Anda di halaman 1dari 13

PERENCANAAN RUNWAY DAN WINDROSE

4.1 Umum
Pada perencanaan pelabuhan udara diperlukan perencanaan runway
yang didasari oleh hasil analisis arah dan kecepatan angin pada lokasi rencana.
Besar kecilnya kecepatan angin akan mempengaruhi penetapan jenis pesawat
yang dapat dioperasikan di bandar udara tersebut.
Analisis arah angin (windrose analysis) merupakan hal penting dalam
penentuan orientasi landas pacu (runway). Berdasarkan rekomendasi dari ICAO,
arah landas pacu sebuah bandar udara secara prinsip diupayakan searah
dengan arah angin dominan.  Diharapkan pada saat pesawat udara mendarat
atau lepas landas, pesawat udara dapat melakukan pergerakan diatas landas
pacu sepanjang komponen angin yang bertiup tegak lurus dengan bergeraknya
pesawat udara (cross wind) tidak berlebihan. Beberapa referensi ICAO dan FAA
menyatakan bahwa besarnya cross wind maksimum yang diperbolehkan
bergantung pada jenis dan ukuran pesawat yang beroperasi, susunan sayap dan
kondisi permukaan landas pacu.
Pada kondisi udara tenang (kecepatan angin 0 Mph), sebenarnya jarak
landas pacu standar sudah dapat ditentukan dengan Reference Field Length
(ARFL). Dengan data tersebut pada kondisi tanpa angin pesawat dapat terbang
dengan normal. Namun tidak mungkin bila penerbangan dilakukan hanya dengan
menunggu kondisi udara tenang. Tentunya terdapat angin dominan yang bertiup
dalam area landas pacu, hal itu akan mempengaruhi kemampuan pesawat dalam
take off dan landing. Karena pengaruh angin sangat besar sekali dalam suatu
operasi pesawat terbang, maka analisis arah angin (windrose analysis) harus
direncanakan dan diperhatikan dengan baik.

4.2 Perencanaan Runway


Dalam perencanaan pengembangan Bandar Udara Marinda Kabupaten
Raja Ampat, Papua direncanakan akan didarati oleh pesawat Airbus A310-200.
Berikut adalah data yang akan digunakan dalam perhitungan perencanaan
runway. Berikut ditampilkan data bandar udara marinda kabupaten raja ampat:
Tabel 1 Spesifikasi Runway
Elevasi Runway (H) 10 m
Temperatur Lokasi 27°C
Slope Runway 1,11%
Design Aircraft Airbus A310-200
Sumber : Aerodrome Design Manual, ICAO

Spesifikasi pesawat yang digunakan ialah Airbus A310-200, rincian


spesifikasi dapat dilihat sebagai berikut:
Tabel 2 Design Aircraft
ARFL 1860 m
Wingspan 43,9 m
OMG 10,9 m
Kode Pesawat 4D
Sumber : Aerodrome Design Manual, ICAO

4.2.1 Panjang Runway


Standar yang digunakan untuk perhitungan panjang landasan pacu
disebut Aeroplane Reference Field Length (ARFL). Perhitungan panjang runway
diperlukan beberapa faktor koreksi, antara lain faktor terhadap elevasi runway
(Fe), faktor koreksi terhadap temperatur (F t), dan faktor koreksi terhadap
kemiringan runway (Fs) sesuai dengan persyaratan ICAO.
1. Faktor Koreksi Elevasi (Fe)
Koreksi panjang runway menurut data perencanaan yaitu dengan
elevasi runway eksisting 10 m sehingga koreksi ARFL terhadap elevasi
adalah :
H
Fe = 1 + 0,07 ×
300
10
Fe = 1 + 0,07 ×
300
Fe = 1,00233
2. Faktor Koreksi Temperatur (Ft)
Berdasarkan data perencanaan, dengan temperatur lokasi bandara
mencapai 27oC, maka faktor koreksi terhadap temperatur adalah :
Ft = 1 + 0,01 (T – (15 – 0,0065(H))
Ft = 1 + 0,01 (27 – (15 – 0,0065(10))
Ft = 1,12065
3. Faktor Koreksi Kemiringan Runway (Fs)
Dengan kemiringan runway rencana sebesar 1,11%, maka faktor koreksi
terhadap kemiringan:
Fs = 1 + 0,1 (Slope)
Fs = 1 + 0,1 (1,11)
Fs = 1,111
Berdasarkan Karakteristik Umum Pesawat Terbang yang dikeluarkan oleh
ICAO pada tahun 2006, pesawat Airbus A310-200 memiliki nilai ARFL 1860 m.
Sehingga panjang runway terkoreksi Lr0 dapat dihitung dengan menggunakan
rumus sebagai berikut :
Lr 0
ARFL = Fe×Ft×Fs
Lr0 = ARFL × Fe × Ft × Fs
= 1860 × 1,00233 × 1,12065 × 1,111
= 2321,174 meter

