Anda di halaman 1dari 19

BAB 4

PERENCANAAN RUNWAY DAN WINDROSE

4.1 Umum
Salah satu hal yang perlu diperhatikan dalam perencanaan bandar udara adalah
perencanaan runway yang memungkinkan di lokasi rencana pembangunan
berdasarkan hasil analisis arah dan kecepatan angin. Selain itu, besar kecilnya
kecepatan angin dominan akan mempengaruhi penetapan jenis pesawat yang
dapat dioperasikan di bandar udara tersebut.
Analisis arah angin (windrose analysis) merupakan hal yang sangat penting dalam
penentuan orientasi landas pacu (runway). Berdasarkan rekomendasi dari ICAO,
arah landas pacu sebuah bandar udara secara prinsip diupayakan harus searah
dengan arah angin dominan. Pada saat pesawat udara mendarat atau lepas landas,
pesawat udara dapat melakukan pergerakan diatas landas pacu sepanjang
komponen angin yang bertiup tegak lurus dengan bergeraknya pesawat udara
(cross wind) tidak berlebihan. Beberapa referensi ICAO dan FAA menyatakan
bahwa besarnya cross wind maksimum yang diperbolehkan bergantung pada jenis
dan ukuran pesawat yang beroperasi, susunan sayap dan kondisi permukaan
landas pacu.
Pada kondisi udara tenang (kecepatan angin 0 Mph), sebenarnya jarak landas pacu
standar sudah dapat ditentukan dengan Reference Field Length (ARFL). Dengan
data tersebut pada kondisi tanpa angin pesawat dapat terbang dengan normal.
Namun tidak mungkin bila penerbangan dilakukan hanya dengan menunggu
kondisi udara tenang. Tentunya terdapat angin dominan yang bertiup dalam area
landas pacu, hal itu akan mempengaruhi kemampuan pesawat dalam take off dan
landing. Karena pengaruh angin sangat besar sekali dalam suatu operasi pesawat
terbang, maka analisis arah angin (windrose analysis) harus direncanakan dan
diperhatikan dengan baik.
4.2 Perencanaan Runway
Berikut adalah data yang akan digunakan dalam perhtitungan untuk spesifikasi
runway.

Tabel 4.1 Spesifikasi Runway


Elevasi Runway 300 m
Temperatur Lokasi 20°C
Temperatur Standar 15°C
Slope Runway 0,10%
Design Aircraft Boeing 757-200
Annual Trafic Terminal 25000
Tata Letak Terminal Desentralisasi

Sedangkan spesifikasi pesawat yang digunakan ialah Boeing 757-200, sebagai


berikut :

Tabel 4.2 Design Aircraft Boeing 757-200


ARFL 2057 m
Wingspan 38,0 m
OMG 8,7 m
Kode Pesawat 4D

4.2.1 Panjang Runway


Dalam penentuan panjang runway diperlukan beberapa faktor koreksi, antara lain
faktor terhadap elevasi runway (Fe), faktor koreksi terhadap temperatur (Ft), dan
faktor koreksi terhadap kemiringan runway (Fs).
1. Faktor Koreksi Elevasi (Fe)
Koreksi panjang runway menurut data perencanaan yaitu dengan elevasi runway
rencana 300 m sehingga koreksi ARFL terhadap elevasi adalah :

eF = 1 + 0,07

Fe = 1,070

76
2. Faktor Koreksi Temperatur (Ft)
Berdasarkan data perencanaan, dengan temperatur lokasi bandara mencapai 20oC,
maka faktor koreksi terhadap temperatur adalah :
Ft = 1 + 0,01 (20 – (15 – 0,0065(300))
Ft = 1,070
3. Faktor Koreksi Kemiringan Runway (Fs)
Dengan kemiringan runway rencana sebesar 0,1%, maka faktor koreksi terhadap
kemiringan :
Fs = 1 + 0,1 (0,1)
Fs = 1,010

Berdasarkan Karakteristik Umum Pesawat Terbang yang dikeluarkan oleh ICAO


pada tahun 2008, pesawat Boeing 757-200 memiliki nilai ARFL 2057 m.
Sehingga panjang runway terkoreksi Lr0 dapat dihitung dengan menggunakan
rumus sebagai berikut :

77
ARFL =
Fs
Lr0 = ARFL × Fe × Ft × Fs
Lr0 = 2400,000 meter

4.2.2 Lebar Runway


Berdasarkan Tabel 2.1 pada Bab 2 mengenai Standar Lebar Runway, pesawat
Boeing 757-200 dengan kode pesawat 4D dapat diperoleh nilai lebar runway ialah
45 m.

