Anda di halaman 1dari 66

PENGEMBANGAN MODEL KEBIJAKAN PELESTARIAN BAHASA

LAMPUNG BERBASIS SIKAP BAHASA PENUTUR JATI UNTUK


MEMPERTAHANKAN BAHASA LAMPUNG

(Tesis)

Oleh

Deris Astriawan

PROGRAM PASCASARJANA
MAGISTER PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA DAERAH
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS LAMPUNG
BANDAR LAMPUNG
2019
Deris Astriawan

ABSTRAK

PENGEMBANGAN MODEL KEBIJAKAN PELESTARIAN BAHASA


LAMPUNG BERBASIS SIKAP BAHASA PENUTUR JATI UNTUK
MEMPERTAHANKAN BAHASA LAMPUNG

Oleh

Deris Astriawan

Penggunaan bahasa daerah tertentu selalu berkaitan dengan sikap bahasa

yang menjadi tolok ukurnya. Eksistensi penggunaan bahasa Lampung semakin

terbatas disebabkan karena adanya fenomena urbanisasi dan amalgamasi yang

berdampak signifikan terhadap sikap bahasa penutur jati terutama yang tinggal di

perkotaan. Penelitian ini bertujuan menghasilkan produk pengembangan model

kebijakan pelestarian bahasa Lampung berbasis sikap bahasa penutur jati untuk

mempertahankan bahasa Lampung dan mendeskripsikan korelasi variabel

intervening terhadap sikap bahasa penutur jati bahasa Lampung.

Metode dalam penelitian ini yaitu deskriptif dengan pendekatan kuantitatif

dan kualitatif (mixed method). Pendekatan kuantitatif digunakan pada saat

mengolah data instrumen secara kuantitatif berupa statistik, sedangkan pendekatan

kualitatif digunakan untuk mendeskripsikan dan mengungkap informasi yang

tercermin dalam penelitian. Data penelitian ini merujuk pada sikap bahasa dengan

sumber data penutur jati. Teknik pengumpulan data menggunakan kuesioner.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa sikap bahasa penutur jati, dari total

110 responden diperoleh sikap bahasa negatif berjumlah 58 orang responden atau
Deris Astriawan

52,7%, sikap bahasa netral berjumlah 9 orang responden atau 8,2%, sikap bahasa

positif berjumlah 38 orang responden atau 34,5%, sikap bahasa sangat positif

berjumlah 5 orang responden atau 4,5%. Hasil uji korelasi variabel intervening

menunjukkan bahwa variabel umur berkorelasi signifikan terhadap sikap bahasa

dengan nilai siginifikansi 0.001 < 0.05, variabel jenis kelamin tidak berkorelasi

dengan nilai signifikansi 0.408 > 0.05, variabel tingkat pendidikan tidak

berkorelasi dengan nilai signifikansi 0.400 > 0.05, dan variabel lama tinggal

berkorelasi dengan nilai signifikansi 0.000 < 0.05. Pengembangan model

kebijakan dilakukan pada tataran rekomendasi formulasi kebijakan yang terbagi

menjadi dua bagian, yaitu model kebijakan konstitusional dan institusional.

Kata kunci: model kebijakan, pelestarian bahasa, sikap bahasa, penutur jati.
Deris Astriawan

ABSTRACT

DEVELOPMENT OF THE LAMPUNG LANGUAGE PRESERVATION


POLICY MODEL BASED ON LANGUAGE ATTITUDES OF NATIVE
SPEAKER TO MAINTAIN THE LAMPUNG LANGUAGE

By

Deris Astriawan

The use of certain regional languages is always related to the attitude of

language which is the benchmark. The existence of the use of Lampung language

is increasingly limited due to the phenomenon of urbanization and amalgamation

which has a significant impact on the language attitude of native speakers,

especially those living in urban areas. This research aims to produce a product of

the development of the Lampung language preservation policy model based on the

language attitude of native speakers to maintain the language of Lampung and

describe the correlation of intervening variables to the language attitudes of

Lampung language native speakers.

The method in this research is descriptive with quantitative and qualitative

approaches (mixed method). Quantitative approaches are used when processing

instrument data quantitatively in the form of statistics, while qualitative

approaches are used to describe and reveal information reflected in research. The

data of this research refers to the attitude of language with data sources of native

speakers. The technique of collecting data using a questionnaire.


Deris Astriawan

The results showed that the language attitudes of native speakers, of a total

of 110 respondents obtained negative language attitudes amounting to 58

respondents or 52.7%, neutral language attitudes amounted to 9 respondents or

8.2%, positive language attitudes amounted to 38 respondents or 34, 5%, a very

positive language attitude is 5 respondents or 4.5%. The results of the intervening

variable correlation test showed that age variables correlated significantly with

language attitudes with significant values of 0.001 < 0.05, sex variables did not

correlate with a significance value of 0.408 > 0.05, education level variables did

not correlate with a significance value of 0.400 > 0.05, and long-lived variables

correlated with a significance value of 0.000 < 0.05. The development of a policy

model is carried out at the recommendation level of policy formulation which is

divided into two parts, namely the constitutional and institutional policy model.

Keyword: policy model, language preservation, language attitude, native

speakers.
PENGEMBANGAN MODEL KEBIJAKAN PELESTARIAN BAHASA
LAMPUNG BERBASIS SIKAP BAHASA PENUTUR JATI UNTUK
MEMPERTAHANKAN BAHASA LAMPUNG

Oleh

Deris Astriawan

Tesis

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar


MAGISTER PENDIDIKAN

Pada
Program Pascasarjana Magister Pendidikan Bahasa dan Sastra Daerah
Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Lampung

PROGRAM PASCASARJANA
MAGISTER PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA DAERAH
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS LAMPUNG
BANDAR LAMPUNG
2019
RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Bandar Lampung pada tanggal 18 Mei 1994, dengan nama

Deris Astriawan, sebagai anak keempat dari empat bersaudara, putra dari

pasangan Bapak Hi. Darsani dan Ibu Hj. Masriana, S.Pd.

Pendidikan yang diselesaikan penulis yaitu:

1. TK Tunas Karya diselesaikan pada tahun 2000

2. SD Negeri 1 Kampung Sawah Lama diselesaikan pada tahun 2006

3. SMP Negeri 12 Bandar Lampung diselesaikan pada tahun 2009

4. SMA Negeri 12 Bandar Lampung diselesaikan pada tahun 2012

5. S-1 Pendidikan Ekonomi Universitas Lampung diselesaikan pada tahun

2016

Pada tahun 2017, penulis diterima sebagai mahasiswa Program Studi Magister

Pendidikan Bahasa dan Sastra Daerah, Jurusan Pendidikan Bahasa dan Seni,

Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Lampung.


Motto

‫َﻓ ِﺑﺄ َيﱢ آ ََﻻ ِء ُﺗ َﻛ ﱢذﺑَﺎ ِن رَ ﱢﺑ ُﻛﻣَﺎ‬


“Maka nikmat Tuhanmu manakah yang kamu dustakan?”
(QS. Ar-rahman: 13)

‫ك‬
َ ‫ك ﯾﱠﺎا َِوﻧَﻌْ ُﺑ ُد ِاﯾﱠﺎ‬
َ ُۗ‫ﻧَﺳْ َﺗ ِﻌﯾْن‬
“Hanya kepada-Mu kami menyembah, dan hanya kepada-Mu kami
meminta pertolongan”
(QS. Al-Fatihah: 5)

“Ternyata dunia ini bukan soal dimana kita, dunia adalah soal peran apa
yang akan kita mainkan dan kemanapun takdir Allah menuzulkan jasad ini”
(Sallim. A. Fillah)
PERSEMBAHAN
Segala Puji Bagi Allah SWT Dzat Yang Maha Sempurna
Kupersembahkan karya kecil ini sebagai tanda cinta dan kasih sayangku kepada:

Papah dan Mamah


Hi. Darsani Zainuddin dan Hj. Masriana, S.Pd.
Kedua aktor utama dari segala pencapaianku hari ini, terima kasih atas kasih
sayang dan segala hal yang telah tulus dan ikhlas kalian berikan kepadaku, yang
bahkan sampai akhir hayatku pun belum tentu mampu untuk membalasnya, terima
kasih atas semua pelajaran hidup yang telah kalian ajarkan, nilai-nilai kehidupan
yang telah kalian tanamkan, dan bait-bait penggalan doa di setiap sujud-mu, rasa
syukur kepada Allah SWT yang telah memberikanku kesempatan untuk terlahir
sebagai anak yang beruntung menjadi anak kalian, dan semoga kisah hidup kita
akan terus terukir kelak hingga ke surga-Nya.

Kakakku tercinta Dani Oktarian, SE., Dirga Novica, S.Kom., Dea


Oktarina, S.Pd,. Pujiyadonna Mandawasa, S.E.
Terimakasih atas semua dukungan, motivasi, bimbingan dan doanya selama ini.
Percayalah Allah SWT telah menyiapkan skenario terbaik untuk kita semua.

Keponakanku Dzakiya Talita Sakhi, Donita Aqyla Kamil, Dzakira


Azzahra Kamil, dan Daisha Adreena Saila
Tingkah lucu dan keceriaan kalian yang memberi warna tersendiri dalam hidupku.

Segenap Keluarga Besarku


Terimakasih atas semua bantuan, dukungan, semangat, inspirasi, bimbingan dan
doanya.

Sahabat seperjuangan di Prodi MPBSD


Terimakasih untuk segala bantuan, dukungan, dan doa yang telah kalian berikan
selama ini. Tetaplah menjadi sahabat terbaikku hingga kini dan nanti.

Para Pendidikku yang Ku Hormati


Terimakasih atas segala ilmu dan bimbingan selama ini

Almamater Tercinta
Universitas Lampung
SANWACANA

Alhamdulillah, puji syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT, yang telah

melimpahkan rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis untuk

memenuhi sebagian persyaratan guna memperoleh gelar sarjana pendidikan pada

Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Lampung. Tesis ini berjudul

“Pengembangan Model Kebijakan Pelestarian Bahasa Lampung Berbasis

Sikap Bahasa Penutur Jati untuk Mempertahankan Bahasa Lampung”

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa penulisan tesis ini tidak lepas dari bantuan

doa, bimbingan, motivasi, kritik dan saran yang telah diberikan oleh berbagai

pihak. Untuk itu, dalam kesempatan ini penulis menghaturkan ucapan terima

kasih secara tulus dan ikhlas kepada.

1. Prof. Dr. Ir. Hasriadi Mat Akin, M.P., selaku Rektor Universitas Lampung;

2. Prof. Dr. Patuan Raja, M.Pd., selaku Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu

Pendidikan Universitas Lampung;

3. Dr. Mulyanto Widodo, M.Pd., selaku Ketua Jurusan Pendidikan Bahasa dan

Seni, Universitas Lampung sekaligus sebagai Pembahas yang telah bersedia

memberikan pengarahan, bimbingan, saran, dan nasihat selama penulisan

tesis ini;
4. Dr. Farida Ariyani, M.Pd., selaku Ketua Program Studi Magister Pendidikan

Bahasa dan Sastra Daerah sekaligus selaku Pembimbing I, sosok yang selalu

menjadi inspirasi. Terima kasih atas semua dedikasi, perhatian, arahan,

nasihat, serta kebaikan dan ketulusan dalam membimbing penulis hingga

dapat menyelesaikan tesis dengan baik;.

