Sindrom Batang Otak
Sindrom Batang Otak
Batang otak (brainstem) adalah struktur padat dengan nuklei saraf kranial, fasikula saraf
dan traktus asenden dan desenden yang sama-sama saling berdampingan. Bahkan suatu lesi
tunggal relatif kecilpun hampir selalu merusak beberapa nukleus, pusat refleks, traktus atau jaras.
Batang otak berada di bagian paling kaudal otak dan terletak pada tulang tengkorak yang
memanjang sampai ke tulang punggung atau sum-sum tulang belakang. Bagian ini mengatur
fungsi dasar manusia seperti mengatur pernapasan, denyut jantung, pencernaan, insting terhadap
bahaya dan sebagainya. 1
a) Mesensefalon : fungsi untuk mengontrol otak besar dan otak kecil, berfungsi
mengatur penglihatan seperti lensa mata, pupil mata dan kornea.
b) Pons : fungsi untuk mengontrol apakah kita sedang terjaga atau tertidur.
c) Medulla oblongata : fungsi untuk mengatur sirkulasi darah, denyut jantung,
pernapasan dan pencernaan.
Batang otak mengandung banyak jaras serabut, termasuk semua jaras asendens dan
desendens yang menghubungkan otak dengan perifer. Beberapa jaras ini menyilang garis tengah
ketika melewati batang otak dan beberapa di antaranya membentuk sinaps sebelum melanjutkan
perjalanan di sepanjang jarasnya. Terdapat banyak nuklei di batang otak yaitu:
Hampir seluruh batang otak diliputi jaringan difus neuron yang tersusun padat (formasio
retikularis) yang mengandung pusat regulasi otonomik yang penting untuk berbagai fungsi tubuh
vital, termasuk aktivitas jantung, sirkulasi dan respirasi. Formasio retikularis juga mengirimkan
impuls pengaktivasi ke korteks serebri yang dibutuhkan untuk mempertahankan kesadaran. Jaras
desendens dari formasio retikularis mempengaruhi aktivitas neuron motorik spinal. Karena
batang otak mengandung berbagai macam nuklei dan jaras saraf pada ruang yang sangat padat,
bahkan lesi yang kecil pada batang otak dapat menimbulkan berbagai tipe defisit neurologis
secara simultan (seperti pada berbagai sindroma vaskular batang-otak).1
3
Anatomi suplai darah pada batang otak
4
Gambar 3. Anatomi suplai darah pada medulla oblongata.
Arteri vertebralis timbul dari arteri subklavia dan ketika mereka melewati foramina
costotransverse dari C6 ke C2. Mereka memasuki tengkorak melalui foramen magnum dan
bergabung di persimpangan pontomedullary untuk membentuk arteri basilar. Setiap arteri
vertebralis biasanya bercabang menjadi arteri serebelar posterior inferior (PICA). Di bagian atas
pons, arteri basilari terbagi menjadi 2 arteri serebral posterior.
Arteri basilaris bercabang menjadi arteri sereblar superior yang memasok bagian lateral
pons dan otak tengah, serta permukaan superior dari otak kecil. Otak kecil dipasok oleh arteri
sirkumfleksan, arteri serebelar anterior inferior dan arteri superior sereblar dari arteri basilar.
Medulla diperdarahi oleh PICA dan cabang kecil dari arteri vertebralis. Pons diperdarahi oleh
cabang-cabang dari arteri basilaris. PCA memperdarahi otak tengah, thalamus dan korteks
oksipital.
Perfusi inadekuat untuk region batang otak tertentu dapat terjadi secara transien (misalnya,
iskemia transien pada subclavian steal syndrome) atau permanen yang menyebabkan nekrosis
jaringan, misalnya infark batang otak.
5
Kelumpuhan piramidalis akibat lesi di batang otak merupakan gejala bagian dari sindroma
batang otak yang dapat diperinci diantaranya:
Terdapat juga sindrom dari saraf kranilis, yaitu: Sindrom Horner dan Sindrom Kavernosa.
BAB II PEMBAHASAN
6
SINDROM BATANG OTAK
Definisi: Sindrom Weber merupakan suatu kumpulan gejala klinis dan tanda yang meliputi
kelumpuhan nervus okulomotorius (N.III) ipsilateral, hemiparesis spastik kontralateral, rigiditas
parkinsonism kontralateral (substansia nigra), distaksia kontralateral (traktus kortikopontis) serta
adanya defisit saraf kranialis yang kemungkinan disebabkan adanya gangguan pada persarafan
supranuklear pada nervus VII, IX, X dan XII.3
Etiologi:
a) Penyumbatan pada pembuluh darah cabang samping yang berinduk pada ramus
perforantes medialis arteria basilaris. Oklusi ramus interpendikularis arteri serebri
posterior dan arteri khoroidalis posterior.
b) Insufisiensi perdarahan yang mengakibatkan lesi pada batang otak.
c) Lesi yang disebabkan oleh proses neoplasmatik sebagai akibat invasi dari thalamus atau
serebelum. Lesi neoplasmatik sukar sekali memperlihatkan keseragaman oleh karena
prosesnya berupa pinealoma, glioblastoma dan spongioblastoma dari serebelum.
Penyebab yang jarang adalah tumor (glioma).
d) Lesi yang merusak bagian medial pedunkulus serebri.
e) Stroke (hemoragik atau infark) di pedunkulus serebri.
f) Hematoma epiduralis.
