MANAJEMEN PINJAMAN
PROYEK
Berdasarkan dari peraturan tersebut, Pengertian dari Pinjaman Luar Negeri adalah
setiap penerimaan negara dalam bentuk devisa dan/atau devisa yang dirupiahkan maupun
dalam bentuk barang dan/atau dalam bentuk jasa yang diperoleh dari pemberi pinjaman luar
negeri yang harus dibayar kembali dengan persyaratan tertentu. Sedangkan untuk Hibah Luar
Negeri adalah setiap penerimaan negara dalam bentuk devisa dan/atau devisa yang
dirupiahkan maupun dalam bentuk barang dan/atau dalam bentuk jasa termasuk tenaga ahli
dan pelatihan yang diperoleh dari pemberi hibah luar negeri yang tidak perlu dibayar
kembali. Sumber pembiayaan dari pinjaman luar negeri pada dasarnya hanya merupakan
pelengkap pembiayan untuk pembangunan, disamping sumber pembiyaan dari dalam negeri
berupa hasil perdagangan luar negeri, penerimaan pajak dan tabungan masyarakat dan sektor
swasta.Dari sekian banyak masalah dalam pembangunan ekonomi yang dihadapi oleh negara-
negara berkembang termasuk Indonesia sendiri adalah Sumber Daya Modal, keterbasan
modal atau kesenjangan tabungan investasi ; (saving investment gap/S-I gap) dan (foreign
exchange gap/forexgap). Savin investment gap merupakan kesenjangan antara tabungan
dalam negeri dengan dana investasi tang dibutuhkan, sedangkan Foreign exchange gap
merupakan kesenjangan antara kebutuhan devisa untuk membiayai impor barang/jasa dengan
penerimaan devisa hasil ekspor barang/jasa.
17
2019, dengan jumlah PNB tersebut Indonesia masih dikategorikan sebagai negara
berpenghasilan menengah kebawah. Menyadari hal tersebut, langkah yang di pilih
pemerintah dalam upaya mencapai pertumbuhan ekonomi yang telah ditetapkan sesuai yang
di inginkan adalah mencari sumber pendanaan dari berbagai sumber pembiayaan yang
tersedia. Pembiayaan dalam negeri merupakan pilihan utama pemerintah, selain biayanya
yang murah pembiayaan dalam negeri juga tidak dipengaruhi oleh factor ekonomi eksternal.
Namun jika hanya mengandalkan penerimaan dalam negeri saja, hal ini tentu belum
mencukupi besaran dari biaya kebutuhan pembangunan yang telah ditetapkan sebelumnya,
melihat keadaan ini pemerintah memutuskan untuk melakukan penerimaan dari pembiayaan
luar negeri yaitu pembiayaan pinjaman proyek.
Berikut bentuk-bentuk pinjaman proyek yang dimiliki pemerintah Indonesia baik dari
sisi sumber dana maupun dari sisi persyaratan.
1. Sisi Sumber Dana
a. Pinjaman Multilateral
Pinjaman Multilateral merupakan pinjaman luar negeri yang berasal dari kreditor
multilateral. Kreditor multilateral adalah lembaga keuangan internasional yang
beranggotakan beberapa negara termasuk Indonesia, yang memberikan pinjaman
kepada pemerintah, misalnya World Bank, Asian Development Bank (ADB),
Islamic Development Bank (IDB), Japan International Cooperation Agency
(JICA) dan International Monetary Fund (IMF). Pemerintah perlu melakukan 5
(lima) tahapan / siklus untuk melakukan pengadaan pinjaman multilateral, yang
dimulai dari perencanaan, negosiasi penandatanganan dan pengefektifan,
penganggaran, pelaksanaan dan repayment. Mekanisme negosisasi/perundingan
pinjaman multilateral diatur dalam PP 10 tahun 2011 tentang Tata Cara
Pengadaan Pinjaman Luar Negeri dan Penerimaan Hibah.