5. Prof. Dr. Ag. Bambang Setiyadi, M.A., Ph.D., selaku Pembimbing II yang

telah banyak mengajarkan dan mengarahkan penulis dalam menyelesaikan

tesis ini, terima kasih untuk semua ilmu, masukan, kritikan, dan segala

kebaikan dan nasehat yang telah diberikan;

6. Dr. Nurlaksana Eko Rusminto, M.Pd., selaku Penguji II terima kasih atas

kesediaannya selama ini dengan tulus memberikan arahan, masukan, nasehat

dan ilmu yang diberikan;

7. Bapak dan Ibu Dosen di Program Studi Magister Pendidikan Bahasa dan

Sastra Daerah yang dengan penuh rasa tanggung jawab telah memberikan

ilmunya kepada penulis;

8. Seluruh staf dan karyawan Program Studi Magister Pendidikan Bahasa dan

Sastra Daerah. Terima kasih atas kerja sama yang baik dan pelayanan prima

yang telah diberikan;

9. Papah Hi. Darsani Zainuddin dan Mamah Hj. Masriana, S.Pd., kedua sosok

yang menjadi inspirasi dan motivasi dari segala pencapaianku hari ini, terima

kasih atas kasih sayang dan segala hal yang telah tulus dan ikhlas kalian

berikan kepadaku, yang bahkan sampai akhir hayatku pun belum tentu

mampu untuk membalasnya, terima kasih atas semua pelajaran hidup yang

telah kalian ajarkan, nilai-nilai kehidupan yang telah kalian tanamkan, dan
penggalan doa di setiap sujud-mu, rasa syukur kepada Allah SWT yang telah

memberikanku kesempatan untuk terlahir sebagai anak yang beruntung

menjadi anak kalian, dan semoga kelak perjalanan hidup kita akan terus

terukir hingga ke surga-Nya;

10. Kakakku tercinta Dani Oktarian, S.E., Dirga Novica, S.Kom., Dea Oktarina,

S.Pd,. Pujiyadonna Mandawasa, S.E., terimakasih atas semua dukungan,

motivasi, bimbingan dan doanya selama ini. Percayalah Allah SWT telah

menyiapkan skenario terbaik untuk kita semua;

11. Keempat keponakanku tersayang Dzakiya Talita Sakhi, Donita Aqyla Kamil,

Dzakira Azzahra Kamil, dan Daisha Adreena Saila, atas segala tingkah lucu

dan keceriaan kalian yang menjadi penyemangat tersendiri;

12. Sahabat seperjuangan Kak Aida dan Meta. Tetaplah jaga komunikasi, jaga

kekompakan, dan saling menguatkan dan mengingatkan dalam segala hal.

Berjanjilah untuk tetap menjadi sahabat terbaikku kini dan nanti;

13. Semua pihak yang telah membantu penyelesaian tesis ini.

Penulis berharap semoga Allah SWT senantiasa membalas semua kebaikan yang

telah diberikan dan semoga tesis ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang

membutuhkan. Aamiin.

Bandar Lampung, Februari 2019

Deris Astriawan
NPM 1723045001
DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL
ABSTRAK
LEMBAR PERSETUJUAN
LEMBAR PENGESAHAN
LEMBAR PERNYATAAN
RIWAYAT HIDUP
PERSEMBAHAN
MOTTO
SANWACANA
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR

I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang ............................................................................1


1.2 Rumusan Masalah. ......................................................................8
1.3 Tujuan Penelitian. .......................................................................9
1.4 Manfaat Penelitian. .....................................................................9

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengembangan Model Kebijakan...............................................10


2.2 Kebijakan Bahasa. ......................................................................12
2.3 Sosiolinguistik dan Pola Penggunaan Bahasa. ...........................16
2.4 Sikap Bahasa...............................................................................18
2.5 Pemertahanan Bahasa .................................................................25
2.6 Definisi Operasional ...................................................................27

III. METODE PENELITIAN

3.1 Jenis Penelitian............................................................................28


3.2 Data dan Sumber Data ...............................................................28
3.3 Lokasi Penelitian.........................................................................28
3.3.1 Aspek Geografis ................................................................29
3.3.2 Aspek Demografis .............................................................30
3.3.3 Wilayah Administratif .......................................................31
3.3.4 Kawasan Budidaya ............................................................33
3.4 Teknik Pengumpulan Data .........................................................33
3.5 Teknik Analisis Data...................................................................34
3.6 Uji Persyaratan Instrumen...........................................................35
3.6.1 Uji Validitas.......................................................................35
3.6.2 Uji Reliabilitas...................................................................36
3.7 Desain Penelitian ........................................................................37

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Pengembangan Model Kebijakan Pelestarian Bahasa Lampung


Berbasis Sikap Bahasa Penutur Jati ............................................39
4.1.1 Model Kebijakan Pelestarian Bahasa Lampung Secara
Konstitusional....................................................................47
4.1.2 Model Kebijakan Pelestarian Bahasa Lampung Secara
Institusional .......................................................................51
4.2 Korelasi Variabel Intervening Terhadap Sikap Bahasa ..............54
4.2.1 Variabel Umur ...................................................................54
4.2.2 Variabel Jenis Kelamin......................................................57
4.2.3 Variabel Tingkat Pendidikan .............................................61
4.2.4 Variabel Lama Tinggal ......................................................66

V. SIMPULAN DAN SARAN


5.1 Simpulan.....................................................................................72
5.2 Saran ...........................................................................................74

DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

1. Jumlah Penduduk Wilayah Administrasi Kota Bandar Lampung .................. 31


2. Luas Wilayah Administrasi Kota Bandar Lampung ....................................... 32
3. Tingkatan Besarnya Reliabilitas ..................................................................... 37
4. Hasil Analisis Sikap Bahasa ........................................................................... 39
5. Sebaran Responden Berdasarkan Umur.......................................................... 52
6. Korelasi Umur Terhadap Sikap Bahasa .......................................................... 53
7. Data Sebaran Sikap Bahasa Berdasarkan Umur ............................................. 55
8. Sebaran Responden Berdasarkan Jenis Kelamin ............................................ 57
9. Korelasi Jenis Kelamin Terhadap Sikap Bahasa............................................. 58
10. Data Sebaran Sikap Bahasa Berdasarkan Jenis Kelamin................................ 60
11. Sebaran Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan.................................... 62
12. Korelasi Tingkat Pendidikan Terhadap Sikap Bahasa .................................... 63
13. Data Sikap Bahasa Berdasarkan Tingkat Pendidikan ..................................... 64
14. Sebaran Respondedn Berdasarkan Lama Tinggal........................................... 67
15. Korelasi Lama Tinggal Terhadap Sikap Bahasa............................................. 68
16. Data Sebaran Sikap Bahasa Berdasarkan Lama Tinggal ................................ 70
DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

1. Peta Administratif Kota Bandar Lampung...................................................... 29


2. Piramida Perbandingan Jumlah Penduduk Kota Bandar Lampung
Berdasarkan Kelompok Umur dan Jenis Kelamin .......................................... 30
3. Kawasan Budidaya.......................................................................................... 33
4. Bagan Desain Penelitian ................................................................................. 38
5. Sikap Bahasa Penutur Jati ............................................................................... 40
6. Diagram Model Pelestarian Bahasa Lampung ................................................ 48
7. Diagram Sebaran Responden Berdasarkan Umur........................................... 53
8. Data Sikap Bahasa Berdasarkan Umur ........................................................... 56
9. Diagram Sebaran Data Responden Berdasarkan Jenis Kelamin..................... 58
10. Data Sikap Bahasa Berdasarkan Jenis Kelamin.............................................. 61
11. Diagram Sebaran Data Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan ............ 62
12. Data Sikap Bahasa Berdasarkan Tingkat Pendidikan ..................................... 66
13. Diagram Sebaran Data Responden Berdasarkan Lama Tinggal ..................... 68
14. Data Sikap Bahasa Berdasarkan Lama Tinggal .............................................. 71
1

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Bahasa sebagai alat komunikasi harus mampu mengakomodir semua bentuk

eskpresi masyarakat penuturnya terutama di era globalisasi seperti saat ini.

Perkembangan zaman yang sangat pesat seolah menggiring masyarakat penutur

sebuah bahasa untuk mampu dengan mudah menerima dan melebur menjadi

penutur bahasa lain, hal tersebut pada akhirnya juga akan berpengaruh baik dari

penutur maupun tuturannya. Handayani (2016: 125) berpendapat bahwa di

Indonesia terdapat tiga kelompok bahasa yang mewarnai situasi kebahasaan dalam

masyarakat, yaitu bahasa daerah, bahasa Indonesia, dan bahasa asing. Adanya

ketiga kelompok bahasa ini menyebabkan permasalahan yang kompleks karena

keberadaannya yang selalu hidup dan dinamis seiring dengan perkembangan

kehidupan masyarakat.

Selaras dengan hal tersebut provinsi Lampung sebagai salah satu provinsi di

Indonesia juga memiliki bahasa daerah yang digunakan sebagai alat komunikasi

di antara kelompok masyarakat penuturnya dan sebagai identitas yang

menggambarkan kelompok suku bangsa. Bahasa daerah digunakan sebagai

pelambang yang juga merepresentasikan daerahnya atau dengan kata lain kita

dapat mengetahui suatu daerah hanya melalui bahasa daerahnya.


2

Penggunaan suatu bahasa daerah tertentu selalu berkaitan dengan sikap bahasa

yang menjadi tolok ukurnya. Fasold (dalam Katubi, 2010: 42) wawasan tentang

sikap bahasa dapat membantu untuk mengantisipasi cara masyarakat dalam

merespons perencanaan bahasa dan dalam penentuan bahasa (ragam bahasa) yang

dianggap paling patut untuk pengembangan bahasa. Sikap bahasa dapat menjadi

sebuah pilihan karena hasil penelitian sikap bahasa dapat memberikan data, (1)

ukuran “kesehatan” bahasa yang menjadi syarat ketahanan bahasa dan hal itu

menjadi prasyarat penting dalam penanganan bahasa minoritas; (2) indikator

pikiran, kepercayaan, pilihan, keinginan masyarakat “terkini” tentang bahasa

mereka (3) indikator perubahan kepercayaan dan kesempatan keberhasilan dalam

implementasi kebijakan (4) informasi ringkas tentang status berbagai ragam

bahasa sebagai indikator identitas kelompok. Anderson (1974) membagi sikap

atas dua macam, yaitu (1) sikap kebahasaan, dan (2) sikap nonkebahasaan, seperti

sikap politik, sikap sosial, sikap estetis, dan sikap keagamaan. Kedua jenis sikap

ini dapat menyangkut keyakinan atau kognisi mengenai bahasa (Chaer dan

Agustina, 2010: 150).

Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa melalui bukunya Bahasa dan Peta

Bahasa (2017) menyebutkan bahwa jumlah bahasa daerah yang sudah

diinventarisasi dan dideskripsikan sebanyak 652, tidak termasuk dialek dan

subdialek. Jika dilihat dari akumulasi persebaran bahasa daerah per provinsi,

bahasa di Indonesia berjumlah 733. Salah satu bahasa daerah yang masih

digunakan oleh penuturnya adalah bahasa Lampung. Eksistensi bahasa Lampung

di era masyarakat multikultural seperti sekarang ini secara tidak langsung


3

semakin terbatas, hal tersebut dapat dilihat berdasarkan komposisi penduduk

Provinsi Lampung dari total 7.608.405 jiwa penduduk berdasarkan sensus

terhadap etnis atau suku bangsa, etnis Jawa 63,84%, Lampung 13,51%, Sunda

9,58%, Banten 2,27%, etnis asal Sumatera Selatan 5,47%, etnis Bali 1,38%, etnis

Minangkabau 0,92%, etnis Cina 0,53%, etnis Bugis 0,28%, etnis Batak 0,69%,

dan etnis lain seperti etnis asal Aceh, Jambi, Sumatera lainnya, Betawi, Papua,

NTT, NTB, Kalimantan dan lain-lain sekitar 1,21% (Dokumen BPS Provinsi

Lampung tahun 2010 terhadap sensus penduduk menurut suku bangsa).

Berdasarkan data tersebut, sebagian besar masyarakat Lampung menggunakan

bahasa Lampung terbatas hanya digunakan dikalangan generasi tua dan

berlangsung di pedesaan sehingga semakin mempersempit perkembangan bahasa

Lampung yang penggunaannya kian terbatas. Fakta tersebut seolah semakin

diperparah dengan sikap penutur jati yang secara lambat laun mulai

meninggalkan bahasa Lampung sebagai bahasa komunikasi sehari-hari di

lingkungan keluarganya. Hal tersebut dikarenakan masyarakat penutur akan lebih

dominan menggunakan bahasa yang mereka anggap sebagai bahasa mayoritas

(nasional) yang dipahami oleh banyak orang. Apabila permasalahan tersebut

dibiarkan dan tidak ada solusi lebih lanjut, maka hal tersebut berpotensi memicu

terjadinya kepunahan bahasa. Hal tersebut selaras dengan pendapat Putri (2018:

85) bahwa keanekaragaman yang ada pada masyarakat kota Bandar Lampung

mengakibatkan bahasa daerah Lampung mengalami pergeseran. Permasalahan

yang terkait dengan pergeseran bahasa yang mengarah pada kematian bahasa. Hal
4

ini dapat terlihat dari semakin rendahnya tingkat penggunaan bahasa ini dalam

komunikasi antarpenuturnya.

