Anda di halaman 1dari 5

ANT.

FILE 2010

SPONDILITIS TUBERKULOSA
A. DEFINISI
Spondilitis tuberkulosa atau tuberkulosis tulang belakang adalah peradangan granulomatosa yg bersifat kronis destruktif oleh
Mycobacterium tuberculosis . Dikenal pula dengan nama Pott’s disease of the spine atau tuberculous vertebral osteomyelitis.
Spondilitis ini paling sering ditemukan pada vertebra T8 - L3 dan paling jarang pada vertebra C1 – 2. Spondilitis tuberkulosis
biasanya mengenai korpus vertebra, tetapi jarang menyerang arkus vertebrae.

B. ETIOLOGI
Mycobacterium tuberculosis merupakan bakteri berbentuk batang yg bersifat acid-fastnon-motile (tahan terhadap asam
pada pewarnaan, sehingga sering disebut juga sebagai Basil/bakteri Tahan Asam (BTA) ) dan tidak dapat diwarnai dengan
baik melalui cara yg konvensional. Dipergunakan teknik Ziehl-Nielson untuk memvisualisasikannya. Bakteri tubuh secara
lambat dalam media egg-enriched dengan periode 6-8 minggu. Produksi niasin merupakan karakteristik Mycobacterium
tuberculosis dan dapat membantu untuk membedakannnya dengan spesies lain
Spondilitis tuberkulosa merupakan infeksi sekunder dari tuberkulosis di tempat lain di tubuh,
5 – 95 % disebabkan oleh mikobakterium tuberkulosis tipik ( 2/3 dari tipe human dan 1/3 dari tipe bovin ) dan
5 – 10 % oleh mikobakterium tuberkulosa atipik.
Lokalisasi spondilitis tuberkulosa terutama pada daerah vertebra torakal bawah dan lumbal atas, sehingga diduga adanya
infeksi sekunder dari suatu tuberkulosa traktus urinarius, yg penyebarannya melalui pleksus Batson pada vena paravertebralis.
Meskipun menular, tetapi orang tertular tuberculosis tidak semudah tertular flu. 
Penularan penyakit ini memerlukan waktu pemaparan yg cukup lama dan intensif
dengan sumber penyakit (penular).  Menurut Mayoclinic, seseorang yg kesehatan
fisiknya baik, memerlukan kontak dengan penderita TB aktif setidaknya 8 jam
sehari selama 6 bulan, untuk dapat terinfeksi.  Sementara masa inkubasi TB
sendiri, yaitu waktu yg diperlukan dari mula terinfeksi sampai menjadi sakit,
diperkirakan sekitar 6 bulan. Bakteri TB akan cepat mati bila terkena sinar matahari
langsung. Tetapi dalam tempat yg lembab, gelap, dan pada suhu kamar, kuman
dapat bertahan hidup selama beberapa jam.  Dalam tubuh, kuman ini dapat
tertidur lama (dorman) selama beberapa tahun.