Manifestasi Klinis:
Lesi ini biasanya bersifat unilateral dan mempengaruhi beberapa struktur dalam otak tengah.3,4
7
dapat terjadi, sehingga lesi neoplasmatik sukar sekalai memperlihatkan suatu keseragaman. Lesi
unilateral di mesensefalon mengakibatkan timbulnya hemiparesis atau hemiparesis kontralateral.
Lesi yang merusak bagian medial pedunkulus serebri akan menimbulkan hemiparesis yang
disertai paresis nervus okulomotorius ipsilateral dengan pupil yang berdilatasi dan terfiksasi.
Kombinasi kedua jenis kelumpuhan ini dikenal dengan nama hemiparesis alternans nervus
okulomotorius atau sindroma dari Weber. Lesi pada daerah fasikulus longitudinalis medialis
akan mengakibatkan timbulnya hemiparesis alternans nervus okulomotorius (N.III) yang diiringi
juga dengan gejala yang dinamakan oftalmoplegia internuklearis.3
Diagnosa :
Diagnosa Sindrom Weber dapat ditegakkan dengan melakukan anmnesis tentang riwayat
penyakit, termasuk juga riwayat keluhan berapa lama keluhan sudah dirasakan dan apakah
keluhan tersebut terjadi pada satu sisi atau dua sisi. Pemeriksaan saraf biasanya dapat dilakukan
dan sangat membantu untuk menentukan adanya Sindrom Weber. Pemeriksaan nervus
okulomotorius (nervus III) biasanya dilakukan bersama-sama dengan pemeriksaan nervus
troklearis (nervus IV) dan nervus abdusen (nervus VI).3
Refleks cahaya langsung → cahaya diarahkan pada satu pupil; reaksi yang tampa
adalah kontraksi pupil homolateral
Refleks cahaya tidak langsung → cahaya diarahkan pada satu pupil; reaksi yang dilihat
adalah
Refleks akomodasi-konvergensi → Pasien diminta melihat jauh kemudian melihat ke tangan
pemeriksan yang diletakkan 30cm di depan hidung pasien.
Pada saat melihat tangan pemeriksa, kedua bola mata
pasien bergerak secara konvergensi (kearah nasal) dan
tampak pupil mengecil. Refleks ini negatif pada
kerusakan saraf simpatikus leher.
Refles siliospinal (refleks nyeri) → Refleksi reaksi nyeri dilakukan dalam ruangan dengan
8
penerangan yang samar-samar. Dengan cara merangsang
nyeri pada daerah leher dan sebagai reaksi pupil akan
melebar pada sisi ipsilateral. Refleks ini terjadi bila ada
benda asing pada kornea atau intraokuler atau pada cedera
mata/ pelipis.
Refleks okulosensorik → Refleks nyeri ini adalah terjadinya konstriksi atau dilatasi
disusul konstriksi, sebagai respons rangsang nyeri di
daerah mata atau sekitarnya.
Patofisiologi
Sindrom Benedickt terjadi bila salah satu cabang dari rami perforantes para medial arteri
basilaris yang tersumbat maka infark akan ditemukan di daerah yang mencakup 2/3 bagian
lateral pedunkulus serebri dan daerah nucleus ruber. Maka hemiparesis alternans yang ringan
sekali saja disertai oleh hemiparesis ringan nervus III akan tetapi dilengkapi juga dengan adanya
gerakan involunter pada lengan dan tungkai yang paretik ringan (di sisi kontralateral) itu.
Sindrom Benedict terjadi jika lesi menduduki kawasan nukleus ruber sesisi yang ikut
rusak bersama-sama radiks nervus okulomotorius ialah neuron-neuron dan serabut-serabut yang
tergolong dalam susunan ekstrapiramidal. Pada sindrom ini, lesi pada area nucleus ruber
memotong saraf fasikuler dari nervus III pada saat mereka melewati otak tengah bagian ventral,
9
beberapa lesi menyebabkan kelumpuhan okulomotorius, dengan hiperkinesia kontralateral
(tremor, khorea, atetosis). 1,2
Sindrom Benedict merupakan hasil dari penggabungan dan pelunakan fasikuler dari satu
nervus okulomotorius pada region nukleus ruber ipsilateral. Maka pasien akan mengalami
kelumpuhan nervus III tipe perifer dengan diskinesia (hiperkinesia dan ataksia) kontralateral dan
tremor yang menetap pada lengan. Sindrom Benedickt adalah bila pada otak tengah tingkat
kerusakan sampai di nukleus ruber atau di fasikulus nervus III akan menyebabkan kelumpuhan
pada nervus III yang komplit atau parsial. Kerusakan sampai pada nukleur ruber (diluar dari sisi
lain hemisfer serebelum) juga akan menyebabkan tremor kontralateral.
Etiologi
Adanya lesi pada nukleus ruber dan nervus okulomotorius karena oklusi pada ramus
interpedunkularis arteri basilaris atau arteri serebri posterior atau keduanya pada otak tengah,
trauma atau tumor. 1,2
Manifestasi klinis
Kelumpuhan nervus III ipsilateral dengan midrasis dan terfiksasi (gangguan serabut
radiks nervus III)
Gangguan sensasi raba, posisi dan getar kontralateral
Gangguan diskriminasi dua titik (keterlibatan lemnikus medialis dan traktus spino
talamikus)4
Hiperkinesia kontralateral (tremor, khorea, atetosis), akinesia kontralateral
Rigiditas kontralateral (substansia nigra)
10
Gambar 4. Letak lesi pada sindrom Weber dan Benedict.