Sejalan dengan hal tersebut Ismadi (2018) menyatakan bahwa kepunahan bahasa

terkait dengan kematian bahasa, kondisi yang menggambarkan sebuah bahasa

tidak lagi dituturkan. Salah satu keadaan yang memperlihatkan gejala-gejala

kepunahan bahasa adalah penurunan secara drastis jumlah penutur aktif.

Pengabaian penggunaan bahasa daerah oleh penutur usia muda juga merupakan

gejala sebuah bahasa akan mengalami kepunahan. Asumsi umum memperlihatkan

bahwa dewasa ini generasi muda tidak cakap lagi menggunakan bahasa daerah

mereka masing-masing. Kebanyakan hanya menguasai secara pasif. Mereka

mengerti dengan bahasa daerah mereka, tetapi tidak fasih berbicara dengan bahasa

tersebut. Jika keadaan seperti ini terus berlanjut, bukan tidak mungkin beberapa

tahun mendatang akan semakin banyak bahasa daerah yang pada akhirnya punah

terkikis zaman.

Kondisi bahasa Lampung yang sudah mulai ditinggalkan oleh penutur jatinya

dapat dibuktikan dari sebaran kantong suku penutur jati bahasa Lampung yang

berada di Kota Bandar Lampung. Wilayah tersebut diantaranya di kecamatan

Rajabasa, Gedong Meneng, Way Halim, Sukabumi, Kedamaian, dan Sukabumi.

Pada mulanya di daerah tersebut bahasa Lampung digunakan sebagai bahasa

komunikasi sehari-hari yang berlangsung antarwarga namun sekarang secara

signifikan perlahan namun pasti di daerah tersebut sudah sangat sulit untuk
5

ditemui masyarakatnya yang menggunakan bahasa Lampung sebagai bahasa

komunikasi sehari-hari.

Menurut Wilian (2010: 26) dalam ilmu sosiolinguistik perlu diwaspadai perihal

pemakaian dan pilihan bahasa yang dihubungkan dengan konsep diglosia adalah

bahwa jika ranah-ranah pemakaian bahasa yang tadinya diwakili oleh ragam

bahasa R sudah dimasuki atau digantikan oleh ragam bahasa T (diglossia leakage)

maka patut dicurigai akan dimulai terjadinya pergeseran bahasa. Selain itu,

berdasarkan hasil penelitian Asim Gunarwan (1994) menunjukkan bahwa

penggunaan bahasa Lampung dan bahasa Indonesia membentuk situasi diglosik.

Situasi tersebut menempatkan bahasa Indonesia sebagai “bahasa ranah tinggi” dan

ragam bahasa Lampung berfungsi sebagai “bahasa ranah rendah”. Oleh sebab itu,

disimpulkan bahwa telah terjadi kebocoran diglosia pada penggunaan bahasa oleh

orang Lampung. Gunarwan juga menunjukkan bahwa kecenderungan

menggunakan bahasa Indonesia lebih tinggi secara signifikan di kota daripada di

kampung-kampung (Katubi, 2010: 41).

Penelitian sikap bahasa dalam masyarakat multilingual seperti di Lampung dan

Sumatera Selatan menjadi penting dilakukan bagi perancang bahasa dan pembuat

kebijakan bahasa untuk memahami sikap masyarakat terhadap bahasa mereka

sendiri, termasuk ragam-ragamnya, dan juga terhadap bahasa lain. Wawasan

tentang sikap bahasa dapat membantu untuk mengantisipasi cara masyarakat

dalam merespons perencanaan bahasa dan dalam penentuan bahasa (ragam


6

bahasa) yang dianggap paling patut untuk pengembangan bahasa Katubi (2010:

42).

Pengukuran sikap bahasa penutur jati terhadap bahasa Lampung harus segera

dilakukan dengan menyusun dan mengembangkan blueprint kebijakan pelestarian

bahasa Lampung sebagai bentuk upaya pemertahanan bahasa Lampung. Menurut

rumusan seminar Politik Bahasa Nasional tahun 1975, kebijakan bahasa adalah

suatu pertimbangan konseptual dan politis yang dimaksudkan untuk dapat

memberikan perencanaan, pengarahan, dan ketentuan-ketentuan yang dapat

dipakai sebagai dasar bagi pengolahan keseluruhan masalah kebahasaan yang

dihadapi oleh suatu bangsa secara nasional (Chaer dan Agustina, 2004: 177;

Aslinda dan Syafyahya, 2010: 113).

Menurut Kunjana (dalam Rosyid, 2014: 180) pertahanan bahasa (language

defence) dilakukan dengan penyempurnaan kebijakan berbahasa dengan perda dan

pembenahan kebijakan. Chaer dan Agustina (2004: 177) menambahkan, kebijakan

bahasa merupakan suatu pegangan yang bersifat nasional, untuk kemudian

membuat perencanaan tentang cara membina dan mengembangkan satu bahasa

sebagai alat komunikasi verbal yang dapat digunakan secara tepat di seluruh

negara, dan dapat diterima oleh seluruh warga yang berbeda secara lingual, etnis,

dan kultur.

Kebijakan yang tidak serius dalam melakukan pembinaan bahasa daerah lambat

laun akan membawa kepunahan bahasa daerah. Hal ini secara tidak langsung
7

merupakan tindak perampasan hak hidup masyarakat pendukung bahasa - bahasa

lokal (Firdaus dan Setiyadi, 2015: 1089). Selain itu, perumusan kebijakan bahasa

daerah yang mempunyai potensi kebertahanan dan perkembangan dalam

kehidupan masa depan meliputi penelitian, kodifikasi, dokumentasi, dan

publikasi, serta upaya pelestariannya (Sugono, 2006). Kebijakan penanganan

terhadap bahasa dan sastra daerah diarahkan pada tiga tindakan, yakni

pengembangan, pembinaan, dan pelindungan bahasa dan sastra daerah. Hal

tersebut juga telah tertuang dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24

Tahun 2009 (UU RI No. 24/2009) dan Peraturan Pemerintah Nomor 57 Tahun

2014 (PP No. 57/2014).

Selain itu, kebijakan bahasa daerah juga terus dilakukan oleh pemerintah. Hal itu

sesuai dengan amanat Undang-Undang Dasar 1945 yang berhubungan dengan

Bab XV, pasal 36, yang menyatakan bahwa bahasa-bahasa daerah yang masih

dipakai sebagai alat perhubungan yang hidup dan dibina oleh masyarakat

pemakainya dihargai dan dipelihara oleh negara karena bahasa-bahasa itu adalah

bagian dari kebudayaan Indonesia yang hidup. Undang-undang Pasal 32 tentang

kewajiban negara memajukan kebudayaan nasional khususnya pada ayat 2 bahwa

Negara menghormati dan memelihara bahasa daerah sebagai kekayaan budaya

nasional. Undang-undang No 32 Tahun 2004 tentang pemerintahan daerah pasal

22 bahwa dalam menyelenggarakan otonomi, daerah mempunyai kewajiban

melestarikan nilai sosial budaya. Selaras dengan hal tersebut pemerintah daerah

Provinsi Lampung sebenarnya juga telah mengeluarkan kebijakan daerah yang

termuat di Peraturan Daerah Provinsi Lampung Nomor 2 Tahun 2008 tentang


8

pemeliharaan kebudayaan Lampung dan Pergub Nomor 39 Tahun 2014 tentang

mata pelajaran bahasa dan aksara Lampung sebagai muatan lokal wajib pada

jenjang satuan pendidikan dasar dan menengah. Kendati demikian, dari beberapa

kebijakan yang telah dikeluarkan tersebut masih belum menunjukkan hasil yang

nyata dan optimal.

Penelitian ini menjadi sangat penting, mengingat adanya berbagai potensi masalah

kebahasaan yang timbul sesuai pada penjabaran di atas. Selain itu juga, pada

penelitian terdahulu hanya terfokus pada pengungkapan sikap bahasa masyarakat

Lampung, sedangkan pada penelitian ini hasil data yang diperoleh akan

ditindaklanjuti dalam bentuk rekomendasi formulasi kebijakan sebagai dasar

pengembangan model kebijakan pelestarian bahasa Lampung secara lebih

konkret, sehingga dampak manfaat yang ditimbulkan akan lebih besar. Hal

tersebut selaras dengan Rosyid (2014: 178) bahwa penelitian bahasa, diharapkan

dapat menyumbangkan hasil yang dipergunakan untuk pengembangan kebijakan

oleh stakeholder di bidang kebahasaan. Berdasarkan penjabaran latar belakang di

atas maka judul penelitian ini ialah Pengembangan Model Kebijakan

Pelestarian Bahasa Lampung Berbasis Sikap Bahasa Penutur Jati Untuk

Mempertahankan Bahasa Lampung.

1.2. Rumusan Masalah

Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.

1. Bagaimanakah pengembangan model kebijakan pelestarian bahasa Lampung

berbasis sikap bahasa penutur jati untuk mempertahankan bahasa Lampung?


9

2. Bagaimanakah korelasi variabel intervening lain terhadap sikap bahasa

penutur jati bahasa Lampung?

1.3. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah di atas diperoleh tujuan penelitian sebagai berikut.

1. Menghasilkan produk pengembangan model kebijakan pelestarian bahasa

Lampung berbasis sikap bahasa penutur jati untuk mempertahankan bahasa

Lampung.

2. Mendeskripsikan korelasi variabel intervening lain terhadap sikap bahasa

penutur jati bahasa Lampung.

1.4. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan memiliki manfaat-manfaat yang dapat diambil:

1. Secara Teoritis

Penelitian ini diharapkan berguna untuk memberikan gambaran konkret sikap

bahasa penutur jati bahasa Lampung yang mampu dimanfatkan sebagai bahan

referensi untuk penelitian selanjutnya.

2. Secara Praktis

Sebagai rencana tindak lanjut, hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan

sebagai dasar acuan pokok dalam penyusunan peraturan daerah tentang

kebijakan pelestarian bahasa Lampung.


10

II. TINJAUAN PUSTAKA

Tinjauan pustaka yang dipergunakan dalam penelitian ini ialah untuk menjadi

landasan dalam pelaksanaan penelitian. Dalam bab ini penulis menjelaskan

tentang kajian terhadap teori-teori yang akan dibahas berkaitan dengan

pengembangan model kebijakan, kebijakan bahasa, sikap bahasa dan

pemertahanan bahasa.

2.1. Pengembangan Model Kebijakan

Pengembangan model kebijakan adalah suatu sistem yang dibuat untuk

mengoptimalkan pencapaian tujuan organisasi sehingga dapat memberikan

kebijakan terbaik pada masa mendatang. (Syah dkk., 2014: 328). Selain itu,

pengembangan model dapat diartikan sebagai upaya memperluas untuk membawa

suatu keadaan atau situasi secara berjenjang kepada situasi yang lebih sempurna

atau lebih lengkap maupun keadaan yang lebih baik (Trisiana dan Wartoyo, 2016:

315).

Menurut Anggara (2014: 14) kebijakan (policy) umumnya digunakan untuk

memilih dan menunjukkan pilihan terpenting untuk mempererat kehidupan, baik

dalam kehidupan organisasi kepemerintahan maupun privat. Selain itu,

(Aminullah dalam Anggara, 2014: 37) menyatakan bahwa kebijakan adalah suatu
11

upaya atau tindakan untuk memengaruhi sistem pencapaian tujuan yang

diinginkan. Upaya dan tindakan tersebut bersifat strategis, yaitu berjangka

panjang dan menyeluruh.

Menurut Anasiru (2011: 78) kebijakan publik memperkenalkan berbagai model

pembuatan kebijakan yang sebenarnya merefleksikan pula model proses kebijakan

dalam arti dan lingkup definisi kerja. Berdasarkan hubungannya itu dapat

diidentifikasi antara lain model kelembagaan (kebijakan dipandang sebagai

kegiatan lembaga pemerintah), model proses (kebijakan dipandang sebagai

aktivitas politik), model elite (kebijakan dipandang sebagai preferensi elite),

model kelompok (kebijakan dipandang sebagai konsensus kelompok), model

rasional (kebijakan dipandang sebagai pencapaian tujuan secara rasional dan

menjamin optimalitas sosial), model inkremental (kebijakan dipandang sebagai

modifikasi kebijakan sebelumnya), dan model sistem (kebijakan dipandang

sebagai keluaran dari sistem), model permainan (kebijakan dipandang sebagai

pilihan rasional dalam situasi yang kompetitif), dan model pilihan publik

(kebijakan dipandang sebagai pembuatan keputusan kolektif dari individu-

individu yang berkepentingan). Pada penelitian ini peneliti akan memilih model

kebijakan inkremental sebagai fokus pengembangan model yang dilakukan hal

tersebut karena rekomendasi kebijakan yang dihasilkan melalui penelitian ini

dipandang sebagai modifikasi kebijakan yang sebelumnya.


