1
Penyakit Hati Metabolik
Galaktosemia
2
melalui jalur glukosa galaktosa interkonversi yaitu fosforilasi galaktosa ke galaktosa
1-fosfat oleh galactokinase. Kemudian Galaktosa 1-fosfat mengakuisisi kelompok
uridyl dari uridin difosfat glukosa(UDP-glukosa), merupakan perantara dalam sintesis
hubungan glikolisis, produk dari reaksi ini, yang dikatalisis oleh galaktosa 1-fosfat
transferase uridyl, yaitu UDP-galaktosa dan glukosa 1-fosfat. Pada bagian galaktosa,
UDP-galaktosa di epimerisi menjadi glukosa. Konfigurasi dari gugus hidroksil pada 4
karbon terbalik dengan UDP- galaktosa 4-epimerase. Jumlah reaksi yang dikatalisis
oleh galactokinase, para transferase, dan epimerase adalah: galaktosa + ATP à
glukosa-1-P + ADP + H +.1
TIPE GALAKTOSEMIA
Classic Galactosemia
4
memiliki aktivitas enzim GALT dan tidak mampu untuk mengoksidasi galaktosa
menjadi CO2. Dalam beberapa hari setelah meminum ASI atau susu formula yang
mengandung laktosa, bayi akan mengalami komplikasi yang mengancam jiwa
termasuk sulit makan, gagal tumbuh, hipoglikemia, kerusakan hepatoseluler, diatesis
perdarahan, sakit kuning, dan hiperamonemia . Jika galaktosemia klasik tidak diobati,
sepsis dengan Escherichia coli, syok, dan kematian dapat terjadi. Bayi yang
bertahan hidup pada periode neonatal dan terus minum susu yang mengandung
galaktosa menyebabkan cacat intelektual dan tanda-tanda saluran kortikal dan
serebelum. Jika diet rendah lactose/galactose diberikan selama tiga sampai sepuluh
hari pertama kehidupan, gejala akan hilang dengan cepat dan prognosis yang baik
untuk mencegah gagal hati, sepsis Escherichia coli , kematian neonatal, dan cacat
intelektual. 1
Hasil analisis formal untuk POI dan dyspraxia lisan menemukan tes napas
13CO2 menjadi parameter prognosis yang paling sensitif dan spesifik [Guerrero et al,
2000, Webb dkk tahun 2003, Barbouth et al 2006]. Rincian berikut merupakai hasil
survey retrospektif cross-sectional dari 270 individu dengan galaktosemia klasik,
yang dilaporkan oleh Waggoner dkk [1990]. 2
1. Perkembangan intelektual
Dari 177 orang setidaknya pada usia enam tahun dan tidak memiliki
penyebab medis yang jelas untuk keterlambatan perkembangan lain
selain galaktosemia, 45% digambarkan sebagai perkembangan
tertunda. Nilai IQ rata-rata individu sebuah kelompok sedikit menurun
(4-7 poin) dengan bertambahnya usia. Studi individu Belanda di
berbagai usia menggunakan kuesioner kualitas hidup di bawah normal
menunjukkan hasil kognitif [Bosch et al 2004b]. 2
2. Permasalahan bicara
Dilaporkan pada 56% (136/243) dari individu berusia tiga tahun atau
lebih. Lebih dari 90% dari individu memiliki masalah bicara
digambarkan sebagai memiliki kosakata tertunda dan masalah
artikulasi, juga disebut “dyspraxia lisan”. Sebuah analisis, baru-baru ini
menemukan masalah bicara yang lebih formal di 44% dari individu;
38% memiliki diagnosis spesifik dari perkembangan lisan dyspraxia
5
[Robertson & Singh 2000, Webb et al 2003]. Hasil dari perkembangan
dan skor IQ diamati pada individu dengan gangguan bicara dalam
kelompok secara signifikan lebih rendah dibandingkan individu dengan
ucapan normal, namun beberapa individu dengan masalah berbicara
menunjukan hasil kisaran rata-rata. 2
3. Fungsi motorik
Di antara individu dengan usia lebih dari lima tahun, 18% memiliki
motorik tremor dan masalah dengan koordinasi, gerak, dan
keseimbangan. Ataksia berat diamati dalam dua remaja2
4. Fungsi gonad
5. Pertumbuhan
6. Katarak
6
Pengobatan diet mulai pada usia rata-rata 77 hari bagi mereka dengan
katarak dibanding dengan 20 hari untuk mereka yang tidak katarak.