C. PATOGENESIS
Spondilitis tuberkulosa merupakan suatu tuberkulosis tulang yang sifatnya
sekunder dari TBC tempat lain di dalam tubuh. Penyebarannya secara hematogen, diduga terjadinya penyakit ini sering karena
penyebaran hematogen dari infeksi traktus urinarius melalui pleksus Batson. Infeksi TBC vertebra ditandai dengan proses
destruksi tulang progresif tetapi lambat di bagian depan ( anterior vertebral body). Penyebaran dari jaringan yang mengalami
perkejuan akan menghalangi proses pembentukan tulang sehingga berbentuk tuberculos squestra. Sedang jaringan granulasi
TBC akan penetrasi ke korteks dan terbentuk abses paravertebral yang dapat menjalar ke atas atau bawah lewat ligamentum
longitudinal anterior dan posterior. Sedangkan diskus intervertebralis karena avaskular lebih resisten tetapi akan mengalami
dehidrasi dan penyempitan karena dirusak oleh jaringan granulasi TBC. Kerusakan progresif bagian anterior vertebra akan
menimbulkan kifosis (Savant, 2007).
Perjalanan penyakit spondilitis tuberkulosa terdiri dari lima stadium yaitu:
1. Stadium implantasi
Setelah bakteri berada dalam tulang, apabila daya tahan tubuh penderita menurun, bakteri akan berduplikasi membentuk
koloni yang berlangsung selama 6-8 minggu. Keadaan ini umumnya terjadi pada daerah paradiskus dan pada anak-anak
pada daerah sentral vertebra.
2. Stadium destruksi awal
Selanjutnya terjadi destruksi korpus vertebra dan penyempitan yang ringan pada diskus. Proses ini berlangsung selama 3-
6 minggu.
3. Stadium destruksi lanjut
Pada stadium ini terjadi destruksi yang massif, kolaps vertebra, dan terbentuk massa kaseosa serta pus yang berbentuk
cold abses, yang tejadi 2-3 bulan setelah stadium destruksi awal. Selanjutnya dapat terbentuk sekuestrum dan kerusakan
diskus intervertebralis. Pada saat ini terbentuk tulang baji terutama di depan ( wedging anterior) akibat kerusakan korpus
vertebra sehingga menyebabkan terjadinya kifosis atau gibbus.
4. Stadium gangguan neurologis
Gangguan neurologis tidak berkaitan dengan beratnya kifosis yang terjadi tetapi ditentukan oleh tekanan abses ke kanalis
spinalis. Vertebra torakalis mempunyai kanalis spinalis yang kecil sehingga gangguan neurologis lebih mudah terjadi di
daerah ini. Apabila terjadi gangguan neurologis, perlu dicatat derajat kerusakan paraplegia yaitu:
i. Derajat I
Kelemahan pada anggota gerak bawah setelah beraktivitas atau berjalan jauh. Pada tahap ini belum terjadi gangguan
saraf sensoris.
ii. Derajat II
Kelemahan pada anggota gerak bawah tetapi penderita masih dapat melakukan pekerjaannya.
iii. Derajat III
Kelemahan pada anggota gerak bawah yang membatasi gerak atau aktivitas penderita disertai dengan hipoestesia
atau anestesia.
iv. Derajat IV
Gangguan saraf sensoris dan motoris disertai dengan gangguan defekasi dan miksi.
TBC paraplegia atau Pott paraplegia dapat terjadi secara dini atau lambat tergantung dari keadaan penyakitnya. Pada
penyakit yang masih aktif, paraplegia terjadi karena tekanan ekstradural dari abses paravertebral atau kerusakan langsung
sumsum tulang belakang oleh adanya granulasi jaringan. Paraplegia pada penyakit yang tidak aktif atau sembuh terjadi
karena tekanan pada jembatan tulang kanalis spinalis atau pembentukan jaringan fibrosis yang progresif dari jaringan
granulasi tuberkulosa. TBC paraplegia terjadi secara perlahan dan dapat terjadi destruksi tulang disertai dengan angulasi
dan gangguan vaskuler vertebra.
5. Stadium deformitas residual
Stadium ini terjadi kurang lebih 3-5 tahun setelah stadium implantasi. Kifosis atau gibbus bersifat permanen karena
kerusakan vertebra yang massif di depan (Savant, 2007).

D. PATOFISIOLOGI
Kuman yg ”bangun” kembali dari paru-paru akan menyebar mengikuti aliran darah ke pembuluh tulang belakang dekat
dengan ginjal. Kuman berkembang biak umumnya di tempat aliran darah yg menyebabkan kuman berkumpul banyak (ujung
pembuluh). Terutama di tulang belakang, di sekitar tulang thorakal (dada) dan lumbal (pinggang) kuman bersarang.
Kemudian kuman tersebut akan menggerogoti badan tulang belakang, membentuk kantung nanah (abses) yg bisa menyebar
sepanjang otot pinggang sampai bisa mencapai daerah lipat paha. Dapat pula memacu terjadinya deformitas. Gejala awalnya
adalah perkaratan – umumnya disebut pengapuran – tulang belakang, sendi-sendi bahu, lutut, panggul. Tulang rawan ini akan

