Anda di halaman 1dari 44

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Anak adalah manusia sejak pembuahan sampai berakhirnya proses tumbuh
kembang yang secara operasional diterjemahkan menjadi dari saat awal kehamilan
sampai dengan usia 18 tahun. Setiap anak tumbuh dan berkembang melalui proses
belajar tentang dirinya sendiri dan dunia sekitarnya. Bersamaan dengan proses
pembelajaran tersebut, anak juga mengalami pertumbuhan dan perkembangan di
dalam dirinya sendiri secara fisik maupun mental. 1 Perkembangan tersebut
meliputi aspek motorik (motorik kasar dan motorik halus), bicara dan bahasa,
personal sosial/perilaku.2
Kualitas anak sangat ditentukan oleh keberlangsungan proses tumbuh-
kembangnya sejak periode di dalam kandungan dan periode awal kehidupannya
selama masa kritis pada 3 tahun pertama. Proses tumbuh kembang anak selama
masa kritis 3 tahun pertama kehidupannya harus terpantau dan tercatat dengan
baik, yang bertujuan untuk menemukan adanya gangguan tumbuh kembang secara
dini sehingga dapat dilakukan penanganan sedini mungkin sebelum anak melewati
masa kritisnya.1
Pertumbuhan anak adalah suatu proses dinamis. Pertumbuhan normal
merupakan hasil dari interaksi kompleks antara faktor genetik, hormonal, dan
lingkungan/nutrisi. Deteksi dini gangguan pertumbuhan menjadi tugas penting
orangtua dan tenaga kesehatan. Dalam banyak kasus, pertumbuhan yang buruk
mungkin menjadi tanda awal dari masalah medis. Abnormalitas pertumbuhan juga
dapat menandai adanya penyakit dasar yang bersifat kronik serius. Keterlambatan
diagnosis dan tatalaksana gangguan pertumbuhan dapat menyebabkan potensi
genetik anak untuk tinggi tidak tercapai dan anak dapat menjadi pendek.3,4
Gangguan pertumbuhan atau kegagalan dalam pertumbuhan merupakan
salah satu masalah kesehatan terpenting di seluruh dunia, terutama di negara-
negara berkembang.4 Gangguan pertumbuhan pada anak dapat berupa wasting,
stunting, dan overweight. Data WHO tahun 2018 menunjukkan bahwa masalah
pertumbuhan tidak hanya gizi buruk, tetapi juga kependekan dan gizi lebih.
Prevalensi balita gizi buruk sebesar 7,3%, overweight sebesar 5,9% dan balita
stunting (pendek) sebanyak 21,9%. Secara nasional di Indonesia berdasarkan data
Riskesdas 2018, prevalensi status gizi balita menurut BB/U terdiri dari 3,9% gizi
buruk, 13,8% gizi kurang, 11,4% gizi baik, dan 3,1% gizi lebih. Sedangkan untuk
data menurut TB/U, diperoleh hasil anak sangat pendek 11,5 % dan pendek
sebesar 19,3%.5
Keterlambatan perkembangan terjadi ketika anak gagal mencapai
milestones perkembangan dibandingkan dengan anak seusianya pada populasi
yang sama. Hal tersebut dapat terjadi dalam satu aspek saja (keterlambatan
perkembangan terisolasi) atau lebih dari satu aspek. Keterlambatan yang
signifikan dalam dua atau lebih aspek perkembangan disebut dengan
keterlambatan perkembangan global (Global Developmental Delay/GDD).6
Banyak penelitian telah menggambarkan dampak negatif dari gangguan
perkembangan pada anak-anak, termasuk masalah emosional, perilaku dan
kesehatan di kemudian hari, kesulitan dalam pengasuhan anak, hubungan orang
tua dengan anak, prestasi pendidikan, dan dampak ekonomi pada keluarga dan
masyarakat. Data dari World Health Organization (WHO), menunjukkan bahwa
5% dari anak-anak di dunia dibawah usia 15 tahun memiliki gangguan
perkembangan sedang hingga berat. Di Amerika Serikat, gangguan perkembangan
terjadi pada 15% anak-anak dari usia 3-17 tahun.4
Gangguan perkembangan sering terjadi pada anak yang tinggal di daerah
kumuh, dengan prevalensi 12-16% di Amerika dan 13-18% di Indonesia. Namun,
sebagian besar kasus tidak terdiagnosis dan tidak diobati, meskipun ada anggapan
bahwa anak-anak dengan gangguan perkembangan memiliki prognosis yang lebih
baik jika masalahnya dapat dideteksi dan diobati lebih awal. 4 Oleh karena itu,
mengidentifikasi faktor risiko gangguan perkembangan pada anak dapat
memberikan pemahaman yang lebih baik dan pendekatan yang lebih efektif untuk
deteksi dini serta intervensi dini pada populasi tertentu.
1.2 Tujuan Penulisan
Referat ini bertujuan untuk mengetahui jenis-jenis gangguan pertumbuhan
dan perkembangan pada anak.
1.3 Metode Penulisan
Penulisan referat ini menggunakan tinjauan kepustakaan yang merujuk
kepada berbagai literatur.
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Gangguan Pertumbuhan Anak


Pertumbuhan fisik pada anak erat kaitannya dengan pemenuhan gizi. Anak
usia prasekolah (usia 3-5 tahun) mengalami penurunan kecepatan pertumbuhan
fisik (berat badan dan tinggi badan) dibandingkan saat usia bayi. Hal ini
dipengaruhi oleh penurunan nafsu makan dan kurangnya ketertarikan makanan
pada anak usia prasekolah yang berdampak pada penurunan asupan makanan.7
Pertumbuhan fisik seorang anak dapat diketahui melalaui tiga pengukuran, yaitu
pengukuran berat badan, pengukuran tinggi badan, dan pengukuran lingkar
kepala. Gangguan pertumbuhan dari aspek berat badan yang sering ditemukan
adalah gizi kurang dan gizi lebih (gemuk dan obesitas) sedangkan gangguan
pertumbuhan dari aspek tinggi badan yang sering ditemukan adalah pendek
(stunting). Gangguan pertumbuhan dari aspek lingkar kepala yang sering
ditemukan adalah makrosefal dan mikrosefal.7
Salah satu gangguan pertumbuhan fisik yang banyak ditemukan
dimasyarakat adalah stunting. Stunting merupakan indikator gangguan
pertumbuhan yang paling baik dan akurat untuk menunjukkan ketidakseimbangan
tumbuh-kembang anak. Stunting tidak hanya berpengaruh terhadap kenampakan
fisik, namun juga berpengaruh terhadap perkembangan kognitif, prestasi sekolah,
produktivitas saat bekerja, dan outcome reproduksi jika stunting dialami oleh
wanita.8