Namun, salah satu dari delapan orang yang membutuhkan operasi
katarak adalah bayi yang telah dirawat sejak lahir. 2
Dilaporkan selama 21 dari 38 bayi yang dirawat sejak lahir. Hasil jangka
panjang dari 21 tidak lebih baik dibandingkan dengan 17 individu yang
asupan susu ibu tidak dibatasi selama kehamilan. Tidak ada perbedaan
yang signifikan dapat diamati dalam tingkat komplikasi antara individu
dengan aktivitas enzim residu dan mereka yang tidak aktivitas enzim
diukur, kecuali bahwa individu dengan beberapa aktivitas enzim
cenderung menjadi lebih tinggi untuk usia mereka. 2
GALE dapat dilihat pada individu yang memiliki penyakit hati, tuli
sensorineural, gagal tumbuh, dan peningkatan RBC galaktosafosfat tapi
aktivitas enzim GALT normal. Peningkatan RBC gal-1-P dan aktivitas enzym
GALT normal pada bayi baru lahir yang sehat juga berhubungan dengan
defisiensi GALE. Deteksi berkurangnya aktivitas enzim GALE merupakan
diagnostik. Mutasi pada GALE merupakan penyebabnya. Defisiensi Gale
memiliki kejadian diperkirakan 1:23,000 di Jepang dan tidak diketahui
prevalensi pada populasi lain.[5] Kekurangan GALE menyebabkan
pembentukan Ga-lP dan UDP-galaktosa tidak dapat dikonvert kembali ke
UDP-Glukosa. Individu dengan bentuk varian dari galaktosemia memiliki
beberapa aspek galaktosemia klasik, termasuk katarak dini, cacat intelektual
ringan dengan ataksia, dan keterbelakangan pertumbuhan. Selain itu mereka
mungkin mengalami bicara dyspraxic, dan pada wanita mungkin mengalami
amenore atau menopause dini.1
b. Defisiensi Galactokinase (GALK)
DIAGNOSIS
a. Gejala
Bayi yang terkena galaktosemia biasanya lahir dengan gejala lemas, diare
muntah, gagal tumbuh, dan ikterus. Jika terdiagnosis bayi terkena
galaktosemia klasik bisa mengalami gangguan pencernaan, gagal untuk
menaikkan berat badan hiperamonemia kuning, sepsis, dan shock pada
periode baru lahir. Katarak ada dalam sekitar 10% bayi. Keterbelakangan
mental dan pertumbuhan fisik tertunda terjadi pada beberapa bayi yang
bertahan hidup tidak diobati. 2
b. Uji Laboratorium
Tes Biokimia
10
Catatan: Bayi yang baru lahir dengan hasil yang dipertanyakan pada skrining
bayi yang baru lahir harus terus diobati dengan susu formula kedelai sambil
menunggu konfirmasi hasil pengujian yang pasti.1
Kesepakatan belum dicapai pada apakah individu dengan bentuk varian dari
galaktosemia sisa aktivitas enzim GALT kisaran 5% -20% dari aktivitas kontrol
harus dibatasi untuk konsumsi galaktosa selama masa bayi dan anak usia
dini. Penumpukan gal-1-P-1- lanjutan dapat menyebabkan gejala sisa seperti
katarak, ataksia, ucapan dyspraxic, defisit kognitif, dan POI. 2
Pemberian Suplemen kalsium pada 750 mg / hari pada neonatus dan >1200
mg/hari pada anak-anak serta vitamin D3 (cholecalciferol) dosis 1000 IU/hari
dapat mencegah penurunan mineralisasi tulang. Tidak jelas bagaimana
mencegah efek sekunder kronis seperti hipogonadisme hipergonadotropik
pada wanita, ataksia, dan keterlambatan pertumbuhan. 2
Pengawasan
Pemantauan rutin untuk akumulasi analit beracun (misalnya, RBC gal-1-P gal-
