Anda di halaman 1dari 19

CRITICAL JOURNAL REVIEW

MK. PEND PANCASILA


S1 PENDIDIKAN TEKNIK
ELEKTRO

Skor Nilai:

Analisis Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 100/PUU-XI/2013 tentang Pembatalan


Frasa Empat Pilar Kehidupan Berbangsa dan Bernegara (Hastangka, Armaidy Armawi
dan Kaelan, 2018)

Disusun Oleh :

Annisa Harahap
(5192431004)

DOSEN PENGAMPU : Drs. Yushar,M.Si

MATA KULIAH : PENDIDIKAN PANCASILA

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN TEKNIK ELEKTRO


FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS NEGERI MEDAN
NOVEMBER 2020
KATA PENGANTAR

Puji dan Syukur kita panjatkan ke Hadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat limpahan
Rahmat dan Karunia-nya sehingga saya dapat menyusun tugas Critical Journal Report ini dengan
baik dan benar, serta tepat pada waktunya. Kami juga berterimah kasih kepada Dosen pengampu
mata kuliah Pendidikan Pancasila kepada Bapak Drs. Yushar,M.Si ,Dalam tugas ini kamu akan
meriview 2 jurnal.

Jurnal utama yang berjudul : Analisis Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 100/PUU-
XI/2013 tentang Pembatalan Frasa Empat Pilar Kehidupan Berbangsa dan Bernegara

Jurnal Kedua yang berjudul : Model Pendidikan Partisipatif Empat Pilar Bangsa Bagi
Integrasi Nasional

Saya menyadari bahwa masih banyak kekurangan yang mendasar pada Ciritical Journal
Report ini. Oleh karena itu saya mengundang pembaca untuk memberikan saran serta kritik yang
dapat membangun saya. Kritik konstruktif dari pembaca sangat saya harapkan untuk penyempurnaan
tugas selanjutnya. semoga tugas yang saya buat ini dapat memberikan manfaat bagi kita semua dan
dapat membantu saya dalam pemahaman materi dalam pembuatan karya tulis ilmiah.

Medan, November 2020

Penyusun

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR................................................................................................................................ii
DAFTAR ISI.............................................................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN...........................................................................................................................1
A. Latar Belakang Teori..........................................................................................................................1
B. Rasionalisasi Pentingnya Critical Journal Riview...............................................................................1
C. Tujuan Penulisan Critical Journal Riview...........................................................................................2
D. Manfaat Critical Journal Review........................................................................................................2
E. Identitas Jurnal yang Direview...........................................................................................................2
BAB II RINGKASAN ISI JURNAL..........................................................................................................4
 Jurnal Utama.......................................................................................................................................4
 Jurnal Pembanding............................................................................................................................11
BAB III PEMBAHASAN..........................................................................................................................14
A. Kelebihan Isi Jurnal..........................................................................................................................14
B. Kekurangan Isi Jurnal.......................................................................................................................14
BAB IV PENUTUP...................................................................................................................................15
A. Kesimpulan.......................................................................................................................................15
B. Saran.................................................................................................................................................15
DAFTAR PUSTAKA...............................................................................................................................16

iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Teori

Indonesia memiliki empat pilar kehidupan berbangsa dan bernegara yaitu Pancasila, UUD 1945,
NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika. Empat pilar tersebut harus diperkokoh untuk membangun bangsa dalam
tatangan kehidupan bernegara, berbangsa dan bermasyarakat. Jika diibaratkan pilar merupakan tiang
penyangga suatu bangunan agar bisa berdiri secara kokoh. Bila tiang ini rapuh maka bangunan akan mudah
roboh. Empat tiang penyangga ditengah ini disebut soko guru yang kualitasnya terjamin sehingga pilar ini
akan memberikan rasa aman tenteram. Dengan demikian pilar pada Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan
Bhinneka Tunggal Ika merupakan tiang penyangga bagi berdirinya negara Indonesia.

Pancasila sebagai dasar negara dan ideologi nasional membawa konsekuensi logis bahwa nilai-nilai
Pancasila dijadikan landasan pokok, landasan fundamental bagi penyelenggaraan negara Indonesia. Pancasila
berisi lima sila yang pada hakikatnya berisi lima nilai dasar yang fundamental. Nilainilai dasar dari Pancasila
tersebut adalah nilai Ketuhanan Yang Maha Esa, Nilai Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab, nilai Persatuan
Indonesia, nilai Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalan permusyawaratan/ perwakilan,
dan nilai Keadilan sosial bagi seluruh rakyat indonesia.

B. Rasionalisasi Pentingnya Critical Journal Riview


Critical Journal Review memiliki banyak manfaat terutama bagi kalangan mahasiswa dan
masyarakat umum. Karena kurangnya minat mahasiswa dalam membaca maka dengan adanya
Critical Journal Review ini akan memudahkan pembaca dalam membaca dan menganalisis materi
yang sama dalam satu review dengan sumber yang berbeda-beda sehingga secara tidak langsung
menguatkan pemahaman pembaca mengenai materi yang dibahas,
Selain itu dengan adanya Critical Journal Review ini mahasiswa akan dilatih untuk berpikir
dan bertindak secara sistematis dan bebas mengutarakan pendapat. Sebab opini yang berdasarkan
sumber akan lebih baik dibandingkan dengan opini sendiri. Oleh karena itu mahasiswa terutama
jurusan kependidikan dalam Critical Journal Review ini akan mampu berpikir analisis sesuai
perannya sebagai calon guru dimana nanti akan menghadapi banyak pertanyaan dari siswa maupun
perencanaan dalam kegiatannya.