Loan Agreement
NEGARA
NEGARA
LEMBAGA
PENERIMA PINJAMAN
INTERNASIONAL
NEGARA
Gambar : Pinjaman Multilateral
b. Pinjaman Bilateral, adalah pinjaman luar negeri yang berasal dari pemerintah
suatu negara melalui suatu lembaga keuangan dan/atau lembaga non keuangan
yang ditunjuk oleh pemerintah negara yang bersangkutan untuk melaksanakan
17
pemberian pinjaman. Negara-negara tersebut bergambung dalam suatu kelompok
negara seperti Comsultative Group for Indonesia (CGI).
Loan Agreement
Anggota
Pimpinan Sindikasi Negara Penerima
Pinjaman
Anggota
Anggota
Gambar : Pinjaman Sindikasi
17
Supplier credit merupakan pinjaman yang diterima langsung oleh
pemerintah dari pemasok barang di luar negeri.
2) Purchase Installment Sale Agreement (PISA), merupakan pinjaman dari
perusahaan leasing untuk membiayai proyek bangunan yang disetujui
dengan pembayaran angsuran. Besarnya pinjaman PISA adalah 100% dari
nilai proyek.
3) Pinjaman Komersial, merupakan pinjaman yang diterima dengan syarat
yang diterapkan berdasarkan kondisi pasar modal internasional. Pinjaman
diterima dalam bentuk tunai dan penggunannya juga fleksibel. Pinjaman
ini memiliki terminlebih singkat dan tingkat suku bunga yang cukup
tinggi. Pemerintah harus melakukan beberapa pertimbangan dalam
menerima pinjaman komersial, karena jika gagal dalam pengelolaannya
negara peminjam bisa terperangkap dalam status utang yang tidak
terbayar. Berikut beberapa pertinbangan sebelum menerima pinjaman
komersial.
1) Pendiverkasi pinjaman atau memperluas sumber pinjaman.
2) Lama tidaknya waktu pengurusan, apakah pinjaman tersebut memang
dibutuhkan
3) Fleksibel dari penggunaan dana.
Jumlah utang yang cenderung meningkat tentu akan membebani APBN, karena
adanya pengaruh dari kewajiban yang harus di bayar di setiap tahunnya. Berikut grafik
pertumbuhan utang Indonesia 2015-2020.
17
Gambar : Pertumbuhan Utang Pemerintah Indonesia 2015-2020
17
Bantuan ini memiliki pengaruh yang kuat terkhusus untuk negara pemnerima
pinjaman yamg tidak memiliki kekuatan militer yang memadai. Pinjaman yang
diberikan negara pendonor berupa pengawasan dan penjagaan ketatdi suatu daerah
yang memiliki potensi ekonnomi seperti potensi tambang, pariwisata dan kantor-
kantor penting lainnya.
c. Alasan Ekonomi
Bertujuan untuk mengamankan investasi ekonomi negara donor yang
menanamkan sahamnya di negara penerima donor. Ekonomi bisa dikatakan
merupakan alasan utama negara pendonor memberikan pinjaman. Faktor
perekonomian melihat alasan ekonomi yang memiliki tujuan untuk lahan
investasi. Seperti yang dilakuikan AS yang menginvestasikan sebagian besar
dananya pada perusahaan yang bergerak di bidang pertambangan dan energy
d. Alasan Moral
Alasan moral ini bertujuan untuk mengurangi kemiskinan di negara dunia melalui
dukungan kerjasama ekonomi. Alasan ini juga didasari pada rasa tanggung jawab
social negara maju terhadap kesejateraan negara yang sedang berkembang karena
perbuatan yang pernah dilakukan akinbat dari imprealisme dan kolonialisme di
masa lalu. Mengiungat sejarah dahulu bantuan dari luar negeri terkadang diartikan
sebagai tanggung jawab negara maju kepada negara berkembang.
e. Alasan Lainnya
Salah satu contoh dari alasan ini adalah alasan sampah. Negara-negara kaya masi
belum bisa mengatasi masalah ini dinegaranya, alternativenya mereka mengirim
sampah-sampah tersebut ke negara yang bersediah menerima. Sebagai balasanya
negara maju memberikan pinjaman yang bersifat lunak kepada negara tersebut.
Negara yang sangat membutuhkan pendanaan tentu akan setuju, namun dalam hal
ini negara peminjam memiliki dua kewajiiban yaitu mendaur ulang sampah
tersebut dan juga membayar kewajibanya terhadap negara pendonor.