12

Menurut Nugroho (dalam Anggara 2014: 39) bahwa kebijakan publik dalam

praktik ketatanegaraan dan kepemerintahan, pada dasarnya terbagi dalam tiga

prinsip, yaitu.

a. rumusan formulasi kebijakan;

b. implementasi kebijakan;

c. evaluasi kebijakan.

Prinsip pengembangan model kebijakan pada penelitian ini berfokus pada prinsip

rumusan formulasi kebijakan. Implementasi dan evaluasi kebijakan akan dijadikan

sebagai dasar rencana tindak lanjut penelitian selanjutnya.

2.2. Kebijakan Bahasa

Menurut rumusan seminar Politik Bahasa Nasional tahun 1975, kebijakan bahasa

adalah suatu pertimbangan konseptual dan politis yang dimaksudkan untuk dapat

memberikan perencanaan, pengarahan, dan ketentuan-ketentuan yang dapat

dipakai sebagai dasar bagi pengolahan keseluruhan masalah kebahasaan yang

dihadapi oleh suatu bangsa secara nasional (Chaer dan Agustina, 2004: 177).

Menurut Moeliono (2010: 1) kebijakan bahasa itu mengenai bahasa nasional,

bahasa golongan etnis lain yang ada di nusantara, dan bahasa asing yang terdapat

di Indonesia dan digunakan untuk tujuan tertentu. Berdasarkan kedudukannya

fungsi sosial kebijakan bahasa menurut Dardjowidjojo (1994) yakni (1) fungsinya

sebagai bahasa resmi kenegaraan atau resmi kedaerahan (2) fungsinya sebagai

bahasa dalam pendidikan (3) fungsinya sebagai bahasa antargolongan (4)

fungsinya sebagai bahasa kebudayaan di bidang ilmu, teknologi, dan seni. Chaer
13

dan Agustina (2004: 177) menambahkan, kebijakan bahasa merupakan suatu

pegangan yang bersifat nasional, untuk kemudian membuat perencanaan tentang

cara membina dan mengembangkan satu bahasa sebagai alat komunikasi verbal

yang dapat digunakan secara tepat di seluruh negara, dan dapat diterima oleh

seluruh warga yang berbeda secara lingual, etnis, dan kultur.

Stewart, seperti yang dikutip oleh Anton Moeliono (1985: 45) mengungkapkan

bahwa, keanekabahasaan dapat berkontribusi pada kestabilan politik negara.

Melalui politik dan kebijakan bahasa yang dikembangkan di Indonesia sejak pra-

kemerdekaan, bahasa yang ada diberi kesempatan untuk dipakai secara

berdampingan, sehingga akan bisa saling mengisi dalam perubahan bermacam-

macam fungsi tanpa persaingan. Sejalan dengan hal tersebut Heryanah (2003:

131) menyatakan bahwa politik bahasa adalah kebijakan yang dilakukan oleh

pemerintah untuk mengarahkan perkembangan bahasa.

Selaras dengan pernyataan tersebut, Spolsky (2009: 257) berpendapat bahwa

kebijakan bahasa mendukung pemerintahan nasional dan aktifitas kenegaraan,

terutama hal-hal yang berkaitan dengan alat komunikasi yang mengancam

ketahanan suatu negara dari segi keberagaman bahasa. Hal senada diungkapkan

oleh Ferguson (2006: 12) bahwa kebijakan bahasa tidak hanya dirumuskan

berdasarkan segi ekonomi, sosial, politik, dan ketahanan negara yang membentuk

penggunaan bahasa, akan tetapi, kebijakan bahasa merupakan suatu cara yang

efektif yang menunjang dinamika sosial. Selain itu, menurut Cooper (dalam

Moeliono, 2010: 1) bahwa di dalam pustaka sosiolinguistik kebijakan bahasa


14

sering mengacu ke tujuan yang menyangkut bahasa, politik, dan masyarakat yang

mendasari usaha kegiatan para perencana bahasa. Kaplan dan Baldauf (1997: 3)

menjelaskan perencanaan bahasa sebagai pangkal ide, serta regulasi (kebijakan

bahasa/ language policy), pengubahan aturan, kepercayaan, dan praktik-praktik

untuk memperoleh sebuah perubahan terkait rencana bahasa dalam satu atau

beberapa komunitas. Menurut Firdaus dan Setiyadi (2015: 1089) kebijakan yang

tidak serius melakukan pembinaan bahasa daerah sehingga lambat laun akan

membawa kepunahan bahasa daerah. Hal ini secara tidak langsung merupakan

tindak perampasan hak hidup masyarakat pendukung bahasa - bahasa lokal.

Secara khusus Ariyani (2017: 11) menjabarkan kebijakan-kebijakan yang

berkaitan dengan Pelestarian, Pembinaan dan Pengembangan Bahasa dan Budaya

Lampung. Payung hukum yang berskala Nasional meliputi,

1. Undang-Undang Dasar 45 Bab 15 Pasal 36.


2. Politik Bahasa Nasional Tahun 1975.
3. Peraturan Pemerintah No. 25/2000.
4. Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 40/2007.
5. Rekomendasi UNESCO 1951.
6. Undang-Undang Republik Indonesia No. 24/2009.
7. Rekomendasi KIMLI 2014
8. Rekomendasi Seminar Bahasa dan Lokakarya Lembaga Adat Jakarta 17 –
20 Agustus 2014

Adapun payung hukum hasil kebijakan pemerintah provinsi meliputi :

1. Peraturan Daerah Provinsi Lampung nomor 2 tahun 2008 Tentang


Pemeliharaan Kebudayaan Lampung, Pemerintah Provinsi Lampung tahun
2008. Ditetapkan di Teluk Betung pada tanggal 29 april 2008.
15

2. Peraturan Gubernur Lampung nomor 4 tahun 2011 Tentang


Pengembangan, Pembinaan, dan Pelestarian Bahasa Lampung dan Aksara
Lampung. Ditetapkan di Teluk Betung pada tanggal 01 februari 2011.
3. Peraturan Daerah Provinsi Lampung nomor 5 tahun 2013 Tentang
Kelembagaan Masyarakat Adat Lampung. Ditetapkan di Teluk Betung
pada tanggal 20 mei 2013.
4. Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia nomor
79 tahun 2014 tentang Muatan Lokal Kurikulum 2013. Ditetapkan di
Jakarta pada tanggal 14 agustus 2014.
5. Peraturan Gubernur Lampung nomor 39 tahun 2014 Tentang Mata
Pelajaran Bahasa dan Aksara Lampung sebagai Muatan Lokal Wajib pada
jenjang Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah. Ditetapkan di Teluk
Betung pada tanggal 11 juli 2014.
6. Surat Pemberitahuan Penerbitan SK Kepala Daerah Tentang Implementasi
Kurikulum Muatan Lokal Bahasa dan Aksara Lampung nomor
430/3808/07/2014 ditujukan kepada Bupati/se-Provinsi Lampung.
Dikeluarkan di Bandar Lampung 06 agustus 2014.
7. Contoh Peraturan Wali Kota Bandar Lampung nomor 19 tahun 2011
Tentang Pelestarian Kebudayaan Lampung Dalam Hal Penampilan Musik
Hidup/Live Music Tradisional Lampung Serta Pemutaran Musik
Instrumen Lampung Pada Usaha Kepariwisataan di Wilayah Bandar
Lampung. Dikeluarkan di Bandar Lampung tanggal 29 maret 2011.
8. Peraturan Bupati nomor 27 Tahun 2018 tentang mata pelajaran bahasa dan
aksara Lampung sebagai muatan lokal wajib pada jenjang satuan
pendidikan dasar dan menengah pertama/sederajat di Kabupaten
Pesawaran. Serta surat edaran yang mengharuskan seluruh Pegawai di
lingkungan Pemda Pesawaran untuk Berbahasa Lampung dan memakai
kopiah Khas Kabupaten Pesawaran setiap hari Jum’at. Ditetapkan di
Pesawaran tanggal 2 Juli 2018.
16

2.3 Sosiolinguistik dan Pola Penggunaan Bahasa

Secara khusus bahasa dapat dikaji secara internal maupun eksternal. Kajian secara

internal artinya kajian yang melibatkan struktur intern seperti fonologi, morfologi,

dan sintaksis. Sebaliknya, kajian secara eksternal dilakukan terhadap hal-hal yang

berada diluar bahasa yang berkaitan dengan pemakaian bahasa sehingga kajian

secara eksternal melibatkan dua atau lebih dari disiplin ilmu termasuk salah

satunya tentang sosiolinguistik.

Menurut Chaer dan Agustina (2010: 2) bahwa sosiolinguistik adalah bidang ilmu

antardisiplin yang mempelajari bahasa dalam kaitannya dengan penggunaan

bahasa itu di dalam masyarakat. Sebagai objek dalam sosiolinguistik bahasa tidak

dilihat atau didekati sebagai bahasa, sebagaimana dilakukan oleh linguistik umum,

melainkan didekati sebagai sarana interaksi atau komunikasi di dalam masyarakat

manusia. Sementara itu, menurut Fishman (dalam Chaer dan Agustina, 2010: 3)

sosiolinguistik adalah kajian tentang ciri khas variasi bahasa, fungsi-fungsi variasi

bahasa, dan pemakai bahasa karena ketiga unsur ini selalu berinteraksi, berubah,

dan saling mengubah satu sama lain dalam satu masyarakat tutur.

Penggunaan bahasa di dalam masyarakat yang majemuk sering memicu sejumlah

permasalahan sosiolinguistik yang menarik untuk dikaji. Di antaranya adalah dari

sejumlah bahasa yang terdapat pada repertoar bahasa masyarakat itu, bahasa yang

manakah yang selalu digunakan di dalam interaksi keluarga atau interaksi di

dalam kelompok etnik sendiri. Lalu, bahasa yang mana yang digunakan di dalam

interaksi antarkelompok etnik yang berbeda. Ciri-ciri apa sajakah yang dapat
17

digunakan untuk menentukan kemungkinan pemilihan suatu bahasa di dalam

situasi tertentu. Ciri-ciri apa sajakah, misalnya, pada situasi tertentu lainnya

sebaliknya bahasa Indonesia yang digunakan oleh penutur bahasa pada

masyarakat yang majemuk itu. Fishman (dalam Siregar dkk., 1998: 51)

mengajukan konsep ranah untuk menjelaskan perilaku penggunaan bahasa dalam

masyarakat bilingual yang mantap (stabil). Dia memberikan perilaku penggunaan

bahasa dalam masyarakat tersebut melalui penempatan ranah bahasa. Istilah ranah

dijelaskan sebagai susunan bahasa tertentu: Dibandingkan dengan situasi sosial,

ranah adalah abstrak dari persilangan antara status (hubungan-peran) tertentu dan

pokok bahasan tertentu. Selanjutnya, disebutkan bahwa pada banyak lingkungan

bilingual yang mantap, tempat perbedaan fungsional antara bahasa-bahasa

terdapat, tiap bahasa atau ragam bahasa dihubung-hubungkan dengan sejumlah

norma dan nilai kemasyarakatan yang berbeda.

Platt (dalam Siregar dkk., 1998: 51) menambahkan dimensi identitas sosial

sebagai faktor ranah, penutur, hubungan-peran pembicara yang terlibat. Dimensi

tersebut mencakup kesukuan, umur, jenis kelamin, dan tingkatan satu bahasa.

Suatu ranah dikaitkan dengan ragam bahasa tertentu. Dibandingkan dengan situasi

sosial, ranah adalah abstraksi dan sarana pendidikan dan latar belakang

sosioekonomi. Seluruh faktor itu digabungkan dengan faktor ranah, penutur, dan

hubunganperan pembicara yang terlibat.

Menurut Siregar dkk., (1998: 52) analisis pola penggunaan bahasa menerapkan

konsep ranah penggunaan bahasa, hubungan-peran (kekerabatan) keluarga, dan


18

peristiwa bahasa. Komponen yang pertama rumah, dipilih sebagai lingkungan

penggunaan peran seperti suami/istri, orang tua/anak, dan anak-anak. Semua

komponen itu dikenal dalam ranah penggunaan bahasa sebagai ranah keluarga,

yaitu perjumlahan atau abstraksi dari hubungan yang terdapat di antara hubungan-

peran keluarga, pokok pembicaraan, dan lingkungan penggunaan bahasa.

