek dan 18,0% sangat pendek.Diketahui angka tertinggi ada pada provinsi
Nusa Tenggara Timur sebesar >50%, dan yang terendah pada provinsi Kepulauan
Riau, DI Yogyakarta, dan DKI Jakarta dan Kalimantan Timur, yaitu sebesar
<30%.
Stunting berhubungan dengan meningkatnya risiko terjadinya kesakitan dan
kematian serta terhambatnya pertumbuhan mental dan motorik, sehingga perlu
adanya perhatian khusus pada balita dengan stunting. Balita yang mengalami
stunting memiliki risiko terjadinya penurunan kemampuan intelektual,
produktivitas, dan penurunan kualitas hidup akibat meningkatnya risiko infeksi di
masa mendatang.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Balita Pendek (Stunting) adalah status gizi yang didasarkan pada indeks PB/U
atau TB/U dimana dalam standar antropometri penilaian status gizi anak, hasil
pengukuran tersebut berada pada ambang batas (Z-Score) <-2 SD sampai dengan -
3SD (pendek/ stunted) dan <-3 SD (sangat pendek / severely stunted).

Gambar 1. Kurva tinggi badan menurut usia (TB/U) WHO

Balita stunting termasuk masalah gizi kronik yang disebabkan oleh banyak faktor seperti
kondisi sosial ekonomi, gizi ibu saat hamil, kesakitan pada bayi, dan kurangnya asupan gizi
pada bayi. Balita stunting di masa yang akan datang akan mengalami kesulitan dalam mencapai
perkembangan fisik dan kognitif yang optimal.
2.2 Epidemiologi
Data prevalensi balita stunting yang dikumpulkan World Health Organization
(WHO), Indonesia termasuk ke dalam negara ketiga dengan prevalensi tertinggi di
regional Asia Tenggara/South-East Asia Regional (SEAR). Rata-rata prevalensi
balita stunting di Indonesia tahun 2005-2017 adalah 36,4%.

Gambar 2. Rata-rata Prevalensi Balita Pendek di Regional Asia Tenggara Tahun 2005-2017

Kejadian balita stunting (pendek) merupakan masalah gizi utama yang dihadapi Indonesia.
Berdasarkan data Pemantauan Status Gizi (PSG) selama tiga tahun terakhir, pendek memiliki
prevalensi tertinggi dibandingkan dengan masalah gizi lainnya seperti gizi kurang, kurus, dan
gemuk. Prevalensi balita pendek mengalami peningkatan dari tahun 2016 yaitu 27,5% menjadi
29,6% pada tahun 2017.
Gambar 3. Masalah Gizi di Indonesia Tahun 2015-2017
2.3 Etiologi
Stunting dapat disebabkan oleh berbagai macam hal, namun diklasifikasikan
menjadi 2 yaitu variasi normal dan patologis. Pada variasi normal, stunting
dikategorikan menjadi:
 Familial short stature (perawakan pendek familial)
Adalah variasi normal dari perawakan pendek yang ditandai dengan
kecepatan tumbuh normal, usia tulang normal, tinggi badan kedua orangtua
pendek, dan tinggi akhir anak dibawah persentil 3 atau z score dibawah -2 SD.
 Constitutional delay of growth and puberty (CDGP)
Merupakan salah satu kategori dari pubertas terlambat yang paling sering
ditemui dalam praktek sehari-hari, didefinisikan sebagai tidak timbulnya
tanda- tanda seks sekunder pada usia 12 tahun untuk anak perempuan dan
pada usia
14 tahun untuk anak laki-laki. Anak dengan CDPG memiliki perawakan
pendek, pubertas terlambat, usia tulang terambat, namun tidak terdapat
kelianan organik yang mendasarinya. Pada pasien CDPG ditemukan riwayat
keluarga dengan pubertas terlambat dan hal ini menunjukkan bahwa faktor
genetic berperan dalam awitan pubertas.

