Anda di halaman 1dari 125

Tugas Besar Perencanaan Lapangan Terbang 2015

BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Hubungan antar daerah, antar pulau, serta antar negara yang lancar akan menjadi
pintu utama dalam memicu pembangunan suatu daerah atau negara. Kebutuhan akan
moda transportasi yang nyaman, aman, dan cepat merupakan landasan pemilihan moda
transportasi. Dalam perkembangan transportasi khususnya di Indonesia, transportasi
darat lebih dahulu berkembang dalam pelayanan terhadap kebutuhan mobilitas baik
manusia maupun barang. Namun seiring berjalannya waktu dan dengan melihat kondisi
geografis Negara Kesatuan Republik Indonesia yang terdiri dari ribuan pulau, maka
transportasi udara mempunyai peranan penting dalam perkembangan perekonomian serta
pembangunan suatu daerah.
Untuk melayani tingkat kebutuhan transportasi yang menuntut kecepatan
mobabilitas masyarakat pada masa globalisasi ini dan dimasa yang akan datang, maka
untuk memfasilitasi pergerakan manusia dan barang sebagai konsukuensi dari usaha
peningkatan dan pengembangan sumber daya alam dan manusia, dipilihlah transportasi
udara. Hal ini dilihat dari kemampuan jangkauannya secara ekonomis dan cepat ke
daerah-daerah terpencil pada kondisi geografis yang terdiri atas pulau-pulau.
Bandar udara sebagai prasarana pokok sektor transportasi udara dalam
penyelenggaraan penerbangan merupakan tempat untuk pelayanan jasa angkutan udara
harus ditata secara terpadu guna mewujudkan penyediaan jasa kebandar udaraan yang
merupakan satu kesatuan dalam tatanan kebandar udaraan nasional. Peranan bandar
udara semakin meningkat karena tidak hanya memberikan jasa, tapi perubahan-
perubahan dalam perekonomian dan pandangan sosial serta penukaran informasi yang
lebih mudah.
Perencanaan dan penentuan lokasi bandar udara harus berdasarkan kriteria-kriteria
yang ada, sebagai pedoman dalam menentukan lokasi yang layak untuk perkembangan
dimasa yang akan datang. Disamping itu perencanaan tersebut harus berpedoman pada
standar/kriteria perencanaan yang berlaku, pengelolaan lingkungan hidup, rencana tata
ruang wilayah, kelayakan ekonomi dan teknis serta pertahanan dan keamanan nasional

R. Muhammad Taufiq E1A1 13 050


1
Tugas Besar Perencanaan Lapangan Terbang 2015

sehingga dapat terwujudnya penyelenggaraan operasi penerbangan yang handal dan


berkemampuan tinggi serta memenuhi standar internasional perencanaan bandar udara
yang diberlakukan oleh International Civil Aviation Organization (ICAO) dalam rangka
menunjang pembangunan nasional di segala bidang.

1.2. Maksud dan Tujuan


Adapun maksud dan tujuan dari pembuatan Desain Lapangan Terbang ini adalah:
a. Mampu merencanakan konstruksi lapangan terbang yang memenuhi persyaratan
struktural.
b. Mampu menerapkan ilmu yang diperoleh pada mata kuliah lapangan terbang ke
dalam suatu perencanaan (desain) lapangan terbang.
c. Memenuhi salah satu syarat wajib dalam menempuh ujian akhir semester pada
mata kuliah Lapangan Terbang Jurusan Teknik Sipil di Fakultas Teknik
Universitas Halu Oleo.

1.3. Batasan Masalah


Pembuatan Desain Lapangan Terbang ini mencakup beberapa hal pekerjaan, yaitu :
a. Membuat proyeksi pergerakan pesawat di tahun 2025.
b. Merencanakan arah runway dengan analisa windrose.
c. Merencanakan dimensi perkerasan dan panjang runway.
d. Merencanakan pembangunan lapangan terbang berdasarkan data-data yang
diberikan, lengkap dengan shoulder, airstips, stopway dan taxiway.
e. Merencanakan apron untuk type taxi in-push out atau front linier.
f. Merencanakan terminal building untuk mengakomodasi penumpang domestik maupun
internasional.

1.4. Sistematika Penulisan


Adapun sistematika penulisan desain Lapangan Terbang adalah sebagai berikut :
a. BAB I : Pendahuluan
Berisikan tentang latar belakang, maksud dan tujuan, batasan masalah, dan
sistematika penulisan dalam desain lapangan terbang.

R. Muhammad Taufiq E1A1 13 050


Tugas Besar Perencanaan Lapangan Terbang 2015

b. BAB II : Data Perencanaan


Berisikan tentang data-data yang diberikan dalam perencanaan desain lapangan
terbang, berupa data temperatur udara, data angin, data tipe pesawat, data
penumpang, dan ketinggian lokasi dari permukaan laut.
c. BAB III : Landasan Teori
Berisikan teori-teori tentang lapangan terbang, serta pengetahuan bandar udara
secara umum yang didapat dari literatur dan referensi serta hasil browsing dari
internet.
d. BAB IV : Perhitungan dan Pembahasan
Berisikan tentang cara perhitungan perencanaan dimensi lapangan terbang, serta
apron, dan terminal building.
e. BAB V : Penutup
Berisikan kesimpulan dan saran yang berfungsi sebagai batasan dari pembahasan
dalam desain ini.
LAMPIRAN

R. Muhammad Taufiq E1A1 13 050


Tugas Besar Perencanaan lapangan Terbang 2015

BAB II
DATA PERENCANAAN

Adapun data – data yang diberikan dalam perencanaan desain lapangan terbang adalah
sebagai berikut :

2.1. Data umum


a. Ketinggian lokasi dari muka laut (TML) : 651 m
b. Gradien Efektif (GE) : 4,56 %

c. Temperatur Udara (T) : 29 0

d. Type Runway : Tipe precisions dengan instrument runway

2.2. Data angin


Data angin menggunakan tipe 1

Arah angin 10 -13 13-20 20-40 Total


knot knot knot
0° 1.70 1.70 1.80 5.20
22.5 ° 2.50 3.00 1.80 7.30
45 ° 2.00 2.70 5.51 10.21
67.5 ° 2.80 9.00 0.20 12.00
90 ° 0.50 3.00 9.00 12.50
112.5 ° 2.00 0.20 2.00 4.20
135 ° 1.20 0.20 4.00 5.40
157.5 ° 2.00 3.00 1.00 6.00
180 ° 2.90 1.00 1.00 4.90
202.5 ° 2.90 0.50 0.90 4.30
225 ° 1.50 2.90 3.20 7.60
247.5 ° 0.20 0.10 1.70 2.00
270 ° 2.10 0.50 2.00 4.60
292.5 ° 1.50 2.80 1.20 5.50
315 ° 1.00 1.50 2.50 5.00
337.5 ° 1.70 0.50 0.20 2.40
angin < 10 knot 0.89 0.89
Jumlah 100.00

R. Muhammad Taufiq E1A1 13 050


Tugas Besar Perencanaan lapangan Terbang 2015

2.3. Data tipe pesawat


Data tipe pesawat menggunakan tipe 12

Tahun
No Aircraft types
2009 2010 2011 2012 2013 2014
1 Airbus
airbus A321-200 451 1968 1383 444 203 219
airbus A330-200 634 1320 807 1175 523 1023
2 Boeing
B727-200 1242 1366 758 681 725 574
B737-300 1083 346 568 1421 402 1069
B747-100 1230 851 575 61 1227 262
3 Mc Donnell Douglas
DC8-63 2445 1472 1573 1733 701 1753
DC10-30 1330 1381 2712 1247 1942 233
4 Cessna Caravar 536 2391 1617 1022 1515 948

2.4. Data penumpang


Data tipe penumpang menggunakan tipe 9
No Tahun Domestik Internasional Total
1 2003 966658 742582 1711240
2 2004 926622 387695 1316318
3 2005 87496 144010 233508
4 2006 354115 289279 645397
5 2007 794205 200723 996932
6 2008 177673 870157 1049835
7 2009 499200 658895 1160101
8 2010 61555 768925 832487
9 2011 379179 431206 812393
10 2012 265239 924721 1191969
11 2013 775067 874678 1651755
12 2014 255163 591832 849006

R. Muhammad Taufiq E1A1 13 050


Tugas Besar Perencanaan lapangan Terbang 2015

BAB III
LANDASAN TEORI

Sebelum tahun 1960-an rencana induk bandara dikembangkan berdasarkan


kebutuhan-kebutuhan penerbangan lokal. Namun sesudah tahun 1960-an rencana
tersebut telah digabungkan ke dalam suatu rencana induk bandara yang tidak hanya
memperhitungkan kebutuhan-kebutuhan di suatu daerah, wilayah, propinsi atau negara.
Agar usaha-usaha perencanaan bandara untuk masa depan berhasil dengan baik, usaha-
usaha itu harus didasarkan kepada pedoman-pedoman yang dibuat berdasarkan pada
rencana induk dan sistem bandara yang menyeluruh (Hendra Taufik, 2010), baik
berdasarkan peraturan FAA (Federal Aviation Administration), ICAO (International
Civil Aviation Organization), maupun Peraturan Menteri Perhubungan Nomor: KM 11
Tahun 2010 tentang Tatanan Kebandarudaraan Nasional dan Peraturan Dirjen
Perhubungan Udara Nomor: SKEP/77/VI/2005 tentang Persyaratan Teknis
Pengoperasian Bandar Udara.

3.1. Definisi Bandar Udara


Bandar Udara (sering disingkat sebagai bandara) adalah kawasan di daratan
dan/atau perairan dengan batas-batas tertentu yang digunakan sebagai tempat pesawat
udara mendarat dan lepas landas, naik turun penumpang, bongkar muat barang, dan
tempat perpindahan intra dan antarmoda transportasi, yang dilengkapi dengan fasilitas
keselamatan dan keamanan penerbangan, serta fasilitas pokok dan fasilitas penunjang
lainnya.
Sedangkan istilah Lapangan Terbang (disingkat Lapter) memang tidak dikenal
dalam Undang-Undang Penerbangan di Indonesia. Lapangan terbang merupakan
terjemahan dari kata airfield. Dalam beberapa referensi terkait, istilah lapangan terbang
ini merujuk pada suatu wilayah daratan dan perairan yang digunakan sebagai tempat
mendarat dan lepas landas pesawat udara, termasuk naik turun penumpang dan bongkar-
muat barang. Tetapi fasilitas yang terdapat di lapangan terbang pada umumnya hanya
fasilitas-fasilitas pokok untuk menunjang penerbangan dan tidak selengkap seperti di
sebuah bandar udara.

R. Muhammad Taufiq E1A1 13 050


Tugas Besar Perencanaan lapangan Terbang 2015

3.2. Fasilitas Bandara


Secara umum fasilitas pada suatu bandara terbagi dalam 3 bagian yaitu; Movement
Area, Terminal Area, dan Terminal Traffic Control (TCC).
3.2.1 Movement Area
Movement Area merupakan suatu areal utama dari bandara yang terdiri dari;
runway yang digunakan untuk take-off dan landing, taxiway dan apron sebagai tempat
memarkirkan pesawat. Movement area ini merupakan fasilitas yang paling banyak
mengeluarkan biaya dan sangat erat kaitannya dengan keselamatan penerbangan.
Untuk itu dalam mendesain sangat perlu ketelitian dengan mengacu pada aturan yang
berlaku.

Gambar 3.1. Movement area Sultan Syarif Kasim II airport, Pekanbaru

3.2.2 Terminal Area


Terminal area adalah merupakan suatu areal utama yang mempunyai interface
antara lapangan udara dan bagian-bagian dari bandara yang lain. Sehingga dalam hal
ini mencakup fasilitas-fasilitas pelayanan penumpang (passenger handling system),
penanganan barang kiriman (cargo handling), perawatan, dan administrasi bandara.

Gambar 3.2. Terminal area Sultan Syarif Kasim II airport, Pekanbaru

R. Muhammad Taufiq E1A1 13 050


Tugas Besar Perencanaan lapangan Terbang 2015

3.2.3 Terminal Traffic Control


Terminal traffic control merupakan fasilitas pengatur lalu lintas udara untuk
mencegah antarpesawat terlalu dekat satu sama lain, mencegah tabrakan antarpesawat
udara dan pesawat udara dengan rintangan yang ada di sekitarnya selama beroperasi,
dengan berbagai peralatannya seperti sistem radar dan navigasi. Fasilitas ini terletak
diluar movement area.

Gambar 3.3. Terminal traffic control Sultan Syarif Kasim II airport, Pekanbaru

Untuk lebih jelas mengenai fasilitas bandara tersebut dapat dilihat pada Gambar 3.4.
berikut:

Gambar 3.4. Sketsa umum fasilitas bandara


(sumber : Diktat Bandara Universitas Riau, 2010)

R. Muhammad Taufiq E1A1 13 050


Tugas Besar Perencanaan lapangan Terbang 2015

Sedangkan untuk bagian-bagian dari bandara diperlihatkan pada Gambar 3.5. Dimana
bandara dibagi menjadi dua bagian utama yaitu sisi udara dan sisi darat. Gedung-gedung
terminal menjadi perantara antara kedua bagian tersebut.

Gambar 3.5. Bagian-bagian dari sistem Bandar udara


(sumber : Diktat Bandara Universitas Riau, 2010)

3.3. Perencanaan Bandara


Perencanaan dan penentuan lokasi bandar udara harus berdasarkan kriteria –
kriteria yang ada, sebagai pedoman dalam menentukan lokasi yang layak untuk
perkembangan dimasa yang akan datang. Disamping itu perencanaan tersebut harus

R. Muhammad Taufiq E1A1 13 050


Tugas Besar Perencanaan lapangan Terbang 2015

berpedoman pada Master Plan Kota dan ditambah dengan Rancangan Umum Tata
Ruang Kota yang ditetapkan oleh Pemerintah daerah.
Seorang perencana bertanggung jawab atas penentuan lokasi Bandar Udara. Lokasi
untuk Bandar Udara harus memenuhi berbagai sehingga dapat menunjang perkembangan
dimasa yang akan datang. Sebagian besar kriteria tersebut dapat juga diguakan untuk
pengembangan Bandar Udara yang telah ada.
Lokasi Bandar Udara dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain:
1. Tipe pengembangan lingkungan sekitar.
2. Kondisi atmosfer.
3. Kemudahan untuk mendapat transportasi darat.
4. Tersedianya tanah untuk pembangunan.
5. Adanya halangan disekeliling bandara.
6. Pertimbangan Ekonomis.
7. Tersedianya Utilitas.

1. Tipe pengembangan lingkungan sekitar


Faktor ini merupakan hal yang sangat penting karena kegiatan dari sebuah Bandar
udara tidak lepas dari kebisingan. Kebisingan menjadi masalah yang tidak terlepaskan
sehingga diperlukan melakukan penelitian terhadap pembangunan di sekitar lokasi
Bandar udara.
Prioritas diberikan pada pembangunan pengembangan lingkungan yang selaras
dengan aktifitas Bandar udara. Pemilihan lokasi untuk dijadikan Bandar udara hendaknya
jauh dari pemukiman dan sekolah.
Pemilihan lokasi yang jauh dari pemukiman akan sangat baik jika dikeluarkan
peraturan daerah yang mengatur tata ruang di sekitar lokasi Bandar udara. Hal ini akan
membantu pengembangan Bandar udara maupun lingkungan sehingga tidak terjadi
konflik dikemudian hari.
Hal tersebut dimaksudkan agar kegiatan organisasi penerbangan yang kegiatannya
mengganggu kegiatan masyarakat dapat ditekan sekecil mungkin. Selain itu, diinginkan
adanya jalur hijau antara landasan pacu (runway), taxiway, apron, serta bangunan
terminal sebagai pembatas.

R. Muhammad Taufiq E1A1 13 050


Tugas Besar Perencanaan lapangan Terbang 2015

2. Kondisi atmosfer
Adanya kabut dan asap kebakaran akan mengurangi jarak pandang pilot. Campuran
kabut dan asap disebut smog. Smog dapat membahayakan keselamatan penerbangan
karena jarak pandang pilot menjadi semakin terbatas.
Hambatan ini berpengaruh pada menurunnya kapasitas lalu lintas penerbangan.
Jeleknya jatak pandang (visibility) mengurangi kemampuan pilot menerbangkan pesawat.
Hanya pesawat dengan peralatan khusus yang dapat terbang pada kondisi ini. Kondisi
yang dimaksud adalah dimana kabut mempunyai kecenderungan bertahan pada suatu
daerah yang tiupan anginnya kecil.

3. Kemudahan untuk mendapatkan transportasi darat.


Faktor ini berpengaruh terhadap pelayanan untuk penumpang yang menggunakan
jasa penerbangan. Di kota-kota besar, waktu melakukan perjalanan darat lebih banyak
dari pada waktu perjalanan udara pada suatu perjalanan. Oleh karena itu, hal ini perlu
dipelajari lebih lanjut.
Di Indonesia, kecenderungan penumpang menuju Bandar udara maupun keluar dari
Bandar udara adalah dengan mengendarai mobil pribadi. Penggunaan mobil pribadi
dikarenakan beberapa alasan diantaranya yaitu aman, praktis, dan mudah.
Pada suatu saat tertentu, arus kendaraan pribadi yang menuju maupun keluar dari
Bandar udara akan tidak dapat lagi ditampung oleh jalan masuk dan tempat parkir. Hal
ini harus dicarikan solusinya yaitu adanya transportasi darat massal untuk transit dari
Bandar udara ke pusat kota. Misalnya, kereta api atau bus dengan rute dari bandara ke
pusat kota.

4. Tersedianya tanah untuk pengembangan


Semakin berkembangnya sarana transportasi udara maka secara tidak langsung
Bandar udara harus disesuaikan dengan permintaan. Penyesuian tersebut yaitu
perpanjangan landasan pacu, taxiway diperlebar, apron diperluas termasuk bangunan
terminal. Semuanya itu membutuh lahan untuk pengembangan yang mencakup perluasan
fasilitas maupun membangun fasilitas baru yang dibutuhkan.

R. Muhammad Taufiq E1A1 13 050


Tugas Besar Perencanaan lapangan Terbang 2015

5. Hubungan disekeliling bandara (Surrounding Struction)


Lokasi Bandar udara dipilih sedemikian rupa sehingga jika terjadi pengembangan
akan terbebas dari halangan. Lapangan harus dilindungi peraturan sehingga tidak ada
yang mendirikan bangunan yang menjadi halangan bagi aktifitas penerbangan. Pada
bagian apron harus ada landasan bersih halangan (runway clear zone).

6. Pertimbangan ekonomis
Rancangan akan memberikan beberapa pilihan kemungkinan lokasi yang harus
ditinjau dari segi ekonomis. Lokasi yang berada di tanah yang lebih rendah
membutuhkan penggusuran atau lainnya. Berbagai alternatif lengkap dengan perhitungan
volume dan biaya yang diperlukan sehingga dapat ditentukan lokasi dengan ongkos
relatif murah.

7. Tersedianya utilitas
Bandar udara yang besar pada khususnya memerlukan utilitas yang besar pula.
Perlu tersedia air bersih, generator listrik, sambungan telepon, dan lain-lain. Penyediaan
utilitas harus dipertimbangkan dalam pembuatan rencana induk.
Sumber listrik selain aliran listrik dari PLN harus ada sebagai cadangan tenaga jika
aliran listrik dari PLN terputus. Hal ini dikarenakan Bandar udara berserta hampir
seluruh peralatannya memanfaatkan energi listrik dan terus beroperasi.
Pembuangan air limbah juga harus diperhatikan karena limbah untuk WC harus
dibuat tersendiri, tidak boleh dicampur dengan saluran drainase air hujan.

3.4. Parameter Perencanaan Bandara


Berdasarkan Peraturan Dirjen Perhubungan Udara Nomor: SKEP/77/VI/2005
tentang Persyaratan Teknis Pengoperasian Bandar Udara menyebutkan bahwa Sisi Udara
suatu Bandar Udara adalah bagian dari Bandar Udara dan segala fasilitas penunjangnya
yang merupakan daerah bukan publik tempat setiap orang, barang, dan kendaraaan yang
akan memasukinya wajib melalui pemeriksaan keamanan dan/atau memiliki izin khusus.
Adapun ditinjau dari pengoperasiannya, parameter perencanaan fasilitas sisi udara
ini sangat terkait erat dengan karakteristik pesawat dan senantiasa harus dapat menunjang
terciptanya jaminan keselamatan, keamanan dan kelancaran penerbangan yang dilayani.

R. Muhammad Taufiq E1A1 13 050


Tugas Besar Perencanaan lapangan Terbang 2015

Aspek-aspek tersebut menjadi pertimbangan utama dalam menyusun standar persyaratan


teknis operasional fasilitas sisi udara. Sehingga standar kelayakan teknis operasional
fasilitas ini disusun dengan acuan baku yang terkait dengan pesawat udara yang dilayani.
Karakteristik pesawat terbang
1. Berat (weight)
Berat pesawat diperlukan datanya, untuk merencanakan tebal perkerasan dan
kekuatan landas pacu, taxiway dan apron.
2. Ukuran (size)
Lebar pesawat dan panjang pesawat (fuselag) mempengaruhi dimensi parkir area
pesawat dan apron.
3. Kapasitas Penumpang
Kapasitas penumpang merupakan ruang yang tersedia dalam pesawat untuk
penumpang, bagasi, cargo, dan bahan baakar yang terangkut sehingga mempunyai
arti yang penting bagi perencanaan bangunan terminal dan sarana lainnya.
4. Kebutuhan Panjang Landasan Pacu
Berpengaruh terhadap luas tanah yang dibutuhkan oleh Bandar udara.

3.4.1 Berat pesawat


Beban pesawat diperlukan untuk menentukan tebal lapis keras landing movement
yang dibutuhkan. Beberapa jenis beban pesawat yang berhubungan dengan
pengoperasian pesawat antara lain:
a) Berat kosong operasi (Operating Weight Empty = OWE)
Adalah beban utama pesawat, termasuk awak pesawat dan konfigurasi roda
pesawat tetapi tidak termasuk muatan (payload) dan bahan bakar.
b) Muatan (Payload)
Adalah beban pesawat yang diperbolehkan untuk diangkut oleh pesawat sesuai
dengan persyaratan angkut pesawat. Biasanya beban muatan menghasilkan
pendapatan (beban yang dikenai biaya). Secara teoritis beban maksimum ini
merupakan perbedaan antara berat bahan bakar kosong dan berat operasi kosong.
c) Berat bahan bakar kosong (Zero Fuel Weight = ZFW)
Adalah beban maksimum yang terdiri dari berat operasi kosong, beban
penumpang dan barang.