17
Negara yang sedang berkembang cenderung mempercayai pendapat ahli ekonomi
negara-negara maju. Yaitu bahwa bantuan luar negeri merupakan obat pendorong
dan stimulan bagi proses pembangunan, turut membantu mengalihkan struktur
ekonomi serta membantu Negara yang sedang berkembang mencapai take off
menuju pertumbuhan ekonomi yang mandiri (self sustaining). Pada hakekatnya
Negara yang sedang berkembang menghendaki bantuan lebih banyak dalam
bentuk hibah atau pinjaman dengan tingkat bunga yang rendah dan tidak terikat
dengan ekspor Negara pemberi bantuan.
b. Alasan Politik
Di beberapa negara penerima pinjaman maupun negara pemberi pinjaman,
mengartikan bantuan merupakan alat kekuatan politik yang keuat kepada
pemimpin yang sedang berkuasa untuk menekan oposisi dan mempertahankan
kekuasaanya.
Menteri menyusun rencana batas maksimal Pinjaman Luar Negeri yang ditinjau setiap tahun.
Rencana batas maksimal Pinjaman Luar Negeri disusun dengan mempertimbangkan:
Rencana batas maksimal Pinjaman Luar Negeri merupakan alat pengendali Pinjaman Luar
Negeri. Menteri dapat berkonsultasi dengan Gubernur Bank Indonesia dalam rangka
penyusunan rencana batas maksimal Pinjaman Luar Negeri.Menteri Perencanaan menyusun
rencana pemanfaatan Pinjaman Luar Negeri untuk Pinjaman Kegiatan jangka menengah dan
tahunan untuk pembiayaan yang dituangkan dalam dokumen:
17
a. Rencana Pemanfaatan Pinjaman Luar Negeri;
b. DRPLN-JM;
c. DRPPLN; dan
d. Daftar Kegiatan.
Rencana Pemanfaatan Pinjaman Luar Negeri disusun dengan berpedoman pada RPJM
dan memperhatikan rencana batas maksimal pinjaman. Rencana Pemanfaatan Pinjaman Luar
Negeri memuat indikasi kebutuhan dan rencana penggunaan Pinjaman Luar Negeri dalam
jangka menengah. Kementerian/Lembaga dan BUMN menyampaikan usulan kegiatan yang
dapat dibiayai Pinjaman Luar Negeri kepada Menteri Perencanaan dengan berpedoman pada
RPJM dan memperhatikan Rencana Pemanfaatan Pinjaman Luar Negeri. Usulan kegiatan
Kementerian/Lembaga termasuk kegiatan yang pembiayaannya akan dihibahkan kepada
Pemerintah Daerah. Dalam hal Kementerian/Lembaga akan mengusulkan pinjaman luar
negeri untuk penyertaan modal negara, usulan harus disampaikan melalui Kementerian
Keuangan. Pemerintah Daerah menyampaikan usulan kegiatan yang dapat dibiayai dari
Pinjaman Luar Negeri kepada Menteri Perencanaan dengan berpedoman pada Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Daerah dan memperhatikan Rencana Pemanfaatan Pinjaman
Luar Negeri.
17
menyusun DRPPLN. Dalam penyusunan DRPPLN, Menteri Perencanaan dapat melakukan
koordinasi, komunikasi, dan konsultasi dengan calon Pemberi Pinjaman Luar Negeri serta
instansi terkait. Berdasarkan DRPPLN, Menteri Perencanaan menyampaikan Daftar
Kegiatan yang dapat dibiayai dari Pinjaman Luar Negeri kepada Menteri berisi usulan
kegiatan yang telah memenuhi kriteria kesiapan dan siap dirundingkan dengan calon Pemberi
Pinjaman Luar Negeri.
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara perencanaan, pengajuan usulan, dan
penilaian kegiatan diatur dalam Peraturan Menteri Perencanaan. Kementerian/Lembaga,
Pemerintah Daerah, atau BUMN mencantumkan kegiatan prioritas yang telah tercantum
dalam DRPPLN dalam dokumen Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian/Lembaga,
Rencana Kerja Pemerintah Daerah, atau Rencana Kerja BUMN. Pinjaman Luar Negeri yang
diteruspinjamkan dan/atau dihibahkan dilaksanakan oleh Menteri.