2.1.1 Perawakan Pendek/Stunting


Pertumbuhan linier dapat dipengaruhi oleh etnis, genetik, hormonal,
psikososial, nutrisi, penyakit kronis, dan faktor lingkungan lainnya. Gangguan
pertumbuhan linier akan berakibat perawakan pendek.8 Perawakan pendek adalah
tinggi badan kurang dari persentile-3 pada kurva yang sesuai untuk jenis kelamin,
usia, dan ras. Perawakan pendek bukanlah suatu diagnosis akhir, tapi langkah
awal untuk menentukan apalah bersifat patologis atau fisiologis (varian normal).
Pada perawakan pendek dengan tinggi badan antara -2SD dan -3SD kira-kira 80%
adalah varian normal, sedangkan bila tinggi badan >-3SD maka kemungkinan
patologis adalah 80%.8
a. Etiologi
Etiologi dari perawakan pendek pada dasarnya dibagi dua, yaitu kondisi
non patologis dan kondisi patologis. Kondisi non patologis yang dapat
menyebabkan perawakan pendek adalah constitutional delay of growth and
puberty (CDGP) dan familial short stature (FSS). Kondisi patologis yang dapat
menyebabkan perawakan pendek adalah pertumbuhan janin terhambat (PJT),
gangguan hormonal (defisiensi hormon pertumbuhan, hipotiroidisme), gangguan
non-hormonal (malnutrisi, penyakit infeksi kronis), kelainan skeletal
(akondroplasia, riketsia), kelainan metabolik bawaan (mucopolysaccharidosis),
sindrom Turner, sindrom Down, dan lain-lain.9
Studi lain mengklasifikasikan etiologi stunting menjadi empat penyebab
utama, yaitu9:
- Genetika: Tinggi seseorang ditentukan oleh susunan genetik mereka. Jika
salah satu orang tua memiliki perawakan pendek atau mencatatnya dalam
riwayat keluarga mereka, maka ada kemungkinan lebih besar bahwa mereka
juga akan memiliki perawakan pendek. Tetapi perawakan pendek genetik
hanya berlaku jika tidak ada alasan medis yang mendasarinya. Ini juga telah
dikategorikan sebagai familial short stature (FSS). Individu yang memiliki
susunan genetik perawakan pendek akan mencapai ketinggian dalam kisaran
tinggi target. Mereka memiliki tingkat pertumbuhan normal dan tidak
memiliki keterlambatan usia tulang.
- Keterlambatan pertumbuhan konstitusional: Keterlambatan pertumbuhan
konstitusional berkaitan dengan tempo pertumbuhan atau kecepatan
pertumbuhan. Tempo pertumbuhan selama proses pertumbuhan individu-
individu ini mungkin lambat atau normal. Beberapa anak berkembang lebih
lambat dari yang lain, yaitu, mereka memiliki usia tulang yang tertunda.
Mereka kecil berdasarkan usia dan memasuki masa pubertas pada usia lebih
tua dari yang lain. Malnutrisi adalah salah satu faktor yang mempengaruhi
tempo pertumbuhan dan perkembangan tulang, yang selanjutnya dapat
memperburuk perawakan pendek pada individu yang memiliki kecenderungan
genetik. Malnutrisi selama masa kehamilan menyebabkan bayi kurus,
sedangkan pada masa kanak-kanak menyebabkan pertumbuhan terhambat.
Seiring dengan malnutrisi, genetika memainkan peran penting dalam
menentukan tempo pertumbuhan. Individu-individu ini dapat dikategorikan ke
dalam constitutional delay of growth and adolescence (CDGA).
- Pubertas dini: Perawakan pendek juga dapat terjadi akibat pubertas dini pada
anak. Ada berbagai alasan insiden pubertas dini, termasuk perkembangan awal
ovarium, adrenal, kelainan hipofisis, otak, sistem saraf pusat, dan riwayat
penyakit keluarga.
- Alasan medis: Beberapa alasan medis dapat menyebabkan perawakan pendek.
Ini termasuk penyakit dan gangguan, yang paling signifikan adalah
kekurangan hormon.
 Gangguan endokrin: Penyebab medis utama perawakan pendek adalah
defisiensi hormon pertumbuhan. Ini dapat dikategorikan sebagai gangguan
endokrin. Hormon pelepas hormon pertumbuhan (GHRH) yang dilepaskan
oleh hipotalamus merangsang produksi dan sekresi hormon pertumbuhan
(GH) dari hipofisis anterior. Hormon pertumbuhan ini bekerja pada hati
dan jaringan lain dan merangsang sekresi insulin-like growth factor-1
(IGF-1), yang selanjutnya bekerja pada tulang dan mendorong osifikasi
endokondral. Studi menemukan korelasi positif antara IGF-1 dan tinggi
badan, menunjukkan tingkat IGF-1 yang lebih rendah pada individu
dengan perawakan pendek. Penyebab endokrin lain untuk perawakan
pendek adalah kekurangan androgen, menyebabkan penurunan
pembentukan dan perkembangan tulang.
 Kelainan genetik: Berbagai kelainan genetik mempengaruhi pertumbuhan,
termasuk sindrom Down, sindrom Turner, sindrom 3M, sindrom Noonan,
sindrom Prader-Willi, sindrom Aarskog, sindrom Silver-Russell, short
stature homeobox gene deficiency, dll. Kelainan genetik ini mempengaruhi
pertumbuhan individu, mengakibatkan perawakan pendek. Mereka juga
terkait dengan ketidakseimbangan hormon, yang dapat bermanifestasi
sebagai insufisiensi ovarium, pertumbuhan yang lambat, kurangnya
percepatan pertumbuhan pada waktu yang diharapkan, siklus menstruasi
yang tidak teratur, dll.
 Penyakit tulang: Penyakit tulang mempengaruhi pertumbuhan tulang,
sehingga mempengaruhi tinggi badan orang tersebut. Penyakit ini
termasuk achondroplasia (kerdil berkaki pendek), displasia diastrofik
(kerdil berkaki pendek), displasia spondyloepiphyseal (kerdil berbatang
tubuh pendek), rakhitis, dll.
 Gangguan kronis: Gangguan kronis juga mempengaruhi pertumbuhan
seseorang secara keseluruhan, termasuk tinggi badan. Gangguan ini
termasuk cystic fibrosis, penyakit Crohn, juvenile idiopathic arthritis
(JIA), anemia, insufisiensi ginjal kronis, gangguan inflamasi usus, dll.
 Polutan lingkungan: Penelitian telah menunjukkan bahwa paparan polutan
lingkungan seperti timbal, kadmium, heksaklorobenzena (HCB),
poliklorinasi bifenil (PCB), dll., telah dikaitkan dengan penurunan tinggi
badan.
b. Faktor Resiko
Beberapa kondisi yang menjadi faktor resiko kejadian stunting dapat
digambarkan sebagai berikut:9
1. Praktek pengasuhan yang kurang baik, termasuk kurangnya pengetahuan ibu
mengenai kesehatan dan gizi sebelum dan pada masa kehamilan, serta
setelah ibu melahirkan. Studi menunjukkan bahwa 60% dari anak usia 0-6
bulan tidak mendapatkan Air Susu Ibu (ASI) secara ekslusif, dan 2 dari 3
anak usia 0-24 bulan tidak menerima Makanan Pendamping Air Susu Ibu
(MP-ASI). MP-ASI diberikan/mulai diperkenalkan ketika balita berusia
diatas 6 bulan. Selain berfungsi untuk mengenalkan jenis makanan baru
pada bayi, MPASI juga dapat mencukupi kebutuhan nutrisi tubuh bayi yang
tidak lagi dapat disokong oleh ASI, serta membentuk daya tahan tubuh dan
perkembangan sistem imunologis anak terhadap makanan maupun
minuman.
2. Masih terbatasnya layanan kesehatan termasuk layanan ANC-Ante Natal
Care (pelayanan kesehatan untuk ibu selama masa kehamilan) Post Natal
Care dan pembelajaran dini yang berkualitas.
3. Masih kurangnya akses rumah tangga/keluarga ke makanan bergizi.
4. Kurangnya akses ke air bersih dan sanitasi.
c. Pendekatan Diagnosis
Dalam menghadapi anak dengan perawakan pendek diperlukan anamnesis,
pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang.8
- Anamnesis
Tanyakan informasi mengenai riwayat keluarga (perawakan pendek pada
orangtua dan saudara kandung, pubertas terlambat, psikososial/emosianal),
riwayat nutrisi (asupan nutrisi kualitas dan kuantitas), identifikasi kondisi
predisposisi, seperti infeksi, kecil untuk usia kehamilan saat lahir, sindrom
bawaan, penyakit kronis yang melibatkan sistem organ utama, malnutrisi, dan
obatan-obatan (steroid).8
- Pemeriksaan Fisik
Lakukan pengukuran tinggi badan, berat badan, dan lingkar kepala. Hitung
indeks massa tubuh dan plot ke kurva pertumbuhan yang sesuai untuk
pengkajian status nutrisi. Lakukan penilaian apakah ada kelainan kongenital
atau gambaran dismorfik. Evaluasi perkembangan pubertas dan nilai menurut
usia.9
- Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan elektrolit serum, urin dan feses rutin, darah tepi lengkap, laju
endap darah, dan pemeriksaan usia tulang adalah langkah utama dan strategis
untuk menemukan etiologi perawakan pendek.9
Pemeriksaan yang baik dan terarah diperlukan agar dapat diketahui etiologi
dan mengindari pemeriksaan yang tidak perlu. Adapun tanda bahaya (red flags)
dari stunting adalah sebagai berikut:10
- Tinggi badan >2-2,5 SD dibawah rata-rata
- Kecepatan pertumbuhan di bawah normal
- Abnormalitas proporsi tubuh
- Abnormalitas rasio tinggi badan:berat badan
- Dismorfik
- Goiter
- Abnormalitas sistem saraf pusat
d. Skrining
Deteksi gangguan pertumbuhan dapat dilakukan dengan pengukuran
panjang/tinggi dan berat badan secara berkala sesuai rekomendasi. Tindakan
terpenting yang harus dilakukan dokter dan orangtua adalah deteksi dini. Hal ini
dilakukan dengan pemantauan pertumbuhan setiap bulan untuk balita, dan untuk
tinggi badan pada anak <1 tahun diperiksakan saat lahir,1,2,4,6,9,12 bulan; usia 1-
2 tahun setiap 3 bulan, dan satu tahun sekali untuk anak yang lebih besar.4
e. Tatalaksana
Perawakan pendek variasi normal (non patologis) tidak membutuhkan
pengobatan maupun terapi hormonal,. Terapi perawakan pendek yang bersifat
patologis ditatalaksana sesuai etiologinya. Terapi pemberian hormon pertumbuhan
diberikan atas konsultasi dan pengawasan dari ahli endokrinologi anak. Terapi
pembedahan dibutuhkan pada kasus tertentu, seperti tumor intrakranial. Beberapa
anak melaporkan bahwa mereka memiliki rasa percaya diri yang rendah karena
berperawakan lebih pendek dari teman sebayanya dan anak-anak tersebut
cenderung menjadi bahan ejekan atau bullying, untuk kasus demikian, rujukan
psikolog lebih membantu.9,10
- Pengobatan analog hormon pelepas gonadotropin (GnRHa) diberikan jika
terjadi perkembangan pubertas dini. Pemberian GnRHa menekan
gonadotropin, dan sekresi steroid gonad memungkinkan peningkatan waktu
untuk perkembangan menarche. Ini akan menyebabkan keterlambatan
pematangan tulang dan fusi lempeng epifisis. Hal ini juga mempengaruhi
kecepatan pertumbuhan.
- Terapi androgen dosis rendah, menggunakan oksandrolon, yang diberikan
kepada pria peri-pubertas, telah terbukti meningkatkan potensi pertumbuhan
tetapi tidak memiliki efek positif pada tinggi badan.
- Inhibitor aromatase menghambat aksi aromatase, enzim yang mengubah
androgen menjadi estrogen, androstenedion menjadi estron, dan testosteron
menjadi estradiol, sehingga menunda pubertas. Inhibitor aromatase telah
ditemukan efektif pada anak-anak. Studi menunjukkan bahwa inhibitor
aromatase menunda pematangan tulang dan meningkatkan tinggi badan.9,10

2.1.2 Malnutrisi
2.1.2.1 Kwashiorkor
a. Definisi
Kwashiorkor adalah penyakit yang ditandai dengan malnutrisi protein berat
dan pembengkakan ekstremitas bilateral. Biasanya menyerang bayi dan anak-
anak, paling sering sekitar usia penyapihan hingga usia 5 tahun. Penyakit ini
terlihat pada kasus kelaparan dan wilayah miskin yang sangat parah di seluruh
dunia. Pada 1950-an, itu diakui sebagai krisis kesehatan masyarakat oleh WHO.
Gejala umum dari kwashiorkor adalah hipoalbuminemia, edema, penurunan
imunitas, dermatitis, anemia, apatis, dan terjadi penipisan rambut.11
b. Etiologi
Etiologi kwashiorkor secara detail tidak diketahui, namun diet terutama yang
terkait jagung, singkong, atau nasi sering dikaitkan dengan penyakit ini.
Sebelumnya diyakini karena kekurangan protein dan rendahnya tingkat
antioksidan dan aflatoksin. Beberapa faktor yang secara konsisten terkait dengan
penyakit ini termasuk penyapihan, infeksi (terutama campak), dan gangguan pada
masa kanak-kanak (kematian orang tua, lingkungan rumah, kemiskinan).11
c. Patofisiologi
Kwashiorkor ditandai dengan edema perifer pada seseorang yang menderita
kelaparan. Edema merupakan hasil dari hilangnya keseimbangan cairan antara
tekanan hidrostatik dan onkotik di dinding pembuluh darah kapiler. Pertama,
konsentrasi albumin berkontribusi pada tekanan onkotik, memungkinkan tubuh
menyimpan cairan di dalam pembuluh darah. Anak-anak dengan kwashiorkor
ditemukan memiliki kadar albumin yang sangat rendah dan, sebagai akibatnya,
cairan keluar dari intravaskular. Kedua, hormon antidiuretik (ADH) meningkat
sebagai respons terhadap hipovolemia, yang mengakibatkan edema. Ketiga, renin
plasma merespon secara agresif, menyebabkan retensi natrium.
Kwashiorkor juga ditandai dengan rendahnya kadar glutathione (antioksidan).
Hal ini mencerminkan tingkat stres oksidan yang tinggi pada anak yang
kekurangan gizi. Tingkat oksidan yang tinggi biasanya terlihat selama kelaparan
dan bahkan terlihat pada kasus peradangan kronis. Salah satu langkah
memperbaikinya adalah peningkatan status gizi dan antioksidan yang
mengandung belerang. Ada juga teori eksperimental yang menyatakan bahwa
perubahan mikrobioma/virone berkontribusi pada malnutrisi edema.11
d. Diagnosis
Manifestasi klinis yang dapat ditemukan pada kwashiorkor meliputi: edema
pitting perifer, atrofi otot, distensi abdomen (dengan/tanpa dilatasi usus dan
hepatomegali), wajah bulat (tonjolan pipi, atau "wajah bulan"), kulit tipis, kering,
mengelupas dengan area bersisik dan hiperpigmentasi, rambut kering,
hipopigmentasi, mudah rontok dan dicabut, hepatomegali (dari infiltrat
perlemakan hati), keterlambatan pertumbuhan, perubahan psikis (anoreksia,
apatis), lesi kulit/dermatitis (perineum, selangkangan, tungkai, telinga, ketiak),
dan retensi lemak subkutan dengan lipatan kulit inguinal bagian dalam yang
longgar.
WHO memiliki sistem klasifikasi untuk mengevaluasi keparahan malnutrisi
yang menentukan wasting versus kwashiorkor. Terdapat tiga ukuran klinis yang
digunakan sebagai penilaian: lingkar lengan atas-tengah, skor Z berat-untuk-
tinggi/panjang badan, dan adanya pitting edema simetris. Secara umum lingkar
lengan atas-tengah kurang dari 110 mm sangat terkait dengan kematian pada bayi
di bawah 6 bulan. Riwayat nutrisi, riwayat medis masa lalu, riwayat vaksinasi,
dan riwayat keluarga juga penting untuk diketahui dari pasien yang diduga
malnutrisi.11
e. Tatalaksana
Berikut ini adalah sepuluh prinsip utama yang digunakan secara universal
untuk pengobatan pasien yang dirawat karena kwashiorkor. Prinsip-prinsip ini
dilakukan dalam fase yang berbeda dari saat anak tiba yang membutuhkan
stabilisasi darurat hingga rehabilitasi, yaitu11:
- Mengobati/mencegah hipokalsemia
- Mengobati/mencegah hipotermia
- Mengobati/mencegah dehidrasi
- Memperbaiki ketidakseimbangan elektrolit
- Mengobati/mencegah infeksi
- Memperbaiki defisiensi mikronutrien
- Mulai memberi makan dengan hati-hati
- Megejar target pertumbuhan
- Memberikan stimulasi sensorik dan dukungan emosional
- Mempersiapkan tindak lanjut setelah pemulihan