1
C. Tujuan Penulisan Critical Journal Riview
 Penyelesaian tugas mata kuliah Pendidikan Pancasila
 Menambah wawasan
 Menambah pengetahuan
 Meningkatkan kemampuan berpikir
 Menguatkan pengertian akan hal yang sudah dibaca sebelumnya
 Melatih diri untuk berpikir kritis dalam mencari informasi yang diberikan oleh setiap
pembahasan dalam jurnal tersebut.
 Mengetahui kelebihan dam kekurangan jurnal tersebut.

D. Manfaat Critical Journal Review


 Menambah wawasan dalam membuat karya ilmiah
 Mahasiswa tau dampak dari plagiat karya tulis dan juga kesalahan dalam mencantumkan
referensi
 Mahasiswa bisa memilih jurnal yang tepat dan berkualitas dalam memilih sumber belajar

E. Identitas Jurnal yang Direview

1. Jurnal Utama
Judul Jurnal : Analisis Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 100/PUU-
XI/2013 tentang Pembatalan Frasa Empat Pilar Kehidupan
Berbangsa dan Bernegara
Nama Jurnal : Jurnal MIMBAR HUKUM

Edisi Terbit : Juni, 2018

Pengarang Jurnal : Hastangka, Armaidy Armawi dan Kaelan

Penerbit : Universitas Gadjah Mada

Kota Terbit : DI Yogyakarta, Indonesia

ISSN :-

Volume : 30

Nomor :2

2
2. Jurnal Pembanding
Judul Jurnal : Model Pendidikan Partisipatif Empat Pilar Bangsa Bagi Integrasi
Nasional
Nama Jurnal : Jurnal Komunitas 5

Edisi Terbit : September , 2013

Pengarang Jurnal : Bagus Haryono, Edy Tri Sulistyo,dan Ahmad Zuber

Penerbit : Universitas Negeri Semarang

Kota Terbit : Semarang, Indonesia

ISSN : 2086-5465

Volume :-

Nomor :2

3
BAB II
RINGKASAN ISI JURNAL

 Jurnal Utama

A. Pendahuluan
Istilah Empat Pilar Kehidupan Berbangsa dan Bernegara telah menimbulkan perdebatan di
Indonesia. Sejak diperkenalkannya sosialisasi Empat Pilar Kehidupan Berbangsa dan Bernegara oleh
Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (MPR RI) yaitu Pancasila, UUD 1945, Negara
Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), dan Bhinneka Tunggal Ika, pada tahun 2009, istilah Empat
Pilar dianggap sebagai suatu peletak dasar kehidupan berbangsa dan bernegara. Sosialisasi Empat
Pilar Kehidupan Berbangsa dan Bernegara yang dilakukan oleh MPR RI pada awal diperkenalkan di
era kepemimpinan Taufiq Kiemas sebagai ketua MPR RI (2009-2014) banyak mendapat kritik dan
menimbulkan perdebatan di kalangan masyarakat, akademisi dan para pendidik. Penggunaan istilah
Empat Pilar Kehidupan Berbangsa dan Bernegara menjadi pro dan kontra dalam konteks ideologis,
kefilsafatan, dan hukum.
Istilah Empat Pilar memunculkan permasalahan terkait prinsip penormaan hukum di Indonesia
karena telah menimbulkan gejolak pemikiran dan menjadi problem pokok kefilsafatan dan hukum
yaitu perdebatan tentang substansi, sumber pengetahuan, dan nilai yang mendasari Empat Pilar
tersebut. Masalah ini menarik untuk diteliti karena mengakibatkan munculnya kesenjangan
pengetahuan antara yang seharusnya dengan realitas yang ada. Istilah Empat Pilar Kehidupan
Berbangsa dan Bernegara dianggap sebagai kebenaran yang bisa diterima, memiliki basis nilai
otoritatif yang benar, dan dasar ontologis yang legitimate (sah). Ketiga, wacana tentang kedudukan
dan fungsi Pancasila sebagai dasar negara kembali diperdebatkan dalam dinamika Empat Pilar,
karena dalam norma hukum nasional Pancasila disebut sebagai sumber dari segala sumber hukum
bukan sebagai pilar. Keempat, istilah Empat Pilar Kehidupan Berbangsa dan Bernegara sebagai
objek material dalam penelitian ini perlu didekati dengan pendekatan kajian hukum normatif yang
selama ini belum dilakukan. Kelima, istilah Empat Pilar Kehidupan Berbangsa dan Bernegara belum
menjadi kajian ilmiah dan menjadi fokus penelitian di bidang filsafat dan hukum. Untuk itu, perlu
penjelasan yang komprehensif terkait dengan kritik atas penggunaan istilah Empat Pilar Kehidupan
Berbangsa dan Bernegara di masyarakat yang selama ini masih menimbulkan perdebatan.