4.2.3 Kemiringan Longitudinal Runway


Berdasarkan ketetapan ICAO, diperoleh bahwa kemiringan longitudinal runway
untuk pesawat kode angka 4 tidak boleh melebihi 1%.

4.2.4 Kemiringan Transversal Runway


Berdasarkan ketetapan ICAO, diperoleh bahwa kemiringan transversal runway
untuk pesawat kode huruf D idealnya ialah 1,5%.

78
4.2.5 Runway Shoulders
Runway shoulders untuk runway yang digunakan untuk pesawat berkode huruf D
lebarnya tidak kurang dari 60 meter. Kemiringan tranversalnya tidak boleh
melebihi 2,5%, sedangkan kemiringan longitudinalnya dibuat sama dengan
kemiringan runway.

4.2.6 Panjang Runway Strip


Strip dapat ditambahkan sebelum treshold dan setelah akhir dari runway dan
stopway dengan jarak minimum menurut ICAO ialah 60 m untuk pesawat dengan
kode angka 4.

4.2.7 Lebar Runway Strip


Strip dengan precission approach runway maupun dengan non-precission
approach runway dapat ditambahkan pada kedua sisi garis tengah maupun tengah
dari runway secara lateral dengan jarak minimum menurut ICAO ialah 150 m
untuk pesawat dengan kode angka 4.

4.2.8 Kemiringan Runway Strip


Kemiringan longitudinal dari runway strip menurut ICAO, tidak boleh melebihi
dari 1,5% untuk pesawat dengan kode angka 4. Sedangkan, kemiringan
transversal menurut ICAO, tidak boleh lebih dari 2,5% untuk pesawat dengan
kode angka 4.

4.2.9 Panjang RESA (Runway End Safety Area)


RESA dapat ditambahkan pada akhir runway strip yang panjangnya sesuai dengan
kebutuhan, tetapi tidak boleh kurang dari 90 m.

4.2.10 Lebar RESA (Runway End Safety Area)


Lebar RESA adalah dua kali lebar runway yaitu sebesar 90 m.

4.2.11 Kemiringan RESA (Runway End Safety Area)


Kemiringan longitudinal dan transversal dari RESA tidak boleh kurang dari 5%,
dan perubahannya harus perlahan.
4.2.12 Panjang Clearway
Panjang maksimum dari clearway adalah setengah dari panjang runway yang
digunakan untuk take-off run available (TORA). Dengan panjang runway
2400,000 meter, maka diperoleh panjang clearway ialah 1200,000 meter.

4.2.13 Lebar Clearway


Clearway ditambahkan secara lateral dengan jarak 75 m dari tiap sisi dan garis
tengah runway. Sehingga, lebar total antara runway dan clearway sama dengan
150 m.

4.2.14 Kemiringan Clearway


Kemiringan dari clearway tidak boleh lebih dari 1,25%.

4.2.15 Stopway
Panjang stopway yang biasa digunakan adalah 60 meter, dengan lebar sama
dengan lebar runway. Sedangkan, Kemiringan longitudinalnya adalah 1% dan
kemiringan transversalnya adalah 1,5%.

4.3 Perencanaan Decleares Distance


Decleares distance ini terdiri dari TORA, TODA, ASDA dan LDA. Berikut adalah
perhitungan yang diperoleh.
1. Take Off Run Available (TORA) TORA = Panjang runway
= 2400,000 meter
2. Take Off Distance Available (TODA) TODA = 1 ½ panjang TORA
= 1 ½ × 2400,000 meter
= 3600,000 meter
3. Accelerate Stop Distance Available (ASDA) ASDA = TORA + panjang
stopway
= 2400,000 + 60
= 2460,000 meter
4. Landing Distance Available (LDA)
LDA = panjang runway – panjang treshold
= 2400,000 – 150
= 2250,000 meter

4.4 Perencanaan Take Off Distance


Take off distance pada saat critical engine failure untuk desain diambil sebesar
panjang TODA, yaitu 3566,248 meter. Sedangkan, take-off distance pada saat all
engine operating untuk desain diambil sebesar 1,15 ASDA, yaitu 2803,123 meter.