2.1.2.2 Marasmus
a. Definisi
Marasmus adalah manifestasi berat dari kekurangan energi protein. Ini terjadi
sebagai akibat dari insufisiensi kalori total. Hal ini menyebabkan hilangnya
jaringan adiposa dan otot. Anak dengan marasmus mungkin memiliki nilai berat-
untuk-tinggi badan yang lebih dari 3 standar deviasi di bawah rata-rata untuk usia
atau jenis kelaminnya.12
b. Etiologi
Penyebab utama marasmus adalah asupan kalori total yang tidak mencukupi.
Penyebab sosial yang mendasari marasmus pada anak-anak adalah kemiskinan.
Kemiskinan dapat terjadi sebagai akibat dari rendahnya status dan pendidikan ibu
yang tidak memadai disertai dengan perang, bencana alam, dan ketidakstabilan
sipil. Pendidikan ibu merupakan faktor kunci lain dalam kemungkinan terjadinya
malnutrisi pada anak.
Penyebab biologis malnutrisi pada anak termasuk HIV/AIDS dan penyakit
menular lainnya. Anak-anak yang telah terinfeksi HIV memiliki hasil gizi yang
buruk dibandingkan dengan mereka yang tidak. Ibu menyusui yang terinfeksi HIV
juga cenderung memiliki simpanan protein dan mikronutrien yang buruk
dibandingkan dengan ibu yang tidak terinfeksi HIV.12

c. Diagnosis
Presentasi klinis marasmus sangat bervariasi tergantung pada tingkat
keparahan dan durasi restriksi kalori. Marasmus umumnya muncul dengan
kegagalan perkembangan. Pada bayi, mungkin berhubungan dengan iritabilitas
dan apatis. Selain itu, bayi mungkin memiliki ubun-ubun cekung akibat dehidrasi.
Penurunan berat badan awalnya paling terlihat pada daerah lipatan, kemudian di
bokong, wajah, dan paha. Kehilangan lemak di wajah menyebabkan penampilan
'orang tua' yang khas pada marasmus.
Marasmus juga dapat dikaitkan dengan hipotensi, hipotermia, anemia, rakhitis,
dan bradikardia. Anak akan kurang dari 60% dari berat badan untuk usia.
Marasmus yang berlangsung lama dikaitkan dengan perawakan pendek. Lakukan
pemeriksaan apakah ditemukan tanda mata kering, bintik Bitot, kuku sendok
(koilonychia), dan tanda Chvostek atau Trousseau.
Pemeriksaan laboratorium dapat digunakan dalam diagnosis malnutrisi energi
protein bersama dengan pemeriksaan defisiensi mineral terkait. Pemeriksaan
laboratorium yang direkomendasikan oleh WHO meliputi pemeriksaan
hemoglobin dan apusan darah, glukosa darah, albumin serum, elektrolit,
mikroskop tinja, dan kultur, termasuk pemeriksaan parasit, tes human
immunodeficiency virus, serta pemeriksaan mikroskopis dan kultur urin.12
d. Tatalaksana
Penatalaksanaan marasmus dibagi menjadi tiga fase utama12:
1. Resusitasi dan stabilisasi
Penyebab utama kematian pada marasmus termasuk dehidrasi dan infeksi,
tujuan utama selama fase resusitasi dan stabilisasi adalah untuk rehidrasi,
mencegah infeksi yang dapat berkembang menjadi sepsis, dan menghindari
komplikasi pengobatan marasmus seperti sindrom refeeding. Fase ini
berlangsung selama kurang lebih satu minggu dan merupakan fase dimana
pasien paling rentan.
2. Rehabilitasi nutrisi
Setelah komplikasi akut marasmus telah diobati dan nafsu makan anak
mulai kembali seiring dengan koreksi kelainan elektrolit dan sepsis, fase
rehabilitasi nutrisi dapat dimulai. Ini termasuk peningkatan bertahap asupan
kalori, vaksinasi, dan peningkatan aktivitas motorik. Anak-anak mungkin
membutuhkan 120% hingga 140% dari asupan kalori yang dibutuhkan untuk
mempertahankan tingkat pertumbuhan yang serupa dengan teman sebayanya.
Fase rehabilitasi nutrisi dapat berlangsung dari 2 hingga 6 minggu.
3. Tindak lanjut dan pencegahan kekambuhan
Terdapat risiko kambuh, penting untuk menindaklanjuti pasien yang
mengalami marasmus. Edukasi harus diberikan kepada ibu tentang menyusui
dan makanan tambahan.

2.1.3 Obesitas
a. Definisi
Obesitas adalah akumulasi berlebihan atau abnormal dari lemak atau jaringan
adiposa dalam tubuh yang mengganggu kesehatan. Insiden obesitas terjadi pada
sekitar 17% remaja di Amerika Serikat. Menurut data Center for Disease Control
and Prevention (CDC) 2011-2012, satu dari lima remaja, satu dari enam anak usia
sekolah dasar, dan satu dari 12 anak usia prasekolah mengalami obesitas.13
b. Etiologi
Obesitas adalah hasil dari ketidakseimbangan antara asupan energi harian dan
pengeluaran energi yang mengakibatkan penambahan berat badan yang
berlebihan. Obesitas adalah penyakit multifaktorial, yang disebabkan oleh banyak
faktor genetik, budaya, dan sosial. Berbagai penelitian genetik telah menunjukkan
bahwa obesitas diwariskan, dengan banyak gen yang teridentifikasi terkait adiposa
dan penambahan berat badan. Penyebab lain dari obesitas termasuk berkurangnya
aktivitas fisik, insomnia, gangguan endokrin, obat-obatan, aksesibilitas dan
konsumsi kelebihan karbohidrat dan makanan tinggi gula, dan penurunan
metabolisme energi.
Sindrom paling umum yang terkait dengan obesitas termasuk sindrom Prader
Willi dan sindrom MC4R, fragile X, sindrom Bardet-Beidl, defisiensi leptin pada
Wilson Turner Syndrome, dan sindrom Alstrom.13

c. Diagnosis
Anamnesis secara mendetail perlu dilakukan untuk menyaring penyebab yang
mendasari berkontribusi terhadap obesitas. Riwayat lengkap mencakup: riwayat
berat badan masa kecil, upaya dan hasil penurunan berat badan sebelumnya,
riwayat nutrisi lengkap, pola tidur, aktivitas fisik, riwayat pembedahan, riwayat
konsumsi obat-obatan yang dapat meningkatkan berat badan, dan riwayat
keluarga.13
Pemeriksaan fisik mencakup pengukuran indeks massa tubuh (IMT), lingkar
berat badan, habitus tubuh, dan tanda-tanda vital. IMT merupakan alat skrining
standar untuk obesitas. IMT dihitung menggunakan berat badan dalam kilogram
dibagi dengan kuadrat tinggi badan dalam meter. Obesitas dapat diklasifikasikan
menurut BMI13:
- Underweight: kurang dari 18,5 kg/m2
- Normal: 18,5 kg/m2 hingga 24,9 kg/m2
- Overweight: 25 kg/m2 hingga 29,9 kg/m2
- Obesitas, Kelas I: 30 kg/m2 hingga 34,9 kg/m2
- Obesitas, Kelas II: 35 kg/m2 hingga 39,9 kg/m2
- Obesitas, Kelas III: lebih dari 40 kg/m2
d. Tatalaksana
Modifikasi diet harus individual dengan pemantauan ketat penurunan berat
badan secara teratur. Direkomendasikan diet rendah kalori. Kalori rendah bisa
dibatasi karbohidrat atau lemak. Diet rendah karbohidrat dapat menghasilkan
penurunan berat badan yang lebih besar di bulan-bulan pertama dibandingkan
dengan diet rendah lemak. Obat antiobesitas dapat digunakan untuk BMI lebih
besar atau sama dengan 30 atau BMI lebih besar atau sama dengan 27 dengan
penyakit penyerta. Sedangkan pembedahan, diindikasikan pada BMI lebih besar
atau sama dengan 40 atau BMI 35 atau lebih besar dengan kondisi komorbiditas
yang parah.13

2.1.4 Kretin Endemik


a. Definisi
Kretin merupakan keadaan yang disebabkan oleh hipotiroidisme ekstrem pada
waktu bayi dan anak yang ditandai oleh kegagalan pertumbuhan. Kretin endemik
adalah kelainan akibat kekurangan iodium yang berat pada saat masa fetal dan
merupakan indicator penting bagi gangguan akibat kekurangan iodium. Tanda-
tanda klinis yang menonjol yaitu adanya retardasi mental, postur pendek, muka
dan tangan tampak sembab dan sering disertai dengan mutisme dan tanda-tanda
kelainan neurologis lainnya.14
b. Etiologi
Prevalensi kretin didaerah defisiensi iodium berat berkisar antara 1-15%.
Kretin endemik pada umumnya terjadi akibat lahir didaerah defisiensi iodium
yang sangat berat dengan median kadar iodium urin < 25µg/L.14
c. Diagnosis
Gambaran klinis kretin bervariasi, khususnya tergantung dari aspek geografi.
Kretin endemic terdiri dari 3 tipe, yaitu kretin tipe nervosa, tipe miksedematosa,
dan tipe campuran.14
- Kretin tipe nervosa, gambaran yang khas meliputi: retardasi mental yang
sangat berat, gangguan pendengaran dan bisu tuli, strabismus, adanya
sindrom paresis sistem piramidalis khususnya tungkai bawah dan kadang-
kadang disertai sindroma ekstrapiramidalis, sikap berdiri dan berjalan
yang khas spastik dan ataksik, kadang pada kasus berat sampai tidak bisa
berdiri. Gangguan klinis utama dari tipe ini adalah defisiensi intelektual,
tuli, dan “motor-rigidity” yang menggambarkan keterlibatan neokorteks,
serebri, ganglia basal, dan koklea.
- Kretin tipe miksedematosa dapat terjadi karena defisiensi iodium maternal
dan fetal serta masih dialami pada saat post-natal. Ciri-ciri kretin tipe
miksedematosa adalah: retardasi mental dengan derajat yang lebih ringan
dibandingkan dengan tipe nervosa, adanya tanda-tanda hipotiroid klinik
seperti tubuh sangat pendek, miksedema, kulit kering, rambut jarang,
perkembangan seksual terhambat, dan kadang disertai dengan gangguan
neurologis seperti spastisitas tungkai bawah, reflex plantaris, serta
gangguan gaya berjalan.
- Kretin tipe campuran, gambaran gabungan dari kedua tipe, dapat
ditemukan: retardasi mental, gangguan neuromotorik yang jelas, dan
adanya tanda-tanda hipotiroid klinik.