4
B. Metode Penelitian

Penelitian ini merupakan bagian dari penelitian disertasi tentang kajian filosofis atas empat pilar
ditinjau dari perspektif filsafat bahasa. Penelitian ini membahas analisis putusan peraturan
perundang-undangan berkaitan dengan istilah yang digunakan dalam salah satu pasal pada UU
Nomor 2 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas UndangUndang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai
Politik. Jenis penelitian ini merupakan penelitian kualitatif yang mengkaji norma dan peraturan
perundangundangan yang ada melalui pendekatan kefilsafatan dan hukum normatif. Tahapan
penelitian ini meliputi inventarisasi data, kategorisasi data, dan analisis data untuk merumuskan
pokok-pokok materi penelitian sesuai dengan persoalan yang dikaji. Adapun tahapan penelitian dapat
dijelaskan sebagai berikut: data penelitian, adapun sumber data penelitian terdiri dari data primer
yaitu Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 100/PUU-XI/2013, UU Nomor 2 Tahun 2011 tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik. Sedangkan data
sekunder ialah hasil kajian sebelumnya terkait persoalan 4 pilar, risalah sidang tentang RUU parpol,
Keppres, peraturan menteri, dll dan data tersier ialah buku yang diterbitkan oleh MPR RI, Majalah
resmi MPR RI, berita online maupun offline, pandangan pakar di media, dan buku pendukung
lainnya yang terkait dengan penelitian ini.

C. Pembahasan

1. Awal munculnya Istilah Empat Pilar


Istilah Empat Pilar Kehidupan Berbangsa dan Bernegara mulai dikenal sejak Taufiq Kiemas
dipilih secara aklamasi sebagai ketua MPR RI pada bulan Oktober 2009. Sebelumnya MPR RI tidak
pernah menggunakan istilah Empat Pilar dalam melaksanakan agenda kerjanya. Misalnya, pada
periode 2004-2009, MPR RI menggunakan istilah “sosialisasi putusan MPR RI”. Sosialisasi putusan
MPR RI yang dimaksud ialah UUD 1945 hasil perubahan dan Ketetapan MPR RI yang dirasa perlu
dimasyarakatkan agar diketahui publik dan penyelenggara negara karena banyak masyarakat tidak
mengetahui produk atau putusan MPR RI. Kepemimpinan MPR RI kemudian berganti, pada tahun
2009, maka berubah istilah nama “sosialisasi putusan MPR RI” menjadi “sosialisasi 4 Pilar
Kehidupan Berbangsa dan Bernegara” pada periode kepemimpinan Taufiq Kiemas (2009-2014)
yaitu Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika. Pada saat itulah, Taufiq Kiemas
dikenal sebagai pencetus dan penggagas 4 Pilar Kehidupan berbangsa dan bernegara.
Pada tanggal 17-19 Juni 2011, MPR RI melakukan uji sahih Metode dan Materi Sosialisasi 4

5
Pilar melalui loka karya di hotel Shantika, Jakarta. Kegiatan ini dibagi menjadi 5 sesi. Sesi I
membahas tentang Pancasila dilihat dari sejarah, nilai-nilai yang terkandung di dalam sila-sila
sebagai ideologi pilihan dan tantangan kekinian, serta solusi menghadapinya. Sesi II membahas
UUD NRI 1945 dilihat dari sejarah masa keberlakuan, Sebagai dasar negara yang menganut paham
konstituentalisme dan implementasinya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Sesi II
membahas NKRI dilihat dari sejarah sebelum dan sesudah kemerdekaan, Sebagai pilihan bangsa dan
tujuan membentuk negara kesatuan. Sesi IV membahas Bhinneka Tunggal Ika dilihat dari
sejarahnya, keanekaragaman yang dimiliki sebagai kekayaan dan pemersatu bangsa. Sesi V
membahas metode dan teknik penyampaian materi sosialisasi untuk mengetahui cara atau teknik
penyampaian materi agar lebih efektif, tepat sasaran, dan mudah dipahami.

a. Dasar Politis
Persoalan kebangsaan dan kenegaraan yang terjadi di Indonesia menjadi titik tolak perlunya
sosialisasi Empat Pilar Kehidupan Berbangsa dan Bernegara. Menurut pandangan MPR RI bahwa
persoalan kebangsaan dan kenegaraan yang terjadi di Indonesia karena abai dan lalai dalam
mengimplementasikan Empat Pilar dalam kehidupan sehari-hari. Liberalisme ekonomi terjadi karena
masyarakat mengabaikan sila-sila dalam Pancasila terutama sila kemanusiaan yang adil dan beradab
dan sila keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Konflik horizontal terjadi karena masyarakat
mengabaikan Bhinneka Tunggal Ika.

b. Dasar Sosiologis
Persoalan sosial, kemanusiaan, dan kriminalitas menjadi sorotan utama dalam konteks
kehidupan berbangsa dan bernegara sejak pasca reformasi. Bangsa Indonesia yang secara
kebudayaan dan etika dikenal sebagai masyarakat yang ramah, murah senyum, dan toleran kini
hanya menjadi sekedar mitos. Sebagaimana terungkap dalam Ketetapan MPR RI Nomor
VI/MPR/2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa dan Pidato pengukuhan Honoris Causa Taufiq
Kiemas menyebutkan bahwa sejumlah tantangan kebangsaan mewarnai kehidupan Indonesia di era
Reformasi yaitu konflik sosial yang sering berkepanjangan, berkurangnya sopan santun, dan budi
pekerti luhur dalam pergaulan sosial, melemahnya kejujuran dan sikap amanah dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara, pengabaian terhadap ketentuan hukum dan peraturan, dan sebagainya yang
disebabkan oleh berbagai faktor baik yang berasal dari dalam maupun luar negeri.

