Anda di halaman 1dari 4

Bandung School 1

Apa yang Sebenarnya Nyata Mengenai Estetika? Mempertanyakan Keempirisisitasan


Nilai-Nilai Estetika dalam Persepsi terhadap Seni
Evelyne Urvanulchaer
170210150066

Esse est percipi, demikianlah bunyi diktum yang disampaikan oleh filsuf kenamaan
Irlandia, George Berkeley (1685-1753), sebagai jawaban atas pertanyaan mengenai
sifat-sifat realitas dan kebenaran yang hakiki. Bahwa segala sesuatu yang ada tidak lain
merupakan segala sesuatu yang dapat dirasakan (to be is to be perceived) melalui panca
indera. Respons tersebut merupakan salah satu perwujudan dari dua pandangan yang
memberikan solusi terhadap kegiatan bertanya yang dilakukan secara terus-menerus,
atau yang disebut juga sebagai skeptisisme. Kedua pandangan yang dimaksud adalah
rasionalisme dan empirisisme, serta yang dimaksud sebagai respons tersebut ialah
empirisisme, yakni kepercayaan bahwa pengalaman yang bersumber dari indera
merupakan sumber pengetahuan yang lebih reliabel jika dibandingkan dengan
pengetahuan yang bersumber dari ide-ide, proposisi-proposisi yang dibuat oleh akal
(rasionalisme).

Empirisisme, dalam kaitannya dengan kemampuan seseorang untuk melakukan


penginderaan terhadap sesuatu (perceiving something with senses), memiliki kontribusi
penting yakni membantu proses berpikir manusia dalam memahami gejala-gejala
alamiah maupun fenomena yang terjadi di dunia fisik atau dunia material. Namun
demikian, segala persepsi seseorang terhadap hal-hal yang bersifat material sekalipun
tidak akan dapat terlepas sepenuhnya dari pengaruh subjektivitas pihak-pihak yang
melakukan persepsi tersebut, sehingga pada umumnya penalaran induktif−penerapan
konkret dari empirisisme−cenderung kurang sistematis karena diperlukan pengolahan
lebih lanjut dari pengalaman-pengalaman yang ada menjadi suatu generalisasi yang
mencakup seluruh kumpulan subjektivitas dari masing-masing pihak yang melakukan
persepsi melalui penginderaannya, guna menghasilkan sebuah pengetahuan yang
“benar”.[1]
Pemikiran atas dasar ketentuan seperti demikian pun akhirnya membawa konsep
empirisisme kedalam sebuah konteks yang berbeda dari sekadar empirisisme yang
dipergunakan untuk mendapatkan pengetahuan yang bersifat praktis, menjadi
empirisisme yang berkaitan dengan segala bentuk apresiasi terhadap keindahan.
Aesthetic Empiricism, atau Empirisisme Estetis, merupakan sebuah derivat dari
empirisisme yang menitikberatkan penginderaan terhadap hal-hal yang memiliki
keindahan tertentu dengan tujuan untuk mengeneralisasikan pengalaman-pengalaman
yang bersifat estetis tersebut kedalam suatu cakupan “pengetahuan” yang, meskipun
banyak dipengaruhi oleh berbagai intersubjektivitas, diharapkan mampu menjadi sebuah
“pengetahuan” mengenai estetika yang bersifat reliabel dengan ciri-ciri khusus tertentu
yang membedakannya dari pengetahuan yang lain. Singkat kata, Empirisisme Estetis
merupakan bagian dari empirisisme yang mengaitkan pengalaman indera manusia
dengan segala hal yang berhubungan dengan keindahan.

Persepsi manusia mengenai seni, pada dasarnya merupakan akumulasi dari pengalaman-
pengalaman estetis seni yang bersumber dari penginderaan manusia. Meskipun seni
seringkali berwujud material, pemahaman atau pengalaman estetis yang diperoleh
melalui seni pada umumnya bersifat abstrak atau imaterial, serta dipengaruhi oleh
perasaan masing-masing individu. Istilah Empirisisme Estetis pertama kali
dikemukakan oleh Gregory Currie, yang kemudian menyatakan bahwa: “Batasan-
batasan estetis diatur oleh batasan-batasan penglihatan, pendengaran atau pemahaman
verbal, tergantung dari bentuk seni yang dipertanyakan… Hal-hal yang tidak dapat
dirasakan, melalui penginderaan seperti halnya demikian, merupakan hal-hal yang pada
kenyataannya tidak benar-benar memiliki estetika.”[2] Kendall Walton kemudian
menjelaskan bahwa pemeriksaan lebih lanjut terhadap sifat-sifat estetis (aesthetic
properties) pun harus dilaksanakan karena tidak seluruh pemahaman terhadap seni
dapat diperoleh secara begitu saja, namun terkadang memerlukan pemeriksaan yang
lebih dalam dan lebih menyeluruh untuk memunculkan perasaan estetis pada suatu
objek tertentu.[3] Hal-hal lainnya seperti asal-muasal, sumber, maupun aspek ekonomis
dari karya seni tersebut pada dasarnya tidak relevan untuk dipergunakan dalam
melakukan suatu empirisisme estetis. Pada intinya, penilaian estetis terhadap suatu
benda hanya dapat digali dari “benda itu sendiri”, dan bersumber dari pengamatan
terhadap kualitas-kualitas estetis tertentu pada suatu objek tertentu melalui persepsi
indera.[4]