2.2 Gangguan Perkembangan Anak


Gangguan perkembangan pada anak terjadi ketika seorang anak tidak
mampu mencapai milestones perkembangan dibandingkan dengan anak seusianya.
Derajat keterlambatan perkembangan dapat diklasifikasikan menjadi derajat
ringan (usia fungsional <33% di bawah usia kronologis), sedang (usia fungsional
34-66% dari usia kronologis), dan berat (usia fungsional <66% dari usia
kronologis).6 Secara umum gangguan perkembangan anak dibedakan menjadi 3
gangguan, yaitu gangguan perkembangan motorik (motorik kasar dan halus),
gangguan perkembangan bahasa, dan gangguan personal sosial/perilaku.
Gangguan tersebut mempunyai karakteristik, deteksi, dan penanganan yang
berbeda-beda.6

2.2.1 Gangguan Perkembangan Motorik


2.2.1.1 Gangguan Motorik Kasar
Motorik kasar adalah gerakan yang memerlukan koordinasi kelompok
otot-otot anak yang dapat membuat mereka melompat, memanjat, berlari dan
menaiki sepeda. Kemampuan motorik kasar menjadi aspek pertama dari milestone
yang harus dikuasai oleh seorang anak.2 Motorik kasar membantu anak untuk
berinteraksi dengan lingkungannya sehingga memberi kesempatan untuk
memaksimalkan potensi mereka untuk aspek perkembangan lainnya. Oleh karena
itu, jika seorang anak mengalami keterlambatan motorik kasar, mereka berisiko
lebih tinggi mengalami keterlambatan perkembangan aspek lainnya.7
Fungsi motorik kasar yang buruk dapat disebabkan oleh berbagai
gangguan perkembangan saraf, seperti gangguan perkembangan koordinasi, palsi
serebral, keterlambatan perkembangan, atau cedera otak minimal yang dapat
mengakibatkan defisit motorik kasar derajat ringan-sedang. Palsi serebral
merupakan penyebab paling umum gangguan motorik kasar di masa kanak-
kanak.7

Palsi Serebral
Palsi serebral adalah sekelompok gangguan perkembangan saraf yang
memengaruhi fungsi tonus otot, gerakan, dan keterampilan motorik. Diagnosis
biasanya ditegakkan pada rentang usia 12-24 bulan. Penyebab palsi serebral hanya
dapat diidentifikasi apada 50% kasus. Faktor risiko palsi serebral dikelompokkan
menjadi faktor prenatal, perinatal, dan postnatal.15
1. Faktor Prenatal
Terdiri atas prematuritas, berat badan lahir rendah, riwayat epilepsi pada
ibu selama kehamilan, hipertiroidisme, infeksi TORCH, perdarahan pada
trimester ketiga, inkompeten serviks, penyalahgunaan obat, trauma, kehamilan
ganda, dan insufisiensi plasenta.15
2. Faktor Perinatal
Terdiri atas persalinan lama dan sulit, ketuban pecah dini, anomali
presentasi, perdarahan vagina, dan hipoksia.15
3. Faktor Postnatal (0-2 tahun)
Infeksi SSP, hipoksia, kejang, koagulopati hiperbilirubinemia neonatus,
dan trauma kepala.15
Anak-anak dengan palsi serebral memiliki tiga jenis masalah motorik.
Gangguan primer, yaitu dari tonus otot (spastisitas dan distonia), keseimbangan,
kekuatan, selektivitas, dan sensasi yang berkaitan langsung dengan lesi pada otak.
Gangguan sekunder terjadi sebagai respon terhadap gangguan primer dan
pertumbuhuan muskuloskeletal. Gangguan sekunder terdiri atas kontraktur
(equinus, adduksi) dan deformitas (skoliosis) yang akan bertambah parah seiring
pertambahan usia. Gangguan tersier adalah mekanisme dan respon adaptif yang
dikembangkan oleh anak untuk beradaptasi dengan masalah primer dan sekunder,
seperti spastisitas otot gastrocnemius (gangguan primer) yang menyebabkan
kontraktur plantar fleksi pergelangan kaki (gangguan sekunder) dan hiperekstensi
lutut sebagai mekanisme adaptif (gangguan tersier). Adapun tanda bahaya dari
palsi serebral pada anak adalah sebagai berikut:15
1. Hanya menggunakan satu tangan dalam mengambil benda atau tidak
menggunakan kedua tangan saat bermain.
2. Keterlambatan dalam pencapaian motorik awal, seperti membalikkan
badan, duduk, merangkak, berdiri dan berjalan.
3. Kekakuan atau kelemahan otot di satu sisi tubuh.
4. Kesulitan dengan perkembangan awal berjalan dan keseimbangan.
5. Gerakan dan postur tubuh asimetris.
Tatalaksana palsi serebral yang berkaitan dengan gejala gangguan motorik
dapat dilakukan dengan fisioterapi. Meskipun efektivitasnya dalam meningkatkan
fungsi fisik tidak pasti, fisioterapi membantu dalam mendorong orangtua atau
pengasuh anak untuk belajar cara terbaik untuk menangani anak, melatih ke toilet,
mencuci tangan, dan memberi makan anak-anak dengan palsi serebral dan
membantu untuk meningkatkan postur dan mobilitas tubuh anak. Teknik terapi
okupasi berusaha untuk meningkatkan fungsi, tetapi juga fokus pada
memaksimalkan kemampuan anak untuk menyelesaikan aktivitas kehidupan
sehari-hari, pendidikan, dan pekerjaan. Hal ini sangat membantu dalam
memaksimalkan fungsi motorik yang tersedia. Selain itu, stimulasi listrik,
hipnoterapi, pijat, dan vibrasi pada tubuh dinyatakan gagal secara signifikan untuk
menunjukkan perbaikan gejala motorik pada anak.15

Spina Bifida
Spina bifida adalah kelainan kongenital dimana tulang belakang terbelah
(bifid) akibat kegagalan penutupan tabung saraf embrio, selama minggu keempat
pasca pembuahan. Anak dengan spina bifida sering menunjukkan defisit
neurologis motorik dan sensorik di bawah level dari lesi, sehingga dapat
menyebabkan kelemahan ekstremitas bawah atau kelumpuhan yang menggagu
dalam berjalan. Banyak studi epidemiologi yang menggabungkan spina bifida
bersama dengan defek terkait anencephaly, dan kadang-kadang juga dengan
encephalocele, di bawah istilah umum 'neural tube defect' (NTDs). Prevalensi
NTD di Amerika Serikat dan negara Eropa diperkirakan 0,5-0,8/1000 kelahiran ,
sedangkan prevalensi di beberapa wilayah Cina telah dilaporkan 20 kali lebih
tinggi. Dengan asumsi prevalensi rata-rata satu kasus NTD per 1000 kelahiran,
dengan populasi global 7 miliar dan tingkat kelahiran 20 per 1000 penduduk, ini
menghasilkan angka 140.000 kasus NTD per tahun di seluruh dunia.16
Gangguan utama dalam patogenesis spina bifida adalah kegagalan
penutupan tabung saraf di daerah tulang belakang embrionik yang menyebabkan
terpaparnya tabung oleh cairan ketuban sehingga menyebakan neuron mati akibat
keracunan cairan ketuban. Tidak diketahui apa yang menyebabkan spina bifida
tetapi beberapa hal dapat meningkatkan risiko bayi mengalami kondisi tersebut.16
1. Kekurangan Asam Folat
Asupan asam folat ibu sebelum dan selama awal kehamilan merupakan
intervensi yang terbukti untuk mencegah sebagian besar kasus NTD. Sebua
studi menemukan penggunaan asam folat dapat menurukan risiko kejadi NTD
hingga 60%.17
2. Riwayat Keluarga
16,9% anak dengan NTD memiliki Riwayat keluarga dengan NTD.Ini
menunjukkan bahwa genetika dan epigenetik mungkin memainkan peran yang
lebih besar dalam patogenesis NTD. Seorang ibu yangmemiliki anak dengan
NTD, risiko anak nerikutnya lahir dengan NTD akan meningkat.17
3. Obat-obatan
Wanita yang melahirkan anak spina bifida mungkin menggunakan berbagai
obat sebelum konsepsi. Obat-obatan yang dapat menyebabkan terjadinya spina
bifida adalah analgesik, AED untuk mengontrol kejang, pencahar untuk
konstipasi kronis, antikolinergik untuk kontinensia kandung kemih dan
antibiotik untuk profilaksis/pengobatan infeksi saluran kemih berulang
(ISK).17
4. Diabetes Melitus
Ibu dengan Diabetes mellitus merupakan faktor risiko yang dapat menyabakan
spina bifida. Risiko ini disebbakan karena kadar glukosa pada trimester
pertama. Wanita diabetes, yang sudah berisiko tinggi untuk memliki janin
dengan NTD, harus mengoptimalkan kontrol glikemik prakonsepsi.17
Gangguan motorik merupakan defisit inti pada anak dengan spina bifida.
Hal ini terlihat saat lahir, anak dengan spina bifida memiliki kualitas gerakan
ekstremitas atas dan bawah yang lebih buruk daripada teman sebayanya dan lebih
lambat daripada teman sebayanya. Anak-anak dengan spina bifida memiliki
defisit pada tiga efektor: ekstremitas atas, ektremitas bawah, dan mata.
Variabilitas gerakan berhubungan dengan integritas daerah otak seperti otak kecil
yang mengontrol gerakan batang dan aksial, otak kecil dan midbrain yang
mengontrol gerakan mata. Variabilitas dalam gerakan berhubungan dengan
sumsum tulang belakang dan otak, sehingga semakin tinggi lesi tulang belakang,
semakin parah defisit motorik yang terjadi. Anak-anak dengan spina bifida kurang
mampu dibandingkan teman sebayanya dalam mengeksplorasi motorik Defisit
motoric pada anak memiliki implikasi yang signifikan untuk fungsi ekologis
karena mereka dapat membatasi anak dalam eksplorasi lingkungan yang biasanya
dipengaruhi oleh gerakan.16
Anak-anak dengan spina bifida dilakukan terapi berupa conventional
physical therapy (CPT) dan physical therapy based on reflex stimulation (RPT).
RPT bertujuan untuk memfasilitasi konduksi rangsangan dari ekstremitas ke
korteks oleh jalur aferen, sehingga dapat terjadi terjadi peningkatan informasi
sensoris perifer. Peningkatan informasi sensorik yang tiba di korteks ini penting
untuk meningkatkan integrasi sensorik-motorik dan kualitas respons motorik. Ada
kemungkinan bahwa CPT mengoptimalkan strategi motorik batang tubuh dan
ekstremitas atas untuk mengkompensasi hilangnya kontrol ekstremitas bawah.
sebaliknya, RPT dapat mendukung kontrol ekstremitas bawah yang lebih baik.
Terapi fisik konvensional (CPT) biasanya dilakukan dengan tujuan menjaga
ekstremitas bawah sejajar dan untuk mengkompensasi defisit motorik pada anak
dengan spina bifida.16
2.2.1.2 Gangguan Motorik Halus
Motorik halus adalah gerakan yang memerlukan koordinasi tangan dan
mata yang dipengaruhi oleh kesempatan untuk belajar dan berlatih, seperti
menggambar, menulis, menggunting, dan memindahkan benda.2 Gangguan
motorik halus adalah ketidakmampuan individu dalam melakukan pekerjaan yang
membutuhkan tingkat ketangkasan. Gangguan motorik halus merupakan gejala
dari proses penyakit yang mendasarinya, bukan merupakan penyakit itu sendiri.
Agar dapat melakukan gerakan motorik halus yang sederhana sekalipun
memerlukan koordinasi antara korteks premotor dan motorik, serebelum, ganglia
basalis, traktur kortikospinalis, dan saraf perifer.18
Tiga komponen utama dalam kontrol motorik halus terdiri atas kekuatan
dalam menggenggam, kecepatan gerakan, dan koordinasi motorik.2
Developmental coordination diorder adalah faktor utama pada gangguan kesulitan
menggenggam pada anak, dicirikan pada kemampuan motorik yang buruk
sehingga hal ini mengganggu aktivitas kehidupan sehari-hari dan prestasi anak.
DCD adalah salah satu gangguan motorik halus yang paling umum bagi anak-
anak usia prasekolah sekitar 2-7%.18