c. Dasar Yuridis
Taufiq Kiemas, Ketua MPR RI dalam pidato ilmiah penganugerahan gelar Doctor Honoris

6
Causa di Universitas Trisakti, 10 Maret 2013 menyatakan bahwa MPR RI dalam melakukan
sosialisasi dan pembudayaan Empat Pilar berlandaskan dasar konstitusional pada pasal 15 ayat 1
huruf e Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan
Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, bahwa salah
satu tugas pimpinan MPR RI ialah memasyarakatkan UUD 1945 sebagaimana bunyi pasal 15
sebagai berikut: “mengoordinasikan anggota MPR untuk memasyarakatkan UndangUndang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945”. (Pasal 15 ayat 1 huruf e, UU No. 27 Tahun 2009 tentang
MD 3). Namun pada pasal 15 ayat 1 huruf e tersebut tidak menyebutkan istilah 4 Pilar. Kemudian,
juga disebutkan atas dasar Pasal 12 huruf c dan huruf d Keputusan MPR RI Nomor 1/ MPR/2010
tentang Peraturan Tata Tertib MPR RI yang menyatakan Anggota MR RI mempunyai kewajiban
memasyarakatkan Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,
memperkukuh dan memelihara kerukunan nasional serta menjaga keutuhan Negara Kesatuan
Republik Indonesia dengan semangat Bhinneka Tunggal Ika.15 Begitu juga pada pasal 12 tersebut
istilah Empat Pilar tidak ditemukan

2. Argumen MPR RI tentang Penggunaan Istilah Empat Pilar


MPR RI memberikan pengertian tentang Empat Pilar Kehidupan Berbangsa dan Bernegara
merupakan kumpulan nilai-nilai luhur yang harus dipahami oleh seluruh masyarakat dan menjadi
panduan dalam kehidupan ketatanegaraan untuk mewujudkan bangsa dan negara yang adil, makmur,
sejahtera, dan bermartabat. Sedangkan, istilah “pilar” yang digunakan oleh MPR RI untuk menyebut
empat pilar merujuk pada Kamus Besar Bahasa Indonesia (edisi III tahun 2008) yang menyatakan
bahwa pilar mengandung pengertian sebagai tiang penguat, dasar, yang pokok, atau induk. MPR RI
dalam keterangan pada sidang uji materiil UU Nomor 2 Tahun 2011 pada tanggal 17 Februari 2014
juga menjelaskan bahwa istilah “pilar” dalam empat pilar kehidupan berbangsa dan bernegara
dimaknai sebagai hal yang pokok, mendasar dan esensial dalam kehidupan bangsa Indonesia yang
memiliki sifat dinamis.
Argumen MPR RI menyatakan bahwa terminologi Empat Pilar Kehidupan Berbangsa dan
Bernegara dipahamkan sebagai metode pemasyarakatan untuk membangkitkan kembali semangat
menjaga ke-Indonesia-an, jati diri bangsa, yakni nilai-nilai Pancasila yang ditengarai mulai redup
pada akhir-akhir ini, khususnya pasca reformasi.

3. Pokok Permohonan Para Pemohon


Menimbang bahwa Mahkamah telah mendengar keterangan Presiden pada persidangan tanggal
17 Februari 2014 yang pada pokoknya sebagai berikut:

7
Bahwa Pemohon adalah perseorangan warga negara Indonesia yang merasa dirugikan hak-hak
konstitusionalnya dengan keberlakuan Pasal 34 ayat 3b huruf a Undang-Undang Nomor 2 Tahun
2011 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik. Karena
ketentuan tersebut menempatkan Pancasila sebagai salah satu pilar berbangsa dan bernegara yang
sejajar dengan Undang-Undang Dasar 1945, Bhinneka Tunggal Ika, dan Negara Kesatuan Republik
Indonesia dan telah menimbulkan ketidakpastian hukum menurut Pemohon.
Menurut Pemohon, Pancasila dalam hal ini memiliki kedudukan yang tidak sama dengan
Bhinneka Tunggal Ika dan Negara Kesatuan Republik Indonesia, oleh karena itu penempatan
Pancasila tersebut merupakan kesalahan yang fatal sehingga bertentangan dengan Pembukaan
UndangUndang Dasar 1945 alinea keempat dan Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945.

4. Penafsiran atas UU Nomor 2 Tahun 2011


Istilah Empat Pilar Kehidupan Berbangsa dan Bernegara diperkenalkan secara yuridis melalui
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun
2008 tentang Partai Politik (UU Partai Politik) pasal 34 ayat 3b huruf a yang berbunyi:
Pendidikan Politik sebagaimana dimaksud pada ayat 3a berkaitan dengan kegiatan: a)
pendalaman mengenai empat pilar berbangsa dan bernegara yaitu Pancasila, UUD 1945, Bhinneka
Tunggal Ika, dan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Meskipun pada saat perancangan RUU perubahan atas UU Nomor 2 tahun 2008 sebelum menjadi
Undang-Undang terdapat pandangan akhir dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-
P) yang diwakili oleh Arif Wibowo terhadap RUU tentang Perubahan Atas UU Nomor 2 Tahun 2008
tentang Partai Politik menyebut dengan istilah “empat pilar konsensus dasar”.26 Setelah menjadi UU
istilah empat pilar konsensus dasar tersebut menghilang dan tidak muncul dalam UU dan menjadi
istilah Empat Pilar Kehidupan Berbangsa dan Bernegara.