PEMBAYARAN KEWAJIBAN
Menteri wajib membayar cicilan pokok, bunga, dan kewajiban lainnya sampai berakhirnya
masa pinjaman melalui Bank Indonesia. Menteri mengalokasikan dana dalam APBN untuk
membayar cicilan pokok, bunga, dan kewajiban lainnya setiap tahun sampai dengan
berakhirnya kewajiban tersebut. Dalam hal dana untuk membayar cicilan pokok, bunga, dan
kewajiban lainnya melebihi perkiraan dana yang disediakan dalam APBN, Menteri wajib
melakukan pembayaran. Realisasi pembayaran sebagaimana dimaksud dimuat dalam
perubahan APBN atau dalam pertanggungjawaban pelaksanaan APBN.
17
PERMASALAHAN PENGELOLAAN PINJAMAN PROYEK
Ditemukan berbagai masalah yang dapat diklasifikasikan dalam tiga kelompok. Pertama,
adalah masalah paradigmatik, yaitu masalah-masalah yang bersifat mendasar dan strategis
yang memberikan landasan bagi munculnya persoalan-persoalan yang bersifat sistemik dan
teknis. Kedua, adalah masalah sistemik/teknis, yaitu masalah-masalah yang menyangkut
sistem pengelolaan keuangan. Umumnya masalah sistemik ini bersifat teknis. Ketiga, adalah
masalah transisional, yaitu masalah-masalah yang bersumber dari adanya proses transisi
dalam lingkungan sistem ini di Indonesia.
1. Masalah Paradigmatik
Lingkungan Pengendalian yang Buruk
ICW dan MTI menggambarkan bahwa tingkat korupsi di Indonesia masihlah amat tinggi.
patut mereka mengirimkan tim survei untuk menyusun laporan khusus mengenai hal ini.
Berbagai mekanisme clearance diterapkan, dokumen keuangan cukup banyak, prosedur
pengadaan rumit, otorisasi berlapis, dsb. didesain dan diterapkan di Indonesia untuk
menutup kelemahan dalam aspek lingkungan pengendalian. Secara teoritis bila
lingkungan pengendaliannya buruk maka cara untuk meningkatkan kehandalan sistem
pengendalian adalah dengan mempertinggi kualitas teknis prosedur dan sistem
akuntansinya. Jadi bila lingkungan pengendalian keuangan diIndonesia buruk maka dapat
dipahami bahwa para pemberi pinjaman akan meminta prosedur keuangan yang lebih
handal. Kehandalan prosedur keuangan dalam pandangan awam identik dengan
kerumitan. Karena prosedur memang didisain untuk menjadi kompleks, terkait dan saling
terikat untuk mengantisipasi pelanggaran dan kesalahan.
17
disebut bahwa setiap departemen dan LPND yang berencana untuk mengajukan proyek
yang dibiayai pinjaman luar negeri diwajibkan untuk menyampaikan usulannya kepada
Bappenas. Bila proposal tersebut dianggap layak maka akan dimasukkan dalam bluebook
dan selanjutnya diproses untuk mendapatkan pinjaman.
Kelemahan utama mekanisme ini adalah bahwa sejak awal departemen/LPND memang
mengajukan proyek untuk dibiayai pinjaman luar negeri. Tidak dibuka kemungkinan
bahwa proyek tersebut dapat dibiayai oleh sumber-sumber lainnya. Padahal seharusnya
secara teoritik semua usulan proyek ditampung dan dinilai dulu oleh otoritas perencana
dan penyusun program pembangunan, dalam hal ini Bappenas.
Project seeking merupakan batasan yang masih legal untuk menggambarkan aktifitas
untuk mendapatkan dan menggolkan proyek pinjaman luar negeri. Studi ini tidak
menggali lebih jauh mengenai apakah ada motivasi mendapatkan benefit illegal dari
proses ini. Tapi bahkan sekedar project seeking yang legal pun sudah cukup mengganggu
bagi keseluruhan sistem manajemen keuangan pinjaman luar negeri.