Developmental Coordination Disorder (DCD)


DCD adalah salah satu gangguan perkembangan yang ditandai dengan
gangguan bermakna koordinasi motorik. DCD dapat ditegakkan apabila gangguan
perkembangan memengaruhi pencapaian akademis atau aktifitas kehidupan
sehari-hari. Anak dengan DCD memiliki koordinasi motorik dibawah usia
kronologisnya dan mungkin mengalami keterlambatan pada milestones awal
perkembangan motorik. Gangguan koordinasi yang terjadi tidak diakibatkan oleh
suatu kondisi medis tertentu (misalnya palsi serebral, hemiplegia, atau distrofi
muskular) dan tidak memenuhi kriteria gangguan perkembangan pervasif. Bila
DCD disertai dengan retardasi mental maka gangguan motorik tersebut akan
tampak mendominasi.19
Penyebab jelas DCD sampai saat ini masih belum diketahui. Beberapa
penelitian menyimpulkan terdapat beberapa faktor risiko yang diduga berperan
terhadap terjadinya DCD, yaitu jenis kelamin laki-laki, kelahiran prematur, berat
badan lahir rendah, riwayat kelahiran kecil untuk usia kehamilan, tidak mampu
berjalan pada usia 15 bulan atau lebih, serta kesulitan dalam pemusatan perhatian,
sosial komunikasi, pengulangan, ejaan, dan membaca.19
Manifestasi klinis DCD bervariasi menurut usia dan perkembangan. Anak
cenderung menunjukkan gejala “clumsiness” (menjatuhkan atau menabrak benda)
serta keterlambatan dan ketidaktepatan kinerja keterampilan motorik, seperti
menangkap benda, menggunakan gunting atau alat makan, tulisan tangan,
mengendarai sepeda, atau berolahraga. Terjadi defisit keterampilan motorik secara
bermakna dan terus-menerus sehingga mengganggu dalam melakukan aktivitas
kehidupan sehari-hari yang sesuai dengan usia kronologis dan memengaruhi
produktivitas akademik, serta waktu bermain.19
Terdapat beberapa tanda bahaya pada DCD, yang terdiri atas:19
- Riwayat cedera kepala
- Riwayat defisit kemampuan motorik
- Riwayat sakit kepala dan gangguan mata (penglihatan kabur)
- Gangguan berjalan, seperti ataksia
- Kelainan muskuloskeletal
- Dysarthria, kesulitan menelan
- Menghindari kontak mata dan tidak mau terlibat dalam sosial
- Kelainan dismorfik
Tidak ada terapi tunggal khusus yang dapat diterapkan dan terbukti
mempunyai manfaat khusus pada anak dengan DCD. Bukti yang ada tidak dapat
menyimpulkan salah satu metode yang paling baik dibandingkan lainnya. Pilihan
terapi yang dapat dilakukan pada anak dengan DCD, seperti fisioterapi, terapi
okupasi, dan intervensi berorientasi. Intervensi berorientasi bertujuan mempelajari
keterampilan motorik khusus yang terutama sulit bagi anak dan berorientasi pada
proses terapi yang berfokus pada fungsi yang lebih global, seperti sensori-
motorik, persepsi visual-motorik, dan kekuatan otot.19
Disgrafia
Disgrafia adalah gangguan kemampuan menulis pada setiap tahap,
termasuk masalah dengan pembentukan/keterbacaan huruf, spasi huruf, ejaan,
koordinasi motorik halus, kecepatan menulis, tata bahasa, dan komposisi.
Disgrafia terjadi karena adanya hambatan dalam koordinasi motorik halus, visual
persepsi, dan propriosepsi. Disgrafia diklasifikasikan menjadi "motorik" atau
"perifer". 10% dan 30% anak-anak mengalami kesulitan dalam menulis. Disgrafia
lebih sering terjadi pada anak laki-laki daripada anak perempuan. Banyak teori
mengenai mekanisme disgrafia, Menulis telah terbukti menjadi proses kompleks
yang membutuhkan kognisi tingkat tinggi (bahasa, memori kerja verbal dan
organisasi) yang dikoordinasikan dengan perencanaan dan pelaksanaan motorik
untuk membentuk fungsi fungsional. Menulis dengan cepat dan lancar
membutuhkan perencanaan dan koordinasi motorik yang dimediasi oleh otak
kecil.20
Salah satu rekomendasi ahli untuk diagnosis disgrafia adalah sebagai
berikut: kecepatan menulis lambat; tidak terbaca tulisan tangan; inkonsistensi
antara kemampuan mengeja dan kecerdasan verbal; dan penundaan pemrosesan
dalam perencanaan graphomotor, kesadaran ortografi, dan/atau penamaan
otomatis cepat. Tes sekunder yang perlu dipertimbangkan adalah evaluasi
pegangan pensil dan postur menulis. intervensi yang mendukung partisipasi dan
aktivitas adalah kunci untuk memulihkan gangguan motorik pada disgrafia.20
2.2.1.3 Skrining Gangguan Perkembangan Motorik
- KPSP
Skrining pemeriksaan perkembangan anak menggunakan Kuesieoner Pra
Skrining Perkembangan (KPSP) bertujuan untuk mengetahui perkembangan anak
normal atau ada penyimpangan. Jadwal skrining KPSP adalah setiap 3 bulan pada
ana < 24 bulan dan tiap 6 bulan pada anak usia 24-72 bulan. Apabila orangtua
datang dengan keluhan anaknya mempunyai masalah tumbuh-kembang,
sedangkan umur anak bukan umur skrining maka pemeriksaan menggunakan
KPSP untuk umur skrining yang lebih muda dan dianjurkan untuk kembali sesuai
dengan waktu pemeriksaan umurnya.21
- Tes Denver II
Denver Developmental Screening Test (DDST) merupakan suatu metode
pengkajian yang digunakan untuk menilai perkembangan anak usia 0-6 tahun.
Denver II dapat digunakan dengan tujuan untuk menilai perkembangan anak yang
tampak sehat dan anak yang tidak menunjukkan adanya masalah perkembangan
sesuai dengan rentang usia. Denver II terdiri atas 125 item tugas perkembangan
yang sesuai dengan umur anak antara 0 sampai 6 tahun dan dibagi ke dalam
beberapa aspek, yaitu kepribadian/tingkah laku sosial, gerak motorik halus,
motorik kasar, dan perkembangan bahasa.22
- Developmental Coordination Disorder Questionnaire (DCDQ)
DCDQ merupakan kuisioner untuk membantu mengidentifikasi DCD pada
anak-anak. DCDQ dapat digunakan untuk anak usia 5-15 tahun. DCDQ terdiri
atas 15 item yang dikelompokkan menjadi 3 faktor. Faktor pertama DCDQ’07
terdiri dari 15 item, yang dikelompokkan menjadi tiga faktor berbeda. Faktor
pertama berisi sejumlah item yang berkaitan dengan kontrol motorik saat anak
bergerak, atau saat objek bergerak, dan diberi label “Kontrol selama Gerakan”.
Faktor kedua berisi materi “Motorik Halus dan Tulisan Tangan” dan faktor ketiga
berkaitan dengan “Koordinasi Umum”.23

2.2.2 Gangguan Perkembangan Bicara dan Bahasa


Gangguan perkembangan bicara dan bahasa adalah ketidakmampuan
menggunakan simbol linguistik untuk berkomunikasi secara verbal atau
keterlambatan kemampuan perkembangan bicara dan bahasa anak sesuai
kelompok umur, jenis kelamin, adat istiadat, dan kecerdasannya. 22 Gangguan
berbicara dan berbahasa merupakan masalah yang sangat umum pada anak usia 3-
5 tahun.23
Prevalensi gangguan berbicara dan berbahasa bervariasi antara 1%-32%
pada populasi normal, dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti usia anak, dan
metode yang digunakan untuk menegakkan diagnosis. Prevalensi gangguan bicara
anak prasekolah 3-15%.23 Gangguan bicara terdiri atas gangguan kelancaran dan
gangguan artikulasi. Situasi yang paling sering ditemui yang menghambat
komunikasi pada anak adalah gagap (gangguan bicara fluen/kelancaran).24