4.5 Perencanaan Taxiway


Berdasarkan Tabel 2.2 pada Bab 2 mengenai clearance, diperoleh clearance
antara Outher Main Gear Wheel Span dengan tepi taxiway tidak boleh kurang dari
4,5 meter untuk pesawat kode huruf D.
Sedangkan lebar taxiway untuk pesawat kode huruf D diperoleh 18 meter jika
OMG pesawat yang akan menggunakannya < 9 m, dan 23 m jika OMG pesawat
yang akan menggunakannya  9 m. Pada perencanaan bandar udara kali ini
digunakan pesawat Boeing 757-200 dengan nilai OMG 8,7 meter, sehingga
diperoleh lebar taxiway 18 meter.
Kemiringan longitudinal taxiway menurut ICAO tidak boleh lebih dari 1,5%
untuk pesawat dengan kode huruf D. Sedangkan, kemiringan transversal dari
taxiway dipersiapkan untuk mencegah akumulasi air pada permukaan taxiway,
dimana besarnya tidak boleh lebih dari 1,5% untuk pesawat dengan kode huruf D.
Kedua sisi dari taxiway dapat diperlebar secara simetris sehingga jumlah lebar
antar taxiwayi dan shoulder tidak boleh kurang dari 38 m untuk pesawat dengan
kode huruf D.

4.6 Perencanaan Apron dan Terminal


Perencanaan apron dan terminal pada bandar udara mencakup perencanaan
jumlah pintu dan pesawat pada terminal, luas gate, luas apron, luas terminal, dan
luas area parkir.
4.6.1 Perencanaan Jumlah Pintu dan Pesawat pada Terminal
Diketahui :
Annual Trafic = 25000
Tata Letak Terminal = Desentralisasi Asumsi :
Jumlah hari per tahun = 365 hari
Waktu okupasi = 0,5 jam
Faktor penggunaan = 0,8 Jumlah jam pemakaian pesawat = 9
jam/hari

Tabel 4.3 Volume Jam Perencanaan


Waktu Volume Pesawat
9:30 8
10:30 6
11:30 9
12:30 5
13:30 10
14:30 8
15:30 6
16:30 8
17:30 8
Total 68

Daily Departure Graph


10
9
8
7
Volume Pesawat

6
5
4
3
2
1
0
9:30 10:30 11:30 12:30 13:30 14:30 15:30 16:30 17:30
Waktu

Gambar 4.1 Daily Departure Graph


Diperoleh :

Jumlah pesawat tiap jam = 25000


36510
= 6,849 ≈ 7 pesawat tiap jam

Jumlah pintu berdasarkan volume perencanaan =

= 4,375 ≈ 5 buah pintu

4.6.2 Perencanaan Luas Gate dan Luas Apron


Data yang diperlukan dalam perencanaan luas gate dan luas apron antara lain :
Panjang pesawat Boeing 757-200 = 47,3 m
Lebar pesawat (wingspan) Boeing 757-200 = 38,0 m Jarak
minimum pesawat yang parkir dengan suatu objek = 7,5 m Safety
factor = 1,75
Area kosong = 1 m2
Sehingga, diperoleh : Luas gate =D×L
= (clearance + wingspan) × (SF × panjang pesawat)
= (7,5 + 38,0) × (1,75 × 47,3)
= 3766,263 m2 ≈ 4000,000 m2
Luas apron = (jumlah gate × luas gate) + area kosong
= (5 × 3766,263) + 1000
= 19831,313 m2 ≈ 20000,000 m2