Kelainan patologis pada stunting dapat dibedakan menjadi proporsional dan


tidak proporsional. Stunting dengan tubuh proporsional meliputi malnutrisi,
intrauterine growth retardation (IUGR), psychosocial dwarfism, penyakit kronik,
dan kelainan endokrin, seperti defisiensi hormon pertumbuhan, hipotiroid, sindrom
Cushing, resistensi hormon pertumbuhan/ growth hormone (GH), dan defisiensi
insulin-like growth faktor 1 (IGF-1). Sedangkan stunting dengan badan tidak proporsional
disebabkan oleh kelainan tulang, seperti kondrodistrofi, displasia tulang, sindrom Kallman,
sindrom Marfan, dan sindrom Klinifelter. Etiologi- etologi tersebut dapat diingat dengan
menggunakan metode mnemonic “KOKPENDK” yang terdiri dari:
K = kelainan kronis: penyakit organik, non organik (infeksi/ non infeksi)
O = obat-obatan (glukokortikoid, radiasi)
K = kecil masa kehamilan (KMK) dan berat badan lahir rendah
(BBLR)
P = psikososial
E = endokrin
N = nutrisi dan metabolik
D = displasia tulang
K = kromosom dan sindrom

2.4 Patofisiologi
Stunting merupakan representasi dari disfungsi sistemik dalam fase
perkembangan anak dan tanda dari adanya malnutrisi kronik. Faktor utama dalam
mekanisme stunting adalah adanya inflamasi pada penyakit kronik, dan penyakit
dengan resistensi terhadap hormon pertumbuhan. Pada inflamasi penyakit kronik,
akan terjadi kaheksia, yaitu ditandai dengan turunnya nafsu makan, meningkatnya
laju metabolisme basal, berkurangnya massa otot, dan tidak efisiennya penggunaan
lemak dalam tubuh sebagai energi.
Selain itu, juga terjadi malabsorpsi makanan, intoleransi makan, dan adanya
efek obat dari terapi yang sedang dijalani, contohnya steroid. Hal ini kemudian akan
mengakibatkan adanya proses akut, yaitu penurunan berat badan. Kaheksia pada
akhirnya akan menyebabkan defisiensi makronutrisi, vitamin dan mineral. Adanya
resistensi terhadap GH pada suatu penyakit, contohnya gagal ginjal kronik dan
konsumsi obat golongan steroid akan menyebabkan terhambatnya pertumbuhan
linear, menurunnya massa otot dan kepadatan tulang. Lama kelamaan, hal tersebut
akan menyebabkan efek kronis pada tubuh, yaitu adanya stunting, menurunnya
kualitas hidup, dan meningkatnya risiko dari infeksi.
Gambar 4. Patofisiologi stunting akibat penyakit kronis

2.5 Manifestasi klinik

Pertumbuhan yang normal menggambarkan kesehatan anak yang baik.


Pertumbuhan tinggi badan merupakan suatu proses yang berkelanjutan. Stunting
dikategorikan menjadi variasi normal dan patologis. Variasi normal dalam stunting
meliputi 2 berserta masing-masing gejala klinisnya, yaitu:

2.5.1 Familial short stature (perawakan pendek familial):


a. pertumbuhan yang selalu berada dibawah persentil 3 atau -2 SD
b. kecepaan pertumbuhan normal
c. usia tulang normal
d. tinggi badan kedua atau salah satu orangtua yang pendek
e. tinggi akhir dibawah persentil 3 atau -2 SD
2.5.2 Constitutional delay of growth and puberty (CDGP):
a. perlambatan pertumbuhan linear pada 3 tahun pertama kehidupan
b. pertumbuhan linear normal atau hamper normal pada saat pra pubertas
dan selalu berada di bawah persenti 3 atau -2 SD
c. usia tulang terlambat
d. maturase seksual terlambat
e. tinggi akhir biasanya normal