Gagap (Stuttering) pada Anak


Gagap/stuttering adalah masalah ketidaklancaran bicara dalam bentuk
pengucapan kata maupun aliran kalimat. Keluhan gagap seringkali diikuti dengan
keluhan lain, seperti mata berkedip-kedip, dahi berkerut-kerut, tangan mengepal
atau bergerak tak terkendali dan tremor.25
Penyebab gagap sampai saat ini belum sepenuhnya dipahami dan
diperkirakan merupakan gabungan antara faktor genetik dan lingkungan. Kejadian
gagap pada jenis kelamin lelaki lebih banyak dibanding perempuan dengan
perbandingan 3:1 hingga 10:1. Sekitar 60% dari populasi tersebut juga memiliki
anggota keluarga yang gagap. Namun, kerusakan otak juga dapat berkontribusi
untuk terjadinya gagap. Faktor risiko lain yang mungkin berperan terjadinya
gagap adalah sebagai berikut:26
- Penyakit otak organik, seperti kerusakan otak pada usia dini atau cedera
otak traumatis.
- Gangguan persepsi, dengan efek pada regulasi bicara.
- Gangguan koordinasi proses bicara, respirasi, dan fonasi.
- Koordinasi motorik yang buruk.
- Perkembangan gangguan bicara dan artikulasi yang tertunda.
- Kecepatan bicara yang cepat.
- Kondisi lingkungan keluarga, seperti penindasan anak, kekakuan yang
berlebihan atau tuntutan besar oleh orang tua terhadap anaknya.
- Perilaku orang tua dan terutama ibu seperti cemas, minder dan egois.
Pada anak-anak dalam periode perkembangan bahasa sering dijumpai gagap
ketika mulai belajar menggabungkan 2-3 kata dalam kalimat kompleks. Periode
ini dimulai dari usia 18-24 bulan dimana anak-anak sangat berminat belajar
berbicara namun menghadapi stress karena keterbatasan pertumbuhan organ-
oragn wicara. Pada anak akan ditemukan adanya pengulangan seluruh atau
sebagian kata, hilang kata, penambahan suara, dan ragu-ragu berbicara. Sebagian
besar gagap pada anak akan hilang dengan sendirinya namun beberapa kasus akan
menetap dengan beberapa komplikasi seperti rendah diri, ketakutan, pemalu, dan
frustrasi.25 Tanda bahaya pada gangguan bicara fluen/kelancaran, yaitu gagap
adalah sebagai berikut:25
- Pengulangan kata secara keseluruhan yang satu suku kata (man man man)
(tiga pengulangan atau lebih)
- Pengulangan suara atau suku kata (Bb-b-baseball atau base-base-baseball)
(tiga pengulangan atau lebih)
- Perpanjangan yang terdengar dan tidak terdengar
- Bloks
- Broken word
- Jeda dalam berbicara
- Ditemukan perilaku fisik lain (perilaku sekunder) yang menyertai gagap,
seperti kepala, berkedip, berkedut, atau mengetuk
Intervensi gangguan bicara harus disampaikan kepada orangtua dan
ditentukan intervensi apa yang perlu dilakukan sesuai kebutuhan bicara dan
bahasa anak. Selain menargetkan kelancaran dalam berkomunikasi, intervensi
harus dirancang untuk meningkatkan pencegahan terhadap aspek disabilitas yang
terkait dengan gangguan, peluang psikososial dan akademik, serta kualitas
hidup.25
Beberapa manajemen untuk gagap pada anak-anak usia pra sekolah telah
dievaluasi dengan ketat. Pada penelitian oleh Lidcombe dkk, terapi perilaku yang
diberikan oleh orangtua akan mengurangi gejala gagap sebesar 77% dengan
tingkat kekambuhan sebesar 16%. Menunda terapi gagap satu tahun setelah onset
tidak mengurangi daya tanggap anak dan memungkinkan beberapa anak untuk
pulih secara alami. Namun, terapi gagap anak pada usia sekolah berdasarkan
beberapa penelitian menunjukkan hasil yang kurang baik.25

Ekolalia
Ekolalia adalah pengulangan kata atau frasa yang tidak berarti yang
didengar oleh seseorang. Ekolalia adalah gangguan bicara menonjol yang sering
ditemukan pada anak-anak dengan gangguan spektrum autisme (ASD). Prevalensi
echolalia tidak jelas karena merupakan gejala heterogen yang terlihat di berbagai
keadaan patologis. Sekitar 75% anak dengan ASD menunjukkan echolalia.
tiopatogenesis yang tepat dari echolalia tidak sepenuhnya dipahami. Peniruan dan
pengulangan bicara merupakan bagian dari perkembangan bahasa yang normal
pada balita. Echophenomena membaik selama dua tahun pertama kehidupan.
Disregulasi dopaminergik juga telah dihipotesiskan sebagai mekanisme
neurobiologis yang mengarah pada fenomena gema. Echolalia mungkin terkait
dengan disfungsi lobus frontal. Ekolali dapat disebabkan oleh Afasia, Gangguan
autoimun, cedera kepala, Kebutaan kongenital, Delirium, Demensia, Ensefalitis,
Sindrom Gilles de la Tourette, Keterlambatan bahasa, Penyakit Pick, Demensia
frontotemporal, pascaepilepsi. Diagnosis ekolalia perlu riwayat rinci dan evaluasi.
Echolalia memiliki beberapa 2 Subtype. Ada dua jenis utama echolalia27:
 Ekolalia segera: Ini mengacu pada pengulangan ucapan segera setelah
ucapan.
 Ekolalia tertunda: Ini mengacu pada pengulangan ucapan beberapa saat
setelah ucapan.
Pengobatan echolalia tergantung pada etiologi. Penatalaksanaan echolalia
terkait autisme memerlukan tim multidisiplin, antara lain orang tua, spesialis
perkembangan saraf, terapis, psikolog, dan pendidik khusus. Kunci untuk
mengelola echolalia pada anak adalah mengetahui alasan pengulangan ucapan,
makna di balik pengulangan, dan merespons dengan cara yang membantu anak
belajar berkomunikasi. Mengamati, mendengarkan, dan menunggu selama
interaksi dan pembicaraan anak membantu mengumpulkan pesan di balik suatu
pidato. Intervensi analitik perilaku yang diterapkan untuk echolalia di ASD
termasuk pelatihan isyarat-jeda-titik, pelatihan skrip, isyarat visual, pembelajaran
gestalt, pemodelan verbal, pelatihan pemantauan diri, penguatan diferensial dari
tingkat perilaku yang lebih rendah. Farmakoterapi dapat diindikasikan pada anak
yang lebih tua, di mana echolalia dipicu oleh stres dan kecemasan.27
Skrining Gangguan Perkembangan Bicara dan Bahasa
- Developmental Stuttering Screening Instrument (DSSI)
DSSI berisi serangkaian pertanyaan yang bertujuan untuk mendapatkan
jawaban objektif dan pertimbangan subjektif mengenai aspek-aspek yang
terlibat dalam perkembangan umum, komunikasi, dan kelancaran bicara anak.
DSSI dapat digunakan pada anak berusia 2 tahun sampai 5 tahun 11 bulan.
DSSI terdiri atas 24 pertanyaan dan mengandung 4 kategori utama, yaitu:
kategori I – Pengembangan Umum dan Komunikasi; kategori II – Aspek
Linguistik; kategori III – Aspek Motorik Bicara; dan kategori IV – Aspek
Psikososial.28
- Capute Scales (CAT/CLAMS)
Capute Scales terdiri dari Clinical Linguistic and Auditory Milestone Scale
(CLAMS) untuk skrining gangguan bicara dan Cognitive Adaptive Test
(CAT). Pada CLAMS akan dinilai kemampuan bahasa ekspresif dan reseptif
anak; terdapat 43 milestones yang terdiri dari 26 milestones gugus tugas
bahasa ekspresif (berdasarkan laporan orang tua saja) dan 17 milestones
gugus tugas bahasa reseptif (6 laporan orang tua dan 11 demonstrasi anak).
Pada CAT terdapat 57 milestones visual-motor/kognitif adaptif yang harus
dilakukan oleh anak dan tidak berdasarkan keterangan orang tua.29

2.2.3 Gangguan Perkembangan Personal Sosial/Perilaku


Selama periode perkembangan dari bayi hingga remaja, perkembangan
saraf dan perilaku terkait erat. Istilah gangguan perkembangan saraf dan
neurobehavioral digunakan secara bergantian untuk menggambarkan sekelompok
gangguan dengan karakteristik dasar tertentu yang tumpang tindih antara
gangguan yang berbeda. Gangguan perkembangan saraf (atau cacat) memiliki
onset selama periode perkembangan dan bertahan selama umur seseorang. Cacat
intelektual (juga disebut sebagai gangguan perkembangan intelektual), berbagai
gangguan komunikasi yang mempengaruhi bicara dan bahasa, gangguan spektrum
autisme, gangguan perhatian defisit hiperaktif/ADHD, gangguan perkembangan
belajar, dan gangguan motorik seperti gangguan koordinasi perkembangan dan
gangguan tic adalah gangguan perkembangan saraf utama. ADHD merupakan
jenis yang paling sering ditemukan dengan dampak signifikan pada fungsi
personal, sosial, akademik, dan pekerjaan pada individu yang terkena.30

Gangguan Pemusatan Perhatian dan Hiperaktivitas (ADHD)


Gangguan pemusatan perhatian dan hiperaktivitas (ADHD) merupakan
gangguan perkembangan saraf onset masa kanak-kanak yang ditandai oleh
perkembangan yang tidak sesuai dan kurangnya perhatian, hiperaktivitas motoric,
dan impulsive. Beberapa kasus kelainan ini dapat berlanjut hingga dewasa.
Gangguan pemusatan perhatian dan hiperaktivitas adalah perkembangan awal
masa kanak-kanak yang bertahan setidaknya selama 6 bulan dan terdiri dari tiga
gejala utama, yaitu dalam perhatian, impulsive, dan atau hiperaktivitas motorik.30
Penyebab ADHD terdiri dari multifactorial baik dari genetic dan faktor
eksternal. Faktor risiko yang dapat meningkatkan kejadian ADHD yaitu stress
perinatal, berat badan lahir rendah, cedera otak traumatis, ibu merokok dan
pengguna alcohol selama hamil, paparan timbal, deprivasi dini yang parah, dan
riwayat keluarga. Kemungkinan anak mengalami ADHD pada orang tua dengan
ADHD yaitu >50% dari pada pasien yang tidak memiliki riwayat keluarga. 30
Riwayat keluarga merupakan faktor risiko yang tinggi pada kasus ADHD,
karena ADHD cenderung diturunkan secara genetic. Pasien dengan riwayat
keluarga tingkat pertama dengan ADHD akan meningkatkan 5 sampai 10 kali
risiko perkembangan ADHD dibandingkan yang tidak memiliki riwayat keluarga.
Beberapa penelitian melaporkan tingkat heritabilitas tinggi, yaitu 70-80% varian
fenotip disebabkan oleh faktor genetic. 30
Faktor lingkungan berkontribusi dalam perkembangan ADHD, mulai dari
prenatal, perinatal, dan diet. Faktor lingkungan yang dilaporkan berpengaruh yaitu
paparan zat beracun, seperti organofosfat, poliklorinasi, bifenil, dan timbal.
Gangguan pada struktur dan fungsional otak memiliki risiko perkembangan
ADHD. Dilaporkan bahwa volume otak secara global berkurang 3-5% berkorelasi
dengan tingkat keparahan gejala ADHD. Persistensi kelainan neuroanatomi akan
menyebabkan gejala ADHD persisten sampai dewasa. 30
Gambar 4. Etiologi dan faktor risiko perkembangan ADHD30
Diagnosis ADHD harus dilakukan dengan hati-hati dengan anamnesis
riwayat klinis yang jelas. Dalam proses diagnosis ADHD, perhatikan gelaja
intervensi yang dapat mendukung klinis pasien saat ini untuk menyingkirkan
diagnosis lain, seperti kesulitan mendengar menyebabkan pasien kurang
perhatian. Informasi gejala pada anak harus didapatkan lebih dari satu informan,
termasuk orang terdekat dengan pasien. Salah satu assessment yang dapat
digunakan untuk membantu diagnosis pasien dalam anamnesis.30,31
Evaluasi dalam diagnosis ADHD yaitu mengintegrasikan informasi dari
riwayat perkembangan dan riwayat kelaurga, evaluasi diagnosis psikologis, dan
evaluasi diagnosis fisik serta evaluasi diagnosis banding. Pemeriksaan tambahan
dapat dilakukan untuk mengetahui kemungkinan kelainan somatic yang mendasari
(penyakit tirois, gangguan penglihatan dan pendengaran, gangguan tidur organic,
gangguan akibat obat) atau diagnosis banding (membedakan ADHD dengan
epilepsi). 30,31
Gambar 5. Penilaian klinis pada anak-anak30
Tanda bahaya dari klinis ADHD adalah sebagai berikut:30
- Pasien yang melaporkan halusinasi pendengaran atau visual
- Pasien yang memiliki ide, pikiran, atau upaya bunuh diri
- Pasien dengan pengawasan orang tua atau dukungan keluarga yang buruk
- Pasien dengan fungsi yang buruk di berbagai bidang kehidupannya
(sekolah, sosial, dan kehidupan keluarga)
- Gangguan Psikotik atau Bipolar
Tatalaksana ADHD dapat dilakukan dengan intervensi non farmakologis
dan farmakologis. Intervensi non farmakologis yang dapat digunakan dan sesuai
dengan pedoman tatalaksana ADHD yaitu intervensi perilaku. Kombinasi
intervensi perilaku dengan penggunaan farmakologis dilaporkan memiliki
manfaat dalam gejala dan tingkat fungsi pasien serta kebutuhan obat dengan dosis
yang rendah. Pengobatan farmakologis yang dapat diberikan pada pasien yaitu
methylphenidate dan dexamfetamine lini pertama, sedangkan lini kedua yaitu
atomoxetine inhibitor reuptake noradrenalin. Masing-masing obat yang digunakan
untuk tatalaksana ADHD berperan dalam peningkatan katekolamin.30
Sebelum memulai terapi pada pasien ADHD, dilakukan pemeriksaan pra-
perawatan, seperti tinggi badan, berat badan, tekanan darah, dan nadi. Selain itu,
pertimbangkan faktor riwayat medis sebelumnya, keluarga, dan temuaan
pemeriksaan fisik. Dosis pengobatan dimulai dengan dosis rendah dan titrasi naik
sesuai dengan respon pasien. Efek samping dari pemberian obat harus dipantau,
efek samping yang umum ditemukan, seperti gangguan tidur, gangguan
pertumbuhan, mengantuk, gejala gastrointestinal, dan lain-lain.30
Skrining ADHD
- Pediatric Symptom Checklist (PSC-35), merupakan alat skrining yang terdiri
dari 35 item yang telah divalidasi dengan baik dan dapat diselesaikan dalam
waktu kuran dari 5 menit. Evaluai PSC-35 digunakan untuk menyaring
masalah gejala distress psikososial pada anak. Skrining ini terdiri dari 2
subskala, yaitu internalisasi, eksternalisasi, dan perhatian.31
- Child Behavior Checklist (CBCL), merupakan instrument untuk
mengevaluasi masalah dan fungsi emosional, social, dan perilaku pada anak-
anak antara usia 6 sampai 18 tahun. Instrument ini berisi 113 item dan
membutuhkan kurang lebih 20 menit untuk menyelesaikannya. Beberapa
penelitian menggunakan instrument ini untuk mengidentifikasi anak-anak
dengan ADHD dan membedakan pasien dengan komorbiditas.31