Komponen yang kedua, yaitu Iingkungan keluarga, meliputi hubungan-peran yang

sesuai. Di dalam analisis penggunaan bahasa itu hubungan keluarga yang

digunakan adalah suami/istri, ayah/anak, ibu/anak, anak/ibu, anak/anak, dan

teman. Di dalam beberapa penelitian sejenis, hubungan-peran sering terbukti

merupakan faktor yang penting dalam penggunaan bahasa. Komponen yang

ketiga adalah situasi sosiolinguistik di dalam bentuk peristiwa bahasa. Ranah

menunjukkan jenis situasi tempat penggunaan ragam bahasa, sedangkan peristiwa

bahasa, dibatasi sebagai persilangan tidak ujaran, lingkungan, dan waktu tertentu.

Peristiwa bahasa yang digunakan di dalam analisis ini adalah bercakap-cakap,

marah-marah, bersenda-gurau, berdiskusi dan bermusyawarah.

2.4 Sikap Bahasa

Sikap terbentuk dari interaksi sosial yang dialami seseorang yang dalam

berinteraksi individu akan membentuk suatu pola tertentu terhadap berbagai objek

yang dihadapinya. Ada bermacam-macam faktor yang dapat memengaruhi

terbentuknya sikap, antara lain pengalaman pribadi, kebudayaan, orang lain yang

dianggap penting, media massa, pendidikan, dan agama (Sugiyono dan Sasangka

dalam Winarti, 2015: 220). Semntara itu, Massey (1986: 761) lebih menyukai

perspektif sikap Kahn dan Weiss (1973) bahwa sikap secara selektif diperoleh dan
19

terintegrasi melalui pembelajaran dan pengalaman; bahwa mereka bertahan dari

disposisi yang mengindikasikan respons konsistensi; dan pengaruh positif atau

negatif itu terhadap objek sosial atau psikologis yang mewakili karakteristik dari

suatu sikap.

Fasold (1984: 147) mengungkapkan bahwa dalam memandang sikap dapat dilihat

dari dua teori yang berbeda. Pertama, sikap dapat dilihat melalui teori

keperilakuan yang memandang sikap sebagai sikap motorik. Kedua, dari sudut

pandang mentalistik, sikap dapat dipandang sebagai sikap mental. Sekaitan

dengan hal tersebut pendefinisian sikap dan kajian kajian tentang sikap dalam

sosiolinguistik dipengaruhi oleh psikologi sosial yang mendefinisikan sikap dari

dua sudut pandang berbeda, yaitu pandangan behaviorist dan mentalist.

Pandangan behaviorist memiliki asumsi bahwa tidak ada realitas objektif tentang

sikap. Berdasar asumsi itu, sikap dalam pandangan behaviorist didefinisikan

sebagai konstruk hipotetis yang digunakan untuk menjelaskan arah dan keajegan

perilaku manusia Baker (1992) sedangkan Fasold (1984) kelompok mentalist

menganggap bahwa sikap memiliki tiga komponen, yakni kognitif, afektif, dan

konatif (Katubi, 2010: 46).

Menurut Lambert (dalam Sukma 2017: 31) bahwa sikap itu terdiri atas tiga

komponen, yakni komponen kognitif, komponen afektif, dan komponen konatif.

Komponen kognitif bertalian dengan pengetahuan tentang sesuatu hal yang ada di

alam sekitar. Komponen ini biasanya merupakan gagasan dalam pikiran yang

digunakan untuk memahami sesuatu. Komponen afektif berkaitan dengan


20

penilaian terhadap suatu hal. Perasaan baik-tidak baik atau suka-tidak suka

terhadap sesuatu atau suatu keadaan termasuk ke dalam komponen afektif. Segala

sesuatu yang dirasakan, dinilai, dan diresapi merupakan bentuk afeksi. Komponen

konatif berhubungan dengan perilaku atau perbuatan sebagai hasil dari kesiapan

reaktif terhadap suatu keadaan. Segala apa yang dipahami kemudian dirasakan

akan berakhir dengan sebuah tindakan. Perilaku atau tindakan ini menjadi wujud

nyata dari suatu pemahaman. Jadi, melalui komponen ketiga inilah (kognitif,

afektif, dan konatif) orang biasanya mencoba menduga bagaimana sikap

seseorang terhadap suatu keadaan yang sedang dihadapinya.

Menurut (Anderson dalam Chaer dan Agustina, 2010: 51) membagi sikap atas dua

macam, (1) sikap kebahasaan, dan (2) sikap nonkebahasaan, seperti sikap politik,

sikap sosial, sikap estetis, dan sikap keagamaan. Kedua jenis sikap itu dapat

menyangkut keyakinan atau kognisi mengenai bahasa. Sikap bahasa adalah tata

keyakinan atau kognisi yang relatif berjangka panjang, sebagian mengenai bahasa,

mengenai objek bahasa, yang memberikan kecenderungan kepada seseorang

untuk bereaksi dengan cara tertentu yang disenanginya.

Selaras dengan hal tersebut Aslinda dan Syafyahya (2010: 10) menyatakan bahwa

pada hakikatnya sikap bahasa adalah kesopanan bereaksi terhadap suatu keadaan.

Dengan demikian, sikap bahasa menunjuk pada sikap mental dan sikap perilaku

dalam berbahasa. Sikap bahasa dapat diamati antara lain melalui perilaku

berbahasa atau perilaku bertutur. Sikap bahasa sangat erat kaitannya dengan

sosiolinguistik. Aslinda dan Syafyahya (2010: 6) menyatakan bahwa


21

sosiolinguistik merupakan bidang ilmu antardisiplin yang mempelajari bahasa di

dalam masyarakat. Crystal (1997: 215) mendefinisikan sikap sebagai perasaan

orang tentang bahasa mereka sendiri atau bahasa yang lain. Baker (1996: 41)

menguraikan tipologi sikap terhadap lingkungan bahasa, meskipun dia tidak

benar-benar mendefinisikan "sikap".

Norizah telah mendefinisikan sikap atau attitude sebagai perlakuan yang

ditunjukkan terhadap sesuatu. Istilah Language Attitude ini sebagiannya merujuk

kepada anggapan dan nilai yang diberikan oleh masyarakat terhadap sesuatu

bahasa atau bahasa lainnya, atau tentang sesuatu dialek berbanding dialek yang

lain dalam sesuatu bahasa. Hasil daripada definisi dan tanggapan tentang

Language Attitude maka disimpulkannya bahwa sikap seseorang terhadap bahasa

dapat dilihat berdasarkan lima faktor-faktor psikologi, kedudukan geografi, latar

belakang budaya, latar belakang pendidikan dan latar belakang keluarga (Hamid

dkk, 2010: 165).

Ada sejumlah faktor yang turut membentuk sikap bahasa dan yang perlu

dipertimbangkan dalam penelitian sikap bahasa, yaitu usia, jender, sekolah,

kemampuan, penggunaan bahasa, latar kebudayaan, kontak bahasa, dan kebijakan

pemerintah. Pengaruh berbagai faktor tersebut tidak akan jelas kelihatan secara

langsung, tetapi penting kiranya untuk mempertimbangkan situasi dari perspektif

itu. Beberapa faktor perlu untuk dipertimbangkan secara bersamaan dan juga

beberapa faktor dapat saling berpengaruh satu sama lain (Katubi, 2010: 46).
22

Garvin dan Mathiot mengemukakan tiga ciri sikap bahasa yaitu kesetiaan bahasa

(language loyalty), kebanggan bahasa (language pride), kesadaran adanya norma

bahasa (awareness of the norm), dan kegiatan menggunakan bahasa (language

use) (Chaer dan Agustina, 2010: 152). Senada dengan ciri tersebut, secara khusus

Garvin dan Mathiot (dalam Sukma, 2017: 33) mendeskripsikan sebagai berikut.

1) kesetiaan bahasa (language loyality) yang menjadi modal awal bagi

masyarakat suatu bahasa untuk menjaga atau mempertahankan bahasanya.

Berdasarkan ciri ini pengaruh negatif dari bahasa lain akan dengan mudah

dicegah. Masyarakat suatu bahasa senantiasa memupuk rasa cinta terhadap

bahasanya;

2) kebanggaan bahasa (language pride) yang menciptakan rasa memiliki

terhadap bahasa sehingga senantiasa memakai bahasanya sebagai wujud

identitas dan kesatuan masyarakat. Selain itu, ciri ini juga mendorong

orang untuk mengembangkan bahasanya sehingga terus bertambah kaya

baik dari segi kosakata maupun peristilahan. Melalui kebanggaan dalam

diri penutur bahasa, keberlangsungan sebuah bahasa akan terjaga;

3) kesadaran adanya norma bahasa (awareness of the norm) yang

mewujudkan pribadi cerdas berbahasa. Cerdas berarti cermat dan santun

dalam berbahasa;

4) kegiatan menggunakan bahasa (language use) atau desire to participate

yang merupakan wujud nyata dari perilaku berbahasa. Semua ciri yang

dikemukakan Garvin dan Mathiot tersebut merupakan ciri-ciri sikap

positif terhadap bahasa.


23

Garvin dan Mathiot berpendapat sebuah sikap bahasa dapat dikatakan positif

apabila ketiga ciri-ciri sikap terhadap bahasa tersebut dapat dipenuhi dengan baik.

Sebaliknya, apabila ketiga ciri sikap bahasa tersebut sudah menghilang atau

melemah dari diri seseorang atau dari diri sekelompok orang angota masyarakat

tutur, maka berarti sikap negatif terhadap suatu bahasa telah melanda diri orang

atau kelompok orang itu. Sikap negatif terhadap suatu bahasa dapat dilihat dari

tiadanya gairah atau dorongan untuk mempertahankan kemandirian bahasanya,

melemahnya kesetiaan terhadap bahasa, tidak mempunyai rasa bangga terhadap

bahasanya, mengalihkan rasa bangga terhadap bahasa lain yang bukan miliknya.

Hal tersebut didukung oleh Chaer dan Agustina (2010: 150) jika seseorang

memiliki nilai rasa baik atau suka terhadap sesuatu keadaan, maka orang itu

dikatakan memiliki sikap positif. Jika sebaliknya, disebut memiliki sikap negatif.

Ada banyak faktor yang dapat menyebabkan hilangnya rasa bangga terhadap

bahasa sendiri, antara lain faktor politik, ras, etnis, gengsi, dan sebagainya. Sikap

negatif terhadap bahasa akan lebih terasa lagi dampaknya apabila seseorang atau

sekelompok orang tidak mempunyai kesadaran akan adanya norma bahasa.

Mereka tidak merasa perlu untuk menggunakan bahasa secara cermat dan tertib,

sesuai dengan kaidah yang berlaku.

Berkenaan dengan sikap bahasa yang negatif, Halim dalam Chaer dan Agustina

(2010: 153) berpendapat bahwa jalan yang harus ditempuh untuk mengubah sikap

negatif itu menjadi sikap bahasa yang positif adalah dengan pendidikan bahasa

yang dilaksanakan atas dasar pembinaan kaidah dan norma bahasa, norma sosial,
24

norma budaya, dan keberhasilannya juga tergantung pada sikap siswa terhadap

bahasa yang sedang dipelajarinya. Selaras dengan hal tersebut Bany dan Johnson

dalam (Rokhman, 2013: 41) menyatakan bahwa sikap tidak terbentuk karena

pembawaan sejak lahir tetapi terbentuk karena proses belajar. Sikap adalah

fenomena kejiwaan yang biasanya termanifestasi dalam bentuk tindakan atau

perilaku. Chaer dan Agustina (2010: 153) dari pembicaraan mengenai sikap

bahasa dapat dilihat bahwa sikap bahasa juga bisa mempengaruhi seseorang untuk

menggunakan suatu bahasa, dan bukan bahasa yang lain, dalam masyarakat yang

bilingual atau multilingual.

Penggunaan suatu bahasa tidak hanya tergantung pada partisipan, situasi, topik,

dan tujuan pembicaraan, tetapi juga tergantung pada sikap bahasa tersebut

(Winarti, 2015: 216). Beberapa faktor perlu untuk dipertimbangkan secara

bersamaan dan juga beberapa faktor dapat saling berpengaruh satu sama lain.