R. Muhammad Taufiq E1A1 13 050


Tugas Besar Perencanaan lapangan Terbang 2015

d) Berat lereng maksimum (Maximum Ramp Weight = MRW)


Adalah beban maksimum untuk melakukan gerakan, atau berjalan dari parkir
pesawat ke pangkal landas pacu. Selama melakukan gerakan ini, maka akan
terjadi pembakaran bahan bakar sehingga pesawat akan kehilangan berat.
e) Berat maksimum lepas landas (Maximum Take Off Weight = MTOW)
Adalah beban maksimum pada awal lepas landas sesuai dengan bobot pesawat
dan persyaratan kelayakan penerbangan. Beban ini meliputi berat operasi
kosong, bahan bakar dan cadangan (tidak termasuk bahan bakar yang digunakan
untuk melakukan gerakan awal) dan muatan (payload).
f) Berat maksimum pendaratan (Maximum Landing Weight = MLW)
Adalah beban maksimum pada saat roda pesawat menyentuh lapis keras
(mendarat) sesuai dengan bobot pesawat dan persyaratan kelayakan penerbangan.

Untuk lebih jelasnya mengenai pengertian beban pesawat saat pengoperasian


dirangkum dalam Tabel 3.1 berikut:

Tabel 3.1. Beban Pesawat Saat Pengoperasian


Komponen Berat Bahan Bakar
Crew Gear Muatan
pesawat Dasar Man. T.o Trav. Ld. Res.
OWE + + + - - - - - -
Payload - - - + - - - - -
Max. Payload - - - + max. - - - - -
ZFW + + + + max. - - - - -
MRW + + + + + + + + +
MTOW + + + + - + + + +
MLW + + + + - - - + +
Catatan : Tanda (+)= diperhitungkan, Tanda (-)= tidak diperhitungkan
Man = Manuver (gerakan), T.o = Take off (tinggal landas), Trav = Travelling
(perjalanan), Ld = Landing (mendarat), Res = Reserve (cadangan)
(sumber : Sartono, 1992)

R. Muhammad Taufiq E1A1 13 050


Tugas Besar Perencanaan lapangan Terbang 2015

3.4.2 Dimensi atau ukuran pesawat


Dalam perencanaan suatu landasan pacu Bandar udara, perlu untuk mengetahui
dimensi pesawat terbang dengan ukuran terbesar, agar nantinya pesawat tersebut dapat
dilayani. Adapun dimensi dari pesawat terbang yang perlu untuk diketahui meliputi :
a) Wing Span
Merupakan jarak atau bentang sayap yang digunakan untuk menentukan lebar
taxiway, jarak antar taxiway, besar apron, besar hanggar.
b) Length
Merupakan panjang badan pesawat yang digunakan untuk menentukan pelebaran
taxiway (tikungan), lebar exit R/W, T/W, besar apron, besar hanggar.
c) Height
Merupakan tinggi pesawat yang digunakan untuk menentukan tinggi pintu
hanggar, serta instalasi dalam hanggar.
d) Wheel/Gear Tread
Merupakan jarak antar roda utama terhitung dari as ke as yang digunakan untuk
menentukan radius putar pesawat.
e) Wheel Base
Merupakan jarak antar roda utama (main gear) dengan roda depan pesawat (nose
gear) yang digunakan untuk menentukan radius exit T/W.
f) Outer main gear wheel span (OMGWS)
Merupakan jarak antar roda utama terluar, dimana nilai ini menentukan Reference
Code Letter.
g) Tail Width
Merupakan lebar sayap belakang yang digunakan untuk menentukan luas apron.

Untuk lebih jelas mengenai dimensi pesawat terbang, dapat melihat Gambar 3.6
berikut :

R. Muhammad Taufiq E1A1 13 050


Tugas Besar Perencanaan lapangan Terbang 2015

Maximum height
Tail width

Wheel tread

Gambar 3.6. Komponen karakteristik pesawat terbang


(sumber : Manual of Standards (MOS) - Part 139 Aerodromes 2002)

3.4.3 Konfigurasi roda pesawat terbang


Selain berat pesawat, konfigurasi roda pendaratan utama sangat berpengaruh
terhadap perancangan tebal lapis keras. Pada umumnya konfigurasi roda pendaratan
utama dirancang untuk menyerap gaya-gaya yang ditimbulkan selama melakukan
pendaratan (semakin besar gaya yang ditimbulkan semakin kuat roda yang digunakan),
dan untuk menahan beban yang lebih kecil dari beban pesawat lepas landas maksimum.
Dan selama pendaratan berat pesawat akan berkurang akibat terpakainya bahan bakar
yang cukup besar.

R. Muhammad Taufiq E1A1 13 050


Tugas Besar Perencanaan lapangan Terbang 2015

Pada umumnya konfigurasi roda pendaratan utama untuk beberapa jenis pesawat
seperti yang terlihat pada Gambar 3.7. berikut:

Gambar 3.7. Konfigurasi roda pesawat terbang


(Sumber : Zainuddin A, BE.Selintas Pelabuhan Udara,1983)

3.4.4 Jenis penggerak pesawat terbang


Adapun jenis penggerak (type propulsion) pesawat terbang yaitu :
a) Piston Engine
Pesawat digerakkan oleh perputaran baling-baling dengan tenaga mesin piston.
b) Turbo Pan (Turbo Prop)
Pesawat digerakkan dengan baling-baling tenaga mesin turbin.
c) Turbo Jet
Pesawat digerakan dengan daya dorong dari tenaga semburan jet dimana pesawat
terbang yang digerakkan dengan turbo jet ini boros bahan bakar.
d) Turbo fan
Pesawat digerakkan dengan mesin jet berbaling-baling.
e) Rocket
Pesawat digerakkan dengan mesin roket.

R. Muhammad Taufiq E1A1 13 050


Tugas Besar Perencanaan lapangan Terbang 2015

3.5. Prakiraan untuk perencanaan bandara


Dalam perencanaan suatu bandara, seorang perencana perlu memperkirakan
pergerakan pesawat, pergerakan lalu lintas penumpang, serta barang yang diangkut
dimasa mendatang. Untuk itu digunakanlah teknik ramalan (forecasting) dalam
perencanaan bandara.
Forecasting merupakan suatu cara untuk memperkirakan kondisi fisik Bandar udara
pada waktu yang akan datang. Forecasting lalu lintas penumpang bertujuan untuk
merencanakan sebuah sistem yang mampu melayani pertumbuhan lalu lintas untuk
jangka pendek maupun jangka panjang. Pendekatan yang dipakai sehubungan dengan
perkembangan lalu lintas udara pada suatu daerah tidak terlepas dari lalu lintas udara
nasional, karena merupakan suatu sistem yang mempengaruhi oleh faktor-faktor
ekonomi, politik, sosial dan budaya.
Rancangan induk Bandar udara, direncanakan atau dikembangkan berdasarkan
ramalan dan permintaan (forecast and demand), ramalan itu dibagi dalam :
a. Ramalan jangka pendek (± 5 tahun)
b. Ramalan jangka menenggah (± 10 tahun)
c. Ramalan jangka panjang (± 20 tahun)
Adapun dalam desain lapangan terbang ini, akan menggunakan prakiraan
(forecasting) sistem analisa grafik sehingga akan didapat proyeksi pergerakan pesawat di
tahun 2020.
Beberapa Item yang diperlukan untuk forecasting yaitu :
a. Penumpang, barang, dan surat yang diangkut setiap tahun dengan kategori:

- Internasional dan domestik


- Terjadwal dan tidak terjadwal
- Kedatangan, keberangkatan, transit & transfer
b. Tipikal jam puncak gerakan pesawat, penumpang, barang dan surat yang diangkut
dari kategori kedatangan.
c. Rata-rata pergerakan pesawat penumpang, barang dan surat yang diangkut pada
kategori (a) pada jam sibuk.

R. Muhammad Taufiq E1A1 13 050


Tugas Besar Perencanaan lapangan Terbang 2015

3.6. Landasan pacu (runway)


Landasan pacu atau runway adalah jalur perkerasan yang dipergunakan oleh
pesawat terbang untuk mendarat (landing) atau lepas landas (take off). Menurut
Horonjeff (1994) sistem runway di suatu bandara terdiri dari perkerasan struktur, bahu
landasan (shoulder), bantal hembusan (blast pad), dan daerah aman runway (runway and
safety area).
Panjang runway harus cukup untuk memenuhi persyaratan operasional dari
pesawat terbang yang akan menggunakannya. Sedangkan untuk lebar suatu runway tidak
boleh kurang dari yang telah ditentukan dengan menggunakan tabel dibawah ini :
Tabel 3.2. Lebar runway minimum

Code Code Letter


Number A B C D E F
*
1 18 m 18 m 23 m - - -
2 23 m 23 m 30 m - - -
3 30 m 30 m 45 m - -
4 - - 45 m 45 m 45 m 60 m
Catatan : Jika code number precision approach runway adalah 1 atau 2, maka lebar
runway harus tidak kurang dari 30 m.
* Lebar runway dapat dikurangi menjadi 15 m atau 10 m tergantung pada
larangan/restriksi yang diberlakukan pada operasional pesawat terbang kecil.
(sumber : ICAO – Annex 14 Vol.1 Aerodrome Design and Operations, 2009)

Adapun uraian dari sistem runway secara umum adalah sebagai berikut:

SWY

Gambar 3.8. Tampak atas unsur-unsur runway

R. Muhammad Taufiq E1A1 13 050


Tugas Besar Perencanaan lapangan Terbang 2015

1) Structural pavement
Merupakan perkerasan struktur yang memikul beban pesawat yang diberi lapis keras
sehubungan dengan beban struktur, kemampuan manufer, kendali, stabilitas dan
kriteria dimensi dan operasi lainnya.

2) Shoulders
Merupakan bahu landasan pacu yang terletak berdekatan dengan pinggir perkerasan
struktur dimana berfungsi menahan erosi hembusan jet dan dipersiapkan menjadi
tempat transisi antara landasan dengan permukaan tanah didekatnya. Menurut ICAO
Annex 14, lebar bahu harus sama pada kedua sisi landasan pacu.
a. Panjang bahu dirancang sama dengan panjang runway.
b. Lebar bahu untuk kode C paling kurang 36 m, dimana lebar runway sebesar 30
m dan lebar bahu 3 m pada kedua sisi landasan.
c. Lebar bahu untuk kode D dan E paling kurang 60 m, dimana lebar runway
sebesar 45 m dan lebar bahu 7.5 m pada kedua sisi landasan.
d. Lebar bahu untuk kode F paling kurang 75 m, dimana lebar runway sebesar 60 m
dan lebar bahu 7.5 m pada kedua sisi landasan.
Berdasarkan peraturan dirjen perhubungan udara SKEP/77/VI/2005, bahu landasan
harus dibuat secara simetris pada masing-masing sisi dari runway dan kemiringan
melintang maksimum pada permukaan bahu landasan pacu 2,5%.

Tabel 3.3. Lebar bahu landasan pacu (runway shoulder)


Code letter Penggolongan Pesawat Lebar bahu (m)

A I 3
B II 3
C III 6
D IV 7.5
E V 10.5
F VI 12

(sumber : Peraturan Dirjen Perhubungan Udara SKEP/77/VI/2005)

R. Muhammad Taufiq E1A1 13 050


Tugas Besar Perencanaan lapangan Terbang 2015

3) Blast pad
Bantal hembusan adalah suatu daerah yang dirancang untuk mencegah erosi
permukaan yang berdekatan dengan ujung-ujung runway yang menerima hembusan
jet yang terus-menerus atau yang berulang. ICAO menetapkan panjang bantal
hembusan 100 feet (30 m), namun dari pengalaman untuk pesawat-pesawat transport
sebaiknya 200 feet (60 m), kecuali untuk pesawat berbadan lebar panjang bantal
hembusan yang dibutuhkan 400 feet (120 m). Lebar bantal hembusan harus
mencakup baik lebar runway maupun bahu landasan (Robert Horonjeff, 1994).

4) Runway end safety area (RESA)


Merupakan suatu daerah simetris yang merupakan perpanjangan dari garis tengah
landas pacu dan membatasi bagian ujung runway strip yang ditujukan untuk
mengurangi resiko kerusakan pesawat yang sedang menjauhi atau mendekati landas
pacu saat melakukan kegiatan pendaratan maupun lepas landas. Daerah ini harus
bersih tanpa benda-benda yang mengganggu, diberi drainase, rata dan mencakup
perkerasan struktur, bahu landasan, bantal hembusan dan daerah perhentian, apabila
disediakan. Adapun panjang minimum dari Runway end safety area (RESA) yaitu
sebesar 90 m terhitung dari ujung runway strip.
a. Lebar RESA tidak kurang dari 2 kali lipat lebar runway termasuk bahunya.
b. Panjang RESA untuk kode 3 dan 4 adalah 240 m.
c. Panjang RESA untuk kode 1 dan 2 adalah 120 m.
Sedangkan berdasarkan peraturan dirjen perhubungan udara SKEP/77/VI/2005,
dimensi Runway end safety area (RESA) adalah sebagai berikut :

Tabel 3.4. Dimensi Runway end safety area


Code letter / Penggolongan pesawat
Uraian
A/I B / II C / III D / IV E/V F / VI
Landasan instrument (m) 90 90 90 90 90 90
Landasan non-instrument (m) 60 60 90 90 90 90
Lebar minimum (m) 18 23 30 45 45 60
Kemiringan memanjang maks. (%) 5 5 5 5 5 5
Kemiringan melintang maks. (%) 5 5 5 5 5 5
(sumber : Peraturan Dirjen Perhubungan Udara SKEP/77/VI/2005)

R. Muhammad Taufiq E1A1 13 050


Tugas Besar Perencanaan lapangan Terbang 2015

Untuk bagian – bagian runway yang lebih khusus adalah sebagai berikut :

Gambar 3.9. Bagian-bagian runway

1) Stopway
Daerah persegi empat di atas permukaan tanah di ujung take-off run yang disediakan
sebagai tempat dimana pesawat dapat berhenti pada saat terjadi pengabaian take-off.
Adapun dimensi stopway yang disediakan harus ditempatkan sedemikian rupa
sehingga merupakan bagian, dan berakhir paling tidak 60 m sebelum ujung runway
strip. Untuk lebar stopway harus sama dengan runway yang berkaitan dengannya.

2) Clearway
Suatu daerah tertentu baik berupa tanah atau air di ujung take-off run yang berada di
bawah kontrol operator aerodrome, yang dipilih atau dipersiapkan sebagai area yang
cukup bagi pesawat terbang untuk mengudara hingga ketinggian tertentu. Menurut
ICAO Annex 14, dimensi clearway adalah sebagai berikut :
a. Lebar clearway untuk kode 3 dan 4 tidak boleh kurang dari 150 m.
b. Lebar clearway untuk kode 2 tidak boleh kurang dari 80 m.
c. Lebar clearway untuk kode 1 tidak boleh kurang dari 60 m.

d. Panjang clearway tidak boleh melebihi ½ dari panjang take-off run available
(TORA).
e. Kemiringan (upward slope) sebesar 1.25% terhadap bidang datar.
f. Kemiringan (downward slope) sebesar 2.5%.

R. Muhammad Taufiq E1A1 13 050


Tugas Besar Perencanaan lapangan Terbang 2015

3) Threshold
Bagian awal dari runway yang digunakan untuk pendaratan ataupun lepas landas.
Threshold dari suatu runway harus ditempatkan :
a. jika nomor kode runway adalah 1, tidak kurang dari 30 meter setelah; atau
b. pada kasus yang lain, tidak kurang dari 60 meter setelah, titik di mana approach
surface untuk pesawat terbang yang menggunakan runway bertemu dengan garis
tengah runway yang diperpanjang (extended runway centre line).

4) Turn pad
Areal di ujung landas pacu yang digunakan untuk tempat memutar pesawat. Areal
Turn pad harus bisa memfasilitasi pesawat memutar 1800. Turn pad disediakan jika
areal ujung landasan pacu tidak terlayani Taxiway. Area putaran untuk pesawat
dilengkapi beberapa titik di runway, lebar dari area putaran harus terbebas dari
rintangan terutama roda pesawat yang digunakan di runway sampai dengan tepi dari
titik area putaran, dan itu tidak kurang dari ketetapan jarak seperti dalam tabel
berikut:

Tabel 3.5. Jarak bebas minimum antara sumbu roda utama terluar
dengan tepi dari daerah perputaran di runway

Code Letter Penggolongan pesawat Jarak bebas minimum (m)


A I 1.5
B II 2.25
*
3
C III
**
4.5
D IV 4.5
E V 4.5
F VI 4.5
Catatan :
*) Jika daerah atau kurva perputaran hanya ditujukan untuk melayani pesawat
dengan sumbu kurang dari 18 m
**) Jika daerah atau kurva perputaran hanya ditujukan untuk melayani pesawat
dengan sumbu lebih dari 18 m
(sumber : Peraturan Dirjen Perhubungan Udara SKEP/77/VI/2005)

R. Muhammad Taufiq E1A1 13 050


Tugas Besar Perencanaan lapangan Terbang 2015

5) Runway strip
Suatu luasan bidang tanah yang menjadi daerah landas pacu yang penentuannya
tergantung pada panjang landas pacu dan jenis instrumen pendaratan (precission
aproach) yang dilayani. Runway strip ditujukan untuk melindungi pesawat yang
tebang di atasnya pada saat melakukan take-off atau landing. Area bergradasi
(graded area) dari suatu runway strip harus memanjang melebihi ujung runway, atau
dari stopway jika ada. Untuk dimensi runway strip dapat melihat tabel 3.6. berikut :

Tabel 3.6. Dimensi runway strip


Code Letter
Uraian
1 2 3 4
Panjang runway strip :
a. Instrument runway 60 m 60 m 60 m 60 m
b. Non- instrument runway 30 m 60 m 60 m 60 m
Lebar runway strip :
a. Instrument precision approach 150 m 150 m 300 m 300 m
runway
b. Instrument non-precision approach 90 m 90 m * **
runway 150 m 300 m
*
c. Non- instrument runway 60 m 80 m 150 m 150 m

Kemiringan Transverse Runway Strip 3% 3% 2.5% 2.5%


Kemiringan Longitudinal Runway Strip 2% 2% 1.75% 1.5%
Catatan :
*) Digunakan untuk lebar runway 45 m, jika lebar runway sebesar 30 m maka
digunakan lebar runway strip 90 m.
**) Jika dianggap tidak praktis untuk menyediakan sepenuhnya lebar runway strip,
dapat disediakan strip yang hanya digradasi dengan minimum lebar 150 m, dan
dengan tetap memperhitungkan landing minima adjustment.
(sumber : Dirjen Perhubungan Udara, Standard Manual Bagian 139, 2004)

R. Muhammad Taufiq E1A1 13 050


Tugas Besar Perencanaan lapangan Terbang 2015

3.7. Perhitungan landasan pacu


Perhitungan landasan pacu dapat mengikuti beberapa cara, dalam desain Lapangan
Terbang ini dijelaskan 5 cara, yaitu:
1. Berdasarkan Instrument non-presesi and presesi lapangan terbang.
2. Berdasarkan prestasi pesawat.
3. Berdasarkan karakteristik pesawat
4. Berdasarkan pengaruh kondisi lokal (menggunakan faktor koreksi)
5. Berdasarkan decleared distance
Adapun keterangannya adalah sebagai berikut:

3.7.1. Berdasarkan Instrumen Non Presesi dan Presesi Lapangan Terbang


Berdasarkan ICAO Annex 14 dan Standard Manual Bagian 139 Dirjen
Perhubungan Udara tahun 2004, Instrument runway merupakan salah satu dari jenis-jenis
runway berikut yang ditujukan untuk pengoperasian pesawat terbang menggunakan
prosedur instrument approach:
1. Non-precision approach runway.
Instrument runway yang dilakukan dengan bantuan visual dan sebuah radio yang
paling tidak dapat menyediakan bantuan pengarahan yang cukup untuk melakukan
pendaratan langsung didukung oleh dokumen ketinggian minimum menukik, yang
juga dikenal sebagai landing minima jika menggunakan bantuan radio atau
kombinasi radio.
2. Precision approach runway, category I
Instrument runway yang dilayani oleh ILS atau MLS dan alat bantu visual yang
ditujukan untuk operasi dengan decision height tidak kurang dari 60 m (200 ft) dan
dengan kemampuan pandang tidak kurang dari 800 m atau rentang pandang runway
tidak kurang dari 500 m.
3. Precision approach runway, category II
Instrument runway yang dilayani oleh ILS atau MLS dan alat bantu visual yang
ditujukan untuk operasi dengan decision height kurang dari 60 m (200 ft) tapi tidak
lebih rendah dari 30m (100 ft) dan rentang pandang runway tidak kurang dari 350m.

R. Muhammad Taufiq E1A1 13 050


Tugas Besar Perencanaan lapangan Terbang 2015
4. Precision approach runway, category III
Instrument runway yang dilayani oleh ILS atau MLS untuk dan di sepanjang
permukaan runway dan:
a) ditujukan untuk operasi dengan decision height kurang dari 30 m (100 ft), atau
tidak ada decision height dan rentang pandang runway tidak kurang dari 200 m.
b) ditujukan untuk operasi dengan decision height kurang dari 15 m (50 ft), atau
tidak ada decision height dan rentang pandang runway kurang dari 200 m tapi
tidak kurang dari 50 m.
c) ditujukan untuk operasi tanpa decision height dan tidak ada batasan rentang
pandang runway.
Catatan: Untuk ILS atau MLS spesifikasi dapat melihat Annex 10 Volume 1. Alat
bantu visual tidak harus disesuaikan dengan skala alat bantu non-visual yang
disediakan. Kriteria pemilihan alat bantu visual adalah kondisi dimana operasi ingin
dilakukan.

3.7.2. Berdasarkan prestasi pesawat


Untuk menghitung panjang runway akibat pengaruh prestasi pesawat dipakai
suatu peraturan yang dikeluarkan oleh Pemerintah Amerika Serikat bekerja sama dengan
Industri Pesawat Terbang yang tertuang dalam Federal Aviation Regulation (FAR).
Peraturan-peraturan ini menetapkan bobot kotor pesawat terbang pada saat lepas landas
dan mendarat dengan menentukan persyaratan prestasi yang harus dipenuhi.
Untuk pesawat terbang bermesin turbin dalam menentukan panjang runway harus
mempertimbangkan tiga keadaan umum agar pengoperasian pesawat aman. Ketiga
keadaan tersebut adalah:
1. Lepas landas normal
Suatu keadaan dimana seluruh mesin dapat dipakai dan runway yang cukup
dibutuhkan untuk menampung variasi-variasi dalam teknik pengangkatan dan
karakteristik khusus dari pesawat terbang tersebut.
Pada keadaan normal, semua mesin bekerja memberikan definisi jarak lepas landas
(take off distance = TOD) yang untuk bobot pesawat terbang harus 115% dan jarak
sebenarnya yang ditempuh pesawat terbang untuk mencapai ketinggian 35 ft (D35).
Tidak seluruh landasan pacu pada jarak ini dikonstruksi dengan perkerasan penuh.

R. Muhammad Taufiq E1A1 13 050


Tugas Besar Perencanaan lapangan Terbang 2015

Bagian yang tidak diberi perkerasan dikenal dengan daerah bebas (clearway = CW).
Separuh dari selisih antara 115% dari jarak untuk mencapai titik pengangkatan, jarak
pengangkatan (lift off distance = LOD) dan jarak lepas landas dapat digunakan
sebagai daerah bebas (clearway). Bagian selebihnya dari jarak lepas landas harus
berupa perkerasan kekuatan penuh dan dinyatakan sebagai pacuan lepas landas
(take off run = TOR).

