Stomatitis alergika dapat terjadi karena sensitifitas jaringan mulut terhadap
berbagai zat, termasuk aromatic senyawa yang ditemukan dalam permen karet dan pasta gigi, yang paling umum adalah carvone, minyak esensial spearmint, minyak esensial mentol, cinnamaldehyde, minyak kayu manis, dan beberapa bahan pokok yang ada dalam pasta gigi, obat kumur, lipstik atau permen karet, bahan gigi palsu atau bahan tambalan serta bahan makanan. Setelah berkontak dengan beberapa bahan yang sensitif, mukosa akan meradang dan edematous. Gejala ini disertai rasa panas, kadang-kadang timbul gatal-gatal, dapat juga berbentuk vesikel kecil, tetapi sifatnya sementara dan akan pecah membentuk daerah erosi kecil dan ulser yang kemudian berkembang menjadi RAS (Recurrent aphthous stomatitis). (James et al., 2006; Treister, 2010) Stomatitis alergika di dalam dunia kedokteran gigi merupakan suatu reaksi hipersensitivitas (tipe IV) pada individu yang sebelumnya telah mengalami sesitisasi terhadap suatu alergen. Dikarenakan masih terjadi proses cascade seluler, stomatitis alergika tidak menampakkan tanda klinis jelas hingga beberapa jam atau bahkan berhari-hari setelah terpapar antigen, yang dikenal dengan istilah “delayed hypersensitivity reaction”. Proses alergi berkembang dalam 2 tahap, yaitu: fase induksi (sensitisasi sistem imun tubuh terhadap alergen), dan fase efektor (stimulasi respon imun). Alergen adalah molekul yang memiliki kemampuan untuk masuk ke dalam epitel mukosa dan mengikat protein epitelial. Pengikatan alergen terhadap protein epitelial menghasilkan bentukan baru yang memiliki sifat imunogenik spesifik. Pada fase induksi, pada kontak pertama dengan antigen, kompleks ini terphagotisasi oleh sel-sel khusus (makrofag) pada permukaannya dan bermigrasi ke arah ganglia regional. Kompleks tersebut kemudian akan dikenali oleh limfosit, sel T helper, yang kemudian memasuki stimulasi dan pembagian fase, yang pada saatnya akan memproduksi 2 jenis limfosit T, yaitu: memory T lymphocytes yang kemudian distimulasi dengan kontak langsung terhadap antigen, dan siklus akan dimulai lagi. Karena limfosit ini tetap dalam tubuh, semakin lama respon imun tersebut lebih agresif dan lebih cepat bertambah setiap kali dipicu apa bila kontak dengan antigen lagi. Siklus ini dikendalikan oleh beberapa sitokinin, yang memperkuat limfosit T, mendukung poliferasi dan mengaktifasi makrofag. (Tremblay et al., 2008) Fase efektor dimulai ketika limfosit T sitotoksik (CD8 + sel) yang dihasilkan pada tahap pertama pelepasan sitokinin untuk memulihkan dan mengaktifkan limfosit T helper (CD4 + sel) dari sirkulasi perifer. Limfosit T sitotoksik berikatan dengan sel epitel dan mengakibatkan kematian sel. Meskipun ada banyak zat alergi dan banyak orang yang telah terekspose, namun diyakini bahwa lingkungan spesifik dari rongga mulut yang sehat dan baik dapat menghambat reaksi hipersensitivitas, hal ini menjadi penyebab mengapa penyakit ini jarang ditemukan. Dua mekanisme partikular mungkin dapat menjelaskan pernyataan ini. Pertama, air liur memastikan pembersihan mukosa secara konstan dan mengurangi waktu kontak dengan zat alergi. Kedua, tingginya tingkat vaskularisasi dari mukosa menyebabkan terjadi proses penyerapan yang cepat terhadap antigen, yang selanjutnya mengurangi kontak lama dengan zan antigen itu sendiri. (Greenberg et al., 2003) DAFTAR PUSTAKA Greenberg MS, Glick M (2003). Burket's oral medicine diagnosis & treatment (10th ed.). Hamilton, Ont.: BC Decker. pp. 60, 61. James, William D.; Berger, Timothy G.; et al. (2006). Andrews' Diseases of the Skin: Clinical Dermatology. Saunders Elsevier. p. 63. Treister NS, Bruch JM (2010). Clinical oral medicine and pathology. New York: Humana Press. pp. 20, 21. Tremblay et al, 2008, Contact Allergy to Cinnamon: Case Report, diunduh dari: https://www.cda-adc.ca/jcda/vol-74/...5/445.pdf, pada tanggal 12 April 2016, pukul 19:12