1- PP dan penumpukan galactitol urine); pemeriksaan ophthalmologic;
evaluasi perkembangan rutin; penilaian berbicara dan terapi wicara awal untuk
11
dyspraxia verbal intervensi klinis yang tepat. 2
Pada sebuah riview dijelaskan telah dilakukan identifikasi mutan 86, Galt alel
yang mengurangi aktivitas eritrosit Galt. Dalam review makalah ini, menggunakan
strategi yang efisien untuk mengidentifikasi dan mengeksplorasi fenotipe tambahan
Galt biokimia dan kandidat mutasi untuk aktivitas enzim yang terganggu pada gen
Galt, dalam sebuah penelitian retrospektif menggunakan pasien yang diketahui
menderita galaktosemia klasik dan varian. Probands diperoleh dari bayi baru lahir,
dilakukan program skrining dari dokter yang merawat. Aktivitas Galt dan isoform
dianalisis dalam eritrosit dari probands dan orang tua pasien. Jika aktivitas eritrosit
12
Galt telah rusak, dengan Pola Mendel kita saring Galt gen untuk Q188R umum dan
mutasi N314D dengan menggunakan metode PCR multipleks baru. Menggunakan
silsilah analisis bersama dengan biokimia dan mutasi skrining, kami mengidentifikasi
86 non-Q188R, enzim yang merusak, dan mutan alel. Kemudian diperkuat dengan
11 ekson dari Galt gen dengan intron-spesifik, dan primer oligonukleotida. 1
Tujuh puluh lima dari genom Galt memiliki SSCP dengan pola abnormal , dari
41 sekuensing, ditemukan mutasi baru 12 dan 21 mutasi langka. Di antara kelompok
12 mutasi baru, fenotipe ditemukan pada anak baru lahir dari proband galaktosemia
klasik. Ia mewarisi dua mutasi di cis (N314D-E203K) dari ayahnya, dengan aktivitas
Galt mendekati normal, dan mutasi Galt tambahan di site- akseptor dari intron C
(SPI) dari ibu. Seorang dengan E203K mutasi positif menciptakan pola isoform-
banding yang unik. Seorang adik (saudara kandung) tanpa gejala dengan Galt gen
tiga mutasi (E203K-N314D/N314D) dengan delapan isoform berbeda, tetapi dia
memiliki Galt eritrosit yang dengan aktivitas normal. Kami menyimpulkan bahwa dari
silsilah, biokimia, SSCP, dan Galt dengan analisis gen yang efisien untuk
mengidentifikasi mutasi baru perubahan kodon menghasilkan intraallelic
komplementasi ketika dalam cis. 2
Keadaan klinis, biokimia, dan tehnik molekuler yang dijelaskan dalam riview
dalam makalah ini efektif dalam mengidentifikasi mutasi baru pada gen Galt
manusia. 2
- Pertama, bayi yang baru lahir dalam populasi di Georgia disurvei untuk
deteksi galaktosemia, dengan 0% - 25% dari aktivitas eritrosit Galt
14
digunakan sebagai ambang untuk pengujian positif (Elsas et al., dalam
pers). Dalam jumlah penduduk > 1,5 juta bayi baru lahir diskrining,
1/40.000 memiliki klasik G / G galaktosemia, dan 1/11.500 mengalami
"varian" pengurangan aktivitas Galt.
- Kedua, analisa enzimatik sederhana dan elektroforesis digunakan secara
rutin untuk mengkonfirmasi skrining dan untuk mendeteksi varian
fenotipe biokimia. Parameter biokimia digunakan sebagai genetik
discriminan dalam analisis silsilah, pola penurunan gen tunggal dalam
memproduksi aktivitas gangguan Galt menjadi jelas.