35ft

Gambar 3.10. Panjang take-off distance available (TOD) kondisi lepas landas normal

2. Lepas landas dengan suatu kegagalan mesin


Merupakan keadaan dimana runway yang cukup dibutuhkan untuk memungkinkan
pesawat terbang lepas landas walaupun kehilangan daya atau bahkan direm untuk
berhenti.
Berdasarkan peraturan ICAO, 2004 menetapkan bahwa jarak lepas landas yang
dibutuhkan adalah jarak sebenarnya untuk mencapai ketinggian 35 ft (D35) tanpa
digunakan persentase, seperti pada keadaan lepas landas dengan seluruh mesin
bekerja. Keadaan ini memerlukan jarak yang cukup untuk menghentikan pesawat
terbang dan bukan untuk melanjutkan gerakan lepas landas. Jarak ini disebut jarak
percepatan berhenti (accelerate stop distance = ASD). Untuk pesawat terbang yang
digerakkan turbin karena jarang mengalami lepas landas yang gagal maka peraturan
mengizinkan penggunaan perkerasan dengan kekuatan yang lebih kecil, dikenal
dengan daerah henti (stopway = SW), untuk bagian jarak percepatan berhenti diluar
pacuan lepas landas (take off run).

R. Muhammad Taufiq E1A1 13 050


Tugas Besar Perencanaan lapangan Terbang 2015

35ft

Gambar 3.11. Panjang take-off distance available (TOD) kondisi kegagalan mesin

3. Pendaratan
Merupakan suatu keadaan dimana runway yang cukup dibutuhkan untuk
memungkinkan variasi normal dari teknik pendaratan, pendaratan yang melebihi
jarak yang ditentukan (overshoots), pendekatan yang kurang sempurna (poor
aproaches) dan lain-lain.
Menurut peraturan ICAO, 2004 menyebutkan bahwa jarak pendaratan (landing
distance = LD) yang dibutuhkan oleh setiap pesawat terbang yang menggunakan
bandara, harus cukup untuk memungkinkan pesawat terbang benar-benar berhenti
pada jarak pemberhentian (stop distance = SD), yaitu 60 persen dari jarak
pendaratan, dengan menganggap bahwa penerbang membuat pendekatan pada
kecepatan normal sesuai dengan disain, dan melewati ambang runway (tresholds)
pada ketinggian 50 ft.

60% panjang landasan

50ft

Gambar 3.12. Panjang take-off distance available (TOD) kondisi pendaratan

R. Muhammad Taufiq E1A1 13 050


Tugas Besar Perencanaan lapangan Terbang 2015

Catatan: Panjang runway yang dibutuhkan diambil yang terpanjang dari ketiga analisa
di atas.
Dalam peraturan-peraturan baik untuk pesawat terbang bermesin piston maupun
untuk pesawat terbang yang digerakkan turbin, perkataan runway dikaitkan dengan
dengan istilah perkerasan dengan kekuatan penuh (full strength pavement = FS). Jadi
dalam pembahasan berikut istilah runway dan perkerasan kekuatan penuh mempunyai
arti yang sama.
Panjang lapangan (field length = FL) yang dibutuhkan pada umumnya terdiri dari
tiga bagian yaitu perkerasan kekuatan penuh (FS), perkerasan dengan kekuatan parsial
atau daerah henti (SW) dan daerah bebas (CW). Untuk peraturan-peraturan diatas dalam
setiap keadaan diringkas dalam bentuk persamaan sebagai berikut:

Keadaan lepas landas normal:


FL = FS + CW ….. (1)
Dimana : CW = 0.50 [TOD – 1.15 (LOD)] ….. (2)
TOD = 1.15 (D35) ….. (3)
FS = TOR ….. (4)
TOR = TOD – CW ….. (5)
Keterangan:
FL : Panjang lapangan (Field Length), m
FS : Panjang perkerasan kekuatan penuh (Full Strength), m
CW : Daerah bebas (Clearway), m
TOD : Jarak lepas landas (Take Off Distance), m
LOD : Jarak pengangkatan (Lift Off Distance), m
D35 : Jarak pada ketinggian 35 ft, m
TOR : Jarak pacuan lepas landas (Take Off Run), m

Keadaan lepas landas dengan kegagalan mesin:


FL = FS + CW ….. (6)
Dimana : CW = 0.50 (TOD – LOD) ….. (7)
TOD = D35 ….. (8)
FS = TOR ….. (9)

R. Muhammad Taufiq E1A1 13 050


Tugas Besar Perencanaan lapangan Terbang 2015

TOR = TOD – CW ….. (10)

Keadaan lepas landas yang gagal (ditunda):


FL = FS + SW ….. (11)
Dimana : FL = ASD ….. (12)

Keadaan pendaratan:
FS = LD ….. (13)
SD
Dimana : LD ….. (14)
0.60
Keterangan:
ASD : Jarak percepatan berhenti (Accelerate Stop Distance), m
LD : Jarak pendaratan (Landing Distance), m
SD : Jarak pemberhentian (Stop Distance), m

Untuk menentukan panjang lapangan yang dibutuhkan dan berbagai


komponennya yang terdiri dari perkerasan kekuatan penuh, daerah henti dan daerah
bebas, setiap persamaan diatas harus diselesaikan untuk rancangan kritis pesawat terbang
di bandara. Hal ini akan mendapatkan setiap nilai-nilai berikut:
FL = (TOD, ASD, LD)/ maks ….. (15)
FS = (TOR, LD)/ maks ….. (16)
SW = ASD – (TOR, LD)/ maks ….. (17)
CW = (FL – ASD, CW)/ min ….. (18)
Dimana nilai CW minimum yang diizinkan adalah 0.

Apabila pada runway dilakukan operasi pada kedua arah, seperti yang umum
terjadi, komponen-komponen panjang runway harus ada dalam setiap arah. Peraturan-
peraturan yang berkenaan dengan pesawat terbang bermesin piston secara prinsip
mempertahankan kriteria diatas, tetapi kriteria yang pertama tidak digunakan. Peraturan
khusus ini ditujukan pada manuver lepas landas normal setiap hari, karena kegagalan
mesin pada pesawat terbang yang digerakkan turbin lebih jarang terjadi.

R. Muhammad Taufiq E1A1 13 050


Tugas Besar Perencanaan lapangan Terbang 2015

3.7.3. Berdasarkan karakteristik pesawat


Menurut Horonjeff (1994) berat pesawat terbang penting untuk menentukan tebal
perkerasan runway, taxiway dan apron, panjang runway lepas landas dan pendaratan
pada suatu bandara. Bentang sayap dan panjang badan pesawat mempengaruhi ukuran
apron parkir, yang akan mempengaruhi susunan gedung-gedung terminal. Ukuran
pesawat juga menentukan lebar runway, taxiway dan jarak antara keduanya, serta
mempengaruhi jari-jari putar yang dibutuhkan pada kurva-kurva perkerasan. Kapasitas
penumpang mempunyai pengaruh penting dalam menentukan fasilitas-fasilitas di dalam
dan yang berdekatan dengan gedung-gedung terminal. Panjang runway mempengaruhi
sebagian besar daerah yang dibutuhkan di suatu bandara. Panjang landas pacu yang
terdapat pada Tabel 3.7. adalah pendekatan panjang landasan pacu minimum yang
dipakai setelah beberapa kali tes yang dilakukan oleh pabrik pembuat pesawat terbang
yang bersangkutan.
Tabel 3.7. Kode referensi aerodrome dan karakteristik pesawat

R. Muhammad Taufiq E1A1 13 050


Tugas Besar Perencanaan lapangan Terbang 2015

Tabel 3.7. Kode referensi aerodrome dan karakteristik pesawat (lanjutan)

R. Muhammad Taufiq E1A1 13 050


Tugas Besar Perencanaan lapangan Terbang 2015

Tabel 3.7. Kode referensi aerodrome dan karakteristik pesawat (lanjutan)

R. Muhammad Taufiq E1A1 13 050


Tugas Besar Perencanaan lapangan Terbang 2015

3.7.4. Berdasarkan pengaruh kondisi lokal (faktor koreksi)


Pada kenyataannya keadaan lapangan terbang tidak tepat seperti yang dinyatakan
pada ARFL, maka panjang runway perlu dikoreksi dengan faktor koreksi dikondisi lokal
(actual). Lingkungan bandara yang berpengaruh terhadap panjang runway adalah:
temperatur, angin permukaan (surface wind), kemiringan runway (effective gradient),
elevasi runway dari permukaan laut (altitude) dan kondisi permukaan runway.
Sesuai dengan rekomendasi dari International Civil Aviation Organization
(ICAO) dalam Annex 14, perhitungan panjang runway harus disesuaikan dengan kondisi
lokal lokasi bandara. Metode ini dikenal dengan metode Aeroplane Reference Field
Length (ARFL). Jadi didalam perencanaan, persyaratan-persyaratan tersebut harus
dipenuhi dengan melakukan koreksi akibat pengaruh dari keadaan lokal.

Adapun uraian dari faktor koreksi tersebut adalah sebagai berikut:

1) Koreksi elevasi
Menurut ICAO bahwa panjang runway bertambah sebesar 7% setiap kenaikan 300
m (1000 ft) dihitung dari ketinggian di atas permukaan laut. Maka rumusnya adalah:
h
Fe 1 0.07 ….. (19)
300
Dengan : Fe = faktor koreksi elevasi
h = elevasi di atas permukaan laut, m

2) Koreksi temperatur
Pada temperatur yang tinggi dibutuhkan runway yang lebih panjang sebab
temperatur tinggi akan menyebabkan density udara yang rendah. Sebagai
temperatur standar adalah 15 oC. Menurut ICAO panjang runway harus dikoreksi
terhadap temperatur sebesar 1% untuk setiap kenaikan 1 oC. Sedangkan untuk setiap
kenaikan 1000 m dari permukaaan laut rata-rata temperatur turun 6.5 oC. Maka
hitungan koreksi temperatur dengan rumus:
Ft = 1 + 0.01 (T –(15 - 0.0065h)) ….. (20)
Dengan : Ft = faktor koreksi temperatur
T = temperatur dibandara, oC

R. Muhammad Taufiq E1A1 13 050


Tugas Besar Perencanaan lapangan Terbang 2015

3) Koreksi kemiringan runway


Faktor koreksi kemiringan runway dapat dihitung dengan persamaan berikut:
Fs = 1 + 0.1 S ….. (21)
Dengan : Fs = faktor koreksi kemiringan
S = kemiringan runway, %

4) Koreksi angin permukaan (surface wind)


Panjang runway yang diperlukan lebih pendek bila bertiup angin haluan (head wind)
dan sebaliknya bila bertiup angin buritan (tail wind) maka runway yang diperlukan
lebih panjang. Angin haluan maksimum yang diizinkan bertiup dengan kekuatan 10
knots, dan menurut Heru Basuki (1996), kekuatan maksimum angin buritan yang
diperhitungkan adalah 5 knots. Tabel 3.8. berikut memberikan perkiraan pengaruh
angin terhadap panjang runway.

Tabel 3.8. Pengaruh Angin Permukaan Terhadap Panjang Runway

Persentase Pertambahan/
Kekuatan Angin
Pengurangan Runway

+5 -3
+10 -5
-5 +7

(Sumber: Basuki, 1990)

Sedangkan menurut ICAO Annex 14, nilai kekuatan angin (crosswind) dapat
ditentukan berdasarkan panjang runway ARFL.

Tabel 3.9. ICAO Crosswind design criteria

Panjang runway (m) Kekuatan angin (knots)

< 1200 10 (19 km/h)


1200 – 1500 13 (24 km/h)
> 1500 20 (37 km.h)

(sumber : ICAO – Annex 14 Vol.1 Aerodrome Design and Operations, 2009)

R. Muhammad Taufiq E1A1 13 050


Tugas Besar Perencanaan lapangan Terbang 2015

5) Kondisi permukaan runway


Untuk kondisi permukaan runway hal sangat dihindari adalah adanya genangan tipis
air (standing water) karena membahayakan operasi pesawat. Genangan air
mengakibatkan permukaan yang sangat licin bagi roda pesawat yang membuat daya
pengereman menjadi jelek dan yang paling berbahaya lagi adalah terhadap
kemampuan kecepatan pesawat untuk lepas landas. Menurut hasil penelitian NASA
dan FAA tinggi maksimum genangan air adalah 1,27 cm. Oleh karena itu drainase
bandara harus baik untuk membuang air permukaan secepat mungkin.
Jadi panjang runway minimum dengan metoda ARFL dihitung dengan persamaan
berikut:
Kondisi take-off :
ARFL = (ARFLrencana x Ft x Fe x Fs) + Fw ….. (22)

Kondisi landing :
ARFL = (ARFLrencana x Fe) + Fw ….. (23)

Dengan : ARFLrencana = Panjang runway rencana, m


Ft = faktor koreksi temperatur
Fe = faktor koreksi elevasi
Fs = faktor koreksi kemiringan
Fw = faktor koreksi angin permukaan (ARFLrencana x % ±angin)

Setelah panjang runway menurut ARFL diketahui dikontrol lagi dengan


Aerodrome Reference Code (ARC) dengan tujuan untuk mempermudah membaca
hubungan antara beberapa spesifikasi pesawat terbang dengan berbagai karakteristik
bandara (Annex 14, 2004). Kontrol dengan ARC dapat dilakukan berdasarkan pada
Tabel berikut:

R. Muhammad Taufiq E1A1 13 050


Tugas Besar Perencanaan lapangan Terbang 2015
Tabel 3.10. Aerodrome Reference Code (ARC)

Kode Elemen I Kode Elemen II

Kode ARFL Kode Bentang Jarak terluar


Angka (m) Huruf sayap (m) roda utama (m)

1 < 800 A < 15 < 4.5


2 800-1200 B 15 – 24 4.5 – 6
3 1200-1800 C 24 – 36 6–9
4 > 1800 D 36 – 52 9 – 14
E 52 – 65 9 – 14
F 65 – 80 14 – 16

(sumber : ICAO – Annex 14 Vol.1 Aerodrome Design and Operations, 2009)

3.7.5. Berdasarkan declared distance


Declared distances adalah jarak operasional yang diberitahukan kepada pilot
untuk tujuan take-off, landing atau pembatalan take-off yang aman. Jarak ini digunakan
untuk menentukan apakah runway cukup untuk take-off atau landing seperti yang
diusulkan atau untuk menentukan beban maksimum yang diijinkan untuk landing atau
take-off.
Beberapa jarak berikut yang disajikan dalam satuan meter serta padanan dalam
feet yang ditempatkan dalam tanda kurung, harus ditentukan untuk masing-masing arah
runway.
Perhitungan declared distances harus dihitung sesuai dengan hal berikut ini:
1. Take-off run available (TORA)
Panjang runway yang dinyatakan tersedia dan sesuai untuk meluncur (ground run)
bagi pesawat yang take off. Pada umumnya ini adalah panjang keseluruhan dari
runway, tidak termasuk stopway (SWY) atau clearway (CWY).
TORA = Panjang runway (RW) ….. (24)

2. Take-off distances available (TODA)


Jarak yang tersedia bagi pesawat terbang untuk menyelesaikan ground run, lift-off,
dan initial climb hingga 35 ft. Pada umumnya ini adalah panjang keseluruhan take
off run ditambah panjang clearway (CWY), jika tersedia.

R. Muhammad Taufiq E1A1 13 050


Tugas Besar Perencanaan lapangan Terbang 2015

Jika tidak ada CWY yang ditentukan, bagian dari runway strip antara ujung runway
dan ujung runway strip dimasukkan sebagai bagian dari TODA. Setiap TODA harus
disertai dengan gradien take off bebas hambatan (obstacle clear take-off gradient)
yang dinyatakan dalam persen.
TODA = TORA + CWY ….. (25)

3. Accelerate-stop distance available (ASDA)


Panjang take off run yang tersedia (length of the take-off run available) ditambah
panjang stopway (SWY), jika tersedia. Clearway tidak termasuk di dalamnya.
ASDA = TORA + SWY ….. (26)

4. Landing distance available (LDA)


Panjang runway yang dinyatakan tersedia dan sesuai untuk ground run bagi pesawat
yang landing atau disebut juga jarak landing tersedia. LDA dimulai dari runway
threshold. Baik stopway maupun clearway tidak termasuk di dalamnya.
LDA = Panjang RW (jika threshold tidak digantikan) ….. (27)

Definisi declared distances di atas diilustrasikan dalam diagram berikut:

Gambar 3.13. Ilustrasi declared distance


(sumber : ICAO – Annex 14 Vol.1 Aerodrome Design and Operations, 2009)

R. Muhammad Taufiq E1A1 13 050


Tugas Besar Perencanaan lapangan Terbang 2015

3.8. Terminal building


Terminal udara merupakan penghubung antara sisi udara dengan sisi darat.
Perencanaan terminal disesuaikan dengan Rencana Induk Bandara (Master Plan)
menurut tingkat (stage) dan tahapan (phase). Yang pertama meliputi jangka panjang,
sedangkan yang kedua berhubungan dengan dengan usaha jangka menengah masalah
penyesuaian kapasitas dengan perkiraan perkembangan permintaan. Ciri pokok kegiatan
di gedung terminal adalah transisionil dan operasional. Dengan dengan pola (lay-out),
perekayasaan (design and Engineering) dan konstruksinya harus memperhatikan
expansibility, fleksibility, bahan yang dipakai dan pelaksanaan konstruksi bertahap
supaya dapat dicapai penggunaan struktur secara maksimum dan terus menerus.
Perlu diketahui bahwa dalam merencanakan design terminal building, perlu
melakukan perhitungan kebutuhan minimal berdasarkan data jumlah penumpang pada
waktu sibuk. Jumlah Penumpang waktu sibuk (PWS) tergantung besarnya jumlah
penumpang tahunan bandar udara dan bervariasi untuk tiap bandar udara, namun untuk
memudahkan perhitungan guna keperluan verifikasi di gunakan jumlah penumpang
waktu sibuk sebagai berikut yang diambil dari hasil studi oleh JICA. Jumlah penumpang
transfer dianggap sebesar 20% dari jumlah penumpang waktu sibuk. Jumlah penumpang
waktu sibuk digunakan dalam rumus-rumus perhitungan didasarkan pada ketentuan
dalam SKEP 347/XII/99, kecuali bila disebutkan lain.

Tabel 3.11. Jumlah penumpang waktu sibuk

Penumpang Waktu Sibuk Jumlah Penumpang Transfer


(orang) (orang)
≥ 50 (terminal kecil) 10
101 – 500 (terminal sedang) 11 – 20
501 – 1500 (terminal menengah) 21 – 100
501 – 1500 (terminal besar) 101 – 300
(sumber : Peraturan Dirjen Perhubungan Udara SKEP/77/VI/2005)

R. Muhammad Taufiq E1A1 13 050


Tugas Besar Perencanaan lapangan Terbang 2015

3.8.1. Terminal penumpang


Dalam merencanakan bangunan terminal penumpang, perlu mencakup bangunan
terminal untuk keberangkatan dan kedatangan.
Adapun fasilitas bangunan untuk keberangkatan yaitu meliputi :
1. Kerb
Lebar kerb keberangkatan untuk jumlah penumpang waktu sibuk di bawah 100
orang adalah 5 m dan 10 m untuk jumlah penumpang waktu sibuk diatas 100 orang.

2. Hall keberangkatan
Hall Keberangkatan harus cukup luas untuk menampung penumpang datang pada
waktu sibuk sebelum mereka masuk menuju ke check-in area. Luas hall
keberangkatan dapat dihitung menggunakan persamaan berikut :
𝐴 = 0.75 × 𝑎 1 + 𝑓 + 𝑏 + 10 ….. (28)
Dimana : A = luas hall keberangkatan (m2)
a = jumlah penumpang berangkat pada waktu sibuk
b = jumlah penumpang transfer
f = jumlah pengantar tiap penumpang (2 orang)

3. Security gate
Jumlah gate disesuaikan dengan banyaknya pintu masuk menuju area steril. Jenis
yang digunakan dapat berupa walk through metal detector, hand held metal detector
serta baggage x-ray machine. Minimal tersedia masing-masing satu unit dan
minimal 3 orang petugas untuk pengoperasian satu gate dengan ketiga item tersebut.

4. Ruang tunggu keberangkatan


Ruang Tunggu Keberangkatan harus cukup untuk menampung penumpang waktu
sibuk selama menunggu waktu check-in, dan selama penumpang menunggu saat
boarding setelah check in. Pada ruang tunggu dapat disediakan fasilitas komersial
bagi penumpang untuk berbelanja selama waktu menunggu. Luas ruang tunggu
keberangkatan dapat dihitung menggunakan persamaan berikut :
𝑢 . 𝑖 +𝑣 . 𝑘
𝐴=𝐶− 30
+ 10% ….. (29)

Dimana : A = luas ruang tunggu keberangkatan (m2)


C = jumlah penumpang datang pada waktu sibuk

R. Muhammad Taufiq E1A1 13 050


Tugas Besar Perencanaan lapangan Terbang 2015

u = rata-rata waktu menunggu terlama (60 menit)


i = proporsi penumpang menunggu terlama (0.6)
v = rata-rata waktu menunggu tercepat (20 menit)
k = rata-rata waktu menunggu tercepat (0.4)
5. Check-in area
Check-in area harus cukup untuk menampung penumpang waktu sibuk selama
mengantri untuk check-in. Luas area check-in dapat dihitung menggunakan
persamaan berikut :
𝐴 = 0.25 × 𝑎 + 𝑏 + 10% ….. (30)
Dimana : A = luas area check-in (m2)
a = jumlah penumpang berangkat pada waktu sibuk
b = jumlah penumpang transfer

6. Check-in counter
Meja check-in counter harus dirancang dengan untuk dapat menampung segala
peralatan yang dibutuhkan untuk check-in (komputer,printer,dll) dan memungkinkan
gerakan petugas yang efisien. Jumlah meja check-in counter dapat dihitung
menggunakan persamaan berikut :
𝑎 +𝑏
𝑁= 60
× 𝑡1𝑐𝑜𝑢𝑛𝑡𝑒𝑟 + 10% ….. (31)
Dimana : N = jumlah meja
a = jumlah penumpang berangkat pada waktu sibuk
b = jumlah penumpang transfer (20%)
t1 = waktu pemprosesan check-in per penumpang (2 menit/ penumpang)

7. Timbang bagasi
Jumlah timbangan sesuai dengan banyaknya jumlah check-in counter. Timbangan di
letakkan menyatu dengan check-in counter. Menggunakan timbangan mekanikal
maupun digital. Deviasi timbangan ± 2,5 %.