Penelitian sikap bahasa tertuju pada tingkat yang berbeda-beda. Pertama, sikap

bahasa terhadap bahasa atau ragam bahasa itu sendiri, misalnya mencakupi sikap

negatif atau positif. Kedua, sikap terhadap bahasa/ragam bahasa dan penuturnya,

misalnya sikap terhadap dialek daerah; sikap terhadap aksen: ciri variabel dalam

bahasa orang itu sendiri; sikap terhadap sosiolek: usia, kelas sosial, profesi, dan

etnisitas; sikap terhadap “bahasa asli” di daerah tertentu; sikap terhadap bahasa

imigran. Ketiga, sikap yang dimanifestasikan dalam ragam bahasa, misalnya

penggunaan bahasa lisan, penggunaan bahasa tulis (keberaksaraan, kesastraan),

penggunaan bahasa bahasa Lampung dan pribadi dan lebih spesifik ranah

penggunaan bahasa; penggunaan bahasa di dunia pendidikan dan ranah agama.


25

2.5 Pemertahanan Bahasa

Pemertahanan bahasa merupakan kesetiaan terhadap suatu bahasa untuk tetap

menuturkan bahasa khususnya, bahasa ibu (daerah) di tengah-tengah gempuran

bahasa lain yang kian populer. Pengkajian pemertahanan bahasa biasanya

mengarah kepada hubungan kemantapan yang terjadi pada kebiasaan berbahasa

dengan proses psikologis, sosial, dan budaya yang sedang berlangsung pada saat

masyarakat bahasa yang berbeda berhubungan satu sama lain (Damanik, 2009).

Fishman (1972) dalam teori sosiolinguistik mengemukakan kajian-kajian tentang

pemertahanan bahasa, analisis ranah selalu dikaitkan dengan konsep diglosia

tentang ragam prestise tinggi (T) dan rendah (R). Kaitan antara pilihan bahasa

dengan konsep T – R ini penting dalam kajian pemertahanan bahasa, karena

dengan begitu, pemertahanan dan “kebocoran” yang menyebabkan pergeseran

bahasa atau kepunahan bahasa dapat dilihat (Sumarsono, 1990: 14).

Menurut Sitorus (2014: 98) pemertahanan bahasa itu berkaitan erat dengan

budaya, masyarakat dan globalisasi. Pemertahanan bahasa itu bergantung kepada

masyararakat penutur itu sendiri sebagai pemakai bahasa dan usaha yang

dilakukan oleh masyarakat itu sendiri. Hal tersebut selaras bahwa kunci

memertahankan bahasa daerah berada di tangan penutur bahasa daerah dan

pemerintah daerah dengan mengajarkan bahasa daerah kepada anak sebagai

bahasa ibu (bahasa yang pertama kali dipelajari) sebelum bahasa nasional dan

bahasa asing (Sugono dalam Rosyid, 2014: 195).


26

Fishman (1966: 242) dalam Dweik, dkk (2014: 76) menunjukkan bahwa

pemertahanan bahasa dan pergeseran bahasa erat kaitannya dengan perubahan

atau stabilitas dalam kebiasaan penggunaan bahasa, proses psikologis, sosial, atau

budaya yang sedang berlangsung, pada populasi yang berbeda dalam bahasa

namun saling bersentuhan. Dia menyarankan tiga topik utama untuk bidang ini;

(1) penggunaan bahasa sehari-hari pada lebih dari satu titik waktu atau ruang

antarkelompok; (2) proses psikologis, sosial dan budaya terkait dengan stabilitas

atau perubahan dalam penggunaan bahasa kebiasaan antarkelompok; dan (3)

perilaku terhadap bahasa dalam pengaturannya.

Pertahanan bahasa (language defence) dilakukan dengan penyempurnaan

kebijakan berbahasa dengan perda, pembenahan kebijakan pemakaian bahasa ibu

di lembaga pendidikan, menjauhi penggantian penggunaan bahasa ibu dengan

bahasa nasional, dan digunakannya bahasa ibu sebagai media komunikasi harian

bagi penggunanya sebagai wujud pemertahanan bahasa ibu (Kunjana dalam

Rosyid, 2014: 180). Sejalan dengan hal tersebut, Jendra (2010: 159) menyatakan

bahwa upaya untuk mempertahankan penggunaan bahasa daerah dapat dilakukan

oleh pemerintah, agen non pemerintah, penerbit-penerbit berpengaruh dan dapat

dilakukan oleh masing-masing individu.

Menurut Adisaputera (2009: 46) wujud pemertahanan bahasa dapat dilihat dari

kenyataan bahwa bahasa tersebut masih dipakai dan dipilih pada ranah-ranah

penggunaan bahasa oleh para penuturnya. Indikator utama sebagai penanda

pemertahanan atau pergeseran bahasa adalah ranah penggunaan bahasa.


27

Selanjutnya, dalam studi pemertahanan dan pergeseran bahasa, ranah keluarga

sering disebut sebagai benteng terakhir yang menentukan nasib keberlangsungan

sebuah bahasa Wilian (2010: 28). Holmes (dalam Sitorus, 2014: 98) mengatakan

upaya-upaya yang dapat dilakukan untuk mempertahankan penggunaan bahasa

adalah sikap positif, kebiasaan menggunakan bahasa daerah, mengikuti ibadah

yang bahasa pengantamya bahasa ibu (bahasa daerah) dan kebiasaan mengunjungi

famili. Hal tersebut selaras dengan Adisaputera (2009: 50) bahwa aspek penting

dalam pemertahanan bahasa adalah digunakan atau tidak bahasa tersebut oleh

penuturnya dalam komunikasi sehari-hari. Bahasa tidak akan digunakan jika

penuturnya tidak memiliki kemampuan untuk menggunakannya.

2.6 Definisi Operasional

1. Pengembangan Model Kebijakan Pelestarian Bahasa adalah suatu

pertimbangan konseptual dan politis yang dimaksudkan untuk dapat

memberikan perencanaan, pengarahan, dan ketentuan-ketentuan yang

dapat dipakai sebagai dasar bagi pengolahan masalah kebahasaan.

2. Sikap bahasa adalah tata keyakinan atau kognisi yang relatif berjangka

panjang, sebagian mengenai bahasa, mengenai objek bahasa, yang

memberikan kecenderungan kepada seseorang untuk bereaksi dengan cara

tertentu yang disenanginya.

3. Pemertahanan bahasa merupakan upaya kesetiaan terhadap suatu bahasa

untuk tetap menuturkan bahasa khususnya, bahasa daerah di tengah-tengah

intervensi bahasa lain yang kian populer.


28

III. METODE PENELITIAN

3.1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif yang menggunakan pendekatan

kuantitatif dan kualitatif (mixed method). Penelitian ini mengembangkan model

kebijakan pelestarian bahasa Lampung berbasis sikap bahasa penutur jati untuk

mempertahankan bahasa Lampung. Pendekatan kuantitatif digunakan pada saat

mengolah data instrumen secara kuantitatif berupa statistik, sedangkan pendekatan

kualitatif digunakan untuk mendeskripsikan dan mengungkap informasi yang

tercermin dalam penelitian.

3.2. Data dan Sumber Data

Data dalam penelitian ini berupa sikap bahasa yang terangkum dalam jawaban

responden pada kuesioner. Guna mendapat data penelitian, peneliti memperoleh

sumber data melalui isi jawaban yang tertuang dalam kuesioner responden.

Dengan kata lain, sumber data dalam penelitian ini, yaitu penutur jati bahasa

Lampung.

3.3. Lokasi Penelitian

Lokasi yang dipilih pada penelitian ini yaitu di Kota Bandar Lampung. Hal

tersebut didasarkan Kota Bandar Lampung merupakan ibukota Provinsi Lampung

dengan karakteristik masyarakat yang sangat heterogen dan multietnis sehingga


29

Kota Bandar Lampung dianggap sangat representatif untuk mewakili target data

yang dibutuhkan. Terdapat beberapa data penunjang Kota Bandar Lampung yakni

sebagai berikut.

3.3.1 Aspek Geografis

Kota Bandar Lampung merupakan Ibu Kota Provinsi Lampung yang memiliki

luas wilayah daratan ±19.722 Ha (197,22 km2), dengan panjang garis pantai

sepanjang 27,01 Km, dan luas perairan kurang lebih ±39,82 km2 yang terdiri atas

Pulau Kubur dan Pulau Pasaran. Secara geografis kota Bandar Lampung terletak

pada 5o20’ sampai dengan 5o30’ lintang selatan dan 105o28’ sampa dengan

105o37’ bujur timur.

Gambar 1. Peta Administratif Kota Bandar Lampung


30

3.3.2 Aspek Demografi

Jumlah penduduk Kota Bandar Lampung pada Tahun 2015 adalah sebesar

1.167.698 jiwa, yang terdiri dari jumlah penduduk Laki-laki sebesar 601.604 jiwa,

dan penduduk perempuan sebesar 566.092 jiwa, dengan sex ratio sebesar 106.

Pada Tahun 2014, Penduduk Kota Bandar Lampung berjumlah 979.087 jiwa

dengan sex ratio 102, yang berarti jumlah penduduk laki-laki lebih banyak

daripada penduduk perempuan. Terjadi peningkatan jumlah penduduk dari tahun

2013 sebesar 942 039 jiwa. Data secara lebih rinci dapat dilihat pada diagram di

bawah ini.

Gambar 2. Piramida Perbandingan Jumlah Penduduk Kota Bandar


Lampung Berdasarkan Kelompok Umur dan Jenis Kelamin

Berdasarkan data yang dihimpun dari BPS Kota Bandar Lampung tahun 2016

dalam beberapa tahun terakhir terjadi kecenderungan peningkatan angka

kepadatan penduduk yang mendiami wilayah administratif Kota Bandar

Lampung. Hal tersebut terjadi sebagai akibat bertambahnya jumlah penduduk di

Kota Bandar Lampung serta perpindahan penduduk baik dari antar wilayah di

dalam Kota Bandar Lampung maupun dari luar Kota Bandar Lampung yang
31

masuk ke Kota Bandar Lampung. Adapun data sebaran jumlah penduduk Kota

Bandar Lampung pada tahun 2011-2015 sebagai berikut:

Tabel 1. Jumlah Penduduk Wilayah Administrasi Kota Bandar Lampung

No. Kecamatan Jumlah Penduduk


1 Teluk Betung Barat 29.799
2 Teluk Betung Timur 61.645
3 Teluk Betung Selatan 39.353
4 Bumi Waras 56.742
5 Panjang 74.506
6 Tanjung Karang Timur 37.108
7 Kedamaian 52.592
8 Teluk Betung Utara 50.593
9 Tanjung Karang Pusat 51.126
10 Enggal 28.084
11 Tanjung Karang Barat 57.710
12 Kemiling 65.637
13 Langkapura 33.944
14 Kedaton 49.055
15 Rajabasa 48.027
16 Tanjung Senang 45.775
17 Labuhan Ratu 44.843
18 Sukarame 56.921
19 Sukabumi 57.334
20 Way Halim 61.493
2015 979.287
2014 960.695
2013 942.039
2012 902.885
2011 891.374
Sumber: Bappeda Kota Bandar Lampung, 2016

3.3.3 Wilayah Administratif

Secara administratif Kota Bandar Lampung terdiri dari 20 Kecamatan dan 126

Kelurahan. Letak administratif Kota Bandar Lampung berbatasan langsung

dengan beberapa wilayah Kabupaten yang ada di Provinsi Lampung, antara lain:

a. Kecamatan Natar (Kabupaten Lampung Selatan) di sebelah Utara.


32

b. Kecamatan Padang Cermin (Kabupaten Pesawaran) dan Katibung

(Kabupaten Lampung Selatan) serta Teluk Lampung di sebelah Selatan.

c. Kecamatan Gedong Tataan dan Kecamatan Padang Cermin (Kabupaten

Pesawaran) di sebelah Barat.

d. Kecamatan Tanjung Bintang (Kabupaten Lampung Selatan) di sebelah

Timur

Berikut adalah data yang menunjukkan luas dan wilayah administrasi Kota

Bandar Lampung:

Tabel 2. Luas Wilayah Administrasi Kota Bandar Lampung

No. Kecamatan Luas Wilayah (Ha)


1 Kedaton 457
2 Sukarame 1475
3 Tanjung Karang Barat 1064
4 Panjang 1415
5 Tanjung Karang Timur 269
6 Tanjung Karang Pusat 405
7 Teluk Betung Selatan 402
8 Teluk Betung Barat 1102
9 Teluk Betung Utara 425
10 Rajabasa 636
11 Tanjung Senang 1780
12 Sukabumi 2821
13 Kemiling 2505
14 Labuhan Ratu 864
15 Way Halim 535
16 Langkapura 736
17 Enggal 349
18 Kedamaian 875
19 Teluk Betung Timur 1142
20 Bumi Waras 465
Jumlah 19.722
Sumber: Bappeda Kota Bandar Lampung, 2016
33

3.3.4 Kawasan Budidaya

Kawasan budidaya merupakan kawasan terbangun yang terdiri dari kawasan

industri, pariwisata, pelabuhan, pelayanan umum, pertambangan, perdagangan,

pemukiman, adapun prosentase pembagian kawasan dapat dilihat pada diagram

berikut ini.