Definisi : hemiplegia alternans akibat lesi di pons adalah selamanya kelumpuhan UMN yang
melibatkan belahan tubuh sisi kontralateral, yang berada dibawah tingkat lesi yang berkombinasi
dengan kelumpuhan LMN pada otot-otot yang disarafi oleh nervus VI atau nervus VII.1,2
Etiologi
Sindrom ini terjadi disebabkan oklusi ramus interpedunkularis arteri basilaris dan arteri
serebri posterior. Sindrom Millard Gubler dan sindrom Foville termasuk juga ke dalam bagian
dari sindrom hemiplegia alternans pons. Sindrom ini disebabkan akibat terbentuknya suatu lesi
vaskuler yang bersifat unilateral. Selaras dengan pola percabangan arteri-arteri, maka lesi
vaskular di pons dapat dibagi ke dalam:
Lesi paramedian akibat penyumbatan salah satu cabang dari rami perforantes medialis a.
basilaris
Lesi lateral, yang sesuai dengan kawasan perdarahan cabang sirkumferens yang pendek
Lesi di tegmentum bagian rostral pons akibat penyumbatan a. serebeli superior
Lesi di tegmentum bagian kaudal pons, yang seesuai dengan kawasan perdarahan
sirkumferens yang panjang.
Penyumbatan parsial terhadap salah satu cabang dari rami perforantes medialis arteri
basilaris sering disusul oleh terjadinya lesi-lesi paramedian. Jika lesi paramedian itu bersifat
unilateral dan luas adanya, maka jaras kortikobulbar atau kortikospinal berikut dengan inti-inti
pes pontis serta serabut-serabut pontoserebelar akan terusak. Tegmentum pontis tidak terlibat
dalam lesi tersebut.1,2,4
Manifestasi klinik
Tabel 5. Pada sindrom Foville, lesi mengenai bagian dorsal pons sehingga menyebabkan:
11
Struktur yang terlibat Efek klinis
Tabel 6. Pada sindrom Millard- Gubler, lesi mengenai bagian ventral pons dan menyebabkan:
Struktur yang terlibat Efek klinis
12
Gambar 5: Sindrom Foville- Millard Gubler
Manifestasi berupa penyumbatan parsial terhadap cabang dari rami perforantes medialis
arteri basilaris seperti itu akan menimbulkan gejala berupa hemiplegia yang bersifat
kontralateral, yang pada lengan bersifat lebih berat ketimbang pada tungkai. Jika lesi paramedian
13
itu terjadi secara bilateral, maka kelumpuhan seperti yang telah diuraikan tadi akan terjadi pada
kedua sisi bagian tubuh. Namun jika lesi paramedian terletak pada bagian kaudal pons, maka
akar nervus abdusens juga akan ikut terlibat. Maka dari itu pada sisi lesi terdapat kelumpuhan
LMN musculus rektus lateralis, yang membangkitkan strabismus konvergens ipsilateral dan
kelumpuhan UMN yang melanda belahan tubuh kontralateral, yang mencakup lengan tungkai
sisi kontralteral berikut dengan otot-otot yang disarafi oleh nervus VII, nervus IX, nervus X,
nervus XI dan nervus XII sisi kontralateral. Gambaran penyakit inilah yang dikenal sebagai
sindrom hemiplegi alternans nervus abdusens.
Selain itu dapat juga terjadi suatu lesi unilateral di pes pontis yang meluas ke samping,
sehingga melibatkan juga daerah yang dilalui n.fasialis. Sindrom hemiplegia alternans padamana
pada sisi ipsilateral terdapat kelupuhan LMN, yang melanda otot-otot yang disarafi n.abdusens
dan n.fasialis yang disebut sebagai Sindrom Millard Gubler. Jika serabut-serabut kortikobulbar
untuk nukleus n.VI ikut terlibat dalam lesi, maka ‘deviation conjugee’ mengiringi sindrom
Millard Gubler. Kelumpuhan bola mata yang konjugat itu dikenal juga sebagai Sindrom Foville,
sehingga hemiplegia alternans nervus abdusens et fasialis yang disertai sindrom Foville itu
disebut sebagai Sindrom Foville – Millard Gubler.1,2,4
Etiologi
Sindrom ini terjadi disebabkan oleh oklusi cabang arteri basilaris (ramus
sirkumferensialis longus dan brevis).4
Gambaran klinis yang dapat ditemukan adalah kelumpuhan nuclear abdusen dan fasialis
ipsilateral, nistagmus (fasikulus longitudinalis medialis), paresis tatapan kearah sisi lesi;
hemiataksia dan asinergia ipsilateral (pedunkulus serebralis medialis); analgesia dan
termanestesia kontralateral (traktus spinotalamikus lateralis); hipestesia dan gangguan sensasi
posisi dan getar sisi kontralateral (lemniskus medialis); mioritmia palatum dan faring ipsilateral
(traktus tegmentalis sentralis).
14
Manifestasi klinis
Etiologi
Sindrom ini terjadi disebabkan oklusi ramus sirkumferensialis longus arteri basilaris dan
arteri serebelaris superior.4
Gambaran klinis yang dapat ditemukan adalah hilangnya sensasi wajah ipsilateral
(gangguan semua serabut nervus trigeminus) dan paralisis otot-otot pengunyah (nucleus motorius
nervus trigeminus), hemiataksia, intention tremor, adiadokokinesia (pedunkulus serebelaris
superior); gangguan semua modalitas sensorik kontralateral.