8. Fasilitas custom immigration quarantine


Pemeriksaan passport diperlukan untuk terminal penumpang keberangkatan
internasional/luar negeri serta pemeriksaan orang-orang yang masuk dalam daftar

R. Muhammad Taufiq E1A1 13 050


Tugas Besar Perencanaan lapangan Terbang 2015

cekal dari imigrasi. Jumlah gate passport control dapat dihitung menggunakan
persamaan berikut :
𝑎 +𝑏 ×𝑡 2
𝑁= 60
+ 10% ….. (32)
Dimana : N = jumlah gate passport control
a = jumlah penumpang berangkat pada waktu sibuk
b = jumlah penumpang transfer
t2 = waktu pelayanan counter (0.5 menit / penumpang)

9. People mover system


Penggunaan PMS sangat tergantung dari ukuran Terminal Kedatangan. Bila jarak
dari ruang tunggu keberangkatan menuju gate cukup jauh (lebih dari 300 m) maka
dapat disediakan ban berjalan untuk penumpang (people mover system). Biasanya
people mover system digunakan untuk bandar udara yang tergolong sibuk dengan
jumlah penumpang waktu sibuk 500 orang keatas. Atau bila dari terminal menuju
apron cukup jauh harus disediakan transporter (bis penumpang) untuk jenis terminal
berbentuk satelit.

10. Rambu (sign)


a. Rambu harus dipasang yang mudah dilihat oleh penumpang.
b. Papan informasi/rambu harus mempunyai jarak pandang yang memadai untuk
diiihat dari jarak yang cukup jauh.
c. Bentuk huruf dan warna rambu yang digunakan juga harus memudahkan
pembacaan dan penglihatan.
d. Warna untuk tiap rambu yang sejenis harus seragam
e. Penggunaan simbol dalam rambu menggunakan simbol-simbol yang sudah
umum dipakai dan mudah dipahami.
11. Tempat duduk
Kebutuhan tempat duduk diperkirakan sebesar 1/3 penumpang pada waktu sibuk.
Jumlah tempat duduk yang dibutuhkan dihitung menggunakan rumus :
1

𝑁 =3 × 𝑎
….. (33)
Dimana : N = jumlah tempat duduk yang dibutuhkan
a = jumlah penumpang pada waktu sibuk

R. Muhammad Taufiq E1A1 13 050


Tugas Besar Perencanaan lapangan Terbang 2015

12. Fasilitas umum


Untuk toilet, diasumsikan bahwa 20% dari penumpang waktu sibuk menggunakan
fasilitas toilet. Kebutuhan ruang per orang ~ 1 m2. Penempatan toilet pada ruang
tunggu, hall keberangkatan, hall kedatangan. Untuk toilet para penyandang cacat
besar pintu mempertimbangkan lebar kursi roda. Toilet untuk usia lanjut perlu
dipasangi railing di dinding yang memudahkan para lansia berpegangan.
𝐴 = 𝑃 × 0.2 × 1𝑚2 + 10% ….. (34)
Dimana : N = jumlah toilet
a = jumlah penumpang pada waktu sibuk

13. Penerangan ruangan terminal


Penerangan buatan untuk masing masing bagian pada terminal penumpang berbeda-
beda.

14. Pengkondisian udara


Udara dalam ruang terminal menggunakan sistem pengkondisian udara (AC) untuk
kenyamanan penumpang, dengan suhu maksimal 27° C.
15. Lift dan escalator

16. Gudang
Luas gudang diambil 20-30 m2 untuk tiap 1000 m2 gedung terminal. Bila jarak antar
terminal jauh, maka gudang di buat untuk melayani tiap-tiap terminal.

Sedangkan fasilitas bangunan untuk kedatangan yaitu meliputi :


1. Baggage conveyor belt
Baggage conveyor belt tergantung dari jenis dan jumlah seat pesawat udara yang
dapat dilayani pada satu waktu. Idealnya satu baggage claim tidak melayani 2
pesawat udara pada saat yang bersamaan. Adapun rumus yang digunakan untuk
menghitung panjang conveyor belt yaitu :
𝑃×𝑛 𝑃×𝑛
….. (35)
𝐿 = 60 𝑚𝑒𝑛𝑖𝑡 × 20 𝑚𝑒𝑛𝑖𝑡 = 3

Dimana : L = panjang conveyor belt


ΣP = jumlah pesawat udara saat jam puncak
n = konstanta dari jenis pesawat udara dan jumlah seat

R. Muhammad Taufiq E1A1 13 050


Tugas Besar Perencanaan lapangan Terbang 2015

dengan ketentuan : L ≤ 12 m menggunakan tipe linier


L > 12 m menggunakan tipe circle
L ≤ 3 m menggunakan gravity roller

2. Baggage claim area


Adapun rumus yang digunakan untuk menghitung baggage claim area yaitu :
𝐴 = 0.9𝐶 + 10% ….. (36)
Dimana : A = luas baggage claim area (m2)
C = jumlah penumpang datang pada waktu sibuk

3. Fasilitas custom immigration quarantine


Rumus yang digunakan sama dengan fasilitas custom immigration quarantine
keberangkatan.

4. Hall kedatangan
Hall kedatangan harus cukup luas untuk menampung penumpang serta penjemput
penumpang pada waktu sibuk. Area ini dapat pula mempunyai fasilitas komersial.
Luas hall kedatangan dapat dihitung menggunakan persamaan berikut :
𝐴 = 0.375 × 𝑏 + 𝑐 + 2 × 𝑐 × 𝑓 + 10% ….. (37)
Dimana : A = luas hall kedatangan (m2)
b = jumlah penumpang transfer
c = jumlah penumpang datang pada waktu sibuk
f = jumlah pengunjung tiap penumpang (2 orang)

5. Kerb kedatangan
Lebar kerb kedatangan sama seperti pada terminal keberangkatan dan panjang kerb
sepanjang sisi luar bangunan terminal kedatangan yang bersisian dengan jalan
umum.

6. Rambu (sign)
Rambu / graphic sign pada terminal kedatangan pada intinya sama dengan pada
terminal keberangkatan, yang membedakan hanya isi informasinya (mengenai
kedatangan).

R. Muhammad Taufiq E1A1 13 050


Tugas Besar Perencanaan lapangan Terbang 2015

7. Fasilitas umum
8. Penerangan ruangan terminal
9. Pengkondisian udara
10. Lift dan escalator
11. Gudang

3.8.2. Terminal kargo


Bentuk dan luas terminal kargo dapat dilihat pada tabel ketentuan untuk terminal
kargo berikut ini :
Tabel 3.12. Luas dan bentuk terminal kargo

(sumber : Peraturan Dirjen Perhubungan Udara SKEP/77/VI/2005)

R. Muhammad Taufiq E1A1 13 050


Tugas Besar Perencanaan lapangan Terbang 2015

3.9. Pavement
Perkerasan adalah struktur yang terdiri dari beberapa lapisan dengan kekerasan dan
daya dukung yang berlainan. Perkerasan berfungsi sebagai tumpuan rata-rata pesawat,
permukaan yang rata menghasilkan jalan pesawat yang nyaman, maka dari fungsi
tersebut harus dijamin bahwa tiap-tiap lapisan dari atas ke bawah cukup kekerasan dan
ketebalannya sehingga tidak mengalami ―distress‖ (perubahan karena tidak mampu
menahan beban).
Seperti halnya perkerasan jalan raya, maka untuk lapangan terbang atau bandar
udara terdiri dari dua jenis perkerasan yaitu :
a. Perkerasan Lentur (Flexible pavement)
Merupakan perkerasan yang terbuat dari campuran aspal dan sgregat yang terdiri dari
surface, base course dan sub base course. Lapisan tersebut digelar diatas lapisan tanah
asli yang telah dipadatkan.
b. Perkerasan Kaku (Rigid pavement)
Merupakan struktur perkerasan yang terbuat dari campuran semen dan agregat, terdiri
dari slab-slab beton dengan ketebalan tertentu, dibawah lapisan beton adalah sub base
course yang telah dipadatkan dan ditunjang oleh lapisan grade (tanah asli).

Ada beberapa metode perencanaan perkerasan lapangan terbang antara lain adalah :
1. Metode US Corporation of Engineers atau metode CBR
2. Metode FAA
3. Metode LCN dari Inggris
4. Metode Asphalt Institute
5. Metode Canadian Department of Transportation
Namun demikian, tidak ada yang dianggap standard oleh badan dunia penerbangan
ICAO. Yang sering dipakai di dunia tetapi bukan standard yaitu yang dikembangkan
oleh Corporation of Engineers, didasarkan pada metode CBR.

R. Muhammad Taufiq E1A1 13 050


Tugas Besar Perencanaan lapangan Terbang 2015

Beberapa metode yang dipergunakan dalam perencanaan perkerasan landasan pacu,


diantaranya adalah :

A. Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur Dengan Metode CBR


Metode ini dikembangkan oleh Corps of Engineering, US Army. Kriteria dasar
dalam penggunaan metode ini adalah :
 Prosedur-prosedur test yang dipergunakan untuk komponen-komponen perkerasan
yang ada cukup sederhana.
 Metodenya telah menghasilkan perkerasan yang memuaskan.
 Dapat dipergunakan untuk mengatasi persoalan-persoalan perkerasan lapangan
terbang dalam waktu yang relatif singkat.
 Penggunaan metode CBR dapat dipergunakan untuk menentukan besarnya ketebalan
lapisan-lapisan Subbase Course, Base Course dan Surface Course yang diperlukan,
dengan memakai kurvakurva design dan data-data test lapisan tanah yang ada.
Langkah-langkah penggunaan metode CBR adalah sbb :
 Menentukan pesawat rencana.
Penentuan didasarkan pada harga MTOW terbesar yang dimiliki pesawat terbang yang
akan dipergunakan pada landasan yang direncanakan.
Penentuan pesawat rencana dipergunakan untuk mendapatkan data-data mengenai
harga MTOW (Maximum Take Off Weight), data tentang spesifikasi roda pendaratan,
seperti: beban satu roda (Pk), tekanan roda (pk), luas kontak area (A), jari-jari kontak
(r) dan panjang jarak antar roda (p).
 Menentukan harga ESWL (Equivalent Single Wheel Load)
Untuk dapat mencari harga ESWL, dicari telebih dahulu harga pengimbang, dengan
menggunakan rumus :
𝐴
𝑟=
𝜋
Dimana, r = Radius bidang kontak (inchi)
A = Luas bidang kontak (inchi2)

Dengan memasukkan harga pengimbang pada kedalaman yang tertentu dalam Grafik
3.1 diperoleh nilai faktor lenturan.

R. Muhammad Taufiq E1A1 13 050


Tugas Besar Perencanaan lapangan Terbang 2015

Grafik 3.1
Faktor Lenturan

DEPTH
Sumber : Perencanaan dan Perancangan Bandar Udara ( Horonjeff,1998)
Nilai faktor lenturan pada masing-masing posisi spesifikasi roda pendaratan dicari
yang mempunyai harga tertinggi, baik untuk roda tunggal maupun roda ganda.
Dari hasil tersebut, diperoleh rasio beban tunggal terhadap keseluruhan roda dalam
susunan. (lihat persamaan dibawah ini)
𝑃𝑠 𝐹𝑠
=
𝑃𝑑 𝐹𝑑
Dimana, Ps = Rasio ESWL roda tunggal
Pd = Rasio ESWL roda ganda
Fd = Faktor lenturan roda ganda
Fs = Faktor lenturan roda tunggal
Harga rasio beban tunggal terhadap keseluruhan roda dalam susunan dikalikan dengan
harga beban total pesawat terbang pada susunan roda, diperoleh harga ESWL pesawat
terbang.
 Menentukan CBR Subgrade, Subbase Course dan Base Course.
Penentuan harga CBR pada masing-masing lapisan perkerasan ini, dimaksudkan untuk
dapat menentukan tebal masing-masing lapisan yang akan dihitung.
 Menentukan jumlah Pergerakan Pesawat (Annual Departure).

R. Muhammad Taufiq E1A1 13 050


Tugas Besar Perencanaan lapangan Terbang 2015

Penentuan jumlah Pergerakan Pesawat yang ada di bandara (Annual Departure),


dimaksudkan untuk dapat memperoleh harga faktor perulangan αi dari Grafik 3.2
dengan mengetahui jumlah roda pesawat rencana.
 Menghitung total tebal perkerasan masing-masing lapisan.
Dengan menggunakan rumus dari Corp of Engineers:

𝐸𝑆𝑊𝐿 𝐴
𝑡 = 𝛼𝑖 −
8,1 𝐶𝐵𝑅 𝜋

Dimana, t = Tebal total perkerasan (inchi; cm)


αi = Harga faktor perulangan (diperoleh dengan menggunakan Grafik 3.2)
ESWL = Equivalent Single Wheel Load (diperoleh dengan cara seperti
diatas)
A = Luas kontak area (inchi; cm)
Grafik 3.2
Faktor Pengulangan Beban

B. Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur Dengan Metode FAA


Metode ini adalah metode yang paling umum digunakan dalam perencanaan
lapangan terbang. Dikembangkan oleh badan penerbangan federal Amerika. Merupakan
pengembangan metode CBR.

R. Muhammad Taufiq E1A1 13 050


Tugas Besar Perencanaan lapangan Terbang 2015

Perencanaan perkerasan lentur (flexible pavement) metode FAA dikembangkan


oleh badan penerbangan federal Amerika dan merupakan pengembangan metode CBR
yang telah ada.
Jenis dan kekuatan tanah dasar (subgrade) sangat mempengaruhi analisa
perhitungan. FAA telah membuat klasifikasi tanah dengan membagi dalam beberapa
kelompok, dengan tujuan untuk mengetahui nilai CBR tanah yang ada.
Perhitungan tebal perkerasan didasarkan pada grafik-grafik yang dibuat FAA,
berdasarkan pengalaman-pengalaman dari Corps of Enginners dalam menggunakan
metode CBR. Perhitungan ini dapat diuji sampai jangka waktu 20 tahun dan untuk
menentukan tebal perkerasan ada beberapa variabel yang harus diketahui :
 Nilai CBR Subgrade dan nilai CBR Subbase Course
 Berat maksimum take off pesawat (MTOW)
 Jumlah keberangkatan tahunan (Annual Departure)
 Type roda pendaratan tiap pesawat
Langkah-langkah penggunaan metode FAA adalah sbb :
 Menentukan pesawat rencana.
Dalam pelaksanaannya, landasan pacu harus melayani beragam tipe pesawat dengan
tipe roda pendaratan dan berat yang berbeda-beda, dengan demikian diperlukan
konversi ke pesawat rencana.
Tabel 3.13. Konversi Type Roda Pesawat

Konversi dari Ke Faktor Pengali


Single Wheel Dual Wheel 0.8
Single Wheel Dual Tandem 0.5
Dual Wheel Dual Tandem 0.6
Dual Tandem Dual Tandem 1.0
Dual Tandem Single Wheel 2.0
Dual tandem Dual Wheel 1.7
Dual Wheel Single Wheel 1.3
Double Dual Tandem Dual Tandem 1.7
Sumber: Heru Basuki, 1984

 Menghitung Equivalent Annual Departure.


Equivalent Annual Departure terhadap pesawat rencana dihitung dengan rumus:

R. Muhammad Taufiq E1A1 13 050


Tugas Besar Perencanaan lapangan Terbang 2015
𝑊2
𝐿𝑜𝑔𝑅1 = 𝐿𝑜𝑔𝑅2 × 1
𝑊1 2

Dimana, R1 = Equivalent annual departure pesawat rencana


R2 = Equivalent Annual Departure, jumlah annual departure dari semua
pesawat yang dikonversikan ke pesawat rencana menurut type
pendaratannya.
= Annual Departure * Faktor konversi (Tabel 3.13)
W2 = Beban Roda Pesawat Rencana
W1 = MTOW * 95% * 1/n
n = Jumlah roda pesawat pada main gear
Annual Departure terbatas hanya sampai 25.000 per tahun. Untuk tingkat Annual
Departure yang lebih besar dari 25.000, tebal perkerasan totalnya harus ditambah
menurut Tabel 3.14.

Tabel 3.14. Perkerasan Bagi Tingkat Departure > 25.000

Annual Departure % Tebal Departure


25.000
50.000 104
100.000 108
150.000 110
200.000 112
Sumber: Heru Basuki, 1984

Berat pesawat dianggap 95% ditumpu oleh roda pesawat utama (main gear) dan 5%
oleh nose wheel. FAA hanya menghitung berdasarkan annual departure, karena
pendaratan diperhitungkan beratnya lebih kecil dibanding waktu take off.
 Menghitung tebal perkerasan total.
Tebal perkerasan total dihitung dengan memplotkan data CBR subgrade yang
diperoleh dari FAA, Advisory Circular 150/5335-5, MTOW ( Maximum Take Off
Weight ) pesawat rencana, dan nilai Equivalent Annual Departure ke dalam Grafik
3.3.

R. Muhammad Taufiq E1A1 13 050


Tugas Besar Perencanaan lapangan Terbang 2015
Grafik 3.3
Penentuan Tebal Perkerasan untuk Dual Wheel

Sumber : FAA AC 150/5320-6D

 Menghitung tebal perkerasan Subbase.


Dengan nilai CBR subbase yang ditentukan, MTOW, dan Equivalent Annual
Departure maka dari grafik yang sama didapat harga yang merupakan tebal lapisan
diatas subbase, yaitu lapisan surface dan lapisan base. Maka, tebal subbase sama
dengan tebal perkerasan total dikurangi tebal lapisan diatas subbase.
 Menghitung tebal perkerasan permukaan ( surface )
Tebal surface langsung dilihat dari Grafik 3.4 yang berupa tebal surface untuk daerah
kritis dan non kritis.

R. Muhammad Taufiq E1A1 13 050


Tugas Besar Perencanaan lapangan Terbang 2015
Grafik 3.4
Penentuan Tebal Base Course Minimum

Sumber : Merancang dan Merencanakan Lapangan Terbang, Ir Heru Basuki

 Menghitung tebal perkerasan Base Coarse.


Tebal Base Coarse sama dengan tebal lapisan diatas Subbase Course dikurangi tebal
lapisan permukaan (Surface Course). Hasil ini harus dicek dengan
membandingkannya terhadap tebal Base Coarse minimum dari grafik. Apabila tebal
Base Coarse minimum lebih besar dari tebal Base Coarse hasil perhitungan, maka
selisihnya diambil dari lapisan Subbase Course, sehingga tebal Subbase Course-pun
berubah. Metode ini adalah metode yang paling umum digunakan dalam perencanaan
lapangan terbang. Dikembangkan oleh badan penerbangan federal Amerika. Jenis dan
kekuatan tanah dasar (subgrade) sangat mempengaruhi analisa perhitungan.

R. Muhammad Taufiq E1A1 13 050


Tugas Besar Perencanaan lapangan Terbang 2015

BAB IV
ANALISA PERHITUNGAN

4.1. Proyeksi Pergerakan


Dalam perencanaan suatu bandara, seorang perencana perlu memperkirakan
pergerakan pesawat, pergerakan lalu lintas penumpang, serta barang yang diangkut
dimasa mendatang. Untuk itu dalam desain ini digunakanlah metode analisa grafik
polynomial karena dianggap memiliki kemungkinan yang tidak jauh berbeda dengan
metode pertumbuhan untuk memperkirakan pergerakan pesawat di tahun 2025.

4.1.1. Proyeksi pergerakan pesawat


Dari data tipe pergerakan pesawat yang ada, maka didapat persamaan polynomial
berikut :
𝑦 = 142.7. 𝑥 2 − 969.1𝑥 + 11504

Dimana : x = tahun ke- yang akan diprediksi


y = prediksi pergerakan di tahun 2025

Tabel 4.1. Pergerakan pesawat tahunan


Tahun
No Aircraft types
2009 2010 2011 2012 2013 2014
1 Airbus
airbus A321-200 451 1968 1383 444 203 219
airbus A330-200 634 1320 807 1175 523 1023
2 Boeing
B727-200 1242 1366 758 681 725 574
B737-300 1083 346 568 1421 402 1069
B747-100 1230 851 575 61 1227 262
3 Mc Donnell Douglas
DC8-63 2445 1472 1573 1733 701 1753
DC10-30 1330 1381 2712 1247 1942 233
4 Cessna Caravar 536 2391 1617 1022 1515 948
Total = 8951 11095 9993 7784 7238 6081

R. Muhammad Taufiq E1A1 13 050


Tugas Besar Perencanaan lapangan Terbang 2015

Grafik 4.1. Proyeksi pergerakan pesawat tahunan

Dari grafik polynomial diatas dapat dihitung perkiraan jumlah pesawat untuk
tahun 2025 (tahun ke-17) :
x = 17
𝑦 = 142.7𝑥 2 − 969.1𝑥 + 11504
𝑦 = 142.7(17) − 969.1(17) + 11504
2

𝑦 = 36269 pesawat

Tabel 4.2. Proyeksi pergerakan pesawat tahun 2025

Prediksi Pergerakan Tahun 2020


No Aircraft types
Jumlah % Masing – masing
pesawat pesawat
1 Airbus
Airbus A321-200 5334 14.709
Airbus A330-200 5833 16.084
2 Boeing
B727-200 4073 11.230
B737-300 2953 8.144
B747-100 1804 4.975
3 Mc Donnell Douglas
DC8-63 5073 13.989
DC10-30 7000 19.302
4 Cessna Caravar 4194 11.566
Total = 36269 100

R. Muhammad Taufiq E1A1 13 050


Tugas Besar Perencanaan lapangan Terbang 2015

4.1.2. Proyeksi pergerakan penumpang


Dari data tipe pergerakan penumpang yang ada, maka dapat dibuat grafik
proyeksi pergerakan penumpang domestik dan internasional :

Tabel 4.3. Pergerakan penumpang tahunan

No Tahun Domestik Internasional Total


1 2003 966658 742582 1711240
2 2004 926622 387695 1316318
3 2005 87496 144010 233508
4 2006 354115 289279 645397
5 2007 794205 200723 996932
6 2008 177673 870157 1049835
7 2009 499200 658895 1160101
8 2010 61555 768925 832487
9 2011 379179 431206 812393
10 2012 265239 924721 1191969
11 2013 775067 874678 1651755
12 2014 255163 591832 849006

Grafik 4.2. Proyeksi pergerakan penumpang domestik tahunan

penumpang domestik
1000000
900000
y = -4415.x2 + 8339.x + 56056
800000
R² = 0.403
700000
600000
500000
400000 proyeksi
300000 Poly. (proyeksi)
200000
100000
0
0 2 4 6 8 10 12 14

Dari grafik polynomial diatas dapat dihitung perkiraan jumlah penumpang


domestik untuk tahun 2025 (tahun ke-21) :
x = 21
𝑦 = −4415. 𝑥 2 + 8339. 𝑥 + 56056
𝑦 = 𝟏𝟏𝟕𝟗𝟐𝟑 penumpang

R. Muhammad Taufiq E1A1 13 050


Tugas Besar Perencanaan lapangan Terbang 2015
Grafik 4.3. Proyeksi pergerakan penumpang internasional tahunan

internasional
1200000
y = 16321e0.140x
1000000 R² = 0.414

800000

600000

400000 proyeksi
Expon. (proyeksi)
200000

0
0 5 10 15

Dari grafik exponensial diatas dapat dihitung perkiraan jumlah penumpang


internasional untuk tahun 2025 (tahun ke-21) :
x = 21
𝑦 = 16321𝑒 0.140 𝑥
0.140×21
𝑦 = 16321𝑒
𝑦 = 𝟑𝟎𝟖𝟕𝟐𝟔 penumpang
Maka proyeksi total penumpang pada tahun 2025 yaitu :
𝑦 = 117923 + 308726 = 𝟒𝟐𝟔𝟔𝟒𝟖 penumpang

Kontrol kapasitas angkut pesawat terhadap jumlah penumpang di tahun 2025, dapat
dilihat pada tabel berikut :

Tabel 4.4. Kapasitas angkut maksimal pesawat di tahun 2025

Prediksi Pergerakan Tahun 2020


No Aircraft types
Kapasitas angkut Jumlah Jumlah maks.
pesawat pesawat penumpang
1 Airbus
Airbus A321-200 185 5334 290564
Airbus A330-200 253 5833 434511
2 Boeing
B727-200 134 4073 160684
B737-300 128 2953 111307
B747-100 452 1804 240090

R. Muhammad Taufiq E1A1 13 050


Tugas Besar Perencanaan lapangan Terbang 2015

Prediksi Pergerakan Tahun 2020


No Aircraft types
Kapasitas angkut Jumlah Jumlah maks.
pesawat pesawat penumpang
3 Mc Donnell Douglas
DC8-63 259 5073 386865
DC10-30 255 7000 525565
4 Cessna Caravar 79 4194 97560
Total = 36269 𝟒𝟐𝟔𝟔𝟒𝟖

Dari Tabel 4.4 diketahui bahwa kapasitas angkut total pesawat pada tahun 2025 lebih
besar daripada jumlah total penumpang pada tahun 2025, maka jumlah pesawat telah
memadai.