- Ketiga, Q188R dan mutasi N314D dihitung pada sebagian besar alel G
dan D di populasi AS, dengan multiplex PCR dan analisis enzim restriksi,
menunjukkan adanya atau tidak adanya mutasi baru. Kehadiran satu
mutasi yang dikenal (misalnya, N314D), bahkan dalam kondisi
homozigot, tidak menyingkirkan adanya perubahan kodon tambahan,
seperti diilustrasikan oleh keluarga yang disajikan pada gambar berikut.
Dalam keluarga ini, keluarga dengan fenotip G / G dan pola isoform-
banding yang unik terlihat pada saudara dan orang tua menyebabkan
penemuan mutasi E203K.
15
16
17
- Keempat, SSCP screening dan sequencing langsung dari ekson yang
abnormal efisien dalam mengidentifikasi mutasi kandidat yang
bersangkutan.
Beberapa fenotipe dan molekuler genotipe hadir dalam silsilah yang sama,
dikombinasikan dengan pendekatan genetika, biokimia, dan molekuler bisa
didefinisikan fase alel mutan dan adanya satu atau lebih intragenik mutasi pada individu
yang sama, serta memberikan petunjuk kepada individu atau gabungan efek dari
aktivitas enzim Galt (gambar 4 dan tabel 1). Skrining gen Galt untuk perubahan dalam
urutan nukleotida cukup efisien bila menggunakan SSCP. Dari 86 "G alel" yang diteliti,
75 positif dengan skrining SSCP. Gen Galt memiliki 11 ekson dan memungkinkan
pemutaran simultan semua ekson tersebut. Ekson dengan panjang antara 49 dan 206
bp, yang memungkinkan amplifikasi kuat dari donor-akseptor sebagai daerah coding,
dengan skrining simultan dari beberapa individu per gel. Semua pola SSCP pada
penelitian kami mengubah urutan nukleotida yang langsung terdeteksi oleh Sekuensing
DNA. Dari jumlah tersebut, 41 perubahan diidentifikasi dengan sekuensing langsung,
39 berkorelasi dengan gangguan fungsional eritrosit Galt enzim.2
Phenylketonuria (PKU)
yang mengakibatkan terbentuknya enzim PAH yang tidak fungsional.1,2 PAH mengkonversi
phenylalanine (phe) menjadi tyrosine dan memerlukan tetrahydrobiopterin (BH4) sebagai kofaktor,
molekul oksigen, dan Fe dalam prosesnya. Defisiensi PAH selain dapat mengakibatkan PKU
juga dapat menyebabkan varian lebih ringan yaitu hyperphenylalaninaemia (HPA). Berdasarkan
kadar phenylalanin darah, defisiensi PAH dapat digolongkan menjadi PKU klasik (Phe>1200
µmol/L), PKU ringan (Phe = 600-1200 µmol/L), dan HPA ringan yang ditandai dengan
peningkatan Phe di atas nilai ambang normal tetapi <600 µmol/L. 3
18
kejang, dan defisit motorik. Gangguan pertum- buhan, tingkah laku, dan kejiwaan dapat
berkembang seiring pertumbuhan anak.3
Epidemiologi
19
Gambar 1. Metabolisme Phe pada manusia. Sumber L-phe melalui diet dan metabolismenya
melalui pool asam amino. Hidroksilasi PAH dengan kofaktornya, yaitu BH4, dengan bantuan
molekul O2, menghasilkan L-tyr. Metabolisme alternatif L-phe melalui dekarboksilasi atau
hydroxylase (PAH) serta saat oksigen molekuler (O2) dan besi (Fe+2) ada, tetrahydrobiopterin (BH4)
dioksidasi menjadi intermediate 4α-hydroxy-BH4 yang akan diregenerasi kembali menjadi BH4 via
quinonoid (q) dihydrobiopterin melalui enzim carbinolamie-4α-dehydratase (PCD) dan melalui NADH-
dependent dihydropteridine reductase (DHPR). BH4 disintesis dari guanosine triphosphate (GTP)
melalui tiga enzim tambahan GTP cyclohydrolase I (GTPCH), 6-pyruvoyl-tetra-hydropterin synthase
20
(PTPS) dan sepiapterin reductase (SR). Mutasi gen yang mengkode PCD. DHPR, GTPCH, PTPS
Gambar 3. Struktur tiga dimensi kristal phenylalanine hydroxylase monomer pada manusia.