Autism Spectrum Disorder (ASD)


Autism Spectrum Disorder (ASD) adalah gangguan perkembangan saraf
gangguan yang ditandai dengan defisit dalam komunikasi sosial dan adanya minat
yang terbatas dan berulang perilaku. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO)
memperkirakan prevalensi internasional ASD sebesar 0,76%; namun, ini hanya
menyumbang sekitar 16% dari populasi anak global. Penyebab ASD bersifat
multifaktorial, yaitu adanya faktor genetik dan adanya faktor lingkungan yang
berpengaruhi. CDC menyatakan bahwa penyebab ASD pada anak adalah adanya
kelainan gen, memiliki saudara kembar, konsumsi obat valproic dan thalidomide
selama kehamilan dan usia kedua orang tua yang semakin tua. Penyebab ASD
yang paling potensial yang telah dipelajari dalam beberapa tahun terakhir adalah
faktor genetik, biologis, perinatal, neuroanatomi, imunologi, biokimia,
lingkungan, psikososial dan keluarga.34
Penanganan anak ASD terutama ditujukan untuk perbaikan gejala inti
ASD yaitu perbaikan interaksi sosial, komunikasi, merencanakan dan menyiapkan
agar dapat masuk sekolah, membuat hubungan yang bermakna dengan teman
sebayanya, meningkatkan ketrampilan jangka panjang dalam kemandirian. Secara
umum penanganan ASD meliputi: 1) Memaksimalkan kemampuan fungsional
kemandirian, 2) Mencapai kualitas hidup yang maksimal, 3) Meminimalkan
gejala, 4) Memfasilitasi proses belajar dan pembelajaran, 5) Sosialisasi, 6)
Mengurangi perilaku maladaptif, 7) Edukasi dan suport keluarga. Berbagai
intervensi yang dapat dilakukan pada ASD yaitu; intervensi psikososial;
pendekatan ketrampilan sosial; intervensi perilaku; intervensi edukasional; dan
intervensi psikofarmakologi. ntervensi farmakologi dapat digunakan pada kasus
perilaku maladaptif. Terapi farmakologi lebih bertujuan untuk memperbaiki
kerusakan atau gangguan yang berhubungan dengan gejala perilaku dibandingkan
dangan gejala inti ASD.34
Skrining ASD
1. Modified Checklist for Autism in Toddlers (M-CHAT)
Modified Checklist for Autism in Toddlers (M-CHAT) merupakan
alat skrining ASD level 1, digunakan untuk usia 16-48 bulan, terdiri atas
23 pertanyaan dimana 6 pertanyaan adalah item kritits. Anak dikatakan
gagal M-CHAT jika terdapat 2 atau lebih pertanyaan kritis dengan
jawaban tidak, atau gagal menjawab benar pada 3 pertanyaan apa saja dari
23 pertanyaan ya atau tidak.35
2. Modified Checklist for Autism in Toddlers-Revised (M-CHAT-R) dan
Modified Checklist for Autism in Toddlers-Revised / Follow-Up (M-
CHAT-R/F)
Modified Checklist for Autism in Toddlers Revised (M-CHAT-R)
dapat digunakan saat anak yang datang untuk kontrol sehari-hari. Modified
Checklist for Autism in Toddlers, Revised (M-CHAT-R) valid digunakan
untuk skrining balita usia 16-30 bulan. Tujuan utama M-CHAT-R ini
adalah untuk memaksimalkan sensitifitas, yaitu mendeteksi sebanyak
mungkin kasus GSA.35

Retardasi Mental
Retardasi Mental adalah suatu keadaan dimana fungsi intelegensi berada
di bawah rata-rata, yang dimulai pada masa perkembangan. Anak dengan retardasi
mental memiliki keterbatasan fungsi mental, kemampuan berkomunikasi,
kemampuan memelihara diri dan kemampuan bersosialisasi. Retardasi mental
masih menjadi masalah dunia terutama di negara berkembang. Diperkirakan
angka kejadian retardasi mental berat sekitar 0,3% dari total populasi dan hampir
3% Intellegence Quotient (IQ) di bawah 70. Retardasi mental merupakan hasil
proses patologis di otak yang menggambarkan keterbatasan fungsi intelektual dan
adaptif, tetapi itu bukan penyakit. Keterbelakangan mental dapat terjadi dengan
atau tanpa gangguan gangguan mental atau fisik.32
Terjadinya retardasi mental tidak dapat dipisahkan dari tumbuh
kembang seorang anak. Seperti diketahui factor penentu tumbuh kembang seorang
anak pada garis besarnya adalah faktor genetik/heredokonstitusional yang
menentukan sifat bawaan anak tersebut dan factor lingkungan. Etiologi retardasi
mental dapat terjadi mulai dari fase prenatal (Kelainan kromosom, Kelainan
genetik /herediter, Gangguan metabolic, Sindrom dismorfik, Infeksi intrauterine,
Intoksikasi), perinatal (Prematuritas, Asfiksia, Kernikterus, Hipoglikemia,
Meningitis, Hidrosefalus, Perdarahan intraventrikular ) dan postnatal (Infeksi
(meningitis, ensefalitis), Trauma, Kejang lama, Intoksikasi).32
Tatalaksana pada anak dengan retardasi mental mulai dari tatalaksana
medis, psikoterapi, dan konseling. Psikoterapi dapat diberikan kepada anak
retardasi mental maupun kepada orangtua anak tersebut. Walaupun tidak dapat
menyembuhkan retardasi mental tetapi dengan psikoterapi dan obat-obatan dapat
diusahakan perubahan sikap, tingkah laku dan adaptasi sosialnya. Tujuan
konseling dalam bidang retardasi mental ini adalah menentukan ada atau tidaknya
retardasi mental dan derajat retardasi mentalnya, evaluasi mengenai sistem
kekeluargaan dan pengaruh retardasi mental pada keluarga, kemungkinan
penempatan di panti khusus, konseling pranikah dan prenatal.32
Skrining Retardasi Mental
1. Caput scales
Caput scales merupakan alat skrining yang dapat menilai secara akurat
aspek-aspek perkembangan utama termasuk komponen bahasa dan visual-
motor. Capute scales terdiri dari 2 jenis pemeriksaan yaitu cognitive
adaptive test (CAT) dan clinical linguistic and auditory milestone scale
(CLAMS). Pemeriksaan CLAMS mengukur milestones bahasa
reseptif dan ekspresif. Di dalam CLAMS terdapat 26 milestones bahasa
ekspresif yang meliputi 19 tingkat usia pengujian. Pengukuran CAT juga
terdiri dari 19 tingkat usia pengujian dengan 57 milestones visual-motor
yang diukur.33
2. Denver II
Pada Denver II bias digunakn untuk skiring Persona sosial. Uji Denver
membutuhkan waktu cukup lama sekitar 30-45 menit. Kesimpulan hasil
skrining Denver II hanya menyatakan bahwa balita tersebut: normal atau
dicurigai ada gangguan tumbuh kembang pada aspek tertentu.22
3. Stanford Binet Intelligence Scale
Berdasarkan Stanford Binet Intelligence Scale retardasi mental dibagi
menjadi 4 golongan yaitu:33
-Mild retardation (retardasi mental ringan), IQ 50- 69
-Moderate retardation (retardasi mental sedang), IQ 35-49
-Severe retardation (retardasi mental berat), IQ 20- 34
-Profound retardation (retardasi mental sangat berat), IQ <20
Global developmental delay (GDD)
Global developmental delay (GDD) atau Keterlambatan Perkembangan Global
(KPG) adalah keterlambatan yang signifikan pada dua atau lebih domain
perkembangan anak, diantaranya: motorik kasar, halus, bahasa, bicara, kognitif,
personal atau sosial aktivitas hidup sehari-hari. Istilah KPG dipakai pada anak
berumur kurang dari 5 tahun, sedangkan pada anak berumur lebih dari 5 tahun
saat tes IQ sudah dapat dilakukan dengan hasil yang akurat maka istilah yang
dipergunakan adalah retardasi mental.36
Tanda bahaya perkembangan motor kasar
1. Gerakan yang asimetris atau tidak seimbang misalnya antara anggota
tubuh bagian kiri dan kanan.
2. Menetapnya refleks primitif (refleks yang muncul saat bayi) hingga lebih
dari usia 6 bulan
3. Hiper / hipotonia atau gangguan tonus otot
4. Hiper / hiporefleksia atau gangguan refleks tubuh
5. Adanya gerakan yang tidak terkontrol
Tanda bahaya gangguan motor halus
1. Bayi masih menggenggam setelah usia 4 bulan
2. Adanya dominasi satu tangan (handedness) sebelum usia 1 tahun
3. Eksplorasi oral (seperti memasukkan mainan ke dalam mulut) masih
sangat dominan setelah usia 14 bulan
4. Perhatian penglihatan yang inkonsisten
Tanda bahaya bicara dan bahasa (ekspresif)
1. Kurangnya kemampuan menunjuk untuk memperlihatkan ketertarikan
terhadap suatu benda pada usia 20 bulan
2. Ketidakmampuan membuat frase yang bermakna setelah 24 bulan
3. Orang tua masih tidak mengerti perkataan anak pada usia 30 bulan
Tanda bahaya bicara dan bahasa (reseptif)
1. Perhatian atau respons yang tidak konsisten terhadap suara atau bunyi,
misalnya saat dipanggil tidak selalu member respons
2. Kurangnya join attention atau kemampuan berbagi perhatian atau
ketertarikan dengan orang lain pada usia 20 bulan
3. Sering mengulang ucapan orang lain (membeo) setelah usia 30 bulan