4.2. Penentuan ARFL


Langkah awal dalam perencanaan lapangan terbang adalah penentuan batasan
panjang landasan pacu. Dari tipe pesawat yang diberikan, perlu untuk mengetahui
karakteristik pesawat (sumber tercantum di lampiran) agar mempermudah mengetahui
panjang landasan pacu minimum yang dipakai setelah beberapa kali tes yang dilakukan
oleh pabrik pembuat pesawat terbang yang bersangkutan (Aeroplane Reference Field
Length).

Tabel 4.5. Jenis pesawat dan karakteristik pesawat


AEROPLANE CHARACTERISTICS
Ref
No Aircraft types
Code ARFL Length wingspan OMGWS MTOW TP
(m) (m) (m) (m) (kg) (kpa)
1 Airbus
Airbus A321-200 4C 2621.3 44.51 34.10 8.97 93500 1281.54
Airbus A330-200 4E 2743 58.82 60.30 12.08 233000 1400
2 Boeing
B727-200 4C 2621.3 46.68 32.92 6.58 83900 1150.63
B737-300 4C 2286 32.18 28.88 6.41 63276 1171
B747-100 4E 3506.5 70.40 59.64 12.12 340100 1598.48
3 Mc Donnell Douglas
DC8-63 4D 3179 57.12 45.23 7.58 161028 1253.98
DC10-30 4D 3170 55.35 50.39 12.57 251744 1274.65
4 Cessna Caravar 1B 1646 29.62 23.57 5.80 29000 689

R. Muhammad Taufiq E1A1 13 050


Tugas Besar Perencanaan lapangan Terbang 2015

Dari tabel diatas, digunakan pesawat tipe Boeing B747-100 sebagai pesawat
dengan panjang landasan pacu rencana yang terpanjang, yaitu 3506.5 m.

Adapun data – data yang diberikan dalam perencanaan desain lapangan terbang
adalah sebagai berikut :
e. Ketinggian lokasi dari muka laut (h) : 732 m
f. Gradien Efektif (S) : 1.20 %
g. Temperatur Udara (T) : 210
h. Angin : 20 knot (panjang runway > 1500m, tabel 3.9)

4.2.1. Menghitung faktor koreksi


a. Koreksi elevasi
𝑕
𝐹𝑒 = 1 + 0.07
300
732
𝐹𝑒 = 1 + 0.07
300
𝐹𝑒 = 1.171
b. Koreksi temperatur
𝐹𝑡 = 1 + 0.01 𝑇 − 15 − 0.0065𝑕
𝐹𝑡 = 1 + 0.01 21 − 15 − 0.0065 × 732
𝐹𝑡 = 1.108
c. Koreksi kemiringan runway
𝐹𝑠 = 1 + 0.1𝑆
𝐹𝑠 = 1 + 0.1 × 0.012
𝐹𝑠 = 1.0012

d. Koreksi angin permukaan


Berdasarkan Tabel 3.8. tentang Pengaruh Angin Permukaan Terhadap Panjang
Runway, maka untuk kekuatan angin 20 knot faktor koreksi angin (Fw) = -10%.

R. Muhammad Taufiq E1A1 13 050


Tugas Besar Perencanaan lapangan Terbang 2015

4.2.2. Menghitung panjang runway minimum dengan metode ARFL

a. Kondisi take-off
𝐴𝑅𝐹𝐿 = 𝐴𝑅𝐹𝐿𝑟𝑒𝑛𝑐𝑎𝑛𝑎 × 𝐹𝑡 × 𝐹𝑒 × 𝐹𝑠 + 𝐹𝑤
𝐴𝑅𝐹𝐿 = 3506.5 × 1.108 × 1.171 × 1.0012 + 3506.5 × −0.1
𝐴𝑅𝐹𝐿 = 4201.877 𝑚 ≈ 𝟒𝟐𝟎𝟐 𝒎

b. Koreksi landing
𝐴𝑅𝐹𝐿 = 𝐴𝑅𝐹𝐿𝑟𝑒𝑛𝑐𝑎𝑛𝑎 × 𝐹𝑒 + 𝐹𝑤
𝐴𝑅𝐹𝐿 = 3506.5 × 1.171 + 3506.5 × −0.1
𝐴𝑅𝐹𝐿 = 3754.760 𝑚 ≈ 3755 𝑚
Setelah dilakukan koreksi terhadap faktor diatas, maka panjang runway perencanaan
(ARFL) adalah 4202 m.

4.3. Analisa Angin


Untuk menentukan arah Runway, dicari arah angin dominan dengan melakukan
analisa Wind Rose. Landasan pacu dari sebuah lapangan terbang harus dibuat sedemikian
rupa sehingga searah dengan ―prevaling wind‖ (arah angin dominan). Hal ini
dimaksudkan ketika melakukan pendaratan manuver sejauh komponen arah samping
(cross wind) tidak berlebihan.
Persyaratan ICAO Chapter 3.1.3, pesawat dapat mendarat dan lepas landas pada
sebuah lapangan terbang pada 95 % dari waktu crosswind dengan tidak melebihi :

Tabel 4.6. ICAO Crosswind design criteria

Panjang runway (m) Kekuatan angin (knots)

< 1200 10 (19 km/h)


1200 – 1500 13 (24 km/h)
> 1500 20 (37 km.h)

(sumber : ICAO – Annex 14 Vol.1 Aerodrome Design and Operations, 2009)

R. Muhammad Taufiq E1A1 13 050


Tugas Besar Perencanaan lapangan Terbang 2015

Berikut adalah data angin yang didapatkan dari data soal (tipe 1).

Arah angin 10 -13 13-20 20-40 Total


knot knot knot
0° 1.70 1.70 1.80 5.20
22.5 ° 2.50 3.00 1.80 7.30
45 ° 2.00 2.70 5.51 10.21
67.5 ° 2.80 9.00 0.20 12.00
90 ° 0.50 3.00 9.00 12.50
112.5 ° 2.00 0.20 2.00 4.20
135 ° 1.20 0.20 4.00 5.40
157.5 ° 2.00 3.00 1.00 6.00
180 ° 2.90 1.00 1.00 4.90
202.5 ° 2.90 0.50 0.90 4.30
225 ° 1.50 2.90 3.20 7.60
247.5 ° 0.20 0.10 1.70 2.00
270 ° 2.10 0.50 2.00 4.60
292.5 ° 1.50 2.80 1.20 5.50
315 ° 1.00 1.50 2.50 5.00
337.5 ° 1.70 0.50 0.20 2.40
angin < 10 knot 0.89
Jumlah 100.00

Dalam desain ini panjang runway rencana yaitu 4202 m ( > 1500 m), maka
kekuatan angin yang digunakan adalah tidak melebihi 20 knot.

R. Muhammad Taufiq E1A1 13 050


Tugas Besar Perencanaan lapangan Terbang 2015

Berdasarkan tabel diatas dapat dibuat Gambar Wind Rose untuk masing – masing arah
angin sesuai dengan persentase data kecepatan angin, seperti gambar berikut :

U
UBL UTL

BL TL

BBL TTL

B T
0%
5%
10%
15%
20%

BBD TTG

BD TG

SBD STG
S

Persentase kecepatan angin yang paling dominan yaitu berasal dari arah Timur – Barat,
dalam perencanaan desain ini pada saat pesawat take-off dan landing harus bebas dari
komponen angin yang arahnya tegak lurus (cross wind kecil) :
Timur = 0.5 + 3.0 + 9.0 + 0.89 = 13.39 % (prevailing wind)
Barat = 2.1 + 0.5 +2.0 + 0.89 = 5.49 %
Sehingga dapat direncanakan landasan pacu (runway) satu arah.

R. Muhammad Taufiq E1A1 13 050


Tugas Besar Perencanaan lapangan Terbang 2015

Dari data angin yang diketahui, maka dapat dicari arah angin dominan sehingga
nantinya akan direncanakan landasan pacu (R/W) sejajar dengan arah angin dominan.

1. Tinjauan U – S (0-180)

U
UBL UTL

BL TL

1,8
0,2 1,8

BBL 5 5
2 51 TTL
1,7 ,
,

0,5 ,

5 27
1 1,7 2,5
0 ,
,

B 0,89 T

2,9 2,9

1,0

BBD TTG
1,0

BD TG

SBD STG
S

Total = 0,89 + ( 2,1 + 0,5) + (1,5 + 2,8) + (1 + 1,5 + 2,5) + (1,7 + 0,5 + 0,2) + (1,7 + 1,7
+ 1,8) + (2,5 + 3 + 1,8) + (2 + 2,7 + 5,51) + (2,8 + 9) + (0.5 + 3) + (2 + 0,2) +
(1,2 + 0,2 + 4) + (2 + 3 + 1) + (2,9 + 1 + 1) + (2,9 + 0,5 +0,9) + (1,5 +2,9 + 3,2)
+ (0,2 + 0,1)
= 83.90

R. Muhammad Taufiq E1A1 13 050


Tugas Besar Perencanaan lapangan Terbang 2015

2. Tinjauan UTL – SBD (22.5-202.5)

U
UBL UTL

BL TL

1,8
0,2 1,8

BBL 5 5
2 51 TTL
,
,
1,7
0,5
5 27
1 1,7 2,5
0 ,
,

B 0,89 T

2,9 2,9

1,0

BBD TTG
1,0

BD TG

SBD STG
S

Total = 0,89 + ( 2,1 + 0,5) + (1,5 + 2,8) + (1 + 1,5) + (1,7 + 0,5 + 0,2) + (1,7 + 1,7 +
1,8) + (2,5 + 3 + 1,8) + (2 + 2,7 + 5,51) + (2,8 + 9 + 0,2) + (0.5 + 3) + (2 + 0,2)
+ (1,2 + 0,2) + (2 + 3 + 1) + (2,9 + 1 + 1) + (2,9 + 0,5 +0,9) + (1,5 +2,9 + 3,2) +
(0,2 + 0,1 + 1,7)
= 79.30

R. Muhammad Taufiq E1A1 13 050


Tugas Besar Perencanaan lapangan Terbang 2015

3. Tinjauan TL – BD (45-225)

U
UBL UTL

BL TL

1,8
0,2 1,8

BBL 5 5,
TTL
1,7
0,5
5 1,7 2,5 2,7
0

B 0,89 T

2,9 2,9

1,0

BBD TTG

1,0

BD TG

SBD STG
S

Total = 0,89 + ( 2,1 + 0,5 + 2) + (1,5 + 2,8) + (1 + 1,5) + (1,7 + 0,5) + (1,7 + 1,7 + 1,8)
+ (2,5 + 3 + 1,8) + (2 + 2,7 + 5,51) + (2,8 + 9 + 0,2) + (0.5 + 3 + 9) + (2 + 0,2) +
(1,2 + 0,2) + (2 + 3) + (2,9 + 1 + 1) + (2,9 + 0,5 +0,9) + (1,5 +2,9 + 3,2) + (0,2 +
0,1 + 1,7)
= 89.10

R. Muhammad Taufiq E1A1 13 050


Tugas Besar Perencanaan lapangan Terbang 2015

4. Tinjauan TTL – BBD (67.5-247.5)

U
UBL UTL

BL TL

1,8
0,2 1,8

BBL 5 5
2 51 TTL
,
,
1,7
0,5
5 27
1 1,7 2,5
0 ,
,

B 0,89 T

2,9 2,9

1,0

BBD TTG

1,0

BD TG

SBD STG
S

Total = 0,89 + ( 2,1 + 0,5 + 2) + (1,5 + 2,8+ 1,2) + (1 + 1,5) + (1,7 + 0,5) + (1,7 + 1,7)
+ (2,5 + 3 + 1,8) + (2 + 2,7 + 5,51) + (2,8 + 9 + 0,2) + (0.5 + 3 + 9) + (2 + 0,2 +
2) + (1,2 + 0,2) + (2 + 3) + (2,9 + 1) + (2,9 + 0,5 +0,9) + (1,5 +2,9 + 3,2) + (0,2
+ 0,1 + 1,7)
= 89.50

R. Muhammad Taufiq E1A1 13 050


Tugas Besar Perencanaan lapangan Terbang 2015

5. Tinjauan T – B (90-270)

U
UBL UTL

BL TL

1,8
0,2 1,8

BBL 5 5
2 51 TTL
,
,
1,7
0,5

5 2,7
1,7 2,5
0

B 0,89 T

2,9 2,9

1,0

BBD TTG

1,0

BD TG

SBD STG
S

Total = 0,89 + ( 2,1 + 0,5 + 2) + (1,5 + 2,8+ 1,2) + (1 + 1,5 + 2,5) + (1,7 + 0,5) + (1,7 +
1,7) + (2,5 + 3) + (2 + 2,7 + 5,51) + (2,8 + 9 + 0,2) + (0.5 + 3 + 9) + (2 + 0,2 +
2) + (1,2 + 0,2 + 4) + (2 + 3) + (2,9 + 1) + (2,9 + 0,5) + (1,5 + 2,9 + 3,2) + (0,2
+ 0,1 + 1,7)
= 93.30

R. Muhammad Taufiq E1A1 13 050


Tugas Besar Perencanaan lapangan Terbang 2015

6. Tinjauan TTG – BBL (112.5-292.5)

U
UBL UTL

BL TL

1,8
0,2 1,8

BBL 5 5
2 51 TTL
,
,
1,7
0,5

5 27
1 1,7 2,5
,0 ,
, 1

B 0,89 T

2,9 2,9

1,0

BBD TTG
1,0

BD TG

SBD STG
S

Total = 0,89 + ( 2,1 + 0,5 + 2) + (1,5 + 2,8+ 1,2) + (1 + 1,5 + 2,5) + (1,7 + 0,5 + 0,2) +
(1,7 + 1,7) + (2,5 + 3) + (2 + 2,7) + (2,8 + 9 + 0,2) + (0.5 + 3 + 9) + (2 + 0,2 +
2) + (1,2 + 0,2 + 4) + (2 + 3 + 1) + (2,9 + 1) + (2,9 + 0,5) + (1,5 + 2,9) + (0,2 +
0,1 + 1,7)
= 85.79

R. Muhammad Taufiq E1A1 13 050


Tugas Besar Perencanaan lapangan Terbang 2015

7. Tinjauan TG – BL (135-315)

U
UBL UTL

BL TL

1,8
0,2 1,8

BBL 5 5
2 51 TTL
,
,
1,7
0,5
5 27
1 1,7 2,5
0 ,
,

B 0,89 T

2,9 2,9

1,0

BBD TTG
1,0

BD TG

SBD STG
S

Total = 0,89 + ( 2,1 + 0,5 + 2) + (1,5 + 2,8+ 1,2) + (1 + 1,5 + 2,5) + (1,7 + 0,5 + 0,2) +
(1,7 + 1,7 + 1,8) + (2,5 + 3) + (2 + 2,7) + (2,8 + 9) + (0.5 + 3 + 9) + (2 + 0,2 +
2) + (1,2 + 0,2 + 4) + (2 + 3 + 1) + (2,9 + 1 +1) + (2,9 + 0,5) + (1,5 + 2,9) + (0,2
+ 0,1)
= 86.69

R. Muhammad Taufiq E1A1 13 050


Tugas Besar Perencanaan lapangan Terbang 2015

8. Tinjauan STG – UBL (157.5-337.5)

U
UBL UTL

BL TL

1,8
0,2 1,8

BBL 5 5
2 51 TTL
,
,
1,7
0,5

5 27
1 1,7 2,5
,
, 1 ,0

B 0,89 T
2,9 2,9

1,0

BBD 1,0
TTG

BD TG

SBD STG
S

Total = 0,89 + ( 2,1 + 0,5) + (1,5 + 2,8+ 1,2) + (1 + 1,5 + 2,5) + (1,7 + 0,5 + 0,2) + (1,7
+ 1,7 + 1,8) + (2,5 + 3 + 1,8) +(2 + 2,7) + (2,8 + 9) + (0.5 + 3) + (2 + 0,2 + 2) +
(1,2 + 0,2 + 4) + (2 + 3 + 1) + (2,9 + 1 +1) + (2,9 + 0,5 + 0,9) + (1,5 + 2,9) +
(0,2 + 0,1)
= 78.39
R. Muhammad Taufiq E1A1 13 050
Tugas Besar Perencanaan lapangan Terbang 2015

Tabel 4.7. Hasil perhitungan analisa angin

No. Arah Angin Kecepatan Angin Dominan


1 Utara – Selatan 83.90
2 Utara Timur Laut – Selatan Barat Daya 79.30
3 Timur Laut – Barat Daya 89.10
4 Timur Timur Laut – Barat Barat Daya 89.50
5 Timur – Barat 93.30
6 Timur Tenggara – Barat Barat Laut 85.79
7 Tenggara – Barat Laut 86.69
8 Selatan Tenggara – Utara Barat Laut 78.39

Orientasi runway (R/W) selalu berorientasi terhadap arah angin (prevailing wind).
Dimana pada saat pesawat take-off dan landing harus bebas dari komponen angin yang
arahnya tegak lurus arah pesawat seminimal mungkin (cross wind kecil).
Pada desain ini, arah angin dominan adalah dari arah Timur – Barat, maka
Runway mengarah ke arah Timur – Barat (sesuai dengan arah angin dominan). Posisi
arah runway yaitu :
- Timur pada 900
- Barat pada 2700
Maka akan didesain runway satu arah dengan penomoran pada landasan (runway
designator) yang mengarah dari Timur ke Barat adalah dengan angka 9.

R. Muhammad Taufiq E1A1 13 050


Tugas Besar Perencanaan lapangan Terbang 2015

4.4. Perencanaan Runway


Langkah awal dalam perencanaan lapangan terbang adalah penentuan batasan
panjang landasan pacu. Dari tipe pesawat yang diberikan, perlu untuk mengetahui
karakteristik pesawat (sumber tercantum di lampiran) agar mempermudah mengetahui
panjang landasan pacu minimum yang dipakai setelah beberapa kali tes yang dilakukan
oleh pabrik pembuat pesawat terbang yang bersangkutan (Aeroplane Reference Field
Length).

4.4.1. Cek penggolongan kode runway


Dari data jenis dan karakteristik pesawat telah diketahui kode runway untuk tipe
pesawat Boeing B747-100 adalah 4E. Berdasarkan ARFL take-off maka Aerodrome
Reference Code (ARC) yaitu :

Tabel 4.8. Aerodrome Reference Code (ARC)

Kode Elemen I Kode Elemen II

Kode ARFL Kode Bentang Jarak terluar


Angka (m) Huruf sayap (m) roda utama (m)

1 < 800 A < 15 < 4.5


2 800-1200 B 15 – 24 4.5 – 6
3 1200-1800 C 24 – 36 6–9
4 > 1800 D 36 – 52 9 – 14
E 52 – 65 9 – 14
F 65 – 80 14 – 16

ARFL (take-off) = 4202 m


Wingspan = 59.64 m
OMGWS = 12.12 m
Aerodrome Reference Code = 4E

R. Muhammad Taufiq E1A1 13 050


Tugas Besar Perencanaan lapangan Terbang 2015

4.4.2. Menghitung declared distance


Akan direncanakan runway satu arah dengan TODA berdasarkan kondisi yang
ada, lengkap dengan clearway, shoulder, airstips, stopway dan taxiway untuk tahun 2020.
Berdasarkan ICAO – Annex 14 Vol.1 Aerodrome Design and Operations, 2009
menggunakan runway tipe E.

Gambar 4.1. Ilustrasi declared distance

Dengan spesifikasi sebagai berikut :


a. Lebar runway = 45 m

Tabel 4.9. Lebar runway minimum

Code Code Letter


Number A B C D E F
*
1 18 m 18 m 23 m - - -
2 23 m 23 m 30 m - - -
3 30 m 30 m 45 m - -
4 - - 45 m 45 m 45 m 60 m

b. Bahu runway = 7.5 m


Lebar bahu untuk kode D dan E paling kurang 60 m, dimana lebar runway
sebesar 45 m dan lebar bahu 7.5 m pada kedua sisi landasan (Annex 14).

c. Runway strip
Panjang runway strip = 60 m
Lebar runway strip = 300 m
Tipe bandara = tipe precission dengan instrument runway.