Manifestasi klinis
15
Gambar 7. Sindrom tegmentum pontis orale
Lemnikus medialis Gangguan sensasi raba, getar, dan posisi separuh tubuh
kontralateral
Ataksia
Traktus kortikonuklearis Kelumpuhan n. fasialis, n. glosofaringeus, n. vagus, n.
16
hipoglosus
Etiologi
Sindrom ini muncul akibat dari oklusi ramus sirkumferensialis longus arteri basilaris dan
arteri serebelaris superior. 1,2
Manifestasi klinis
Gambaran klinis adalah hemianestesi semua modalitas sensorik ipsilateral, paralisis flasid
otot pengunyah ipsilateral, hemiataksia, intention termor, adiadokokinesi, disatria sereblar dan
hemiparesis spastik kontralateral.4
17
Radiks n. trigeminus Hemianestesia semua modalitas sensorik ipsilateral
Definisi : Sindroma Wallenberg atau memiliki nama lain Sindroma medula lateral atau Sindroma
arteri cerebelar posterior inferior (PICA syndrome) merupakan suatu penyakit dimana pasien
memiliki gejala neurologis dengan onset yang mendadak disebabkan oklusi atau embolisme di
teritori arteria inferior posterior atau arteria vertebralis. Adanya oklusi ini menyebabkan
terjadinya infark pada bagian lateral dari medula oblongata. Oklusi sering berasal dari arteri
vertebralis yang merupakan ibu cabang dari arteri serebeli posterior inferior. Hal ini sering
disebabkan oleh trauma pada leher, contoh kegiatan ciropractic, yoga dan trauma kepala leher.
Arteri vertebralis melintas di sepanjang leher sebelum masuk ke dalam kepala dan bercabang
menjadi arteri cerebeli posterior inferior. 6,7
Patofisiologi
18
kecil dan melingkar bernama lakuna dimana dapat muncul soliter ataupun multiple di daerah
subkorteks dan batang otak. 1,2,4
Lipohyalinosis melemahkan dinding pembuluh darah dan pada penderita hipertensi
rupturnya arteri dapat terjadi dan menyebabkan hemoragik fokal. Hampir seluruh perdarahan
intraserebral berasal dari rupturnya arteri kecil yang merupakan penghubung.
Karena didapatkannya kedekatan secara anatomi antara arteri vertebral dan servikal,
maka bentuk-bentuk manipulasi pada leher dapat mencederai arteri vertebral di leher dan
akhirnya membentuk oklusi dari trauma yang ditimbulkan tersebut. Oklusi emboli dari sistem
vertebrobasilar tidaklah umum terjadi. 6,7
Plak aterotrombotik yang terjadi pada pembuluh darah ekstrakranial dapat lisis akibat
mekanisme fibrinotik pada dinding arteri dan darah, yang menyebabkan terbentuknya emboli,
yang akan menyumblat arteri yang lebih kecil, distal dari pembuluh darah tersebut. Trombus
dalam pembuluh darah juga dapat terjadi akibat kerusakan atau ulserasi endotel, sehingga plak
menjadi tidak stabil dan mudah lepas membentuk emboli. Emboli dapat menyebabkan
penyumbatan pada satu atau lebih pembuluh darah. Emboli tersebut akan mengandung endapan
kolesterol, agregasi trombosit dan fibrin. Emboli akan lisis, pecah atau tetap utuh dan
menyumbat pembuluh darah sebelah distal, tergantung pada ukuran, komposisi, konsistensi dan
umur plak tersebut, dan juga tergantung pada pola dan kecepatan aliran darah. 4
Sumbatan pada pembuluh darah tersebut (terutama pembuluh darah di otak) akan
menyebabkan matinya jaringan otak, dimana kelainan ini tergantung pada adanya pembuluh
darah yang adekuat. Otak yang hanya merupakan 2% dari berat badan total, menerima
perdarahan 15% dari cardiac output dan memerlukan 20% oksigen yang diperlukan tubuh
manusia, sebagai energi yang diperlukan untuk menjalankan kegiatan neuronal. Energi yang
diperlukan berasal dari metabolisme glukosa, yang disimpan di otak dalam bentuk glukosa atau
glikogen untuk persediaan pemakaian selama 1 menit, dan memerlukan oksigen untuk
metabolisme tersebut, lebih dari 30 detik gambaran EEG akan mendatar, dalam 2 menit aktifitas
jaringan otak berhenti, dalam 5 menit maka kerusakan jaringan otak dimulai, dan lebih dari 9
menit, manusia akan meninggal. Bila aliran darah jaringan otak berhenti maka oksigen dan
glukosa yang diperlukan untuk pembentukan ATP akan menurun, akan terjadi penurunan Na-K
ATP ase, sehingga membran potensial akan menurun. K+ berpindah ke ruang CES sementara ion
Na dan Ca berkumpul di dalam sel. Hal ini menyebabkan permukaan sel menjadi lebih negatif
sehingga terjadi membran depolarisasi. Saat awal depolarisasi membran sel masih reversibel,
tetapi bila menetap terjadi perubahan struktural ruang menyebabkan kematian jaringan otak.