4.6.3 Perencanaan Luas Terminal dan Luas Area Parkir


1. Luas Terminal
Asumsi yang digunakan berupa perencanaan jangka panjang sehingga grafik yang
digunakan adalah Gambar 2.7.
Annual Traffic = 25000
Seating Capacity Boeing 757-200 = 228 (maksimum dari Tabel 3.6)
Annual Passenger = 25000 × 228 = 5700000
Jumlah Gate = 5 buah
Annual Passenger / Gate = 5700000 / 5 = 1140000
Annual Passenger / Gate yang didapat yaitu sebesar 1.140.000 lalu diplotkan ke
Gambar 2.7 sehingga diperoleh luas terminal per gate sebesar 12000 ft2 =
1114,836 m2.
Luas Terminal Total = (luas terminal / gate) × jumlah
gate
= 1114,836 m2 × 5
= 5574,182 m2 ≈ 5600,000
2. Luas Area Parkir
Perencanaan luas area parkir menggunakan grafik pada Gambar 2.9.
Annual Traffic = 25000
Seating Capacity Boeing 757-200 = 228 (maksimum dari Tabel 3.6)
Annual Passenger = 25000 × 228 = 5700000
Annual Passenger pada Gambar 2.9 hanya sampai 4000000 maka dilakukan
ekstrapolasi, yaitu = (5700000/4000000) × 4800 = 6840.
Sehingga diperoleh jumlah ruang parkir sebanyak 6840. 15% dari ruang pakir
= 15% × 6840 = 1026
Ruang Parkir Total = 6840 + 1026
= 7866
1 Ruang Parkir = 8 m2
Luas Ruang Parkir Total = 8 m2 × 7900
= 63200 m2
Metode lain yaitu penggunaan 1,5 kali dari jumlah penumpang pada saat jam
puncak.
Volume Jam Perencanaan = 8 pesawat
Seating Capacity Boeing 757-200 = 228 (maksimum dari Tabel 3.6)
Peak Hour Passenger = 8 × 228 = 1824
Peak Hour Passenger Total = 1,5 × 1824 = 2736
Dengan asumsi 100% penumpang diantar dengan kendaraan pribadi, maka : 1
Ruang Parkir Mobil = 4 × 2 = 8 m2
Luas Ruang Parkir Total = 8 m2 × 2736 = 21888 m2 ≈ 22000
m2
Jadi, dari kedua perhitungan yang telah dilakukan, maka luas ruang parkir yang
digunakan adalah sebesar 63200 m2.

4.7 Analisis Arah Angin (Windrose Analysis)


Penentuan arah landas pacu yang disyaratkan oleh ICAO adalah bahwa arah
landas pacu sebuah bandar udara harus diorientasikan sehingga pesawat udara
dapat mendarat dan lepas landas paling sedikit 95% dari seluruh komponen angin
yang bertiup. Untuk kategori pesawat angkutan dapat melakukan manuver pada
saat nilai cross wind 30 knot, tetapi ini sangat sulit dilakukan sebab dalam
perencaan lapangan terbang, nilai cross wind yang diambil adalah nilai terendah.
Untuk menentukan nilai orientasi yang tepat maka diperlukan data angin yang
bertiup di daerah tersebut. Data arah dan kecepatan angin dapat diperoleh dari
stasiun meteorologi terdekat dengan rencana lokasi bandara merupakan
pendekatan terbaik untuk mengetahui karakteristik dan pola arah angin di rencana
lokasi bandar udara.
Data tersebut didistribusikan terhadap masing-masing mata angin (N (North), E
(East), S (South), W (West)) dan sub-sub arah mata angin (NNE, NE, ENE, ESE,
SE, SSE, SSW, SW, WSW, WNW, NW, NNW). Pendistribusiannya dibagi
berdasarkan persentase dari ratio jumlah angin yang bertiup dalam arah tertentu
terhadap jumlah keseluruhan angin yang bertiup di daerah tersebut, dan terhadap
besarnya kecepatan angin yang bertiup (0-4, 4-15, 15-31, dan 31-47 mph).
Berdasarkan Annex 14, runway harus diorientasaikan hingga mencakup 95%
besar dan arah angin sehingga pesawat dapat mengudara dengan komponen cross
wind 20 knot (23 mph) untuk runway kategori A dan B, 13 knot (15 mph) untuk
runway kategori C dan 10 knot untuk runway kategori D dan E. Kategori setiap
runway ini tidak sama dengan nomor huruf pada kode pesawat (ARC). Kategori
untuk setiap runway bergantung kepada panjang runway atau ARFL, yang dapat
dilihat pada tabel berikut ini.
Tabel 4.4 Tabel Cross Wind
KODE MAKSIMUM
PANJANG RUNWAY
HURUF CROSS WIND
A X ≥ 2100 m 23 mph
B 1500 m ≤ x < 2100 m 23 mph
C 900 m ≤ x < 1500 m 15 mph
D 600 m ≤ x < 900 m 11,5 mph
E 600 m ≤ x < 900 m 11,5 mph