SPONDILITIS TUBERKULOSA 1
ANT.FILE 2010

terkikis menipis hingga tak lagi berfungsi. Persendian terasa kaku dan nyeri, kerusakan pada tulang rawan sendi, pelapis ujung
tulang yg berfungsi sebagai bantalan dan peredam kejut bila dua ruang tulang berbenturan saat sendi digerakkan.
Terbentuknya abses dan badan tulang belakang yg hancur, bisa menyebabkan tulang belakang jadi kolaps dan miring ke arah
depan. Kedua hal ini bisa menyebabkan penekanan syaraf-syaraf sekitar tulang belakang yg mengurus tungkai bawah,
sehingga gejalanya bisa kesemutan, baal-baal, bahkan bisa sampai kelumpuhan.
Badan tulang belakang yg kolaps dan miring ke depan menyebabkan tulang belakang dapat diraba dan menonjol di belakang
dan nyeri bila tertekan, sering sebut sebagai gibbus
Bahaya yg terberat adalah kelumpuhan tungkai bawah, karena penekanan batang syaraf di tulang belakang yg dapat disertai
lumpuhnya syaraf yg mengurus organ yg lain, seperti saluran kencing dan anus (saluran pembuangan).

Tuberkulosis tulang adalah suatu proses peradangan yg kronik dan destruktif yg disebabkan basil tuberkulosis yg menyebar
secara hematogen dari fokus jauh, dan hampir selalu berasal dari paru-paru. Penyebaran basil ini dapat terjadi pada waktu
infeksi pri-mer atau pasca primer. Penyakit ini sering ter-jadi pada anak-anak. Basil tuberkulosis biasanya menyangkut dalam
spongiosa tulang. Pada tempat infeksi timbul osteitis, kaseasi clan likuifaksi dengan pembentukan pus yg kemudian dapat
mengalami kalsifikasi. Berbeda dengan osteomielitis piogenik, maka pembentukan tulang baru pada tuberkulosis tulang
sangat sedikit atau tidak ada sama sekali. Di samping itu, periostitis dan sekwester hampir tidak ada. Pada tuberkulosis
tulang ada kecenderungan terjadi perusakan tulang rawan sendi atau diskus intervertebra.

Dari pemeriksaan fisik Pada pemeriksaan refleks fisiologis normal. Ditemukan hipestesia (raba) setinggi VT6. Tidak ditemukan
adanya refleks patologis. Pada pemeriksaan nervi cranialis tidak ditemukan adanya kelainan.

E. PATOLOGI
Tuberkulosa pada tulang belakang dapat terjadi karena penyebaran hematogen atau penyebaran langsung nodus
limfatikus para aorta atau melalui jalur limfatik ke tulang dari fokus tuberkulosa yang sudah ada sebelumnya di luar tulang
belakang. Pada penampakannya, fokus infeksi primer tuberkulosa dapat bersifat tenang. Sumber infeksi yang paling sering
adalah berasal dari sistem pulmoner dan genitourinarius.

Pada anak-anak biasanya infeksi tuberkulosa tulang belakang berasal dari fokus primer di paru-paru sementara pada
orang dewasa penyebaran terjadi dari fokus ekstrapulmoner (usus, ginjal, tonsil). Penyebaran basil dapat terjadi melalui arteri
intercostal atau lumbar yang memberikan suplai darah ke dua vertebrae yang berdekatan, yaitu setengah bagian bawah
vertebra diatasnya dan bagian atas vertebra di bawahnya atau melalui pleksus Batson’s yang mengelilingi columna vertebralis
yang menyebabkan banyak vertebra yang terkena. Hal inilah yang menyebabkan pada kurang lebih 70% kasus, penyakit ini
diawali dengan terkenanya dua vertebra yang berdekatan, sementara pada 20% kasus melibatkan tiga atau lebih vertebra.
Berdasarkan lokasi infeksi awal pada korpus vertebra dikenal tiga bentuk spondilitis:
1. Peridiskal / paradiskal
Infeksi pada daerah yang bersebelahan dengan diskus (di area metafise di bawah ligamentum longitudinal anterior / area
subkondral). Banyak ditemukan pada orang dewasa. Dapat menimbulkan kompresi, iskemia dan nekrosis diskus.
Terbanyak ditemukan di regio lumbal.
2. Sentral

