Dermatitis Kellompok 4
Dermatitis Kellompok 4
BAB 1
PENDAHULUAN
oleh Coca (1923), yaitu istilah yang dipakai untuk sekelompok penyakit pada
individu yang mempunyai riwayat kepekaan dalam keluarganya misalnya
asma bronkial, rinitis alergika, dermatitis atopik, dan konjungtivitis alergik.Di
negara industri, prevalensi dermatitis atopi pada anak mencapai 10 sampai 20
%, sedangkan pada dewasa sekitar 1 sampai 3 %. Dinegara agraris prevalensi
dermatitis atopi jauh lebih rendah. Penderita wanita lebih banyak daripada pria
dengan rasio1,3 :1. Daerah beriklim panas dan lembab memudahkan
timbulnya penyakit. Higiene yang kurang juga dapat memperberat penyakit.
Lingkungan yang mengganggu emosi lebih mudah menimbulkan penyakit.
Penyebab dermatitis atopik belum diketahui, gambaran klinis yang muncul
diakibatkan oleh kerja sama berbagai faktor kontitusional dan faktor pencetus.
1.3 Tujuan
1.3.1 Tujuan umum
Setelah proses perkuliahan diharapkan mahasiswa mengerti dan
memahami konsep teori dan proses penyakit dermatitis serta mampu
memberikan asuhan keperawatan pada pasien dengan dermatitis kontak,
dermatitis seboroik, dan dermatitis atopik.
1.4 Manfaat
1. Bagi mahasiswa/mahasiswi
Makalah ini hendaknya memberikan masukan dalam pengembangan diri
untuk memperkaya pengetahuan mahasiswa/mahasiswi mengenai
pentingnya memahami penyakit-penyakit pada sistem integumen
3
BAB 2
KONSEP TEORI
2.1.2 Etiologi
1. Iritan ringan : paparan kronis detergen atau pelarut.
2. Iritan kuat : kerusakan akibat kontak dengan asam atau alkali.
3. Alergen : sensitisasi karena paparan berulang-ulang
2.1.3 Klasifikasi
1. Dermatitis kontak iritan, terjadi karena irritant primer dimana reaksi
non alergik terjadi akibat pejanan terhadap substansi iritatif.
2. Dermatitis kontak alergika, merupakan manifestasi Delayed
Hypersesitivity; hipersensitifitas yang tertunda dan merupakan
terkena oleh alergen kontak pada orang yang sensitif.
Gambaran umum dermatitis kontak alergika dengan dermatitis kontak
iritan
Variabel Iritan Alergika
Penderita Banyak orang Tidak banyak yang
menderita
2.1.5 Patofisiologi
Dermatitis kontak alergi merupakan hipersensitivitas tipe IV (tipe lambat)
yang terdiri dari 2 fase, yaitu fase sensitisasi dan elisitasi:
1. Fase sensitisasi
Fase sensitisasi adalah fase dimana terjadinya kontak pertama kali
antara alergen dengan kulit yang selanjutnya alergen tersebut akan
dikenal dan direspon oleh limfosit T atau fase ketika sel T naive
9
2. Fase elisitasi
Fase ini melibatkan beberapa substansi, seperti sitokin, histamin,
serotonin, dan prostaglandin. Selain itu beberapa neuropeptida juga
terlibat seperti calcitonin related peptidae dan alpha melanocyte
stimulating hormon yang dapat menurunkan regulasi dari fase elisitasi
ini yang kemungkinan disebabkan karena adanya pengaruh dari sel
penyaji antigen. Fase elisitasi terjadi pada saat terjadi kontak ulang
antara kulit dengan hapten yang sama atau serupa. Hapten akan
ditangkap dan kemudian akan dipresentasikan pada permukaan sel
langerhans, satu satunya sel epidermal yang mengekspresikan
antigen HLA-DR klas II pada permukaannya. Selanjutnya sel
langerhans akan mengeluarkan sitokin, yaitu interleukin-1 yang akan
menstimulasi limfosit T untuk menghasilkan interleukin-2 dan
mengekspresikan reseptor interleukin-2 yang akan menyebabkan
proliferasi dan ekspansi populasi limfosit T pada kulit. Limfosit T
teraktifasi akan mensekresikan IFN gamma yang akan mengaktifkan
keratinosit untuk mengekspresikan intercellular adhesion molecule I
(ICAM-I) dan Histocompatability Locus A (HLA)-DR. Sitokin tidak
hanya diproduksi oleh sel langerhans dan limfosit T, tetapi dapat juga
diproduksi oleh sel keratinosit, sel mast dan makrofag yang terlibat
patogenesis dermatitis kontak alergi ini. Sitokin mempunyai peranan
penting pada molekul-molekul adhesi yang mengatur jalur sel
langerhans, sel T dan sel-sel inflamasi lainnya di kulit. Selain itu,
ekspresi dari molekul-molekul adhesi lain pada sel langerhans dan sel
T dapat mempengaruhi respon sel T terhadap alergen yang masuk.