Setelah cross wind maksimum yang diizinkan dipilih, arah orientasi runway yang
terbaik berdasarkan arah tiupan angin dapat ditetapkan dengan menganalisa
karakteristik angin pada kondisi seperti di bawah ini :
a. Semua data angin tanpa memperhatikan halangan awan (cloud ceiling) hal
ini merepresentasikan batas jarak pandang dari yang terbaik hingga terburuk.
b. Kondisi angin pada saat halangan antara 61 m (200 ft) sampai 305 m (1000
ft) dan atau jarak pandang antara 0,8 km (1/2 mil) sampai 4,8 km (3 mil).
Merepresentasikan bermacam derajat jarak pandang terburuk yang dibutuhkan
oleh pesawat untuk mengudara.
Adalah sangat penting untuk mengetahui berapa besar tiupan angin pada saat
jarak pandang kita terbatas. Untuk keadaan normal, pada saat jarak pandang
sekitar 0,8 km dan ketinggian 61 m, angin sangat sedikit, jarak pandang akan
terhalang oleh kabut, embun, asap dan smog. Kadang kala jarak pandang bisa
sangat kurang walaupun tidak ada awan yang menghalangi. Hal ini terjadi karena
pandangan kita terhalang oleh asap, abu, kabut, embun dan partikel lain di udara.
Kriteria 95% direkomendasikan oleh ICAO yang berlaku untuk setiap kondisi
cuaca namun hal ini masih perlu dikaji dengan data yang tersedia. Misalkan pada
suatu daerah tidak ada orientasi yang mencangkup 95%, maka diambil adalah
orientasi yang mencangkup besar dan arah angin yang terbesar. Bila ada dua arah
orientasi yang besar cukupan arah dan besarnya hampir sama, maka jika
diperlukan kita dapat membangun dua runway, dimana arah orientasi yang
cakupannya terbesar dipakai sebagai runway
primer, sedangkan arah orientasi yang cukupannya sedikit lebih kecil dipakai
sebagai
runway sekunder.
Selain faktor arah dan kecepatan angin, arah landas pacu juga harus
memperhatikan faktor kondisi topografi tapak rencana bandar udara serta relief
rupabumi yang terlingkupi dalam kawasan keselamatan operasi penerbangan.
Utamanya kawasan ancangan pendaratan dan lepas landas harus bebas dari
penghalang (obstruction) berupa bentang alam, benda tumbuh atau bangunan fisik
buatan (tower, gedung, dan sebagainya.). Prosedur pengolahan data untuk analisis
windrose adalah sebagai berikut :
1. Melakukan evaluasi terhadap data (di Indonesia dilakukan oleh Badan
Meteorologi Klimatologi dan Geofisika) dalam hal tata cara pencatatan atau
pendataannya, untuk mengetahui perilaku dan karakteristik data yang akan diolah.
2. Melakukan pemilihan data yang akan dipakai untuk data terpakai.
3. Membagi masing-masing data ke dalam beberapa kecepatan sehingga
menjadi enam kelompok sesuai ketentuan ICAO, yaitu :
a. Kecepatan kurang dari 4 knot
b. Kecepatan antara empat hingga 10 knot
c. Kecepatan antara 10 hingga 13 knot
d. Kecepatan antara 13 hingga 20 knot
e. Kecepatan antara 20 hingga 40 knot, dan
f. Kecepatan lebih dari 40 knot.
Langkah selanjutnya setelah pembagian data dalam kelompok kecepatan angin
tersebut adalah sebagai berikut :
1. Membagi masing-masing data dalam setiap kelompok ke dalam arah angin
per 10 derajat untuk mengelompokkan data terhadap arah angin.
2. Membuat windrose arah angin terhadap kecepatan angin, sehingga
didapatkan sejumlah data untuk masing-masing arah dan kelompok kecepatan
tertentu.
3. Membuat windrose, terkait dengan persentase jumlah data terhadap arah
angin yang dominan.
Berdasarkan data dan metode pengolahan tersebut didapatkan besarnya persentase
arah angin yang dominan pada kecepatan angin yang telah ditentukan serta jumlah
frekuensi untuk masing-masing kecepatan tersebut. Persentase arah dan kecepatan
angin untuk operasi bandara dari hasil analisis windrose pada umumnya disajikan
dalam tabel terhitungan dan gambar windrose.
Contoh perhitungan arah runway untuk pesawat Boeing 757-200 yang masuk
dalam kategori A yaitu dengan ARFL terkoreksi 2057 m, crosswind 23 mph (dapat
dilihat pada Tabel 4.4) dan data kecepatan angin dapat dilihat pada Tabel 4.5.
Dengan melihat tabel hasil perhitungan tersebut kita dapat menentukan orientasi
runway, dengan melihat presentase yang terbesar dari semua arah mulai 0o – 180o.