Anak dengan CDGP umumnya terlihat normal dan disebut dengan late
bloomer. Biasanya terdapat riwayat pubertas terlambat dalam keluara, usia tulang
terlambat, akan tetapi masih sesuai dengan usia tinggi. Anak dengan familial short
stature selama periode bayi dan pra pubertas akan mengalami pertumbuhan yang
sama seperti anak dengan CDGP. Anak -anak ini akan tumbuh memotong garis
persentil dalam 2 tahun pertama kehidupan dan mencari potensi genetiknya, pubertas
terjadi normal dengan tinggi akhir berada dibawah persentil 3 atau -2 SD, tetapi
masih normal sesuai potensi genetiknya dan paralel dengan tinggi badan orangtua,
dimana tinggi potensi genetik (TPG) seseorang dapat diukur dengan rumus sebagai

Target height/ mid parental height:

Laki-laki = (TB Ayah + (TB Ibu + 13)) x ½

Perempuan = (TB Ibu + (TB Ayah – 13)) x ½

Tinggi potensi genetik (TPG) = target height ± 8,5 cm

berikut:
2.6 Diagnosis
Tabel 1 Petunjuk pemeriksaan klinis pada perawakan pendek
Pemeriksaan Penunjang
Oleh karena malnutrisi dan penyakit kronik masih merupakan penyebab utama
stunting di negara kita, maka pemeriksaan darah tepi lengkap, urin dan feces rutin, laju endap
darah, elektrolit serum dan urin dan usia tulang merupakan langkah pertama yang strategis
untuk mencari etiologi stunting. Setelah tidak ditemukan kelainan pada pemeriksaan skrining
tersebut maka dilakukan pemeriksaan khusus yaitu kadar GH, IGF-I, analisis kromosom,
analisis DNA dan lain-lain sesuai indikasi.
Pemeriksaan penunjang yang sederhana dan menentukan adalah menginterpretasikan
data-data tinggi badan dengan menggunakan kurva pertumbuhan yang sesuai. Pola
pertumbuhan akibat bayi lahir Kecil Masa Kehamilan (KMK), penyakit kronik, varian
normal merupakan keadaan yang dapat sangat membantu untuk diferensial diagnosis.
Berikut merupakan algoritme pendekatan diagnostik anak dengan stunting:
Gambar 5.
2.6 Tatalaksana
Pada varian normal stunting tidak perlu dilakukan terapi hormonal, cukup
observasi saja bahwa diagnosisnya merupakan fisiologis bukan patologis. Akhir-akhir
ini telah ada penelitian yang menyatakan bahwa penggunaan aromatase inhibitor
sebagai terapi adjuvant atau tunggal pada Familial Short Stature dan Constitutional
Delay of Growth and Puberty melalui mekanisme menghambat kerja estrogen pada
lempeng pertumbuhan. Namun masih perlu dilakukan penelitian lebih lanjut
mengenai hal ini, maka sebaiknya tidak digunakan secara rutin terlebih dahulu.

Indikasi pemberian Growth Hormone (GH) pada saat ini adalah stunting yang
disebabkan oleh defisiensi GH, Sindrom Turner, insufisiensi ginjal kronis, Sindrom
Prader Willi, Sindrom Noonan, defisiensi SHOX dan bayi KMK. Semakin dini
pemberian GH maka prognosis akan semakin baik.

Tabel 1. Indikasi Pemberian GH dan dosis pada anak dan remaja


BAB III
KESIMPULAN

Stunting merupakan kondisi kronis yang menggambarkan terhambatnya


pertumbuhan karena malnutrisi jangka panjang. Stunting menurut WHO Child
Growth Standart didasarkan pada indeks panjang badan dibanding umur (PB/U)
atau tinggi badan dibanding umur (TB/U) dengan batas (z-score) kurang dari -2

SD.
Menurut Riset Kesehatan Dasar tahun 2013, prevalensi kejadian stunting di
Indonesia sebesar 37,2%, dimana dari jumlah presentase tersebut, 19,2% anak
pendek dan 18,0% sangat pendek. Diketahui angka tertinggi ada pada provinsi
Nusa Tenggara Timur sebesar >50%, dan yang terendah pada provinsi Kepulauan
Riau, DI Yogyakarta, dan DKI Jakarta dan Kalimantan Timur, yaitu sebesar
<30%.
Stunting berhubungan dengan meningkatnya risiko terjadinya kesakitan dan
kematian serta terhambatnya pertumbuhan mental dan motorik, sehingga perlu
adanya perhatian khusus pada balita dengan stunting. Balita yang mengalami
stunting memiliki risiko terjadinya penurunan kemampuan intelektual,
produktivitas, dan penurunan kualitas hidup akibat meningkatnya risiko infeksi di
masa mendatang.