HLA-DR pada keratinosit akan berinteraksi dengan limfosit T CD4
melalui molekul ICAM-1. Selain itu, ekspresi HLA-DR dapat
menyebabkan keratinosit menjadi target limfosit T. Keratinosit aktif
juga memproduksi berbagai sitokin lain, seperti IL-1, IL-6, dan
GMSCF yang selanjutnya akan mengaktifkan limfosit T. Selanjutnya
IL-1 dapat menstimulasi keratinosit untuk memproduksi eicosanoid
yang akan menghasilkan sel mast dan makrofag. Histamin yang
11
2.1.7 Komplikasi
Kondisi kronis dapat menyebabkan likenifikasi dan fisura dan
skuama. Infeksi kulit dapat disebabkan oleh garukan berulang dan
kerusakan kulit. Respon buruk terhadap poison ivy atau alergen poten lain
dapat menyebabkan kemerahan signifikan dan pembengkakan pada wajah.
Mata bisa tertutup karena edema (Elizabeth J.Corwin, 2009)
12
2.1.8 Penatalaksanaan
1. Identifikasi penyebab dermatitis dan menghindari pajanan penyebab
rekuren.
2. Kompres dingin untuk mengurangi peradangan. Rendaman mandi
bubur gandum dengan bahan kimia yang menyejukkan dapat
meredakan penyakit. Antihistamin dapat digunakan untuk mengurangi
gatal.
3. Terapi anti-inflamasi topikal (kadang-kadang sistemik) jangka pendek,
misalnya steroid dapat digunakan untuk menghentikan peradangan.
Bila serangannya berat, meliputi mata dan wajah, kortikosteroid
sistemik dengan dosis besar sering kali diberikan.
4. Istirahatkan kulit yang sakit dan lindungi dari kerusakan lebih lanjut.
5. Bedakan antara tipe alergen dan tipe iritan.Identifikasi iritan yang
dapat menjadi ancaman dan singkirkan.
6. Gunakan losion lembut, tidak mengandung obat untuk bercak eritema
kecil; pasang balutan dingin basah diatas area dermatitis vaskular yang
tidak terlalu luas (Elizabeth J.Corwin, 2009)
2.1.9 Prognosis
Penting untuk menghilangkan faktor penyebab, tapi profilaksis
juga penting. Karena sekali terkena dermatitis kontak alergi mungkin tetap
ada walaupun bahan kimia penyebabnya telah dihilangkan.(At a Glance
Medicine)
13
2.2.2 Etiologi
Penyebabnya belum diketahui pasti. Hanya didapati aktivitas
kelenjar sebasea berlebihan. Beberapa faktor predisposisi terjadinya
dermatitis seboroik yitu:
1. Hormon
Dermatitis seboroik dijumpai pada bayi dan pada usia setelah pubertas.
Kemungkinan ada pengaruh hormon. Pada bayi dijumpai hormon
transplasenta meninggi beberapa bulan setelah lahir dan penyakitnya
akan membaik jika kadar hormon ini menurun.