SPONDILITIS TUBERKULOSA 2
ANT.FILE 2010

Infeksi terjadi pada bagian sentral korpus vertebra, terisolasi sehingga disalahartikan sebagai tumor. Sering terjadi pada
anak-anak. Keadaan ini sering menimbulkan kolaps vertebra lebih dini dibandingkan dengan tipe lain sehingga
menghasilkan deformitas spinal yang lebih hebat. Dapat terjadi kompresi yang bersifat spontan atau akibat trauma.
Terbanyak di temukan di regio torakal.
3. Anterior
Infeksi yang terjadi karena perjalanan perkontinuitatum dari vertebra di atas dan dibawahnya. Gambaran radiologisnya
mencakup adanya scalloped karena erosi di bagian anterior dari sejumlah vertebra (berbentuk baji). Pola ini diduga
disebabkan karena adanya pulsasi aortik yang ditransmisikan melalui abses prevertebral dibawah ligamentum longitudinal
anterior atau karena adanya perubahan lokal dari suplai darah vertebral.
4. Bentuk atipikal
Dikatakan atipikal karena terlalu tersebar luas dan fokus primernya tidak dapat diidentifikasikan. Termasuk didalamnya
adalah tuberkulosa spinal dengan keterlibatan lengkung syaraf saja dan granuloma yang terjadi di canalis spinalis tanpa
keterlibatan tulang (tuberkuloma), lesi di pedikel, lamina, prosesus transversus dan spinosus, serta lesi artikuler yang
berada di sendi intervertebral posterior. Insidensi tuberkulosa yang melibatkan elemen posterior tidak diketahui tetapi
diperkirakan berkisar antara 2%-10%.

F. MANIFESTASI KLINIS
Gambaran klinis spondilitis tuberkulosa yaitu:
a. Badan lemah, lesu, nafsu makan berkurang, dan berat badan menurun.
b. Suhu subfebril terutama pada malam hari dan sakit (kaku) pada punggung. Pada anak-anak sering disertai dengan
menangis pada malam hari.
c. Pada awal dijumpai nyeri interkostal, nyeri yang menjalar dari tulang belakang ke garis tengah atas dada melalui ruang
interkostal. Hal ini disebabkan oleh tertekannya radiks dorsalis di tingkat torakal.
d. Nyeri spinal menetap dan terbatasnya pergerakan spinal
e. Deformitas pada punggung (gibbus)
f. Pembengkakan setempat (abses)
g. Adanya proses tbc (Tachdjian, 2005).
Kelainan neurologis yang terjadi pada 50 % kasus spondilitis tuberkulosa karena proses destruksi lanjut berupa:
a. Paraplegia, paraparesis, atau nyeri radix saraf akibat penekanan medula spinalis yang menyebabkan kekakuan pada
gerakan berjalan dan nyeri.
b. Gambaran paraplegia inferior kedua tungkai yang bersifat UMN dan adanya batas defisit sensorik setinggi tempat gibbus
atau lokalisasi nyeri interkostal (Tachdjian, 2005).