Tabel 4.5 Data Angin


Persentase Angin
Arah Angin Total
4-15 mph 15-31 mph 31-47 mph
N 4,8 1,3 0,1 6,2
NNE 3,7 0,8 0,0 4,5
NE 1,5 0,1 0,0 1,6
ENE 2,3 0,3 0,0 2,6
E 2,4 0,4 0,0 2,8
ESE 5,0 1,1 0,0 6,1
SE 6,4 3,2 0,1 9,7
SSE 7,3 7,7 0,3 15,3
S 4,4 2,2 0,1 6,7
SSW 2,6 0,9 0,0 3,5
SW 1,6 0,1 0,0 1,7
WSW 3,1 0,4 0,0 3,5
W 1,9 0,3 0,0 2,2
WNW 5,8 2,6 0,2 8,6
NW 4,8 2,4 0,2 7,4
NNW 7,8 4,9 0,3 13,0
Tenang (%) 0-4 mil/jam 4,6
Total (%) 100,0
Dengan menggunakan data angin pada Tabel 4.5 di atas, maka dibuat gambar
windrose dan tabel perhitungan dengan arah derajat yang ditinjau masing-masing
per 10o. Perhitungan dilakukan hingga total persentase angin mencapai 95%. Pada
perencanaan bandar udara dengan data angin tersebut, diperoleh sudut angin
terbesar ialah pada arah sudut 130° dengan total persentase angin yang berhembus
sebesar 95,7%. Berikut adalah gambar windrose pada arah sudut 130° beserta
tabel persentase angin yang diperoleh.

Gambar 4.2 Windrose pada Arah Sudut 130°

Tabel 4.6 Tabel Perhitungan Windrose pada Arah Sudut 130°


Arah AnginN NNE NE ENE E ESE SE SSE S SSW SW WSW W WNW NW NNW
4-15 mph 4,8 3,7 1,5 2,3 2,4 5 6,4 7,3 4,4 2,6 1,6 3,1 1,9 5,8 4,8 7,8
15-31 mph0,6 0,1 0,1 0,1 0,3 1,1 3,2 7,7 1 0,1 0,1 0,1 0,2 2,6 2,4 4,9
31-47 mph0,1 0 0 0 0 0 0,1 0,2 0,1 0 0 0 0 0,2 0,2 0,2
Tenang (%) 4,6
Total (%) 95,7
4.8 Kesimpulan Karakteristik Fisik Aerodrome
Dari uraian dan perhitungan yang telah dilakukan mengenai perencanaan runway,
decleares distance, taxiway, apron dan terminal maka dapat dibuat sebuah
kesimpulan tentang karakteristik fisik aerodrome yang direncanakan. Berikut
adalah beberapa tabel yang kesimpulan karakteristik fisik aerodrome.

Tabel 4.7 Karakteristik Fisik Aerodrome


RUNWAY TAXIWAY
Panjang runway terkoreksi : 2400,000 m Rapid exit taxiway : 261-306 km/jam
Panjang treshold : 150 m Taxiway shoulder : 38 m
Lebar runway : 45 m APRON
Runway shoulder : 1 runway 7,5 m Jumlah gate apron : 5
Panjang clearway : 1200,000 m Luas gate : 4000,000 m2
Lebar clearway : 150 m Luas apron : 20000,000 m2
DECLEARES DISTANCE TERMINAL
TORA = panjang runway : 2400,000 m Annual traffic : 25000
TODA = Take off distance : 3600,000 m Annual passanger : 5700000
ASDA (TORA + stopway) : 3660,000 m Luas terminal : 5600,000 m2
LDA : 2250,000 m Luas parkir : 63200 m2
Panjang Treshold

Panjang Runway

Lebar Runway

Gambar 4.3 Runway

Gambar 4.4 Decleares Distance


Gambar 4.5 Taxiway

Jumlah Gate : 5 buah

Luas Gate : 4000,000 m2

Luas Apron : 20000,000 m2

Gambar 4.6 Apron

Anda mungkin juga menyukai