R. Muhammad Taufiq E1A1 13 050


Tugas Besar Perencanaan lapangan Terbang 2015
Tabel 4.10. Dimensi runway strip

Code Letter
Uraian
1 2 3 4
Panjang runway strip :
c. Instrument runway 60 m 60 m 60 m 60 m
d. Non- instrument runway 30 m 60 m 60 m 60 m
Lebar runway strip :
d. Instrument precision approach 150 m 150 m 300 m 300 m
runway
e. Instrument non-precision 90 m 90 m * **
approach runway 150 m 300 m
*
f. Non- instrument runway 60 m 80 m 150 m 150 m

Kemiringan Transverse Runway Strip 3% 3% 2.5% 2.5%


Kemiringan Longitudinal Runway Strip 2% 2% 1.75% 1.5%
d. Stopway
Panjang stopway = 300 m (minimal 60 m sebelum ujung runway strip)
Lebar stopway = 60 m (sama dengan lebar runway dengan bahunya)

e. Clearway
Panjang clearway = 1000 m (maksimal 0.5 x ARFL take-off)
Lebar clearway = untuk kode 3 dan 4 tidak boleh kurang dari 150 m

f. Runway end safety area (RESA)


Panjang RESA = Panjang RESA untuk kode 3 dan 4 adalah 240 m
Lebar RESA = 2 x lebar runway = 90 m

g. Threshold
Panjang threshold = 60 m (sama dengan lebar runway dengan bahunya)
Tebal threshold = 1.8 m

Perhitungan declared distances harus dihitung sesuai dengan hal berikut ini:
1. Take-off run available (TORA)
TORA = panjang ARFL take-off
TORA = 4202 m

R. Muhammad Taufiq E1A1 13 050


Tugas Besar Perencanaan lapangan Terbang 2015

2. Take-off distances available (TODA)


TODA = TORA + CWY
TODA = 4202 + 1000
TODA = 5202 m

3. Accelerate-stop distance available (ASDA)


ASDA = TORA + SWY
ASDA = 4202 + 300
ASDA = 4502 m

4. Landing distance available (LDA)


LDA = panjang ARFL landing
LDA = 3755 m
Displaced threshold = TORA – LDA
= 4202 – 3755 = 447 m

CWY SWY

09
displaced threshold

Gambar 4.2. Ilustrasi panjang runway

4.4.3. Menghitung panjang runway berdasarkan beberapa kondisi


a. Keadaan lepas landas (take-off) normal
TODA = 1.15 x ARFL take-off = 1.15 x 4202 = 4832.158 m
LODA = 0.55 x TODA = 0.55 x 4832.158 = 2657.687 m
CW = 0.5 x [TODA – (1.15 x LODA)] = 887.909 m
TORA = TODA – CW = 4832.158 – 887.909 = 3944.249 m
FL = FS + CW (FS = TORA) = 3944.249 + 887.909 = 4832.158 m

R. Muhammad Taufiq E1A1 13 050


Tugas Besar Perencanaan lapangan Terbang 2015

b. Keadaan pendaratan (landing) normal


LD = TODA = 4832.158 m
SD = 0.6 x LD = 0.6 x 4832.158 = 2899.295 m
CW = 0.5 x (TODA – LODA) = 1087.236 m
SW = 0.05 x LD = 0.05 x 4832.158 = 241.608 m
FL = TORA + CW (TORA=ARFL) = 4202 + 1087.236 = 5289.112 m

c. Keadaan take off over shoot


LD = TODA = 4832.158 m
LODA = 0.75 x TODA = 0.75 x 4832.158 = 3624.119 m
CW = 0.5 x (TODA – LODA) = 0.5 x (4832.158 – 3624.119) = 604.020 m
SW = 0.05 x LD = 0.05 x 4832.158 = 241.608 m

d. Keadaan kegagalan mesin


LD = TODA = 4832.158 m
SD = 0.6 x LD = 0.6 x 4832.158 = 2899.295 m
CW = 0.15 x LD = 0.15 x 4832.158 = 724.824 m
SW = 0.05 x LD = 0.05 x 4832.158 = 241.608 m
FL = TORA + SW (TORA=ARFL) = 4202 + 241.608 = 4443.485 m

e. Keadaan poor approach


LD = TODA = 4832.158 m
SD = 0.6 x LD = 0.6 x 4832.158 = 2899.295 m
CW = 0.15 x LD = 0.15 x 4832.158 = 724.824 m
SW = 0.05 x LD = 0.05 x 4832.158 = 241.608 m

4.4.4. Kemiringan runway


a. Kemiringan memanjang (longitudinal)
Dari tabel 4.6 didapatkan persyaratan dan kemiringan memanjang landasan
yang mengacu pada peraturan ICAO, kode angka 4 berdasarkan ARFL
diperoleh :

R. Muhammad Taufiq E1A1 13 050


Tugas Besar Perencanaan lapangan Terbang 2015
Tabel 4.11. Longitudinal slope runway

Code Letter
Uraian
4 3 2 1
Max. efektif slope 1,0 1,0 2,0 2,0
Max. longitudinal slope 1,25 1,5 2,0 2,0
Max. longitudinal change 1,5 1,5 2,0 2,0
Slope change per 30 m 0,1 0,2 0,4 0,4
(sumber : Manual of Standards (MOS) - Part 139 Aerodromes 2002)

b. Kemiringan melintang (transversal)


Berdasarkan tabel 4.12 Untuk kode runway C,D,E atau F memiliki kriteria :
- Kemiringan maksimum = 2%
- Kemiringan diinginkan = 1.5%
- Kemiringan minimum = 1%

Tabel 4.12. Transverse slope runway

Huruf kode (Code letter)


Uraian
A atau B C, D, E atau F
Kemiringan Maksimum 2.50% 2.00%
Kemiringan Diinginkan 2.00% 1.50%
Kemiringan Minimum 1.50% 1.00%

Catatan:
Standar ini tidak selalu dapat diterapkan pada persimpangan jalan dimana
disain yang dibuat dapat mensyaratkan adanya variasi terhadap standar.
(sumber : Manual of Standards (MOS) - Part 139 Aerodromes 2002)

4.5. Perencanaan Taxiway


Berdasarkan tabel jenis dan karakteristik pesawat, maka untuk jenis pesawat
Boeing B747-100 yang termasuk golongan 4E memiliki karakteristik sebagai berikut :
a. ARFL = 3506.5 m

b. Wingspan = 59.64 m
c. OMGWS = 12.12 m

R. Muhammad Taufiq E1A1 13 050


Tugas Besar Perencanaan lapangan Terbang 2015

d. Length = 70.40 m
e. Height = 19.58 m
f. MTOW = 340100 kg

g. Tire pressure = 1598.48 kPa

4.5.1. Jarak bebas tepi taxiway


Jarak bebas minimum (minimum clearance) pada perencanaan taxiway
berdasarkan tabel dibawah ini, yaitu sebesar 4.5 m.

Tabel 4.13. Jarak Bebas Minimum antara OMGWS pesawat dengan tepi taxiway
Code Clearance
letter
A 1.5 m
B 2.25 m
3 m if the taxiway is intended to be used by aeroplanes with a wheel base less
C than 18 m;

4.5 m if the taxiway is intended to be used by aeroplanes with a wheel base


equal to or greater than 18 m.

D 4.5 m

E 4.5 m
F 4.5 m

(sumber : ICAO – Annex 14 Vol.1 Aerodrome Design and Operations, 2009)

4.5.2. Lebar taxiway


Berdasarkan tabel 4.14, maka lebar taxiway untuk code letter E dan dengan outer
main gear wheel span 12,12 m adalah sebesar 23 m.

Tabel 4.14. Lebar minimum untuk bagian lurus (straight section) taxiway
Code Taxiway width
letter
A 7.5 m

B 10.5 m

15 m if the taxiway is intended to be used by aeroplanes with a wheel base less


C than 18 m

18 m if the taxiway is intended to be used by aeroplanes with a wheel base equal


to or greater than 18 m.

R. Muhammad Taufiq E1A1 13 050


Tugas Besar Perencanaan lapangan Terbang 2015

18 m if the taxiway is intended to be used by aeroplanes with an outer main gear


D wheel span of less than 9 m

23 m if the taxiway is intended to be used by aeroplanes with an outer main gear


wheel span equal to or greater than 9 m.
E 23 m
F 25 m

(sumber : ICAO – Annex 14 Vol.1 Aerodrome Design and Operations, 2009)

4.5.3. Kemiringan taxiway


Berdasarkan Annex 14 chapter 3.9.9 dan 3.9.10, jika huruf kode taxiway adalah
C, D, E atau F maka :
a. Kemiringan memanjang (longitudinal slope) di sepanjang seberang bagian dari
taxiway tidak boleh lebih dari 1.5%. Jika perubahan kemiringan tidak dapat
dihindarkan, maka tingkat perubahan tidak lebih dari 1% per 30 m (radius
minimum kelengkungannya 3000 m).
b. Kemiringan melintang (transverse slope) pada seberang bagian taxiway harus
memadai untuk mencegah pengakumulasian air dan tidak boleh kurang dari 1.0%
dan tidak boleh lebih dari 1.5%.

4.5.4. Jarak pandang taxiway


Garis pandang tak terhalang di sepanjang permukaan taxiway, dari suatu titik di
atas taxiway, tidak boleh kurang dari jarak yang ditentukan dengan menggunakan tabel
berikut :

Tabel 4.15. Standar untuk garis pandang taxiway


Huruf Kode Garis Pandang Minimum
(Code letter) (Minimum line of sight)

A 150 m dari 1.5 m di atas taxiway

B 200 m dari 2 m di atas taxiway


C, D, E atau F 300 m dari 3 m di atas taxiway

(sumber : Manual of Standards (MOS) - Part 139 Aerodromes 2002)

R. Muhammad Taufiq E1A1 13 050


Tugas Besar Perencanaan lapangan Terbang 2015

4.5.5. Jarak minimum pemisahan taxiway


Berdasarkan tabel jarak minimum pemisahan taxiway untuk kode runway 4E,
maka diperoleh jarak antara garis tengah taxiway dengan garis tengah runway
untuk tipe Instrument runways yaitu 182.5 m.
- Jarak antar garis tengah taxiway = 80 m
- Jarak taxiway terdekat dengan suatu benda = 47.5 m
- Jarak taxiway terdekat dengan bangunan = 42.5 m

Tabel 4.16. Jarak minimum pemisahan taxiway

(sumber : ICAO – Annex 14 Vol.1 Aerodrome Design and Operations, 2009)

4.5.6. Lebar bahu taxiway


Jika huruf kode taxiway adalah C, D, E atau F dan digunakan oleh pesawat jet
propelled, maka harus didukung oleh adanya bahu taxiway. Berdasarkan Lebar bahu
(taxiway shoulder) pada masing-masing sisi taxiway tidak boleh kurang dari untuk kode
taxiway adalah E — 10.5 m.

R. Muhammad Taufiq E1A1 13 050


Tugas Besar Perencanaan lapangan Terbang 2015

Berdasarkan Annex 14 untuk pesawat dengan code letter E dan code number 4 diperoleh:
- Lebar bahu dan taxiway = 44 m
- Lebar taxiway strip dari centre line = 47.5 m
- Grading of taxiway strips = 22 m
- Kemiringan melintang taxiway strip arah ke atas = 2.5%
- Kemiringan melintang taxiway strip arah bawah = 5%
- Radius turn-off kurva minimum = 550 m
- Kecepatan keluar dari kondiri basah = 93 km/jam
- Sudut antara runway dengan rapid exit taxiway = 30° (range 25° - 45°)

4.5.7. Exit taxiway


Lokasi exit taxiway ditentukan oleh titik sentuh pesawat dan kelakuan pesawat
saat mendarat pada landasan. Untuk menentukan jarak lokasi exit taxiway dari threshold
landasan, unsur – unsur dibawah ini harus diperhitungkan :
1) Kecepatan waktu touchdown (menyentuh landasan).
2) Kecepatan awal waktu sampai titik A, yaitu perpotongan garis singgung antara
landasan dan taxiway.
3) Jarak dari threshold sampai ke touchdown.
4) Jarak dari touchdown ke titik A.

Gambar 4.3. Penampang rapid exit taxiway

R. Muhammad Taufiq E1A1 13 050


Tugas Besar Perencanaan lapangan Terbang 2015

Gambar 4.4. Kecepatan saat berbelok di exit taxiway

Tabel 4.17. Klasifikasi pesawat untuk perencanaan exit taxiway

Design Group Kecepatan touchdown Pesawat


Bristol Freighter 170
I Kurang dari 167 km/jam DC - 3
(90 knot) DC - 4
F - 27
Bristol Britania
II Antara 169 - 222 km/jam DC - 6
(91-120 knot) F - 28 MK 100
Viscount 800
B - 707
B - 727
B - 737
Lebih dari 224 km/jam B - 747
III
Airbus
(121 knot) DC - 8
DC - 9
DC - 10
L - 1011
(sumber : Merancang dan merencana lapangan terbang, Heru Basuki, 1986)
Trident

Berdasarkan tabel diatas, untuk pesawat dengan tipe Boeing B747, termasuk dalam
group III, maka untuk kecepatan touchdown digunakan 225 km/jam = 62.5 m/dt.

R. Muhammad Taufiq E1A1 13 050


Tugas Besar Perencanaan lapangan Terbang 2015

Dalam perencanaan exit taxiway ini yang perlu diperhatikan adalah penentuan kecepatan
rencana dari pesawat terbang saat akan memasuki area sistem landasan penghubung.
Penentuan kecepatan rencana ini dapat dihitung dengan persamaan berikut :
𝑣= 125 × 𝑅 × 𝜇

Dimana :
v = kecepatan awal atau rencana dari pesawat saat akan memasuki taxiway
R = jari – jari tikungan pada sistem taxiway (berdasarkan tabel 4.18)
 = koefisien gesek antara ban dan struktur perkerasan = 0.13

Tabel 4.18. Dimensi fillet taxiway


Jari-jari fillet Jari-jari fillet
Panjang untuk untuk Jari-jari fillet
Code letter / Putaran
dari jugmental jugmental
untuk tracking
Penggolongan taxiway (R) peralihan oveerstering oveerstering
centre line (F)
pesawat (m) ke fillet (L) symetrical one side
(m)
(m) widening (F) widdening (F)
(m) (m)

A/I 22,5 15 18,75 18,75 18


B / II 22,5 15 17,75 17,75 16,5
C / III 30 45 20,4 18 16,5
D / IV 45 75 31,5 – 33 29 – 30 25
E/V 45 75 31,5 – 33 29 – 30 25
F / VI 45 75 31,5 – 33 29 – 30 25
(sumber : Peraturan Dirjen Perhubungan Udara SKEP/77/VI/2005)

Maka kecepatan awal saat meninggalkan landasan yaitu :


𝑣= 125 × 𝑅 × 𝜇

𝑣 = 125 × 45 × 0.13 = 𝟐𝟕 𝒎 𝒅𝒕

Jarak dari treshold ke lokasi exit taxiway = Jarak touchdown + D

Dimana :
(𝑆1)2 −(𝑆2)2
D = Jarak dari touchdown ke titik A = 2𝑎

S1 = Kecepatan touchdown (m/dt) = 62.5 m/dt


S2 = Kecepatan awal ketika meninggalkan landasan m/dt = 27 m/dt
a = Perlambatan m/dt2 = 1,5 m/dt

R. Muhammad Taufiq E1A1 13 050


Tugas Besar Perencanaan lapangan Terbang 2015

Perhitungan :
(𝑆1)2 − (𝑆2)2 (62.5)2 − (27)2
𝐷= = = 1059,083 𝑚 ≈ 1060 𝑚
2𝑎 2 × 1.5
Berdasarkan Peraturan Dirjen Perhubungan Udara SKEP/77/VI/2005 bahwa lokasi jalan
keluar pesawat (jarak touchdown) yaitu antara 450 m hingga 650 m. Jarak touchdown
yang digunakan yaitu 550 m.
Jarak dari threshold ke lokasi exit taxiway (S) = Jarak touchdown + D
= 550 + 1060
= 1610 m
Jarak lurus minimum setelah belokan sehingga pesawat dapat berhenti penuh sebelum
melalui persimpangan dengan pesawat lain adalah :

Tabel 4.19. Jarak lurus minimum setelah belokan taxiway


Code Penggolongan Pesawat Jarak Lurus Setelah Belokan (m)
Letter
A I 35
B II 35
C III 75
D IV 75
E V 75
F VI 75
(sumber : Peraturan Dirjen Perhubungan Udara SKEP/77/VI/2005)

Untuk perencanaan jari – jari fillet dapat berpedoman pada tabel dibawah ini sesuai
dengan penggolongan pesawat yang direncanakan.

Tabel 4.20. Jari – jari fillet

(sumber : Peraturan Dirjen Perhubungan Udara SKEP/77/VI/2005)

R. Muhammad Taufiq E1A1 13 050


Tugas Besar Perencanaan lapangan Terbang 2015

4.6. Perencanaan Apron


Apron merupakan tempat pesawat parkir yang konstruksinya sama dengan Runway
dan Taxiway. Apron berfungsi sebagai tempat naik dan turunnya penumpang atau barang
dari maupun ke pesawat.
Tempat pelataran parkir pesawat harus tidak melanggar pembatas rintangan yang
berada dipermukaan dan terutama didalam. Ukuran pelataran parkir pesawat harus cukup
untuk dapat melayani arus lalu lintas maksimum yang diperlukan.
Untuk perencanan apron, diambil nilai berdasarkan wingspan terlebar jenis pesawat
Airbus A330-200 dan length terpanjang jenis pesawat Boeing B747-100.
- Wing span = 60.30 m
- Panjang badan pesawat = 70.40 m
- Aerodrome ref. code = 4E

4.6.1. Dimensi apron


Berdasarkan Peraturan Dirjen Perhubungan Udara SKEP/77/VI/2005, dimensi
apron untuk satu pesawat dapat dilihat pada tabel berikut :

Tabel 4.21. Dimensi apron untuk satu pesawat

Dalam desain ini, digunakan kemiringan pada apron sebesar 0.8%.

R. Muhammad Taufiq E1A1 13 050


Tugas Besar Perencanaan lapangan Terbang 2015

4.6.2. Jarak bebas pesawat

Jarak bebas antar pesawat di Apron


Berdasarkan ICAO Annex 14, Aircraft parking position taxilane harus dipisahkan
dari seberang objek dengan jarak tidak kurang dari yang ditentukan dengan
menggunakan tabel berikut :

Tabel 4.22. Jarak bebas tepi aircraft parkir


Code Clearance
letter
A 3m
B 3m
C 4.5 m
D 7.5 m
E 7.5 m
F 7.5 m

Pada desain ini digunakan jarak bebas tepi pesawat parkir sebesar 10 m.

Sedangkan berdasarkan Peraturan Dirjen Perhubungan Udara SKEP/77/VI/2005, jarak


bebas antar pesawat di apron yaitu :

Tabel 4.23. Jarak bebas antar pesawat di apron

R. Muhammad Taufiq E1A1 13 050


Tugas Besar Perencanaan lapangan Terbang 2015

Jarak Bebas Pesawat dan Bangunan Terminal


Berdasarkan FAA Aiport Design 150-5300-13, pada konfigurasi push-out/power-
out jarak antara hidung pesawat dengan bangunan terminal sangat bervariasi antara 4,5
sampai 9 m atau lebih. Sehingga dalam desain ini digunakan jarak bebas 9 m.

Untuk merancang apron, perlu mencari jumlah pesawat pada jam sibuk per
harinnya, dimana dianggap 75% pesawat akan mengisi apron pada saat jam sibuk, untuk
perhitungannya sebagai berikut :
Jumlah pergerakan pesawat tahun 2020 = 10678 pesawat (lihat Tabel 4.2)
10678
Jumlah pesawat per hari = = 29.25
365

Jumlah pesawat pada saat jam sibuk = 75% × 29.25 = 21.94 ≈ 𝟐𝟐 pesawat

Akan direncanakan luas apron yang dibutuhkan untuk mengakomodasi 22 spand


pesawat terbesar. Maka luas apron yang dibutuhkan untuk satu pesawat dengan wingspan
terbesar yaitu :
A = (wing span + clearance) x (panjang badan pesawat + jarak bebas)

= (60.30 + 10) x (70.40 + 9 + 15)


= 6636.32 m2

R. Muhammad Taufiq E1A1 13 050


Tugas Besar Perencanaan lapangan Terbang 2015

9m

5m 5m

15 m

Gambar 4.5. Ilustrasi luas apron untuk satu pesawat

Maka luas apron direncanakan untuk 22 pesawat dengan berdasarkan wingspan


terlebar jenis pesawat Airbus A330-200 dan length terpanjang jenis pesawat Boeing
B747-100 dengan spesifikasi seperti yang telah dijelaskan diatas. Gambaran perencanaan
apron secara umum dapat melihat lampiran.

R. Muhammad Taufiq E1A1 13 050


Tugas Besar Perencanaan lapangan Terbang 2015

4.7. Perencanaan Terminal Building


Dalam desain ini akan merencanakan terminal building untuk mengakomodasikan
penumpang di tahun 2020 baik untuk domestik maupun internasional. Terminal building
yang direncanakan mencakup bangunan terminal untuk keberangkatan dan kedatangan
berdasarkan Peraturan Dirjen Perhubungan Udara SKEP/77/VI/2005.
Perkiraan jumlah penumpang di tahun 2020 yaitu :
a. Penumpang domestik = 117923 penumpang
b. Penumpang internasional = 308726 penumpang
Untuk mengetahui penumpang waktu sibuk digunakan faktor pengali berdasarkan tabel
berikut :

Tabel 4.24. Faktor pengali penumpang waktu sibuk

Luas existing Luas bangunan terminal yang digunakan bagi kegiatan


operasional, tidak termasuk fasilitas komersial/konsesi
Jumlah penumpang tahunan Faktor pengali (%)
(juta)
30 keatas 0.035
Penumpang
20 - 29.99 0.040
Waktu Sibuk 10 - 19.99 0.045
(PWS) 1 - 9.99 0.050
0.5 - 0.99 0.080
0.1 - 0.499 0.130
dibawah 0.1 0.200
2
Standar luas 14 m / PWS domestik
terminal 2
17 m / PWS internasional
(sumber : KM 44 Tahun 2002)

Berdasarkan tabel diatas, dapat hitung Penumpang Waktu Sibuk :


a. Domestik = 0,13 % x 117923 = 153.3 penumpang ≈ 154 penumpang
154
1) Keberangkatan = = 77 𝑝𝑒𝑛𝑢𝑚𝑝𝑎𝑛𝑔
2
154
2) Kedatangan = 77 𝑝𝑒𝑛𝑢𝑚𝑝𝑎𝑛𝑔
2
=

R. Muhammad Taufiq E1A1 13 050


Tugas Besar Perencanaan lapangan Terbang 2015

b. Internasional = 0,13 % x 308726 = 401.3 penumpang ≈ 402 penumpang


402
1) Keberangkatan = = 201 𝑝𝑒𝑛𝑢𝑚𝑝𝑎𝑛𝑔
2
402
2) Kedatangan = = 201 𝑝𝑒𝑛𝑢𝑚𝑝𝑎𝑛𝑔
2

Maka berdasarkan jumlah penumpang di waktu sibuk, dapat diketahui jumlah


penumpang transfer dan klasifikasi terminal menurut tabel berikut :

Tabel 4.25. Jumlah penumpang waktu sibuk

Penumpang Waktu Sibuk Jumlah Penumpang Transfer


(orang) (orang)
≥ 50 (terminal kecil) 10
101 – 500 (terminal sedang) 11 – 20
501 – 1500 (terminal menengah) 21 – 100
501 – 1500 (terminal besar) 101 – 300
(sumber : Peraturan Dirjen Perhubungan Udara SKEP/77/VI/2005)

Berdasarkan tabel diatas, terminal domestik dan terminal internasional termasuk


klasifikasi terminal sedang dengan jumlah penumpang transfer untuk terminal domestik
sebanyak 15 orang dan jumlah penumpang transfer untuk terminal internasional 18
orang.