2. Jamur Pityrosporum ovale (Malassezia ovale)
Jenis jamur lipofilik ini banyak jumlahnya pada penderita dermatitis
seboroik. Pertumbuhan P. Ovale yang berlebihan dapat mengakibatkan
reaksi inflamasi, baik akibat produk metabolitnya yang masuk ke
dalam epidermis maupun karena sel jamur itu sendiri melalui aktivasi
sel limfosit T dan sel Langerhans. Pengobatan dengan ketokonazol 2%
akan menurunkan jumlah jamur ini dan menyembuhkan penyakit ini.
14
Gambar 2.3 Dermatitis seboroik pada area yang mengandung kelenjar sebasea
dan berambut
2.2.4 Patofisiologi
Dermatitis seboroik berhubungan erat dengan keaktifan glandula
sebasea. Glandula tersebut aktif pada bayi baru lahir, kemudian menjadi
tidak aktif selama 9-12 tahun akibat stimulasi hormon androgen dari ibu
berhenti. Dermatitis seboroik pada bayi terjadi pada umur bulan-bulan
pertama, kemudian jarang pada usia sebelum akil balik dan insidensnya
mencapai puncaknya pada umur 18-40 tahun, kadang-kadang pada umur
tua. Dermatitis seboroik lebih sering terjadi pada pria daripada pada
wanita. Meskipun kematangan kelenjar sebasea rupanya merupakan faktor
timbulnya D.S., tetapi tidak ada hubungan langsung secara kuantitatif
antara keaktifan tersebut dengan suseptibilitas untuk memperoleh D.S
pada orang yang telah mempunyai faktor predisposisi, timbulnya D.S
dapat disebabkan faktor kelelahan, stress, emosional atau infeksi.
16
2.2.6 Penatalaksanaan
Pasien mungkin membaik dengan pemberian krim kortikosteroid
topikal saja atau obat antijamur topikal saja, misalnya mikonazol,
klotrimazol, atau ketokonazol, tetapi kombinasi keduanya biasanya lebih
baik. Pemakaian obat-obat secara sekuensial memungkinkan pemanjangan
jarak pemberian steroid secara intermiten dan mengurangi kemungkinan
efek samping. Kadang-kadang dermatitis seboroik yang parah memerlukan
terapi oral dengan obat seperti itrakonazol. Jika menetap, antibiotik
sistemik dosis rendah dengan aktivitas antiinflamasi, misalnya limesiklin
408 mg sekali sehari, mungkin berguna.
17
1. Pengobatan Topikal
Digunakan sampo yang mengandung sulfur atau asam salisil dan
silenium sulfid 2%, 2-3 kali seminggu selama 5-10 menit. Atau dapat
diberikan sampo yang mengandung sulfur, asam salisil, zing pirition 1-
2%.
Kemudian dapat diberikan krim untuk tempat yang tidak berambut
atau losio/kortikosteroid untuk daerah yang berambut (jangan yang
berpotensi tinggi terutama untuk daerah muka). Salep yang
mengandung asam salisil 2%, sulfur 4% dan ter 2%, ketokonazol.Pada
bayi diberikan asam salisil 3-5% dalam minyak mineral.
Pada pitiriasis sika dan oleosa, seminggu 2-3 kali scalp dikeramasi
selama 5-15 menit. Misalnya dengan silenium sulfida (selsun). Jika
terdapat skuama dan krusta yang tebal hendaknya dilepaskan. Obat
lain yang dipakai untuk D.S ialah:
1) Ter : misalnya likuor karbonas detergens 2-5% atau krim
pragmatar.
2) Resorsin 1-3%
3) Sulfur praesipitatum 4-20% dapat digabung dengan asam salisil 3-
6%.
4) Kortikosteroid, misalnya krim hidrokortison. Pada kasus inflamasi
berat dapat dipakai kortikosteroid yang lebih kuat misalnya
betametason-valerat. Asalkan jangan dipakai terlalu lama karena
efek sampingnya.
2. Pengobatan Sistemik
Dapat diberikan anti histamin ataupun sedatif. Pemberian dosis
rendah dari terapi oral bromida dapat membantu penyembuhan. Terapi
oral yang menggunakan dosis rendah dari preparat hemopoetik yang
18
2.2.7 Komplikasi
Dermatitis seboroik yang meluas sampai menyerang saluran telinga
luar bisa menyebabkkan otitis eksterna yaitu radang yang terdapat pada
saluran telinga bagian luar. Jika tidak mendapatkan pengobatan yang
adekuat, maka DS akan meluas ke daerah sternal, aerola mamae,
umbilikus, lipatan paha dan daerah anogenital. Karena kerontokan yang
berlebihpun dapat menyebabkan kebotakan.