Mutasi terjadi pada domain katalitik (70%), domain regulasi (16%), dan domain tetramerisasi (14%).2
21
KLASIFIKASI PKU
Phenylketonuria diklasifikasikan berdasarkan beratnya phenylalaninaemia. Nilai normal
phenylalanine darah adalah 50-110 µmol/L, beberapa rujukan menganggap kadar kurang dari
180 µmol/L masih dianggap normal. Klasifikasi beratnya defek gen PAH berdasarkan kadar
phenylalanine darah ditunjukkan pada table berikut. 3
Kadar Phenylalanine dalam Darah
Beratnya PKU
mg/dL µmol/L
phenylalanine pada bayi baru lahir mungkin belum mencapai kadar puncaknya. Klasifikasi dapat
juga dibuat berdasarkan toleransi diet phenylalanine tetapi tidak selalu mudah dan akurat. Tes
toleransi ini biasanya tidak lebih dari 250 mg/hari pada PKU klasik, sedang- kan pada PKU
ringan (mild) atau sedang (moderate), toleransi phenylalanine dapat berkisar antara 250 hingga
400 mg/hari. 3
Kadar phenylalanine biasa dilaporkan dalam mg/dL. Pasien PKU ringan, sedang, dan
klasik semuanya memiliki kadar phenylalanine darah >10 mg/dL tanpa pembatasan diet. Pada bayi
PKU, diet rendah phenylalanine mulai usia 3 minggu diharapkan mempertahankan kadar
phenylalanine antara 3 hingga 10 mg/dL, karena dianggap kadar di bawah 10 mg/ dL tidak
merusak otak. Terdapat perbedaan pendapat mengenai kadar phenylalanine yang diperlukan
untuk mengoptimalkan perkembangan bayi normal, ada yang menganggap kadarnya
harus dipertahankan kurang dari 6 mg/dL, yang lain menganggap kadar di bawah 10 mg/dL
sudah cukup. Rekomendasi kadar phenylalanine yang perlu dipertahankan dan pada usia
berapa pembatasan diet dapat diakhiri masih berbeda-beda di antara negara-negara Eropa
dan Amerika Serikat. 3
22
PATOFISIOLOGI
Phenylalanine dapat masuk ke dalam otak melalui neutral aminoacid carrier-L-
aminoacid transporter1 (LAT1). Peningkatan kadar phenylalanine pada otak dapat meng- ganggu
fungsi neurofisiologis melalui beberapa mekanisme. Dari hasil pencitraan radiologi
ditemukan lesi substansi putih (white matter) yang berhubungan dengan berkurangnya
pembentukan mielin, meskipun belum ditemukan hubungan kausatif pasti antara dismielinasi
bahwa peroksidasi lipid yang diukur dengan malondialdehyde (MDA) lebih tinggi secara
signifikan pada otak dan eritrosit hewan PKU dibandingkan kontrol. Kadar glutathione disulfide
juga berkurang signifikan pada darah dan otak hewan PKU. 3
23
oleh Robert Guthrie. Dasar tes ini adalah Bacillus subtilis memerlukan phenylalanine untuk
pertumbuhannya. Tes Guthrie sangat berguna untuk skrining massal dengan sampel dried
blood spot (DBS) menggunakan kertas filter terstandarisasi (Guthrie Card) dan dikirim ke
laboratorium rujukan dalam amplop. Tandem mass-spectrometry (TMS) dikembangkan sebagai
metode yang cepat menentukan kadar asam amino secara kuantitatif pada sampel darah/
plasma yang volumenya sedikit. Metode ini memberikan hasil positif palsu lebih kecil dengan
mengukur kadar phenylalanine dan tyrosine serta memberikan hasil rasio phenylalanine/tyrosine.