5. Kerugian Konstitusional
Materi Pancasila sebagai Pilar tidak mempunyai panduan, bahan ajar, dan kurikulum, sehingga
pendidik/dosen tidak dapat mengajarkan Pancasila sebagai dasar dan ideologi negara secara
maksimal. Pancasila sebagai Pilar tidak bisa dijelaskan secara ontologis, epistemologis dan
aksiologis sehingga sebagai seorang peneliti/ mahasiswa tidak dapat melakukan kajian ilmiah.
Dengan demikian, secara nyata Pemohon telah dirugikan hak konstitusionalnya dengan diberlakukan
Pasal 34 ayat 3b butir a UU Partai Politik.
Bahwa berdasarkan Pasal 2 Kode Etik Wartawan Indonesia (KEWI) yang menyebutkan
“Wartawan Indonesia dengan penuh rasa tanggung jawab dan bijaksana mempertimbangkan patut

8
tidaknya menyiarkan karya jurnalistik (tulisan, suara, serta suara dan gambar) yang dapat
membahayakan keselamatan dan keamanan negara, persatuan dan kesatuan bangsa...”. Penyebutan
Pancasila sebagai Pilar berpotensi melanggar kode etik dan merugikan Pemohon dalam menjalankan
profesinya dan berakibat mengancam persatuan, keselamatan, dan keamanan negara. Berdasarkan hal
tersebut di atas kerugian konstitusional Pemohon telah nyata. Kerugian tersebut sebagai akibat
digunakannya kata Pilar dalam Pasal 34 ayat (3b) butir a UU Partai Politik. Oleh karenanya sudah
sepantasnya Pasal 34 ayat (3b) butir a UU Partai Politik untuk dicabut, dibatalkan, dan dinyatakan
tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Berdasarkan hal-hal tersebut di atas unsur kerugian hak konstitusional Pemohon yang dilanggar
telah terbukti dan terpenuhi. Oleh karenanya sudah sepantasnya Pasal 34 ayat 3b butir a Undang-
Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008
tentang Partai Politik untuk dicabut, dibatalkan, dan dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum
mengikat.

6. Penjelasan Pemerintah
Istilah empat pilar kebangsaan memang bukanlah suatu istilah yang resmi, dicetuskan dalam
sebuah ikrar yang didahului dengan melalui kajian ilmiah. Akan tetapi, dia merupakan semangat
yang tumbuh dari sebuah refleksi yang hidup dan hidup dalam kehidupan masyarakat kita dalam
seluruh lapisan masyarakat atau tepatnya sebagian besar rakyat Indonesia. Untuk itulah perlu
dipahami secara memadai bahwa makna empat pilar tersebut sehingga kita dapat memberikan
penilaian secara tepat, arif, dan bijaksana terhadap empat pilar dimaksud dan dapat menempatkan
secara akurat dan proporsional dalam hidup bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

7. Pendapat Mahkamah dan Amar Putusan


Pandangan Mahkamah pada bagian Menimbang menyatakan bahwa maksud UU 2/2011 adalah
untuk memberikan landasan hukum kaidah demokrasi, yaitu menjunjung tinggi hukum, aspirasi,
keterbukaan, keadilan, tanggung jawab dan perlakuan non-diskriminatif dalam NKRI. Partai politik
(Parpol) adalah sarana partisipasi politik bagi masyarakat untuk mengembangkan kehidupan
demokrasi yang menjunjung tinggi kebebasan yang bertanggung jawab. Dalam rangka menguatkan
pelaksanaan demokrasi dan sistem kepartaian yang efektif sesuai dengan UUD 1945 diperlukan
penguatan kelembagaan serta peningkatan fungsi dan peran parpol [vide konsiderans huruf a UU
2/2011]. Dalam rangka penguatan fungsi dan peran Parpol tersebut maka di antara ayat 3 dan ayat 4
Pasal 34 disisipkan 2 (dua) ayat, yakni ayat 3a dan ayat 3b, yang memerintahkan supaya bantuan
keuangan dari APBN/APBD kepada Parpol diprioritaskan untuk melaksanakan pendidikan politik

9
bagi anggota parpol dan masyarakat, yang antara lain, kegiatannya berupa pendalaman mengenai
empat pilar sebagaimana diuraikan di muka [Pasal 34 ayat 3b huruf a UU 2/2011].
Hal demikian, menurut Mahkamah dari perspektif konstitusional adalah tidak tepat. Sebab,
keempat materi pendidikan politik tersebut sebenarnya seluruhnya telah tercakup dalam UUD 1945
yaitu Pancasila sebagai suatu istilah atau nama, meski di dalam Pembukaan UUD 1945 tidak
disebutkan secara eksplisit, namun manakala merujuk pada isi yang terkandung di dalamnya
Pancasila adalah dasar negara [vide Pembukaan UUD 1945 alinea keempat]; UUD 1945 adalah
UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 [Aturan Tambahan Pasal II UUD
1945 yang menyatakan, “Dengan ditetapkannya perubahan Undang-Undang dasar ini, Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 terdiri atas pembukaan dan pasal-pasal.”];
Bhinneka Tunggal Ika adalah semboyan yang terdapat pada lambang negara, Garuda Pancasila
sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 36A UUD 1945 yang menyatakan, “Lambang Negara ialah
Garuda Pancasila dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika.”; dan NKRI adalah bentuk susunan
pemerintahan yang menjadi cita negara dan ketentuan konstitusional dalam UUD 1945, Pembukaan
UUD 1945 alinea kedua yang menyatakan, “Dan perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia
telah sampailah kepada saat yang berbahagia dengan selamat sentausa mengantarkan rakyat
Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaan Negara Indonesia, yang merdeka, bersatu, berdaulat,
adil dan makmur.” Pasal 1 ayat 1 UUD 1945 yang menyatakan, ”Negara Indonesia ialah Negara
Kesatuan, yang berbentuk Republik.”, dan Pasal 37 ayat 5 UUD 1945 yang menyatakan, “Khusus
mengenai bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia tidak dapat dilakukan perubahan”