Gambar 3. Kawasan Budidaya

3.4. Teknik Pengumpulan Data

Pengumpulan data pada penelitian ini menggunakan kuesioner tertutup dengan

membatasi responden memilih jawaban yang tersedia. Menurut Setiyadi (2006:

54) kuesioner tertutup dapat digunakan untuk membantu peneliti dalam

menyeleksi data sehingga peneliti tidak perlu menghabiskan waktu dengan data

yang tidak relevan dengan penelitiannya. Teknik pengumpulan data menggunakan

alat bantu kuesioner digital, yaitu Google Docs. Kuesioner yang dipakai
34

menggunakan skala Likert dengan pilihan jawaban berjumlah 5 buah. Kuesioner

tersebut dibuat untuk mengukur sikap bahasa masyarakat Lampung dengan

jumlah keseluruhan butir pernyataan sebanyak 30 butir.

3.5. Teknik Analisis Data

Analisis data adalah proses mencari dan menyusun secara sistematis data yang

diperoleh dari hasil wawancara, catatan lapangan, dan dokumentasi, dengan cara

mengorganisasikan data ke dalam katagori, menjabarkan ke dalam unit-unit,

melakukan sintesa, menyusun ke dalam pola, memilih mana yang penting dan

yang akan dipelajari, dan membuat kesimpulan sehingga mudah dipahami oleh

diri sendiri maupun orang lain (Sugiono, 2016 : 244).

Data yang diperoleh menggunakan kuesioner dianalisis menggunakan metode

perhitungan statistik dengan bantuan program SPSS 13.0 (statistical packages for

social sciences). Data yang telah dianalisis secara kuantitatif, selanjutnya

dianalisis secara kualitatif dengan memberikan deskripsi dan interpretasi terhadap

data statistik tersebut. Analisis data secara kualitatif menurut Moleong (2014:

280) merupakan proses mengorganisasikan dan mengurutkan data ke dalam pola,

kategori, dan satuan uraian dasar sehingga dapat ditemukan tema dan dapat

dirumuskan hipotesis kerja seperti yang disarankan oleh data.

Skor dari jawaban responden pada setiap butir penyataan kuesioner diberi bobot

skor (5) untuk jawaban Sangat Setuju, (4) untuk jawaban Setuju, (3) untuk

jawaban Ragu-ragu, (2) untuk jawaban Tidak Setuju, (1) untuk jawaban Sangat
35

Tidak Setuju. Sementara itu, untuk jawaban pernyataan negatif berlaku sebaliknya

yaitu skor (1) untuk jawaban Sangat Setuju, (2) untuk jawaban Setuju, (3) untuk

jawaban Ragu-ragu, (4) untuk jawaban Tidak Setuju, (5) untuk jawaban Sangat

Tidak Setuju. Skor yang diperoleh atas jawaban responden menunjukkan sikap

bahasanya apakah menunjukkan sikap positif atau sikap negatif terhadap upaya

pemertahanan bahasa Lampung. Hasil skor sikap bahasa tersebut akan dijadikan

dasar untuk menyusun fomulasi kebijakan pelestarian bahasa Lampung.

3.6. Uji Persaratan Instrumen

3.6.1 Uji Validitas

Uji validitas dilakukan dengan mengukur kolerasi antar variabel atau

item dengan skor total variabel. Cara mengukur validitas isi yaitu

dengan mencari korelasi antar masing-masing pernyataan dengan skor

total menggunakan rumus teknik korelasi product moment. Dengan

rumus sebagai berikut:

N  XY -  X  Y 
rxy 
N  X 2
-  X 
2
N Y  Y  
2 2

Keterangan:
rxy = koefisien korelasi antara variabel X dan variabel Y;
N = jumlah sampel;
X = skor butir soal;
Y = skor total.
36

Kriteria pengujian jika harga rhitung > rtabel dengan taraf signifikan 0,05

maka alat tersebut valid, begitu pula sebaliknya jika harga rhitung < rtabel

maka alat ukur tersebut tidak valid (Arikunto, 2009: 79).

Hasil perhitungan uji validitas soal post terdapat pada lampiran. Dalam

perhitungan sikap bahasa dari 30 item angket tidak terdapat item angket

yang tidak valid, sehingga seluruh seluruh angket digunakan sebagai

alat pengumpul data penelitian.

3.6.2 Uji Reliabilitas

Reliabilitas instrumen diperlukan untuk mendapatkan data sesuai

dengan tujuan pengukuran. Suatu uji dapat dikatakan reliabel yang

tinggi jika uji tersebut dapat memberi hasil yang tetap dalam jangka

waktu tertentu. Uji reliabilitas dengan menggunakan metode alpha

cronbach dengan rumus:

Keterangan:

r = Reliabilitas instrumen

k = Banyaknya soal
2
b = Jumlah varians butir

2
t = Varians total
37

Besarnya reliabilitas dikategorikan seperti pada tabel berikut:

Tabel 3. Tingkatan Besarnya Reliabilitas

No. Rentang Korelasi Tingkatan


1 Antara 0,800 sampai 1,000 Sangat tinggi
2 Antara 0,600 sampai 0,799 Tinggi
3 Antara 0,400 sampai 0,599 Cukup
4 Antara 0,200 sampai 0,399 Rendah
5 Antara 0,000 sampai 1,999 Sangat rendah
Sumber: Arikunto (2009: 103)

Hasil perhitungan uji korelasi reliabilitas soal post terdapat pada lampiran.

Berdasar pada gambar di atas, diketahui bahwa nilai Alpha sebesar 0.945

atau masuk ke dalam klasifikasi reliabilitas sangat tinggi. Kemudian nilai

Alpha tersebut dibandingkan dengan nilai rtabel pada distribusi nilai N=30

diperoleh nilai rtabel sebesar 0.349. kesimpulannya 0.945 > 0.349 artinya

item-item angket sikap bahasa penutur jati bahasa Lampung dapat

dikatakan reliabel atau terpercaya sebagai alat pengumpul data dalam

penelitian.

3.7. Desain Penelitian

Desain penelitian yang digunakan pada pengembangan model pelestarian bahasa

Lampung, menggunakan metode penelitian dan pengembangan (Research and

Development) Menurut Borg dan Gall (2003) ada tiga langkah dalam penelitian

dan pengembangan yaitu studi pendahuluan, pengembangan dan eksperimen.

Namun dalam penelitian ini eksperimen yang dimaksudkan yaitu formulasi atau

blueprint model kebijakan pelestarian bahasa Lampung.


38

Adapun desain penelitian ini sebagai berikut.

Penyusunan Analisis kebutuhan


Studi Pendahuluan melalui kuesioner
Instrumen
ke responden

Draf Model
Pengembangan
Pengembangan Revisi Draft
Model
Kebijakan

Formulasi Model
Pengembangan
Kebijakan Pelestarian
Bahasa Lampung
berbasis Sikap Bahasa

Gambar 4. Bagan Desain Penelitian


75

V. SIMPULAN DAN SARAN

5.1 Simpulan

Berdasarkan hasil dan pembahasan terhadap pengembangan model kebijakan

pelestarian bahasa Lampung berbasis sikap bahasa penutur jati untuk

mempertahankan bahasa Lampung, maka disimpulkan sebagai berikut.

a. Pengembangan model kebijakan dilakukan pada tataran rekomendasi

model kebijakan yang dapat dijadikan sebagai dasar penyusunan kebijakan

di masa mendatang. Adapun model kebijakan yang dihasilkan sebagai

dasar formulasi penyusunan kebijakan pelestarian bahasa Lampung terbagi

menjadi dua bagian yaitu, model kebijakan konstitusional dan

institusional. Model kebijakan konstitusional dibuat untuk mengatur

kebijakan pelestarian bahasa Lampung melalui jalur legal formal atau

aturan perundang-undangan. Sedangkan, model institusional dipilih

sebagai upaya mengatur pelestarian bahasa Lampung secara kelembagaan.

Berdasarkan hasil analisis data terhadap sikap bahasa penutur jati, dari

total 110 responden didapat beberapa klasifikasi sikap bahasa yaitu sikap

bahasa negatif (N) berjumlah 58 orang responden atau setara dengan

52,7% dari total responden, sikap bahasa netral (NT) berjumlah 9 orang

responden atau setara dengan 8,2% dari total responden, sikap bahasa
76

positif (P) berjumlah 38 orang responden atau setara dengan 34,5%dari

total responden, sikap bahasa sangat positif (SP) berjumlah 5 orang

responden atau setara dengan 4,5% dari total responden. Dominasi sikap

negatif tersebut terbentuk dari situasi kebahasaan yang tidak mendukung

penutur jati untuk dapat terus menjaga kesetiaan, kebanggaan dan

kesadaran akan pentingnya bahasa Lampung sebagai bahasa komunikasi

masyarakat Lampung secara luas. Sehinggga hal tersebut berdampak pada

penentuan ragam bahasa yang dianggap paling patut oleh penutur jati

bahasa Lampung yang cenderung memilih bahasa Indonesia sebagai

bahasa sehari-hari.

b. Berdasarkan hasil uji korelasi variabel intervening terhadap sikap bahasa

diperoleh bahwa variabel umur berkorelasi secara signifikan terhadap

sikap bahasa dengan nilai siginifikansi 0.001 < 0.05 sehingga korelasi

yang terjadi bersifat positif artinya apabila variabel umur meningkat,

maka disertai dengan meningkatnya variabel sikap bahasa, atau dengan

kata lain semakin tinggi umur seorang penutur jati maka semakin positif

sikap bahasanya, selanjutnya variabel jenis kelamin tidak berkorelasi

secara signifikan terhadap sikap bahasa dengan nilai signifikansi 0.408 >

0.05 korelasi yang terjadi bersifat negatif atau dengan kata lain tidak ada

korelasi antara jenis kelamin dengan sikap bahasa, kemudian variabel

tingkat pendidikan tidak berkorelasi secara signifikan terhadap sikap

bahasa dengan nilai signifikansi 0.400 > 0.05 korelasi yang terjadi bersifat

negatif atau dengan kata lain tidak ada korelasi antara tingkat pendidikan
77

dengan sikap bahasa., dan terakhir variabel lama tinggal yang berkorelasi

secara signifikan terhadap sikap bahasa dengan nilai signifikansi 0.000 <

0.05 sehingga korelasi yang terjadi bersifat positif artinya apabila variabel

lama tinggal meningkat, maka disertai dengan meningkatnya variabel

sikap bahasa, atau dengan kata lain semakin lama seorang penutur jati

tinggal maka akan semakin positif sikap bahasanya.

5.2 Saran

Berdasarkan simpulan di atas, saran yang peneliti tawarkan sebagai berikut.

a. Perlu ada perhatian khusus mengenai sikap bahasa penutur jati bahasa

Lampung yang sebagian besar cenderung ke arah negatif. Terdapat

beberapa hal yang bisa dilakukan untuk mengantisipasi timbulnya

berbagai potensi masalah kebahasaan. Hal tersebut telah termuat dalam

rekomendasi model kebijakan secara konstitusional yang

merekomendasikan formulasi kebijakan pada tataran pemerintahan,

sekolah dan masyarakat. Selain itu juga, terdapat model institusional yang

memiliki peranan penting untuk mendukung pelestarian bahasa Lampung

secara lebih signifikan. Adapun berbagai lembaga yang dinilai cukup

memberikan kontribusi yaitu Universitas Lampung, Kantor Bahasa

Provinsi Lampung, Majelis Punyimbang Adat Lampung, Dewan Kesenian

Lampung dan Media Massa.

b. Berdasarkan hasil uji korelasi variabel intervening, diperoleh bahwa

variabel umur dan variabel lama tinggal mampu berkorelasi secara

signifikan dan positif terhadap sikap bahasa. Sebaliknya, variabel jenis


78

kelamin dan variabel tingkat pendidikan tidak berkorelasi secara signifikan

dan positif. Dengan demikian penutur jati yang sudah cukup dewasa dan

berdomisili cukup lama di provinsi Lampung harus mampu menjadi

contoh dan tokoh sentral dalam pelestarian bahasa Lampung terutama di

lingkungan sekitarnya.
DAFTAR PUSTAKA

Adisaputera, A. 2009. Potensi Kepunahan Bahasa Pada Komunitas Melayu


Langkat di Stabat, Kabupaten Langkat, Sumatera Utara. Logat: Jurnal Ilmiah
Bahasa dan Sastra. 5(1), 45-55.