Keadaan ini terjadi segera apabila perfusi menurun dibawah ambang batas kematian jaringan,
yaitu bila aliran darah berkurang hingga dibawah 10 ml/100 gr.menit. 4
Akibat kekurangan oksigen terjadi asidosis yang menyebabkan gangguan fungsi enzim-
enzim, karena tingginya ion H. Selanjutnya asidosis menimbulkan edema serebral yang ditandai
pembengkakan sel, terutama jaringan glia, dan berakibat terhadap mikrosirkulasi. Oleh karena itu
terjadi peningkatan resistensi vaskuler dan kemudian penurunan dari tekanan perfusi sehingga
terjadi perluasan daerah iskemik.4
19
Peranan ion Ca pada sejumlah proses intra dan ekstra seluler pada keadaan ini sudah
makin jelas, dan hal ini menjadi dasar teori untuk mengurangi perluasan daerah iskemi dengan
mengatur masuknya ion Ca. Komplikasi lebih lanjut dari iskemia serebral adalah edema serbral.
Kejadian ini terjadi akibat peningkatan jumlah cairan dalam jaringan otak sebagai akibat
pengaruh dari kerusakan lokal atau sistemis. Segera setelah terjadi iskemia timbul edema serbral
sitotoksik. Akibat dari osmosis sel cairan berpinda dari ruang ekstraseluler bersama dengan
kandungan makromolekulnya. Mekanisme ini diikuti dengan pompa Na/K dalam membran sel
dimana transpor Na dan air kembali keluar ke dalam ruang ekstra seluler. Pada keadaan iskemia,
mekanisme ini terganggu dan neuron menjadi bengkak. Edema sitotoksik adalah suatu
intraseluler edema. Apabila iskemia menetap untuk waktu yang lama, edema vasogenic dapat
memperbesar edema sitotoksik. Hal ini terjadi akibat kerusakan dari sawar darah otak, dimana
cairan plasma akan mengalir ke jaringan otak dan ke dalam ruang ekstraseluler sepanjang serabut
saraf dalam substansia alba sehingga terjadi pengumpalan cairann sehingga vasogenik edema
serbral merupakan suatu edema ekstraseluler. 4
Pada stadium lanjut vasigenic edema serebral tampak sebagai gambaran fingerlike pada
substansia alba. Pada stadium awal edema sitotoksik serbral ditemukan pembengkakan pada
daerah disekitar arteri yang terkena. Halini menarik bahwa gangguan sawar darah otak
berhungan dengan meningkatnya resiko perdarahan sekunder setelah rekanalisasi (disebut juga
trauma reperfusy). Edema serbral yang luas setelah terjadinya iskemia dapat berupa space
occupying lesion. Peningkatan tekanan tinggi intrakranial yang menyebabkan hilngnya
kemampuan untuk menjaga keseimbangan cairan didalam otak akan menyebabkan penekanan
sistem ventrikel, sehingga cairan serebrospinalis akan berkurang. Bila hal ini berlanjut,maka
akan terjadi herniasi kesegala arah, dan menyebabkan hidrosephalus obstruktif. Akhirnya dapat
menyebabkan iskemia global dan kematian otak.
Manifestasi klinik
Gejala dan tanda klinis yang muncul pada sindrom ini tergantung pada tempat lesi yang
terkena. Gejala klinis pada sindroma Wallenberg terbentuk karena adanya trombosis yang
membentuk plak ateromatosa di bagian a. Vertebralis. Hanya sekitar 25 % sindroma ini yang
berasal benar-benar oklusi dari arteri cerebeli posterior inferior. 4
20
Gambar 10. Sindrom Wallenberg
Tabel 10. Struktur batang otak yang terlibat dan efek klinis pada Sindroma Wallenberg3 :
Nucleus ambigus Paresis palatum, laring dan faring ipsilateral; suara serak
Pengobatan
21
Tidak ada pengobatan yang khas dalam menangani kasus ini melainkan terapi secara
simptomatis seperti menghilangkan gejala dan melakukan rehabilitasi aktif untuk memulihkan
kegitan sehari-hari pada mereka yang diserang stroke. ada pasien yang sulit menelan, sangat
dianjurkan untuk memasang selang makanan yang dimasukkan melalui mulut atau gastrostomy
mengingat risiko aspirasi pneumonia bisa terjadi. Dalam beberapa kasus, pengobatan mungkin
digunakan untuk mengurangi atau menghilangkan rasa sakit. Beberapa dokter melaporkan bahwa
anti-epilepsi yaitu obat gabapentin tampaknya menjadi obat yang efektif untuk individu
dengan nyeri kronis. Baclofen mungkin efektif dalam mengobati cegukan persisten. 8
Definisi : Sindrom Dejerin ini terjadi akibat oklusi ramus paramedianus arteria vertebralis atau
arteria basilaris, umumnya bilateral. 1,2,4
Manifestasi Klinis
22
Struktur yang terlibat Efek klinis
Nervus hipoglosus (nervus XII) Kelumpuhan flasid nervus XII dengan hemiatrofi lidah
23
IX. Sindrom Horner
Definisi : Sindrom ini juga dikenal dengan istilah Sindrom Bernard-Horner, Sindrom Claude
Bernard-Horner atau Oculosympathetic palsy. Sindrom Horner adalah suatu sindrom disebabkan
oleh kerusakan pada sistem saraf simpatik yang terdiri dari trias klasik berupa miosis (akibat
hilangnya fungsi m. dilator pupil, sehingga menyebabkan efek konstriksi m. sfingter pupil
menjadi dominan), ptosis parsial, enoftalmus (akibat hilangnya fungsi m. orbitalis) dan tidak ada
keringat pada sisi wajah yang sakit (anhidrosis). Pada sisi wajah yang sakit juga akan timbul
warna kemerahan akibat vasodilatasi pembuluh darah. 5
Etiologi
Terdapat tiga jenis penyebab sindrom Horner yang masing-masing tergantung pada jalurnya
(sentral, preganglion atau postganglion) yang berhubungan dengan bagian tubuh dalam jalurnya.