8. Analisis Putusan
Analisis Speech Act dalam penelitian ini menunjukkan bahwa pesan yang disampaikan dalam
Empat Pilar menunjukkan hanya sekedar 242 MIMBAR HUKUM Volume 30, Nomor 2, Juni 2018,
Halaman 230-245 mengajak untuk ingat kembali dan tahu tentang Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan
Bhinneka Tunggal Ika. Penggunaan istilah Empat Pilar dalam analisis perlokusi menunjukkan
sekedar himbauan moral dengan bahasa politis.
MPR RI menggunakan istilah “Empat Pilar Kehidupan Berbangsa dan Bernegara” supaya
diterima dan dibenarkan oleh masyarakat tetapi bukan berdasarkan penalaran yang ilmiah dan logis
tetapi karena alasan kepentingan kekuasaan dari pengusul yang memiliki kekuasaan sebagai Ketua
MPR RI atau memiliki kedudukan tertentu. Ketiga, kesesatan karena term ekuivok. Term ekuivok
adalah term yang mempunyai lebih dari satu arti33. MPR RI menggunakan terminologi dalam media
atau alat publikasi seperti tas, spanduk, atau bakdrop yang sebelumnya tertulis “Empat Pilar
Kehidupan Berbangsa dan Bernegara” yang didalamnya terkandung banyak arti karena terdiri dari

10
Pancasila sebagai dasar negara, UUD 1945 sebagai konstitusi, NKRI sebagai bentuk negara, dan
Bhinneka Tunggal Ika sebagai semboyan negara. kemudian, diganti dengan “Sosialisasi 4 Pilar”,
atau “Sosialisasi 4 Pilar MPR RI”. Artinya bahwa MPR RI menggunakan satu term bernama “Empat
Pilar Kehidupan Berbangsa dan Bernegara” tetapi didalam-Nya terjadi pergantian arti dari term yang
sebenarnya menjadi term penafsiran menurut versi MPR RI. Dalam hal ini, istilah Empat Pilar MPR
RI yang digunakan oleh MPR RI telah menyesatkan karena melanggar kaidah-kaidah logika
penalaran dan logika bahasa.

9. Penutup
Empat Pilar tidak memiliki justifikasi yang mendasar dalam konteks justifikasi historis,
justifikasi yuridis, justifikasi sosiologis, dan justifikasi filosofis, sehingga secara ilmiah, Empat Pilar
Kehidupan Berbangsa dan Bernegara ialah fakta politik dan bukan fakta historis dan yuridis. Oleh
karena itu, hal ini tidak layak untuk digunakan dan disosialisasikan kepada masyarakat, dan
berdampak pada upaya pembodohan kepada masyarakat. Dalam analisis teori kebenaran,
menunjukkan istilah Empat Pilar juga tidak berkorespondensi dengan realitas, tidak koheren dengan
pernyataan yang sebenarnya, dan inkonsisten dalam penggunaannya. Istilah tersebut merupakan
suatu epistemological mistake.

 Jurnal Pembanding

A. PENDAHULUAN
Masyarakat akar rumput (grass root) umumnya mudah dimobilisasi oleh suatu kepentingan yang
cenderung memecah belah mereka. Dengan mengangkat isu Primordialisme (kedaerahan, kesukuan,
agama, ras dan antargolongan) terbukti menjadi alat efektif untuk mendisintegrasikan mereka.
Sekalipun masyarakat Sudiroprajan – atas dasar pertimbangan status sosial ekonominya dapat
diklasifikasinya menjadi masyarakat akar rumput. Kampung mbalong ini – sebagaimana dilaporkan
Kurniawan (http://www.harianjogja.com), dikenal sebagai salah satu kantong kemiskinan di Solo
merupakan kawasan yang disebutsebut sebagai pusat kemiskinan di Kelurahan Sudiroprajan itu,
rumah-rumah warga berjejal tak rapi, tak mengindahkan kriteria rumah sehat. Bangunan tembok
rumahrumah warga saling menempel, tak memberikan space kosong sedikit pun untuk ruang publik.
Untuk beraktivitas atau tempat bermain anak, warga harus memanfaatkan badan gang yang tak
seberapa lebar. Selang beberapa deret bangunan rumah, terdapat satu unit sumur pompa yang
digunakan warga secara bergantian untuk mencuci pakaian dan perabot rumah tangga. Ironisnya