2.2.8 Prognosis
Dermatitis seboroik dapat sembuh sendiri dan merespon pengobatan
topikal dengan baik. Namun pada sebagian kasus yang mempunyai faktor
konstitusi, penyakit ini agak sukar untuk disembuhkan, meskipun
terkontrol.
19
2.3.2 Etiologi
1. Tidak diketahui.
Penyebab DA belum diketahui, terdapat 2 teori yang menjelaskan
etiologi DA. Teori pertama menyatakan DA merupakan akibat
defisiensi imunologik yang didasarkan pada kadar Imunoglobulin E (Ig
E) yang meningkat dan indikasi sel T yang berfungsi kurang baik.
Sedangkan teori kedua menyatakan adanya blokade reseptor beta
20
adrenegik pada kulit. Namun, kedua teori tersebut tidak adekuat untuk
menjelaskan semua aspek penyakit DA (Mulyono, 1986).
Selama beberapa dekade terakhir ini telah banyak upaya untuk
mencari penyebab dari kondisi tersebut namun belum ada penyebab
absolut yang diketahui. Hal ini disebabkan karena penyakit ini sangat
kompleks dan melibatkan berbagai mekanisme, meliputi genetik,
lingkungan, dan imunologi. Komponen genetik berpengaruh secara
kuat pada dermatitis atopic, sebagai contoh, apabila salah satu dari
orang tua memiliki kondisi atopik, kemungkinan anak memiliki
kondisi atopik sebesar 60%, sedangkan apabila dua orang tua memiliki
kondisi atopik, kemungkinan anak memiliki kondisi atopik sebesar
80%. Selain itu, diketahui juga bahwa riwayat atopik pada ayah akan
lebih berpengaruh. Kebanyakan pasien dengan dermatitis atopik
mengalami peningkatan kadar serum eosinofil dan IgE. Fakta tersebut
mendukung kenyataan bahwa besar kemungkinan anak dengan
dermatitis atopik dapat mengalami rhinitis alergi atau asma. Nampak
bahwa hampir setiap imunosit, termasuk sel langerhans, monosit,
makrofag, limfosit, selmast, dan keratinosit, menunjukkan
abnormalitas pada dermatitis atopik. Penyebab dermatitis atopik tidak
diketahui dengan pasti, diduga disebabkan oleh berbagai factor yang
saling berkaitan (multifaktorial). Faktor intrinsik berupa predisposisi
genetik, kelainan fisiologi dan biokimia kulit, disfungsi imunologis,
interaksi psikosomatik dan disregulasi/ ketidakseimbangan sistem saraf
otonom, sedangkan faktor ekstrinsik meliputi bahan yang bersifat
iritan dan kontaktan, allergen hirup, makanan, mikroorganisme,
perubahan temperatur, dan trauma.
2. Faktor yang memperparah: respon terhadap keringat, stres psikologis,
suhu dan kelembapan ekstrem.
3. Alergi makanan (telur, kacang, susu, dan gandum) pada sekitar 10%
dari kasus yang menyerang anak-anak.
4. Predisposisi genetik yang diperburuk dengan alergi makanan, infeksi,
zat kimia yang mengiritasi, suhu dan kelembapan, serta emosi.
21
2.3.4 PemeriksaanDiagnostik
1. Riwayat gangguan atopik dalam keluarga berguna untuk mendiagnosis
dermatitis atopik.
2. Pengujian petak dan penyelidikan distribusi lesi kulit membantu
menunjukkan alergen pemicu.
3. Kadar IgE serum umumnya naik, namun tidak menentukan diagnosa.
2.3.5 Penatalaksanaan
1. Eliminasi alergen.
2. Hindari iritan (sabun, pembersih, dan zat kimia lainnya), perubahan
suhu ekstrem dan faktor lain yang mempercepat.