4.2.2 Lebar Runway


Lebar runway ditentukan pada tabel standar lebar runway yang
didasarkan pada data pesawat rencana dan berpedoman pada persyaratan yang
dikeluarkan ICAO.
Tabel 3 Standar Lebar Runway
Code Code Letter
Number
A B C D E F
1a 18 m 18 m 23 m - - -
2a 23 m 23 m 30 m - - -
3 30 m 30 m 30 m 45 m - -
4 - - 45 m 45 m 45 m 60 m
a = lebar dari precision approach runway tidak boleh kurang dari 30 m
bila kode angka pesawat 1 atau 2
Sumber : Aerodrome Design Manual, ICAO
Berdasarkan Tabel 3 mengenai Standar Lebar Runway, pesawat Airbus
A310-200 dengan kode pesawat 4D dapat diperoleh lebar runway untuk
perencanaan sebesar 45 m.

4.2.3 Kemiringan Longitudinal Runway


Berdasarkan ketetapan ICAO, diperoleh bahwa kemiringan longitudinal
runway untuk pesawat kode angka 4 tidak boleh melebihi 1%.

4.2.4 Kemiringan Transversal Runway


Berdasarkan ketetapan ICAO, diperoleh bahwa kemiringan transversal
runway untuk pesawat kode huruf D idealnya ialah 1,5%.

4.2.5 Runway Shoulders


Runway shoulders untuk runway yang digunakan untuk pesawat berkode
huruf D lebarnya tidak kurang dari 60 meter. Kemiringan tranversalnya tidak
boleh melebihi 2,5%, sedangkan kemiringan longitudinalnya dibuat sama dengan
kemiringan runway.

4.2.6 Panjang Runway Strip


Strip dapat ditambahkan sebelum treshold dan setelah akhir dari runway
dan stopway dengan jarak minimum menurut ICAO ialah 60 m untuk pesawat
dengan kode angka 4.

4.2.7 Lebar Runway Strip


Strip dengan precission approach runway maupun dengan non-precission
approach runway dapat ditambahkan pada kedua sisi garis tengah maupun
tengah dari runway secara lateral dengan jarak minimum menurut ICAO ialah
150 m untuk pesawat dengan kode angka 4.

4.2.8 Kemiringan Runway Strip


Kemiringan longitudinal dari runway strip menurut ICAO, tidak boleh
melebihi dari 1,5% untuk pesawat dengan kode angka 4. Sedangkan,
kemiringan transversal menurut ICAO, tidak boleh lebih dari 2,5% untuk pesawat
dengan kode angka 4.

4.2.9 Panjang RESA (Runway End Safety Area)


RESA dapat ditambahkan pada akhir runway strip yang panjangnya
sesuai dengan kebutuhan, tetapi tidak boleh kurang dari 90 m.

4.2.10 Lebar RESA (Runway End Safety Area)


Lebar RESA adalah dua kali lebar runway yaitu sebesar 90 m.

4.2.11 Kemiringan RESA (Runway End Safety Area)


Kemiringan longitudinal dan transversal dari RESA tidak boleh kurang dari
5%, dan perubahannya harus perlahan.

4.2.12 Panjang Clearway


Panjang maksimum clearway adalah setengah dari panjang runway yang
digunakan untuk take-off run available (TORA). Dengan panjang runway
2321,174 meter, maka diperoleh panjang clearway ialah 1160,578 meter.

4.2.13 Lebar Clearway


Clearway ditambahkan secara lateral dengan jarak 75 m dari tiap sisi
terhadap garis tengah runway. Sehingga, lebar total antara runway dan clearway
sama dengan 150 m.

4.2.14 Kemiringan Clearway


Kemiringan dari clearway tidak boleh lebih dari 1,25%.