3
Observasi menunjukkan bahwa skrining terlalu dini dapat memberikan hasil negatif
palsu akibat tidak cukup waktu bagi diet untuk memberikan kadar yang cukup untuk
penegakan diagnosis. Meskipun demikian, secara umum diterima bahwa sensitivitas skrining
pada neonatus sehat cukup adekuat dalam 24 jam pertama kelahiran, khususnya jika hasil tes
juga dinyatakan dalam rasio phenylalanine/tyrosine untuk meningkatkan sensitivitas. 3
Pada beberapa bayi prematur dapat dite- mukan sistem enzimatik yang masih
immature, termasuk metabolisme asam amino, sehingga dapat memberikan hasil
peningkatan phenylalanine dalam darah yang bersifat sementara yang jika langsung
diinterpretasikan dapat memberikan hasil PKU positif palsu. Hasil skrining dini PKU harus
diinterpretasikan dengan memperhatikan apakah bayi tersebut sedang sakit, mendapat nutrisi
parenteral ataupun mendapat trans- fusi darah. Jika ada hal di atas, skrining kedua harus
dilakukan, juga jika tidak diketahui pasti apakah anak mendapat intake protein yang cukup saat
24
mungkin. Pada penderita defisiensi BH4 ditemukan pola pterin yang identik pada darah, urin,
dan cairan serebrospinal. Penggunaan sampel DBS pada Guthrie card lebih praktis dan dapat
digunakan untuk menganalisis pterin, aktivitas DHPR, dan asam amino dari satu spesimen
tunggal. 3
Hal yang penting untuk diketahui adalah pasien PKU klasik mengekspresikan lebih
banyak pterin di urin dibandingkan kontrol orang sehat dan jumlah metabolit yang
diekskresikan sebanding dengan kadar phenylalanine darah. Penyakit-penyakit yang dapat
mengaktifkan sistem imun (peningkatan neopterin) dan terapi metho- trexate untuk anti-kanker
ataupun penyakit reumatik (menghambat DHPR) dapat meng- interferensi prosedur analitik.
Sebagian penderita defisiensi DHPR menunjukkan profil neopterin dan biopterin normal di
darah atau urin. Oleh karena itu, pengukuran aktivitas DHPR sangat esensial pada semua
penderita HPA di samping penilaian kadar pterinnya. 3
BH4 loading test digunakan untuk mem- bedakan peningkatan phenylalanine akibat
defisiensi PAH atau akibat defisiensi BH4 (defek enzim pada biosintesis atau regene- rasi
kofaktor BH4). Tes ini bermanfaat dalam deteksi awal defisiensi BH4 dan deteksi penderita
PKU yang responsif terhadap pemberian BH4. 3
Deteksi penderita PKU yang berespons terhadap pemberian BH4 penting, karena
beberapa penderita PKU mendapat manfaat dari pemberian BH4 oral (sapropterin
dihydrochloride) ditunjukkan dengan pe- nurunan kadar phenylalanine darah bahkan bisa
mencapai kadar normal. Dari sejumlah laporan, modalitas BH4 challenge bervariasi mulai dari
tes dalam 24 jam dengan pemberian BH4 dosis tunggal (10-20 mg/kg) hingga pemberian
selama beberapa minggu dengan pemantauan kadar phenylalanine harian ataupun
mingguan. 3
Secara umum diterima bahwa penurunan kadar phenylalanine sekurang-kurangnya
30% sebagai respons terhadap pemberian BH4 mengindikasikan efek klinis yang
signifikan. Frekuensi respons terhadap BH4 paling tinggi pada pasien HPA ringan (non- PKU)
atau pada PKU ringan akibat mutasi PAH yang masih memiliki aktivitas residual enzim.