Stunting dibagi menjadi 2, yaitu variasi normal dan patologis. Stunting variasi
normal terdiri dari familial short stature (perawakan pendek familial) dan
constitutional delay of growth and puberty (CDGP). Stunting variasi normal tidak
membutuhkan terapi hormon pertumbuhan, namun cukup observasi terhadap
keadaan gizi anak.
DAFTAR PUSTAKA

1. Kementerian Kesehatan RI. Kondisi Pencapaian Program Kesehatan Anak


Indonesia. 2014. Tersedia di
http://www.depkes.go.id/download.php?file=download/pusdatin/infodatin/infodat
in-anak.pdf . Diakses pada 13 Juni 2019.
2. Kementerian Kesehatan RI. Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2013. Tersedia di
http://www.depkes.go.id/resources/download/pusdatin/profil-kesehatan-
indonesia/profil-kesehatan-indonesia-2013.pdf. Diakses padda 13 Juni 2019.
3. Kusuma KE, Nuryanto. Faktor risiko kejadian stunting pada anak usia 2-3 tahun
(Studi di Kecamatan Semarang Timur). Journal of Nutrition College. 2013; 2(4):
523-30.
4. Badan Penelitian Dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan RI.
Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2013. 2013. Tersedia di
http://www.depkes.go.id/resources/download/general/Hasil%20Riskesdas%20201
3.pdf. Diakses pada 13 Juni 2019.
5. Kementerian Kesehatan RI. Situasi Balita Pendek. 2016. Tersedia di
http://www.depkes.go.id/resources/download/pusdatin/infodatin/situasi-balita-
pendek-2016.pdf. Diakses pada 13 Juni 2019.
6. Purwandini K, Kartasurya MI. Pengaruh pemberian micronutrient sprinkle
terhadap perkembangan motorik anak stunting usia 12-36 bulan. Journal of
Nutrition College. 2013; 2(1): 50-9.
7. UNICEF. Global Nutrition Report: From Promise to Impact Ending Malnutrition
by 2030. 2016. Tersedia di https://data.unicef.org/wp-
content/uploads/2016/06/130565-1.pdf. Diakses pada 13 Juni 2019.
8. Batubara JRL, Susanto R, Cahyono HA. Pertumbuhan dan Gangguan
Pertumbuhan. Dalam: Buku Ajar Endokrinologi Anak. Edisi 1. Jakarta: UKK
Endokrinologi Anak dan Remaja IDAI; 2015:29-32.
9. Tridjaja B. Short Stature (Perawakan Pendek) Diagnosis dan Tata Laksana.
Dalam: Best Practices in Pediatrics. Jakarta: Ikatan Dokter Anak Indonesia
Cabang DKI Jakarta; 2013:11-8.
10. Sevilla WMA. Nutritional Considerations in Pediatric Chronic Disease. Pediatr
Rev. 2017; 38(8):343-52.
11. Pudjiadi AH, Hegar B, Handryastuti S, Idris NS, Gandaputra EP, Harmoniati
ED, editor. Perawakan Pendek. Dalam: Pedoman Pelayanan Medis Ikatan Dokter
Anak Indonesia. Jakarta: Ikatan Dokter Anak Indonesia; 2009 243-9.
12. Batubara JRL. Adolescent Development (Perkembangan Remaja). Sari Pediatri.
2010; 12(1):21-9.
13. Pulungan AM. Pubertas dan Gangguannya. Dalam: Buku Ajar Endokrinologi
Anak. Edisi 1. Jakarta: UKK Endokrinologi Anak dan Remaja IDAI; 2015:89-94

Anda mungkin juga menyukai