Alebiosu, T.A. 2016. Language Attitudes and the Issue of Dominance: The
Nigerian Experience. English Language, Literature & Culture, 1(3): 21-29.

Anasiru, R. 2011. Implementasi Model-Model Kebijakan Penanggulangan Anak


Jalanan di Kota Makassar. Jurnal Sosiokonsepsia. 16(02), 175-186.

Anwar, Y., & Adang. 2013. Sosiologi Untuk Universitas. Refika Aditama,
Bandung.

Anggara, S. 2014. Kebijakan Publik. Pustaka Setia, Bandung.

Ariyani, F. 2017. Kontribusi Pembuat Kebijakan (Sentuhan Politik) dalam


Pemertahanan dan Pelestarian Bahasa dan Budaya Lampung. Paper
dipresentasikan pada Konferensi di Bandung.

Ariyani, F., Rusminto, N.E., & Setiyadi, Ag.B. 2018. Language Learning
Strategies Based On Gender. Theory and Practice in Language Studies,
(8)11, 1524-1529.

Arikunto, S. 2009. Dasar-dasar Evaluasi Pendidikan. Bumi Aksara, Jakarta.

Aslinda., dan Syafyahya, L. 2010. Pengantar Sosiolinguistik. Refika Aditama,


Bandung.

Badan Pusat Statistik. 2010. Kewarganegaraan, Suku Bangsa, Agama, dan


Bahasa Sehari-Hari Penduduk Indonesia. Katalog BPS, Jakarta.

Baker, C. 1996. Foundations of bilingual education and bilingualism, 2nd ed.


Multilingual Matters, United Kingdom.

Bradac, J. J. 1990. language attitudes and impression formation. in h. giles and w.


p. robinson (eds.). Handbook of language and social psychology. West
Sussex, United Kingdom.

Chaer, A., dan Agustina, L. 2010. Sosiolinguistik: Perkenalan Awal. Rineka


Cipta, Jakarta.
Coronel-Molina, S.M. 2009. Definitions and Critical Literature Review of
Language Attitude, Language Choice and Language Shift: Samples of
Language Attitude Surveys. Monograph. Indiana University, Bloomington.

Crystal, D. 1997. A dictionary of linguistics and phonetics, 4th ed. Oxford,


Blackwell, United Kingdom.

Damanik, R. 2009. Pemertahanan Bahasa Simalungun di Kabupaten Simalungun.


(Tesis). Universitas Sumatera Utara. Sumatera Utara.

Dardjowidjodjo, S 1994. Strategies for a successful national language policy: The


Indonesian case. Paper dipresentasikan pada International Congress of
Sociology. University of Bielefeld, Germany.

Dweik, B.S., Nofal, M.Y., Qawasmeh, R.S. 2014. Language Use and Language
Attitudes among the Muslim Arabs of Vancouver/ Canada: A Sociolinguistic
Study. International Journal of Linguistics and Communication. 2(2), 75-99.

Edwards, J. 1994. Multilingualism. Penguin Books, London.

Fasold, R. 1984. The Sociolinguistics of Language. Basil Blackwell, Oxford.

Ferguson, C. A. 1996. On sociolinguistically oriented language surveys. In


Sociolinguistic perspectives: Papers on language in society, 1959-1994 (pp.
272-276). Ed. Thom Huebner. Oxford University Press, New York.

Ferguson, G. 2006. Language planning and education. Edinburgh University


Press Ltd 22 George Square, Edinburgh.

Firdaus, A., dan Setiadi, D. 2015. Pelestarian Bahasa Daerah (Sunda) Dalam
Upaya Mengokohkan Kebudayaan Nasional. Paper dipresentasikan pada
Seminar Nasional PIBSI XXXVII. Sanata Dharma University, Yogyakarta.

Gall, M.D., Gall J.P., and Borg, W.R. 2003. Educational Research An
Introduction, Seventh Edition. Pearson Education Inc, Boston.

Gay, V., Hicks, D.L., Vasut, E.S., and Shoham, A. 2018. Decomposing Culture:
An Analysis Of Gender, Language, and Labor Supply in The Household.
Review of Economics of the Household, (16)4, 879–909.

Gunarwan, A. 1994. The Encroachment of Indonesian upon the Home Domain of


the Lampung Language Use: A Study of the Possibility of a Minor-Language
Shift. Paper dipresentasikan pada Seventh International Conference on
Austronesian Linguistics. Leiden university, Belanda.

Hamid, Z., Aman., Rahim., dan Harun, K. 2010. Sikap Terhadap Bahasa Melayu:
Satu Kajian Kes di Pantai Timur Semenanjung. Jurnal Melayu (5), 163-176.

Handayani, R. 2016. Kebanggaan Masyarakat Sebatik Terhadap Bahasa


Indonesia, Bahasa Daerah, dan Bahasa Asing: Deskripsi Sikap Bahasa di
Wilayah Perbatasan. Jurnal Ranah, (5)2, 125-138.

Heryanah. 2003. Tinjauan Buku Politik Bahasa. Jurnal Masyarakat dan Budaya,
(5)1, 127-132.
Ismadi, H.D. 2018. Kebijakan Pelindungan Bahasa Daerah Dalam Perubahan
Kebudayaan Indonesia. Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta.

Jaspaert, K. and Kroon, S. 1988. The relationship between language attitudes and
language choice. In U. Knops and R. van Hout (Eds.), Language attitudes in
the Dutch language area (pp. 157-171). Dordrecht, Foris Publications,
Netherlands.

Jendra, I.I. 2010. Sociolinguistics: The Study of Societies' Language. Graha IImu,
Yogyakarta.

Kaplan B.R., and Baldauf, J. 1997. Language Planning from Practice to Theory.
Multilingual Matters ltd, Clevedon.

Katubi. 2010. Sikap Bahasa Penutur Jati Bahasa Lampung. Jurnal Masyarakat
Linguistik Indonesia, (28)1, 41-54.

Kamus Besar Bahasa Indonesia. 2012. Kamus Versi Online/ dalam Jaringan.
https://kbbi.web.id/. Diakses tanggal 4 Januari 2019.

Massey, D. A. 1986. Variations in attitudes and motivation of adolescent learners


of French as a second language. The Canadian Modern Language Review,
(42)3, 607-618.

Moeliono, A.M. 1985. Pengembangan dan Pembinaan Bahasa: Ancangan


Alternatif di dalam Perencanaan Bahasa. Djambatan, Jakarta.

Moeliono, A.M. 2010. Kebijakan Bahasa dan Perencanaan Bahasa di Indonesia:


Kendala dan Tantangan. Paper dipresentasikan pada Simposium
Internasional Perencanaan Bahasa. Hotel Sari Pan Pasifik, Jakarta.

Moleong, L.J. 2014. Metodologi Penelitian Kualitatif. Remaja Rosdakarya,


Bandung.

Nguyen, T.T.T., and Hamid, M.O. 2016. Language Attitudes, Identity and L1
Maintenance: A Qualitative Study of Vietnamese Ethnic Minority Students.
Journal System, 61(1), 87-97, Publisher Elsevier.

Nguyen, T.T.T. 2017. Integrating Culture into Language Teaching and Learning:
Learner Outcomes. International Online Journal, (17)1, 145-155.

Puffer, C.D., Kaltenboeck, G., and Smit, U. 1997. Learner Attitudes and L2
Pronunciation in Austria. World Englishes, (16)1, 115-128.

Putri, N.W. 2018. Pergeseran Bahasa Daerah Lampung Pada Masyarakat Kota
Bandar Lampung. Prasati: Journal of Linguistics, (3)1, 83-97.

Rey, C.L., Canalis, A.H., and Carulla, J.J. 2018. Opening perspectives from an
integrated analysis: language attitudes, place of birth and self-identification.
International Journal of Bilingual Education and Bilingualism, 21(2), 151-
163.
Richards, J. C., Platt, J. and Platt, H. 1992. Longman dictionary of language
teaching and applied linguistics, 2nd ed. Longman Publishers, United
Kingdom.

Rokhman, F. 2013. Sosiolinguistik: Suatu Pendekatan Pembelajaran Bahasa


dalam Masyarakat Multikultural. Graha Ilmu, Yogyakarta.

Rosyid, M. 2014. Urgensi Penelitian Bahasa di Tengah Punahnya Bahasa Lokal.


Jurnal Arabia, (6)2, 177-200.

Rusminto, N.E., Ariyani, F., & Setiyadi, Ag.B. 2018. Learning a Local Language
at School in Indonesian Setting. Journal of Language Teaching and
Research, (9)5, 1075-1083.

Siregar, B.U., Isa, D.S., dan Husni, C. 1998. Pemertahanan Bahasa dan Sikap
Bahasa: Kasus Masyarakat Bilingual di Medan. Pusat Pembinaan dan
Pengembangan Bahasa DEPDIKBUD, Jakarta.

Schiffman, H. F. 1996. Linguistic culture and language policy. Routledge,


London.

Setiyadi, A.B. 2006. Metode Penelitian untuk Pengajaran Bahasa Asing


Pendekatan Kuantitatif dan Kualitatif. Graha Ilmu, Yogyakarta.

Sitorus, N. 2014. Pemertahanan Bahasa Pakpak Dairi di Kabup Aten Dairi. Jurnal
Kajian Linguistik, (12)2, 94-107.

Spolsky, B. 2009. Language management. Cambridges University Press, New


York.

Sugiyono. 2016. Metode Penelitian dan Pengembangan. Afabeta, Bandung.

Sugiyono. 2018. Pelindungan Bahasa Daerah dalam Kerangka Kebijakan


Nasional Kebahasaan. Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta.

Sukma, R. 2017. Sikap Bahasa Remaja Keturunan Betawi Terhadap Bahasa Ibu
dan Dampaknya Pada Pemertahanan Bahasa Betawi. (Tesis). Universitas
Diponegoro. Semarang.

Sumarsono. 1993. Pemertahanan Bahasa Melayu Loloan di Bali. Pusat


Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Jakarta.

Svanes, B. 1988. Attitudes and ‘Cultural Distance’ in Second Language


Acquisition. Journal of Applied Linguistics, (9)4, 357–371.

Syah, I., Darwin, E., Bachtiar, H., dan Pujani, V. 2014. Pengembangan Model
Kebijakan Pelayanan Gratis di Puskesmas. Kesmas, Jurnal Kesehatan
Masyarakat Nasional, (8)7, 325-329.

Trisiana, A., dan Wartoyo. 2016. Desain Pengembangan Model Pembelajaran


Pendidikan Kewarganegaraan Melalui Addie Model Untuk Meningkatkan
Karakter Mahasiswa di Universitas Slamet Riyadi Surakarta. Jurnal PKn
Progresif, (11)1, 312-330.
Universitas Lampung. 2018. Format Penulisan Karya Ilmiah Universitas
Lampung. Universitas Lampung. Bandar Lampung.

Utomo, A.M. 2007. “Konstitusi”, Mata Kuliah Pengembangan Kepribadian


Pendidikan Kewarganegaran. Kanisius, Yogyakarta.

Widodo, M., Ariyani, F., & Setiyadi, Ag.B. 2018. Attitude and Motivation in
Learning a Local Language. Theory and Practice in Language Studies, (8)1,
105-112.

Wilian, S. 2010. Pemertahanan bahasa dan kestabilan kedwibahasaan pada


penutur bahasa sasak di Lombok. Jurnal Masyarakat Linguistik Indonesia,
(28)1, 23-39.

Winarti, S. 2015. Sikap Bahasa Masyarakat Di Wilayah Perbatasan Ntt: Penelitian


Sikap Bahasa Pada Desa Silawan, Provinsi Nusa Tenggara Timur. Jurnal
Metalingua, (13)2, 215—227.

Anda mungkin juga menyukai