G. DIAGNOSIS SPONDILITIS TUBERKULOSA


Diagnosis pada spondilitis tuberkulosa meliputi:
1. Anamnesis
Anamnesis dilakukan untuk mendapatkan keterangan dari pasien, meliputi keluhan utama, keluhan sistem badan, riwayat
penyakit sekarang, riwayat penyakit dahulu, dan riwayat penyakit keluarga atau lingkungan.
2. Pemeriksaan fisik
a. Inspeksi
Pada klien dengan spondilitis tuberkulosa kelihatan lemah, pucat, dan pada tulang belakang terlihat bentuk kiposis.
b. Palpasi
Sesuai dengan yang terlihat pada inspeksi, keadaan tulang belakang terdapat adanya gibbus pada area tulang yang
mengalami infeksi.
c. Perkusi
Pada tulang belakang yang mengalami infeksi terdapat nyeri ketok.
d. Auskultasi
Pada pemeriksaan auskultasi, keadaan paru tidak ditemukan kelainan.
3. Pemeriksaan medis dan laboratorium (Lauerman, 2006).

H. PEMERIKSAAN PENUNJANG SPONDILITIS TUBERKULOSA


Pemeriksaan penunjang pada spondilitis tuberkulosa yaitu:
1. Pemeriksaan laboratorium
a. Pemeriksaan darah lengkap didapatkan leukositosis dan LED meningkat.
b. Uji mantoux positif tuberkulosis.
c. Uji kultur biakan bakteri dan BTA ditemukan Mycobacterium.
d. Biopsi jaringan granulasi atau kelenjar limfe regional.
e. Pemeriksaan hispatologis ditemukan tuberkel.
f. Pungsi lumbal didapati tekanan cairan serebrospinalis rendah.
g. Peningkatan CRP (C-Reaktif Protein).
h. Pemeriksaan serologi dengan deteksi antibodi spesifik dalam sirkulasi.
i. Pemeriksaan ELISA (Enzyme-Linked Immunoadsorbent Assay) tetapi menghasilkan negatif palsu pada penderita
dengan alergi.
j. Identifikasi PCR (Polymerase Chain Reaction) meliputi denaturasi DNA kuman tuberkulosis melekatkan nukleotida
tertentu pada fragmen DNA dan amplifikasi menggunakan DNA polimerase sampai terbentuk rantai DNA utuh yang
diidentifikasi dengan gel.
2. Pemeriksaan radiologis
a. Foto toraks atau X-ray untuk melihat adanya tuberculosis pada paru. Abses dingin tampak sebagai suatu bayangan
yang berbentuk spindle.
b. Pemeriksaan foto dengan zat kontras.
c. Foto polos vertebra ditemukan osteoporosis, osteolitik, destruksi korpus vertebra, penyempitan diskus intervertebralis,
dan mungkin ditemukan adanya massa abses paravertebral.
d. Pemeriksaan mielografi.
e. CT scan memberi gambaran tulang secara lebih detail dari lesi
irreguler, skelerosis, kolaps diskus, dan gangguan sirkumferensi tulang.
f. MRI mengevaluasi infeksi diskus intervertebralis dan osteomielitis tulang belakang serta menunjukkan adanya
penekanan saraf (Lauerman, 2006).

I. DIAGNOSIS BANDING SPONDILITIS TUBERKULOSA


Diagnosis banding pada spondilitis tuberkulosa yaitu:
1. Fraktur kompresi traumatik akibat tumor medulla spinalis.
2. Metastasis tulang belakang dengan tidak mengenai diskus dan terdapat karsinoma prostat.
3. Osteitis piogen dengan demam yang lebih cepat timbul.
4. Poliomielitis dengan paresis atau paralisis tungkai dan skoliosis.
5. Skoliosis idiopatik tanpa gibbus dan tanda paralisis.
6. Kifosis senilis berupa kifosis tidak lokal dan osteoporosis seluruh kerangka.
7. Penyakit paru dengan bekas empiema tulang belakang bebas penyakit.