22
BAB 3
ASUHAN KEPERAWATAN
3.1 Pengkajian
Menurut Tucker (2007) pengkajian sistem integumen adalah sebagai berikut:
1. Data Subjektif
Mengkaji kulit meliputi Gatal, nyeri, ruam, kasar, kering, bengkak,
perubahan warna kulit.
2. Data Objektif
Mengkaji keutuhan, elastisitas, ruam, kelembaban, kebersihan, eksudat,
pigmentasi.Lesi likenifikasi (epidermis tebal dan kasar), erosi adanya
lembab, ekskoriasi (abrasi) kehilangan lapisan epidermis.
3. Riwayat kesehatan keluarga
4. Riwayat psikososial
5. Riwayat Penyakit penyerta Alergia atau sensitif terhadap alergen internal
atau eksternal.
6. Medikasi yang digunakan
Obat-obat yang digunakan; krim, losion, salep.
7. Riwayat Praktik Higiene
8. Pemeriksaan diagnostik
Pewarnaan gram untuk mendeteksi organisme, kultur darah, dan skin
scrapping.
3.2 DiagnosaKeperawatan
1. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan gangguan imunologi :
hipersensitivitas
2. Nyeri akut berhubungan dengan agen cedera biologis : proses peradangan
3. Gangguan pola tidur berhubungan dengan ketidaknyamanan
24
BAB 4
TRIGER CASE
4.1 Identitas
4.1.1 Identitas Pasien
1. Nama : Nn. T
2. Umur : 25 Th
3. Jenis Kelamin : Perempuan
4. Agama : Islam
5. Alamat : Mulyorejo, Surabaya
6. Status : Belum menikah
4.1.2 Identitas Medis
1. Tgl Periksa : 1 Mei 2013 pukul 10.00 WIB
30
2. No Register : 10513
3. Ruang : Poliklinik
yang gatal, sehingga lecet pada daerah yang digaruk. Pasien mengatakan luka
yang ada di wajahnya terasa perih. Pasien merasa malu ketika keluar rumah,
dan malu untuk pergi bekerja, sehingga jarang keluar rumah. Pasien sering
kali menutupi wajahnya dengan sapu tangan.
4. Abdomen
1) Inspeksi : simetris
2) Auskultasi : peristaltik usus 12 kali per menit
3) Perkusi : timpani
4) Palpasi : tidak ada nyeri tekan, tidak ada pembesaran hepar, lien
5. Ekstremitas : rentang gerak normal
5) Kulit : terdapat pruritus berwarna merah pada seluruh wajah dan
leher, terdapat lesi bekas garukan pada wajah dan leher,
karakteristik luka : kemerahan, tidak terdapat drainage,
kulit wajah dan leher tampak kering bersisik,
kulit di daerah tubuh yang lain normal, tidak ada pruritus,
turgor kulit normal.
32
Data Objektif
1) Terdapat pruritus berwarna
merah pada seluruh wajah
dan leher
2) Terdapat lesi bekas garukan
pada wajah dan leher
3) Kulit wajah dan leher
tampak kering bersisik
tangan
2) Terdapat pruritus berwarna
merah pada seluruh wajah
dan leher
4.11 Intervensi
1. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan faktor eksternal : zat
kimia
1) NOC : Tissue intergrity: skin and mucous membranes
2) Tujuan : pasien mampu mencapai integritas kulit dan mukosa
membran secara adekuat setelah dilakukan tindakan
selama 7 x 24 jam
3) Outcomes
(1) Meningkatkan kenyamanan pada verbalisasi kulit
(2) Berkurangnya kulit yang terkelupas dan pembersihan kerak
(3) Berkurangnya kemerah-merahan
(4) Berkurangnya nyeri pada kulit yang tergores
(5) Penyembuhan pada bagian yang rusak
(6) Kulit utuh
5) NIC
(1) Skin care : topical treatments
35
DAFTAR PUSTAKA
Johnson, Marion, et al., 2006. NANDA, NOC and NIC Linnkages. 2nd Edition. St.
Louis : Mosby Elsevier.
Kariosentono, H., 2006, Dermatitis Atopik( Ekzema ) LPP U. N .S., Jawa Tengah :
1-15.