Bagi masyarakat awam, nilai-nilai keestetisan suatu objek yang seharusnya murni
bersumber dari persepsi indera seringkali diasosiasikan secara keliru dengan nilai
sejarah atau nilai ekonomis yang dimiliki suatu objek tertentu. Dengan demikian dapat
dikatakan bahwa semakin tinggi nilai sejarah atau nilai ekonomis suatu objek, akan
dianggap semakin estetis pulalah objek tersebut. Contoh yang dapat kita amati adalah
kasus penemuan lukisan Van Dyck yang tidak sengaja diverifikasi keasliannya melalui
sebuah media online pada tahun 2013 silam.[5] Sebelumnya, lukisan tersebut justru
dianggap sebagai sebuah replika dan “disingkirkan” ke gudang salah satu museum di
Inggris karena dianggap tidak memiliki nilai sejarah dan ekonomis yang “sehebat”
lukisan aslinya. Bahkan, tidak jarang kemudian fungsi nilai-nilai estetis pun mulai
bergeser dari pemenuhan kepuasan batin menjadi sebuah refleksi dari kekayaan atau
status sosial yang dimiliki seseorang. Hal ini mengindikasikan terabaikannya nilai
estetis yang hakiki secara empiris, digantikan dengan pandangan estetis yang secara
keliru berorientasi terhadap nilai sejarah dan ekonomis dari suatu objek. Sebagai
akibatnya, kebenaran dalam keestetisan suatu objek menjadi dipertanyakan: Apakah
estetika masih memiliki ruang tersendiri di dalam dunia yang serba menilai setiap objek
berdasarkan nilai material tertentu?

Dengan meletakkan dua objek yang wujud fisiknya sama−misalnya lukisan Van Dyck,
yang satu asli dan yang satu lagi replika dalam suatu tempat yang sama−kita dapat
membayangkan sebuah skenario eksperimen sosial untuk menguji “permasalahan nilai”
tersebut. Melalui empirisisme, orang akan melihat kedua karya tersebut dengan hanya
menggunakan penginderaannya secara langsung tanpa memiliki prasangka apapun yang
dapat mempengaruhi penilaian yang bersifat melebih-lebihkan konsepsi-konsepsi
konstektual tertentu pada suatu karya sementara mengesampingkan nilai-nilai estetis
yang ada pada karya yang lainnya. Pada akhirnya, esensi dari penilaian estetika pun
akan semakin terdegradasi dari intensi awalnya yang bertujuan untuk mengapresiasi dan
memberikan penilaian estetis yang “murni” terhadap suatu objek terutama karya seni.[6]
Untuk itulah, keberadaan Empirisisme Estetis menjadi begitu penting dalam
menekankan penggunaan indera sebagai satu-satunya cara persepsi terhadap hal-hal
yang berkaitan dengan estetika. Seperti George Berkeley, kita harus mulai
merekonstruksi pemikiran kita melalui empirisisme. Sebab, di dunia yang penuh dengan
imaterialisme ini, tidak ada ancaman yang lebih nyata dibandingkan dengan hilangnya
persepsi: dan ketika hal itu terjadi, maka tak akan ada lagi yang tersisa di dunia selain
kehampaan.

Referensi
[1] Suriasumantri, J. (2009). Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer. Jakarta: Pustaka
Sinar Harapan.
[2] Lamarque, P. (2010). Work and Object: Explorations in the Metaphysics of Art.
OUP Oxford.
[3] Ibid.
[4] Davies, D. (2004). Art as Performance. Oxford: Blackwell.
[5] BBC. (2013, March 9). Van Dyck painting 'found online'. Retrieved from BBC
News: http://www.bbc.com/news/entertainment-arts-21712209.
[6] Kieran, M. (2005). Contemporary Debates in Aesthetics and The Philosophy of Art.
Oxford: Blackwell.

Anda mungkin juga menyukai