11
sumur pompa itu berjarak tak lebih dari 10 meter dari sungai yang airnya hitam dan sarat sampah.
Sudiroprajan, Sigit Prakoso, mengakui kondisi lingkungan RW VI-RW VIII yang notabene kawasan
padat penduduk, tidak sehat. Bukan itu saja, bahkan rumah-rumah warga masih jauh dari kriteria
rumah sehat. Dari 300-an keluarga miskin di Sudiroprajan, sebagian besar tinggal di wilayah tiga
rukun warga (RW) itu. ”Daerah itu memang padat penduduk dengan kondisi lingkungan tak sehat,
bisa dibilang sebagai slum area,” ujarnya. Sebagian besar warga RW VI, RW VII dan RW VIII
berprofesi sebagai buruh serabutan. Untuk mendongkrak strata kehidupan masyarakat itu, digulirkan
program PNPM Mandiri Perkotaan. Persoalan kemiskinan sulit dilepaskan dari kurangnya asupan
gizi untuk anak.

B. METODE PENELITIAN
Masyarakat akar rumput dipilih secara purposive Kelurahan Sudiroprajan, dengan pertimbangan
daerah ini dapat merepresentasikan daerah yang telah berhasil melakukan asimilasi alamiah,
sehingga mewujudkan integrasi sempurna CinaJawa. Pengembangan model pendidikan dirancang
dengan PAR, di mana menurut Ozanira (2012) mencakup dua dimensi: dimensi pendidikan dari
mereka yang terlibat langsung dalam proses membangun pengetahuan, atau Freire menyebut dimensi
pedagogis (Ozanira, 2012); dan dimensi kolektif - formatif yang menyediakan landasan bagi
siapapun yang menggunakan pengetahuan yang telah dibangun. Keduanya terjadi hubungan timbal
balik yang melibatkan dua atribut dasar: subjek dan objek, dan hubungan dialektis: teori dan praktek.
PAR dalam penelitian ini mengikuti proses Kemmis & McTaggart (2000), (Burns, 2012), Kindon
(2009), khususnya terfokus pada kesadaran kritis (Freire, 2000) terhadap variabel tingkat
pemahaman dan pengamalan 4 Pilar Bangsa (Pancasila, UUD 1945, Bhinneka Tunggal Ika dan
NKRI).

C. HASIL DAN PEMBAHASAN


Integrasi sosial dijelaskan dengan pendekatan integrasionis Horton dan Hunt (1989) sebagai
suatu keadaan harmonis yang memungkinkan semua kelompok suku dapat berperanserta secara
bersama dalam kehidupan ekonomi, sosial dan budaya dengan menekankan pada pengakuan
kesamaan hak-hak individu, dan mengabaikan memberikan hak-hak etnisitas (Barth, 1969).
Sayangnya pemerintah Indonesia di satu sisi menerapkan pendekatan integrasionis bahwa segala
warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan, dan menjunjung hukum
dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya (UUD 1945 amandemen ke-2 pasal 27 ayat 1).
Secara bersamaan menerapkan pendekatan multikulturalisme yang diatur dalam pasal 32 UUD 1945
amandemen ke-4, bahwa: ayat (1). Negara memajukan kebudayaan nasional Indonesia di tengah

12
peradaban dunia dengan menjamin kebebasan masyarakat dalam memelihara dan mengembangkan
nilai-nilai budayanya; dan ayat (2) Negara menghormati dan memelihara bahasa daerah sebagai
kekayaan budaya nasional.
Untuk membangun integrasi dapat menerapkan 3 model, nasionalitas bekerja sebagai perekat
integrasi; nasionalitas-etnik, dan multikultural-etnik (Saifuddin, 2010). Model pertama dapat
dimaknai berfungsi sebagai penghancur akar kebudayaan etnik. Kekuatan utama pemicu konflik isu
etnis dan agama (Djalong dan Lambang, 2004) terbukti tidak efektif pada warga Sudiroprajan,
karena di antara mereka telah terjadi asimilasi alamiah (Gordon, 1964), Haryono (2011), baik
asimilasi sikap menerima tanpa prasangka, asimilasi perilaku menerima satu sama lain tanpa
diskriminasi, amalgamasi, maupun asimilasi struktural dan identitas menasional (identitas mereka
tidak dapat dibedakan dengan mudah Jawa dan Cinanya, dan telah menjadi WNI). Dengan demikian
realitas asimiliasi telah mampu mereduksi kekuatan dalam mengatasi perbedaan. Temuan lapangan
menunjukkan bahwa Pengembangan Model Pendidikan, yang berbasis local wisdom (Geertz, 1983)
yang berkembang atas dasar pengetahuan dan pemahaman masyarakat setempat). Melalui model
Pendidikan tersebut telah dapat melibatkan partisipasi secara luas dan sepenuhnya dari masyarakat
khususnya dalam rangka memahami dan mengimplementasikan 4 Pilar Bangsa dalam kehidupan
sehari-harinya. Mereka secara partisipasi aktif mulai dari aktifitas merencanakan kegiatan,
melaksanakan dan memonitoring serta mengevaluasi apapun kegiatan yang telah mereka lakukan.
Tim bersama Lurah dan LPMK menyepakati agar kegiatan penelitian UNS bekerjasama dengan
Pokdarwis; mensosialisasikan dan memasang spanduk dalam tempo 1 hari, serta dilakukan melalui
pengurus RT dan RW, dan ternyata memperoleh sambutan positif dari warga dengan secara informal
telah langsung mencari dan memperoleh ijin penggunaan media tembok, serta sekaligus mendaftar
menjadi peserta lomba dan secara gethok tular disampaikan kepada warga lain. Diantaranya segera
memulai, dan diikuti warga yang lain. Melalui media mural, ternyata masyarakat lebih mudah
memahami pesan dan makna empat pilar bangsa. Misalnya SP memaknai gambar Semar dan
Barongsai sebagai kerukunan dari etnis yang berbeda yaitu Jawa (Pribumi) dan Tionghoa, yang
hidup bertetangga amat sangat rukun tanpa melihat perbedaan agama, ras, dan golongan. Perbedaan
sangat dihargai, dijunjung tinggi, dan menjadi kebanggaan warga Sudiroprajan.
Refleksi metodologis penerapan PAR, model demokratis mampu menempatkan peneliti dan
masyarakat memiliki kedudukan setara dalam hal kepemilikan pengetahuan dan kewenangan dalam
penelitian. Namun PAR menuntut bekal penguasaan metodologis dan bekal kemampuan untuk
menjawab beberapa tantangan pragmatis yang cukup memadai menuntut penelitian mendalam, dan
komitmen tulus dari masyarakat dalam keseluruhan proses penelitian; dan dapat menjawab
kebutuhan yang dirasakan masyarakat yang menuntut peneliti terlibat dalam proses panjang - yang