Motivasi ini dilakukan untuk mendapatkan benefit yang berbeda bagi aparatur pemerintah
maupun bagi pejabat lender di Indonesia. Bagi para pejabat Indonesia, disetujuinya
sebuah pinjaman luar negeri bermanfaat bagi adanya sumber pembiayaan bagi aktifitas
pembangunan di departemennya. Dalam keterbatasan anggaran sekarang ini, untuk tetap
mencapai target kinerja departemen yang diharapkan serta khususnya bagi upaya untuk
memelihara kegiatan overhead kantornya maka kegiatan pembangunan harus tetap
dilakukan. Karenanya para pejabat departemen praktis berlomba untuk mendapatkan
pinjaman luar negeri.
2. Masalah Transisional
Otonomi Daerah
Reformasi tata pemerintahan di daerah yang terjadi sejak tahun 1999 telah
memberikan perubahan luar biasa dalam pengelolaan pembangunan di Indonesia.
Perubahan tersebut sampai saat ini masih belum menemukan bentuk bakunya terbukti
bahwa baru saja UU 22/1999 telah direvisi dengan UU pemerintahan daerah yang baru.
Bahkan inipun masih menyisakan dinamika karena judicial review atas UU 32/2004 ini
juga masih berlangsung.
17
Dinamika ini memberikan sumbangan pada buruknya pencairan pinjaman luar negeri di
Indonesia. Dalam kondisi nontransisional, Masalah paradigmatik dan sistemik di atas saja
sudah menghambat apalagi ditambah konteks transisi otonomi daerah yang bergerak
cepat yang membuat penyesuaian selalu harus dilakukan.
Dalam banyak kasus, dinamika ini memberikan kegamangan juga dalam aspek
penyelesaian konflik antar lembaga. Dalam kondisi yang stabil, pasti tersedia mekanisme
penyelesaian konflik antar lembaga dan setiap pihak bersedia untuk mengikuti
mekanisme yang tersedia. Namun dalam kondisi dinamis ini, setiap pihak merasa ragu
untuk mengambil tindakan penyelesaian sehingga yang terjadi malah memperlambat
proses pencairan pinjaman. Perubahan ini semakin rumit karena juga menyangkut
manajemen keuangan di daerah.
Seiring dengan perubahan politik di Indonesia, posisi dan peran DPR juga semakin
menguat. DPR sekarang praktis memiliki penuh kewenangan dalam hal legislasi, budget
dan pengawasan. Transisi yang ada membuat DPR juga harus mengembangkan sistem
dan kelembagaan internal agar mampu bekerja optimal memenuhi fungsinya. Di titik ini
terdapat hambatan karena perbaikan kelembagaan DPR sedang dalam proses. Padahal
17
dalam mekanisme pencairan pinjaman luar negeri dibutuhkan pembahasan dan
pengesahan yang dilakukan oleh DPR karena administrasi proyek ini juga tercantum
dalam RAPBN. Karena hambatan kelembagaan internal ini maka seringkali pembahasan
DIP juga terlambat di DPR.
3. Masalah Sistemik/Teknis
Masalah SDM
Masalah ini merupakan masalah sistemik yang sering dihadapi proyek. Umumnya
pimpro proyek di daerah provinsi/kabupaten/kota berganti-ganti terus setiap tahun.
Dengan demikian diperlukan waktu dan upaya khusus untuk belajar menyesuaikan
dengan prosedur yang ada. Kenyataan ini masih diperparah dengan masalah bahwa tidak
semua pimpro baru memiliki kemampuan yang cukup untuk cepat belajar. Dalam
beberapa kasus bahkan pimpro baru harus mengumpulkan data dari awal karena
dokumentasi data, memori jabatan serta serah terimanya amatlah buruk.
Dari kajian ini, dapat dirumuskan derajat risiko kegagalan dalam pencairan pinjaman
luar negeri. Prinsip-prinsipnya tergambar dalam uraian berikut ini:
17
Semakin banyak tingkatan pemerintahan yang terlibat semakin besar resiko
kegagalan. Proyek pinjaman luar negeri umumnya merupakan proyek yang peka
terhadap waktu, kelengkapan dokumen, kerjasama pendanaan dan prasyarat
lingkungan yang kesemuanya membutuhkan koordinasi yang responsif. Bila tingkatan
pemerintahan yang terlibat semakin banyak meningkatkan kesulitan dalam
pemenuhan berbagai prosedur pencairan pinjaman.