Sebaliknya, tingkat respons penderita PKU klasik (aktivitas PAH sedikit ataupun tanpa aktivitas
residual) sangat rendah. Pada neonatus, tes harus dilakukan sebelum pemberian diet rendah
phenylalanine pada bayi dengan peningkatan kadar phenylalanine (>400 µmol/L). 3
25
Pemeriksaan Cairan Serebrospinal
Defisiensi BH4 mempengaruhi sintesis katekolamin, serotonin, dan nitrit oksida di
sistem saraf pusat dan pengukuran metabolit tersebut pada cairan serebrospinal penting
untuk mendiagnosis derajat defisiensi BH4. Penilaian bukan hanya kadar absolut 5-
hydroxyindolacetic acid dan homovanillic acid pada cairan serebrospinal, rasio neurotransmiter
juga penting memberi informasi diagnostik yang berhubungan dengan beratnya serta luaran
defisiensi BH4. 3
TATALAKSANA
Terapi Diet
Tujuan utama penatalaksanaan pada penderita PKU adalah mempertahankan kadar
phenylalanine darah dalam batas aman (120-360 µmol/L, 120-240 µmol/L pada ibu hamil)
untuk mencegah retardasi mental, menyokong pertumbuhan normal hingga dewasa. Hal ini
dapat dicapai dengan pemberian diet rendah phenylalanine. 3
Pembatasan diet phenylalanine merupakan terapi utama PKU dan biasanya dimulai
setelah konfirmasi penyakit ini pada neonatus. Penderita PKU harus menghindari makanan
kaya protein (daging, ikan, telur, roti, produk susu, kacang-kacangan, dan biji- bijian) serta
makanan dan minuman yang mengandung pemanis aspartame, tepung, kedelai, bir. Diet
penderita PKU umumnya terdiri dari makanan alami yang mengan- dung protein rendah (sayur-
sayuran, buah, dan beberapa jenis sereal). Di negara-negara maju sejumlah makanan berprotein
rendah seperti roti rendah protein dan pasta rendah protein sudah tersedia. 3
Pada bayi, pengaturan diet relatif mudah karena dikontrol orang tua. Sejumlah pusat
kesehatan mengijinkan pemberian ASI untuk menyuplai protein. Seiring pertambahan umur,
pengaturan diet makin sulit karena anak-anak sulit memilah makanan yang rutin dikonsumsi
anak-anak seusianya. Pengaturan diet lebih sulit pada remaja dan dewasa. 3
Glycomacropeptide
Glycomacropeptide merupakan protein ber- asal dari keju yang kaya asam
aminoesensial, tetapi tidak mengandung tyrosine, tryptophan, atau phenylalanine. Protein ini dapat
di- gunakan sebagai adjuvan untuk diet rendah phenylalanine, khususnya yang di- buat
dengan proses pemurnian yang baik, sehingga menghasilkan produk bebas phenylalanine
dengan suplementasi asam amino aromatik selain phenylalanine. 3
26
BH4
Sejumlah mutasi berkaitan dengan fenotip PKU sensitif terhadap BH4, se- hingga
pemberian BH4 eksogen dapat meningkatkan aktivitas PAH yang berguna menurunkan
kadar phenylalanine dalam sirkulasi. Kemampuan BH4 (sapropterin di- hydrochloride) dalam
manajemen terapi PKU telah menjadi topik diskusi. Kira-kira 20-60% penderita PKU
menunjukkan reduksi >30% kadar phenylalanine dalam darah dengan penggunaan
sapropterin. Idealnya sapro- pterin akan menurunkan kadar phenylalanine hingga terkontrol
tanpa restriksi diet, tetapi biasanya sapropterin diberikan kombinasi dengan terapi diet. 3
27
DAFTAR PUSTAKA
1. Thomas JM. Et al. 2016. Molecular basis of classic galactosemia from the
structure of human galactose 1-phosphate uridylyltransferase. Available from:
https://academic.oup.com/hmg/article/25/11/2234/2446168
2. L J Elsas, L.Kai. 1998. The Molekuler Biology of Galaktosemia. Available from:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/.
3. Kurniawan, Liong Boy.2015. Patogenesis,Skrining,Diagnosis dan
Penatalaksanaan Phenylketonuria. CDK-232/vol.42 no 9,th.2015
4. Salwan,Hasri,Achirul Bakri. 2020. Buku Ajar Gastrohepatologi Anak. IDAI;Jakarta
28