Anda di halaman 1dari 2

PADANG BUANG ANAK

DIRIWAYATKAN pada masa lalu, Pulau Belitung pernah mengalami suatu musim Barat Ijau, yakni
kemarau panjang yang melebihi kemarau yang datang biasanya. Kemarau ini mengakibatkan
dimana-mana terjadi kekurangan air baik untuk keperluan minum maupun kebutuhan rumah
tangga.

Tersebutlah kisah seorang ibu bernama Dambe’ berjalan terseok-seok mendukung seorang anaknya
kesana-kemari. Anak yang ada dalam gendongannya itu baru bisa merangkak. Tangan kirinya
nampak menjinjing sebuah gerebog (tempat air beraal dari tempurung kelapa yang diambil
dagingnya tanpa memecahkan tempurung, red.). Sementara tangan kanannya mengapit anaknya.
Sudah setengah hari Mak Dambe’ mencari air sambil menggendong anaknya. Terakhir ia menyusuri
kaki Gunung Tajam, tapi belum juga mendapatkan air. Sementara anaknya sudah mulai menangis
kehausan. Saking haus dan kecapekan Mak Dambe’ duduk melepaskan lelah di atas sebuah batu
sambil melayangkan pandangannya kalau-kalau ada petunjuk dimana ia bisa mendapatkan air.

Selang beberapa lama, ia melihat seekor binat (bahasa setempat untuk menyebut kura-kura


darat, red.) sedang berjalan merambahi tanah menjauh dari batu tempatnya melepas lelah.
Melihat binat  itu, Mak Dambe’ pun berfikir untuk mengikuti saja karena pasti ia akan mendatangi
sumber air.

Namun ada satu hal yang meghalanginya untuk mengikuti binat tersebut. Anak yang ada di
pangkuannya bagaimana pun juga adalah darah dagingnya. Tapi begitu dilihat binat   sudah kian
menjauh ia memutuskan untuk mengikutinya dan akan meninggalkan anaknya di dekat batu
tempatnya beristirahat. Agar anaknya tak pergi kemana-mana, ia pun meletakkan anaknya di atas
tanah yang telah dipagarinya denga susunan batu berbentuk empat persegi panjang.

Setelah merasa anaknya aman dan tidak akan bisa pergi kemana-mana Mak Dambe’ pun bergegas
menyusul binat  tadi. Beberapa lama berjalan akhirnya binat  yang diikutinya mengarah ke sebuah
lembah. Ternyata di lembah itu terdapat sumber air dari sebuah celah batu. Ia pun sgera mengisi
penuh gerebog-nya dan minum sepuas-puasnya.

Setelah puas minum barulah Mak Dambe’ tersadar bahwa ia harus segera kembali ke batu tempat ia
beristirahat tadi untuk mengambil anaknya yang ia tinggalkan di sana. Hampir terbenam matahari
barulah ia mencapai batu tersebut.  
Namun, apa yang ditemuinya? Susunan batu yang memagari tempat ia menaruh anaknya sudah
hancur. Ia pun segera mengamati sekeliling tempat tersebut. Alangkah kagetnya dia. Dilihatnya di
atas tanah tampak bekas kaki seekor binatang berukuran sangat besar daab tetasan darah di
dekatnya. Mak Dambe’ pun mengikuti tapak kaki binatang tersebut yang ternyata mengarah ke
puncak Gunung Tajam. Kendati terus mengikuti tapak kaki tadi, Mak Dambe’ tak juga menemukan
anaknya.

Karena tak berhasil menemukan anaknya, dengan rasa sedih, kecewa, menyesal bercampur putus
asa dan kehilangan yang sangat, Mak Dambe’ pun segera kembali ke pondoknya. Sekembalinya ke
pondok, berhari-hari Mak Dambe’ tak bercampur dengan tetangganya. Seharian ia hanya duduk di
tangga pondoknya sambil menagisi anaknya yang hilang tak tentu rimbanya.

Lama kelamaan ia pun tak tahan mendengar pertanyaan para tetangganya yang datang datang
melihat tingkah lakunya karena lain dari biasanya. Karena didesak ia pun menceritakan semua hal
ikhwal penderitaannya. Setelah itu barulah tetangganya tahu musibah yang menimpa Mak Dambe’.

Sejak saat itulah masyarakat setempat menyebut daerah dimana Mak Dambe’ telah meninggalkan
anaknya sebagai Padang Buang Anak, karena di tempat itulah masyarakat beranggapan bahwa. Mak
Dambe’ telah membuang anaknya.

Pesan dari cerita ini adalah: “Hati-hati dalam bertindak karena, kelalaian dalam tindakan bisa
mendatangkan persepsi buruk macam-macam di mata orang lain”. 

Anda mungkin juga menyukai