4.7.1. Terminal keberangkatan


1. Kerb
Secara umum panjang kerb keberangkatan adalah panjang bagian depan yang
bersisian dengan jalan dari bangunan terminal tersebut. Penentuan lebar Kerb
pada terminal keberangkatan didasarkan pada tabel berikut :

Tabel 4.26. Lebar kerb standar

Penumpang waktu sibuk Lebar kerb minimal Panjang


(orang) (m) (m)
 100 5 Sepanjang Bangunan
 100 10 Terminal
(sumber : Peraturan Dirjen Perhubungan Udara SKEP/77/VI/2005)

R. Muhammad Taufiq E1A1 13 050


Tugas Besar Perencanaan lapangan Terbang 2015

Berdasarkan tabel diatas, dapat direncanakan lebar kerb untuk terminal :


a. Domestik = 5 m (jumlah penumpang 100)

b. Internasional = 10 m (jumlah penumpang 100)

2. Hall Keberangkatan
𝐴 = 0.75 × 𝑎 1 + 𝑓 + 𝑏 + 10
Dimana : A = luas hall keberangkatan (m2)
a = jumlah penumpang berangkat pada waktu sibuk
b = jumlah penumpang transfer
f = jumlah pengantar tiap penumpang (2 orang)

Maka dapat dihitung luas hall keberangkatan untuk terminal :


 Domestik
𝐴 = 0.75 × 𝑎 1 + 𝑓 + 𝑏 + 10
𝐴 = 0.75 × 77 1 + 2 + 15 + 10
𝐴 = 194.5 𝑚2 ≈ 𝟏𝟗𝟓 𝒎𝟐
 Internasional
𝐴 = 0.75 × 𝑎 1 + 𝑓 + 𝑏 + 10
𝐴 = 0.75 × 201 1 + 2 + 18 + 10
𝐴 = 475.75 𝑚2 ≈ 𝟒𝟕𝟔 𝒎𝟐

Tabel 4.27. Hasil Perhitungan Luas Hall Keberangkatan


2
Besar Terminal Luas Hall Keberangkatan (m )
Kecil 132
Sedang 133 – 265
Menengah 265 – 1320
Besar 1321 – 3960
(sumber : Peraturan Dirjen Perhubungan Udara SKEP/77/VI/2005)

Berdasarkan tabel luas hall keberangkatan diatas, dapat direncanakan besar terminal :
a. Domestik = Luas hall 195 m2, besar terminal sedang

b. Internasional = Luas hall 476 m2, besar terminal menengah

R. Muhammad Taufiq E1A1 13 050


3. Security Gate
Berdasarkan besarnya terminal, maka dapat diketahui jumlah security gate nya
dari tabel berikut :

Tabel 4.28. Hasil perhitungan kebutuhan Security Gate

Besar Terminal Jumlah Security Gate (unit)


Kecil 1
Sedang 1
Menengah 2-4
Besar 5
(sumber : SKEP/77/VI/2005)

Dari tabel kebutuhan security gate diatas, dapat direncanakan jumlahnya :


a. Domestik = jumlah security gate 1
b. Internasional = jumlah security gate 2

4. Ruang Tunggu Keberangkatan

Dapat dihitung luas ruang tunggu keberangkatan:


 Domestik
𝑢.𝑖+𝑣.𝑘
𝐴=𝐶− 𝑚2(+ 10%)
30
60 × 0.6 + 20 × 0.4
𝐴 = 77 − 𝑚2(+ 10%)
30
𝐴 = 𝟖𝟒 𝒎𝟐

R. Muhammad Taufiq E1A1 13 050


Tugas Besar Perencanaan lapangan Terbang 2015

 Internasional
𝑢.𝑖+𝑣.𝑘
𝐴=𝐶− 𝑚2(+ 10%)
30
60 × 0.6 + 20 × 0.4
𝐴 = 201 − 𝑚2(+ 10%)
30
𝐴 = 𝟐𝟐𝟎 𝒎𝟐

Tabel 4.29. Hasil perhitungan Luas Ruang Tunggu

Besar Terminal Jumlah Luas Ruang Tunggu


Kecil  75
Sedang 75 - 147
Menengah 147 - 734
Besar 734 - 2200
(sumber : SKEP/77/VI/2005)

Berdasarkan luas ruang tunggu keberangkatan, maka besarnya terminal :


a. Domestik = sedang dengan luas 84 m2
b. Internasional = menengah dengan luas 220 m2

5. Check in Area


Domestik
𝐴 = 0.25 × 𝑎 + 𝑏 𝑚2 (+10%)
𝐴 = 0.25 × 77 + 15 𝑚2 (+10%)
𝐴 = 𝟐𝟔 𝒎𝟐

Internasional
𝐴 = 0.25 × 𝑎 + 𝑏 𝑚2 (+10%)
𝐴 = 0.25 × 201 + 18 𝑚2 (+10%)
𝐴 = 𝟔𝟏 𝒎𝟐

R. Muhammad Taufiq E1A1 13 050


Tugas Besar Perencanaan lapangan Terbang 2015

Tabel 4.30. Hasil Perhitungan Luas Check-in Area

Besar Terminal Jumlah Luas Check-in Area


Kecil  16
Sedang 16 - 33
Menengah 34 - 165
Besar 166 - 495
(sumber : SKEP/77/VI/2005)

Berdasarkan luas check-in area keberangkatan, maka besarnya terminal :


a. Domestik = sedang dengan luas 26 m2
b. Internasional = menengah dengan luas 61 m2

6. Check in Counter

 Domestik
𝑎+𝑏
𝑁= × 𝑡1 𝑐𝑜𝑢𝑛𝑡𝑒𝑟 (+10%)
60
77 + 3
𝑁= × 2 (+10%)
60
𝑁 = 3 meja

 Internasional
𝑎+𝑏
𝑁= × 𝑡1 𝑐𝑜𝑢𝑛𝑡𝑒𝑟 (+10%)
60
201 + 4
𝑁= × 2 (+10%)
60
𝑁 = 8 meja

R. Muhammad Taufiq E1A1 13 050


Tugas Besar Perencanaan lapangan Terbang 2015
Tabel 4.31. Hasil Perhitungan Jumlah Check-in Counter

Besar Terminal Jumlah Check-in Counter


Kecil 3
Sedang 3-5
Menengah 5 - 22
Besar 22 - 66
(sumber : SKEP/77/VI/2005)

Berdasarkan jumlah check-in counter keberangkatan, maka besarnya terminal :


a. Domestik = sedang dengan jumlah 3 meja
b. Internasional = menengah dengan jumlah 8 meja

7. Timbang Bagasi
Jumlah timbangan sesuai dengan banyaknya jumlah check-in counter.
Berdasarkan jumlah check-in counter keberangkatan, maka besarnya terminal :
a. Domestik = 3 timbangan
b. Internasional = 8 timbangan
Timbangan di letakkan menyatu dengan check-in counter. Menggunakan
timbangan mekanikal maupun digital. Deviasi timbangan ± 2,5 %.

8. Fasilitas Custom Imigration Quarantine


Pemeriksaan passport diperlukan untuk terminal penumpang, keberangkatan
internasional/luar negeri serta pemeriksaan orang-orang yang masuk dalam daftar
cekal dari imigrasi.

R. Muhammad Taufiq E1A1 13 050


Tugas Besar Perencanaan lapangan Terbang 2015

( 𝑎 + 𝑏 ) × 𝑡2
𝑁= (+10%)
60
(201 + 18) × 0.5
𝑁= (+10%)
60
𝑁=3

Tabel 4.32. Hasil Perhitungan Jumlah Meja Pemeriksaan


Besar Terminal Jumlah Meja Pemeriksa
Kecil 1
Sedang 1–2
Menengah 2–6
Besar 6 – 17
(sumber : SKEP/77/VI/2005)

Berdasarkan jumlah meja pemeriksaan keberangkatan, maka besarnya terminal :


Internasional = menengah dengan jumlah 3 meja

9. People Mover System


Hanya diperlukan untuk bandara sibuk dengan dengan PWS ≥ 500 penumpang.

10. Rambu (Sign)


Warna untuk tiap rambu yang sejenis harus seragam :
a. Hijau untuk informasi penunjuk arah jalan : arah ke terminal keberangkatan,
terminal kedatangan.
b. Biru untuk penanda tempat pada indoor : toilet, telepon umum, restauran.
c. Kuning untuk penanda tempat outdoor : papan nama terminal keberangkatan.

11. Tempat Duduk

R. Muhammad Taufiq E1A1 13 050


Tugas Besar Perencanaan lapangan Terbang 2015

 Domestik
1
𝑁= 𝑎
3
1
𝑁= × 77
3
𝑁 = 26 𝑡𝑒𝑚𝑝𝑎𝑡 𝑑𝑢𝑑𝑢𝑘
 Internasional
1
𝑁= 𝑎
3
1
𝑁= × 201
3
𝑁 = 67 𝑡𝑒𝑚𝑝𝑎𝑡 𝑑𝑢𝑑𝑢𝑘

Tabel 4.33. Hasil Perhitungan Jumlah Tempat duduk

Besar Terminal Jumlah Tempat Duduk


Kecil  19
Sedang 20 - 37
Menengah 38 - 184
Besar 185 - 550
(sumber : SKEP/77/VI/2005)

Berdasarkan jumlah check-in counter keberangkatan, maka besarnya terminal :


a. Domestik = sedang dengan jumlah 26 tempat duduk
b. Internasional = menengah dengan jumlah 67 tempat duduk

12. Fasilitas Umum


Domestik
𝑁 = 𝑎 × 0.2 × 1𝑚2(+10%)
𝑁 = 77 × 0.2 × 1𝑚2 (+10%)
𝑁 = 17 𝑡𝑜𝑖𝑙𝑒𝑡
R. Muhammad Taufiq E1A1 13 050
Tugas Besar Perencanaan lapangan Terbang 2015

 Internasional
𝑁 = 𝑎 × 0.2 × 1𝑚2(+10%)
𝑁 = 201 × 0.2 × 1𝑚2 (+10%)
𝑁 = 45 𝑡𝑜𝑖𝑙𝑒𝑡

Tabel 4.34. Hasil Perhitungan Luas Toilet


2
Besar Terminal Luas Toilet (m )
Kecil 7
Sedang 7 – 14
Menengah 15 – 66
Besar 66 – 198
(sumber : SKEP/77/VI/2005)
Berdasarkan perhitungan luasan toilet, maka besarnya terminal domestik dan
internasional tergolong terminal menengah.

13. Penerangan Ruangan Terminal


Tabel 4.35. Standar Penerangan Ruangan Terminal

(sumber : SKEP/77/VI/2005)

14. Pengkondisian Udara


Tabel 4.36. Standar Pengkondisian Udara

(sumber : SKEP/77/VI/2005)

R. Muhammad Taufiq E1A1 13 050


Tugas Besar Perencanaan lapangan Terbang 2015

15. Lift dan Scalator


Tabel 4.37. Intensitas Penyinaran

(sumber : SKEP/77/VI/2005)

16. Gudang
Tabel 4.38. Standar Luas Gudang Peralatan/ Perawatan
Terminal 2
Jenis ruangan Luas ruangan (m )
2
Gudang peralatan/perawatan terminal 20 – 30 per 1.000 m terminal
(sumber : SKEP/77/VI/2005)

4.7.2. Terminal kedatangan


1. Baggage Conveyor Belt
Baggage conveyor belt tergantung dari jenis dan jumlah seat pesawat udara yang
dapat dilayani pada satu waktu. Idealnya satu baggage claim tidak melayani 2
pesawat udara pada saat yang bersamaan.
𝑃×𝑛 𝑃×𝑛
𝐿 = 60 𝑚𝑒𝑛𝑖𝑡 × 20 𝑚𝑒𝑛𝑖𝑡 = 3

dimana : L = panjang conveyor belt


ΣP = jumlah pesawat udara saat jam puncak
n = konstanta dari jenis pesawat udara dan jumlah seat
dengan ketentuan : L ≤ 12 m menggunakan tipe linier
L > 12 m menggunakan tipe circle
L ≤ 3 m menggunakan gravity roller

R. Muhammad Taufiq E1A1 13 050


Tugas Besar Perencanaan lapangan Terbang 2015

- Jumlah pesawat per hari pada Tahun 2020 :


𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎h 𝑝𝑒𝑠𝑎𝑤𝑎𝑡 𝑠𝑒𝑡𝑎h𝑢𝑛 𝑝𝑎𝑑𝑎 2020
=
365 h𝑎𝑟𝑖
10678 𝑝𝑒𝑠𝑎𝑤𝑎𝑡
= = 30 𝑝𝑒𝑠𝑎𝑤𝑎𝑡 /h𝑎𝑟𝑖
365 h𝑎𝑟𝑖

Pesawat yang beroperasi adalah 12 jam per hari, karena itu :


- Lama beroperasi pada jam sibuk = 75 % x 12 jam = 9 jam
- Lama beroperasi pada jam tidak sibuk = 12 jam - 9 jam = 3 jam
Maka Jumlah Pesawat Udara saat jam puncak ( ΣP) :
𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎𝑕 𝑝𝑒𝑠𝑎𝑤𝑎𝑡 𝑝𝑒𝑟𝑕𝑎𝑟𝑖
𝑃=
𝑃𝑒𝑠𝑎𝑤𝑎𝑡 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑏𝑒𝑟𝑜𝑝𝑒𝑟𝑎𝑠𝑖 𝑝𝑎𝑑𝑎 𝑗𝑎𝑚 𝑠𝑖𝑏𝑢𝑘
30 𝑝𝑒𝑠𝑎𝑤𝑎𝑡
𝑃=
9 𝑗𝑎𝑚
𝑃 = 4 Pesawat / jam

 Menentukan nilai Konstanta Jenis Pesawat Udara dan Jumlah Seat (n)

Tabel 4.39. Konstanta Jenis Pesawat Udara dan Jumlah Seat


Terminal Panjang Conveyor Belt
No Jenis Pesawat Udara Seat N Jenis Conveyor Belt
Minimum (m)

1 F27 – 30 52 8 3 Gravity roller


60 12 4 Linier

2 F28 –600 65 12 4 Linier


85 14 5

3 DC9 – 32 115 12 4 Linier


127 20 7

4 B737 – 200 86 14 5 Linier


125 20 7

5 DC10 – 40 295 40 14 Circle


310 48 16
6 408 55 19
B747 –300 Circle
561 60 20

(sumber : SKEP/77/VI/2005)

R. Muhammad Taufiq E1A1 13 050


Tugas Besar Perencanaan lapangan Terbang 2015

Karena jumlah kapasitas tempat duduk terbanyak pada pesawat B747-100 = 452
penumpang maka diambil n = 57 (range antara 55 – 60).
𝑃×𝑛
𝐿=
3
4 × 57
𝐿=
3
𝐿 = 76 m > 19 m
Maka, Baggage Conveyor Belt menggunakan tipe circle.

2. Baggage Claim Area


Domestik
C = jumlah penumpang datang domestik pada waktu sibuk = 77 penumpang
𝐴 = 0.9𝐶 (+10%)
𝐴 = 0.9 × 77 (+10%)
𝐴 = 77 𝑚2

Internasional
C = jumlah penumpang datang internasional pada waktu sibuk = 201 penumpang
𝐴 = 0.9𝐶 (+10%)
𝐴 = 0.9 × 201 (+10%)
𝐴 = 199 𝑚2

Tabel 4.40. Hasil Perhitungan Luas Baggage Claim2


Area
Terminal Luas Baggage Claim Area (m )
Kecil  50
Sedang 51 - 99
Menengah 100 - 495
Besar 496 - 1485

(sumber : SKEP/77/VI/2005)

R. Muhammad Taufiq E1A1 13 050


Tugas Besar Perencanaan lapangan Terbang 2015

Berdasarkan luas baggage claim area kedatangan, maka besarnya terminal :


a. Domestik = sedang dengan luas 77 m2
b. Internasional = menengah dengan luas 199 m2

3. Fasilitas Custom Imigration Quaratine

 Internasional
a = jumlah penumpang berangkat pada waktu sibuk = 210 penumpang
( 𝑎 + 𝑏 ) × 𝑡2
𝑁= (+10%)
60
(201 + 18) × 0.5
𝑁= (+10%)
60
𝑁=3

Tabel 4.41. Hasil perhitungan jumlah meja pemeriksaan

Besar Terminal Jumlah Meja Pemeriksa


Kecil 1
Sedang 1–2
Menengah 2–6
Besar 6 – 17
(sumber : SKEP/77/VI/2005)

Berdasarkan jumlah meja pemeriksaan keberangkatan, maka besarnya terminal :


Internasional = menengah dengan jumlah 3 meja

R. Muhammad Taufiq E1A1 13 050


Tugas Besar Perencanaan lapangan Terbang 2015

4. Hall Kedatangan

 Domestik
𝐴 = 0.375 𝑏 + 𝑐 + 2𝑐𝑓 (+10%)
𝐴 = 0.375 15 + 77 + (2 × 77 × 2) (+10%)
𝐴 = 165 𝑚2
 Internasional
𝐴 = 0.375 𝑏 + 𝑐 + 2𝑐𝑓 (+10%)
𝐴 = 0.375 18 + 201 + (2 × 201 × 2) (+10%)
𝐴 = 422 𝑚2

Tabel 4.42. Hasil perhitungan Luas Hall kedatangan


2
Terminal Luas Hall Kedatangan (m )
Kecil  108
Sedang 109 - 215
Menengah 216 - 1073
Besar 1074 - 3218
(sumber : SKEP/77/VI/2005)

Berdasarkan perhitungan luas hall kedatangan, maka besarnya terminal :


a. Domestik = sedang dengan luas 165 m2
b. Internasional = menengah dengan luas 422 m2

5. Kerb Kedatangan
Penentuan lebar Kerb pada terminal kedatangan didasarkan pada tabel berikut :

R. Muhammad Taufiq E1A1 13 050


Tugas Besar Perencanaan lapangan Terbang 2015

Tabel 4.43. Lebar kerb standar


Penumpang waktu sibuk Lebar kerb minimal Panjang
(orang) (m) (m)
 100 5 Sepanjang Bangunan
 100 10 Terminal
(sumber : Peraturan Dirjen Perhubungan Udara SKEP/77/VI/2005)

Berdasarkan tabel diatas, dapat direncanakan lebar kerb untuk terminal :


a. Domestik = 5 m (jumlah penumpang 100)

b. Internasional = 10 m (jumlah penumpang 100)

6. Rambu (Sign)
Rambu / graphic sign pada terminal kedatangan pada intinya sama dengan
terminal keberangkatan, yang membedakan hanya pada isi informasinya
(mengenai kedatangan).

7. Fasilitas umum/toilet
Jumlah toilet dibuat sama dengan terminal keberangkatan, yaitu :
a. Domestik = 17 toilet
b. Internasional = 45 toilet

8. Penerangan ruangan terminal


9. Pengkondisian udara
10. Lift dan scalator
11. Gudang
Untuk point 8 hingga 11 dirancang sama dengan terminal keberangkatan.

R. Muhammad Taufiq E1A1 13 050


Tugas Besar Perencanaan lapangan Terbang 2015

Berdasarkan hasil perhitungan, maka dapat dibuat rekapitulasi sebagai berikut :

Tabel 4.44. Rekapitulasi luasan terminal domestik


Rekapitulasi Luasan Terminal Domestik
Terminal Keberangkatan Terminal Kedatangan
Keterangan Luasan Keterangan Luasan
2 2
(m ) (m )
Hall keberangkatan 195 Baggage Claim 77
Area
Ruang tunggu keberangkatan 84 Hall Kedatangan 165
Check in Area 26
Total Luasan Awal 547
2 2
Gudang = 25 m per 1000 m 25
Total Luasan 572
(sumber : perhitungan)

Luasan terminal domestik hasil perhitungan = 572 m2


Standar luasan terminal domestik yaitu = 14 𝑚2 𝑃𝑊𝑆 × 154 = 2156 𝑚2
Maka, disini digunakan luasan standar untuk kebutuhan minimal.

Tabel 4.45. Rekapitulasi luasan terminal internasional


Rekapitulasi Luasan Terminal Internasional
Terminal Keberangkatan Terminal Kedatangan
Keterangan Luasan Keterangan Luasan
2 2
(m ) (m )
Hall keberangkatan 476 Baggage Claim 199
Area
Ruang tunggu keberangkatan 220 Hall Kedatangan 422
Check in Area 61
Total Luasan Awal 1378
2 2
Gudang = 25 m per 1000 m 50
Total Luasan 1428
(sumber : perhitungan)

Luasan terminal internasional hasil perhitungan = 1428 m2


Standar luasan terminal internasional yaitu = 17 𝑚2 𝑃𝑊𝑆 × 402 = 6834 𝑚2
Maka, disini digunakan luasan standar untuk kebutuhan minimal.

Total Luasan terminal = 2156 + 6834 = 8990 m2

R. Muhammad Taufiq E1A1 13 050


Tugas Besar Perencanaan lapangan Terbang 2015

4.8. Marking and lighting


4.8.1. Penandaan (Marking)

Macam-macam marking landasan sebagai alat bantu pendaratan navigasi sebagai


berikut:
1. Marka pre-runway end
Marka (marking) disebut juga pre-threshold area yang berupa garis strip kuning,
ditempatkan dengan jarak 30 m satu sama lain, terdiri dari garis-garis dengan lebar 0.9
m dan membentuk sudut 45 derajat terhadap garis tengah runway (runway centreline).
Marka (marking) tersebut harus berhenti di runway end marking.

pre-threshold area
threshold
09

7,5 m 7,5 m 1m

30 m 30 m 15 m

Gambar 4.6. Marka pre-runway end

2. Nomor Landasan
Nomor pengenal landasan ini ditempatkan pada ujung landasan yang terdiri dari
dua angka yang merupakan angka persepuluh terdekat dari utara magnetis dipandang
dari arah approach, ketika pesawat akan mendarat. Pada landasan sejajar harus
dilengkapi dengan huruf R, L atau C. Terdiri dari 2 nomor ditambah dengan huruf
pada ujung landasan (Ir. Heru basuki). Jarak dari runway designation markings ke
marking threshold 12 m dan besarnya ukuran nomor runway 9 m.