Karena saraf simpatis mengontrol tiap sisi, tanda dan gejala sindrom Horner biasanya terjadi
hanya pada satu sisi wajah. Lesi sentral dapat disebabkan oleh oklusi atau penutupan dari arteri
cerebellar posteroinferior (PICA) di bagian bawah batang otak, transient ischemic attack
(gangguan singkat suplai darah ke otak) atau karena tumor otak. Lesi preganglionik pula dapat
disebabkan oleh adanya kanker di apeks paru-paru (Pancoast Tumor), sindrom saraf frenikus,
hipertiroid, osteoarthritis di tulang leher dengan taji tulang (spurs), cedera tulang belakang dan
trauma leher (Whiplash injury). Lesi postganglionic dapat disebabkan oleh patah cluster
headache tulang tengkorak atau infeksi pada telinga tengah.5,6
Patofisiologi
Pusat siliospinalis merupakan area nuclear tempat munculnya persarafan simpatis yang
terletak di kornu lateralis medulla spinalis C8 hingga T2. Persarafan simpatis pada mata terdiri
dari 3 neuron. Serabut neuron yang pertama turun dari sisi ipsilateral hipotalamus melewati
batang otak dan korda servikal menuju ke T1/T2. Serabut ini bersinaps pada serabut simpatis sisi
ipsilateral preganglionik, lalu keluar dari korda menuju ke rangkaian simpatis sebagai neuron
yang kedua pada ganglion servikal superior. Neuron ketiga berjalan bersama dengan arteri
karotid interna ke dalam orbita dan mempersarafi mepersarafi m. dilator pupilae, m. tarsalis
superior dan inferior, dan m. orbitalis.. Ada juga serabut simpatis lain yang mempersarafi
kelenjar keringat dan pembuluh darah setengah sisi wajah ipsilateral. 6
24
Gambar 12. Persarafan simpatis mata
Diagnosis
ii) Paredrin 1%
Paredrin 1% (Hidoksi amfetamin) digunakan untuk menentukan lokasi lesi. Paredrine akan
melepaskan nor-epinephrine dari terminal pre-sinaptik. Pada lesi di post ganglion, saraf terminal
mengalami degenerasi sehingga terjadi gangguan dilatasi pupil pada pemberian paredrin,
sedangkan pada lesi preganglion, jaras post ganglion masih intak sehingga paredrin
mengakibatkan dilatasi pupil.
Manifestasi klinik
Gejala-gejala miosis, ptosis dan anhidrosis merupakan manifestasi blokade aktivitas simpatik
dikenal sebagai sindroma Horner. 5,6
Ptosis
Ptosis adalah menurunnya palpebra superior, akibat pertumbuhan yang tidak baik atau paralisa
dari muskulus levator palpebra. Ada bermacam-macam derajat ptosis. Bila hebat dan
mengganggu penglihatan oleh karena palpebra superior menutupi pupil, maka ia mencoba
menaikkan palpebra tersebut dengan memaksa muskulus occipitofrontalis berkontraksi, sehingga
di dahi timbul berkerut-kerut dan alisnya terangkat. Kalau lebih hebat lagi, untuk dapat
mengatasinya, supaya penglihatan tercapai sebaik-baiknya maka penderita akan menjatuhkan
kepalanya ke belakang. Tanda-tanda ini adalah karakteristik untuk ptosis. Pada ptosis didapat
pula garis lipatan kulit yang berbentuk seperti huruf S pada palpebranya.
25
Miosis
Miosis adalah suatu keadaan dimana garis tengah pupil kurang dari 2 mm. Dimana ukuran
normal garis tengah pupil tersebut adalah antara 4 – 5 mm pada penerangan sedang. Pupil sangat
peka terhadap rangsangan cahaya dengan persarafan afferent nervus kranialis II sedangkan
efferentnya nervus kranialis III. Sehingga mengecil bila cahaya datang (miosis) dam membesar
bila tidak ada atau sangat sedikit sekali cahaya (remang-remang), keadaan ini disebut dengan
midriasis yaitu diameter pupil lebih dari 5 mm.
Enoftalmus
Enoftalmus, merupakan keadaan dimana bola mata letaknya lebih ke dalam, di dalam ruang
orbita. Penyebabnya antara lain:
1. kelainan congenital
2. lanjut umur, karena berkurangnya jaringan lemak di orbita
3. fraktur dari salah satu dinding orbita terutama dasar orbita, dimana bola mata dapat
masuk ke dalam sinus maksilaris
Anhidrosis
Anhidrosis merupakan suatu gejala karena kuman lues menyerang sistem persarafan, sehingga
produksi minyak terhambat atau kurangnya produksi minyak disebabkan oleh proses yang
abnormal oleh kuman lues tersebut. Pada penyakit-penyakit darah dan hipertensi juga terdapat
sindrom Horner yang mencerminkan terputusnya serabut-serabut simpatetik servikal. Pada lesi
vaskuler parsial dapat terjadi bahwa kombinasi hemiparastesia parsilaris dan hemiataksia
ipsilateral saja yang ditemukan. Bila juga terjadi bahwa sindroma tersebut timbul bersama
dengan sindrom Horner.