Tanda bahaya gangguan sosio-emosional


1. 6 bulan: jarang senyum atau ekspresi kesenangan lain
2. 9 bulan: kurang bersuara dan menunjukkan ekspresi wajah
3. 12 bulan: tidak merespon panggilan namanya
4. 15 bulan: belum ada kata
5. 18 bulan: tidak bisa bermain pura-pura
6. 24 bulan: belum ada gabungan 2 kata yang berarti
7. Segala usia: tidak adanya babbling, bicara dan kemampuan bersosialisasi /
interaksi
Tanda bahaya gangguan kognitif
1. 2 bulan: kurangnya fixation
2. 4 bulan: kurangnya kemampuan mata mengikuti gerak benda
3. 6 bulan: belum berespons atau mencari sumber suara
4. 9 bulan: belum babbling seperti ‘mama’, ‘baba’
5. 24 bulan: belum ada kata berarti
6. 36 bulan: belum dapat merangkai 3 kata
Berbagai metode skrining yang lebih mutakhir dan global untuk deteksi dini
gangguan bicara juga dikembangkan dengan menggunakan alat bantu atau
panduan skala khusus, misalnya: menggunakan DDST (Denver Developmental
Screening Test – II), Child Development Inventory untuk menilai kemampuan
motorik kasar dan motorik halus, Ages and Stages Questionnaire, Parent’s
Evaluations of Developmental Status.Serta dapat menggunakan alat-alat skrining
yang lebih Spesifik dan khusus yaitu ELMS (Early Language Milestone Scale)
dan CLAMS (Clinical Linguistic and Milestone Scale) yang dipakai untuk menilai
kemampuan bahasa ekspresif, reseptif, dan visual untuk anak di bawah 3 tahun.36
Gambar. Algoritma Penatalaksanaan GDD
BAB 3
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
1. Gangguan pertumbuhan pada anak dapat berupa wasting, stunting, dan
overweight. Salah satu gangguan yang banyak ditemukan dimasyarakat
adalah stunting/perawakan pendek. Perawakan pendek adalah tinggi badan
kurang dari persentile-3 pada kurva yang sesuai untuk jenis kelamin, usia, dan
ras. Perawakan pendek terdiri atas dua, yaitu varian normal dan varian
patologis.
2. Secara umum gangguan perkembangan anak dibedakan menjadi 3 gangguan,
yaitu gangguan perkembangan motorik (motorik kasar dan halus), gangguan
perkembangan bahasa, dan gangguan personal sosial/perilaku. Gangguan
tersebut mempunyai karakteristik, deteksi, dan penanganan yang berbeda-
beda.
3. Gangguan perkembangan motorik terdiri atas gangguan motorik kasar dan
motorik halus. Cerebral palsi merupakan penyebab paling umum gangguan
motorik kasar di masa kanak-kanak. Sedangkan Developmental coordination
diorder adalah salah satu gangguan motorik halus yang paling umum bagi
anak-anak usia prasekolah sekitar 2-7%.
4. Gangguan perkembangan bicara dan bahasa adalah ketidakmampuan
menggunakan simbol linguistik untuk berkomunikasi secara verbal sesuai
kelompok umur, jenis kelamin, adat istiadat, dan kecerdasannya. Gangguan
bicara terdiri atas gangguan kelancaran dan gangguan artikulasi. Situasi yang
paling sering ditemui yang menghambat komunikasi pada anak adalah gagap
(gangguan bicara fluen/kelancaran).
5. Gangguan pemusatan perhatian dan hiperaktivitas (ADHD) merupakan jenis
yang paling sering ditemukan pada gangguan perkembangan personal
sosial/perilaku. ADHD adalah gangguan perkembangan saraf onset masa
kanak-kanak yang ditandai oleh perkembangan yang tidak sesuai dan
kurangnya perhatian, hiperaktivitas motoric, dan impulsive.
DAFTAR PUSTAKA
1. Ikatan Dokter Anak Indonesia. Rekomendasi Pemantauan Tumbuh-
Kembang Anak. 2014;1–2.
2. Brown KA, Parikh S, Patel DR. Understanding basic concepts of
developmental diagnosis in children. Transl Pediatr. 2020;9(I):S9–22.
3. Pulungan AB. Auxology, Kurva Pertumbuhan, Antropometri, dan
Pemantauan Pertumbuhan. Sari Pediatri. 2020;22(2):123.
4. World Health Organization. World Health Statistics Overview 2019.
2019;1–28.
5. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Laporan Nasional Riset
Kesehatan Dasar. 2018;1–582.
6. Khan I, Leventhal B. Developmental Delay. 2021;1–10.
7. Gunardi H, Yulman AR, Sekartini R, Medise BE, Wirahmadi A, Melina E.
Growth and developmental delay risk factors among under-five children in
an inner-city slum area. Paediatr Indones. 2019;59(5):276–83.
8. IDAI. Panduan Praktik Klinis Ikatan Dokter Anak Indonesia: Perawakan
Pendek pada Anak dan Remaja di Indonesia. Ikat Dr Anak Indones. 2017;
9. Rani D, Shrestha R, Kanchan T, Krishan K. Short Stature. Treasure Island
(FL): StatPearls Publishing. 2021.
10. Ali O. Short Stature [Internet]. Nelson Pediatric Symptom-Based Diagnosis.
Elsevier Inc.; 2017. 791-811 p. Available from:
http://dx.doi.org/10.1016/B978-0-323-39956-2.00043-1
11. Benjamin Onecia, Lappin SL. Kwashiorkor. Treasure Island (FL):
StatPearls Publishing. 2021.
12. Lartey OUT, Gupta V. Marasmus. Treasure Island (FL): StatPearls
Publishing. 2021.
13. Panuganti KK, Nguyen M, Kshirsagar RK. Obesity. Treasure Island (FL):
StatPearls Publishing. 2021.
14. Kumorowulan S, Supadni S. Kretin Endemik dan Kretin Sporadik
(Hipotiroid Kongenital). MGMI. 2019; 1(3): 78-119.
15. Novak I, Morgan C, Adde L, Blackman J, Boyd RN, Brunstrom-Hernandez
J, et al. Early, accurate diagnosis and early intervention in cerebral palsy:
Advances in diagnosis and treatment. JAMA Pediatr. 2017;171(9):897–907.
16. Copp AJ, Adzick NS, Chitty LS, Fletcher JM, Holmbeck GN, Shaw GM.
Spina bifida. Nat Rev Dis Prim. 2015;1:1-45.
17. Sivarajah K, Relph S, Sabaratnam R, Bakalis S. Spina bifida in pregnancy:
A review of the evidence for preconception, antenatal, intrapartum and
postpartum care. Obstet Med. 2019;12(1):14-21. 21
18. Burr P, Choudhury P. Fine Motor Disability - StatPearls - NCBI Bookshelf.
2021;1–7.
19. Harris SR, Mickelson ECR, Zwicker JG. Diagnosis and management of
developmental coordination disorder. Cmaj. 2015;187(9):659–65.
20. Chung PJ, Patel DR, Nizami I. Disorder of written expression and
dysgraphia: definition, diagnosis, and management. Transl Pediatr.
2020;9(3):S46-S54.
21. Kementerian Kesehatan RI. Pedoman pelaksanaan stimulasi, deteksi, dan
intervensi tumbuh kembang anak. 2016;59.
22. Moodie S, Daneri P, Goldhagen S, Halle T, Green K, LaMonte L. Early
Childhood Developmental Screening: A Compendium of Measures for
Children Ages Birth to Five [Internet]. 2014. 1-160 p. Available from:
http://www.eric.ed.gov/contentdelivery/servlet/ERICServlet?
accno=ED561406
23. Wilson BN, Crawford SG, Green D, Roberts G, Aylott A, Kaplan B. The
Developmental Coordination Disorder Questionnaire 2007 (DCDQ’07).
Phys Occup Ther Pediatr [Internet]. 2012;1–8. Available from:
www.dcdq.ca
24. Sari H, Gökdağ H. An analysis of difficulties of children with stuttering
enrolled in Turkish primary inclusive classes who encounter in academic
and social activities: From their perspectives. J Educ Pract [Internet].
2017;8(2):31–43. Available from: www.asha.org
25. Sekartini R, Surjadinata D. Gagap (Stuttering) Pada Anak. Ikatan Dokter
Anak Indonesia. 2015;1–2.
26. Reilly S, McKean C, Morgan A, Wake M. Identifying and managing
common childhood language and speech impairments. BMJ.
2015;350(May):h2318.
27. KP Patra, O De Jesus . Echolalia. Stat Pearles. Tersedia di :
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK565908/#_ncbi_dlg_citbx_NBK5
65908. Diakses pada 27 Oktober 2021.
28. Lima MMO de, Cordeiro AA de A, Queiroga BAM de. Developmental
Stuttering Screening Instrument: development and content validation. Rev
CEFAC. 2021;23(1):1–17.
29. William Surya Hartanto. Deteksi keterlambatan bicara dan bahasa pada
anak. Cermin Dunia Kedokt [Internet]. 2018;45(7):545–266. Available
from: http://www.child-encyclopedia.com/sites/default/files/textes-experts/
en/622/early-identification-of-language-delay.pdf
30. Cabral MDI, Liu S, Soares N. Attention-deficit/hyperactivity disorder:
diagnostic criteria, epidemiology, risk factors and evaluation in youth.
Transl Pediatr. 2020;9:S104–13.
31. Spencer AE, Plasencia N, Sun Y, Lucke C, Haile H, Cronin R, et al.
Screening for Attention-Deficit/Hyperactivity Disorder and Comorbidities
in a Diverse, Urban Primary Care Setting. Clin Pediatr (Phila).
2018;57(12):1442–52.
32. Endriyani S, Yunike Y. Having Children with Mental Retardation. Int J
Public Heal Sci. 2017;6(4):331.
33. Dhamayanti M, Herlina M. Skrining Gangguan Kognitif dan Bahasa dengan
MenggunakanCapute Scales (Cognitive Adaptive Test/Clinical Linguistic &
Auditory Milestone Scale-Cat/Clams). Sari Pediatri. 2016;11(3):189.
34. Hodges H, Fealko C, Soares N. Autism spectrum disorder: Definition,
epidemiology, causes, and clinical evaluation. Transl Pediatr.
2020;9(8):S55-S65.
35. Soetjiningsih, Windiati I gusti AT, Adnyana IGANS. Pedoman Pelatihan
Deteksi Dini dan Diagnosis Gangguan Spektrum Autisme. 2015:1-50.
36. Mengenal Keterlambatan Perkembangan Umum pada Anak. Ikatan Dokter
Anak Indonesia. Indonesia. URL: http //idai.or.id/public-articles/seputar-
kesehatan-anak/mengenal-keterlambatan-perkembangan-umum-pada-
anak.html.

Anda mungkin juga menyukai