4.2.15 Stopway
Panjang stopway yang biasa digunakan adalah 60 meter, dengan lebar
sama dengan lebar runway. Sedangkan, Kemiringan longitudinalnya adalah 1%
dan kemiringan transversalnya adalah 1,5%.
4.2.16 Perencanaan Decleares Distance
Decleares distance ini terdiri dari TORA, TODA, ASDA dan LDA. Berikut
adalah perhitungan yang diperoleh.
1. Take Off Run Available (TORA)
TORA = Panjang runway
= 2321,174 meter
2. Take Off Distance Available (TODA)
TODA = 1 ½ panjang TORA
= 1 ½ × 2321,174 meter
= 3481,761 meter
3. Accelerate Stop Distance Available (ASDA)
ASDA = TORA + panjang stopway
= 2321,174 + 60
= 2381,174 meter
4. Landing Distance Available (LDA)
LDA = panjang runway – panjang treshold
= 2321,174 – 150
= 2171,174 meter

4.4 Perencanaan Take Off Distance


Take off distance pada saat critical engine failure untuk desain diambil
sebesar panjang TODA, yaitu 3481,761 meter. Sedangkan, take-off distance
pada saat all engine operating untuk desain diambil sebesar 1,15 ASDA, yaitu
2738,3501 meter.
4.5 Perencanaan Taxiway
Tabel 4 Clearance
KODE
CLEARANCE
HURUF
A 1,5 m
B 2,25 m
3 m jika wheel base pesawat yang akan digunakan < 18
C m
4 m jika wheel base pesawat yang digunakan  18 m
D 4,5 m
E 4,5 m
Sumber : Aerodrome Design Manual, ICAO bagian 6.3 Taxiways, hal 6-20

Berdasarkan Tabel 4 mengenai clearance, diperoleh clearance antara


Outher Main Gear Wheel Span dengan tepi taxiway tidak boleh kurang dari 4,5
meter untuk pesawat kode huruf D.
Sedangkan lebar taxiway untuk pesawat kode huruf D diperoleh 18 meter
jika OMG pesawat yang akan menggunakannya < 9 m, dan 23 m jika OMG
pesawat yang akan menggunakannya  9 m. Pada perencanaan bandar udara
kali ini digunakan pesawat Boeing 757-200 dengan nilai OMG 10,9 meter,
sehingga diperoleh lebar taxiway 23 meter.
Kemiringan longitudinal taxiway menurut ICAO tidak boleh lebih dari 1,5%
untuk pesawat dengan kode huruf D. Sedangkan, kemiringan transversal dari
taxiway dipersiapkan untuk mencegah akumulasi air pada permukaan taxiway,
dimana besarnya tidak boleh lebih dari 1,5% untuk pesawat dengan kode huruf
D.
Kedua sisi dari taxiway dapat diperlebar secara simetris sehingga jumlah
lebar antar taxiwayi dan shoulder tidak boleh kurang dari 38 m untuk pesawat
dengan kode huruf D.
4.6 Perencanaan Apron dan Terminal
Perencanaan apron dan terminal pada bandar udara mencakup
perencanaan jumlah pintu dan pesawat pada terminal, luas gate, luas apron, luas
terminal, dan luas area parkir.
4.6.1 Perencanaan Jumlah Pintu dan Pesawat pada Terminal
Diketahui :
Annual Trafic = 25000
Tata Letak Terminal = Desentralisasi
Asumsi :
Jumlah hari per tahun = 365 hari
Waktu okupasi = 0,5 jam
Faktor penggunaan = 0,8
Jumlah jam pemakaian pesawat= 9 jam/hari

Tabel 4.3 Volume Jam Perencanaan

Waktu Volume Pesawat


9:30 8
10:30 6
11:30 9
12:30 5
13:30 10
14:30 8
15:30 6
16:30 8
17:30 8
Total 68
Daily Departure Graph
10
9
8
7
Volume Pesawat

6
5
4
3
2
1
0
9:30 10:30 11:30 12:30 13:30 14:30 15:30 16:30 17:30
Waktu

Gambar 4.1 Daily Departure Graph

Diperoleh :

25000
Jumlah pesawat tiap jam = 365 × 10

= 6,849 ≈ 7 pesawat tiap jam


7×0,5
Jumlah pintu berdasarkan volume perencanaan = 0,8
= 4,375 ≈ 5 buah pintu

3.1.1 Perencanaan Luas Gate dan Luas Apron


Data yang diperlukan dalam perencanaan luas gate dan luas apron antara lain :
Panjang pesawat Boeing 757-200 = 47,3 m
Lebar pesawat (wingspan) Boeing 757-200 = 38,0 m
Jarak minimum pesawat yang parkir dengan suatu objek = 7,5 m
Safety factor = 1,75
Area kosong = 1 m2
Sehingga, diperoleh :
Luas gate =D×L
= (clearance + wingspan) × (SF × panjang pesawat)
= (7,5 + 38,0) × (1,75 × 47,3)
= 3766,263 m2
Luas apron = (jumlah gate × luas gate) + area kosong
= (5 × 3766,263) + 1000
= 19831,313 m2

3.1.2 Perencanaan Luas Terminal dan Luas Area Parkir


1. Luas Terminal
Asumsi yang digunakan berupa perencanaan jangka panjang sehingga
grafik yang digunakan adalah Gambar 2.7.