Pengobatan
Pengobatan tergantung pada penyebab masalah, tetapi tidak ada pengobatan murni untuk
sindrom Horner yang sebenarnya.
Definisi : Sindrom Sinus Kavernosus muncul akibat gangguan saraf pada N. II, III, IV yang
menyebabkan terjadi sekumpulan tanda dan gejala yang terdiri daripada: 7
26
ii) Chemosis (edema pada konjungtiva)
iii) Proptosis/eksoftalmus
iv) Sindrom Horner
v) Hilangnya sensorik dari trigeminal.
Etiologi
Patofisiologi
Sinus kavernosus adalah suatu trabekula sinus vena yang berlokasi antara selubung dari
duramater dan bersebelahan dengan sela tursika. Sinus ini merupakan muara dari vena orbital
superior dan inferior dan mengalir ke sinus petrosus superior dan inferior. Sinus ini terdiri
daripada arteri karotis, pleksus simpatisnya, saraf kranialis ke III, ke IV dan ke VI. Cabang
menuju ke mata dan maksila dari n. trigeminus melintasi sinus ini juga. Saraf-saraf ini hanya
melewati dinding sinus sedangkan arteri karotis melewati sinus itu sendiri. 7
27
Gambar 13: Anatomi sinus kavernosus
Diagnosa
Selain anamnesa yang baik dan teliti, pemeriksaan yang paling baik bagi menentukan
sindrom sinus kavernosus adalah dengan melakukan MRI dan MRA; sehingga angiografi
serebral tidak perlu dilakukan. Perlu juga dilakukan pemeriksaan penunjang yang lain seperti
foto kepala, foto orbita dan foto daerah sella-parasella untuk mencari penyebab spesifik sindrom
ini.7
Manifestasi klinik
Pemeriksaan penunjang ntibiot adalah MRI dan MRA. Keduanya cukup spesifik sehingga
angiografi serebral tidak perlu dilakukan kecuali bila direncanakan balon oklusi. Gambaran
klinis lesi pada sinus kavernosus memiliki karakteristik gejala sebagai berikut: 7
Pengobatan
Definisi : Bell’s palsy adalah suatu gangguan neurologis yang disebabkan oleh kerusakan saraf
fasialis, yang menyebabkan kelemahan atau paralisis satu sisi wajah. Paralisis ini menyebabkan
asimetri wajah serta menggangu fungsi normal, seperti menutup mata dan makan.8
Etiologi
Penyebabnya tidak diketahui, tetapi diduga terjadi pembengkakkan pada saraf wajah sebagai
reaksi terhadap infeksi virus, penekanan atau berkurangnya aliran darah. Penyebab infeksi yang
tersering adalah virus herpes simpleks-tipe 1. Penyebab lain antara lain: 8
(a) Infeksi virus lain.
(b) Neoplasma : setelah pengangkatan tumor otak (neuroma akustik) atau tumor lain.
(c) Trauma : fraktur basal tengkorak, luka di telinga tengah, dan menyelam.
(d) Neurologis: sindrom Gullain-Barre.
(e) Metabolik : kehamilan, diabete mellitus, hipertiroidisme, dan hipertensi.
(f) Toksik : alcohol, talidomid, tetanus, dan karbon monoksida.
Manifestasi klinik
29
Tidak mampu atau sulit mengedipkan mata
Hidung terasa kaku
Sulit berbicara
Sulit makan dan minum
Sensitif terhadap suara (hiperakusis)
Salivasi yang berlebih atau berkurang
Pembengkakan wajah
Berkurang atau hilangnya rasa kecap
Nyeri di dalam atau di sekitar telinga
Air liur sering keluar
(iii) Residual
Mata terlihat lebih kecil
Kedipan mata jarang atau tidak sempurna
Senyum yang asimetris
Spasme hemifasial pascaparalitik
Otot hipertonik
Sinkinesia
Berkeringat saat makan atau saat beraktivitas
Otot menjadi lebih flasid bila lelah
Otot menjadi kaku saat letih atau kedinginan
Diagnosis
Pada inspeksi terlihat pendataran dahi dan lipatan nasolabial pada sisi yang terkena. Ketika
pasien diminta menaikkan alis mata, sisi dahi yang lumpuh terlihat datar. Ketika pasien diminta
tersneyum, wajah menjadi menyimpang dan terdapat lateralisasi ke issi yang berlawanan dari
30
yang lumpuh. Pada saat berusaha untuk menutup mata, bola mata seolah bergulir ke atas pada
sisi yang lumpuh. Hal ini disebut fenomena bell dan merupakan hal yang normal pada saat
menutup mata. 8
Pemeriksaan yang teliti pada kepala, telinga, mata, hidung, dan tenggorokan harus dilakukan
pada pasien dengan kelumpuhan wajah. Pada telinga luar harus dilihat adanya vesikel, infeksi
atau trauma, penurunan sensibilitas rasa nyeri di daerah auricular posterior. Pasien dengan
paralisis otot stapedius mengalami hiperakusis. 8
Pengobatan
Terapi umum
Untuk menghilangkan penekanan dapat diberikan prednisone dan antiviral sesegera mungkin.