Khusus mengenai masalah ineligible dalam mekanisme R/K maka harus dipahami
bahwa hal ini merupakan resiko dari clearance yang dilakukan lewat dokumen dan
diketahui ineligible di belakang hari. Untuk menghilangkan Masalah ini hanya dapat
dilakukan dengan mengubah clearance pada saat pekerjaan masih berjalan dan melalui
metode yang cepat, misalnya lewat direct assesment.
S OAL
17
3. Tuliskan kelebihan dan kekurangan dari pinjaman dari sisi sumber dana.
4. Sebutkan bentuk masalah dari isu DIP!
5. Mengapa Beda Jadwal Penganggaran menjadi sebuah masalah dalam pengelolaan
pinjaman proyek?
P ilihan Ganda
17
c. Berpenghasilan menengah atas
d. Berpenghasilan rendah
6. Dokumen apa saja yang perlu disusun untuk perencana pemanfaatan Pinjaman Luar
Negeri untuk Pinjaman Kegiatan jangka menengah dan tahunan untuk pembiayaan?
a. Rencana Pemanfaatan Pinjaman Luar Negeri; RPJMD; DRPPLN; dan Daftar
Kegiatan.
b. Rencana Pemanfaatan Pinjaman Luar Negeri; DRPLN-JM; DRPPLN; dan Daftar
Kegiatan.
c. Rencana Pemanfaatan Pinjaman Luar Negeri; RPJMD; RPJMN; dan Daftar
Kegiatan.
d. Rencana Pemanfaatan Pinjaman Luar Negeri; DRPLN-JM; DRPPLN; dan Daftar
Proyek.
7. Sebutkan permasalahan pengelolaan pinjaman proyek yang diklasifikasikan sebagai
masalah sistemik/teknis?
a. Masalah Teknis Generik, Masalah Teknis Pencairan, Masalah SDM, Derajat
Resiko Kegagalan dan Beda Jadwal Penganggaran.
b. Masalah Teknis Generik, Masalah Teknis Pencairan, Masalah SDM, Derajat
Resiko Kegagalan dan Dual Track Budgeting Process.
c. Masalah Teknis Generik, Dual Track Budgeting Process, Masalah SDM, Derajat
Resiko Kegagalan dan Beda Jadwal Penganggaran.
d. Masalah Teknis Generik, Masalah Teknis Pencairan, Otonomi Daerah, Derajat
Resiko Kegagalan dan Beda Jadwal Penganggaran.
8. Pinjaman Luar Negeri digunakan untuk apa saja?
a. Membiayai defisit APBN;membiayai kegiatan prioritas Kementerian/Lembaga;
membiayai belanja negara; diteruspinjamkan kepada Pemerintah Daerah;
diteruspinjamkan kepada BUMN; dan/atau dihibahkan kepada Pemda.
b. Membiayai defisit APBN;peningkatan kemampuan produsen dalam negeri;
membiayai kegiatan prioritas Kementerian/Lembaga; diteruspinjamkan kepada
Pemerintah Daerah; diteruspinjamkan kepada BUMN; dan/atau membiayai
belanja negara.
c. Sumber pembiayaan pembangunan; membiayai kegiatan prioritas K/L; mengelola
potrofolio utang; diteruspinjamkan pada Pemda; diteruspinjamkan pada BUMN,
dan atau dihibahkan pada Pemda.
17
d. Sumber pembiayaan pembangunan;membiayai kegiatan prioritas
Kementerian/Lembaga; membayar utang; diteruspinjamkan kepada Pemerintah
Daerah; diteruspinjamkan kepada BUMN; dan/atau dihibahkan kepada Pemda.
9. Apa saja pertimbangan penyusunan Rencana batas maksimal Pinjaman Luar Negeri?
a. Masalah transisional
b. Masalah SDM
c. Dual Track Budgeting Process
d. Perubahan Sistem Keuangan
DAFTAR REFERENSI
Bappenas.2004.”Kajian Strategi Peningkatan Kinerja Pelaksanaan Pinjaman/Hibah Luar
Negeri”, Jakarta.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2011 Tentang Tata Cara
Pengadaan Pinjaman Luar Negeri Dan Penerimaan Hibah.
17
17