Annual Traffic = 25000

Seating Capacity Boeing 757-200 = 228 (maksimum dari Tabel 3.6)

Annual Passenger = 25000 × 228 = 5700000

Jumlah Gate = 5 buah

Annual Passenger / Gate = 5700000 / 5 = 1140000

Annual Passenger / Gate yang didapat yaitu sebesar 1.140.000 lalu


diplotkan ke Gambar 2.7 sehingga diperoleh luas terminal per gate sebesar
12000 ft2 = 1114,836 m2.

Luas Terminal Total = (luas terminal / gate) × jumlah gate

= 1114,836 m2 × 5

= 5574,182 m2

2. Luas Area Parkir


Perencanaan luas area parkir menggunakan grafik pada Gambar 2.9.

Annual Traffic = 25000

Seating Capacity Boeing 757-200 = 228 (maksimum dari Tabel 3.6)

Annual Passenger = 25000 × 228 = 5700000

Annual Passenger pada Gambar 2.9 hanya sampai 4000000 maka dilakukan
ekstrapolasi, yaitu = (5700000/4000000) × 4800 = 6840.

Sehingga diperoleh jumlah ruang parkir sebanyak 6840.


15% dari ruang pakir = 15% × 6840 = 1026

Ruang Parkir Total = 6840 + 1026

= 7866

1 Ruang Parkir = 8 m2

Luas Ruang Parkir Total = 8 m2 × 7866

= 62928 m2

Metode lain yaitu penggunaan 1,5 kali dari jumlah penumpang pada saat jam
puncak.

Volume Jam Perencanaan = 8 pesawat

Seating Capacity Boeing 757-200 = 228 (maksimum dari Tabel 3.6)

Peak Hour Passenger = 8 × 228 = 1824

Peak Hour Passenger Total = 1,5 × 1824 = 2736

Dengan asumsi 100% penumpang diantar dengan kendaraan pribadi, maka :

1 Ruang Parkir Mobil = 4 × 2 = 8 m2

Luas Ruang Parkir Total = 8 m2 × 2736 = 21888 m2

Jadi, dari kedua perhitungan yang telah dilakukan, maka luas ruang parkir
yang digunakan adalah sebesar 62928 m2.
3.2 Analisis Arah Angin (Windrose Analysis)
Penentuan arah landas pacu yang disyaratkan oleh ICAO adalah bahwa
arah landas pacu sebuah bandar udara harus diorientasikan sehingga pesawat
udara dapat mendarat dan lepas landas paling sedikit 95% dari seluruh
komponen angin yang bertiup. Untuk kategori pesawat angkutan dapat
melakukan manuver pada saat nilai cross wind 30 knot, tetapi ini sangat sulit
dilakukan sebab dalam perencaan lapangan terbang, nilai cross wind yang
diambil adalah nilai terendah.
Untuk menentukan nilai orientasi yang tepat maka diperlukan data angin
yang bertiup di daerah tersebut. Data arah dan kecepatan angin dapat diperoleh
dari stasiun meteorologi terdekat dengan rencana lokasi bandara merupakan
pendekatan terbaik untuk mengetahui karakteristik dan pola arah angin di
rencana lokasi bandar udara.
Data tersebut didistribusikan terhadap masing-masing mata angin (N
(North), E (East), S (South), W (West)) dan sub-sub arah mata angin (NNE, NE,
ENE, ESE, SE, SSE, SSW, SW, WSW, WNW, NW, NNW). Pendistribusiannya
dibagi berdasarkan persentase dari ratio jumlah angin yang bertiup dalam arah
tertentu terhadap jumlah keseluruhan angin yang bertiup di daerah tersebut, dan
terhadap besarnya kecepatan angin yang bertiup (0-4, 4-15, 15-31, dan 31-47
mph).
Berdasarkan Annex 14, runway harus diorientasaikan hingga mencakup
95% besar dan arah angin sehingga pesawat dapat mengudara dengan
komponen cross wind 20 knot (23 mph) untuk runway kategori A dan B, 13 knot
(15 mph) untuk runway kategori C dan 10 knot untuk runway kategori D dan E.
Kategori setiap runway ini tidak sama dengan nomor huruf pada kode pesawat
(ARC). Kategori untuk setiap runway bergantung kepada panjang runway atau
ARFL, yang dapat dilihat pada tabel berikut ini.

Anda mungkin juga menyukai