SPONDILITIS TUBERKULOSA 3
ANT.FILE 2010

8. Infeksi kronik non tuberkulosis seperti infeksi jamur (blastomikosis).


9. Proses yang berakibat kifosis dengan atau tanpa skoliosis (Currier, 2004).

KET:
a. Infeksi piogenik (contoh : karena staphylococcal/suppurative spondylitis). Adanya sklerosis atau pembentukan tulang baru
pada foto rontgen menunjukkan adanya infeksi piogenik. Selain itu keterlibatan dua atau lebih corpus vertebra yang
berdekatan lebih menunjukkan adanya infeksi tuberkulosa daripada infeksi bakterial lain.
b. Infeksi enterik (contoh typhoid, parathypoid). Dapat dibedakan dari pemeriksaan laboratorium.
c. Tumor/penyakit keganasan (leukemia, Hodgkin’s disease, eosinophilic granuloma, aneurysma bone cyst dan Ewing’s
sarcoma) Metastase dapat menyebabkan destruksi dan kolapsnya corpus vertebra tetapi berbeda dengan spondilitis
tuberkulosa karena ruang diskusnya tetap dipertahankan. Secara radiologis kelainan karena infeksi mempunyai bentuk
yang lebih difus sementara untuk tumor tampak suatu lesi yang berbatas jelas.
d. Scheuermann’s disease mudah dibedakan dari spondilitis tuberkulosa oleh karena tidak adanya penipisan korpus vertebrae
kecuali di bagian sudut superior dan inferior bagian anterior dan tidak terbentuk abses paraspinal.

J. PROGNOSIS SPONDILITIS TUBERKULOSA


Spondilitis tuberkulosa merupakan penyakit menahun dan apabila dapat sembuh secara spontan akan memberikan cacat
pembengkokan pada tulang punggung. Dengan jalan radikal operatif, penyakit ini dapat sembuh dalam waktu singkat sekitar
6 bulan (Tachdjian, 2005).
Prognosis dari spondilitis tuberkulosa bergantung dari cepatnya dilakukan terapi dan ada tidaknya komplikasi neurologis.
Diagnosis sedini mungkin dan pengobatan yang tepat, prognosisnya baik walaupun tanpa operasi. Penyakit dapat kambuh
apabila pengobatan tidak teratur atau tidak dilanjutkan setelah beberapa saat karena terjadi resistensi terhadap pengobatan
(Lindsay, 2008).
Untuk spondilitis dengan paraplegia awal, prognosis untuk kesembuhan saraf lebih baik sedangkan spondilitis dengan
paraplegia akhir, prognosis biasanya kurang baik. Apabila paraplegia disebabkan oleh mielitis tuberkulosa prognosisnya ad
functionam juga buruk (Lindsay, 2008).
.
K. KOMPLIKASI SPONDILITIS TUBERKULOSA
Komplikasi yang dapat ditimbulkan oleh spondilitis tuberkulosa yaitu:
1. Pott’s paraplegia
a. Muncul pada stadium awal disebabkan tekanan ekstradural oleh pus maupun sequester atau invasi jaringan granulasi
pada medula spinalis. Paraplegia ini membutuhkan tindakan operatif dengan cara dekompresi medula spinalis dan
saraf.
b. Muncul pada stadium lanjut disebabkan oleh terbentuknya fibrosis dari jaringan granulasi atau perlekatan tulang
(ankilosing) di atas kanalis spinalis.
2. Ruptur abses paravertebra
a. Pada vertebra torakal maka nanah akan turun ke dalam pleura sehingga menyebabkan empiema tuberkulosis.
b. Pada vertebra lumbal maka nanah akan turun ke otot iliopsoas membentuk psoas abses yang merupakan cold
absces (Lindsay, 2008).
3. Cedera corda spinalis (spinal cord injury). Dapat terjadi karena adanya tekanan ekstradural sekunder karena pus
tuberkulosa, sekuestra tulang, sekuester dari diskus intervertebralis (contoh : Pott’s paraplegia – prognosa baik) atau dapat
juga langsung karena keterlibatan korda spinalis oleh jaringan granulasi tuberkulosa (contoh : menigomyelitis – prognosa
buruk). Jika cepat diterapi sering berespon baik (berbeda dengan kondisi paralisis pada tumor). MRI dan mielografi dapat
membantu membedakan paraplegi karena tekanan atau karena invasi dura dan corda spinalis.