R. Muhammad Taufiq E1A1 13 050


Tugas Besar Perencanaan lapangan Terbang 2015

09

9m
12 m

Gambar 4.7. Runway designation markings

3. Marking Sumbu Landasan


Marka garis tengah runway (runway centreline marking) di tempatkan di
sepanjang sumbu landasan, berawal dan berakhir pada nomor landasan. Kecuali pada
landasan yang bersilangan, landasan yang lebih dominan, sumbunya menerus, dan
yang kurang dominan, sumbunya diputus. Panjang garis tidak boleh kurang dari 50 m
dan tidak lebih dari 75 m, dengan lebar strip 0.3 – 0.9 m. Dalam perencanaan
diperkirakan landasan yang dominan 50% dari panjang landasan, dan yang tidak
dominan 30 % dari panjang landasan yang tidak dicat, 20 % dari panjang landasan dan
marking sumbu dicat kuning.
Jika direncanakan landasan (runway) yang bersilangan, maka :
 Yang dominan = 50% × 𝑝𝑎𝑛𝑗𝑎𝑛𝑔 𝑟𝑢𝑛𝑤𝑎𝑦
= 50% × 3755 𝑚
= 1877.5 m
 Lebar strip = 0.9 m
 Luas = 1689.75 m2
= 0.9 x 1877.5

R. Muhammad Taufiq E1A1 13 050


Tugas Besar Perencanaan lapangan Terbang 2015

 Yang tidak dominan = 30% × 𝑝𝑎𝑛𝑗𝑎𝑛𝑔 𝑟𝑢𝑛𝑤𝑎𝑦


= 30% × 3755 𝑚
= 1126.5 m
 Lebar strip = 0.9 m
 Luas = 0.9 x 1126.5 = 1013.85 m 2
Dalam desain ini direncanakan runway satu arah, maka :
 Lebar strip = 0.9 m
 Panjang centerline marking = 30 m
 Jarak antar centerline strip = 20 m
 Panjang keseluruhan dari garis putih tidak boleh kurang dari 50 m dan tidak
boleh lebih dari 75 m, digunakan 50 m.
 Garis pertama diawali dari jarak 12 m dari nomor runway.
50 m
20 m 30 m

0,9 m 09
1,2 m

Gambar 4.8. Runway centreline markings

4. Marking Threshold
Threshold permanen, atau ditutup secara permanen, harus ditunjukkan dengan
menggunakan garis melintang putih sejauh 6 m dari ujung landasan dengan lebar 1,8
m yang merentang di sepanjang lebar runway pada lokasi threshold, dan tanda berupa
‗tuts piano‘ warna putih yang merupakan susunan garis putih disusun sejajar dengan
panjang masing – masing 30 m. Banyak strip tergantung lebar landasan pacu, seperti
tabel berikut :

R. Muhammad Taufiq E1A1 13 050


Tugas Besar Perencanaan lapangan Terbang 2015
Tabel 4.46. Jumlah strip berdasarkan lebar runway

Lebar Runway Lebar strip dan


Jumlah strip jarak antar strip
(m)
(m)
18 m 4 1.5
23 m 6 1.5
30 m 8 1.5
45 m 12 1.7
60 m 16 1.7
(sumber : ICAO – Annex 14 Vol.1 Aerodrome Design and Operations, 2009)

Dalam perencanaan untuk lebar runway 45 m, maka diambil jumlah strip


sebanyak 12 strip. Sehingga luasan yang akan dicat :
a. Threshold melintang = 60 × 1.8 = 108 𝑚2
b. Threshold memanjang = 12 × 30 × 1.8 = 648 𝑚2

6m marking threshold

09
6 2x
1,7
m
7

8 1,7
m
9

10
1,8
11 m

12

30 m

1,8 m

Gambar 4.9. Marka Runway Threshold

5. Marking Jarak tetap runway (Fixed Distance Marks)


Marking jarak tetap landasan atau fixed distance marks perlu dibuat pada runway
dengan perkerasan aspal yang memiliki lebar lebih dari 30 m dan panjang landasan
lebih dari 1500 m. Berbentuk segiempat dengan panjang 45 m yang tercetak simetris
di kanan dan kiri centerline landasan dimana marking ini berjarak 300 m dari
threshold, jika panjang runway kurang dari 1500 m maka marking ini berjarak 450 m
dari threshold (CASA – Chapter 7).

R. Muhammad Taufiq E1A1 13 050


Tugas Besar Perencanaan lapangan Terbang 2015

Adapun dimensi dari fixed distance marks yaitu :


 Lebar = 6 m untuk lebar runway 30 m
= 9 m untuk lebar runway 45 m
 Jarak antar runway fixed distance = 17 m untuk lebar runway 30 m
= 23 m untuk lebar runway 45 m

fixed distance marking

300 m
9m

23 m

09
Gambar 4.10. Marka Jarak tetap runway

6. Marking Touchdown Zone


Dipasang pada landasan dengan approach presisi tetapi bisa juga dipasang pada
landasan non presisi atau landasan non-instrument yang lebar landasannya lebih dari
23 m. Terdiri dari pasangan-pasangan berbentuk segiempat dikanan-kiri sumbu
landasan. Lebar 3 m dan panjang 22.5 m untuk strip-strip tunggal, sedangkan untuk
strip ganda ukuran 22.5 m x 1.8 m dengan jarak 1.5 m. Jarak satu sama lain 150 m
diawali dari threshold, banyaknya pasangan tergantung pada landasan.

Tabel 4.47. Jarak Marka Touchdown Zone

Panjang Banyaknya
Landasan Pasangan

< 900 m 1
900 – 1200 m 2
1200 – 1500 m 3
1500 – 2400 m 4
 2400 m 6
(sumber : Dirjen Perhubungan Udara, Standard Manual Bagian 139, 2004)

R. Muhammad Taufiq E1A1 13 050


Tugas Besar Perencanaan lapangan Terbang 2015

marking touchdown zone

150 m 150 m 150 m

22,5 m

09
Gambar 4.11. Marka Touchdown Zone

7. Marking Tepi Landasan ( Runway Side Strip Marking)


Merupakan garis lurus ditepi landasan, memanjang sepanjang landasan dengan
lebar strip 0.9 m bagi landsan yang lebarnya lebih dari 30 m atau dengan lebar strip
0.45 bagi landasan yang lebarnya lebih dari 30 m. Marking ini berfungsi sebagai
batas landasan. Terutama bila warna landasan hampir sama dengan shouldernya.

8. Marking taxiway
- Marking sumbu taxiway, sebagai garis pedoman dari sumbu landasan masuk ke
taxiway, berbentuk garis selebar 15 cm berwarna kuning.
- Marking posisi taxi holding (taxi holding position marking) sebagai tanda bahwa
taxiway akan berpotongan dengan landasan pesawat. Pesawat harus berhenti
disini sebelum mendapat perintah PLLU kelandasan masuk kelandasan.

9. Marking untuk area yang dibatasi


Landasan atau taxiway yang tidak digunakan dan ditutup untuk kegiatan lalu
lintas pesawat diberi tanda silang berwarna kuning.

10. Marking untuk objek tetap


Yang dimaksud objek tetap misalnya menara air, antenna, gedung/bangunan yang
diperkirakan menjadi halaman pada flight path harus diberi tanda yang mencolok,
misalnya diberi warna putih orange bergantian.

R. Muhammad Taufiq E1A1 13 050


Tugas Besar Perencanaan lapangan Terbang 2015

4.8.2. Perlampuan (Ligthing)


1. Penerangan Approach (Lighting Approach)
Ketika pilot akan mendarat terdapat penglihatan dengang rentang kemiringan
tertentu untuk memenuhi kemiringan rentang itu. Sinar-sinar lampu threshold
maupun lampu landasan belum memadai maka dibuatlah lampu-lampu yg memenuhi
rentang kemiringan tadi yang disebut Approach Light system.

2. Perlampuan Threshold
Ketika melakukan approach final untuk melakukan pendaratan pilot harus
membuat keputusan untuk melakukan pendaraatn atau membatalkannya karena
missed approach.

3. Perlampuan landasan
a. Lampu di tepi landasan
Untuk perencanaan perlampuan pada landasan dipasang tiap jarak 40 m dan
dipasang pada kiri dan kanan lapangan dengan menggunakan lampu mercury 100
watt. Banyak lampu untuk panjang landasan 3755 m.
2×3755
=
40
= 187.75 ≈ 188 buah lampu
b. Lampu sumbu landasan dan touch down zone landasan
Lampu ini dipasang sebagai usaha untuk menerangi daerah gelap ditengah
landasan tempat terletak sumbu, serta untuk memberi pedoman arah pada
visibility jelek. Direncanakan menggunakan lampu 5 watt dengan jarak 15 m,
maka diperlukan lampu sebanyak :
3755
n=
15
= 250.33 ≈ 251 buah lampu
Pada touch down zone setiap jarak 50 m, diketahui jumlah strip sebanyak :
3755
strip =
50
= 75.1 ≈ 76 strip
= 76 × 2 = 152 𝑠𝑡𝑟𝑖𝑝

R. Muhammad Taufiq E1A1 13 050


Tugas Besar Perencanaan lapangan Terbang 2015

Dalam 1 strip ada 3 buah lampu, maka jumlah yang diperlukan :


n = 152 × 3
= 456 buah lampu

4. Lampu Taxiway
- Jarak tiap lampu 60 m, maka banyaknya lampu taxiway adalah :
3755
n = 60
= 63 buah lampu
500
- Rapid taxiway = 50
= 10 buah lampu +
= 73 buah lampu

Angka 60 adalah jarak tiap lampu dan angka 500 adalah ketetapan jarak
sebelum membelok ke taxiway.

Di samping itu lampu hijau berjarak 29 m. Untuk taxiway berjarak 15 m untuk


rapid taxiway :
3755
 Taxiway = 29
= 130 buah lampu
500
 Rapid = = 34 buah lampu +
15

= 164 buah lampu

5. Visual Approach Slope Indicator ( VASI )


VASI merupakan alat bantu untuk mendapatkan ‖Glide Ptath” yang sesuai pada
kondisi cuaca relatif baik, sehingga memudahkan dalam menafsirkan ketinggian bagi
pesawat yang mendarat.Konfigurasi VASI.

R. Muhammad Taufiq E1A1 13 050


Tugas Besar Perencanaan lapangan Terbang 2015
Tabel 4.48. Konfigurasi VASI

Type Rentang VFR (nmi) Keterangan

VASI-16 5 Semua pesawat termasuk yg berbadan lebar

VASI-12 5 Semua pesawat kecuali berbadan lebar

VASI-6 4 Semua pesawat, pesawat lebar,turbo jet

Semua pesawat kecuali berbadan lebar


VASI-4 4
standar FAA 2 bar

VASI-2 3 Semua pesawat propeller


(Sumber : hal 258 Ir. H Basuki )

6. Runway End Identifier Lights (REIL)


REIL dipasang pada lapangan terbang yang tidak punya approach light, untuk
membantu pilot dalam mengenali pesawat secara visual dan mengetahui pasti ujung
landasan untuk approach.Sistemnya terdiri dari pasangan -pasangan lampu flash
putih yang sinkron, berlokasi didua sisi threshold landsan dan dimaksudkan dipakai
pada kondisi visibility yang memadai.

7. Instrument Landing system (ILS)


ILS adalah alat bantu radio untuk pendaratan pesawat dibawah kondisi cuaca
buruk / kurang menguntungkan dan visibility rendah. ILS akan memberikan
informasi mengenai jalur approach yang tepat dan sudut pendaratan yang tepat untuk
pendaratan kepada pilot.
Resume Lighting :
 Banyaknya lampu tergantung besar landasannya.
 Setiap landasan dan bangunan untuk landing dan take off harus menggunakan
lampu pada malam hari.
 Penempatan dan banyaknya lampu sesuai standar yang ada ( Ir. H Basuki ).

R. Muhammad Taufiq E1A1 13 050


Tugas Besar Perencanaan lapangan Terbang 2015

4.9. Perencanaan Perkerasan


Landasan pacu lapangan terbang yang direncanakan adalah untuk bisa melayani
berbagai jenis pesawat dengan berbagai tipe roda dan berat yang berbeda - beda dari jenis
- jenis pesawat. Untuk tanah dasar yang bisa distabilisir mencapai > 6% dapat
dipergunakan perkerasan kaku (rigid pavement) atau perkerasan lentur (flexible
pavement).
Perkerasan fleksibel terdiri dari:
a. Lapisan surface coarse dariaspal Hot Mix.
b. Lapisan pondasi atas (base)
c. Lapisan pondasi bawah (sub base)
d. Lapisan tanah dasar CBR 6%

4.9.1. Equivalent Wheel Load


Dari Sub Bab 4.1 diketahui pergerakan pesawat pada tahun 2020, yaitu:

Tabel 4.49. Pergerakan pesawat tahun 2020


Tahun
No Aircraft types
2020
1 Airbus
airbus A321-200 1571
airbus A330-200 1717
2 Boeing
B727-200 1199
B737-300 870
B747-100 531
3 Mc Donnell Douglas
DC8-63 1494
DC10-30 2061
4 Fokker
Fokker F28-2000 1235
Total = 10678

Dalam perencanaan lalulintas pesawat, perlengkapan harus melayani bermacam


– macam pesawat yang mempunyai tipe roda yang berbeda, pengaruh dari semua jenis
lalulintas harus dikonfigurasi kedalam pesawat rencana ini dengan equivalen annual

R. Muhammad Taufiq E1A1 13 050


Tugas Besar Perencanaan lapangan Terbang 2015

departure dari pesawat campuran, dari hal ini dipakai rumus konversi dari Robert Horeen
Jeof, yaitu:
1/2

Log R1= Log R2 


W 2
 W1
Dimana :
R1 = Equivalent annual departure pesawat rencana
R2 = Annual departure pesawat campuran yang dinyatakan dalam roda pesawat
rencana.
W1 = Beban roda pesawa trencana
W2 = Beban roda pesawat yang dinyatakan
W2 = 0,95 x MTOW x 1/n
n = jumlah roda
Maka diperoleh nilai W2 :
A321-200  W2 = 207014 x 0,95 x 1/4 = 49165.83 lb
A330-200  W2 = 513676 x 0,95 x 1/8 = 60999.03 lb
B727-200  W2 = 184800 x 0,95 x 1/4 = 43890 lb
B727-300  W2 = 139500 x 0,95 x 1/4 = 33131.25 lb
B747-100  W2 = 750000 x 0,95 x 1/16 = 44531.25 lb
DC8-63  W2 = 355000 x 0,95 x 1/8 = 42156.25 lb
DC10-30  W2 = 555000 x 0,95 x 1/8 = 65906.25 lb
Fokker F28-2000  W2 = 63876.65 x 0,95 x 1/2 = 30341.41 lb

Berat wheel load pesawat rencana (W1) diambil tipe pesawat pesawat terbanyak yaitu
DC10-30 dengan W2 = 65906.25 lb.
Dual gear departure (R2) dihitung dengan mengkonfigurasikan tipe roda pesawat rencana
DC10-30 yaitu Dual tandem gear.

R. Muhammad Taufiq E1A1 13 050


Tugas Besar Perencanaan lapangan Terbang 2015

R2 = Rn x Faktor pengali
Dimana faktor pengali dilihat pada tabel 6-6, Ir Heru Basuki, hal 295.

Tabel 4.50. Faktor Pengali


Konversi dari Ke Faktor pengali

Single Wheel Dual Wheel 0,8


Single Wheel Dual Tandem 0,5

Dual Wheel Dual Tandem 0,6

Double Dual Tandem Dual Tandem 1

Dual Tandem Single Wheel 2,0

Dual Tandem Dual Wheel 1,7

Dual Wheel Single Wheel 1,3

Double Dual Tandem Dual Wheel 1,7

Maka nilai R2:


A321-200  R2 = 1571 x 0.6 = 942.37
A330-200  R2 = 1717 x 1 = 1717.44
B727-200  R2 = 1199 x 0.6 = 719.48
B727-300  R2 = 870 x 0.6 = 521.75
B747-100  R2 = 531 x 1 = 531.17
DC8-63  R2 = 1494 x 1 = 1493.69
DC10-30  R2 = 2061 x 1 = 2061.04
Fokker F28-2000  R2 = 1235 x 0.5 = 617.47

Maka equivalen annual departure yaitu : 4622.93 (dari tabel 4.51)

R. Muhammad Taufiq E1A1 13 050


Tugas Besar Perencanaan lapangan Terbang 2015

Data CBR subgrade = 6 %


Data CBR Sub base = 20 %

Gambar 4.12. Grafik Menghitumg Tebal Perkerasan Fleksibel DC10-30

R. Muhammad Taufiq E1A1 13 050


Tugas Besar Perencanaan lapangan Terbang 2015

4.9.2. Tebal Perkerasan


a. Sub Grade
Merupakan tanah dasar yang perlu mendapatkan stabilitasi agar diperoleh keawetan
konstruksi selanjutnya yang dapat bertahan kurang lebih 20 tahun kemudian.
CBR sub grade = 6 %
Dari Grafik tebal perkerasan DC10-30 didapat total tebal perkerasan = 72 inch.
b. Sub Base
CBR = 20 %
Dari grafik diperoleh = 54 inch
Maka untuk tebal Sub Base = 72 𝑖𝑛𝑐𝑕 − 54 𝑖𝑛𝑐𝑕 = 18 𝑖𝑛𝑐𝑕
c. Tebal Surface
Untuk daerah kritis tebal Surface = 4 inch
d. Tebal Base Course = 54 𝑖𝑛𝑐𝑕 − 4 𝑖𝑛𝑐𝑕 = 50 𝑖𝑛𝑐𝑕
Sehingga diperoleh tebal perkerasan pavement tiap lapisan pada daerah kritis
adalah sebagai berikut:
Lapisan Surface = 4 inch
Lapisan Sub Base = 18 inch
Lapisan Base Course = 50 inch
Tebal lapisan untuk daerah non kritis dan pinggir adalah sebagai berikut:

Tabel 4.52. Tebal Lapisan Pada daerah kritis, non kritis, dan pinggir

Lapisan KRITIS (T) NON KRITIS (0,9 T) PINGGIR (0,7 T)


(Inchi) (Inchi) (Inchi)
SURFACE ASPAL 4 3 2
BASE COURSE 50 45 35
SUBBASE COURSE 18 16.2 12.6

R. Muhammad Taufiq E1A1 13 050


Tugas Besar Perencanaan lapangan Terbang 2015

Surface Course

Base Course

Subbase Course

Gambar 4.13. Tebal Lapisan pada Daerah Kritis

Surface Course

Base Course

Subbase Course

Gambar 4.14. Tebal Lapisan pada Daerah Non Kritis

R. Muhammad Taufiq E1A1 13 050


Tugas Besar Perencanaan lapangan Terbang 2015

Surface Course

Base Course

Subbase Course

Gambar 4.15. Tebal Lapisan pada Daerah Pinggir

4.9.3. Penstabilan Landasan


Material Subbase dan base course perlu diadakan stabilisasi untuk mendapatkan
lapisan yang lebih baik. Keuntungan lapisan yang di stabilisasikan terutama pada
perkerasan flexible, yaitu membagi tebal perkerasan yang didapat dari grafik dengan
faktor equivalent yang diberikan di bawah ini:

Tabel 4.53. Faktor Equivalent untuk lapisan subbase yang di stabilisasikan


Bahan Faktorequivalen

P-401 Bitumious Surface Course 1,7 - 2,3


P-201 Bitumious Base Course 1,7 - 2,3

P-215 Cold Laid Bitumious Base Course 1,5 - 1,7

P-216 Mixed In Place Base Course 1,5 - 1,7

P-304 Cement Treated Base Course 1,6 - 2,3

P-301 Soil Cement Base Course 1,5 - 2,0

P-209 Chrushed Aggregate Base Course 1,4 - 2,0

P-154 Sub Base Course 1,0

R. Muhammad Taufiq E1A1 13 050


Tugas Besar Perencanaan lapangan Terbang 2015


Faktor Equivalent untuk sub base course diambilbahan P-216, Mixed in Place
subbase course = 1,5
Maka tebal subbase yang di stabilisasikan yaitu :
18
Tebal Sub base coarse = 1.5 = 12 𝑖𝑛𝑐𝑕

Jadi, untuk ketebalan lapisan Sub Base setelah di stabilisasi dengan bahan P-216
menjadi 12 inch.

Tabel 4.54. Faktor Equivalent untuk lapisan Base yang di stabilisasikan


Bahan Faktorequivalen

P-401 Bitumious Surface Course 1,2 - 1,6


P-201 Bitumious Base Course 1,2 - 1,6

P-215 Cold Laid Bitumious Base Course 1,0 - 1,2

P-216 Mixed In Place Base Course 1,0 - 1,2

P-304 Cement Treated Base Course 1,2 - 1,6

P-301 Soil Cement Base Course Non Aplicable

P-209 Chrushed Aggregate Base Course 1,0

P-154 Sub Base Course Non Aplicable


Faktor Equivalent untuk Base Course diambilbahan P-201, Bitumious Base
Course = 1,4.
Maka tebal equivalen Base Course yang di stabilisasikan, yaitu :
50
Tebal Base Course = 1.4 = 35.7 𝑖𝑛𝑐𝑕

Total perkerasan dengan Sub Base dan Base Course yang di stabilisasikan
= 4 + 12 + 35.7 = 51.7 inch

R. Muhammad Taufiq E1A1 13 050


Tugas Besar Perencanaan lapangan Terbang 2015

Surface Course

Base Course

Subbase Course

Gambar 4.16. Tebal Lapisan yang distabilisasi

R. Muhammad Taufiq E1A1 13 050


Tugas Besar Perencanaan lapangan Terbang 2015

BAB V
PENUTUP

5.1. Kesimpulan
1. Dalam merancang dan merencanakan sebuah lapangan terbang perlu diketahui
terlebih dahulu data yang terdapat pada daerah dimana lapangan terbang akan
dibangun seperti data angin, attitude, suhu dan Lingkungan sekitar.
2. Dari perhitungan yang dilakukan di Bab sebelumnya didapat :
a. Panjang landasan pacu (runway) rencana yang dihitung dengan metode
ARFL adalah 4202 m.
b. Lebar landasan pacu (runway) adalah 45 m dengan lebar bahu masing -
masing sisinya 7.5 m.
c. Panjang clearway sebesar 1000 m dan lebarnya 150 m.
d. Panjang stopway yaitu 300 m dan lebarnya 60 m.
3. Tebal perkerasan yang digunakan dalam desain berdasarkan hitungan :
a. Surface Coarse = 4 inch
b. Base Coarse = 50 inch
c. Subbase Coarse = 18 inch

5.2. Saran
1. Sebuah lapangan terbang harus di desain sebaik mungkin demi kenyamanan dan
kepuasan seluruh pengguna jasa penerbangan.
2. Dalam merancang sebuah lapangan terbang kita juga harus memperhatikan faktor
- faktor sosial, ekonomi, politik dan budaya.

R. Muhammad Taufiq E1A1 13 050


Tugas Besar Perencanaan lapangan Terbang 2015

DAFTAR PUSTAKA

Basuki, Heru. 1986. Merancang, Merencana Lapangan Terbang. Bandung : Penerbit


Alumni.

CASA. 2002. Design Standards for Licensed Aerodromes and Manual of Standards for
Aerodrome, Part 139, chapter 7. Civil Aviation Safety Authority of the Australian
Government.

Direktorat Jendral Perhubungan Udara. 2004. Standar Manual, Bagian 139 – Aerodrome.
Jakarta.

FAA. 1989. Airport Design Vol.150/5300-13. United State : Federal Aviation


Administration.

ICAO. 2009. Annex 14, Volume 1 for Aerodrome Design and Operations. Montreal :
International Civil Aviation Organization.

Kepmen Perhubungan No. KM 44 Tahun 2002 tentang Tatanan Kebandarudaraan


Nasional.

Peraturan Direktur Jenderal Perhubungan Udara Nomor SKEP/77/VI/2005 tentang


Persyaratan Teknis Pengoperasian Fasilitas Teknik Bandar Udara.

Sartono, Wardani. 1992. Airport Engineering, pt.1: Geometric Design. Yogyakarta :


Literature.

Taufik, Hendra. & Sandhyavitri, Ari. 2010. Data Umum Bandara (diktat). Pekanbaru :
Universitas Riau.

Karakteristik pesawat. Available at : http://www.airliners.net/aircraft-data/

Airbus Aircraft Design Characteristics. 2012. Available at :


http://www.airbus.com/support/maintenance-engineering/technical-data/aircraft-
characteristics/

Boeing Aircraft Design Characteristics. 2012. Available at :


http://www.boeing.com/commercial/airports/plan_manuals.html

R. Muhammad Taufiq E1A1 13 050

Anda mungkin juga menyukai