13
sudah barang tentu memakan banyak waktu, dengan sumber dana yang relatif besar, serta energi
yang melelahkan. PAR menuntut peneliti harus komunikatif, memiliki keterampilan mengajar,
terlatih dalam penelitian, dan dalam kerja pengembangan masyarakat, mampu menjadi pekerja sosial
yang trampil dalam penelitian dan pengabdian masyarakat. Namun hasil PAR tidak dapat
digeneralisasikan, sehingga solusi yang dihasilkan dalam satu komunitas Mbalong ini belum tentu
berlaku di komunitas lain.

BAB III
PEMBAHASAN
A. Kelebihan Isi Jurnal

 Jurnal Utama direview sudah memiliki ruang lingkup yang bagus dari segi isi jurnal. Jurnal
menjelaskan secara detail penelitian yang dilakukan oleh penulis. Dibandingkan dengan
jurnal pembanding
 Abstrak jelas di jurnal Pembanding, sehingga dengan membaca abstraknya saja pembaca
dapat mengetahui hasil dari penelitian tersebut. Dibandingkan dengan Jurnal Utama
 Kedua abstrak Jurnal tersebut dilampirkan memakai satu bahasa.

B. Kekurangan Isi Jurnal


 Kedua Background jurnal Tersebut yang digunakan masi kurang begitu bervariasi.
 Tidak adanya respon dari masyarakat dari penelitian ini.
 Kedua Jurnal ini hampir tidak ada kekurangannya.

14
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Empat Pilar Kehidupan Berbangsa dan Bernegara atau Empat Pilar MPR RI tidak memberikan
penegasan atas tata hubungan antara Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika,
sehingga penggunaan istilah Empat Pilar Kehidupan Berbangsa dan Bernegara atau 4 Pilar MPR RI
hanya berfungsi sebagai labeling semata dan menggunakan logika iklan yang bersifat pragmatis.
Penggunaan istilah Empat Pilar Kehidupan Berbangsa dan Bernegara telah menimbulkan
ketidakpastian hukum dengan memasukkan Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika
sebagaimana dalam putusan MK Nomor 100/PUU-XI/2013 bertentangan dengan UUD 1945 dan
tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat. Dengan demikian istilah tersebut adalah
inkonstitusional.
Model Pendidikan Empat Pilar Kebangsaan yang dikembangkan secara partisipatif melalui media
lomba mural, sesungguhnya lebih memanusiawikan subjek penelitian, dan langsung dapat menjawab
kebutuhan riilnya. Selain itu, lebih mempermudah pemahaman, lebih mengena, dan melekat tahan
lama dalam pemikiran mereka, karena langsung dapat menampilkan kehidupan sehari-hari, yang
mereka angkat dalam gambar.

B. Saran
1. Untuk Mencapai Hasil Belajar Yang Maksimal, Diharapkan Dosen Dapat Menciptakan
Pembelajaran Yang Mampu Melibatkan Banyak Gaya Belajar Secara Bersamaan;
2. Setelah Mengetahui Kecenderungan Gaya Belajarnya, Masing-Masing Mahasiswa
Diharapkan Mampu Memanfaatkan Gaya Belajarnya Dalam Mempelajari/ Memahami
Informasi.

15
DAFTAR PUSTAKA
Cho, S. 2010. Politics of critical pedagogy and the New Social Movements. Educational Philosophy
and Theory, 42(3)
Eikeland, O. 2012. Action Research, International Journal of Action Research, 8(1), 2012, 9-44
Gracia, Jorge J.E, “Texts and Their Interpretation”, The Review of Metaphysics, Volume 43, Nomor
3, Maret 1990
Oishi, Etsuko, “Austin’s Speech Act Theory and the Speech Situation” Esercizi Filosofici, Volume 1,
2006.
Saul, Jennifer, 2006, “Pornography, Speech Acts and Context”, Proceedings of the Aristotelian
Society, Volume 106, 2006.

16

Anda mungkin juga menyukai