L. PENATALAKSANAAN SPONDILITIS TUBERKULOSA


Pada prinsipnya pengobatan spondilitis tuberkulosa harus dilakukan segera untuk menghentikan progresivitas penyakit
dan mencegah atau mengkoreksi paraplegia atau defisit neurologis. Prinsip pengobatan Pott’s paraplegia yaitu:
1. Pemberian obat antituberkulosis.
2. Dekompresi medula spinalis.
3. Menghilangkan atau menyingkirkan produk infeksi.
4. Stabilisasi vertebra dengan graft tulang (bone graft) (Graham, 2007).

Pengobatan pada spondilitis tuberkulosa terdiri dari:


1. Terapi konservatif
a. Tirah baring (bed rest).
b. Memberi korset yang mencegah atau membatasi gerak vertebra.
c. Memperbaiki keadaan umum penderita.
d. Pengobatan antituberkulosa.
Standar pengobatan berdasarkan program P2TB paru yaitu:
i. Kategori I untuk penderita baru BTA (+/-) atau rontgen (+).
a) Tahap 1 diberikan Rifampisin 450 mg, Etambutol 750 mg, INH 300 mg, dan Pirazinamid 1.500 mg setiap
hari selama 2 bulan pertama (60 kali).
b) Tahap 2 diberikan Rifampisin 450 mg dan INH 600 mg 3 kali seminggu selama 4 bulan (54 kali).
ii. Kategori II untuk penderita BTA (+) yang sudah pernah minum obat selama sebulan, termasuk penderita yang
kambuh.
1. Tahap 1 diberikan Streptomisin 750 mg, INH 300 mg, Rifampisin 450 mg, Pirazinamid 1500 mg, dan
Etambutol 750 mg setiap hari. Streptomisin injeksi hanya 2 bulan pertama (60 kali) dan obat lainnya selama
3 bulan (90 kali).
2. Tahap 2 diberikan INH 600 mg, Rifampisin 450 mg, dan Etambutol 1250 mg 3 kali seminggu selama 5
bulan (66 kali).
Kriteria penghentian pengobatan yaitu apabila keadaan umum penderita bertambah baik, LED menurun dan
menetap, gejala-gejala klinis berupa nyeri dan spasme berkurang, serta gambaran radiologis ditemukan adanya
union pada vertebra.
2. Terapi operatif
a. Apabila dengan terapi konservatif tidak terjadi perbaikan paraplegia atau malah semakin berat. Biasanya 3 minggu
sebelum operasi, penderita diberikan obat tuberkulostatik.
b. Adanya abses yang besar sehingga diperlukan drainase abses secara terbuka, debrideman, dan bone graft.
c. Pada pemeriksaan radiologis baik foto polos, mielografi, CT, atau MRI ditemukan adanya penekanan pada medula
spinalis (Ombregt, 2005).
Walaupun pengobatan kemoterapi merupakan pengobatan utama bagi penderita spondilitis tuberkulosa tetapi operasi
masih memegang peranan penting dalam beberapa hal seperti apabila terdapat cold absces (abses dingin), lesi
tuberkulosa, paraplegia, dan kifosis.
a. Cold absces

SPONDILITIS TUBERKULOSA 4
ANT.FILE 2010

Cold absces yang kecil tidak memerlukan operasi karena dapat terjadi resorbsi spontan dengan pemberian
tuberkulostatik. Pada abses yang besar dilakukan drainase bedah.
b. Lesi tuberkulosa
1) Debrideman fokal.
2) Kosto-transveresektomi.
3) Debrideman fokal radikal yang disertai bone graft di bagian depan.
c. Kifosis
1) Pengobatan dengan kemoterapi.
2) Laminektomi.
3) Kosto-transveresektomi.
4) Operasi radikal.
5) Osteotomi pada tulang baji secara tertutup dari belakang.
Operasi kifosis dilakukan apabila terjadi deformitas hebat. Kifosis bertendensi untuk bertambah berat, terutama pada
anak. Tindakan operatif berupa fusi posterior atau operasi radikal (Graham, 2007).

SPONDILITIS TUBERKULOSA 5

Anda mungkin juga menyukai