Window of opportunity untuk memulai pengobatan adalah 7 hari sejak awitan. Prednison dapat
diberikan jika muncul tanda-tanda radang. Istirahat merupakan bagian dari terapi yang sangat
penting.Pemakaian kacamata dengan lensa berwarna atau kaca mata hitam kadang-kadang
diperlukan untuk menjaga mata tetap lembab saat bekerja. Pemijatan wajah boleh dilakukan.
Untuk rasa nyeri atau tidak nyaman, kompres hangat akan membantu. Obat yang dapat
menghilangkan nyeri ini diantaranya gabapentin.8
Antiviral
Pemberian antiviral seperti famsiklovir dan asiklovir sering diserapkan sebagai obat antiviral.
Saat ini dapat digunakan antiviral baru seperti valasiklovir yang bekerja cepat.
Vitamin B
31
Vitamin B penting dalam fungsi sistem saraf.
Perawatan mata
Pemberian air mata buatan, lubrikan dan pelindung mata.
32
Paresis melirik ke
lateral ipsilateral
Hemiataksia dan
asinergia ipsilateral
Hipestesia dan
gangguan sensasi
posisi dan getar sisi
kontralateral
Mioritmia palatum dan
faring ipsilateral
Hilangnya sensasi
wajah ipsilateral
Paralisis otot-otot
Oklusi ramus pengunyah
Sindrom
sirkumferensialis longus Hemiataksia
tegmentum pontis Pons
orale
arteri basilaris dan arteri Intention tremor
serebelaris superior Adiadokokinesia
Gangguan semua
modalitas sensorik
kontralateral
Paresis flasid otot-otot
pengunyah ipsilateral
Hipestesia, analgesia,
Oklusi ramus
Sindrom basis dan termanestesia
sirkuferensialis brevis dan
pontis bagian Pons wajah
ramus paramedianus arteri
tengah Hemiataksia dan
basilaris
asinergia ipsilateral
Hemiparesis spastic
kontralateral
Vertigo
Nistagmus
Oklusia atau emboli di
Nausea
Sindrom Medulla teritori arteri serebeli
Muntah
Wallenberg oblongata inferior posterior atau
arteri vertebralis Disartria
Disfonia
Singultus (cegukan)
Kelumpuhan flasid N.
XII ipsilateral
Oklusia ramus Hemiplagia
Medulla paramedianus arteri kontralateral dan tanda
Sindrom Dejerine
oblogata vertebralis atau arteri babinski
basilaris Hipestesia kolumna
posterior kontralateral
Nistagmus
Sindrom Horner Sistem saraf Kerusakan dari sistem Miosis
33
Ptosis
simpatis saraf simpatis Anhidrosis
Enoftalmus
Oftalmoplegia
Eksoftalmus
Sindrom Sinus Sinus Gangguan pada N III, IV, Sindrom Horner
Kavernosus karvenosus VI Chemosis
Hilang sensori dari
trigeminal
Paralisis satu sisi
wajah menyebabkan
Nervus simetri wajah serta
Bell’s palsy Kerusakan saraf fasialis
fasialis gangguan fungsi
menutup mata dan
makan.
BAB III
KESIMPULAN
34
Batang otak terletak paling kaudal, terbagi menjadi medulla oblongata, pons dan
mesensefalon. Secara anatomi batang otak termasuk struktur yang kompleks dengan fungsi yang
beragam dan penting secara klinis, sehingga jika terdapat lesi, tunggal dan sekecil apapun, lesi
itu hampir selalu merusak beberapa nukleus, pusat refleks, traktus ataupun jaras yang terletak di
batang otak. Lesi tersebut seringkali bersifat vascular degeneratif atau demielinasi dapat juga
merusak batang otak. Kumpulan dari gejala-gejala yang khas dan bersifat alternans pada batang
otak tersebut membentuk suatu sindroma yang kemudian dikenal dengan sebutan sindrom batang
otak.
Sindroma batang otak merupakan sekumpulan gejala yang ditandai dengan terganggunya
satu atau beberapa fungsi dari saraf kranial maupun jejas saraf simpatis baik melalui proses
mekanik berupa invasi maupun trauma ataupun akibat adanya suatu gangguan vaskularisasi.
Sindroma ini ditandai gejala-gejala yang khas dan bersifat alternans. Dengan mengetahui
berbagai sindrom tersebut diharapkan bagi seorang klinisi untuk membantu menentukan letak
lesi yang terjadi berdasarkan gejala-gejala klinis yang tampak. Prognosis dari berbagai sindrom
tersebut sangat tergantung dari penyebab yang mendasari gangguan tersebut sehingga dalam
penatalaksanaanya juga didasarkan pada gangguan atau lesi primer yang menyebabkan fungsi
sebagian atau beberapa saraf kranial tersebut.
Daftar Pustaka
35
1. Duus P, Baehr M, Frotscher M. Duus’ Topical Diagnosis in Neurology: Anatomy,
Physiology, Signs, Symptoms. Ed 4th. EGC, Jakarta. 2005; p198 – 212.
2. Mardjono M, Sidharta P. Neurologi Klinis Dasar. Penerbit PT. Dian Rakyat. Jakarta; 2008.
h31 – 156.
7. Adriani D. Sindroma Sinus Kavernosus. Departemen Neurologi FKUI. Jakarta; 2008. h1–10.
8. Dewanto G, Suwono W.J, Riyanto B et all. Diagnosis & Tatalaksana Penyakit Saraf : Bell’s
Palsy. Cetakan I. EGC, Jakarta. 2009 : h137-41.
36